Penerjemah: Kryma
Proffreader: Kryma
Bab 6
Wisata Millis ala Ars
Alasan Ars ingin mencoba berpetualang sendirian adalah karena bosan.
Saat tiba di kota, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah menara-menara besar yang menjulang.
Menurut Mama Putih, menara-menara itu adalah peralatan sihir raksasa, dan berkat menara itulah kota ini bisa tetap nyaman sepanjang tahun.
Lalu, ada sebuah bangunan besar berwarna perak yang berkilauan.
Menurut Mama Merah, itu adalah markas besar Guild Petualang, tempat yang setidaknya pernah dikunjungi sekali oleh sebagian besar petualang.
Ia sangat ingin melihat semua itu dari dekat.
Tentu saja, jika ia meminta pada ayahnya, ia pasti akan diantar.
Hari ini pun, saat ia bilang ingin melihat bangunan emas yang berkilauan, ayahnya tersenyum ceria dan membawanya ke sana.
Akan tetapi, meskipun ayahnya membawanya ke bangunan emas itu, ia tidak membiarkan Ars bebas di dalamnya. Setelah masuk, saat Ars mencoba melihat ke sana kemari karena penasaran, ayahnya melarangnya, berkata tidak boleh ke sana, tidak boleh masuk ke situ.
Jujur saja, bagi Ars, larangan seperti itu terasa mengekang dan membosankan.
Sesuatu yang tidak Ars ketahui adalah, tentu saja, Rudeus sedang bersikap penuh pertimbangan terhadap Markas Besar Gereja Millis.
Tempat itu adalah Katedral Agung, dan bagian pusat dari markas besar gereja adalah tempat yang tidak bisa dimasuki tanpa izin.
Ia merasa tidak pantas membawa seorang anak yang sedang nakal-nakalnya masuk ke tempat seperti itu.
Akan tetapi, Ars masih anak-anak. Baik menara maupun bangunan perak itu, jika ia meminta, ayahnya pasti akan mengantarnya.
Tetapi, gerak-geriknya pasti akan dibatasi, dan ia akan merasa terkekang seperti hari ini.
Begitulah yang ia pikirkan.
Karena itu, saat ayah dan yang lainnya masuk ke bagian pusat bangunan emas berkilauan itu bersama seorang wanita berdada besar yang dilindungi banyak pengawal.
Saat mereka disuruh bermain di halaman tengah sampai mereka kembali, ia merasa inilah kesempatannya.
('Akan kulihat bangunan perak dan menara itu dari dekat.')
Kalau dipikir-pikir, sejak ia lahir, gerak-geriknya selalu dibatasi oleh orang tuanya.
Jangan pergi ke sana-sini, jangan keluyuran di kota sendirian. Setiap kali pergi bermain, selalu ada Aisha atau Leo yang menemaninya. Saat ia kecil, ia selalu menurut tanpa bertanya, dan sampai sekarang pun ia tidak berniat untuk memberontak. Ia tidak sepenuhnya mengerti perintah dari para ibunya, tetapi bahkan sebagai seorang anak, ia mengerti bahwa mematuhi perintah itu adalah hal yang penting.
Dia mengerti larangan untuk tidak berpetualang sendirian karena di luar sana penuh bahaya.
Dan sejujurnya, ia tidak benci pergi berdua dengan Aisha.
Akan tetapi, tetap saja.
Ada kalanya ia ingin mencoba berpetualang tanpa ada mata yang mengawasi.
"Hei, Kak Lara, bagaimana kalau kita menyelinap keluar sebentar untuk melihat bangunan perak dan menara itu?"
Yang diajak oleh Ars adalah Lara.
Tumben sekali, hari ini Lara sendirian. Leo rupanya pergi ke suatu tempat dan meninggalkan Lara, katanya ada urusan dengan si burung hantu putih, hewan penjaga dari orang yang disebut Miko.
Dan Lara pun, menganggap saat ini adalah sebuah kesempatan.
Sejak kecil Lara sangat akrab dengan Leo.
Tentu saja, sampai sekarang pun ia tidak membencinya, tetapi belakangan ini ia mulai merasa sedikit sebal pada Leo yang selalu mengikutinya ke mana pun dan mencoba menasihati setiap tindakannya.
Oleh karena itu, saat diajak oleh Ars, Lara sedikit tersenyum dan mengangguk.
"Aku juga baru saja mau melakukannya."
Maka dari itu, mereka berdua mulai beraksi secara diam-diam untuk menghindari pengawasan Aisha.
Mencari momen yang pas saat Chris mulai menangis, "Papa tidak ada!", mereka bergerak ke arah semak-semak, lalu bersembunyi dari satu semak ke semak lain, menuju ke pintu keluar.
"Hei, kalian berdua mau ke mana?"
Yang memergoki aksi mereka adalah Sieg.
"Ssst, kami hanya mau main sebentar."
"Nanti kita dimarahi, lho, kalau pergi tanpa orang dewasa."
"Kau sendiri juga belakangan ini sering menyelinap keluar sendirian dari belakang, 'kan? Aku tahu, lho."
"T-Tidak, kok..."
Ars tahu.
Sieg selalu pergi sendirian. Dan entah kenapa, hanya dia yang tidak pernah dimarahi meskipun pergi sendirian.
Ars mengira itu karena Aisha maupun Leo tidak pernah melihatnya.
Dan, ia merasa sedikit tidak puas karena hanya adiknya yang bisa bebas berkeliaran.
Kenyataannya, Sieg tidak pernah benar-benar sendirian.
Sesuatu yang tentu saja tidak Ars ketahui, bahkan Sieg sendiri pun tidak, adalah setiap kali Sieg menyelinap keluar sendirian dari pintu belakang, para anggota Kelompok Tentara Bayaran Rude akan mengawalnya secara diam-diam dari bayang-bayang.
Tentu saja, atas perintah dari Rudeus yang pencemas.
"Aku akan tutup mulut soal itu, jadi kau juga jangan bilang apa-apa soal kami, ya."
"...Iya. Aku mengerti."
"Tenang saja, kami hanya akan melihat bangunan perak berkilauan dan menara-menara besar itu sebentar."
"Eh, kalian mau pergi ke Guild Petualang?"
Mendengar kata 'bangunan perak berkilauan', mata Sieg berbinar.
Ia telah mendengar berbagai macam kisah kepahlawanan dari Alec. Di dalam cerita-cerita itu, Markas Besar Guild Petualang sering muncul, dan ia menaruh rasa penasaran yang luar biasa pada tempat itu.
"Iya."
"Kalau begitu, aku juga ikut!"
Dan begitulah, Ars dan yang lainnya berhasil keluar dari Katedral Agung Millis.
Dengan sedikit niat jahil dan rasa penasaran yang memenuhi dada mereka.
★ ★ ★
Ars berjalan menyusuri kota, memimpin Sieg dan Lara.
Rumah-rumah yang berbeda dari Kota Sihir Sharia, bangunan dengan bentuk yang belum pernah ia lihat, pemandangan yang terasa baru—semua itu membuat jantung Ars berdebar kencang.
Tentu saja, ia sudah melihatnya dari dalam kereta kuda, tetapi berjalan dengan kakinya sendiri seperti ini terasa berbeda.
Apa mungkin karena corak batu-batu di jalannya yang berbeda?
Entah kenapa, berjalan di kota yang tidak dikenal saja sudah membuatnya bersemangat.
Sekelompok anak-anak, terutama dengan rambut hijau Sieg, memang menarik pandangan aneh dari orang-orang, tetapi itu bukan masalah.
Ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu sejak di Sharia.
"Kak Lara, jalan sambil lihat ke depan. Bahaya, lho."
"Hm."
Meskipun Lara menjawab, ia terus melihat sekeliling dengan mata berbinar.
Ia bahkan lebih penasaran dengan kota yang rapi dan cantik ini daripada Ars.
"Hei, apa sebaiknya kita ajak Kak Lucy juga? Nanti Kak Lucy marah, lho, kalau tidak diajak?"
"Kak Lucy sudah pasti akan bilang tidak boleh."
Berbeda dengan yang lain, Sieg tetap saja penakut. Meskipun belakangan ini ia diam-diam berlatih dan kemampuan pedangnya meningkat pesat, Ars tidak mengerti kenapa adiknya itu bisa begitu penakut.
"Ah, Kak Lara! Itu apa, ya!"
Di ujung jari yang ditunjuk Ars, ada sebuah objek yang aneh.
Objek yang tampak hidup berbentuk burung hantu.
Mirip dengan burung putih besar yang ia lihat di bangunan emas berkilauan tadi, tetapi bentuknya jelas-jelas buatan dan terasa sedikit mengerikan.
Lara melihatnya, dan menjawab dengan penuh percaya diri.
"...Itu air mancur."
"Mana ada air mancur aneh begitu."
"Tapi itu air mancur."
"Heeh... pasti bukan..."
Saat Ars sedang melihat, dari mulut objek itu mulai menyemburkan air.
"Ah, benar-benar air mancur! Keren! Kok bisa tahu!?"
"Aku pernah lihat yang mirip di tempat Julie-san."
Itu adalah air mancur bergaya Merlion, salah satu 'produk sampingan' buatan Rudeus.
Bentuknya meniru hewan penjaga sang Miko, Narth, dan disumbangkan kepada Miko begitu selesai dibuat.
Akan tetapi, karena sang Miko merasa bingung harus meletakkannya di mana di markas besar gereja, atau lebih tepatnya karena hasil akhirnya yang terlihat seperti awetan hewan membuatnya enggan menaruhnya di dekatnya, maka benda itu dipasang di jalan dekat gereja, dan kini menghibur orang-orang yang lewat.
"Heeh..."
Menerima tatapan kagum dari Ars dan Sieg, Lara membusungkan dadanya sambil mendengus 'fufun'.
Sambil mengobrol seperti itu, mereka bertiga menyeberangi sebuah jembatan.
Lalu, pemandangan di sekitar mereka berubah total. Bangunan-bangunan menjadi lebih rendah, dan jumlah orang yang berlalu-lalang pun bertambah.
Di antara orang-orang, banyak terlihat yang membawa pedang di pinggang atau mengenakan zirah.
Entah kenapa, jumlah orang yang berwajah sangar dan berotot kekar juga bertambah. Mereka telah memasuki Distrik Petualang dari Distrik Suci.
"Rasanya jadi lebih normal, ya."
"Iya juga."
Meskipun begitu, bagi Ars dan yang lainnya yang tinggal di Kota Sihir Sharia, ini adalah pemandangan yang lebih familier daripada sebelumnya.
Lagi pula, meskipun mereka berwajah sangar dan berotot kekar, jika dibandingkan dengan para anggota Kelompok Tentara Bayaran Rude, mereka malah terlihat lemah.
Tidak perlu dibandingkan dengan Mama Merah.
"Kak Lara, bangunan perak berkilauan itu di mana, ya?"
"Hm. Sebelah sana."
"Oke, ayo kita ke sana!"
Ars berjalan dengan penuh semangat, diikuti oleh Sieg yang berwajah gembira dan Lara yang tersenyum tipis meskipun tampak mengantuk.
"Whoa, keren sekali!"
"Waaah!"
Saat mereka tiba di jalan utama, Markas Besar Guild Petualang langsung terlihat.
Tentu saja, sebuah bangunan raksasa berwarna perak yang berkilauan berdiri dengan megahnya di ujung jalan utama. Tidak mungkin mereka tidak menemukannya.
"Kak Ars! Cepat, cepat!"
Sieg menjadi sangat bersemangat dan mulai berlari.
Benar-benar perubahan drastis dari sikapnya yang menentang beberapa saat yang lalu.
Tidak peduli apa yang ia katakan, ia tidak bisa menahan pesona dari 'Markas Besar Guild Petualang', sebuah tempat yang sering muncul di babak pertama kisah-kisah kepahlawanan.
"Ah, tunggu!"
Ars dan Lara, juga dengan wajah penuh antisipasi, berlari mengejarnya.
Mereka ingin segera melihatnya dari dekat.
Melihat anak-anak yang tiba-tiba berlari, orang-orang di sekitar sejenak berpikir, "Bahaya."
Anak-anak yang tiba-tiba berlari lalu menabrak orang atau tertabrak kereta kuda adalah hal yang biasa terjadi.
Akan tetapi, di luar dugaan orang-orang di sekitar, mereka bertiga menyelinap melewati kerumunan dengan langkah kaki yang mantap dan kecepatan yang tidak seperti anak-anak. Terlebih lagi, mereka melakukannya di pinggir jalan yang tidak dilewati kereta kuda.
Ini adalah hasil dari latihan mereka sehari-hari.
"Whoaa~!"
Setibanya di tangga depan pintu masuk, Sieg berseru kagum.
Ia belum pernah melihat bangunan yang begitu besar dan megah... yah, bukan berarti belum pernah sama sekali.
Di Kota Sihir Sharia juga ada bangunan raksasa yang disebut Universitas Sihir.
Tapi, entah bagaimana, rasanya berbeda. Markas Besar Guild Petualang ini berwarna perak dan berkilauan.
Sedangkan Universitas Sihir warnanya merah dan cokelat, jadi terkesan agak norak.
"Kak Ars, jadi ini Guild Petualang, ya!"
"Iya, ini Guild Petualang!"
"Beda, ya, sama yang di dekat rumah kita!"
"Yang di dekat rumah kita 'kan agak jelek!"
"Tapi baunya kok sama, ya."
"Iya. Agak bau, ya."
Sambil mengucapkan hal-hal yang tidak sopan, mereka bertiga dengan hati-hati melewati gerbang Guild Petualang.
Mereka melakukannya dengan tenang. Karena Mama Biru pernah memberitahu mereka, jika ada anak-anak yang keluar-masuk Guild Petualang, petualang bodoh akan mengajak mereka berkelahi.
Ars sebenarnya tidak keberatan jika harus berkelahi, tetapi jika ia sudah menyelinap keluar lalu berkelahi, Mama Merah pasti akan marah.
Mama Merah kalau sudah marah itu menakutkan. Pantatnya pasti akan dipukul sampai merah.
Dan jika Sieg dan Lara sampai terluka, yang akan marah bukan hanya Mama Merah.
Jika Mama Biru dan Mama Putih juga ikut marah... membayangkannya saja sudah membuat kaki Ars gemetar.
Akan tetapi, saat ia berpikir mungkin Papa juga akan marah, ada sedikit perasaan ingin mencoba berkelahi.
Ini karena, sampai saat ini, ia lebih sering dipuji atau dimanja oleh papanya, dan hampir tidak pernah dimarahi.
Terlebih lagi, ia belum pernah melihat papanya marah sungguhan.
"Waaah~"
Bagian dalam Guild Petualang, seperti yang dibayangkan dari luarnya, tampak gemerlap.
Interiornya memang terasa tua, tetapi megah, dan jumlah meja resepsionisnya pun banyak.
