Penerjemah: Kryma
Proffreader: Kryma
Bab 10
Talhand dari Puncak Agung yang Teguh
'Talhand dari Puncak Agung yang Teguh' adalah anak ke-37 dari 51 bersaudara.
Ia terlahir di keluarga Suku Tambang (Dwarf) yang biasa dan tumbuh besar dikelilingi oleh banyak saudara-saudari.
Tentu saja, 51 anak itu tidak dilahirkan oleh satu wanita. Ini adalah fakta yang tidak banyak diketahui, tetapi di pemukiman Suku Tambang (Dwarf), anak-anak dari generasi yang sama akan dikumpulkan menjadi satu.
Bisa dibilang ini seperti sebuah sekolah, tetapi bahkan setelah mereka keluar dari kelompok itu, mereka akan tetap dianggap sebagai saudara sampai mati.
Dengan membiarkan anak-anak dari generasi yang sama hidup sebagai saudara, mereka bertujuan untuk menghilangkan kesadaran akan perbedaan kaya dan miskin antar keluarga, dan agar hubungan mereka menjadi lancar saat kelak memegang posisi untuk memimpin pemukiman.
Di antara para saudara itu, akan ada yang menjadi pemimpin, ada yang akan mendukungnya, dan ada yang akan menjadi istri.
Tentu saja, ini hanyalah tradisi di dalam lingkungan istimewa seperti pemukiman Suku Tambang (Dwarf).
Para Dwarf yang keluar dari pemukiman tidak memiliki adat seperti ini.
Bagaimanapun juga, Talhand tumbuh besar bersama puluhan saudaranya.
Ia adalah anak yang biasa. Tertarik pada tanah dan besi, menyukai aroma sake, dan mengagumi para pandai besi serta arsitek.
Satu-satunya hal yang sedikit berbeda darinya mungkin hanyalah ia lebih menyukai laki-laki daripada perempuan.
Nah, di antara para saudaranya itu, ada satu orang yang tidak biasa.
Adiknya, anak ke-38 dari 51 bersaudara.
Namanya adalah 'Godbald dari Puncak Jaya yang Megah'.
Godbald memiliki bakat. Begitu anak-anak Suku Tambang (Dwarf) mulai mengerti, mereka akan langsung diajari hal-hal seperti menempa, kerajinan tangan, dan sihir tanah sederhana, tetapi di antara semuanya, Godbald jauh melampaui yang lain.
Saat memegang palu, ia bisa menghasilkan baja yang kuat layaknya orang dewasa; saat membuat kerajinan tangan, ia bisa menciptakan hiasan yang begitu indah hingga membuat mata tak percaya; dan saat melihat sebuah bangunan, ia bisa langsung memperbaiki bagian yang rusak dalam sekejap.
Umur Suku Tambang (Dwarf) lebih panjang daripada ras manusia.
Saat Godbald mulai menunjukkan bakatnya, para tetua yang pernah mengalami Perang Laplace masih hidup.
Melihat Godbald, mereka berkata, "Dia adalah jelmaan dari Dewa Pertambangan terdahulu yang gugur dalam Perang Laplace."
Berkat perkataan para tetua, Godbald mulai diperlakukan secara istimewa sebagai kandidat Dewa Pertambangan berikutnya.
Anak-anak yang lain pun dipaksa untuk menghormatinya sebagai calon pemimpin mereka di masa depan.
Sejak saat itulah Talhand mulai berubah.
Ia kehilangan minat pada menempa dan kerajinan tangan. Karena ia sadar, sek teliti apa pun ia membuatnya, karyanya akan selalu terlihat lebih buruk daripada apa yang dibuat Godbald sambil lalu. Bukannya ada yang membanding-bandingkan. Lagi pula, para orang dewasa hanya melihat hasil karya Godbald, jadi tidak ada yang bisa dibandingkan.
Lalu, apakah Talhand ingin menjadi yang nomor satu?
Bukan. Ia tidak ingin menjadi nomor satu.
Lalu, apakah ia tidak suka menghormati Godbald?
Itu juga bukan. Talhand dan Godbald berhubungan baik.
Saat mereka menjadi saudara, orang pertama yang akrab dengannya adalah Godbald.
Cinta pertama Talhand juga adalah Godbald. Fakta bahwa Godbald akan menjadi Dewa Pertambangan adalah hal yang membahagiakan baginya.
Singkatnya, Talhand ingin bisa berguna bagi Godbald.
Ia ingin menutupi kekurangan Godbald dan menjadi tangan kanannya.
Dan hal yang ditekuni oleh Talhand adalah sihir.
