NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 6

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 6

Ratu yang Sakit Hati

Malam itu aku menginap di sebuah manga cafe di depan stasiun.

Sebelum masuk, aku membeli perlengkapan mandi seadanya. Tepat sebelum keluar, aku menyikat gigi dan mandi, lalu meninggalkan tempat itu.

“Kasahara, ya? Aku hampir sampai.”

Semalam, aku sudah memberi tahu Kasahara tentang semua yang terjadi pada Hayashi. Meski dia sudah kenal orang tua Hayashi sejak dulu, sepertinya dia tidak tahu kondisi keluarga Hayashi sekarang.

“Yamamoto-kun, besok pagi kita ketemuan, ya?”

Begitu aku menghubunginya, dia langsung menjadwalkan pertemuan.

“Pagi, Yamamoto-kun.”

“Ah.”

Kami bertemu di depan stasiun yang masih sepi.

“...Yamamoto-kun.”

“Apa?”

“Matamu sembap sekali.”

“Aku gak tidur semalaman.”

Kasahara tersenyum lemah, mungkin mencoba menghiburku.

Setelah itu, kami pergi ke sebuah restoran keluarga beberapa menit dari lokasi pertemuan. Karena masih pagi, menunya masih menu sarapan.

“Bagaimana kondisi Megu?”

“...Tidak bisa dibilang baik.”

“Begitu ya.”

Begitu kubicarakan keadaan Hayashi, suasana di antara kami pun menjadi berat.

“...Tak kusangka akan jadi begini.”

“Ya, aku juga tidak membayangkannya.”

“Aku khawatir sama Megu.”

“...Aku juga.”

Sepiring omelet diantarkan, dan aku pun memakannya pelan-pelan. Tapi karena tidak nafsu makan, gerakan tanganku yang memegang sendok terasa lambat.

“Apa Megu akan tetap tinggal di kampung halamannya, ya...?” gumam Kasahara.

Memang, mengingat kondisi ayahnya dan perasaannya sekarang, tidak aneh jika dia memutuskan untuk tinggal.

“Apapun yang dilakukannya, itu keputusan dia sendiri.”

“...Yamamoto-kun gak keberatan?”

“Kenapa perasaanku dibawa-bawa?”

Aku menatap Kasahara dengan tajam.

Seandainya aku pacar Hayashi, mungkin perkataannya masih bisa dimengerti. Tapi dalam hubungan kami sekarang, tidak masuk akal kalau aku harus menghentikan Hayashi.

“...Yamamoto-kun, apa terjadi sesuatu antara kamu dan Megu?”

Kasahara sepertinya mencurigai sesuatu.

“Tidak ada.”

“Bohong.”

“Aku gak bohong.”

Kasahara sedikit meninggikan suaranya.

“Kalau benar-benar tidak ada, kamu pasti akan balik bertanya, ‘Apa maksudmu?’ kan?“

...Mungkin dia benar.

“Kasahara, setelah ini, bisakah kamu menemui Hayashi?”

“Yamamoto-kun gak ikut?”

“Aku tidak pergi.”

Aku menunduk.

“Aku... sudah membuatnya marah.”

Aku menceritakan percakapanku dengan Hayashi.

Dia sedang terpuruk, dan alih-alih menghiburnya, aku malah membuatnya marah. Tidak, bahkan mungkin membuatnya sedih.

Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Tapi sekarang, Hayashi pasti tidak ingin melihat wajahku.

“Baiklah. Nanti aku akan mencoba menemuinya.”

Kasahara tidak menyalahkanku.

“...Ya, aku mengandalkanmu.”

“Tapi... Yamamoto-kun juga harus ikut.”

“...Eh?”

“Kamu harus ikut. Kalau tidak, aku gak bakal pergi.”

Pikiranku menjadi kosong.

Kenapa aku harus kembali ke rumah Hayashi?

Kalau aku pergi sekarang, Hayashi pasti... tidak akan mendengarkanku. Mungkin dia bahkan tidak mau mendengarkannya sama sekali.

Dalam situasi ini, siapapun pasti akan berpikir bahwa yang bisa mendampingi Hayashi adalah Kasahara, kan?

“Yamamoto-kun. Kemarin, saat Megu meminta salah satu dari kita untuk menemaninya pulang, dia memilihmu.”

“...Tidak. Bukan Hayashi yang memilihku. Kamu yang memilihku.”

“Tapi Megu tidak memintaku... untuk menemaninya, kan?”

“...Itu—“

“Dia itu anak yang bisa mengatakan dengan jelas hal yang tidak disukainya.”

Memang, Hayashi... sejak SMA, tidak peduli seberapa sulit menolak, bahkan jika dia harus dicemooh orang, dia selalu tegas mengatakan tidak pada hal yang tidak disukainya.

