Chapter 249 – Jalan Menuju Kebahagiaan
Kami kembali ke mobil. Jalan menurun itu terasa tidak stabil. Aku mengulurkan tanganku padanya.
“Terima kasih.”
Dia menerima uluran tanganku tanpa ragu. Kami menuruni jalan itu perlahan, dalam diam.
Pepohonan di sekitar kami tampak berwarna indah.
“Tempat ini ternyata seindah ini, ya.”
Dia berucap pelan.
“Iya.”
Aku yakin, dulu dia terlalu lemah untuk bisa menyadari keindahan tempat ini. Keluarga yang sangat dia cintai hancur berantakan, dan ketika tahu bahwa semua itu bermula dari pengorbanan ibunya demi menyelamatkan dirinya, dia pasti tak bisa memaafkan dirinya sendiri.
Aku belum pernah menanyakan alasan mengapa dia pergi ke atap waktu itu. Aku hanya tahu bahwa dia bermaksud mengakhiri hidupnya. Tapi entah kenapa, aku bisa menebak bahwa semua itu berakar pada hubungannya dengan keluarga.
Dan dia sudah berusaha keras untuk tetap tegar. Aku tahu tanpa dia perlu mengatakannya.
Mengenal kepribadian Ai-san, aku bisa membayangkan bagaimana dia menahan diri, berusaha memaafkan dirinya sendiri, berharap sang ayah mau menerimanya kembali, dan mencoba mencari cara agar keluarganya bisa utuh lagi—sambil terus menanggung luka di hatinya.
Membayangkan betapa berat beban yang harus dia pikul dengan tubuh sekecil itu saja sudah membuat dadaku terasa sesak.
Dalam kejadian kali ini, Ai-san pasti kehilangan banyak hal.
Justru karena itu…
“Mulai hari ini, ya.”
Aku sempat merasa takut setelah mengucapkannya. Apakah aku pantas mengatakan hal itu?
Ketika aku melirik ke arah Ai-san, dia tersenyum lembut.
“Iya. Tapi anehnya, aku sama sekali tidak merasa takut akan masa depan.”
Mendengar itu, aku teringat pada kata-katanya dulu.
“Waktu itu, di atap, meski aku hanya orang asing, Senpai tetap menolongku dengan mempertaruhkan nyawa, bahkan sampai basah kuyup kehujanan. Padahal bisa saja Senpai ikut jatuh juga kalau mencoba menghentikan orang yang sedang mengamuk seperti aku.
Aku tahu, dalam kejadian itu, Senpai kehilangan banyak hal. Aku mungkin tidak pantas mengatakan ini, tapi… tidak semuanya hilang, kok. Masih ada orang-orang yang percaya pada Senpai. Aku cuma ingin Senpai tahu itu.”
Kalau tidak salah, dia mengatakannya saat dia membantu mempertemukanku dengan Hayashi-san untuk berdamai.
Aku masih ingat bagaimana indahnya dirinya waktu itu—disinari cahaya senja, sampai membuatku kehilangan kata-kata.
Sejak saat itu, hubungan kami berubah. Dulu, akulah yang dilindungi olehnya. Tapi sekarang tidak lagi. Kini, kami bisa saling melindungi satu sama lain.
Ekspresi Ai-san tampak jauh lebih lembut dari biasanya.
Dia berbisik pelan.
“Soalnya, aku sudah cukup bahagia hanya dengan bersama Senpai.”
Mendengar itu, aku jadi malu sendiri.
Aku bertekad dalam hati—aku akan membuatnya lebih bahagia lagi mulai sekarang.
Sebagai gantinya, aku menggenggam tangannya sedikit lebih erat.
“Ayo pulang. Ke tempat semua orang menunggu.”
“Iya.”
Sambil merasakan kebahagiaan karena di antara “semua orang” itu juga ada Paman Ugaki, kami melangkah perlahan di jalan yang membawa kami menuju kebahagiaan.
Chapter 250 – Kenyataan Miyuki & Selamat Datang di Rumah
— POV Miyuki —
Aku takut untuk melangkah maju. Karena itu, aku terus diam di tempat.
Mengurung diri di kamar, tak melakukan apa-apa, hanya menggigil ketakutan setiap hari.
Waktu terasa berjalan sangat lambat.
Sore hari. Ponselku berdering.
Dari Ritsu. Aku tidak bisa tidak menjawabnya.
Namun tanganku tak mau bergerak. Panggilan itu berhenti. Aku merasa sedikit lega.
Dulu, kalau telepon dari sahabatku, aku pasti langsung mengangkat tanpa berpikir. Tapi sekarang… aku bahkan tak sanggup melakukan itu.
Ponselku berdering lagi. Dari Ritsu.
“Halo… ini Amada.”
Dengan tekad yang lemah, aku akhirnya mengangkat.
Namun suara Ritsu yang terdengar dari seberang tak seperti biasanya—dingin, tanpa sapaan, tanpa emosi.
“Akhirnya kau angkat juga…”
Suaranya seperti kehilangan nyawa.
“Ritsu?”
Aku memanggil namanya dengan nada memohon. Setidaknya, dia saja yang masih mau mendengarkanku—pikiran naif itu langsung hancur berkeping-keping.
“Jangan seenaknya memanggil namaku! Semua ini salahmu, Miyuki! Aku dikeluarkan dari sekolah, semuanya, semuanya itu salahmu!!”
Dia berteriak begitu keras, lebih marah dari yang pernah kudengar sebelumnya, tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan.
“Aku… aku minta maaf…”
Aku berusaha memaksa keluar kata itu, tapi suaranya menenggelamkanku.
“Kenapa… kenapa kau menipuku? Aku mengira kita sahabat! Aku menolongmu karena aku pikir kau butuh bantuan! Semua ini… semua karena kau! Andai saja aku tak pernah berteman denganmu, aku tidak akan terlibat sejauh ini! Kembalikan! Kembalikan hidupku! Hidupku berantakan karena kamu!!”
Dari seberang terdengar suara benda pecah.
Ritsu telah berubah.
Dan itu semua… karena aku.
“Maafkan aku…”
“Permintaan maafmu tidak akan menghapus semua ini! Karena kamu, aku jadi seorang kriminal! Aku menganggapmu sahabat, tapi kenapa kau menipuku!? Apa yang sebenarnya kau inginkan!?”