Terutama, ia berusaha keras untuk menguasai Sihir Air dan Sihir Angin, yang dianggap tidak berguna di kalangan Suku Tambang (Dwarf).
Dewa Pertambangan pertama adalah pengguna Sihir Tanah Tingkat Dewa, dan konon ia menciptakan pedang yang luar biasa dari bijih yang ia hasilkan dengan sihirnya. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa saat Dewa Pertambangan menciptakan pedang legendaris itu, ada seorang Elf bertelinga panjang yang ahli dalam Sihir Angin dan Sihir Air di sisinya.
Menempa tidak bisa dilakukan hanya dengan tanah dan api. Untuk memperbesar api, dibutuhkan angin, dan untuk mendinginkan baja, dibutuhkan air. Seharusnya itu adalah fakta yang tidak terbantahkan, tetapi para tetua Suku Tambang (Dwarf) tidak mau memahaminya.
Tradisi, formalitas, para leluhur, Suku Tambang (Dwarf) tidak pandai dalam sihir air dan angin...
Dengan berbagai macam alasan, mereka mencoba menghalangi Talhand untuk menguasai Sihir Air dan Sihir Angin.
Kenyataannya, Talhand sendiri memang jauh lebih mahir dalam Sihir Tanah daripada sihir air atau angin.
Akan tetapi, Godbald berkata.
"Menurutku itu ide yang bagus. Para tetua di pemukiman ini terlalu kolot."
Talhand mendapatkan keberanian dari kata-kata itu, dan semakin menekuni sihir.
Dan begitulah, Talhand mulai terasingkan dari para pria Suku Tambang (Dwarf) pada umumnya.
Saat itu terjadi, bahkan dari antara para saudaranya pun mulai muncul orang-orang yang mengkritik Talhand.
Talhand itu lemah, tidak mau menempa, itu adalah sifat kewanita-wanitaan yang tidak pantas bagi seorang pria Suku Tambang (Dwarf). Sihir itu cukup jika hanya bisa digunakan untuk melunakkan batuan keras, dan bahan untuk menempa seharusnya juga berasal dari alam.
Sambil merasa muak dengan kritik semacam itu, Talhand terus mengasah kemampuannya sedikit demi sedikit.
Semuanya demi Godbald. Setelah ia tumbuh dewasa dan menjadi Dewa Pertambangan, kekuatannya pasti akan dibutuhkan.
Ia percaya akan hal itu.
Bahkan setelah ia dewasa, setelah suara-suara kritik berubah menjadi cemoohan, setelah ia dikucilkan oleh para saudaranya, setelah ia dicap sebagai orang aneh yang paling keras kepala di pemukiman, ia terus memercayainya.
Dan kemudian, hari itu pun tiba.
Hari di mana Godbald akan diangkat menjadi Dewa Pertambangan.
Sesuai dengan legenda, untuk bisa meneruskan gelar Dewa Pertambangan, sang kandidat harus menempa lima buah pedang.
Saat menempa kelima pedang itu, sang kandidat akan dibantu oleh orang-orang paling tepercaya yang ia pilih.
Sang Dewa Pertambangan sendirilah yang akan memilih para eksekutif yang akan mendukung pemukiman Suku Tambang (Dwarf) di masa depan, entah itu istri, sahabat, atau yang lainnya.
Talhand, tentu saja, mengajukan diri.
Ia berkata bahwa ia telah mengasah kemampuannya selama ini demi hari itu.
Akan tetapi, yang mengejutkan, Godbald tidak memilih Talhand. Orang yang ia pilih adalah para pandai besi terbaik di pemukiman saat itu dan kekasihnya... itu masih bisa dimengerti. Tetapi untuk orang terakhir, ia memilih seorang tetua kolot yang selalu menyebut Talhand bodoh.
Talhand memprotes.
Mana bisa hal konyol seperti ini terjadi, aku telah melakukan semua ini demimu, katanya.
Akan tetapi, Godbald berkata.
"Apa kau bisa menempa pedang yang layak?"
Tentu saja, Talhand menjawab.
"Bisa, aku pasti bisa, jadi berikan aku kesempatan."
Godbald, dengan wajah masam mendengar permohonan itu, akhirnya menerima usulannya.
Pertandingan itu pun menjadi duel antara si tetua kolot dan Talhand. Keduanya masing-masing akan menempa satu pedang, dan hasilnya akan diperlombakan.
Selain itu, demi menjaga keadilan, diumumkan juga bahwa siapa pun yang merasa mampu boleh ikut serta dalam pertandingan ini.
