NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 7

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 7

Ratu yang Kebingungan

Sewaktu aku masih kecil, keluargaku terdiri dari aku, kedua orang tuaku, dan seekor kucing. Kami hidup bertiga, bersama satu ekor, di sebuah apartemen sewaan tipe 3LDK. Setiap pagi, kebiasaanku adalah terbangun oleh suara sibuk orang tuaku yang bersiap-siap bekerja.

“Kalau begitu, Ayah berangkat dulu, ya.”

“Ah, aku juga harus segera pergi.”

“Hati-hati di jalan, kalian berdua.”

Kedua orang tuaku bekerja, dan karena aku belum masuk TK, aku selalu menunggu mereka pulang bersama Mike, kucing peliharaan kami. Untuk makan siang, aku menyantap apa yang disiapkan ibuku sebelum berangkat. Tapi kucing kesayanganku, Mike, adalah seekor kucing yang rakus, jadi aku harus memberinya makanan kucing sesuai jadwal.

Itu terjadi saat aku berusia sekitar empat tahun. Aku rasa, sejak kecil aku sudah cukup mandiri.

“Bu, hari ini Mike tidak mau makan.”

Suatu hari, setelah menjalani rutinitas seperti biasa, nafsu makan Mike tiba-tiba menurun drastis. Setelah dibawa ke dokter hewan, ternyata dia mengidap gagal ginjal. Tak lama kemudian, Mike meninggal dengan tenang.

Mike sebenarnya sudah dipelihara Ibu sejak beliau masih belum menikah, jadi usianya memang sudah sangat tua. Tubuhnya sudah tidak kuat untuk melawan penyakit.

Atas usulan Ayah dan ibuku yang menangis, jasad Mike dikremasi di sebuah layanan kremasi hewan peliharaan.

Ini pertama kalinya aku kehilangan anggota keluarga.

Anehnya, aku tidak menangis.

Mungkin karena masih terlalu kecil, aku belum bisa memahami kematian makhluk yang begitu dekat denganku. Buktinya, meski tidak menangis, aku jatuh sakit dan terbaring di tempat tidur selama seminggu setelah Mike tiada.

Saat aku mulai pulih, aku akhirnya masuk TK.

Di TK, aku tidak punya banyak teman dekat.

Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tampaknya, aku adalah tipe orang yang tidak pandai bergaul.

“Halo?”

Sesaat sebelum ulang tahunku yang ke-5, ketika aku baru saja pulang dengan bus sekolah dan membuka pintu rumah, telepon berdering.

“Ah, halo. Apa benar ini kediaman Bapak Yamamoto?”

Suara di telepon terdengar gemetar.

“Ya, betul.”

“...Apakah ini putra dari Bapak Yamamoto Tsutomu?”

“Ya, betul.”

“Erm... apakah ibumu ada di rumah?”

“Tidak.”

“Begitu ya... Nak, bisakah kamu menghubungi ibumu?”

Meski sopan, saat itu aku merasa waspada pada si penelepon. Jujur, aku ingin cepat-cepat menutup telepon.

“Bisa, tapi...”

“Kalau begitu, tolong hubungi ibumu, ya? Aku sudah mencoba menghubunginya lewat ponsel ayahmu, tapi tidak tersambung sama sekali.”

“Mungkin karena Ibu sedang bekerja sekarang.”

Aku mulai ragu—apakah orang ini benar-benar rekan kerja Ayah?

Tapi kata-kata yang diucapkannya selanjutnya langsung menghapus semua keraguanku.

“Nak, kalau sudah terhubung dengan ibumu, tolong sampaikan sesuatu padanya dengan tenang.”

“...”

“Ayahmu pingsan di kantor.”

“...Hah?”

Setelah itu, orang itu menjelaskan bahwa ayahku tiba-tiba jatuh pingsan. Mereka sudah memanggil ambulans dan ayahku sekarang telah dibawa ke rumah sakit. Dia memberitahukan alamat rumah sakit dan meminta agar ibuku segera menelepon balik jika sudah berhasil dihubungi. Berkat penjelasannya yang menggunakan kata-kata sesederhana mungkin, anak berusia 5 tahun sepertiku pun bisa memahami bahwa hal buruk telah menimpa ayahku.

Satu jam kemudian, ibuku pulang—lebih awal dari biasanya.

“Ibu baru sadar ada telepon tak terjawab saat istirahat, jadi Ibu langsung telepon balik.”

