NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 3 Chapter 1

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 1

Ratu yang Hampir Menandatangani Kontrak

Musik pop ceria terdengar seiring pelanggan masuk.

Suara iklan dari suatu universitas ternama mengalun di dalam toko.

“Selamat datang!”

Tempat ini adalah sebuah minimarket dari jaringan besar, terletak di sudut kawasan perumahan yang tenang.

Inilah tempat aku kerja paruh waktu setelah pindah ke Tokyo untuk kuliah.

Alasan kenapa hari ini aku ada di sini?

Tentu saja karena aku ingin bekerja demi menghasilkan uang.

Apalagi belakangan ini, kampus sedang libur musim panas, jadi aku punya banyak waktu luang. Bisa dibilang, ini waktu yang pas tuk lebih giat kerja.

Mungkin sebagian orang akan berpikir begini:

‘Sayang banget liburan musim panas yang berharga malah dihabisin buat kerja paruh waktu. Kau kan mahasiswa, mestinya main dong sama teman-teman! Ke pantai kek, ke gunung kek, atau minimal karaokean juga gak masalah, kan?’

DANGKAL!

Kalian tuh sama sekali tidak paham.

Situasi keuangan mahasiswa itu jauh dari kata berkecukupan.

Begini ya. Kalian mungkin dengan mudahnya mengajak teman main selagi ada waktu luang. Tapi mau main sama siapa pun, ngelakuin apa pun, pasti ujung-ujungnya keluar uang.

Lagian, bukan cuma soal main, selama manusia hidup, mereka bakal butuh uang.

Kalau begitu, daripada cuma foya-foya dengan teman, sesekali berpijak pada kenyataan, bekerja keras, dan mendapatkan upah, itu bukan hal yang buruk, kan?

Itu sebabnya sekarang aku kerja.

Dan ini sama sekali bukan karena aku tak punya teman yang ngajak main selama liburan musim panas yang panjang dan membosankan ini, sehingga aku terpaksa kerja untuk menabung demi masa depan.

Karena pada dasarnya, aku memang tidak punya teman yang mau mengajakku main, baik saat liburan musim panas maupun tidak!

Lebih tepatnya, aku memang tak punya teman.

……

Ayo, ketawa aja!

“Sepertinya sudah waktunya menata barang, ya.”

Begitulah.

Dengan alasan seperti itu, aku mengorbankan kehidupan mahasiswa yang tak tergantikan dan liburan musim panas yang berharga ini untuk kerja paruh waktu setiap hari.

Waktu itu, shift-ku tinggal satu jam lagi sebelum selesai.

Aku pun memutuskan tuk mulai menata barang-barang yang baru diantar ke rak.

“Yamamoto!”

Tiba-tiba terdengar suara cempreng yang memanggilku.

“Ada apa, Hayashi?”

“Biar aku aja yang menata barangnya”

Namanya Hayashi Megumi.

Dia baru saja mulai kerja paruh waktu di minimarket ini.

Dia juga teman sekelasku waktu SMA. Tepatnya, dulu hubungan kami kayak anjing sama kucing yang tak pernah akur.

Orang lain mungkin bakal mikir gini:

‘Kerja bareng orang yang dulunya gak pernah akur pas SMA, pasti nyebelin banget tuh.’

Tapi bagiku, kerja di tempat yang sama dengan Hayashi tidak semenyusahkan itu.

Bukan berarti aku sok kuat.

Soalnya… meskipun dulu pas SMA memang tak pernah akur, setelah ketemu lagi, hubungan kami tidak sepanas dulu.

“Eh, Yamamoto. Waktu kamu berangkat kerja tadi, kenapa kamu gak bangunin aku?”

“Apa boleh buat. Aku masuk shift dua jam lebih awal darimu. Lagipula semalam kamu ketawa-ketawa nonton video sampai larut malam, kan?”

“Justru itu! Gara-gara begadang semalam, aku jadi bangun kesiangan, kan!”

“Itu salahmu sendiri!”