Jumlah petualangnya jauh berbeda, dan penampilan mereka pun sama sekali tidak sama.
Di Kota Sihir Sharia, kebanyakan penyihir terlihat seperti pemula, sementara prajurit dan penyembuh terlihat seperti veteran. Tetapi di sini sebaliknya, yang terlihat seperti pemula adalah para prajurit dan penyembuh, sedangkan yang terlihat seperti veteran adalah para penyihir.
"Ars."
Saat ia sedang puas memandangi pemandangan itu, Ars dipanggil oleh Lara dari belakang.
"Katanya ada sampai lantai empat."
Lara berkata begitu sambil menunjuk papan penunjuk di depan tangga.
Saat Ars ikut melihatnya, papan itu memang menunjukkan bahwa Guild Petualang ini memiliki empat lantai.
Lantai satu untuk resepsionis dan ruang tunggu, lantai dua untuk penjualan senjata dan material langsung dari Guild, lantai tiga adalah restoran tempat makan-makanan ringan, dan lantai empat sepertinya adalah ruang klan untuk klan-klan besar.
"Ayo kita ke atas!"
Tepat saat Ars dengan semangat hendak berjalan ke arah tangga, tiba-tiba sebuah bayangan menimpanya.
Saat ia melihat, seorang wanita dengan riasan tebal, tetapi berdada besar, berdiri di belakangnya.
"Ini bukan taman bermain untuk bocah. Kalian mau apa di sini?"
"Tu-Turis! Kami datang dari Kerajaan Ranoa..."
Ia spontan menjawab begitu karena ayahnya pernah mengajarinya untuk mengatakan itu.
"Orang tua kalian?"
"S-Saat ini, hanya kami saja."
"Begitu... kalau begitu, mau kutemani? Begini-begini, aku ini staf, lho. Kerjaku sudah selesai tadi pagi, jadi bagaimana kalau kalian mau?"
Wanita itu berkata begitu sambil menunjukkan emblem yang terpasang di bahunya.
Memang benar, emblem itu sama dengan yang dipakai oleh orang-orang di meja resepsionis.
"B-Boleh, tolong."
Dalam hati, jantung Ars berdebar kencang sambil berpikir.
Ars sangat menyukai dada yang berisi. Tentu saja, ia tidak benci yang kecil, tetapi ia lebih suka yang besar.
Dada wanita di hadapannya itu kira-kira seukuran dada Aisha, dengan kata lain, ukuran yang cukup untuk membuat jantung Ars berdebar-debar.
"Oke, serahkan padaku. Dengar, ya? Seperti yang kalian lihat, lantai satu adalah resepsionis."
Wanita itu tersenyum ramah dan mulai menjelaskan berbagai macam hal.
Mereka bertiga mengikutinya sambil berkeliling melihat-lihat Markas Besar Guild Petualang.
Lantai satu, lantai dua, lantai tiga, lantai empat... Wanita itu memandu mereka dengan sangat sopan, tidak seperti sedang berbicara pada anak-anak.
Niat awalnya adalah untuk berkeliling dengan bebas, tetapi malah menjadi tur dengan pemandu.
Meskipun berbeda dari rencana, semua yang mereka lihat terasa baru dan menarik.
Terutama ruang klan, yang tidak ada di Guild Petualang Sharia. Interiornya yang begitu mewah hingga tidak terlihat seperti milik petualang, sudah lebih dari cukup untuk membuat dada mereka berdebar penuh semangat.
"Selesai. Seru, 'kan?"
Setelah selesai melihat semuanya, wanita itu berkata begitu sambil menatap Ars.
"Iya, seru sekali! Terima kasih banyak!"
"Tidak perlu berterima kasih... jadi, setelah ini kalian mau apa? Apa ayah atau ibu kalian akan datang menjemput?"
"T-Tidak..."
"Hm~. Kalau begitu, mau kuantar pulang?"
"Tidak perlu, terima kasih. Kami bisa pulang sendiri!"
Ars menolak karena mereka masih belum pergi ke menara.
Ia bisa saja berbohong dan berkata akan ada yang menjemput, tetapi jika mereka berjalan ke arah yang berlawanan, wanita ini pasti akan curiga.
Mereka tidak bisa pulang sebelum sampai ke tempat tujuan.
Sambil berpikir begitu, Ars dan yang lainnya keluar dari Guild Petualang.
Rencananya memang sedikit meleset, tetapi pada akhirnya semua baik-baik saja.
"Nah, ayo kita ke tempat berikutnya!"
Di arah yang ditunjuk oleh Ars, bukan hanya ada menara, tetapi juga matahari yang telah melewati tengah hari dan mulai turun.
★ ★ ★
Di tengah perjalanan menuju menara, ada berbagai macam hal.
Kanal-kanal air dengan bentuk yang rumit. Perahu-perahu kecil yang melintasinya. Gerobak yang mengangkut material dalam jumlah besar yang sepertinya diambil dari monster. Sekelompok besar petualang yang bergerak seolah-olah untuk melindungi semua itu...
Setiap kali menemukan hal yang baru, Ars dan yang lainnya berseru kagum dan menikmati pemandangan itu sepuasnya.
Akan tetapi, entah karena mereka terlalu banyak bersantai-santai di jalan, atau karena menara yang tadinya terlihat dekat ternyata cukup jauh.
Saat mereka tiba di menara, hari sudah menjelang senja.
"Whoaa~, yang ini juga besar sekali..."
Melihat menara dari dekat di tengah senja, membuat Ars dan yang lainnya terpesona.
Pilar-pilar yang begitu tebal hingga mungkin butuh beberapa menit bagi seorang anak untuk mengelilinginya, menjulang tinggi hingga membuat mereka harus mendongak.
Terlebih lagi, jika dilihat dari dekat, di permukaan menara terukir samar sebuah lambang.
Bukannya seluruh menara itu adalah sebuah peralatan sihir... melainkan, untuk melindungi peralatan sihir di dalamnya, menara itu dilapisi oleh sihir penghalang yang kuat.
Tentu saja, tidak mungkin Ars mengerti hal semacam itu.
Hanya saja, Ars berpikir, seingatnya Lily suka hal-hal seperti ini, jadi ia pasti akan senang jika melihatnya.
"Kak Ars, sepertinya kita tidak bisa masuk."
"Begitu, ya. Yah, mau bagaimana lagi."
Sieg menemukan tempat yang sepertinya adalah pintu masuk menara, tetapi tempat itu dijaga oleh dua orang prajurit, dan sepertinya mereka tidak bisa masuk.
Yah, wajar saja. Sebenarnya Ars juga sedikit ingin naik dan melihat pemandangan dari atas, tetapi ia punya cukup akal sehat untuk menyerah jika memang terlihat mustahil.
"Haaah... kalau begitu, ayo kita pulang!"
"Iya!"
"Hm!"
Lara dan Sieg mengikuti Ars, yang mulai berjalan pulang dengan penuh semangat.
"Kak Lara, seru sekali, ya!"
"Iya. Seru. Aku juga mau kepala naga yang tergantung di dinding ruang klan itu."
"Kalau begitu, nanti kalau aku sudah besar, akan kuambilkan untukmu."
"Saat itu, aku juga akan membantu."
Mereka sangat puas karena bisa melihat hal-hal yang biasanya tidak bisa mereka lihat.
Terutama Sieg yang sangat bersemangat, sejak tadi ia terus-menerus berbicara pada Lara.
Akan tetapi, sambil berjalan, Ars tiba-tiba dilanda kecemasan.
Mungkinkah. Tidak, tidak mungkin, pikirnya.
