Penerjemah: Kryma
Proffreader: Kryma
Bab 11
Dewa Pedang Jino Britts
Dewa Pedang Jino Britts.
Ia disebut sebagai yang terlemah dalam sejarah Dewa Pedang.
Seumur hidupnya ia tidak pernah sekalipun keluar dari Tanah Suci Pedang, dan tidak ada satu pun kisah tentangnya yang mengalahkan musuh yang kuat.
Popularitasnya adalah yang paling rendah di antara para Dewa Pedang, dan di generasi mendatang, ia dikenal sebagai "seseorang yang menjadi Dewa Pedang hanya karena pergantian generasi."
Meskipun hanya sedikit yang pernah memastikan apakah ia benar-benar yang terlemah, ada satu fakta yang pasti.
Di antara para Dewa Pedang sepanjang sejarah, dialah yang hidup paling lama.
Jino Britts lahir di Tanah Suci Pedang.
Ayahnya adalah seorang Kaisar Pedang, dan ibunya adalah adik dari Dewa Pedang.
Ia mulai memiliki kesadaran diri pada usia tiga tahun. Ingatan tertua Jino adalah tentang ayunan pedang latihan. Sambil memegang pedang kayu anak-anak, ayahnya mengajarinya cara melakukan ayunan pedang.
Seolah didasari oleh ingatan itu, hari-hari Jino di masa kecil didominasi oleh ilmu pedang.
Pagi hari bangun, lari, dan latihan ayunan pedang. Setelah sarapan, latihan. Setelah makan siang, latihan. Setelah senja, istirahat sejenak, lalu makan malam, latihan ayunan pedang, dan tidur.
Begitulah kehidupannya.
Akan tetapi, Jino tidak begitu menyukai ilmu pedang.
Meskipun ia terus berlatih seolah itu adalah hal yang wajar, ia melakukannya murni karena disuruh oleh orang tuanya.
Tidak pernah sekalipun ia ingin melakukannya atas kemauannya sendiri.
Saat ia masih kecil, hal itu tidak menjadi masalah. Di sekitar Jino, hanya ada orang-orang yang berlatih ilmu pedang atau pernah berlatih ilmu pedang. Anak-anak lain pun melakukannya, dan ayahnya yang seorang Kaisar Pedang serta ibunya yang merupakan adik dari Dewa Pedang akan memujinya setiap kali ia mempelajari teknik baru.
Bahkan kakek-kakek tetangga yang sudah pensiun pun akan memujinya, berkata "anak yang rajin, ya," saat melihat Jino berlarian dengan pedang kayunya.
Tidak ada celah untuk keraguan. Bagi Jino, ilmu pedang adalah kehidupannya.
Akan tetapi, seiring Jino tumbuh dewasa dan peringkatnya naik, keadaan di sekitarnya mulai berubah.
Ayahnya yang seorang Kaisar Pedang, yang dulu senang hanya dengan melihatnya memegang pedang, menjadi keras saat ia akan naik ke Peringkat Mahir.
"Ayunkan pedangmu untuk menjadi lebih kuat dari lawanmu."
Ia mengajari Jino, "Kau masih lemah, jangan sombong hanya karena kau punya sedikit bakat," dan memberinya latihan yang lebih keras dari sebelumnya.
Para orang dewasa di dojo tempat ia dibesarkan pun, yang pada awalnya mengawasinya dengan senyum, mulai menatapnya dengan pandangan tidak senang secara terang-terangan saat Jino dengan lancar naik ke Peringkat Menengah, lalu Peringkat Mahir, dan kemudian mulai kalah dalam pertandingan.
Sejak saat itu, bagi Jino, ilmu pedang berubah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Meskipun begitu, ia juga tidak punya hal lain yang ingin ia lakukan.
Mungkin jika ia adalah anak dari negara lain, ia akan berkata ingin menjadi seorang petualang.
Akan tetapi, dari benak Jino, tidak pernah muncul ide untuk "meninggalkan rumah". Kenapa?
Orang tuanya tidak pernah mengajarinya hal seperti itu. Karena memang tidak perlu. Sampai usia tertentu, Jino tidak tahu bahwa ada dunia lain yang terbentang di luar Tanah Suci Pedang.
Bagi Jino, Tanah Suci Pedang adalah segalanya. Dengan kata lain, ilmu pedang setara dengan hal-hal seperti menghirup udara atau makan.
Karena itu, ia terus berlatih ilmu pedang.
Teman masa kecilnya, Nina, juga merupakan satu-satunya temannya.
Nina adalah putri dari Dewa Pedang. Di Tanah Suci Pedang, orang yang peringkatnya di bawah Peringkat Suci tidak boleh masuk ke dojo utama. Mereka yang Peringkat Mahir ke bawah, termasuk anak-anak, akan dimasukkan ke dojo yang ada di dekat rumah mereka. Meskipun Nina adalah putri dari Dewa Pedang, ia bukanlah pengecualian.