Yah, meski hubungan kami tak sepanas dulu, tapi nyatanya kami masih suka ribut begini bahkan pas lagi kerja, sama-sama tidak mau ngalah.

Tapi, ada satu faktor yang jelas membedakan kami dengan yang dulu...

“Maaf, ya. Aku gak sempat bikin sarapan.”

“Gak apa-apa. Sesekali doang mah.”

Faktor itu adalah, sekarang kami tinggal seatap, alias hidup bersama.

Dulu di SMA, Hayashi adalah sosok yang ditakuti orang di sekelilingnya.

Tak pernah memikirkan perasaan orang lain, seenaknya sendiri, dan selalu ngomong blak-blakan. Makanya dia dapat julukan ‘Ratu Arogan’.

…Yah, julukan itu memang pas.

Bagaimanapun, Hayashi yang seperti itu dan aku yang penyendiri ini sekarang tinggal bersama.

Sekilas, kehidupan kami mungkin tercium bau-bau insiden... dan memang benar, sebuah insiden kecil menjadi pemicu kami tinggal bersama.

Tapi jika ada sesuatu yang ingin kujelaskan, dalam insiden itu, aku lebih merupakan korban daripada pelaku.

“Yah, walau akhirnya kehidupanmu udah mulai tenang sampai bisa kerja lagi, aku akan menasihatimu agar tidak dipecat karena terlambat.”

“Ugh… A-Aku tahu, kok.”

Awalnya, setelah lulus SMA, Hayashi pindah ke Tokyo untuk kuliah dan pacaran dengan pria lain.

Mereka sempat tinggal bersama, tapi Hayashi sering mendapat kekerasan dari pria itu. Sejenis kekerasan dalam rumah tangga gitu lah.

Tidak tahan dengan perlakuannya, Hayashi yang tampak sangat menderita secara kebetulan bertemu lagi denganku.

Dan demi melindunginya dari pria brengsek itu, akhirnya kami mulai tinggal bersama.

Setelah berbagai macam kejadian, sekarang pria brengsek itu sudah ditangkap polisi, dan Hayashi pun bisa kembali ke kehidupan normalnya.

“Lagipula, urusan menata barang begini, aku bisa kerjain sendiri, kok.”

“Tidak. Biar aku yang ngerjain.”

“Udah, gak apa-apa. Barangnya ada yang berat, loh. Aku gak bisa biarin gadis sepertimu melakukan pekerjaan seberat itu.”

“Apa? Kamu mendiskriminasi gender?”

“Ini bukan diskriminasi gender.”

“Tidak, bagaimanapun juga, diskriminasi tetaplah diskriminasi.”

“Tidak, kau salah. Istilah diskriminasi gender cuma berlaku kalau perempuan dirugikan.”

“Itu pandangan yang sangat sempit, tahu?”

Hayashi menghela napas, kelihatan kesal.

“Udahlah, biar aku aja yang ngerjain. Repot kan kalau menata barang dengan tangan seperti itu.”

Dia menunjuk tangan kananku.

Tanganku dibalut perban.

Itu luka yang kudapat saat melindungi Hayashi dari wanita yang membela mantan pacarnya yang kasar itu, yang hendak menyerang dengan pisau.

“Hayashi, biar kujelaskan, kalau kamu menawarkan diri untuk menata barang karena merasa bersalah atas luka ini, itu tidak perlu.”

“Bukan itu alasannya.”

“Terus kenapa?”

“……karena.”

“Hah?”

“Karena aku ingin membantumu! Memangnya salah!?”

Hayashi setengah marah.

Mukanya sedikit memerah.

Aku tak bisa berkata-kata.

Tidak bisa menyangkal.

Sebagai pria penyendiri yang selalu bersikap sinis, aku paling tidak tahan dengan ekspresi wajah seperti barusan.

“……K-Kalau butuh bantuan, panggil aja, ya. Akan kubantu.”

“Ya.”

Sambil menunduk, Hayashi buru-buru memulai pekerjaannya.

Aku menatap Hayashi yang sedang menata barang sambil bersenandung dari depan kasir.

Sungguh, dia sudah banyak berubah.