Sambil menyiapkan keperluan Ayah untuk dirawat di rumah sakit, ibuku menjelaskan situasinya dengan singkat.

Kemudian, kami berangkat ke rumah sakit tempat Ayah dirawat dengan mobil yang dikemudikan Ibu.

Sejak menerima telepon itu, bahkan selama di perjalanan pun, hatiku dipenuhi kecemasan

Bayangan Mike yang tidur tenang melintas di benakku.

“Bu... Apa Ayah akan seperti Mike?”

“...Jangan ngaco. Tentu saja tidak.”

Suara ibuku bergetar, meski dia berusaha terdengar tegar.

Sesampainya di rumah sakit, kami menanyakan kamar Ayah di resepsionis dan bergegas menemuinya.

“Aduh!”

Ibuku berjalan terlalu cepat, sampai aku terjatuh di koridor.

“Maaf, terlalu cepat ya?”

Ibuku menggendongku dan berjalan lebih cepat dari sebelumnya.

Sesampainya di kamar rawat, Ayah terbaring telentang di atas ranjang yang serba putih.

Ayah sering tertidur di ruang keluarga saat libur, mungkin untuk melepas penat. Dan setiap kali Ayah dengan “curang”-nya tidur sendirian, aku sering mengganggunya atas perintah ibuku yang sibuk mengurus rumah.

Aku sudah sering melihat wajah tidur Ayah ketika menjahilinya, tapi belum pernah melihatnya tidur setenang ini.

Seorang dokter datang dan kami pun dipersilakan masuk ke ruang pemeriksaan.

Penjelasan dokter terlalu rumit untuk anak seusiaku.

Tapi ketika ibuku tiba-tiba menangis saat mendengarkan penjelasan dokter, aku sadar bahwa kondisi Ayah tidak baik-baik saja.

“Dia hanya punya waktu 1 tahun lagi.”

Dan saat itulah kami mengetahui sisa hidup Ayah.

...Sedikit informasi tambahan, konon katanya saat dokter memberitahu sisa hidup pasien, mereka biasanya memberi perkiraan waktu yang lebih pendek dari kenyataannya. Ini dilakukan untuk menghindari tuntutan keluarga pasien jika pasien meninggal lebih cepat dari perkiraan.

“Jadi, Ayahmu pasti akan baik-baik saja.”

Ibuku memberitahuku tentang “rahasia” itu di mobil dalam perjalanan pulang.

Ibuku memang selalu blak-blakan. Aku juga sering terlalu jujur sampai membuat masalah, sifat itu mungkin turun darinya.

Ibu tidak pernah takut untuk mengatakan “tidak” pada hal yang menurutnya salah. Dia juga sering bicara tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain.

“Karena sifatku yang seperti ini, makanya cuma dia yang mau menikahiku.”

Ibuku sering meledek Ayah dengan kata-kata pedas.

“Itu berarti, berkat sifatnya inilah, aku bisa bertemu dengan orang yang paling kucintai.”

Ayah lebih memahami ibuku daripada siapa pun.

Setiap kali Ayah menyatakan cintanya pada Ibu, raut wajah Ibu akan menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya menolak. Meski mulutnya sering berkata sebaliknya, di lubuk hatinya dia mengakui cinta yang mendalam untuk Ayah.

“Benar-benar, deh... jangan membuat orang khawatir yang tidak perlu, dong.”

Di mobil, Ibu mendoakan kesembuhan Ayah dengan kata-kata yang tidak jujur.

Suaranya bergetar.

Melihat Ibu menangis di kursi belakang, pun ikut mendoakan kesembuhan Ayah.

Keesokan harinya, Ayah sadar dan pengobatan untuk memperpanjang hidupnya pun dimulai.

“Aku ingin pergi berkemah bertiga lagi.”

Ayah berbicara dengan suara ceria.

“Iya iya. Bicara soal itu nanti saja setelah kamu sembuh.”

Ibuku menjawab dengan nada kesal.

Aku tersenyum melihat mereka berdua.

Dari rumah ke kamar rumah sakit. Meskipun tempatnya berubah, hubungan kami tetap sama.

Tapi hanya itu yang tidak berubah.

Setelah tiga bulan dirawat, kondisi Ayah mulai memburuk.

“Bu, aku akan membantu urusan rumah.”

Pertama, urusan rumah tangga.

Karena keduanya bekerja, orang tuaku biasa membagi tugas rumah. Tapi setelah Ayah dirawat, semua beban jatuh pada ibuku. Ditambah lagi, itu adalah masa sibuk di kantornya.

