Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 10
Ratu yang Terbuai dalam Mimpi
“Yamamoto—bantu aku pakai foundation~”
Suara Hayashi terdengar dari ruang ganti.
Aku bangkit dan menuju ruang ganti. Saat kubuka pintunya, Hayashi sudah berganti pakaian... mengenakan yukata yang kuberikan padanya.
“...Hayashi.”
“Apa?”
Hayashi sedang berdiri di depan cermin, mengikat rambut panjangnya menjadi kuncir kuda.
“Memar di lenganmu, udah mulai pudar, ya.”
“...Iya.”
Hayashi tersenyum.
“Itu bukti kalau udah banyak hal yang terjadi, ya.”
Sesuai dengan yang kami putuskan kemarin saat mandi bareng, hari ini kami berencana pergi ke festival musim panas.
“Baiklah, kalau begitu, ayo berangkat.”
Setelah selesai mengoleskan foundation ke lengannya, kami pun keluar dari kamar.
Festival musim panas di dekat apartemenku tidak sebesar yang hendak dihadiri Hayashi tempo hari. Ini adalah festival kecil-kecilan yang diadakan oleh penduduk sekitar untuk mengucap syukur kepada dewa yang disembah di kuil lokal.
“Lumayan ramai juga, ya.”
“Iya, ya.”
Tapi aku langsung menyesal karena sempat meremehkan festival kecil ini. Deretan kios berjejer di jalan sempit, dan orang-orang yang berlalu-lalang di antara kios-kios itu jauh lebih banyak dari yang kuperkirakan.
Secara pribadi, aku tidak suka keramaian. Aku bahkan merasa stres hanya karena langkahku tidak bisa seirama dengan orang di depan.
“...Yamamoto.”
“Hmm?”
“Mau pulang aja?”
Aku terkejut dan menoleh ke samping.
Hayashi menatapku serius. Sepertinya itu bukan candaan.
“...Ayo jalan.”
“...Iya.”
Kenapa dia tiba-tiba bertanya apakah aku mau pulang? Alasannya jelas. Mungkin dari samping, wajahku kelihatan sangat jengkel.
Bagaimanapun, akulah yang mengajaknya ke festival. Jadi aku memutuskan untuk menyembunyikan sikap jengkelku.
“Meski begitu... cukup ramai juga ya.”
“Iya, ya.”
“Karena padat, rasanya makin panas juga.”
“Memang.”
“...”
Topik pembicaraan kami habis. Aku hampir punya pengalaman pergi ke acara seperti ini bersama lawan jenis, jadi aku tidak tahu harus membicarakan apa.
“...Kayaknya aku bakal nyasar deh.”
Hayashi bergumam pelan.
“Jangan ngomong kayak anak kecil.”
“Yah, aku kan memang masih anak-anak. Masih remaja, tahu.”
“Alasan itu mungkin masih bisa dipakai sampai belum lama ini...”
Usia dewasa baru saja diturunkan menjadi 18 tahun, jadi alasan Hayashi sudah tak berlaku.
“Yah, andaipun kamu nyasar, kamu tetap bisa balik ke kamar, kan? Dekat dari sini.”
“...”
“Hei, jangan diam aja.”
Hayashi menunduk dengan pipi sedikit memerah.
Jangan-jangan... selain gaptek, dia juga buta arah?
“...Oh iya.”
Tiba-tiba, sepertinya Hayashi teringat sesuatu.
“Yamamoto, ayo kita gandengan tangan?”
“Ha?”
“Tangan, lho. Tangan. Kalau kita gandengan, aku nggak bakal nyasar, kan?”
“...Kalau aku yang nyasar, kamu juga bakal ikut nyasar, tahu?”
“Kalau kamu sih bakal baik-baik aja.”
“Jangan terlalu percaya padaku.”
“Kenapa sih keras kepala banget. Apa kamu jadi gugup kalau gandengan sama aku?”
…Tepat sasaran.
Melihatku diam, Hayashi langsung menyeringai puas.
“Duuuh~ Yamamoto-kun ini, polos banget deh. Emang sih, aku ini cantik, tapi—”
“Jangan ngelantur. Mau itu cantik atau tidak—aku bakal gugup kalau harus gandengan tangan sama lawan jenis.”
“Pernyataanmu itu, tetap nggak menyangkal aku ini cantik, kan?”
...Yah, sejak SMA, dia itu memang cantik secara penampilan. Soal kepribadian… yah, akhir-akhir ini aku mulai merasa ada sisi lucunya juga.
“...Soni!”