Dulu di SMA, aku tidak pernah membayangkan akan punya hubungan seperti ini dengan Hayashi.

Malah, kupikir setelah lulus SMA, aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.

Begitulah anggapanku waktu itu.

Tapi... apa ini yang disebut takdir?

……Kalau diingat-ingat, kami ketemu lagi di minimarket ini.

Waktu itu dia datang sebagai pelanggan.

Karena dia pakai baju olahraga, aku hampir tak sadar kalau itu Hayashi.

Aku cuma mikir, ‘oh, ada wanita cantik’.

Terus dia menyadariku, menyapaku, kami ngobrol sebentar, aku jadi tahu kondisinya, dan dan melindunginya...

Awalnya kupikir, tinggal dengannya akan menyulitkan, tapi tanpa kusadari, aku menikmati hari-hari itu.

“Hayashi, habis shift nanti, aku harus nunggu di mana?”

Tapi, masa-masa tinggal bersama Hayashi ini akan segera berakhir.

“Eh? Maksudnya?”

“Kau ini... hari ini kita ke agen properti, kan?”

“……”

“Kau mau tanda tangan kontrak, kan?”

“……Ah.”

“Astaga, kau ini.”

Mantan pacar Hayashi yang suka menganiayanya, dan wanita yang dihasutnya untuk menyerang Hayashi dengan pisau. Keduanya sudah diamankan polisi.

Tidak ada lagi orang yang akan membahayakan Hayashi.

Jadi, sudah tidak ada alasan baginya untuk terus sembunyi di apartemenku.

Hayashi mulai mengunjungi agen properti untuk mencari tempat tinggal baru. Dan beberapa hari lalu, Hayashi telah selesai melihat-lihat properti dan memutuskan tempat tinggal barunya.

Hari ini, setelah selesai kerja paruh waktu, kami berencana ke agen properti untuk tanda tangan kontrak sewa tempat tinggal baru Hayashi.

“Aku benar-benar lupa. Ahaha.”

Hayashi garuk-garuk kepala, seolah baru saja melakukan kecerobohan.

◇◇◇

Agen properti tempat Hayashi mendapatkan penawaran apartemen itu terletak di tengah perjalanan dari minimarket menuju rumah kami.

“Aku pulang.”

Hayashi, yang shift kerjanya dua jam lebih lambat dariku, baru saja pulang ke rumah. Setelah kejadian tadi, ternyata Hayashi tidak membawa stempel pribadinya ke tempat kerja, jadi kami memutuskan untuk bertemu langsung di apartemen.

“Hmm, stempelnya di mana ya?”

“Jangan bilang barang sepenting itu kamu hilangin?”

“Eh?”

Hayashi mengorek-orek laci penyimpanan kecil di dalam lemari. Padahal, stempel yang sempat diambil dari rumah mantan pacarnya beberapa waktu lalu seharusnya ada di situ, tapi entah kenapa tidak ketemu.

“… Sudah cukup denganmu yang gaptek dan buta arah.”

“Yamamoto, barusan kamu mengejekku ya?”

“Kenapa kamu sangat peka kalau lagi diejek?”

Cobalah pasang sensor untuk hal-hal lain juga.

“Hmmph. Hmm, di mana ya stempelnya?”

“Cepatlah. Kita bisa telat sama jadwal janjiannya.”

“Aku tahu kok.”

Dengan menjulurkan lidah, Hayashi melanjutkan pencariannya. Tapi meskipun sudah lama menunggu, stempelnya tetap tidak ketemu.

“Aneh, ya? Kok gak ketemu-ketemu?”

“Oi, oi, kamu yakin naruhnya di laci kecil itu?”

“Iya. Seingatku sih, aku memang masukin ke situ.”

“Seingatmu, atau memang yakin? Yang bener yang mana?”

Jangan membuat kontradiksi dalam dua kalimat.

“Kalau gak salah, kita mengambil stempel itu dari rumahnya sekitar dua minggu lalu, kan?”

“Iya, kayaknya sih gitu. Dan begitu diambil, langsung kusimpan di laci ini. Jadi harusnya memang ada di sini.”