Ibuku bekerja tanpa istirahat. Meski begitu, pekerjaan rumah tetap saja terbengkalai.

Jadi, aku mengambil alih beberapa tugas—terutama bersih-bersih. Semakin sering aku membersihkan, semakin terlihat hasilnya. Aku bahkan ketagihan seperti anak kecil yang asyik bermain game.

“Bu, apa Ibu dengar?”

Kedua, kelelahan.

Saat itu, Ibu tak hanya kelelahan karena jam kerja yang panjang dan pekerjaan rumah, tetapi juga karena merawat Ayah tanpa kenal lelah. Akibatnya, beliau kelelahan secara fisik dan mental.

Kadang kakek dan nenek dari kedua belah pihak datang membantu, tapi karena tinggal jauh, mereka tidak bisa terus-menerus mendampingi. Justru itu malah menambah beban ibuku.

Di masa itu, ibuku sering tertidur sejenak selama tiga menit sambil memegang sumpitnya. Itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Terakhir, masalah uang.

Dulu kami hidup dari penghasilan ganda, tapi kini penghasilan Ayah terputus. Sebaliknya, biaya perawatan Ayah terus membengkak. Aku yang masih kecil pun bisa melihat bagaimana kehidupan kami semakin hari semakin sulit.

“Haah...”

Dulu, rumah kami selalu dipenuhi tawa.

Ada aku, Ibu, Ayah, dan Mike.

Sekarang, hanya aku dan ibuku yang tersisa.

Suasana rumah menjadi sangat suram, dan aku mulai merasa lebih nyaman sendirian dibanding dengan orang lain.

Suatu hari di TK, seorang gadis seusiaku mengajakku bermain di luar.

“Yamamoto-kun, ayo main di luar bareng!”

“Tidak. Main domino sendirian lebih seru ketimbang main bareng yang lain.”

Sejak dulu, aku memang selalu bicara tanpa disaring.

“Huaaahh!”

Akibatnya, setelah membuat gadis itu menangis, aku pun diperlakukan seolah aku ini bisul yang tak boleh disentuh di TK.

Atau mungkin, mereka memang tidak menyukaiku.

“Yamamoto, ayahmu sekarat, ya?”

Suatu hari, tiga anak nakal mendatangiku.

Entah bagaimana, mereka tahu tentang ayahku.

Mereka menyeringai, mengejekku.

Aku tidak bisa langsung menjawab.

“Kami tahu, loh! Ayahmu terus-terusan tidur di rumah sakit, kan?”

“Hah? Bukannya Ayah itu harusnya kerja seharian? Kok malah tidur terus?”

Gadis yang kubuat menangis tempo hari populer di kalangan anak laki-laki. Mungkin mereka kesal melihat anak populer itu memperhatikanku. Atau mungkin, lebih dari itu, mereka memang membenciku sejak awal. Karena itu, mereka ingin membuatku tunduk.

“Jadi, gimana? Apa dia akan segera mati?”

Anak-anak nakal itu semakin menjadi-jadi.

“Ya. Mungkin sebentar lagi dia mati.”

Aku menjawab dengan tenang.


Ketiga anak nakal itu terbelalak, tercengang. Mungkin jawabanku di luar dugaan mereka.

...Bukan berarti aku bersikap tegar karena tak ingin menunjukkan kelemahan di depan mereka. Bukan itu.

Melihat Ayah yang makin hari makin kurus.

Melihat ibuku kelelahan secara fisik dan mental.

Mengingat kematian Mike yang mengajariku tentang kematian...

Tanpa merasa sedih, tanpa merasa putus asa, aku hanya berpikir: Ah, Ayah memang akan segera mati.

Dan bukan hanya itu.

Aku merasa, jika terus begini, kami semua akan hancur.

Ibuku juga akan ambruk karena beban merawat ayah.

Jadi, mungkin... saat itu, di lubuk hatiku yang terdalam, aku berdoa. Doaku berkebalikan dengan doa di awal masa perawatan Ayah.

Doaku berlawanan dengan doa ibuku yang berbunyi, “Jangan membuat orang khawatir yang tidak perlu, dong..”

...1 tahun 3 bulan.

Setelah perjuangan panjang, Ayah akhirnya kembali ke rumah.

Sosok ayahku yang telah jadi dingin, sedingin patung lilin, terkadang masih muncul dalam mimpiku sampai sekarang.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close