Meskipun ada anak-anak lain di generasinya, hanya Nina yang kemampuan pedangnya setara dengan Jino.
Ia bisa mengobrol dengan Nina. Topik pembicaraan anak-anak di Tanah Suci Pedang sebagian besar adalah tentang ilmu pedang.
Akan tetapi, meskipun Jino tidak menyukai ilmu pedang, ia adalah seorang jenius, dan teori-teorinya, bahkan sejak kecil, sedikit nyeleneh.
Di antara teman sebayanya, hanya Nina yang bisa mengikutinya.
Nina adalah pemimpin gerombolan anak-anak. Ia mengumpulkan anak-anak sebayanya dan berdiri di puncak mereka.
Bukan hanya anak-anak dari dojo yang sama. Melainkan puncak dari semua anak-anak di seluruh dojo yang ada di Tanah Suci Pedang.
Sebagian karena ia adalah putri dari Dewa Pedang, tetapi Nina memang punya kemampuan untuk itu. Di antara anak-anak, ialah yang terkuat dalam ilmu pedang. Bagi anak-anak di Tanah Suci Pedang, kemampuan pedang adalah tolok ukur segalanya.
Di sela-sela latihan ilmu pedang, Nina mengumpulkan anak-anak dan membentuk sebuah organisasi rahasia.
Sebuah organisasi yang hanya beranggotakan anak-anak. Di dalamnya, Jino diberi peran seperti wakil kapten. Sebagian karena ia adalah yang terkuat kedua, tetapi mungkin juga karena ia adalah orang yang paling nyambung saat berbicara dengan Nina.
Nina dan Jino.
Kemungkinan besar, hanya mereka berdua yang melihat sesuatu yang berbeda dalam ilmu pedang.
Buktinya, di antara anak-anak yang mengikuti Nina, hampir tidak ada yang di kemudian hari berhasil mencapai peringkat Santo Pedang atau lebih tinggi.
Organisasi itu bertahan selama sekitar lima tahun, tetapi lenyap begitu Nina menjadi seorang Santo Pedang.
Benar, Nina dan Jino menjadi Santo Pedang di waktu yang hampir bersamaan.
Bahkan dalam catatan sejarah, bisa dibilang mereka mencapainya di usia yang sangat muda.
Terutama Jino. Ia menjadi Santo Pedang di usia dua belas tahun yang luar biasa muda.
Saat Jino menjadi Santo Pedang, orang-orang di sekitarnya berseru kaget, "Bukankah dia yang termuda!?"
Baik ayah maupun ibunya memujinya dengan tangan terbuka.
Akan tetapi, Jino sama sekali tidak merasa senang. Rasanya seperti ia berhasil mencapainya hanya karena melakukan apa yang disuruhkan, jadi ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hebat. Selain itu, ia juga tahu bahwa Nina yang empat tahun lebih tua darinya, lebih kuat darinya.
Nina dan Jino menjadi Santo Pedang dan diizinkan untuk berlatih di dojo utama.
Meskipun begitu, tidak ada yang berubah.
Setiap hari, setiap hari, latihan pedang.
Tidak ada yang berubah. Karena usia dan kemampuan mereka yang berdekatan, ia selalu berlatih dengan Nina.
Tidak ada yang berubah. Nina tetap saja memperlakukan Jino seperti anak buahnya dan menyeretnya ke mana-mana.
Tidak ada yang berubah. Meskipun orang-orang di sekitar Nina kini adalah para ahli pedang wanita yang lebih tua, statusnya sebagai pemimpin gerombolan tidak berubah.
Kalau pun ada yang berubah, mungkin hanya jarak dari rumah ke dojo yang menjadi lebih jauh.
Ah, tidak. Kesempatannya untuk belajar dari ayah Nina, Dewa Pedang Gal Farion, menjadi lebih sering.
Ia mengatakan hal yang sama sekali berbeda dari ayah Jino.
"Ayunkan pedang demi dirimu sendiri."
Jika disingkat, kata-kata Gal seperti itu.
Ayahnya sering berkata di meja makan, "Ayunkan pedang demi kekuatan."
Jino entah bagaimana bisa merasakan perbedaan nuansa dari kedua kalimat itu, tetapi ia tidak begitu mengerti detailnya atau mana yang benar.
Tidak ada satu pun yang benar-benar menyentuh hatinya.
Bagaimanapun juga, selama ia menyelesaikan latihan yang diberikan, ia tidak akan dimarahi.
Selain itu, selama ia tidak terlalu sering kalah dalam pertarungan latihan yang sesekali diadakan, tidak akan ada yang mengomentarinya.