“Megu yang seperti itu, tidak menolak ketika kamu yang kuusulkan untuk menemaninya pulang.”

“...”

“Itu sudah jadi jawabannya.”

Dadaku terasa hangat.

“Megu tidak keberatan jika kamu ikut pulang bersamanya. Bukan. Dia ingin kamu yang menemaninya. Bukan aku. Karena itu aku menyerahkan peran itu padamu.”

“...”

“Aku memang menyayangi Megu. Aku pikir aku lebih paham cara menanganinya. Faktanya, jika aku yang menemuinya, mungkin situasinya akan membaik.”

“...Kalau begitu—“

“Aku mungkin orang yang cocok untuk menyelesaikan masalah kalian berdua, tapi aku bukan orang yang tepat untuk peran ini, Yamamoto-kun.”

“...”

“Ini adalah sesuatu yang harus kamu selesaikan.”

“...Hah. Berlebihan banget.”

“Sama sekali gak berlebihan!”

Kasahara menggebrak meja dengan keras dan berdiri.

Di dalam restoran keluarga yang masih sepi di pagi ini, beberapa pelanggan dan pelayan di restoran langsung memandang kami. Mungkin mereka mengira ini pertengkaran sepasang kekasih.

“...Hubungan kami waktu SMA sangat buruk, tahu?”

Tapi aku tidak peduli jika dianggap sebagai sepasang kekasih yang sedang bertengkar.

Aku mengabaikan pelanggan dan pelayan yang menatap kami dengan cemas, dan membantah Kasahara.

Kasahara sendiri tahu betapa gawatnya hubungan kami saat SMA. Baru-baru ini dia bahkan mengaku sering cemas melihat kami.

Meski begitu...

Memang, ini adalah masalah antara aku dan Hayashi. Tapi, bukan berarti ini harus diselesaikan di antara kami berdua saja.

Pangkal masalahnya adalah Hayashi mengetahui kondisi ayahnya. Kalau begitu, tidak ada masalah sama sekali jika Kasahara, yang memang sudah tahu hubungan keluarga Hayashi, menjadi tempat curhatnya, kan?

...Kenapa aku yang harus menjadi pemeran yang tepat?

“Justru karena kalian dulu bermusuhan...”

“...Apa?”

“Hubungan kalian menjadi dingin karena kesalahpahaman, dan setelah akhirnya bisa diperbaiki...”

Kasahara...

“...Apakah kamu rela jika ini berakhir dengan kesalahpahaman lagi?”

Kasahara menangis. Air matanya mengalir deras, memohon padaku dengan sungguh-sungguh.

“Kamu selalu begitu. Tidak pernah membela diri, jadi selalu disalahpahami.”

“...Mungkin.”

“Pasti sekarang Megu juga salah paham, kan?”

“...Entahlah.”

“Dia pasti salah paham. Karena itu kamu harus meluruskannya. Berbaikanlah dengan Megu, supaya tidak menyesal...”

...Disalahpahami, ya.

Memang, saat itu aku tidak memastikan apakah Hayashi mengerti maksudku. Aku tidak khawatir akan disalahpahami. Tapi bukan hanya itu. Saat itu, dalam hati, aku juga berpikir:

Hayashi pasti mengerti maksudku.

...Tidak, di lubuk hatiku, aku sedikit khawatir maksudku takkan tersampaikan... tapi jika memang tak tersampaikan, aku pikir itu juga tidak apa-apa.

Kalau dia tidak mengerti, berarti hubungan kami memang hanya sebatas itu. Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu.

...Mungkin pola pikir seperti itulah.

Dan kenyataan bahwa aku sekarang berhadapan dengan Kasahara tanpa meluruskan kesalahpahaman, dengan sikap yang tidak jantan ini.

Mungkin itu jadi salah satu penyebab aku membuat Kasahara menangis seperti ini.

“...Memang, mungkin saat ini Hayashi salah paham padaku, seperti yang kamu katakan”

“...”

“Tapi sejujurnya, aku pikir tidak perlu meluruskannya. Terkadang, kesalahpahaman bisa menghasilkan sesuatu yang baik di kemudian hari.”

Kali ini pun, jika aku memperbaiki hubungan kami... Hayashi mungkin akan kembali bergantung padaku. Setiap kali ada masalah, mungkin dia akan bergantung padaku dan menanyakan apa yang harus dia lakukan kedepannya.

...Setiap kali Hayashi dihadang tembok, apakah pertolonganku akan membantunya tumbuh?

Bukankah meluruskan kesalahpahaman ini justru akan menghambat kemandiriannya?

“Yamamoto-kun.”

“...Apa?”

“Baik atau buruk... Aku gak peduli!”

Kasahara mencengkeram kerah bajuku.

