NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 2 Bab 8

 Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 8 

Dan Kemudian Menuju Jalan Raya Pedang Suci


Waktu berlalu begitu cepat, sepuluh hari pun lewat dalam sekejap mata.

Pada hari pertama, kami pergi untuk memberi salam di Katedral Agung. Kami mempertemukan Zenith dengan sang Miko, dan mendengar kata-kata Zenith melalui kemampuannya yang 'itu'.

Claire juga ikut datang, dan di tengah-tengah sesi itu ia menangis tersedu-sedu.

Aku juga nyaris menangis, tetapi karena Zenith tampak bahagia seperti biasanya, aku berhasil menahannya.

Selama itu, anak-anak yang tampak bosan kusuruh menunggu di luar, tetapi setelahnya ada juga jadwal perbincangan hangat dengan Paus dan Miko, sehingga waktunya jadi lebih lama dari yang diperkirakan.

Bisa dibilang juga, cerita dari sang Miko tidak ada habisnya, ia dengan bangga menceritakan latihan hariannya dan memasang wajah sombong karena sudah menjadi lebih langsing...

Seperti yang sudah kuduga, anak-anak jadi bosan. Kudengar Aisha mengajak Ars, Lara, dan Sieg untuk pergi melihat Markas Besar Guild Petualang. Mengingat mereka pulang terlambat dan melihat wajah Ars saat kembali, sepertinya ada masalah yang terjadi di sana... tapi aku yakin Aisha berhasil menanganinya.

Lalu apakah Lucy yang ditinggal menjadi marah pada mereka? Ternyata tidak juga.

Sepertinya ia cukup puas bisa berkeliling di dalam katedral bersama Clive yang tetap tinggal.

Entah karena ia suka taman, atau karena Clive pandai menjadi pendamping.

Melihat Lucy yang tidak mau bercerita detail, sepertinya karena alasan yang kedua.

Saat tidak tahu detailnya, aku jadi ingin mengorek-ngorek informasi, tetapi di sini aku harus menahan diri.

Intinya, aku berharap Clive-kun akan terus menjadi orang yang tulus, ya.

Hari kedua, ketiga, dan keempat diisi dengan kunjungan kehormatan.

Dengan statusku sebagai bawahan Dewa Naga yang sedang berada di Millision, kami berkeliling ke berbagai tempat.

Komandan Ksatria Pendidik. Keluarga cabang dari Latreia, atau lebih tepatnya paman dan bibiku. Di antara mereka tentu saja ada Therese. Sayangnya, sepertinya ia masih belum menikah sampai sekarang.

Setelah itu, setelah menyelesaikan audiensi resmi dengan Paus, kami juga dipertemukan dengan pihak keluarga Kerajaan Millis.

Yang kami temui adalah pangeran di urutan kelima pewaris takhta. Meskipun pangeran, ia adalah seorang om-om berumur di atas empat puluh tahun. Dan yang lebih merepotkan lagi, aku malah dijadwalkan untuk beraudiensi dengan Raja beberapa hari lagi.

Sebuah sapaan, sebagai perwakilan dari Dewa Naga.

Menurut Orsted, "Hubungan dengan keluarga Kerajaan Millis bisa diurus nanti," tapi aku sudah diberitahu sebelumnya bahwa sapaan biasa tidak akan menjadi masalah.

Aku bukannya tidak berpikir, "Kenapa aku harus melakukan ini saat sedang liburan?", tetapi tujuan awalnya memang studi wisata untuk anak-anak.

Untuk urusanku sendiri, yah, mau bagaimana lagi.

Pada hari kelima, aku pergi untuk mengantarkan 'boneka itu' pada Cliff.

Di sana, ada kabar baik dari pihak Cliff. Katanya, kinerjanya selama lima tahun terakhir ini telah dievaluasi, dan promosinya menjadi Uskup telah diputuskan secara internal.

Biasanya, di usianya yang masih muda, mustahil bagi Cliff untuk menjadi Uskup, tetapi ada cerita di baliknya. Ini berhubungan dengan lokasi keuskupan yang akan ditangani oleh Cliff, yang merupakan tempat yang sedikit khusus.

Ujung paling selatan dari Hutan Raya. Sebuah tempat yang dulunya hanyalah kota penginapan tanpa nama saat aku masih berpetualang.

Dalam sepuluh tahun terakhir, populasi di tempat itu meningkat dan skalanya menjadi lebih besar.

Meskipun kota itu tidak dimiliki oleh negara atau ras mana pun, saat skalanya membesar, hak dan kepentingan pun ikut bermain. Untuk memperebutkan hak tersebut, para perwakilan dari berbagai ras berkumpul di kota itu dan alurnya menjadi tempat untuk memutuskan berbagai hal.