“Kalau begitu, setelah itu kamu ada kesempatan lagi gak buat pakai stempel itu?”

“Eh?”

“Maksudku, kamu mengeluarkannya untuk memakainya lalu lupa mengembalikannya.”

“……Ahaha, gak mungkinlah.”

“Beneran?”

“Beneran. Soalnya, sejak pindah ke sini aku gak pernah pakai stempel lagi.”

“Di minimarket?”

“Eh?”

“Apa kamu gak memakainya pas mulai kerja minimarket? Untuk CV dan dokumen lain-lain.”

“Ah…”

Hayashi mulai mencari ke dalam tas yang biasa dia pakai. Dan tak lama kemudian, dia menemukan stempelnya di sana.

“Ketemu!”

“Syukurlah ketemu.”

“Yamamoto, kok kamu bisa tahu sih?”

“Karena gak balikin barang ke tempat asalnya adalah salah satu alasan paling umum kenapa orang bisa kehilangan barang. Aku cuma tanya dengan asumsi itu aja.”

Padahal aku sendiri tidak menyangka bakalan persis begitu.

“Mulai sekarang, barang yang udah dipakai balikin lagi ke tempatnya, ya.”

“Padahal selama ini aku merasa sudah melakukannya dengan benar, kok.”

“Kalau begitu, kenapa stempelnya ada di tas?”

“Itu… yah, soalnya waktu itu aku lagi capek.”

“Justru hal-hal kecil kayak gitu yang lama-lama bisa jadi masalah. Cuma butuh sedikit perhatian aja padahal.”

“Ih, Yamamoto cerewet banget sih. Kayak mertua aja!”

“Hei, itu keterlaluan.”

“Hmph.”

“……Hayashi, jangan ngambek. Barusan itu jelas-jelas keterlaluan.”

“Enggak, ah.”

“Jelas keterlaluan. Ayo, minta maaf. Minta maaflah kepada para mertua.”

“Para mertua!?”

“Iya. Memang benar, di dunia ini ada tipe mertua yang suka mengomeli menantunya seperti yang sering digosipkan. Tapi itu cuma sebagian kecil aja. Kebanyakan mertua sebenarnya berusaha rukun dengan menantunya. Aku takkan pernah memaafkan siapa pun yang mengolok- olok para mertua baik hati itu. Jadi, minta maaflah.”

“Caramu membela para mertua itu luar biasa…”

Setelah menatapku dengan jengkel sejenak, Hayashi pun menundukkan kepala.

“Um, maafkan aku.”

“Baguslah kalau kau paham. Para mertua juga pasti memaafkanmu.”

“Mungkin mereka gak marah. Soalnya gak denger, kan?”

Dia ada benarnya.

“Serius deh, kamu kadang suka ngomong aneh, ya.”

“Maaf.”

“Gak apa-apa. Kalau dipikir-pikir, kayaknya bukan ‘kadang’ lagi deh.”

“Memang.”

“……Lagian, yah, apa ya? Ini cukup menyenangkan juga.”

Nada bicara Hayashi terdengar sendu, seolah-olah ini adalah percakapan terakhir kami.

Padahal percakapan barusan itu cuma obrolan ringan yang sudah sering kami lakukan sejak Hayashi pindah ke apartemen ini. Tapi, aku tidak menyangka dia akan membalas dengan begitu melankolis. Jujur, aku agak bingung harus bagaimana.

“Udahlah, emangnya ini saat-saat terakhir kamu hidup.”

“Tapi……”

Setelah kata “tapi”, Hayashi terdiam. Tapi aku tahu apa yang ingin dia katakan.

‘Tapi, aku bakal segera pindah dari kamar ini.’

Kira-kira begitulah yang dimaksud Hayashi.

Ya, memang benar. Begitu Hayashi pindah dari sini, kami tidak akan lagi mengobrol dengan intensitas dan jarak yang sama seperti sekarang. Hubungan kami, selain tinggal bersama, tidak ada yang istimewa. Malah dulu waktu SMA, kami ini sangat tidak akur, sampai-sampai semua orang menganggap kalau kami seperti anjing dan kucing.