“Masalahnya aku gak suka! Makanya! Aku memintamu untuk segera meluruskan kesalahpahaman itu!”


Aku benar-benar terkejut.

Aku sudah kenal dengan Kasahara sejak SMA, tapi... aku belum pernah melihatnya seemosional ini.

“Entah kenapa... ini konyol.”

“Akan kuhajar kau!”

“Maaf. Aku cuma ngomong sendiri.”

Kasahara melepaskan kerah bajuku, tampak kesal.

Mungkin karena aku berhasil keluar dari labirin pikiran...

Atau lebih dari itu, mungkin karena aku sudah lega...

“Ahaha...”

Tanpa sadar, aku tersenyum kering.

“Ngapain ketawa? Beneran bakal kuhajar lo.”

“Jangan dong.”

Aku hanya merasa... semuanya konyol.

Memusingkan untung rugi.

Entah karena egoisme, atau karena memikirkan orang lain...

Aku hanya merasa semuanya konyol.

“...Apa boleh buat. Kalau itu sangat mengganggumu, aku akan pergi meluruskan kesalahpahaman Hayashi.”

“Ya.”

“...Sesekali, aku akan mencoba menyampaikan perasaanku pada Hayashi secara langsung.”

“Begitu dong. Selama ini kamu selalu berbelit-belit. Makanya orang salah paham. Yang tersampaikan dengan jelas itu cuma kata-kata kasarmu saja.”

“Mungkin aku akan memperlihatkan sisi diriku yang sangat memalukan...”

“...Aku mengerti.”

Kasahara mengangguk lembut, matanya masih bengkak.

“Kalau begitu, nanti ceritakan hasilnya ya.”

“Maaf merebut peranmu sebagai penghibur Hayashi.”

“Beneran deh. Perlakuan seperti ini ke gebetan, sulit dipercaya.”

“Iya iya. Canda, canda.”

Saat tatapanku bertemu dengan Kasahara yang pura-pura marah, rasanya lucu, dan tanpa sadar kami pun tertawa.

“Kalau begitu, aku pergi dulu.”

“Ya.”

Aku meninggalkan Kasahara dan keluar dari restoran keluarga itu.

“Sampai jumpa, Yamamoto-kun.”

◇◇◇

Sepanjang perjalanan ke rumah Hayashi, aku memikirkan dengan kepala kosong tentang apa yang akan kukatakan padanya.

Yah, apa pun yang akan kubicarakan... sepertinya aku harus meminta maaf dulu. Setelah meminta maaf dan emosinya mereda, baru masuk ke topik utama. Tadi aku sudah terlanjur bilang pada Kasahara akan menyampaikan perasaanku secara langsung, jadi aku memutuskan untuk menentukan topik utama sesuai dengan situasinya.

“Sungguh, kenapa juga aku harus melakukan ini demi Hayashi...”

Menggerutu sambil memikirkan berbagai hal di perjalanan, ternyata cukup menyenangkan juga.

Mungkin seharusnya aku lebih serius.

Tapi berkat mendengar perasaan tulus Kasahara, hatiku jadi lebih ringan. Tidak ada lagi keraguan.

“Semoga perasaannya juga bisa sedikit lebih ringan.”

...Dengan harapan yang tidak biasa dariku, aku tiba di rumah Hayashi.

Aku sedikit gugup, tapi berhasil menekan bel.

“Loh? Yamamoto-kun?”

“Selamat pagi.”

Yang menyambutku adalah ibu Hayashi.

“Megumi-san...?”

“Masih tidur.”

Ibu Hayashi tersenyum kecut sambil mengangkat bahu. Semalam, saat Hayashi linglung, aku sempat berbincang dengannya. Seperti layaknya ibu Hayashi, omongannya memang cukup pedas, tapi pada dasarnya dia baik hati.

“Di luar panas, kan? Kenapa tidak menunggu di dalam?”

“Kalau begitu, aku terima tawarannya.”

“Sekalian, kamu boleh loh, kalau mau membangunkannya dengan lembut seperti biasa?”

“Aku tidak ingat pernah melakukan itu, jadi tidak bisa.”

Aku berusaha menyembunyikan pipiku yang memerah. Sungguh. Kenapa perempuan selalu mengaitkan segala sesuatu dengan percintaan?

“Mungkin dia sudah bangun. Bisa tolong cek keadaannya?”

“Ah, baik.”

...Secara tidak langsung, aku diarahkan ke kamar Hayashi.

“Hayashi, kau sudah bangun?”

Tok, tok, aku bertanya sambil mengetuk, tapi tidak ada jawaban.

“Aku masuk, ya.”

Sudah sampai sini, rasanya canggung kalau kembali ke ruang tamu di hadapan ibu Hayashi. Jadi aku memutuskan masuk dan menunggunya bangun.