Banyak sekali peserta yang berkumpul.
Talhand terperangah.
Meskipun ia telah melatih Sihir Air dan Sihir Angin demi saat ini, ia sendiri hampir tidak pernah berlatih menempa sejak kecil. Jumlah pedang yang pernah ia tempa dengan benar mungkin bisa dihitung dengan jari.
Posisinya terlalu tidak menguntungkan.
"Tunggu, aku ingin menempa pedang sebagai asistenmu."
Permohonan putus asa itu,
"Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa menempa pedang dengan benar sendirian bisa mengerti niatku? Jika tidak mengerti niatku, tentu saja kau tidak akan bisa menjadi asisten."
disangkal dengan kata-kata tersebut.
Ia tidak mengerti. Ia berpikir tidak ada orang lain yang bisa memahami niat Godbald lebih dari dirinya.
Kenapa jadi begini...
Talhand, yang berada di tengah kebingungan, akhirnya menantang pertandingan itu tanpa strategi...
dan kalah.
Talhand yang hancur lebur meninggalkan tempat itu di bawah tatapan dingin semua orang.
Dan di kemudian hari, sambil memandangi upacara pengangkatan Dewa Pertambangan dari kejauhan, ia meninggalkan pemukiman.
Sejak saat itu, Talhand berkelana dari satu tempat ke tempat lain sebagai seorang petualang.
Pada dasarnya, ia selalu sendirian.
Salah satu alasannya adalah karena ia tidak bisa lagi begitu saja memercayai orang setelah insiden dengan Godbald.
Alasan lainnya adalah karena ia telah hidup dikucilkan untuk waktu yang lama, sehingga ia tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain.
Fakta bahwa ia seorang homoseksual juga menjadi salah satu rasa mindernya.
Meskipun kemampuan menempanya berada di level terendah di antara Suku Tambang (Dwarf), karena ia telah mengasah kemampuannya yang lain untuk waktu yang lama, sebagai seorang penyihir ia cukup mumpuni.
Hanya sebatas 'cukup mumpuni'. Karena itu, ia hanya bisa bertarung dengan gaya di antara prajurit dan penyihir sambil mengenakan zirah berat. Akan tetapi, meskipun begitu, tidaklah sulit bagi Talhand untuk bertahan hidup sebagai petualang solo.
Sekitar waktu Talhand naik ke Peringkat B, ia bertemu dengan seseorang.
Elinalise Dragonroad. Awalnya, ia mengincar tubuh Talhand.
Mungkin ada juga niat di benaknya, 'Mungkin sesekali aku akan 'memangsa' pemuda Dwarf'. Akan tetapi, karena Talhand adalah seorang homoseksual, ia tidak tertarik pada Elinalise. Sebanyak apa pun ia dirayu, ia tidak pernah tergoda.
Namun karena Elinalise terus mengganggunya, akhirnya ia pun mengungkapkan bahwa ia seorang homoseksual.
Elinalise memasang wajah bengong, lalu tertawa terbahak-bahak.
Talhand merasa tidak senang dengan tawa itu.
Akan tetapi, ia menahannya, berpikir bahwa dengan begini ia akhirnya bisa lepas dari si Elf bertelinga panjang yang genit ini.
Namun, Elinalise tidak menjauh dari Talhand. Ia tidak tahu alasannya.
Mungkin Elinalise berpikir, jika bersama Talhand, tidak akan ada masalah (asmara) yang timbul.
Setelah itu, beberapa kali Talhand dan Elinalise membentuk party sementara.
Elinalise, seorang prajurit yang hebat, memiliki sinergi yang baik dengan Talhand, seorang penyihir yang mengenakan zirah berat.
Meskipun ini adalah party dengan orang yang ia anggap menyebalkan, anehnya, ia tidak merasa tidak nyaman.
Mungkin karena Elinalise adalah orang yang tidak terikat oleh akal sehat, tradisi, adat istiadat, ataupun aturan.
Meskipun begitu, tidak pernah ada pembicaraan untuk membentuk party permanen.
Akan tetapi, dengan munculnya seorang anak laki-laki, alurnya sedikit berubah.
Paul Greyrat.
Ia mengajak para anggota yang saat itu terpencar—Elinalise, Talhand, Gisu, Ghislaine—dan membentuk sebuah party.
Itulah 'Taring Serigala Hitam'.
Pembentukannya sendiri diwarnai sedikit keributan, tapi yah, kita kesampingkan saja itu.
Semua anggota 'Taring Serigala Hitam' adalah orang-orang yang telah dikucilkan dari dunia mereka masing-masing.