Aku hanya bisa menangis dan terus berkata “maaf,” tapi Ritsu tetap tak mau memaafkanku.
“Selamat tinggal. Aku benar-benar menganggapmu sahabat, Miyuki… tapi aku tidak ingin bertemu atau berbicara denganmu lagi.”
Kata-kata terakhirnya—dingin, tanpa tenaga—menembus dadaku lebih dalam daripada teriakannya.
Aku akhirnya dihadapkan pada kenyataan pahit: betapa kejamnya perbuatanku, betapa banyak hidup yang telah kuhancurkan. Dan tidak, aku tidak akan pernah diampuni.
Karena itu…
Aku harus menerima dosaku.
Kata-kata Ritsu telah memaksaku menatap kenyataan yang tak bisa kuhindari.
— POV Ugaki Ai — (Ini emang gini yah namanya, dari Raw-nya)
Setelah menurunkan Senpai di restoran Aono Kitchen, aku kembali ke kamar bersama Ayah.
Sebenarnya, kami seharusnya pulang ke rumah di Tokyo. Tapi dalam keadaan seperti ini, rasanya kami tak akan bisa berbicara dengan tenang. Karena itu, aku memintanya untuk datang ke kamarku.
Ini pertama kalinya aku mengundang Ayah ke sini.
Rasanya aneh… tapi hangat.
Aku membuka kunci pintu dan masuk lebih dulu.
Entah kenapa, aku tidak ingin menyerahkan momen ini.
Mungkin, aku memang sudah lama menantikan saat seperti ini.
“Selamat datang di rumah, Ayah.”
Mendengarnya, Ayah sempat terkejut, lalu perlahan tersenyum lembut.
“Ayah pulang, Ai. Maaf sudah lama sekali.”
Chapter 251 – Balik Arah Kehidupan: Cerita Spesial “Tanabata” (Peringatan Cetak Ulang)
※Cerita ini mengandung spoiler dari versi web terbaru.
Terima kasih kepada semua pembaca! Berkat kalian, volume ke-2 berhasil dicetak ulang, dan produksi volume ke-3 kini bisa dimulai! Terima kasih banyak atas dukungannya!
“Aku ingin pergi kencan Tanabata.”
Begitu kata Ai-san.
Memang, Tanabata adalah perayaan yang romantis. Jadi, aku pikir sesekali tak ada salahnya pergi ke tempat istimewa. Seusai pulang sekolah, kami naik kereta menuju simbol ibu kota—Tokyo Tower.
Di toko penyewaan kimono dekat sana yang telah dipesan Ai-san, kami meminjam yukata.
Ai-san memilih yukata berwarna putih dengan motif bunga ajisai (hortensia) sebagai aksen.
“Karena kencan kita waktu itu di taman ajisai sangat menyenangkan, jadi aku pilih yang ini,” katanya sambil tersipu.
Aku ingin terus melihat wajahnya yang seperti itu. Rambutnya diikat ke belakang, dihiasi jepit rambut berwarna biru yang serasi dengan yukata-nya—begitu cantik dan bening sampai rasanya aku bisa tersedot ke dalam pesonanya.
Saat matahari terbenam, kami naik ke main deck (dek utama).
Yang terbentang di depan kami adalah dunia yang terasa seperti mimpi.
Dari sana terlihat deretan gedung pencakar langit di arah Marunouchi, sementara langit-langit dihiasi cahaya biru yang berkilauan. Kadang, muncul efek “bintang jatuh” yang membuat suasananya semakin magis, dan warna iluminasi pun berubah seiring waktu berlalu.
“Seperti dunia dalam dongeng, ya,” katanya dengan senyum bahagia, sambil menarik tanganku erat-erat.
Sekarang, setiap kali kami jalan-jalan bersama, menggenggam tangannya sudah terasa begitu alami. Rasanya senang sekaligus sedikit malu. Aku pun mengikuti langkahnya.
“Indah sekali…”
Ai-san kini jauh lebih sering tersenyum. Dari ekspresinya, aku tahu bahwa dia benar-benar menikmati momen ini dari lubuk hatinya.
“Seperti dunia lain, ya,” ujarku.
Paduan antara gemerlap kota dan nuansa magis seolah membawa kami ke dunia dongeng. Aku bersyukur bisa datang ke tempat ini bersamanya.
“Sekalian, yuk kita tulis tanzaku-nya juga,” katanya.
Kami menulis di kertas permohonan yang disediakan. Saat melihat isi tulisan yang ternyata sama, kami tertawa bersama.
“Kalau begini, nanti Orihime dan Hikoboshi bisa-bisa iri pada kita,” kata Ai-san sambil tersenyum bahagia.
“Kalau begitu, kita jangan sampai seperti mereka, ya,” balasku.
Kami menggantungkan tanzaku itu di batang bambu, lalu saling memandang penuh kasih.
Di kedua kertas permohonan itu tertulis harapan yang sama sama:
“Semoga kebahagiaan ini terus berlanjut selamanya.”
Chapter 252 – Keputusasaan Kondō
— POV Kondo —
Hari ini adalah jadwal pertemuanku dengan pengacara itu.
Pada akhirnya, masa penahananku masih terus berlanjut. Katanya, karena kasus ayahku juga sedang diselidiki, jadi penahanan ini diperpanjang. Selain itu, sejak awal aku memang berniat melawan polisi dan kejaksaan habis-habisan, jadi mungkin itu juga membuat mereka menahanku lebih lama.
“Halo, Kondō-kun.”
Pengacara itu menyapaku dengan senyumannya yang seperti biasa—menyebalkan.
“Kapan aku bisa keluar dari sini? Tolonglah, cepat keluarkan aku dari tempat ini.”
Aku bahkan bisa mendengar betapa lelahnya suaraku sendiri.
“Sayangnya, aku membawa kabar buruk hari ini. Jadi, tolong persiapkan dirimu.”
“Apa maksudmu itu!?”
Aku membentak penuh emosi.
“Pertama-tama, perusahaan ayahmu telah resmi bangkrut. Karena adanya penyalahgunaan dana dan uang suap untuk para politisi, termasuk penggelapan pajak, seluruh asetnya kini disita sementara oleh pengadilan.”
“Apa maksudmu? Jelaskan dengan lebih jelas!”