“Banyak debu, ya.”

Mungkin karena pemiliknya sudah pergi, kamar ini sudah lama tak terurus.

Berusaha sebisa mungkin agar tidak membangunkan Hayashi, aku berjalan berjinjit dan duduk di kursi belajar.

Nah, sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa sampai Hayashi bangun.

Ngomong-ngomong, kemarin aku hanya mampir ke kamar ini saat gelap gulita, ya. Aku memandang sekeliling ruangan dengan perlahan.

“...Hayashi bilang dia sudah menyatakan takkan kembali lagi, kan.”

Namun, meskipun begitu, di dalam kamar... masih banyak barang-barang Hayashi yang tersisa, mungkin dari zaman SMA.

Mengingat Hayashi, mungkin dia menyatakan hal itu tanpa pikir panjang... tapi fakta bahwa orang tuanya tidak membereskannya mungkin mereka masih berharap suatu hari saat dia akan kembali.

“...Kenapa kau ada di sini?”

Suara dingin terdengar dari tempat tidur.

Biasanya dia sulit bangun, dan kalau sudah bangun pasti langsung menabrak meja dengan kelingking kakinya. Tapi hari ini dia langsung sadar.

“Selamat pagi, Hayashi.”

“...Pulang sana. Kemarin udah kubilang, kan, aku gak mau bicara denganmu sekarang.”

“...Aku juga maunya begitu.”

“Hah?”

“Tapi Kasahara memaksaku untuk meluruskan kesalahpahaman.”

“...Apaan sih?”

Hayashi mengangkat bagian atas tubuhnya.

“Kamu datang ke sini karena dimarahi gebetan? Menyedihkan.”

“...”

“...Yamamoto?”

“Sebenarnya itu juga salah satu alasannya... tapi bukan itu.”

“Hah?”

“Aku ingin meminta maaf padamu.”

“Hah?”

“Maaf. Aku salah. ...Aku tidak merasa perkataanku salah. Tapi cara menyampaikannya sangat buruk. Aku tidak mempertimbangkan perasaanmu.”

“...A-Apa sih. Tiba-tiba ngomong aneh. Gak kayak kamu aja, jadi merinding.”

“Aku benar-benar minta maaf. Seharusnya aku memilih kata-kata yang lebih baik. Dan seharusnya aku tidak langsung pergi ketika kau menyuruhku pulang, tapi mencoba untuk lebih banyak berbicara denganmu. Aku harusnya berusaha lebih keras untuk memahamimu.”

“H-Hentikan... menjijikkan.”

“Seharusnya aku memahami perasaanmu... Tapi, aku tidak bisa mendampingimu. Maaf.”

“...Sudah cukup. Hentikan.”

“...Tapi.”

“Lagipula, aku yang salah karena marah padamu.”

Suara Hayashi melemah.

“Semua kejadian ini, pada dasarnya bersumber dari kelemahanku sendiri”

“...”

“Seperti yang kamu bilang dulu. Ini hidupku. Tidak ada artinya jika bukan aku yang memilih. Meskipun tidak ada artinya... aku malah bergantung padamu, dan bahkan marah padamu. Aku ini payah banget.”

“Berarti kau sedang sangat terpojok, kan?”

“...Hentikan. Jangan berkata baik padaku.”

“...Maaf. Pada akhirnya, setiap kata-kataku selama ini malah membelenggumu, ya.”

“...”

“Aku minta maaf. Tapi... seperti yang pernah kukatakan, tidak masalah bergantung pada orang lain. Kau itu sejak dulu punya kebiasaan mencoba mengatasi semuanya sendirian.”

“...Padahal kau gak tahu apa-apa tentangku.”

“Benar. Kita kan gak akur waktu SMA.”

Selama satu setengah bulan terakhir, aku memang menjalani hubungan yang erat dengan Hayashi dalam kehidupan serumah... tapi jika dipikir-pikir, dalam dalam 19 tahun hidupnya, itu hanya satu setengah bulan. Hubungan kami hanya sebatas itu. Tentu, aku tidak bisa bilang aku mengenalnya dengan baik.

“...Tapi aku mengerti perasaan seseorang yang akan kehilangan seseorang yang berharga.”

Ya, setidaknya dalam hal itu seharusnya aku tahu.

Tapi kemarin... aku malah mengatakan hal yang seolah-olah menjauhinya.

“...Eh?”

“T-Tunggu. ...Tunggu, Yamamoto. Barusan kamu bilang apa?”

“Hayashi, ada sesuatu yang belum kubicarakan padamu.”

...Ini pertama kalinya aku memberitahu orang lain selain Kasahara.

“Sewaktu masih SD, aku kehilangan ayahku.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close