Meskipun Talhand adalah satu-satunya homoseksual di sana, semua anggota party-nya hidup dengan setia pada hasrat mereka masing-masing.
Terutama Paul, ia sangat orisinal dan bebas. Bahkan setelah tahu Talhand adalah homoseksual, ia hanya menertawakannya dan berkata, "Aku ambil perempuannya, Elinalise ambil laki-lakinya, dan kau ambil saja sisanya. Jadi tidak ada yang sia-sia, 'kan."
Paul adalah anak nakal yang mudah ditebak, dan kelakuannya selalu membuat orang ingin menghela napas.
Tetapi, tidak pernah sekalipun tindakannya itu terkekang oleh apa pun.
Tindakannya juga tidak lahir dari akal sehat. Bahkan untuk hal-hal yang dianggap buruk oleh masyarakat, Paul akan mengikuti kemauannya sendiri dan meludah sambil berkata, "Persetan."
Paul dengan tertawa melakukan hal-hal yang bagi Talhand bagaikan membuka matanya akan dunia baru.
Tindakan Paul memang membuat nama 'Taring Serigala Hitam' dan para anggotanya semakin buruk, tetapi semua itu terasa menyenangkan.
Setiap kali Paul melakukan sesuatu, Talhand akan tertawa terbahak-bahak "Gahaha," khas seorang Dwarf.
Perasaannya pada Paul dan yang lain sangat mirip dengan cinta, tetapi sedikit berbeda.
Kemungkinan besar, itu adalah kepercayaan. Bagi Talhand, mereka adalah kawan pertama yang bisa ia percaya seumur hidupnya.
Akan tetapi, kepercayaan itu hancur.
Hancur karena Zenith masuk ke dalam party.
Paul, yang selama ini begitu bebas, mulai mengucapkan hal-hal yang wajar demi disukai oleh Zenith.
Kurasa hal itu memang telah membuat Paul tumbuh sebagai seorang manusia.
Tetapi, pada akhirnya Paul melakukan sebuah kesalahan. Keributan yang Paul timbulkan demi bisa menikahi Zenith meninggalkan luka yang dalam di hati semua orang yang ada di sana. Mungkin jika dilihat dari luar, itu adalah hal yang sepele.
Tetapi Talhand berpikir, aku tidak akan pernah lagi membentuk party.
Setelah itu, setelah berkelana sendirian untuk sementara waktu, insiden lenyapnya Wilayah Fittoa pun terjadi.
Setelah bertemu kembali dengan Elinalise, berkenalan dengan Roxy, dan membentuk party bersama mereka, perasaannya untuk tidak akan pernah lagi membentuk party memang sedikit memudar, tapi...
Bagaimanapun juga, kuatnya perasaannya terhadap pria bernama Paul tetap ada.
Ia bertemu kembali dengan Paul setelah perjalanannya pulang-pergi dari Benua Iblis.
Paul yang ia lihat setelah sekian lama... di sana, tidak ada lagi anak nakal yang Talhand kenal. Seorang pria yang telah menjadi dewasa, menjadi seorang ayah, sedang mati-matian mencari keluarganya. Pria ini telah berubah, telah menjadi dewasa, pikir Talhand.
Ia pertama kali bertemu dengan putra Paul di Benua Begaritt.
Putra dari Paul yang itu. Rudeus Greyrat. Ia sempat mengira anak itu adalah anak manja seperti apa, tetapi ternyata ia adalah anak yang lebih bertanggung jawab dari dugaannya. Meskipun, jika mengingat ia adalah anak dari Paul yang sudah dewasa, hal itu tidaklah aneh.
Paul dan Rudeus.
Entah kenapa, saat melihat mereka, dada Talhand terasa sesak.
Ia tidak tahu alasannya.
Dan kemudian, Paul tewas.
Akhir yang begitu tiba-tiba.
Ia juga terkejut, tetapi melihat Rudeus yang jauh lebih terkejut darinya, ia jadi segan untuk menunjukkannya. Seperti biasa, ia meminum sakenya dengan sikap tenang.
Setelah itu, ia meninggalkan Benua Begaritt, diperkenalkan pada keluarga putra Paul, melihat putra Paul yang itu telah membangun keluarga dan rumahnya sendiri, mengunjungi makam Paul, minum-minum di depannya, lalu berangkat dari Kota Sihir Sharia.
Pada saat itu, sesuatu di dalam diri Talhand telah berakhir.
Sesuatu yang telah berlanjut sejak ia mulai menjadi petualang.
Di tengah rasa hampa, tiba-tiba Talhand berpikir.