“Maksudku begini—ayahmu menggunakan cara-cara ilegal untuk menyembunyikan uang demi menyuap para politisi. Karena itu, pengadilan menyita hampir semua kekayaannya. Honor yang kuberikan untuk jasaku saat ini dibayar oleh ibumu, tapi singkatnya, hampir semua harta yang dulu kau hamburkan dengan gaya hidup mewah itu… sudah tidak ada lagi.”
“Bisa dikembalikan, kan…?”
Aku bertanya dengan nada putus asa. Namun jawabannya datang dingin tanpa belas kasihan:
“Tidak mungkin. Berapa kali harus aku jelaskan agar kau paham?”
“Lalu… apa yang akan terjadi padaku…?”
“Itu dia masalah berikutnya. Kau sudah membuat polisi dan jaksa sangat marah. Jadi, kemungkinan besar masa penahananmu akan lebih lama. Dan sekalipun kau dibebaskan sementara sebelum sidang, kau harus membayar uang jaminan—dan untuk kasus penganiayaan atau kekerasan, jumlahnya bisa mencapai ratusan juta. Ibumu bilang dia tidak akan membayarnya. Sepertinya dia khawatir dengan kondisi keuangan mereka ke depan.”
Mulutku ternganga, tak bisa berkata apa-apa.
Apakah… ibuku juga sudah meninggalkanku?
Sial. Sial. Sial!
Mataku panas, hampir menangis. Dunia di sekitarku terasa semakin gelap.
Seperti ini… aku bahkan tak tahu apakah bisa keluar dari sini.
“Dan ada satu laporan lagi,” lanjut pengacara itu tenang. “Mungkin ini bukan hal yang ingin kau dengar, tapi… korban dari kasus penganiayaanmu, Aono Eiji-kun, ternyata masuk nominasi untuk penghargaan sastra bergengsi.”
Dia membuka lipatan kertas—potongan artikel koran.
“Dia menulis novel dengan tokoh utama seorang gadis korban kecelakaan terowongan—kasus yang juga melibatkan ayahmu. Dia mengunggahnya di situs web novel, dan karyanya mendapat respon luar biasa. Kini novelnya akan diterbitkan sebagai buku, dan bahkan dinominasikan untuk penghargaan sastra. Katanya, ini pertama kalinya karya dari web novel masuk nominasi, dan pada usia 17 tahun, dia juga menjadi kandidat termuda dalam sejarah penghargaan itu.”
Sementara aku—bahkan di level universitas saja tidak cukup bagus untuk jadi pemain sepak bola profesional—si brengsek itu justru diakui oleh dunia sastra profesional.
Rasa iri, benci, dan kehancuran harga diriku berputar-putar dalam kepalaku.
“Kenapa kau kasih tahu aku hal seperti ini…”
“Masih belum paham, ya?” kata si pengacara dingin. “Karena korbanmu sekarang sedang jadi sorotan publik, cepat atau lambat kasusmu akan kembali diangkat ke media. Dan begitu itu terjadi, simpati besar akan mengarah kepada Aono Eiji-kun—sementara kau akan semakin terpojok. Jadi sebaiknya kau mulai mempersiapkan dirimu.”
Aku—yang dulu menertawakan Aono Eiji—kini seperti menerima serangan balik telak darinya.
Harga diriku benar-benar hancur berkeping-keping.
Di depan pengacara yang menyebalkan itu, aku akhirnya tak bisa menahan diri lagi.
Air mataku jatuh tanpa bisa kuhentikan, meski aku berusaha keras untuk menahannya.
Chapter 253: “Reprint Kedua ‘Jinsei Gyakuten 2’ — Cerita Spesial untuk Memperingati Hari Ekiben (16 Juli)”
Seperti biasa, kami berdua sedang berjalan pulang bersama ketika melihat sebuah spanduk di dekat supermarket.
Itu supermarket yang sama tempat aku dan Ichijou-san pernah membeli teh.
“Heh, ekiben ya,” kataku.
Kadang-kadang supermarket memang mengadakan acara seperti itu.
Ibu suka yang seperti itu, jadi kupikir aku akan pulang dulu dan datang lagi untuk membelinya.
Saat aku memikirkan itu, Ichijou-san di sebelahku menatap lama tulisan ekiben di spanduk itu.
“Kamu suka ekiben?” tanyaku tanpa berpikir panjang.
Ichijou-san buru-buru menggeleng panik.
“Jangan bilang seperti itu seolah aku tukang makan saja.”
Meskipun sebenarnya aku merasa itu mungkin benar, aku memilih untuk diam.
“Maaf, maaf. Aku suka ekiben yang isinya daging, yang porsinya besar—seperti gyudon. Tapi yang seafood juga enak. Kalau kamu?”
“Aku tidak terlalu sering makan ekiben, sih. Tapi aku pernah lihat di TV, ada ekiben dengan nasi yang dimasak dengan kaldu, terlihat enak sekali.”
“Kalau begitu, sekalian mampir saja, gimana?”
“Tidak apa-apa. Aku masih mau menunggu.”
“Menunggu? Maksudnya apa?”
“Itu rahasia.”
Setelah mengatakan itu, dia berjalan sedikit di depan, rambut panjangnya tertiup angin, dan tersenyum lembut. Rambutnya yang halus, terawat, menari di udara seperti sutra.
“Ayo cepat jalan.”
Dia menatapku sambil tersenyum malu-malu, seolah sedang mencoba menyembunyikan rasa malunya.
—POV Ichijou Ai—
Sambil menahan rasa malu, aku menoleh ke arah senpai dan tersenyum.
“Aku tidak bisa bilang kalau sebenarnya aku ingin suatu hari nanti bepergian berdua saja dengannya.”
Padahal sampai beberapa waktu lalu aku masih putus asa terhadap masa depan, tapi entah sejak kapan aku mulai membayangkan masa depan dengan dia di sisiku. Hal itu membuatku tertawa kecil.
(Catatan Penulis)
🎉 Selamat untuk reprint kedua! 🎉
Volume 2 dari “Jinsei Gyakuten: Aku yang Dikhianati dan Difitnah, Kini Didekati oleh Gadis Tercantik di Sekolah” akan dicetak ulang lagi!