Setelah pindah ke dojo utama, rasio kemenangannya dalam pertarungan latihan memang menurun, tetapi lawannya adalah orang-orang dewasa yang usianya lebih dari sepuluh tahun di atasnya. Meskipun ia kalah beberapa kali, ia tidak akan disalahkan.
Ada perubahan, tetapi... tidak ada yang benar-benar berubah. Begitulah yang ia pikirkan.
Perubahan besar terjadi, seperti yang sudah diduga, pada hari itu.
Dia datang.
Eris Greyrat.
★ ★ ★
Begitu Eris tiba di Tanah Suci Pedang, ia langsung membuat debut yang sensasional.
Ia mengalahkan Jino, lalu Nina dalam sekejap mata, dan memberikan kesan yang sangat kuat pada semua orang yang ada di sana.
Sebuah kekalahan telak.
Akan tetapi, hal itu sendiri bukanlah perubahan yang besar bagi Jino.
Bagi Jino, kalah sudah menjadi makanan sehari-hari.
Meskipun ia disebut-sebut sebagai jenius di generasinya, ia selalu kalah dari Nina.
Ini memang pertama kalinya ia kalah oleh serangan kejutan seperti itu, tetapi jika ia beradu pedang dengan ayahnya atau Dewa Pedang, hasilnya akan serupa.
Kalau begitu, bagaimanapun juga, hasilnya sama saja.
Bukannya ia tidak merasa kesal, tetapi setelah Dewa Pedang menyatakan "Jino lebih lunak," dan ia dimarahi oleh ayahnya malam itu, perasaan kesalnya langsung hilang.
Ia hanya belajar, 'Oh, jadi melakukan hal seperti itu ternyata boleh, ya.'
Meskipun ia 'belajar', Jino masih punya cukup akal sehat untuk berpikir, 'Sebaiknya aku tidak melakukannya di dojo karena akan menimbulkan cemoohan.'
Yang berubah drastis adalah Nina.
Nina berbeda dari Jino. Wajahnya yang lebam memerah karena rasa kesal, dan hari itu ia tidak berbicara sepatah kata pun.
Setelah latihan di dojo selesai dan ia kembali ke rumah, ia menangis sendirian di halaman belakang.
Sambil menangis, ia terus berlatih ayunan pedang.
Sambil berulang kali bergumam, "Tidak akan kumaafkan, tidak akan kumaafkan, tidak akan kumaafkan..."
Jino segan untuk berbicara padanya. Bagi Nina, ini mungkin adalah pengalaman pertamanya dikalahkan oleh seseorang yang seumuran. Terlebih lagi, ini bukan sekadar kekalahan biasa. Menurut cerita yang Jino dengar, ia kalah bahkan setelah menggunakan pedang kayu berlapis besi.
Ini bukanlah kekalahan yang bersih.
Ia terjatuh, ditindih, dan dipukuli tanpa henti, lalu kalah sampai mengompol karena rasa takut dan sakit.
Sebuah kekalahan yang paling memalukan. Dan ia baru pertama kali mengalaminya.
Sejak saat itu, dimulailah serangan Nina terhadap Eris.
Awalnya, Nina bersekongkol dengan para ahli pedang wanita lainnya untuk mengucilkan Eris.
Akan tetapi, karena Eris sejak awal tidak berniat untuk berteman dengan siapa pun, rencana itu gagal.
Lebih dari siapa pun, Eris dengan tulus hanya menginginkan kekuatan. Ia tidak peduli dengan urusan internal di Tanah Suci Pedang.
Karena diabaikan, Nina pun menumpuk frustrasi setiap harinya.
Setiap ada kesempatan, ia menyebarkan gosip buruk tentang Eris, dan terkadang ia juga mengeluh pada Jino.
Jino tidak begitu menyukai Nina yang seperti itu. Saat Nina masih menjadi pemimpin gerombolan, ia jauh lebih ceria dan terbuka. Bahkan jika ada orang yang tidak ia sukai di kelompoknya, ia tidak akan mengucilkannya.
Bahkan dari sudut pandang Jino yang sudah lama mengenalnya, Nina saat itu adalah orang yang menyebalkan.
Hal itu berubah pada suatu hari.
Nina, tanpa memberitahu siapa pun tujuannya, tiba-tiba menghilang.
Tentu saja, tidak ada yang mengkhawatirkannya.
Meskipun Nina tidak tahu dunia luar karena hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Suci Pedang, ia adalah seorang Santo Pedang.
Malah muncul pembicaraan bahwa mungkin ia terinspirasi oleh Eris dan pergi melakukan pengembaraan seorang ksatria.
Bukannya khawatir, justru banyak yang merasa kagum.
Bahkan Jino pun sampai diberitahu oleh ayahnya, "Mungkin sudah saatnya kau juga melihat dunia luar. Jika kau bisa memburu seekor Naga Merah, mungkin raut wajahmu yang lembek itu bisa berubah."