Aku akan berlatih menempa.
Ia tidak tahu kenapa ia berpikir begitu. Akan tetapi, Talhand segera pergi ke Kerajaan Asura, dan sambil melanjutkan aktivitasnya sebagai petualang, ia menyewa sebuah bengkel tempa dan terus berlatih. Bahkan saat Gisu ditangkap karena berjudi, kehilangan hampir seluruh hartanya, dan pergi ke Benua Millis untuk mencari uang, ia terus berlatih tanpa henti.
Menempa dengan menggunakan semua sihir yang ia bisa.
Api, tanah, air, angin. Semuanya ia cukupi dengan sihir.
Ia menempa pedang, menempa sarung tangan zirah, menempa perisai, menempa pedang, menempa zirah, menempa helm, dan menempa pedang.
Lalu anehnya, ia mulai mengerti arti dari kata-kata yang pernah diucapkan Godbald padanya dulu.
Ia mulai mengerti hal-hal mendetail yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, seperti ritme napas, waktu, tempo, dan penyesuaian kekuatan.
Peningkatannya sangat cepat.
Faktor terbesarnya adalah karena teknik menempa Godbald telah terpatri di benaknya, dan karena pengalamannya sebagai petualang, ia tahu senjata dan zirah seperti apa yang lebih unggul.
Cara ia menggunakan sihir juga sudah jauh berbeda dibandingkan saat ia masih di pemukiman.
Hari-harinya sebagai petualang telah benar-benar menempa Talhand.
Saat ia terus melanjutkan aktivitasnya, muncullah orang yang mau membeli senjata dan zirahnya.
Kelompok Tentara Bayaran Rude. Karena ia adalah kenalan Rudeus, kepala cabang kelompok itu mau menjadi sponsor Talhand.
Berkat itu, ia bahkan bisa memiliki bengkel tempanya sendiri di salah satu sudut Millision.
Akan tetapi, seperti biasa, Talhand masih tidak mengerti untuk apa ia melakukan semua ini.
Ia tidak mengerti arti dari bermain-main sebagai pandai besi di sela-sela pekerjaannya sebagai petualang.
Ia baru mengerti saat Rudeus datang dari Kota Sihir Sharia bersama seluruh keluarganya.
Putra dari Paul yang itu, sambil berinteraksi dengan keluarga Latreia sebagai pihak yang setara atau bahkan lebih, sedang membesarkan anak-anaknya.
Melihat itu, Talhand sadar. Ia mengerti.
Aku harus kembali ke pemukiman itu. Aku harus menyelesaikan urusan saat itu.
Menempa adalah demi tujuan itu.
★ ★ ★
Setelah menerima bongkahan batu hitam dari Rudeus, Talhand kembali ke bengkel tempanya.
Sejak dulu, ia sudah punya ide dan teori tentang bagaimana menempa jika ia bisa menciptakan batu semacam ini dengan sihir.
Dulu itu hanyalah angan-angan, tetapi sekarang ia sudah cukup berlatih untuk mewujudkannya.
"..."
Pertama, ia menghancurkan bongkahan batu hitam dari Rudeus dengan sihir tanah dan palu.
Ia mencampurnya dengan pasir besi dan memanaskannya di tungku. Karena api tungku biasa tidak akan bisa melelehkannya, ia menggunakan sihir api dan sihir angin untuk menaikkan suhunya setinggi mungkin.
Baik untuk baja inti (shingane) maupun tamahagane (baja permata), ia menggunakan campuran bubuk dari batu Rudeus dan pasir besi.
Meskipun rasionya berbeda, pada dasarnya bahannya sama.
Mungkin ia bisa menciptakan pedang yang lebih dahsyat jika menggunakan sisik Naga Merah atau tulang keras Hydra, tetapi Talhand tidak menggunakannya. Karena jika begitu, tidak akan ada artinya.
Setelah itu, ia mendinginkannya dengan hati-hati, lalu terus menempa dengan kuat tanpa istirahat semalaman, sambil menggunakan energi dan sihirnya sedikit demi sedikit.
Hasilnya, sebilah pedang pun terlahir.
Sebuah pedang kokoh dengan bilah berwarna hitam.
Tidak ada hiasan khusus, tidak juga memiliki efek spesial.
Akan tetapi, Talhand puas dengan pedang itu. Ia membuat sarungnya, membungkusnya dengan kain wol berkualitas tinggi, lalu menyandangnya di punggung.
Ia memasukkan sisa bongkahan batu hitam ke dalam kantung dan berangkat dari Millision.