"Hei, hei, Kak Ars, di Guild Petualang tadi ada pedang besar yang dipajang, 'kan? Kau tahu itu apa?"
"Nggak."
"Itu, lho, salah satu dari empat puluh delapan pedang iblis."
"Heeh~, kau tahu banyak juga, ya."
"Karena dipajang, kurasa itu palsu, sih, tapi dulu Alec-san pernah menggambarkannya untukku."
"Hm..."
"Ah, tunggu, Kak Ars!"
Sambil menjawab sekenanya, Ars mempercepat langkahnya.
Sieg, yang bingung melihat Ars tiba-tiba terdiam, terus berjalan sambil mengobrol dengan Lara.
Lara juga sedikit curiga dengan sikap Ars, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa dan terus mendengarkan cerita Sieg.
Mereka bertiga terus berjalan.
Karena sudah terbiasa berlatih, tidak ada yang mengeluh lelah atau kakinya sakit sampai tidak bisa berjalan.
Akan tetapi, saat melihat punggung Ars yang berjalan dalam diam, kata-kata Sieg pun perlahan mulai berkurang.
Akhirnya Sieg kehabisan kata-kata, dan mereka bertiga terus berjalan dalam keheningan.
Menerobos senja. Dengan langkah gontai.
Dan, matahari pun terbenam.
Beberapa puluh menit setelah matahari terbenam.
Di sebuah gang yang gelap, mereka bertiga terdiam membeku. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang di sekitar, suasana sunyi senyap.
"Hei, Kak Ars, kira-kira berapa lama lagi kita sampai?"
"...Aku tidak tahu."
Ars sendiri tidak bermaksud begini.
Bukannya ia tidak memikirkan jalan pulang.
Saat pergi, ia hanya perlu berjalan menuju menara besar, berarti saat pulang, ia hanya perlu berjalan menuju bangunan emas.
Bagaimanapun, itu adalah bangunan emas. Pasti akan terlihat menonjol bahkan dari jauh, dan karena hanya perlu menyusuri kembali jalan yang sudah dilewati, pasti akan mudah.
Begitulah yang ia pikirkan.
Akan tetapi, waktu senja telah mewarnai segalanya menjadi kuning.
Selain itu, bayangan panjang yang terbentuk saat senja mengubah suasana jalan yang telah mereka lewati.
Fakta bahwa mereka terlalu asyik melihat berbagai macam hal dalam perjalanan menuju menara juga mungkin menjadi salah satu penyebab ia lupa jalan.
"Apa maksudmu tidak tahu, bagaima—"
"Berisik! Kubilang aku tidak tahu, ya tidak tahu!"
Mendengar bentakan Ars, tubuh Sieg tersentak kaget.
Dan karena kakaknya yang bisa diandalkan itu berteriak, ia sadar bahwa ini adalah situasi yang gawat, dan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Meskipun ia sudah mulai berlatih di bawah bimbingan Alec, ia tetaplah seorang anak kecil.
Dan karena ia adalah anak yang pendiam, ia tidak terbiasa dibentak.
"Ars."
Terdengar suara tenang Lara.
Seketika, Ars menoleh ke belakang. Di sana, ada Sieg yang nyaris menangis, dan Lara dengan wajah datarnya yang biasa.
Akan tetapi, dalam postur berdirinya, tersirat sedikit aura kemarahan.
"...Maaf, Kak Lara. Kita tersesat."
"Iya."
"Kak Lara, kau tahu jalannya?"
"...Tidak tahu."
Lara menggelengkan kepalanya dengan lemah. Kakaknya, yang biasanya sombong dan angkuh, yang selalu bertingkah seolah tidak ada yang ia takuti dan tidak bisa ditebak apa yang akan ia lakukan, kini terlihat begitu lemah.
Melihat itu, Ars merasakan sedikit keputusasaan.
Akan tetapi, tanpa mengeluh ataupun menangis, Ars mengepalkan tinjunya dengan erat.
"T-Tenang saja! Serahkan padaku!"
Ini adalah masalah yang kumulai sendiri. Aku sendiri yang harus menyelesaikannya. Begitulah pikirnya.
Ars meraih tangan Lara dan Sieg lalu menggenggamnya dengan erat. Kemudian, seolah untuk menenangkan mereka berdua, ia memeras otaknya dan berpikir.
Mama Biru pernah berkata.
'Kalaupun dalam keadaan darurat, jangan panik. Pikirkan dulu apa yang bisa dilakukan.'
"Umm... benar juga. Kalau kita pergi ke jalan besar, pasti ada orang, kita bisa tanya jalan pada mereka. Bangunan emas berkilauan itu tidak banyak, jadi mereka pasti tahu."
Hari baru saja mulai malam.
Jika mereka pergi ke jalan besar, pasti akan ada banyak orang, dan akan mudah untuk bertanya jalan pada mereka.
Mama Biru juga pernah berkata. 'Kalau ada yang tidak kau tahu, jangan malu untuk bertanya.'
"...Kalau orang yang kita tanya itu jahat dan tidak mau memberitahu?"
Mendengar celetukan pesimis dari Sieg yang nyaris menangis, Ars terdiam.
Rasanya tidak mungkin ada yang tidak tahu, tetapi kemungkinan tidak diberitahu memang ada.
Mama Biru juga pernah melanjutkan perkataannya.
'Tapi, bukan berarti semua yang kau tanyakan akan dijawab, dan ada juga kemungkinan kau akan dibohongi, jadi berhati-hatilah.'
"Kalau begitu... ah, benar! Papa pernah bilang, kalau kita tersesat di kota dan terpisah dari Mama, cari gereja, sebut nama Paman Cliff di sana, dan minta tolong! Pendeta tidak mungkin berbohong, 'kan?"
"Ah... iya, ya!"
Meskipun ada kemungkinan besar seorang pendeta bisa berbohong, yang terlintas di benak Sieg saat itu adalah wajah ayah Clive, yaitu Cliff. Walaupun ia jarang bertemu dengannya, ia mengenalnya sebagai orang yang tidak pernah berbohong.
"Kalau begitu, kita bisa pulang, ya."
"Iya, tenang saja. Makanya kau juga jangan menangis. Cheddarman tidak menangis, lho."
"A-Aku tidak menangis, kok."
Saat semangat Sieg kembali, hati Ars pun menjadi sedikit lebih lega.
Dan kepada Lara, yang telah membuatnya kembali tenang, ia memberikan senyuman yang kuat.
"Oke."
Intinya, tujuan mereka adalah jalan besar atau gereja.
Meskipun di sekitar mereka tidak ada orang, jika di tengah jalan mereka merasakan kehadiran orang, mereka bisa bertanya di sana.
Kalau hanya itu, mudah saja. Bersamaan dengan pikiran itu, kecemasan lain muncul di benak Ars.
Pergi tanpa izin, tersesat, dan menyeret Lara serta Sieg ke dalamnya. Para ibu pasti akan murka.
Mama Merah akan sangat marah. Mama Biru juga, Mama Putih pun pasti akan marah.
Biasanya jika ia dimarahi, Aisha akan menengahi, tetapi kali ini ia justru menyelinap keluar tanpa sepengetahuan Aisha.
Ia pasti tidak akan dibela.
"Hiks..."
"Ars, kau menangis?"
Tiba-tiba, Lara menengok ke wajah Ars dan bertanya.
Ars menyeka air mata yang mulai menggenang di matanya dengan lengan bajunya, lalu memanyunkan bibirnya.