Jino sempat berpikir untuk benar-benar melakukannya, tetapi pada akhirnya ia tidak bertindak.
Karena ia tidak begitu tertarik pada dunia luar yang belum pernah ia kunjungi.
Selain itu, ia juga merasa sedikit takut.
Sebagian besar orang dewasa di Tanah Suci Pedang mengetahui tentang 'dunia luar'.
Tetapi, paling-paling mereka hanya tahu tentang negara tetangga atau negara tempat mereka pernah tinggal.
Tidak banyak orang yang punya pengalaman langsung berkeliling dunia. Terkadang mereka memang bercerita, tetapi sebagian besar adalah kisah-kisah kepahlawanan tentang di mana, siapa, dan bagaimana mereka mengalahkan musuh.
Di tengah-tengah itu, ada seorang dewasa yang justru lebih banyak menceritakan kisah kegagalannya daripada kisah kepahlawanannya.
Ghislaine Dedoldia. Raja Pedang Ghislaine.
Ia bercerita bahwa ia pernah berkeliling dunia sebagai petualang, tetapi karena ia terlalu bodoh, ia nyaris mati di berbagai tempat.
"Di dunia ini, bahkan orang dengan kemampuan pedang sehebat apa pun bisa terbunuh. Jika kau tidak bisa sihir, berhitung, atau setidaknya membaca, kau akan cepat mati."
Ghislaine menceritakannya dengan wajah serius, dan Jino memercayainya.
Karena Jino, sama seperti anak-anak lain di Tanah Suci Pedang, tidak bisa membaca, tidak bisa sihir, dan tidak bisa berhitung.
Ia tidak punya minat, dan justru hanya merasakan ketakutan pada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan dengan ilmu pedang.
Karena itulah, ia tidak pernah berniat untuk pergi ke dunia luar.
Bagaimanapun juga, Jino menghabiskan hari-harinya tanpa mengejar Nina.
Nina kembali sekitar dua bulan kemudian. Jino bertanya padanya tentang perjalanannya, tetapi Nina tidak memberitahukan apa-apa.
Hanya saja, sesuatu pasti telah terjadi.
Sejak hari itu, Nina berubah.
Ia berhenti mengganggu Eris, dan menjadi lebih serius serta tulus terhadap ilmu pedang.
Ia hampir tidak lagi bergaul dengan para ahli pedang wanita lainnya, dan sikap sombongnya lenyap tak berbekas.
Sebagian besar waktu luangnya mulai ia habiskan untuk latihan khusus. Meskipun disebut latihan khusus, itu hanyalah pertarungan tanding tanpa henti dengan Jino. Jino dipaksa menemaninya seolah ia adalah anak buahnya, dan mereka beradu pedang berkali-kali. Tanpa banyak bicara, hanya saling beradu pedang.
Hari-hari seperti itu terus berlanjut.
Dan, sekitar waktu itulah Jino mulai tertarik pada Nina.
Ia baru menyadari perasaannya adalah cinta setelah waktu yang sangat lama berlalu.
Selama waktu itu, berbagai macam hal terjadi. Kaisar Utara Auber datang, dan Dewa Air Reida juga datang.
Bagi Jino, semua itu tidak menarik, tetapi bagi Nina, ceritanya berbeda.
Nina, yang terinspirasi oleh Eris, menjadi semakin kuat dengan pesat.
Jino, yang dipaksa menemaninya berlatih, juga ikut menjadi lebih kuat seolah terseret olehnya.
Akan tetapi, perlahan-lahan ia menjadi tidak bisa lagi menang dari Nina.
Meskipun sejak dulu ia memang jarang menang, rasio kemenangannya terus menurun.
Tanpa disadari, sebuah jurang pemisah yang besar telah terbentuk di antara Nina dan Jino.
Jino sendiri tidak begitu memikirkan hal itu.
Ia tidak bisa menang dari Nina, itu sudah biasa sejak dulu. Situasi di mana ia hanya bisa menang sekali dalam lima pertandingan berubah menjadi sekali dalam sepuluh pertandingan, itu bukanlah perubahan yang besar.
Tetapi, entah kenapa. Entah bagaimana, ia mulai merasa tertinggal.
Suatu hari, Dewa Pedang Gal Farion memanggil mereka bertiga: Eris, Nina, dan Jino.
Dewa Pedang menanyakan pada mereka "perbedaan antara Santo Pedang, Raja Pedang, dan Kaisar Pedang," lalu menyuruh mereka menjawab.
Jino sama sekali tidak tahu jawabannya.
Tetapi, Eris dan Nina berbeda. Nina memberikan jawaban sambil berpikir, sementara Eris bersikeras bahwa jawabannya yang dianggap salah itu adalah benar.