Hayashi dengan paksa merebut tangan kiriku yang sedang malu.
“Tangan kamu lebih kokoh dari yang kukira.”
“Yah, aku ini kan laki-laki.”
“Begitu, ya. Fufu… iya, iya.”
Hayashi tampak senang dan menarikku.
Tiba-tiba, aroma harum yang gurih tercium. Aroma yang menggugah selera makan.
“Hayashi, kamu mau makan sesuatu?”
“Eh?”
“Makanan. Yuk cari sesuatu buat dimakan. Sayang banget udah sampai sini tapi gak nyicip apa-apa.”
“...Iya juga.”
Hayashi tampak berpikir sejenak.
“...Iya, kamu benar. Mumpung udah di sini, ya.”
Namun, dia segera tersenyum lembut.
“Jadi, mau makan apa?”
“Hmm…”
Dengan tangan kirinya yang tidak menggandengku, dia menopang dagu sambil berpikir.
“...Apa nggak ada sesuatu yang khusus yang ingin kamu makan?”
“Hmm...”
Sejak tinggal bersama, aku belajar satu hal.
Hayashi ternyata tidak punya banyak keinginan.
Dia irit soal aksesori ponsel, bahkan dengan senang hati pakai sampo pria.
Mungkin, hari ini dia hanya ingin menikmati suasana festival.
“Oh, ada!”
Tapi tampaknya dia berhasil memikirkan sesuatu yang ingin dimakannya.
“Mau makan apa?” tanyaku.
“Makanan yang ingin kamu makan.”
Hayashi menjawab.
“Makanan yang pengen kamu makan, itulah yang paling pengen aku makan sekarang.”
“...Begitu ya.”
“Iya.”
“...Kalau gitu, kita makan yakisoba.”
Tadinya aku ingin bilang, “kamu boleh lebih egois,” tapi kuurungkan. Rasanya tak perlu mengintervensi.
Hayashi itu, saat ingin egois, dia akan mengatakan hal-hal yang benar-benar bikin orang kehabisan kata. Itu juga sesuatu yang aku pelajari selama tinggal bersamanya.
Artinya, kalau dia tidak egois, mungkin itu benar-benar keinginannya.
“Kalau begitu, pertama-tama, mari kita cari kios yakisoba yang paling enak.”
Kalau dia ingin mengikuti seleraku, maka sebagai balasannya, aku harus membuat pilihan yang takkan disesalinya. Itu bentuk tanggung jawabku.
Aku pun mulai serius mencari yakisoba terenak.
“Kamu tuh, bener-bener punya kepribadian yang picik, ya.”
Melihat antusiasme ku yang salah arah, Hayashi menghela napas.
“Jangan terlalu memuji, dong. Aku jadi malu, nih.”
“Itu bukan pujian. Hadeeh…”
“...”
“Seriusan, kamu ini emang nyebelin.”
Meski mengomel begitu, suaranya lembut.
“Hei, Yamamoto?”
Ekspresi Hayashi tampak sedikit sedih.
“Kenapa kamu... ngajak aku ke festival musim panas hari ini?”
Mungkin dia sudah mempertanyakannya sejak kemarin.
Kenapa aku, orang seperti ini... sampai mengajak Hayashi ke festival musim panas?
Wajar kalau dia bertanya. Hayashi mengenalku dengan baik. Setidaknya, dia pasti sangat paham kalau aku bukanlah orang yang mudah bergaul dan mengajak temannya ke acara ramai seperti ini.
Aku bimbang. Haruskah aku jujur? Haruskah aku berbohong?
Tidak sulit untuk berbohong. Aku bisa mengarang alasan seolah masuk akal.
...Mungkin, diriku yang dulu akan melakukan itu.
“Karena aku nggak mau itu jadi trauma untukmu.”
Tapi sekarang beda.
“Kalau kamu sampai ngalamin hal kayak kemarin di festival, wajar aja kalau kamu jadi nggak mau datang ke festival lagi, kan? Tapi aku pikir itu sayang banget. Festival musim panas itu momen spesial, di tempat spesial, bareng orang-orang terkasih. Sayang kalau semua itu lenyap gara-gara kejadian bodoh kemarin.”
“...Begitu ya.”
“Itu juga salah satu alasannya, tapi...”
“...Hm?”
“Alasan utamanya... sebenarnya beda.”
Sesaat aku ragu mengatakannya. Soalnya... ini benar-benar bukan gayaku.
“Awalnya, aku cuma bermaksud untuk meminta maaf karena telah membuatmu marah.”
“...Eh?”
“Soal aku yang memberikan yukata itu padamu.”