"A-Aku tidak menangis. Cuma kelilipan! Kau juga, Kak Lara! Jangan sampai terpisah! Kalau kita terpencar di sini, habislah kita!"
"...Hm, mengerti. Kau bisa diandalkan, ya, Ars."
"Hentikan. Ini semua salahku, 'kan."
"Salahku juga."
Dielus-elus kepalanya oleh Lara, Ars sedikit memerah sambil kembali menatap ke depan.
Ayo kita cepat pergi. Kalau terus berada di tempat gelap dan sepi seperti ini, aku bisa-bisa benar-benar menangis.
Sudah pasti aku akan dimarahi. Aku harus menyiapkan diri. Mungkin saja Aisha akan membenciku, tapi aku akan minta maaf dengan benar.
Saat Ars berpikir begitu dan berbelok di tikungan di hadapannya.
"Lho."
Ia nyaris bertabrakan dengan seorang wanita.
Seorang wanita berdada berisi. Melihat ukuran dada yang familier itu, Ars tanpa sadar berseru.
"Ah..."
"Lho? Anak yang tadi siang..."
Itu adalah staf wanita yang tadi siang memandu mereka di Markas Besar Guild Petualang.
"K-Kakak? Kenapa ada di sini?"
"Eh? Kenapa katamu? Tentu saja aku mau pulang setelah selesai kerja, rumahku memang di arah sini. Justru kalian kenapa? Sudah gelap begini, nanti dimarahi, lho, kalau tidak pulang."
Ars merasa lega. Karena orang yang ia temui di saat seperti ini adalah orang yang ia kenal.
Meskipun Ars tidak tahu pepatah 'bagaikan menemukan setetes air di padang gurun', baginya ini adalah secercah harapan.
"Anu, kami tersesat. Apa Kakak tahu di mana jalan besar... bukan, gereja atau bangunan emas berkilauan itu?"
"Emas berkilauan? Maksudmu Katedral Agung?"
"Iya, itu! Katedwal Aguuung!"
"Kalau itu tentu saja aku tahu. Tidak ada orang yang tinggal di kota ini dan tidak tahu Katedral Agung."
Ars dan Sieg saling berpandangan.
Akan tetapi, Ars kemudian memasang wajah serius dan berdeham sekali.
Ia sudah diajari dengan baik oleh Mama Putih tentang bagaimana bersikap saat meminta tolong pada orang lain.
"Anu, jika Anda tidak keberatan, bisakah Anda mengantar kami? Kurasa nanti akan ada ucapan terima kasih dari ayah saya."
"...Dasar bodoh, anak tersesat tidak perlu seformal itu. Ayo, ikuti aku."
Ars berpikir.
Mama Putih pernah berkata. Bahwa hubungan antarmanusia itu penting. Bahwa orang yang baru kita kenal sebentar pun, mungkin akan menolong kita saat kita berada dalam kesulitan.
Pasti, inilah yang ia maksud.
Pada hari itu, Ars telah menjadi sedikit lebih dewasa.
★ ★ ★
"Nah, sudah sampai."
Dan begitulah, di bawah panduan sang staf wanita, Ars dan yang lainnya tiba di tempat tujuan.
"Eh?"
Setidaknya, begitulah yang ia kira.
Yang ada di hadapan Ars adalah sebuah ujung gang yang remang-remang.
Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan orang, dindingnya dipenuhi coretan-coretan cabul, sampah berserakan di tanah, dan entah kenapa seluruh tempat itu berbau tidak sedap.
Meskipun gelap, ia bisa tahu bahwa bangunan emas berkilauan itu tidak ada di sekitar sana.
"Anu, di sini? Eh?"
"Tidak boleh, 'kan. Apa ayahmu tidak mengajarimu untuk tidak mengikuti orang asing?"
Terdengar suara langkah kaki, dan Ars pun berbalik.
Di sana, berdiri beberapa orang pria dengan senyum beringas.
Penculik, begitu Ars menyadarinya.
Akan tetapi, meskipun ia sudah sadar, kepalanya masih terasa pusing.
Kakak ini adalah staf Guild Petualang, dan ia sudah dengan baik hati memandu kami di dalam guild.
Jadi, kenapa... ah, dia bilang pekerjaannya sudah selesai, tapi, katanya selesai di pagi hari...
"Jadi kau berbohong soal menjadi staf!"
"Aku tidak berbohong, kok. Ini pekerjaan sampingan. Cuma untuk cari uang jajan. Di kota ini, banyak sekali anak sepertimu, tahu. Anak yatim piatu yang ingin jadi petualang, datang ke guild, tidak berhasil menjadi petualang, lalu pergi. Nah, setelah mereka pergi, kami akan membuntuti mereka, dan kalau sampai malam mereka tidak pulang, beginilah jadinya."
"Sialan!"
Ars spontan memungut sepotong kayu yang tergeletak di tanah, dan merendahkan kuda-kudanya seolah melindungi kakak dan adiknya.
"Kak Ars..."
Sambil gemetaran, Sieg memegang ujung baju Ars.
Lara seperti biasa tanpa ekspresi, tetapi ia juga terlihat sedikit pucat.
Setidaknya, ia harus melindungi mereka berdua.
Ini terjadi karena kesalahannya. Ini terjadi karena kesalahan penilaiannya. Tapi, di saat seperti ini, di saat seperti ini apa yang harus ia lakukan. Apa yang pernah Mama bilang, apa, apa...!
"Tolong! Apa ada orang! Ada penculik! Tolong!"
Ars berteriak.
Jika terjadi sesuatu, minta tolong sebelum bertarung. Apa itu ajaran Mama Biru, atau Mama Putih? Atau Aisha? Tidak, mungkin saja itu ajaran Papa.
"Mau kau menangis atau berteriak, tidak akan ada orang yang datang ke sini."
Sambil berpikir bahwa itu mungkin benar, Ars mengalihkan pikirannya ke ajaran berikutnya.
Yang ia ingat adalah ajaran Mama Merah.
'Pertama, amati musuhmu baik-baik.'
Sambil tetap memasang kuda-kuda, Ars dengan tenang mengamati sekelilingnya. Gang buntu. Satu orang di depan, dua di belakang. Semuanya membawa pedang. Tapi, mereka jauh lebih lemah dibandingkan Mama Merah.
Tidak ada hawa petarung, tidak ada juga aura membunuh. Level yang biasa ditemui di Sharia.
Mereka hanyalah kroco yang akan lari sambil terkencing-kencing jika berhadapan dengan Mama Merah.
Di tangannya hanya ada sepotong kayu yang sepertinya akan langsung patah jika dipukulkan, tetapi ia sudah belajar cara bertarung dengan tangan kosong, dan ia juga bisa sedikit sihir. Jika ia melakukannya seperti saat latihan, ia pasti bisa menang.
Pasti, mungkin, tidak apa-apa, mungkin.
"Kak Ars, kau mau melawan...? A-Aku juga, a-a-akan melawan."
"Sieg, mundur!"
Meskipun ia sudah mengambil keputusan, lutut Ars gemetaran. Tangannya yang memegang potongan kayu bergetar hebat, napasnya menjadi tidak beraturan, dan air mata nyaris menggenang di matanya. Bertarung melawan tiga orang dewasa di tengah kegelapan. Sambil melindungi kakak dan adiknya. Menerima tekanan seberat itu adalah pengalaman pertama baginya.
"Wah, wah, kakak yang pemberani, ya. Tapi, melawan pun percuma, tahu? Mereka ini, meskipun petualang gagal, kemampuannya tidak main-main."