“……Yah, sesekali mainlah ke sini.”

“Boleh?”

“Iya.”

“……Sungguh?”

“Jangan membuatku mengulanginya. Jarang-jarang loh aku ngomong begini ke orang lain.”

Wajahku terasa sedikit panas. Tapi Hayashi pasti tahu bahwa aku sekarang sedang mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan karakterku. Dari dulu aku memang tipe orang yang suka menyendiri.

“……Makasih.”

Seolah-olah beban di pundaknya terangkat, Hayashi tersenyum.

“Y-Ya udah, ayo kita berangkat.”

Karena malu, aku langsung menarik tangannya dan menyeretnya keluar rumah.

Sepanjang perjalanan menuju agen properti, kami hampir tidak berbicara apa-apa.

“Selamat sore.”

Begitu sampai, Hayashi menyapa. Suasana di kantor agen properti itu cukup sepi, mungkin karena sudah sore.

“Ah, Hayashi-san. Selamat sore.”

“Mei-chan, maaf ya aku telat.”

Tashiro Mei-san, agen properti yang betanggung jawab atas pencarian properti Hayashi, keluar dari balik konter. Selama melihat-lihat properti, Hayashi dan Tashiro-san terlihat sudah cukup akrab. Usianya sekitar lima tahun lebih tua dari kami. Berbanding terbalik dengan Hayashi yang pemberani dan tidak kenal takut, dia memiliki kesan yang santai dan sedikit ceroboh.

“Yamamoto-san juga, selamat sore.”

“Ah, ya.”

“Apa maksudnya ‘ya’... sapalah dengan benar.”

Hayashi menatapku dengan tatapan dingin. Dalam hati aku menyahut, ‘Memangnya kau ibuku?’.

“Selamat sore.”

“Fufu. Kalian benar-benar akrab, ya.”

“Tidak juga. Kita ini sering bertengkar, tahu.”

“Tapi kan, ada pepatah yang bilang, semakin sering bertengkar semakin akrab.”

“Memang sih, tapi kita beda.”

“Eh? Masa?”

Mereka berdua tampak menikmati obrolan itu. Sejak melihat-lihat properti pun juga begitu, sepertinya mereka berdua cukup cocok. Memang sih, aura Tashiro-san mirip dengan sahabat dekat Hayashi, Kasahara.

“Kalau begitu, kenapa dari tadi terus pegangan tangan?”

Ucapan Tashiro-san membuat kami berdua kaku seketika. Kalau dipikir-pikir, saat aku merasa malu berbicara dengan Hayashi tadi, aku dengan paksa menarik tangannya untuk mengakhiri percakapan dan keluar dari kamar.


Jangan-jangan, sejak saat itu, kami terus berpegangan tangan...?

Tanpa aba-aba, kami langsung melepaskan tangan masing-masing.

“Bukan begitu.”

“Uhuhu, iyain aja deh.”

“Hei, Mei-chan! Kamu sama sekali gak percaya, kan?”

“Percaya kok.”

“……P-Pokoknya, mendingan kita langsung beresin aja kontraknya.”

Agar tidak ketahuan wajahku memerah, aku berkata dengan tenang.

“B-Benar juga.”

Setelah itu, kami dibawa ke ruang pertemuan untuk memulai prosedur pembuatan kontrak.

“Baiklah, pertama-tama, tolong baca dokumen ini dulu.”

“Iya.”

Sementara Hayashi membaca dan menandatangani kontrak sewa yang dibawa Tashiro-san, aku benar-benar nganggur. Tapi yah, aku juga merasa sedikit lega karena semua berjalan lancar.

……Dengan ini, kehidupan bersama dengan Hayashi pun berakhir. Jujur, aku merasa lega.

Selama tinggal bersama, kami sering bertengkar. Lagipula, bagiku yang suka menyendiri, adanya orang lain... apalagi lawan jenis, di ruang pribadi itu rasanya stres juga.

……Hayashi itu, ya.