Tak disangka, hanya sekitar satu minggu setelah pengumuman cetak ulang pertama, kini volume ini kembali dicetak ulang! Jujur, aku sendiri sangat terkejut.
Semua ini berkat dukungan luar biasa dari para pembaca, ilustrator Higeneko-sensei, komikus Ika-guchi Ei-sensei yang mengerjakan adaptasi manga, para editor di Kadokawa Sneaker Bunko dan Comic Newtype, staf koreksi, serta tim KakuYomu.
Terima kasih banyak atas semua dukungan dan komentar hangat dari kalian! 🙏
Chapter 254: Ketidakberuntungan dan Kebahagiaan
— POV Ketua Tachibana —
“Tidak mungkin…”
Dari informasi yang dibawa oleh pengacara, aku mengetahui bahwa Eiji Aono masuk sebagai nominasi penghargaan sastra.
Itu adalah penghargaan bergengsi bagi penulis pendatang baru—penghargaan yang pernah diraih oleh penulis idolaku selama ini.
Dan dia nyaris menjadi pemenang termuda dalam sejarah!?
Tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin!
Bahkan pengacara yang datang menjengukku tampak terkejut melihat reaksiku.
“Tachibana-san, tolong tenang!” katanya.
Aku menepuk meja keras-keras.
Rasa frustrasi membuatku hampir membenturkan kepala pada sekat kaca pembatas ruang kunjungan, sampai akhirnya aku ditahan oleh sipir.
“Sudah, hentikan!”
Namun aku tidak bisa diam begitu saja.
Bahkan setelah ditangkap pun, aku masih harus menelan penghinaan sebesar ini…
Aku selalu memimpikan hal itu—memenangkan penghargaan tersebut, menjadi penulis besar, dan disorot oleh media. Berkali-kali aku membayangkannya.
Tapi sekarang, dialah yang sedang menaiki tangga menuju posisi itu.
Melihat dampak sosial yang telah ditimbulkannya, kemungkinan besar Eiji Aono adalah kandidat terkuat untuk menang.
Dia melangkah jauh lebih cepat dariku—padahal dulu kami yang menolaknya, namun kini justru terasa seperti…
…dialah yang meninggalkan kami jauh di belakang, memotong semua hubungan dengan kekuatan bakatnya yang luar biasa.
Aku kalah—sebagai manusia, dan sebagai penulis.
Air mataku tak berhenti mengalir.
Kupikir harga diriku sudah hancur di titik ini. Kupikir aku sudah menyentuh dasar.
Ternyata tidak.
Bahkan setelah kehilangan segalanya karena penangkapan ini, masih ada neraka yang lebih dalam menungguku.
Karena sekarang aku tahu—
—Selama dia masih hidup, aku akan terus tersiksa oleh rasa inferioritas.
Saat dia menerbitkan buku baru,
saat karyanya menjadi bestseller,
saat dia menerima penghargaan sastra—
bahkan saat orang asing di kereta membaca bukunya dengan gembira…
setiap kali itu terjadi, aku akan dilanda rasa putus asa yang membuatku ingin mati.
Membayangkan masa depan seperti itu saja membuatku nyaris gila.
Dan suatu hari nanti, dia akan memiliki ketenaran begitu besar hingga namaku tak akan berarti apa-apa lagi baginya.
Namun hidupku tak bisa lepas dari dunia buku.
Meninggalkan itu berarti meninggalkan seluruh hidupku.
Aku tidak bisa melakukannya.
Jadi selama aku hidup, setiap kali aku melakukan hal yang paling kucintai—membaca—aku juga harus merasakan penderitaan.
Apa yang harus kulakukan?
Kini aku akhirnya sadar:
Aku telah berusaha menyingkirkan seorang jenius bernama Eiji Aono, dan sebagai gantinya, aku justru menghancurkan masa depanku sendiri.
Rasa rendah diri ini akan menjadi kutukan yang selalu menempel padaku.
Aku akan hidup di bawah bayang-bayang kutukan itu selamanya.
“Tidak—AAAAAAHHHHHHHHH!!!”
Aku berteriak sekuat tenaga hingga jatuh ke lantai.
— POV Ugaki Ai —
Dalam perjalanan pulang sekolah, seperti biasa, aku sedang minum teh di rumah Senpai.
Ayah masih menjalani rawat inap untuk pemeriksaan lanjutan. Aku sudah beberapa kali menjenguknya, tapi kemarin Ayah berkata,
“Besok tak perlu datang. Tidak ada pemeriksaan apa-apa. Pergilah bersenang-senang dengan Eiji-kun.”
Jadi malam ini aku makan malam di Kitchen Aono.
Aku merasa canggung kalau sendirian di rumah, jadi bisa berbincang sambil makan bersama keluarga Senpai seperti ini rasanya hangat dan menyenangkan.
Ayah benar-benar pengertian—dia pasti ingin aku tidak terlalu memaksakan diri.
Sambil menikmati hamburger steak dengan telur mata sapi, aku mengobrol santai dengan Senpai—tentang film bagus yang baru kami tonton, pelajaran di sekolah, dan kenangan masa kecil.
“Ini, Ai-chan. Coba teh Earl Grey dari toko ini, rasanya enak sekali,”kata ibu Senpai sambil menuangkan teh untukku.
Ketika kami sedang membicarakan kostum Halloween masa kecil Senpai, ibunya berkata,
“Oh, aku masih punya fotonya di ponsel. Mau kukirim?”
Senpai buru-buru mencoba menghentikannya, tapi mereka malah bercanda dan saling kejar-kejaran kecil.
Melihat pemandangan itu dari jauh, aku tersenyum sambil memotong sepotong hamburgerku yang dilumuri saus demi-glace.
Akhirnya, sepertinya Senpai kalah.
Aku pun melihat foto dirinya saat kecil—berumur sekitar lima tahun—berpakaian drakula kecil yang sangat menggemaskan.
Tanpa sadar aku bergumam, “Lucunya…”
Lalu segera menyimpan foto itu ke ponselku sebelum Senpai sempat kembali.
Begitu dia kembali, dia langsung panik.
“Kamu sudah lihat, ya?” katanya cemas.
Melihat ekspresinya yang gugup malah membuatku semakin merasa dia menggemaskan.
Sambil berpikir ‘Andai nanti aku bisa membangun keluarga sehangat ini…’ aku pun tersenyum manis.