Dewa Pedang menganggap hal itu juga baik, lalu menyuruh Nina dan Eris bertarung.
Ia menyatakan bahwa pemenangnya akan menjadi Raja Pedang.
Dan, Eris-lah yang menang. Eris menjadi Raja Pedang, dan Nina menangis.
Melihat Nina yang menangis, Jino merasakan perasaan yang aneh.
Tanpa sadar, tangannya mengepal dan bibirnya terkatup rapat.
Ia tidak tahu apa sebenarnya perasaan itu. Ia tidak tahu alasannya. Mungkin ia merasa tidak sabar. Mungkin ia merasa kesal. Kenapa bukan dirinya yang berdiri di sana? Apa ia bahkan tidak punya hak untuk bertarung dengan mereka berdua? Jika terus begini, akan jadi apa dirinya?
Ini adalah pertama kalinya bagi Jino merasakan perasaan seperti itu.
Pada saat yang sama, ia sadar.
Pertanyaan yang diajukan Dewa Pedang Gal pada Nina, "Jika kau disuruh memilih antara menikah dengan Jino atau menjadi Raja Pedang, mana yang akan kau pilih?"
Mendengar itu, ia merasakan wajahnya memanas, dan ia sadar tidak ada kata-kata sanggahan yang keluar dari mulutnya.
Sepertinya, ia menyukai Nina.
Setelah itu, Jino sedikit berubah.
Bukannya tingkah lakunya sehari-hari yang berubah; ia tetap menyelesaikan latihan yang diberikan oleh ayah dan Dewa Pedang, dan melanjutkan latihan khususnya dengan Nina. Bahkan setelah Eris meninggalkan Tanah Suci Pedang, hal itu tidak berubah. Paling-paling, isi pertarungan tandingnya dengan Nina yang menjadi lebih tingkat tinggi dari sebelumnya.
Yang berubah adalah, cara pandangnya terhadap ilmu pedang.
Ia menjadi lebih proaktif dari sebelumnya. Ia mulai memikirkan makna dari latihan sehari-hari dan setiap jurusnya, dan mulai mencoba berbagai macam hal.
Efeknya dramatis.
Dalam sekejap mata, ia menjadi setara dengan Nina.
Ini bukanlah hal yang aneh. Sejak awal, Jino memang punya bakat. Fondasinya pun sudah terbentuk dari latihan sehari-hari.
Nina juga berubah. Nina, yang telah menjadi Raja Pedang, setelah Eris meninggalkan Tanah Suci Pedang, ia menjadi sering pergi ke desa dan kota terdekat. Entah itu untuk memburu monster, atau mengajar di dojo di kota besar.
Nina tidak hanya meningkatkan kemampuan pedangnya sendiri, tetapi juga mulai aktif melakukan hal-hal seperti itu.
Sementara itu, Jino tetap saja mengurung diri di Tanah Suci Pedang.
Ia tidak lagi merasa takut pada dunia luar, tetapi ia tetap tidak berniat untuk pergi.
Jino sendiri tidak tahu alasannya. Atau mungkin memang tidak ada alasan. Akan tetapi, jika dibilang tidak ada, ia juga tidak punya alasan untuk pergi ke dunia luar. Bahkan saat Nina tidak ada, ia tetap rajin berlatih, dan sesekali berlatih tanding dengan ayahnya, sang Kaisar Pedang.
Akan tetapi, ia tidak bisa naik satu langkah terakhir itu.
Ia tidak bisa melampaui ayahnya yang seorang Kaisar Pedang. Dewa Pedang Gal memang berkata akan segera memberinya pengakuan sebagai Raja Pedang, tetapi hanya itu saja.
Secara teknis, ia sudah menyusul ayahnya.
Begitu pula dengan Nina. Pasti begitu juga dengan Raja Pedang lainnya seperti Ghislaine dan Eris.
Tetapi ia tidak bisa menang. Satu langkah lagi, ada sesuatu yang kurang.
Ia tahu itu. Bahkan, ia juga tahu apa yang harus ia lakukan agar bisa menang.
Tetapi, ia tidak bisa melakukannya. Meskipun ia sudah menjadi lebih positif, ia menahan diri untuk tidak terjun ke dalam lingkungan yang sulit. Tidak, ia pernah mencoba menempatkan dirinya di lingkungan yang sulit. Dan setiap kali, ia akan berpikir.
'Kenapa aku harus melakukan hal yang menyakitkan seperti ini?'
Tanpa bisa menemukan jawaban dari pertanyaan itu, bulan dan tahun pun berlalu.
Suatu hari, Nina yang baru kembali setelah pergi melihat upacara penobatan di Kerajaan Asura, berkata.
"Hei, Jino. Bagaimana kalau kita menikah?"
Mendengar pertanyaan itu, Jino mengangguk.