“...Yukata?”
“Benar. ...Seperti yang kubicarakan tempo hari saat kamu menerima yukata itu, awalnya... aku ingin meminta maaf padamu, dan sedang mencari hadiah. Saat itulah aku menemukan yukata itu.”
Aku tidak mengerti. Seolah ingin mengatakan itu, Hayashi tampak bingung.
“Ada banyak pilihan lain juga.”
Wajahku terasa panas.
“Yang model dewasa, yang cantik. Ada berbagai macam yukata.”
Bibirku bergetar.
“Tapi... aku memilih yang itu.”
Rasanya malu.
“Aku membayangkannya di kepalaku. Sosokmu yang memakai yukata itu.”
Tapi, bertentangan dengan hatiku, mulutku tidak berhenti.
“Dan... tanpa sadar aku sudah membelinya. Meski tahu harganya mahal, dan kamu bakal merasa gak enak... tapi tetap aja aku beli.”
Aku menarik napas dalam.
“Intinya. Aku ingin kamu mengenakan yukata itu.”
Aku mengucapkan kata-kata yang benar-benar tidak cocok untukku.
“Soalnya aku pikir kamu bakal cocok banget sama yukata itu...!”
Meskipun aku tidak melakukan olahraga berat.. napasku terengah-engah.
“Karena itu, aku ingin melihatnya.”
Aku mengalihkan pandanganku.
“Sosokmu yang mengenakan yukata itu... ingin kuukir di mataku.”
Setelah bicara sebanyak itu, aku sedikit menyesal.
“Sosokmu yang... mengenakan yukata itu, dan menikmatinya...”
Tapi bersamaan dengan itu, aku juga merasa lega.
...Mungkin karena aku bisa melihatnya.
Sosok Hayashi yang mengenakan yukata yang kuberikan, dan tampak bahagia, sembari berjalan di sisiku.
Hayashi terlihat agak kaget. Mungkin karena tahu isi hatiku, dia bingung harus merespons apa.
Aku lebih suka kalau dia menertawakanku
“...Yamamoto.”
Tapi Hayashi bukan orang seperti itu.
“Menurutmu... penampilanku sekarang gimana?”
Dia lebih tegas dari yang kubayangkan.
“Penampilanku sekarang dengan yukata pemberianmu ini... sesuai dengan bayanganmu nggak?”
Dan juga... pengertian.
“Apa aku kurang cocokk?”
Tapi sebenarnya... rapuh.
“...Menurutmu gimana?”
Di saat seperti ini, dia adalah gadis yang matanya bergetar karena cemas.
Kalau sampai begitu, lebih baik jangan bertanya.
“Jangan ngomongin hal bodoh”
Mungkin... aku juga merasakan hal yang sama sepertinya.
“L-Lebih dari bayanganku malah…”
Rasanya seperti jadi yakisoba yang digoreng di atas wajan panas. Wajahku terbakar.
Tapi rasanya tidak buruk. Justru... nyaman. Seperti mimpi indah—nyaman sekali.
“A-A-Ayo, beli yakisoba, yuk!”
“I-Iya, benar juga.”
Kami pun mulai berjalan mencari yakisoba.
Sambil tertawa bersama Hayashi, bergandengan tangan, mencari kios yakisoba…
Dalam hati aku berharap:
Kalau bisa, semoga kios yakisoba itu tidak segera ketemu.
Kalau bisa, semoga mimpi ini tidak berakhir.
Kalau bisa, semoga... kehidupan bersama Hayashi... dengan Ratu ini, bisa terus berlanjut.
Karena beberapa minggu yang kuhabiskan bersamanya, adalah waktu yang paling mengguncang yang pernah kurasakan dalam hidupku.
Bertengkar.
Membuatnya menangis.
Membuatnya sedih.
Dimarahi.
Tertawa bersama.
Waktu yang kuhabiskan dengan Hayashi terasa begitu menyenangkan.
Tapi aku tahu. Aku tahu... tak ada mimpi yang takkan berakhir.
Pria yang melakukan kekerasan padanya sudah ditangkap polisi.
Miyauchi yang sempat mencoba mencelakainya juga sudah diamankan.
Tidak ada lagi ancaman terhadap Hayashi.
Tidak ada lagi alasan bagi Hayashi untuk terus bersembunyi di apartemenku.
“Kalau begitu, aku berangkat”
Hayashi pun mulai mencari kamar baru untuk ditinggali... empat hari setelah kami pergi ke festival musim panas bersama.
Previous Chapter | ToC | Next Chapter
1 comment