Wajah Senpai memerah padam hingga akhirnya dia terjatuh ke lantai karena malu.
Chapter 255 – Kencan Pertama (?) Endou dan yang Lain
―POV Endou―
Kondou dan teman-temannya sudah ditangkap, dan kudengar ayahnya terseret dalam skandal korupsi besar yang melibatkan bahkan perdana menteri.
Perusahaan keluarga mereka juga sudah bangkrut.
Yang tersisa dari dirinya mungkin hanya bakat sepak bolanya, tapi dengan skandal sebesar ini, bisa dibilang dia sudah terhapus dari masyarakat.
“Apakah ini… balas dendam?”
Awalnya kupikir aku hanya ingin menegakkan keadilan atas perundungan yang dilakukan terhadap Aono.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin ada perasaan pribadiku yang ikut memengaruhi, terutama soal Eri.
Menyadari hal itu sedikit menakutkan.
Namun, dari masa-masa terpuruk dan menyedihkan saat aku menjadi hikikomori (pengurung diri), tanpa kusadari kini aku telah berdiri di tempat yang penuh cahaya.
“Kazuki, maaf sudah membuatmu nunggu!”
Hari ini adalah kencan pertama kami sebagai pasangan.
Yumi benar-benar mempersiapkan diri dengan sangat serius; aku bisa langsung tahu hanya dengan sekali lihat.
Aku terpana sampai tak bisa berkata apa-apa, dan Yumi tersenyum kecut.
“Sudah dandan secantik ini, tapi Kazuki sama sekali nggak bilang apa-apa?”
Ucapan itu membuat jantungku berdebar.
“Maaf… aku cuma… terpesona aja,” jawabku jujur.
Dulu, di masa kelam itu, aku selalu berbohong dan menahan perasaan sebenarnya.
Tapi sekarang, aku bisa berbicara apa adanya.
Kalau dulu aku sejujur ini, mungkin aku dan Yumi sudah berdamai jauh lebih cepat.
Pikiran itu membuat dadaku terasa sedikit perih.
“Eh… aku nggak nyangka kamu bisa ngomong sejujur itu… makasih.”Wajah Yumi memerah dan tubuhnya sedikit bergetar.
Melihat reaksinya, aku baru sadar betapa gombalnya kata-kataku barusan, dan gantian aku yang malu.
“U-uh… iya, ayo kita jalan,” kataku gugup.
Begitulah, kencan pertama kami yang manis dan canggung pun dimulai.
***
Hari ini kami memutuskan untuk menonton film.
Saat aku masih mengurung diri, menonton film adalah satu-satunya hiburan yang kumiliki, jadi aku cukup tahu banyak.
Dulu aku bahkan jadi dekat dengan Aono karena sering berbagi obrolan soal film dan novel.
Dia selalu menonton film yang kusarankan.
Kali ini aku mengajak Yumi menonton penayangan ulang film “Bajrangi Bhaijaan” (Bajrangi dan Gadis Kecil yang Tersesat).
Aku sudah pernah menontonnya lewat layanan streaming, tapi kali ini aku ingin menontonnya langsung di bioskop—dan aku ingin Yumi ikut.
Sempat ragu juga, mengajak seseorang yang baru pertama kali menonton film ke film India.
Tapi Yumi malah bilang dengan semangat,
“Eh, itu film yang menurut Kazuki bagus kan!? Aku mau nonton juga! Lagian, kencan itu kan tentang menikmati hal yang disukai pasangan.”
Film ini tergolong singkat untuk ukuran film India—sekitar dua setengah jam—jadi aku berharap dia menikmatinya.
Ceritanya sederhana:
Seorang pemuda India yang jujur menemukan seorang gadis kecil yang tersesat.
Gadis itu tidak bisa berbicara, bahkan tidak bisa menyebutkan namanya atau dari mana asalnya.
Saat pemuda itu mencoba menolongnya, ia mengetahui bahwa gadis itu berasal dari Pakistan, negara yang sedang bermusuhan dengan India.
Namun, sang pemuda tetap bertekad mengantarnya pulang ke ibunya.
Film ini menampilkan pemandangan alam Asia Selatan yang megah, dan menggambarkan realitas pahit kehidupan, tapi di saat yang sama juga menyoroti kebaikan hati manusia yang mampu menembus batas.
Ketika cerita memasuki bagian tengah, banyak rintangan yang harus dihadapi oleh sang tokoh utama.
(Yumi… menikmati filmnya nggak, ya?)
Aku menoleh sedikit ke samping, dan melihat Yumi menangis terisak, menahan air mata besar dengan saputangan di tangannya.
Aku hampir ikut menangis karenanya.
Mungkin karena gugup, kami tak sengaja beradu pandang, dan tangan kami bersentuhan.
Yumi menatapku, seolah berbicara lewat matanya:
“Boleh… aku pegang tanganmu sebentar?”
Tanpa suara, aku mengangguk.
Tangannya yang hangat perlahan menggenggam tanganku.
Dan selama sisa film itu diputar, tangan kami tak pernah terlepas satu sama lain.
Chapter 256 – Penyesalan Yumi
— POV Yumi —
Hari ini, aku berkencan dengan Kazuki.
Kami sedang menonton film India yang dia rekomendasikan.
Karena Kazuki itu pintar, aku sempat khawatir filmnya akan sulit dimengerti. Apalagi aku belum pernah menonton film India sebelumnya… Biasanya aku hanya menonton film populer atau anime, jadi belum pernah menonton film “serius” seperti ini.
Katanya film India itu suka tiba-tiba ada adegan menari, kan?
Dan biasanya durasinya panjang sekali.
Tapi, film ini katanya hanya dua setengah jam. Aku tahu belakangan ini film-film Hollywood juga makin panjang, jadi aku agak kaget karena ternyata tidak selama yang kukira.
Begitu film dimulai, aku langsung terpesona oleh keindahan alam yang terpampang di layar.
Selama ini aku hanya mengenal India dari bayangan tentang kari, tapi ternyata mereka punya pemandangan yang begitu indah…
Dari pemandangan itu, aku langsung larut dalam ceritanya.
Tokoh utama yang terus bersikap baik tanpa memikirkan dirinya sendiri tampak begitu bersinar.