Bukannya ia mengangguk setelah berpikir panjang. Hanya saja, entah kenapa, ia sudah punya firasat bahwa suatu saat hal seperti itu akan terjadi. Ia juga menyukai Nina, dan sepertinya Nina juga tidak punya hubungan seperti itu dengan pria lain.
Dengan sifatnya yang tidak sabaran, Nina menyeret Jino ke kamarnya dan mereka pun langsung melakukannya.
Itu adalah pengalaman pertama bagi keduanya, dan ada banyak hal yang masih kaku, tetapi setidaknya kecocokan mereka cukup baik untuk membuat mereka tenggelam dalam gairah semalaman.
Di tengah kenikmatan yang memabukkan, Jino berpikir.
Aku ingin ini lebih banyak lagi.
Kalau dipikir-pikir, mungkin ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya Jino begitu menginginkan sesuatu.
Keesokan harinya.
Jino membawa Nina dan pergi menemui Dewa Pedang.
Bukan Nina yang membawa Jino, melainkan Jino yang membawa Nina.
Untuk menyampaikan niat mereka untuk menikah. Jino yang bergerak atas inisiatifnya sendiri seperti ini adalah hal yang langka.
"Tidak boleh."
Akan tetapi, Dewa Pedang langsung menjawab.
Dewa Pedang, yang selama ini tidak pernah mengatakan apa pun soal cara mendidik putrinya, untuk pertama kalinya berkata TIDAK.
Alasannya sederhana. Dari sudut pandang Dewa Pedang, Jino tidak punya daya tarik.
Seorang pria yang seperti pajangan, yang hanya menuruti perintah, tanpa sedikit pun inisiatif, tanpa jiwa petualang, tanpa ambisi.
Dewa Pedang belum tahu bahwa mereka sudah melakukannya, tetapi ia sudah menduga bahwa urusan pernikahan ini pun pastilah Nina yang memulai.
Pria bernama Jino ini, tidak menginginkan apa pun untuk dirinya sendiri.
Ia tidak berusaha untuk mendapatkan apa pun. Lalu mau menikah? Jangan bercanda, pikirnya.
Akan tetapi, pada saat yang sama, ia juga berpikir.
Ini bukanlah perkembangan yang buruk.
"Kalau kau mau menikah, coba kalahkan aku. Kalau berhasil, akan kuizinkan."
Sebagai Dewa Pedang, ia hanya bermaksud untuk memberinya sedikit motivasi.
Ia berpikir, dengan memberinya sebuah rintangan, mungkin Jino akan menunjukkan sedikit semangat.
"...!"
Akan tetapi, di saat itulah Jino mengerti. Ia merasakan sensasi seolah ada sesuatu yang 'klik' di tempatnya.
Ia mengerti. Ah, jadi begitu.
Hal yang selalu dikatakan oleh Dewa Pedang. Sesuatu yang kurang dari dirinya. Jawaban dari 'kenapa?'.
Inilah jawabannya. Sesuatu yang sesederhana ini.
Jino merasa kabut di hadapannya menghilang. Sesuatu yang selama ini tidak ia mengerti dalam hidupnya, akhirnya terpecahkan. Ia telah mendapatkannya. Bagian terakhir, satu langkah yang kurang darinya.
Sebuah 'Tujuan'.
"Saya mengerti!"
Setelah itu, semuanya mudah.
★ ★ ★
Jino berubah.
Benar-benar berubah.
Ia menjadi orang yang berbeda.
Ia berhenti melakukan semua latihan yang selama ini diperintahkan padanya. Ia juga berhenti melakukan latihan khusus yang ia jalani bersama Nina.
Apa ia bermalas-malasan? Tentu saja tidak. Ia memulai latihannya sendiri.
Untuk latihan itu, ia tidak membutuhkan lawan.
Dari latihan khusus dengan Nina, latihan dengan ayahnya, dan berbagai pertarungan tanding lainnya, ia sudah mengumpulkan lebih dari cukup pengalaman bertarung.
Ia punya teori untuk menang.
Jino memiliki sebuah visi di mana ia pasti bisa menang melawan para ahli pedang Aliran Dewa Pedang.
Hanya saja, untuk mencapai visi itu, dibutuhkan usaha yang luar biasa. Ia harus melalui hari-hari yang berat dan menyakitkan.
Karena itulah, selama ini ia tidak melakukannya. Ia tidak punya alasan untuk melakukannya.
Perasaan seperti kesal atau tidak sabar saja sama sekali tidak cukup untuk bisa menahannya.
Tetapi, sekarang berbeda. Jino telah menemukan sebuah tujuan. Sekarang ia menginginkan Nina, ia sangat menginginkannya. Ia menginginkannya bahkan jika harus melalui penderitaan. Tujuan itu mengubah rasa sakit dan penderitaan menjadi kesenangan dan harapan.