Tujuannya adalah pemukiman Suku Tambang (Dwarf).
Pemukiman Suku Tambang (Dwarf) yang ia kunjungi untuk pertama kalinya setelah sekian lama itu, sama sekali tidak berubah.
Sebuah desa dari batu yang terbentang di sisi tebing. Dari dalam kota yang dikelilingi tembok batu yang tinggi itu, suara besi ditempa terus menggema tiada henti.
Talhand bisa melewati gerbang tanpa ditanyai macam-macam.
Meskipun Talhand bukan lagi anggota pemukiman, ia juga bukan ras manusia. Penjaga Suku Tambang (Dwarf) tidak begitu ketat sampai harus menginterogasi setiap Dwarf asing yang keluar-masuk.
"..."
Sebuah lubang besar menganga di tebing, dan katrol-katrol terus keluar-masuk tanpa henti.
Para pria yang bertelanjang dada mengangkut batu bara dan bijih besi sambil bercucuran keringat, sementara para wanita memanggul ubi kukus dalam jumlah besar di kedua bahu mereka dan berjalan menuju tempat peristirahatan di depan tambang.
Melihat itu, Talhand merasakan nostalgia. Karena semuanya masih sama, seolah-olah waktu telah berhenti. Jika ada satu hal yang berubah, mungkin hanyalah jumlah orang yang tidak lagi mengenalinya.
Saat ia berjalan, meskipun ada yang menatapnya dengan curiga, hanya sedikit yang menatapnya dengan dingin.
Sebagian besar dari mereka tidak mengenal atau tidak lagi mengingat Talhand.
Tanpa menunjukkan reaksi apa pun, Talhand bergegas menuju rumah kepala suku.
Tempat yang dituju hanya satu.
"...Sudah lama tidak bertemu, 'Puncak Agung yang Teguh'. Ada urusan apa kau kemari?"
Akan tetapi, tentu saja ada juga yang masih mengingatnya. Yang berdiri menghalangi jalan Talhand adalah salah satu dari saudaranya. Pria yang dulu menertawakan Talhand di masa muda dan terpilih sebagai orang kepercayaan Dewa Pertambangan.
"Aku datang untuk bertemu dengan Tuan Dewa Pertambangan."
"Tahu dirilah. Mana mungkin beliau mau bertemu dengan orang sepertimu."
"..."
Mendengar kata-kata itu, Talhand tanpa bicara mengeluarkan benda dari punggungnya.
Saat ia membuka bungkusan kain wol berkualitas tinggi itu dan menghunus pedangnya dari sarung, pria itu menahan napas.
Karena di sana, ada sebilah pedang dengan bilah hitam legam.
Meskipun warnanya hitam legam seolah mampu menyerap cahaya, pedang itu sama sekali tidak memancarkan aura jahat ataupun kesan rendahan. Sebaliknya, justru terasa ada semacam rasa kemurnian dan kebanggaan darinya.
Sebuah keindahan yang membuat merinding.
"Itu...?"
"Aku yang menempa ini."
"Mustahil..."
Bagi Suku Tambang (Dwarf), hasil tempaan pedang adalah segalanya. Seorang Dwarf yang hebat akan menempa pedang yang hebat.
Karena itulah, ia tidak bisa percaya bahwa pedang itu ditempa oleh Talhand yang itu.
"Ini persembahan."
Nama 'Dewa Pertambangan' adalah salah satu gelar bagi pandai besi terhebat di seluruh dunia, dan disebut sebagai kebanggaan Suku Tambang (Dwarf).
Konon, Dewa Pertambangan memiliki kewajiban untuk memeriksa hasil karya para pandai besi yang tersebar di seluruh dunia, saat mereka berhasil menempa sebuah mahakarya.
Tentu saja, jika hasilnya setengah-setengah, seorang penilai ahli dari Suku Tambang (Dwarf) akan menyaring dan menolaknya terlebih dahulu.
Dan pria di hadapannya ini, adalah sang penilai ahli itu.
"..."
Pria itu tidak menyukai Talhand.
Akan tetapi, pedang tidak berbohong. Pedang hitam ini tidak memiliki hiasan, tidak juga menggunakan teknik khusus.
Kemungkinan besar, pedang ini sangat keras. Ia bisa melihat bahwa pedang ini tidak akan pernah patah dalam pertarungan biasa.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah mahakarya. Sebagai seorang Suku Tambang (Dwarf), ia tidak bisa berbohong pada pedang ini.
"Aku izinkan. Pergilah. Talhand dari Puncak Agung yang Teguh."