Waktu itu, aku sebenarnya harus bagaimana ya? Mungkin aku memang salah. Aku menyembunyikan perasaanku dan malah mendukung hubungan antara Kazuki dan Eri. Tapi, di sisi lain, aku juga tidak mau mundur karena ingin menjaga hubungan kami.
Setelah Eri mengalami hal itu, aku berpikir bahwa akulah satu-satunya yang bisa menopang Kazuki yang hancur. Aku terlalu percaya diri.
Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia butuhkan, tapi aku dengan gegabah masuk ke dalam hatinya tanpa izin.
Padahal, mungkin waktu itu dia hanya butuh waktu. Tapi aku tidak bisa benar-benar mempercayainya.
Melihat Kazuki yang menutup diri dan bahkan tidak ikut ujian masuk universitas membuatku panik, padahal seharusnya aku justru berada di sisinya untuk menenangkannya.
(“Waktu itu aku lemah. Karena lemah, aku jadi terburu-buru.”)
Justru karena itu, keadaan sekarang terasa begitu membahagiakan bagiku.
Seharusnya dulu aku datang lebih cepat untuk menemuinya. Aku yakin dia akan menerimaku.
Tapi karena pernah ditolak waktu itu, aku jadi takut dan tidak bisa melangkah maju lagi.
Saat dia paling membutuhkan dukungan, aku malah membiarkannya sendirian.
Kebaikan yang kulakukan waktu itu… mungkin hanya kepuasan diri semata.
Karena itulah…
Aku ingin menghargai setiap detik yang kumiliki sekarang.
Ada banyak penyesalan tentang Kazuki. Tapi semuanya sudah tidak bisa diulang.
Kalau begitu, satu-satunya cara untuk menebusnya adalah terus melangkah maju bersama dan menjadi bahagia.
Dengan sedikit keberanian, aku menyentuh tangannya pelan. Itu tanda bahwa aku ingin menggenggam tangannya.
Dia menatapku dengan wajah heran.
Aku menatap balik dan memintanya lewat tatapan mata: “Genggam tanganku.”
Dia mengerti maksudku, dan dengan lembut menggenggam tanganku.
Hubungan baru yang selama ini kuinginkan… akhirnya dimulai.
Chapter 257 – Masa Depan dan Kehidupan Sehari-hari Endou
Selama film berlangsung, tangan kami tetap saling menggenggam.
Aku tidak ingin melepaskan tangan ini. Tidak akan pernah lagi…
Dengan tangan kecil itu, Yumi berusaha menarikku keluar dari neraka.
Meskipun dulu aku pernah menolaknya, dia tetap mengulurkan tangan untukku.
Setelah balas dendam itu berakhir, apa sebenarnya yang ingin kulakukan?
Mungkin saat itu aku tidak menemukan apa pun — hanya membiarkan waktu berlalu seperti orang mati yang masih bernafas.
Karena itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa setelah semua itu, akan datang saat seindah ini.
Semua ini berkat Yumi.
"Aku ingin membuat Yumi bahagia."
Aku berbisik pelan, hampir tak terdengar, membiarkan kata-kata itu larut di udara.
Film pun mulai mencapai klimaksnya, dan aku semakin hanyut dalam emosi hingga air mata tak terbendung.
Sekarang, aku ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Meski aku sempat tertinggal satu tahun, nilainya cukup baik.
Guru pembimbingku pernah berkata padaku:
“Mungkin bagi Endou, satu tahun itu terasa seperti perbedaan besar.
Tapi bagi kami orang dewasa, itu bukan apa-apa.
Tak akan menjadi penghalang untuk masuk universitas atau mencari kerja.
Jadi nikmatilah masa SMA-mu, dan ingat—tidak ada kata terlambat untuk memulai.”
Setelah mendengar itu, aku memutuskan untuk bergabung dengan klub di sekolah.
Orang tuaku tampak sangat senang karena aku akhirnya kembali belajar.
Mereka bilang aku bebas menentukan jalan setelah lulus SMA.
Kalau ingin kuliah, mereka akan mendukungku.
Kalau suka belajar, aku boleh melanjutkan setinggi yang kuinginkan.
Mereka bilang akan selalu mendukung apa pun pilihanku.
Bahkan mereka juga bilang, bekerja setelah lulus pun bukan hal yang buruk.
Perlahan, aku mulai merasa bahwa masa depanku telah kembali ke dalam genggamanku sendiri.
Film pun berakhir, dan layar menampilkan end roll.
***
“Filmnya benar-benar bagus! Aku nggak tahu sudah berapa kali nangis tadi. Gambarnya juga indah banget, dan tokoh utamanya… luar biasa baik hati.”
Yumi mengoceh penuh semangat, menyampaikan kesannya dengan wajah berseri.
Melihatnya begitu antusias membuatku tersenyum lega.
Senang rasanya mengetahui orang lain juga menyukai sesuatu yang aku sukai.
Aku dulu juga merasa seperti itu waktu menonton film bersama Aono, tapi kali ini lebih spesial—karena kami menontonnya bersama di bioskop.
“Benar kan? Itu salah satu film terbaik yang kutonton waktu masa-masa aku mengurung diri di rumah,” kataku sambil sedikit bercanda.
Yumi terkejut sebentar, lalu tertawa kecil.
“Berapa banyak sih film yang kamu tonton waktu itu? Pasti begadang tiap malam ya, dasar!”
Tebakannya tepat. Aku hanya bisa tertawa kecil sambil mengelak, walau jelas ketahuan.
“Eh, Yumi?”
“Hmm?”
“Nanti kalau aku sudah masuk universitas, dan semuanya sudah agak tenang…boleh nggak kamu tunjukkan kampusmu padaku?”
Itu mungkin terdengar seperti permintaan kecil, tapi bagiku itu langkah besar.
Langkah menuju masa depan—masa depan yang ingin kulalui bersama Yumi.
Yumi menatapku, dan matanya mulai berkaca-kaca.
Lalu dia mengangguk sambil tersenyum, “Tentu saja.”
“Kalau begitu, setelah ini kita rayakan di tempat biasa ya! Kentang goreng super besar dan pesta burger dobel!”
Dia tertawa lepas seperti dulu, dan aku ikut tertawa bersamanya.
Saat itu, aku benar-benar merasa bahwa keseharianku—dan juga masa depanku—telah kembali ke tanganku sendiri.