Setelah itu, ia hanya perlu mengasahnya.
Melatih tubuhnya, menambah kecepatan dan bobot pedangnya. Untuk membuktikan teorinya, hal itu diperlukan.
Latihan biasa, latihan khusus, latihan tanding. Ada berbagai macam sebutannya, tetapi tidak ada satu pun yang cocok.
Jika harus mencari kata yang pas... ya, itu adalah 'pekerjaan'.
Jino dengan tenang, melakukan apa yang harus ia lakukan. Demi merombak tubuhnya agar bisa menang melawan Dewa Pedang, setiap hari ia menyelesaikan 'pekerjaan'-nya dengan sempurna. Jino melanjutkan 'pekerjaan'-nya sampai ke batas kemampuannya. Sebuah 'pekerjaan' yang akan membuat orang biasa menyerah atau bahkan merusak tubuhnya.
Jino, bisa melakukannya. Sejak awal, ia juga punya bakat untuk itu.
Motivasi, teori yang telah ia pikirkan dalam waktu yang lama, dan 'pekerjaan' yang sempurna.
Serta bakat bawaan untuk bisa mengendalikan semua itu.
Keempatnya menyatu, dan pedang Jino pun terasah hingga tajam.
★ ★ ★
Dan kemudian, hari yang menentukan itu pun tiba.
Hari itu, setelah bangun pagi, Jino pergi ke rumah teman masa kecilnya yang tinggal di sebelah dan melamarnya sekali lagi.
Mereka saling berhadapan dengan pedang kayu, dan setelah menghajar Nina, ia menyatakan, "Jadilah milikku."
Setelah lamarannya diterima, ia pun pergi menemui Dewa Pedang.
Waktu menunjukkan sore hari, dan di dojo utama sedang diadakan pertarungan latihan.
Sebuah latihan tanding yang diadakan secara rutin di Tanah Suci Pedang. Ini adalah ajang untuk menunjukkan sejauh mana kemampuan seseorang telah meningkat, dan di sini, diperbolehkan untuk menantang orang yang peringkatnya lebih tinggi dengan dua lawan satu.
Ke tempat latihan seperti itulah, Jino kembali dengan santai.
Lawan untuk Jino yang seorang Raja Pedang biasanya adalah dua orang Santo Pedang, atau Nina yang setara dengannya, atau ia dan Nina akan menantang seorang Kaisar Pedang.
Nina tidak hadir.
Kalau begitu, biasanya ia akan melawan dua orang Santo Pedang.
Akan tetapi, begitu Jino melangkah ke tengah dojo, ia mengarahkan pedang kayunya ke arah Dewa Pedang.
Seketika, seisi dojo menjadi sunyi senyap.
"Jino! Apa yang kau lakukan, hah!"
Yang pertama kali berdiri adalah ayah Jino. Kaisar Pedang Timothy Britts.
Ia meraih pedang kayu yang diletakkan di sisinya dan menyerang Jino.
Tidak, ia mencoba menyerang. Akan tetapi, saat ia mencoba berdiri dengan bertumpu pada sebelah lututnya, lutut yang ia julurkan ke depan itu hancur. Pada saat yang sama, tangan yang memegang pedang kayu juga patah, dan pedangnya jatuh ke lantai.
Kaisar Pedang Timothy Britts melebarkan matanya karena terkejut.
Ia sudah terbiasa dengan rasa sakit. Ia tidak akan menunjukkan ekspresi kesakitan. Akan tetapi, keringat dingin tetap mengalir di dahinya.
Di matanya, terlihat sosok Jino yang telah menyelesaikan ayunannya.
Setelah melirik ayahnya sekilas, Jino berbalik menghadap Dewa Pedang.
"Dewa Pedang-sama, saya datang untuk mengambil Nina."
Sama seperti tadi, ia mengarahkan pedang kayunya dan menyatakan tujuannya.
Dewa Pedang Gal Farion melihat pedang itu dan tersenyum buas.
"Boleh, maju—"
—lah.
Bahkan sebelum ia selesai berbicara, Jino sudah bergerak.
Akan tetapi, pada saat yang sama, Gal juga bergerak.
Justru, Gal yang lebih cepat. Karena, Gal sudah mengambil kuda-kuda.
Saat sang Kaisar Pedang dikalahkan, ia sudah mengambil pedang kayu di lantai, mengangkat pinggulnya, dan mengambil kuda-kuda iai.
Meskipun itu adalah postur yang tidak menguntungkan, bagi Gal itu bukanlah sebuah kerugian. Justru karena ia memiliki kecepatan pedang yang bisa melampaui lawan mana pun dalam posisi apa pun, ia disebut sebagai Dewa Pedang.
Akan tetapi, ia tidak bisa melampaui Jino.