"Berisik! Jangan sentuh Sieg dan Kak Lara!"
"...Haaah, kalian, jangan lukai mereka terlalu parah, ya. Sepertinya mereka anak orang kaya, jadi uang tebusannya pasti lumayan."
"Siap," jawab kedua pria di belakangnya, lalu mulai bergerak.
Sambil merasakan perutnya mual seolah diremas, Ars mengumpulkan seluruh energi sihir yang ia punya ke dalam tinjunya, berbalik, dan hendak melepaskan satu pukulan untuk membutakan mata mereka—
Plok. Plok. Plok.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan.
Itu adalah suara tepuk tangan. Suara itu datang dari belakang kedua pria yang mengepung Ars, dan menghentikan pergerakan semua orang di sana.
Dan pada saat yang sama, sesosok gumpalan putih melompati para pria itu dan mendarat di hadapan Ars.
Gumpalan putih itu berputar mengelilingi mereka sekali, mengendus seolah memastikan Lara tidak terluka, lalu berbalik menghadap para pria itu dan menyeringai, memperlihatkan taringnya.
"Grrrrrr..."
"Leo!"
Itu adalah Leo.
Akan tetapi, yang bertepuk tangan kemungkinan besar bukan dia. Karena ia tidak punya tangan untuk bertepuk.
"Baiklaah, cukup sampai di situ~"
Itu adalah suara yang sangat familier bagi Ars.
Suara yang begitu familier hingga rasanya tidak ada satu hari pun, dari ia bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari, ia tidak mendengarnya.
Dan kemudian, seorang wanita dengan rambut cokelat gelap yang familier dan gigi gingsul yang menawan, muncul dari kegelapan.
Ia mengenakan seragam pelayan, dadanya yang besar menonjol, dan di tangannya ia memegang sebuah lentera yang kokoh.
"Kak Aisha!"
Ars memanggil nama orang itu.
Dia bukan kakaknya. Bukan kakaknya, tetapi ia akan marah jika dipanggil 'bibi'.
"Yo, yo, Ars-kun. Aku datang untuk menolongmu."
Melihat senyumnya yang cerah merekah, Ars merasa ingin menangis.
Akan tetapi, yang merasa lega bukan hanya Ars dan yang lainnya. Melihat yang keluar dari kegelapan hanyalah seorang pelayan dan seekor anjing besar, para pria itu tetap mempertahankan sikap angkuh mereka.
"Kau, pelayan dari mana..."
"Dari kediaman Greyrat. Ah, di sekitar sini mungkin lebih baik dibilang dari kediaman Latreia. Keluarga Latreia dari Carlyle Latreia, yang menjabat sebagai Komandan Batalion Ksatria Kuil. Kalian tahu, 'kan?"
Ksatria Kuil. Mendengar nama itu, para pria itu goyah.
Meskipun mereka tidak begitu hafal nama-nama bangsawan, setidaknya mereka tahu tentang Ksatria Kuil. Pasukan pribadi Gereja Millis, yang juga terkenal sebagai kelompok fanatik.
"Sebaiknya kalian berhenti mencoba menculik anak-anak ini dan meminta uang tebusan. Nanti kalian akan mengalami nasib yang buruk, lho."
"S-Seolah kami takut pada Ksatria Kuil! Kalau takut, mana bisa kami jadi penculik!"
Tidak mungkin mereka tidak takut.
Ada sebuah rumor tentang siksaan yang mereka lakukan saat menangkap para penentang ajaran.
Mereka akan mengikat kedua tangan dan kaki korbannya, lalu perlahan-lahan menghancurkannya dengan palu mulai dari ujung kaki.
Jika itu adalah tindakan yang didasari oleh sadisme, masih bisa dimengerti.
Akan tetapi, mereka dengan tulus meyakini bahwa itu adalah perbuatan baik, dan saat korbannya menjerit kesakitan karena kakinya dihancurkan, mereka akan tersenyum dengan tulus dan berkata, "Suara permohonan tulus Anda pasti akan didengar oleh Dewa. Artinya, Anda bisa pergi ke sisi-Nya, bukankah itu hal yang baik?"
Tentu saja itu hanya rumor bohong, tetapi mereka memercayainya.
"Kalau kalian tidak takut pada Ksatria Kuil ya sudahlah... kalau begitu, bagaimana dengan Kelompok Tentara Bayaran Rude? Di bawah komando penasihat keuangan mereka yang super cantik, mereka akan mengejar kalian sampai ke ujung neraka dan membuat kalian menderita nasib yang lebih buruk dari kematian."
"K-Kenapa Kelompok Tentara Bayaran Rude bisa muncul?"
"Tentu saja, karena orang paling hebat di Kelompok Tentara Bayaran Rude adalah ayah dari anak-anak ini."
Dengan wajah terkejut, kedua pria itu menatap Ars dan yang lainnya.
"Kakak... oh, maaf, maksudku Ketua Kelompok Tentara Bayaran Rude, Rudeus Greyrat. Tangan kanan Dewa Naga Orsted, seorang penyihir hebat yang punya koneksi luas di berbagai negara. Biasanya dia orang yang ramah, bahkan akan tertawa-tawa saja meskipun kepalanya disiram alkohol di sebuah pesta, tapi dia sangat menyayangi keluarganya, jadi, kira-kira apa yang akan terjadi pada penculik yang berani menculik anak-anaknya, ya..."
"...Itu... itu cuma gertakan, 'kan."
"Apa kau benar-benar berpikir begitu? Aku sudah mulai malas meyakinkan kalian, lho."
"Hah! Apapun itu, kalau kami bereskan kau di sini, hasilnya akan sama saja!"
"Oh, ya? Kalau begitu, Leo, hajar."
Mendengar kata-kata itu, sang hewan buas putih bergerak bagaikan badai.
Pertama, ia menggigit kaki pria yang berdiri di hadapannya, lalu mengibaskan kepalanya dengan keras.
Kaki pria itu patah dengan bunyi 'KREK!', dan pada saat yang sama Leo melepaskan gigitannya. Pria itu melayang di udara dan terbanting ke dinding.
Saat pria yang satunya lagi menoleh karena mendengar suara itu, semua sudah terlambat.
Tanpa sempat menghunus pedang di pinggangnya, tangannya digigit, dan saat ia pikir ia mendengar bunyi 'KRAK!', ia sudah ditarik jatuh, wajahnya digigit dan diangkat, lalu diputar-putar dengan keras hingga pingsan, dan setelah itu dibanting ke dinding.
"Hiik..."
Pada akhirnya, tidak ada tempat lari bagi si staf wanita.
Saat ia mencoba kabur dengan memanjat dinding di ujung gang, pantatnya digigit, dan sama seperti dua orang lainnya, ia diputar-putar lalu dibanting ke dinding hingga pingsan.
"..."
Ars menyaksikan seluruh kejadian itu dengan bengong.
Ia tahu Leo cukup kuat. Ia juga kurang lebih mengerti kenapa Papa dan Mama selalu menyuruhnya untuk bersama Leo.
Tetapi, ini adalah pertama kalinya ia melihatnya secara langsung.
Terlebih lagi, saat ini, Leo mungkin sedang menahan diri. Dengan kekuatan sebesar itu, ia pasti bisa saja meremukkan wajah atau leher mereka.
Tetapi ia tidak melakukannya.
Ia hanya menggigit mereka seolah sedang bermain-main, memutar-mutar mereka untuk mematahkan tulang, dan membanting mereka ke dinding hingga pingsan.
Terhadap lawan yang begitu ditakuti oleh Ars.