"Terima kasih. Dotoru dari Baja Api."
Talhand mengingat nama saudaranya yang lama, menundukkan kepala, memasukkan kembali pedangnya ke sarung, membungkusnya dengan kain wol, dan menyandangnya kembali di punggung.
Sampai ia tiba di hadapan Dewa Pertambangan, ia beberapa kali dihentikan dengan cara yang sama.
Akan tetapi, setiap kali ia menunjukkan pedangnya, semua orang memberinya jalan.
'Dewa Pertambangan'—Godbald dari Puncak Jaya yang Megah—tampak sedikit lebih tua dari dalam ingatan Talhand.
Tentu saja. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak Talhand meninggalkan pemukiman ini.
"Kau sudah tua, Talhand."
"Kau juga."
"Kukira kau sudah lama mati di selokan entah di mana."
"Aku juga berniat begitu."
Sapaan yang singkat. Di sisi Godbald, berdiri istri dan orang kepercayaannya.
Melihat kemunculan kembali orang paling aneh di pemukiman, mereka menunjukkan kewaspadaan yang terang-terangan, tetapi di antara Talhand dan Godbald tidak ada ketegangan.
Ini karena Talhand menghadapi Godbald dengan hati yang tenang.
"..."
"..."
Meskipun begitu, ia tidak berniat untuk membicarakan apa pun dengan Godbald.
Ada banyak hal yang bisa dibicarakan. Apa yang ia lihat dan alami di luar pemukiman.
Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kata-kata tidak diperlukan. Talhand, dalam diam, menyodorkan apa yang telah ia bawa pada Godbald.
Godbald pun, juga dalam diam, menghunus pedang itu dari sarungnya dan menatap bilahnya.
"...Hoh."
Begitu melihatnya, seruan kagum keluar dari mulut Godbald.
Pedang hitam. Godbald mengambilnya dan memeriksanya di bawah cahaya.
"Ini adalah pedang yang bagus, penuh dengan keyakinan... tidak ada keraguan, tidak ada kelembutan, tetapi di berbagai bagiannya masih terlihat ketidakdewasaan. Bahkan jika aku menggunakan bahan dan metode yang sama, aku mungkin bisa menempa pedang yang jauh lebih baik."
Mendengar itu, seulas senyum muncul di bibir Talhand.
Tentu saja. Sekeras apa pun Talhand berlatih menempa selama beberapa tahun terakhir, tidak mungkin ia bisa mendekati level sang Dewa Pertambangan yang telah mengasah kemampuannya selama lebih dari seratus tahun. Itu adalah hal yang sudah jelas.
"...Hehe."
"Apa yang lucu?"
Tetapi, bukan itu. Bukan itu intinya.
"Kau mau tahu bahan dan metodenya?"
"Aku penasaran. Ini pedang yang aneh."
Memberitahukan bahan dan metode dari pedang yang dipersembahkan bukanlah hal yang aneh.
Tujuan mempersembahkan pedang pada Dewa Pertambangan adalah agar cara pembuatannya bisa diwariskan ke generasi mendatang. Bahan apa yang digunakan, bagaimana cara membuatnya, inovasi apa yang dilakukan. Tidak sedikit pandai besi yang ingin hal itu tercatat dalam sejarah.
"Bahannya adalah bongkahan batu yang diciptakan dari sihir tanah. Batu itu kujadikan pasir dengan sihir tanah, lalu kucampur dengan pasir besi. Kemudian kulelehkan di tungku yang suhunya kunaikkan dengan sihir api dan angin. Setelah itu, seperti biasa, kutempa, lalu kudinginkan. Sambil menggunakan sihir air untuk pendinginannya."
"Batu yang dibuat dari sihir tanah..."
Kata-kata itu membuat Godbald tertegun... lalu ia langsung teringat.
Godbald tahu metode itu. Saat ia kecil, ia pernah beberapa kali diajari oleh si brengsek keras kepala di hadapannya ini.
"Jadi ini caramu balas dendam?"
"Bukan. Aku hanya ingin menyelesaikan urusan kita saat itu."
"...Apa kau pikir jika aku melihat pedang ini, aku akan menyuruhmu untuk kembali?"
"Tidak. Tapi kau, telah mengucapkan kata-kata yang ingin kudengar. Itu sudah cukup."
'Aku mungkin bisa menempa pedang yang jauh lebih baik.'
Hanya dengan kata-kata itu, Talhand sudah merasa puas. Ia merasa seolah nanah di hatinya yang telah menumpuk sejak kecil akhirnya dikeluarkan.