Chapter 258 – Ichijou Ai Sebelum Bertemu Eiji
Note: Ini adalah kisah Ai sebelum bertemu dengan Eiji.
— 14 Agustus ・ POV Ichijou Ai —
Hari ini aku datang berziarah ke makam ibu.
Akhirnya, tahun ini pun aku datang sendirian lagi.
“Ojou-sama, apakah Anda yakin ingin pergi sendiri?”
Pelayan keluarga menatapku dengan wajah khawatir.
Aku menjawab dengan lembut, “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan Ibu dengan tenang.”
Dia tampak sangat sedih mendengarnya. Aku tahu aku membuatnya khawatir, dan merasa bersalah karenanya.
Tapi… aku tidak bisa memaksakan diri untuk tersenyum hari ini.
Entah kenapa, aku merasa aku tidak akan pernah bisa menunjukkan senyum lagi pada Ibu.
Setiap kali datang ke tempat ini, aku selalu sendiri.
Setiap kali ingin mengajak Ayah, beliau selalu menolak.
Keluarga yang dulu begitu hangat dan bahagia, hancur pada hari kecelakaan itu.
Ibu meninggal karena melindungiku.
Sering kali aku berpikir — mungkin kalau yang mati waktu itu aku, bukan Ibu, Ayah dan Ibu masih akan hidup bahagia bersama.
Aku terus berusaha meyakinkan diri bahwa aku tidak bersalah.
Namun setiap kali teringat wajah Ibu di saat-saat terakhirnya, juga hinaan dan berita kejam yang muncul setelah itu, rasa bersalah itu tak pernah mau hilang.
Pada bulan Maret lalu, aku masuk SMA dan datang sendiri untuk memberi tahu Ibu.
Sebenarnya itu kabar bahagia, tapi aku merasa malu karena seolah melarikan diri dari sekolah swasta tempatku dulu.
Aku tidak bisa tersenyum ketika menyampaikan kabar itu.
Dan hari ini pun, aku akan kembali meminta maaf pada Ibu —karena tidak berhasil membawa Ayah bersamaku.
Aku mulai membenci acara Obon ini.
Kata orang, ini adalah waktu untuk menghormati leluhur dan berterima kasih atas kehidupan yang kita miliki sekarang.
Tapi bagiku, ini hanya membuatku semakin sadar bahwa aku benar-benar sendirian di dunia ini.
Setiap tahun, perasaan bersalah itu kembali menusuk — bahwa karena diriku, Ibu meninggal dunia.
Aku berpikir, mungkin ini adalah hukuman.
Hidup dalam kesepian dan memikul rasa bersalah yang tak akan pernah hilang—itulah takdirku.
Seperti biasanya, aku membersihkan nisan Ibu dengan gerakan mekanis, melaporkannya tentang kehidupanku, dan meminta maaf.
Semuanya terasa seperti ritual penebusan dosa yang terus kujalani selama bertahun-tahun.
“Kamu harus… menjadi bahagia, ya…”
Aku tidak bisa memenuhi harapan terakhir Ibu itu.
Sepertinya waktu dalam hidupku sudah berhenti sejak saat itu.
Meski aku pintar di sekolah, meski banyak laki-laki mencoba mendekatiku, aku merasa seperti sudah mati meski masih hidup.
Mengetahui bahwa Ibu meninggal demi seseorang sepertiku… membuat hatiku hancur.
“Aku sudah lelah…”
Kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku —
kata-kata yang seharusnya tidak pernah kuucapkan di depan Ibu.
Begitu aku menyadarinya, penyesalan langsung menghantam hatiku.
Itu adalah ucapan yang seolah menolak pengorbanan Ibu yang telah menyelamatkanku.
“Maafkan aku…”
Aku berbisik, lalu berlari menjauh dari sana seolah melarikan diri.
Dan seolah langit pun menghukumku, hujan deras tiba-tiba turun, membasahi seluruh tubuhku.
Chapter 259 – Spesial Musim Panas: “Ichijou Ai yang Tak Sengaja Menonton Film Horor yang Tidak Disukainya” (Cerita IF / alternatif)
"Selamat malam."
"Oh, Ai-chan, kau datang ya. Meja di depan sedang penuh, tapi ruang istirahat kosong, jadi gunakan saja itu. Hei, Eiji, Ai-chan datang nih!"
Aku sedang membantu di toko ketika Ichijou-san datang.
Kalau tidak salah, hari ini dia berjanji menonton film bersama Hayashi-san, jadi wajar kalau kali ini mereka pulang terpisah. Dan memang, kalau mereka menonton di bioskop dekat stasiun sepulang sekolah, jam segini pas waktu dia tiba di sini.
"Permisi."
Ichijou-san menatapku dengan wajah sedikit malu. Aku heran—kenapa reaksinya seperti itu?
"Ada apa?"
Aku meminta sedikit waktu pada kakakku dan ibu, tapi mereka justru berkata, “Sekalian makan malam bersama saja.” Mungkin mereka tahu ini pembicaraan penting dan ingin memberi kami ruang.
Mungkinkah dia datang karena ingin membicarakan sesuatu yang serius? Mungkin itu sebabnya dia mampir ke sini setelah nonton. Aku agak gugup saat duduk bersamanya di ruang istirahat.
Lalu, dengan wajah sungguh-sungguh, dia berkata pelan:
“Jangan tertawa ya.”
"Hah?" Aku tidak mengerti maksudnya, jadi aku balik bertanya. Dengan wajah semakin merah, dia bergumam pelan:
“Aku menonton film horor bersama Hayashi-san, tapi ternyata aku ketakutan... entah kenapa, kakiku malah membawaku ke sini.”
Aku tidak bisa menahan tawa mendengar pengakuan menggemaskan itu.
“Padahal aku bilang jangan tertawa…”
Dia merengut sedikit, protes dengan nada kesal. Tapi ekspresinya itu begitu berbeda dari dirinya yang biasanya tenang dan sempurna, jadi malah terasa lucu.
"Maaf, maaf. Kalau begitu, makan malam di sini saja, ya? Nanti aku antar pulang."
“Ah, t-terima kasih.”
Dia menunduk malu-malu, pipinya merah padam. Rupanya dia tidak enak menolak ajakan nonton Hayashi-san, jadi akhirnya terpaksa menonton film horor. Sekarang aku sadar, memang tidak pernah sekalipun dia membahas film horor saat ngobrol denganku.