"Kalian semua tidak apa-apa, 'kan? Tidak ada yang terluka?"
Tanpa melirik sedikit pun pada gerombolan yang pingsan itu, Aisha berjongkok di hadapan Ars dan yang lainnya seolah tidak terjadi apa-apa, lalu mulai memeriksa tubuh mereka bertiga dengan teliti menggunakan lenteranya.
"T-Tidak ada. Kami tidak apa-apa."
"Begitu? Kalau begitu, ayo kita pulang."
Melihat Ars yang mengangguk meskipun masih bingung, Aisha tersenyum sambil memperlihatkan gigi gingsulnya.
Jalanan yang gelap.
Mereka bertiga menunggangi Leo bersama-sama, dipandu oleh lentera yang dibawa Aisha, dalam perjalanan pulang.
Para penculik itu, katanya akan diserahkan kepada pihak berwenang oleh anggota Kelompok Tentara Bayaran Rude, yang muncul entah dari mana berkat peluit anjing yang digunakan Aisha.
Sambil berjalan pulang, Ars mengira ia akan dimarahi.
Kenapa pergi tanpa izin. Kenapa sampai menyeret Lara dan Sieg.
Aisha jarang sekali marah.
Sekeras apa pun kenakalan Ars, sebanyak apa pun ia merepotkan orang lain, Aisha tidak pernah marah.
Ia akan membereskan kekacauan yang ia buat sambil berkata, "Mau bagaimana lagi,". Setelah itu, ia akan menasihatinya dengan lembut, "Jangan diulangi lagi, ya. Kita belajar dari kesalahan."
Tetapi, kali ini, mereka nyaris saja mengalami hal yang sangat buruk.
Terlebih lagi, ini adalah tindakan yang mengabaikan Aisha, orang yang selalu menjaganya. Meskipun Aisha datang menolong, ia pasti sudah dimarahi oleh Papa dan Mama.
Karena ia punya tugas untuk menjaga mereka sampai orang tua mereka kembali, tetapi ia malah lengah.
Ditinggal kabur oleh anak yang ia awasi, lalu dirinya sendiri ikut dimarahi, bahkan Aisha yang berhati lembut pun pasti sudah habis kesabarannya.
Meskipun Ars tidak memikirkannya sampai sedetail itu, entah kenapa ia bisa menduga bahwa Aisha mungkin sedang marah.
"Kak Aisha... maafkan aku."
Karena itu, Ars meminta maaf.
"Hm? Kenapa?"
"Aku... pergi keluar tanpa bilang pada Kak Aisha, dan membahayakan semuanya..."
"Eeeh? Memangnya ada apa, ya?"
Akan tetapi, sambil tertawa, Aisha mengelus kepala Ars.
Dari gerakannya itu, sama sekali tidak terasa ada tanda-tanda kemarahan. Apa ia sudah dimaafkan? Pikir Ars. Tapi, kenapa?
"Nah, sudah sampai."
"...!"
Mendengar perkataan Aisha, Ars baru sadar bahwa mereka telah tiba di depan gerbang kediaman Latreia.
Di hadapan rumah megah itu, Ars menelan ludah.
Aisha mungkin sudah memaafkannya. Tetapi para ibu pasti akan marah. Mereka telah mengajarinya untuk melindungi saudara-saudarinya. Dan kali ini, ia telah melanggar aturan itu. Setidaknya, ia harus bersiap-siap pantatnya akan dipukul oleh Mama Merah.
Mungkin, Papa juga akan marah. Meskipun ia tidak bisa membayangkan seperti apa Papa kalau sedang marah.
"Permisi, penjaga gerbang."
Mengikuti Aisha, mereka masuk ke dalam rumah melalui pintu samping.
Berjalan menyusuri lorong rumah yang luas, ia membuka pintu ruangan tempat keluarganya mungkin berada.
Di sana, mereka ada.
Tiga orang Mama, dua orang nenek, seorang bibi berambut pirang, seorang nenek buyut dengan wajah yang agak galak, dan Papa.
"Kami pulang."
Saat Aisha menundukkan kepala, mereka semua menoleh ke arah Ars dan yang lainnya.
Sebentar lagi alis mereka akan terangkat karena marah. Yang pertama marah pasti Mama Merah. Mama Merah selalu yang paling pertama. Begitulah, pikir Ars.
"Oh, selamat datang kembali. Kalian terlambat, ya."
Akan tetapi, jawaban Mama Merah terdengar ringan.
"Apa Guild Petualang menyenangkan?"
Suara Mama Biru juga lembut.
"Tapi, kalian tidak boleh keluar sampai selarut ini. Meskipun ada Aisha dan Leo, malam hari itu berbahaya, lho."
"Benar sekali. Aisha, meskipun kau bersama mereka, bukan berarti kalian boleh keluyuran sampai larut malam. Apa tidak bisa pulang lebih awal?"
Mama Putih dan Lilia kata-katanya sedikit tajam, tetapi mereka tidak terlihat marah.
Norn dan Claire tidak berkata apa-apa, tetapi tatapan mereka menunjukkan bahwa mereka setuju.
"Sudahlah, sudahlah, meskipun terlambat, makan malam juga belum siap, jadi tidak apa-apa, 'kan? Daripada itu, apa kalian melihat sesuatu yang menarik?"
Papa bersikap seperti biasa. Terlalu baik.
"..."
Nenek Zenith, seperti biasa tidak berkata apa-apa, tetapi tidak terasa ia sedang menyalahkan mereka.
Meskipun Nenek Zenith seperti itu, saat ia sedang marah, entah kenapa Ars bisa merasakannya.
"Uhm..."
Tidak bisa memahami situasi, Ars bingung harus menjawab apa.
Hening sejenak.
"Di ruang klan Guild Petualang, ada kepala naga yang dipajang."
Ucap Lara pelan. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya ia tahu jawabannya.
Mungkin, tanpa sepengetahuan Ars, ia sudah mendengarnya dari Leo.
"Ah, Papa, tahu tidak, di Guild Petualang ada pedang iblis, lho!"
Lalu, Sieg dengan wajah gembira mulai bercerita tentang Guild Petualang.
Mungkin, kesulitan yang baru saja mereka alami sudah benar-benar lenyap dari ingatan Sieg.
"Sudah, sudah, ceritanya nanti saja. Panggil Lucy dan yang lain, ayo kita makan malam."
Dan begitu saja, suasana di ruangan itu menjadi hangat dan damai, dan waktu makan malam pun tiba.
★ ★ ★
Setelah makan malam selesai, Ars keluar dari ruang makan yang luas.
Saat kembali ke kamar yang disediakan untuknya, ia berbalik menghadap Aisha yang mengikutinya dari belakang seolah itu adalah hal yang wajar.
"Kenapa?"
Itulah hal pertama yang Ars tanyakan.
Kenapa tidak ada yang marah? Kenapa semua orang tahu kami pergi ke Guild Petualang... sebuah 'kenapa' yang mengandung berbagai macam makna.
Menanggapi itu, Aisha tersenyum simpul.
"Kau mau tahu?"
"Iya."
Ars mengangguk dengan wajah serius pada Aisha, yang memasang wajah seolah kejahilannya berhasil.
"Karena aku melihat Ars-kun dan yang lainnya menyelinap keluar dari halaman tengah Katedral. Kupikir kalian pasti akan berbuat jahil karena bosan, jadi aku bilang pada yang lain 'aku mau lihat Guild Petualang sebentar', lalu aku langsung mengikuti kalian."
Mendengar itu, Ars sadar.