Waktu aku lagi nonton TV, dia malah nonton video di tablet yang kupinjamkan dengan volume super keras.

Kalau ditanya mau makan apa, aku jawab terserah, eh malah dia marah.

Membatasi waktu bersih-bersihku jadi sejam sehari.

Suka mengejekku karena tidak punya temen.

Dengan begini, akhirnya aku bisa lebih tenang.

Setelah membantu Hayashi beres-beres buat pindahan, dan pergi dari apartemen, kira-kira aku akan apa ya?

Pertama, mungkin pesan pizza setelah sekian lama?

Kalau diingat-ingat, Hayashi pernah bilang ingin mencoba pizza baru yang ada di iklan TV.

Kalau begitu, lain kali, aku akan membelikan pizza yang dia mau itu, terus makan bareng……

“…Haha.”

“Ada apa?”

“Bukan apa-apa.”

……Hanya saja, aku berpikir bahwa waktu yang kuhabiskan bersamamu, tanpa sadar sudah menjadi hal yang biasa, itu saja. Tentu aja, aku tak ada niatan untuk bilang itu padanya.

“Yah, nyari kerja dan belajar untuk kualifikasi itu pasti susah, tapi… semangat ya.”

“Apaan sih, tiba-tiba begitu?”

“Bukan apa-apa.”

“Aneh. Menyemangati orang lain itu bukan kamu banget.”

“Kamu ini sepertinya menganggapku gak punya hati, ya?”

“Aku gak mikir gitu, kok. Seriusan.”

“Yang bener?”

“Serius.”

Hayashi mengalihkan pandangannya dari kontrak dan menatapku.

“Soalnya kamu tuh suka menyangkal perasaan sendiri, kan.”

“Aku tidak mau dibilang begitu olehmu.”

Menyangkal perasaan sendiri?

Aku?

Yang suka begitu kan justru kamu.

Serius, kamu itu benar-benar……

“Yah, akhirnya aku bisa balik tinggal sendiri lagi. Bebanku berkurang. Tapi kamu itu cukup ceroboh. Lain kali jangan sampai kena jebakan yang aneh-aneh lagi, ya?”

“Nah, itulah yang kumaksud menyangkal perasaan sendiri!”

Ahaha, Hayashi tertawa.

“Gak apa-apa kok. Udah sejauh ini masa akan ada jebakan... ah”

Obrolan yang tadinya ringan mendadak terhenti ketika Hayashi kembali menatap kontrak.

Wajahnya langsung berubah, seakan-akan perkataanku barusan adalah sebuah pertanda buruk.

“……Kenapa?”

“……Penjamin.”

“Eh?”

“Aku kan udah putus hubungan sama orang tuaku, jadi gak ada yang bisa dijadikan penjamin.”

Waktu aku menandatangani kontrak apartemen dulu, aku juga melakukan hal yang sama. Meskipun ditemani orang tua, aku menandatangani kontrak sewa sendiri.

Kalau dipikir-pikir, saat menyewa properti, biasanya butuh penjamin untuk jaga-jaga kalau penyewa menunggak uang sewa.

Yah, kalau penghasilan stabil sih, kadang tidak perlu penjamin, tapi…

“Kamu kan sekarang statusnya pengangguran tanpa alamat tetap.”

“Ugh.”

Rupanya dia juga memikirkannya, Ternyata ejekan itu sangat efektif pada Hayashi.

“Maaf ya, sudah menunggu… eh, Hayashi-san!?”

Saat kembali, hal pertama yang Tashiro-san lihat adalah Hayashi yang sudah seperti mayat.

Untuk berjaga-jaga, aku sempat bertanya pada Tashiro-san apa mungkin menyewa apartemen tanpa penjamin.. tapi dengan ekspresi menyesal, Tashiro-san menggelengkan kepalanya.

“...Hayashi, bagaimana kalo malam ini kita pesan pizza? Yang kamu bilang ingin makan waktu itu.”

Seolah mencoba menghibur Hayashi yang sedang terpuruk, aku mengajukan tawaran itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close