Jino bergerak dengan kecepatan yang hampir setara dengan Dewa Pedang. Meskipun begitu, kedua pedang kayu yang bergerak dengan kecepatan hampir setara itu beradu di posisi yang sedikit lebih dekat ke arah Jino. Dengan kata lain, kecepatan Dewa Pedang-lah yang lebih unggul. Dan itu berarti, Dewa Pedang-lah yang berhasil mendaratkan pukulan dengan kecepatan yang lebih besar.
Di saat itulah Dewa Pedang merasakan keanehan.
Bagi Dewa Pedang, pertukaran serangan pertama tadi bisa dibilang hampir sempurna.
Bagi Aliran Dewa Pedang yang memiliki moto 'Satu Serangan, Kematian Pasti', membiarkan lawan menahan pedang adalah langkah yang buruk.
Akan tetapi, ada juga prinsip untuk menghancurkan kuda-kuda lawan dengan serangan pertama, lalu menghabisinya dengan serangan berikutnya.
Sampai saat ini, selalu seperti itu.
Dewa Pedang Gal Farion, yang telah mengambil keuntungan di serangan pertama, tidak pernah bisa dibalas.
Begitu pikirnya, tetapi pedang Jino terasa lebih berat dari pedang mana pun yang pernah Gal rasakan sebelumnya.
Kuda-kuda Jino tidak goyah.
Tentu saja, kuda-kuda Gal juga tidak goyah.
Imbang.
Bagi Gal, ini adalah serangan pertama yang berakhir imbang setelah sekian lama.
Gal, yang berhasil mendaratkan pukulan lebih dalam, justru berakhir imbang.
Kalau begitu, langkah berikutnya akan berbeda.
Pedang Gal telah terentang sepenuhnya, dan butuh waktu untuk menariknya kembali. Pedang Jino berbeda. Sambil menahan pedang Gal, pedangnya berada di posisi yang bisa ditarik kembali dengan segera.
Kuda-kuda mereka berdua sama-sama tidak goyah. Perbedaan waktunya pun, sangatlah kecil.
Jino, telah menciptakan perbedaan kecil ini dengan tangannya sendiri, bagaikan memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
Sebuah perbedaan yang menentukan, demi meraih kemenangan mutlak atas Dewa Pedang Gal Farion.
Gal Farion tidak sempat melancarkan serangan keduanya.
Pada hari itu, Jino mendapatkan semua yang ia inginkan.
★ ★ ★
Dewa Pedang Jino Britts.
Ia mendapatkan semua yang ia inginkan.
Nina Farion. Itulah segalanya yang ia inginkan. Gelar "Dewa Pedang" sebagai ahli pedang terkuat hanyalah sebuah bonus.
Konon, seumur hidupnya ia tidak pernah meninggalkan Tanah Suci Pedang. Oleh karena itu, popularitasnya adalah yang paling rendah di antara para Dewa Pedang, bahkan sampai dirumorkan sebagai Dewa Pedang terlemah sepanjang sejarah. Ia juga dijauhi oleh para Santo Pedang yang pernah berguru pada Dewa Pedang sebelumnya.
Akan tetapi, ia tidak membenci hal itu. Rumor hanyalah hal yang tidak berarti.
Karena, ia telah mengalahkan setiap musuh yang datang menantangnya.
Musuh-musuh itu adalah para ahli pedang yang ingin menjadi Dewa Pedang berikutnya, atau para penantang yang datang setelah mendengar rumor "Dewa Pedang terlemah". Jino mengalahkan mereka semua.
Setelah menjadi Dewa Pedang, ia tak terkalahkan. Itulah catatan pertarungan Jino Britts.
Mungkin, jika ia pergi ke luar Tanah Suci Pedang, ia bisa saja mengalahkan para petarung hebat seperti Dewa Air Reida atau Dewa Kematian Randolph.
Tetapi ia tidak melakukannya. Baginya, Tanah Suci Pedang adalah segalanya.
Dari awal hingga akhir, tidak ada satu pun hal di dunia luar yang ia inginkan.
Meskipun begitu, bisa dibilang dunianya justru meluas setelah ia menjadi Dewa Pedang.
Karena selain musuh, ada banyak sekali orang yang datang berkunjung untuk mempererat persahabatan dengan Dewa Pedang Jino Britts.
Mereka tidak bertarung, tetapi terkadang mereka meminta Jino untuk mengajari ilmu pedang, dan terkadang mereka melakukan transaksi bisnis dengannya.
Rudeus Greyrat adalah salah satu dari mereka.
Benar, suatu hari ia datang tiba-tiba.
Di sisinya, ada Raja Pedang Gila Eris, yang juga punya hubungan mendalam dengan Jino.
Dan ia bahkan membawa serta Dewa Utara Kalman III, dan Dewa Naga Orsted...



Post a Comment