Aisha sudah tahu segalanya. Dan di atas semua itu, ia tidak langsung bergabung, melainkan membiarkan mereka bertindak sesuka hati.
Sambil membuntuti mereka, ia berpikir akan turun tangan jika terjadi sesuatu.
"Meskipun aku tidak menyangka kalian akan pergi sampai ke Menara Sihir, sih."
Dia telah mengawasi mereka sepanjang waktu. Bahkan saat mereka tersesat dan nyaris menangis, ia tidak mengulurkan tangan...
"...Kalau begitu, kenapa waktu itu, saat kau tahu kami tersesat, kau tidak menolong kami?"
"Hmm? Soal itu, bukankah Ars-kun sendiri sudah tahu jawabannya?"
Dikatakan dengan nada bercanda, Ars menggertakkan giginya.
Tentu saja, Ars tahu.
Mereka bisa berada dalam situasi itu adalah tanggung jawabnya.
Seperti yang pernah diajarkan ibunya, jika kau melakukan sesuatu dan berakhir dalam kesulitan, kau harus menyelesaikannya sendiri.
Kenyataannya, saat ia sadar mereka tersesat, Ars tidak menyerah.
Ia memeras otaknya, mencoba mencari jalan keluar. Semuanya belum berakhir.
Karena itulah, Aisha hanya mengamati. Ia berpikir belum saatnya untuk turun tangan.
Pada akhirnya, Aisha muncul karena situasi menjadi berbahaya di mana mereka bisa terluka.
Karena Ars salah mengambil pilihan dan jatuh ke dalam kesulitan, ia pun datang menolong.
Pasti, jika staf wanita itu bukanlah bagian dari komplotan penculik dan hanya orang baik yang menunjukkan jalan, Aisha tidak akan muncul sampai akhir.
Ia tidak seharusnya menyalahkan Aisha. Semuanya adalah kesalahannya sendiri.
Aisha, seperti biasa, hanya membereskan kekacauan yang ia buat.
"...Kak Aisha... maafkan aku."
"Minta maaf saja tidak cukup, 'kan? Apa kesalahanmu?"
"Pergi menyelinap keluar tanpa bilang pada Kak Aisha..."
"Hmm, bukan itu."
Mendengar sanggahan Aisha, Ars berbalik dengan terkejut.
Ini adalah hal yang langka. Aisha tidak begitu sering mengajari Ars tentang sesuatu.
Meskipun Ars gagal, Aisha akan membereskan kekacauannya sambil berkata "mau bagaimana lagi," tetapi ia tidak pernah mengomelinya.
Akan tetapi, Aisha yang menatap Ars yang berbalik itu, seperti biasa, tersenyum dengan tenang.
"Ars-kun, kau berpikir aku ini menyebalkan, makanya kau mau pergi sendiri hanya dengan anak-anak, 'kan?"
"T-Tidak, aku tidak berpikir kau menyebal... kan. Cuma sedikit... ah, tapi, aku suka Kak Aisha, kok."
"Oh, ya? Hehe, terima kasih. Dibilang 'suka' sama Ars-kun, aku jadi malu, nih."
Aisha menempelkan tangan ke pipinya dan sengaja meliuk-liukkan tubuhnya dengan genit.
"Intinya, Ars-kun berniat menyelinap dari pengawasanku untuk pergi melihat Guild Petualang dan Menara Sihir, 'kan?"
"Iya."
"Kalau begitu, kau harus melakukannya."
"Eh, tapi... nanti semua orang jadi khawatir..."
"Tentu saja, kau tidak boleh membuat semua orang khawatir."
"Iya."
"Tapi, tapi, Ars-kun dari awal tidak berniat membuat semua orang khawatir, 'kan? Kau bukan anak yang jahat, kok."
Ars mengangguk.
Soal itu, ia memang sedikit kurang berpikir, tetapi tujuannya bukanlah untuk membuat semua orang khawatir.
"Melihat Guild Petualang dan menara, lalu kembali, dan saat aku bertanya 'Astaga, dari mana saja kalian?', kalian akan saling bertatapan dengan Lara dan Sieg seolah tidak terjadi apa-apa, lalu menjawab 'Rahasia' sambil tertawa. Rencanamu seperti itu, 'kan?"
Tepat sekali.
Meskipun ia tidak membayangkannya secara jelas, setelah diberitahu, ia sadar itulah skenario idealnya.
Pergi sebentar, bersenang-senang, lalu pulang sebelum ada yang khawatir.
Aisha mungkin akan sedikit cemas karena ia menghilang dari pandangannya, tetapi jika ia cepat kembali, ia pasti akan lega sambil berpikir, "Oh, ternyata cuma di dekat sini."
"Fakta bahwa kau tidak bisa melakukan itu, itulah kesalahanmu."
Ucap Aisha dengan sangat jelas.
Ars punya sebuah tujuan.
Pergi ke Guild Petualang tanpa Aisha, Leo, atau pengganggu lainnya.
Mengesampingkan kenapa ia malah mengajak yang lain, tujuan itu lahir saat ia menginginkannya.
Kalau begitu, tujuan itu harus dicapai. Itulah yang dikatakan Aisha.
"...Meskipun kau bilang begitu... kalau Kak Aisha, bagaimana caranya?"
"Hmm. Bahkan aku sekalipun, rasanya sulit untuk pergi ke Guild Petualang dan menara dalam waktu sesingkat itu. Jaraknya terlalu jauh. Jadi kalau aku, mungkin hari ini ke Guild Petualang saja, dan menaranya lain kali. Lagipula, kau bahkan tidak sadar kalau waktunya tidak banyak, 'kan? Makanya, aku akan menanyakan jadwalnya dari kemarin, lalu menyusun rencana yang matang."
"Ah, benar juga..."
"Selain itu, aku juga akan membawa senjata, dan mungkin alat untuk menghubungi seseorang. Karena ada kalanya kita tidak bisa menyelesaikan masalah sendirian, jadi kita harus bisa memanggil bantuan dalam keadaan darurat."
Diberitahu dengan begitu jelas, Ars akhirnya mengerti di mana letak kesalahannya.
Jika ia mengingatnya kembali dengan tenang, memang benar, ia terlalu ceroboh.
Impulsif dan kurang berpikir. Wajar jika ia berakhir dalam situasi seperti tadi.
Dan pada saat yang sama, Ars berpikir. Ternyata Aisha memang hebat.
"...Aku mengerti. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati. Aku akan berusaha untuk tidak gagal."
"Iya, iya. Itu niat yang bagus. Tapi kalau kau terlalu berhati-hati sampai takut gagal, itu juga tidak baik. Nanti kau malah tidak bisa melakukan apa-apa. Gagal saja terus."
"Eh, tapi, kalau nanti jadi seperti hari ini..."
"Tenang saja! Kalau kau gagal, aku akan membereskannya seperti hari ini! Jadi Ars-kun, jangan takut dan cobalah tantang berbagai macam hal!"
Ucap Aisha sambil menepuk dadanya yang besar.
Sambil merasakan rasa malu yang sulit dijelaskan, Ars tersenyum pada Aisha.
"Iya. Aku mengerti, Kak Aisha! Terima kasih!"
"Sama-sama~! Astaga, Ars-kun ini penurut dan manis sekali, sih~!"
Mendapatkan kata-kata yang ingin ia dengar, Aisha memeluk Ars.
Dipenuhi oleh kelembutan dadanya, sambil kepalanya dielus-elus dengan gemas, Ars merenungkan dalam-dalam semua kejadian hari itu.




Post a Comment