“Mau makan apa? Menu spesial hari ini gratin seafood.”
Menu hangat yang terlintas di pikiranku pertama kali adalah gratin keju panas. Seketika, dia menimpali dengan sedikit semangat:
“Ah, aku mau gratin!”
“Baik, tunggu sebentar.”
Saat aku hendak menyampaikan pesanan, Ichijou-san tiba-tiba memanggil, “Senpai!” Aku menoleh, dan dia berkata dengan ekspresi cemas:
“Aku... akan sangat senang kalau Senpai cepat kembali. Maaf ya, padahal Senpai sedang sibuk membantu toko, tapi aku malah manja begini.”
Aku hanya mengangguk dan menutup pintu ruang istirahat.
Reaksi itu... terlalu menggemaskan.
***
Setelah makan gratin dan menikmati teh hangat sambil berbincang santai, aku mengantarnya pulang sebelum terlalu malam.
Sejak tadi, dia tampak merasa tidak enak.
“Sebenarnya aku bisa saja dijemput pakai mobil...” katanya dengan nada menyesal.
“Kau tak perlu terlalu memikirkan itu.”
Aku tersenyum. Ibu juga terlihat senang, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Malah kalau aku membiarkannya pulang sendiri, mungkin ibuku yang akan marah.
“Terima kasih... Tapi, saat merasa takut seperti tadi, aku cuma ingin melihat wajah Senpai.”
Aku hampir kena serangan jantung mendadak. Untung masih bisa menahan diri agar tidak terlihat panik.
“Hmm... kau kira bisa tidur malam ini?”
Aku sengaja mengalihkan topik. Tapi dia hanya menggeleng pelan dengan wajah lesu.
“Kalau begitu... gimana kalau kita teleponan sampai kau mengantuk?”
Aku memberanikan diri berkata begitu, dan dia langsung memancarkan senyum lebar yang jarang sekali kulihat.
“B-benarkah!? Boleh!?”
“Tentu saja.”
Kami pun berjalan pulang pelan-pelan, seolah ingin memperpanjang waktu bersama sedikit lebih lama.
Chapter 260 – Ichijou Ai Mencoba Menonton Film Horor
“Benarkah kau yakin, Ai-san? Bukankah kau tidak suka film horor?”
Aku memastikan sekali lagi di depan loket bioskop.
Kalau tidak salah, waktu dulu dia menonton film horor bersama Hayashi-san, hasilnya benar-benar kacau—dia ketakutan setengah mati.
“Ta-tak apa-apa kok. Ini film horor pertama dari sutradara favoritku… jadi aku akan berusaha tahan. Lagi pula…”
Ai-san berkata dengan suara gemetar, matanya mulai berkaca-kaca. Lucu sih, tapi reaksinya benar-benar bikin khawatir.
“Lagi pula… apa?”
“Kalau bersama Senpai, aku rasa aku bisa melewatinya.”
Kalimat itu saja sudah cukup membuatku tak bisa menolak lagi.
Memang, aku juga penasaran dengan film ini. Ceritanya diadaptasi dari novel web yang terkenal karena deskripsi horornya yang sangat detail dan realistis hingga menimbulkan rasa takut mendalam. Novel versi cetaknya menjadi mega-hit, dan kini filmnya disutradarai oleh sutradara muda berbakat yang untuk pertama kalinya mencoba genre horor. Tak heran kalau dunia perfilman ramai membicarakannya.
Jadi, karena dia penggemar berat sutradara itu tapi tidak berani menonton sendiri, dia memintaku untuk menemaninya. Begitulah, akhirnya ini jadi semacam “kencan nonton film horor.”
Tapi jujur saja, film horor di bioskop jauh lebih menakutkan daripada yang ditonton di televisi—suara, pencahayaan, semuanya terasa nyata. Saat kami melangkah ke dalam teater, aku sempat benar-benar khawatir apakah dia akan baik-baik saja.
***
“...Hhh!”
Di sebelahku, Ai-san hanya bisa mengeluarkan suara kecil menahan jeritan.
Jujur saja, filmnya memang jauh lebih menakutkan dari yang kukira. Karena sang sutradara terkenal dengan detail visualnya, setiap adegan terasa nyata—bahkan lebih mencekam daripada versi novelnya.
Jenis horor seperti ini semakin lama semakin menekan psikologis penonton, jadi rasa takutnya meningkat sedikit demi sedikit.
Awalnya Ai-san masih tampak tenang, tapi di pertengahan film, tangannya mulai menggenggam lenganku erat-erat dan tak mau lepas.
Saat cerita makin menegangkan, dia akhirnya menutup mata rapat-rapat dan menyembunyikan wajahnya di lenganku sambil gemetar. Melihat gadis yang biasanya begitu tenang dan anggun berubah seperti ini membuatku kaget sekaligus… ya, terus terang, terasa manis juga.
Walau ketakutan, dia tetap berusaha menahan diri agar tidak menjerit keras dan mengganggu penonton lain.
Aku memberi isyarat dengan tangan, menanyakan apakah dia mau keluar dulu. Tapi dia dengan cepat menggeleng kuat-kuat, seolah berkata “aku akan bertahan.”
Aku hanya bisa menatapnya dengan rasa sayang dan kagum… sampai akhirnya film pun selesai.
Begitu lampu bioskop menyala setelah kredit akhir, aku menepuk bahunya pelan untuk memberi tanda kalau semua sudah aman.
“Sudah selesai, kok. Sekarang boleh buka mata.”
Mendengar itu, Ai-san perlahan membuka matanya. Ia menatap ke sekeliling, memastikan bahwa suasananya sudah tenang, lalu menghela napas lega. Seketika wajahnya memerah.
“Tolong… lupakan yang tadi, ya.”
Dengan mata masih berkaca-kaca dan wajah tertunduk, dia memohon begitu. Tapi justru pemandangan itu menancap kuat di pikiranku—tidak mungkin bisa kulupakan.
“…Apa aku bisa tidur sendirian malam ini, ya…”
Bisikan kecil itu terdengar di sampingku—dan jujur saja, kedengarannya terlalu imut untuk tidak membuat jantungku berdebar.



Post a Comment