Ah, benar juga. Jika Godbald menempa dengan bahan dan metode yang sama, hasilnya pasti akan jauh lebih baik.
Akan tetapi, tanpa sihir, batu itu tidak akan bisa dihancurkan, dan besi yang panas tidak akan bisa didinginkan dengan sempurna hanya dengan air biasa.
Benar, misalnya, jika tidak ada seseorang yang bisa menggunakan sihir yang sesuai...
Meskipun, pandai besi jenius di hadapanku ini mungkin bisa mengolah bongkahan batu itu dengan baik tanpa harus menggunakan metode yang sama dengan Talhand.
"Jadi, 'batu' itu, Talhand, apa kau bisa membuatnya?"
"...Tidak. Yang bisa membuatnya adalah putra dari temanku."
Talhand mengeluarkan tiga bongkahan batu dari ranselnya.
Ia menjejerkannya dan meletakkannya di hadapan Godbald. Godbald mengulurkan tangannya ke bongkahan batu itu, dan matanya terbelalak karena beratnya. Lalu, ia mencoba membelahnya untuk memeriksa bagian dalamnya tetapi tidak berhasil, mencoba menghancurkannya dengan palu tetapi juga gagal, dan ia pun terkejut dengan kekerasan dan keliatan batu tersebut.
Pada saat yang sama, muncul sebuah pikiran di benaknya: bagaimana jika aku membuat senjata dan zirah dengan batu ini.
Seulas senyum muncul di wajah Godbald.
Talhand melihat ekspresi itu dan mengangguk puas.
Sejak mereka kecil, ekspresi Godbald tidak pernah berubah, ia mudah sekali ditebak.
"Beberapa hari lagi, orang itu akan muncul di hadapanmu."
"..."
"Maukah kau menemuinya?"
Talhand berkata dengan nada suara yang lembut, sambil mengingat wajah Rudeus.
Tujuannya sendiri sudah tercapai. Ia sudah mendapatkan kata-kata yang ia inginkan dari orang yang ia harapkan.
Sekarang, tinggal memenuhi permintaan dari pria yang telah memberinya kesempatan ini.
"Yah, dia memang terlihat sedikit tidak bisa diandalkan, dan mungkin akan datang membawa permintaan merepotkan yang tidak sepadan dengan penampilannya... Tapi berlawanan dengan penampilannya, dia adalah pria yang punya nyali. Tidak ada ruginya menemuinya. Aku akan menjaminnya dengan pedang ini."
Godbald membanding-bandingkan antara pedang dan bongkahan batu itu.
Istri dan ajudan di sisinya tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tidak berniat mendengarkan pendapat mereka.
Talhand telah berubah total. Penyebabnya, sebagian, pastilah berhubungan dengan si penyihir yang menciptakan batu ini.
Rasa penasarannya terusik.
"Baiklah. Namanya?"
"Rudeus Greyrat."
"Hm."
Godbald mengangguk dan mengukir nama itu di dalam hatinya.
Melihat itu, Talhand berdiri.
Meskipun hanya janji lisan, itu sudah cukup. Godbald bukanlah pria yang akan mengingkari janjinya. Dulu, Talhand memang merasa seolah janjinya telah diingkari, tetapi itu bukanlah karena Godbald yang mengingkari janji.
Hanyalah Talhand yang saat itu belum dewasa dan tidak tahu diri.
"Kau mau pergi?"
"Iya."
"Dengan dirimu yang sekarang, tidak akan ada yang mengeluh."
"Aku sudah membangun bengkel tempa di Millision. Mungkin aku akan berada di sana sampai aku mati."
Talhand berkata begitu, lalu keluar dari kediaman Dewa Pertambangan. Tanpa ia sadari, di sekitar kediaman itu, para saudaranya yang dulu telah berkumpul.
Tatapan mereka tajam, di antaranya bahkan ada yang menatapnya dengan pandangan merendahkan secara terang-terangan.
"Maaf, aku mau lewat."
Saat Talhand mulai berjalan, mereka memberinya jalan.
Di tengah tatapan yang bercampur antara kebingungan dan penghinaan, Talhand berjalan menuju gerbang pemukiman.
Tidak ada yang memanggilnya. Tidak ada yang mengikutinya.
Akan tetapi, langkah kaki Talhand terasa ringan, dan hatinya cerah benderang.
Kutukan itu, akhirnya telah terangkat.
Kisah tentang Dewa Pertambangan yang akhirnya bekerja sama dengan Dewa Naga sebagai ganti dari bongkahan batu dalam jumlah besar, adalah cerita satu bulan setelah itu.



Post a Comment