Perwakilan yang dikirim oleh Gereja Millis adalah seorang Uskup Agung yang disebut sebagai orang kepercayaan Kardinal, dan ia adalah bagian dari fraksi anti-Ras Iblis.

Ia adalah seorang penganut supremasi ras manusia yang tidak hanya merendahkan Ras Iblis tetapi juga Ras Buas. Namun, ia adalah orang yang cerdas dan kompeten. Ia pastilah orang yang akan berhasil merebut banyak hak dan kepentingan. Akan tetapi, jika mengingat kepribadiannya, ada kemungkinan hubungan dengan ras-ras yang tinggal di Hutan Raya akan memburuk. Dan memburuknya hubungan dengan ras lain adalah hal yang diinginkan oleh kelompok paling radikal di dalam fraksi anti-Ras Iblis.

Di situlah pilihan jatuh pada Cliff.

Hubungannya dengan Kelompok Tentara Bayaran Rude yang memiliki banyak anggota ras buas berjalan baik, dan ia juga kenal dengan kerabat dari suku Doldia. Koneksinya luas, ia tidak punya prasangka, dan terlebih lagi ia adalah bagian dari fraksi Paus. Karena itu, mereka memutuskan untuk menaikkan pangkatnya dan menyuruhnya mendampingi sang Uskup Agung sebagai pengawas.

Cliff tersenyum pahit, berkata bahwa ia dipromosikan bukan murni karena kemampuannya.

Akan tetapi, jika ia berhasil menyelesaikan tugasnya di kota itu, ia akan resmi menjadi Uskup baik nama maupun kenyataannya. Jika sudah menjadi Uskup, wewenangnya akan meningkat pesat, dan jika ia bisa menjaga hubungan baik dengan penduduk Hutan Raya, ia akan punya alasan yang kuat untuk memperistri seorang Elf.

Jika itu terjadi, ia akan bisa mengundang Elinalise dan Clive ke Millis... begitulah katanya.

Setelah mendengar semua itu, aku pun berpikir, kalau begitu sekalian untuk merayakan promosinya!

Dan saat aku mengeluarkan boneka itu dengan 'jreng!', aku malah dimarahi habis-habisan.

Katanya, jika sampai ketahuan ia tergila-gila pada wanita di saat seperti ini, akan jadi masalah besar.

Meskipun begitu, ia tidak menolak untuk menerima boneka itu sendiri, jadi kurasa mungkin ia senang juga.

Ia juga tampak memeriksa detail lingkaran sihirnya dengan penuh minat.

Yah, Sylphie bilang kalau memang sudah terdesak, tinggal pakaikan saja kacamata hitam dan suruh dia menyamar jadi laki-laki.

Karena ia juga punya kemampuan bertarung, aku sangat berharap ia bisa berguna sebagai pengawal dalam pekerjaan Cliff sebagai Uskup.

Lagi pula, tidak ada jaminan ia tidak akan dibunuh oleh Uskup Agung itu.

Sebagai catatan, hari itu, saat aku kembali ke rumah, Claire sedang dalam suasana hati yang baik.

Katanya, Lara telah menemukan dan mengembalikan liontin kenangan yang ia jatuhkan sekitar setahun yang lalu.

Cerita yang bagus. Sebagai orang tua, cerita tentang prestasi putriku membuatku bangga. ...Tapi, kemungkinan besar yang menemukannya adalah Leo.

Selain itu, entah kenapa motivasi Roxy dalam mengasuh anak jadi meningkat.

"Mulai sekarang semuanya akan masuk sekolah, jadi saya harus mengawasi mereka dengan baik," katanya.

Roxy yang bersemangat itu memang manis, tetapi karena ia adalah tipe yang akan gagal jika terlalu bersemangat, aku jadi sedikit khawatir.

Ngomong-ngomong, sepertinya Sylphie dan Norn pergi ke Guild Petualang bersama Lucy dan Clive.

Lucy dengan senyum lebar menceritakan betapa mewahnya makan siang mereka.

Sepertinya ia tidak begitu tertarik dengan Guild Petualang itu sendiri.

Dari hari keenam sampai kedelapan, kami beraktivitas tanpa rencana khusus.

Berbelanja, membawa anak-anak ke tempat wisata. Menggunakan kereta kuda ke luar kota untuk melihat peternakan terdekat, atau bermain di sungai kecil. Rasanya seperti kami hanya mengikuti suasana hati hari itu.

Pada hari kesembilan, aku beraudiensi dengan Raja.

Raja Millis adalah seorang pria tua berwajah lembut. Di Millis, Gereja memiliki kekuasaan yang kuat, sedangkan kekuatan keluarga kerajaan lemah.

Pertemuanku dengannya, yang notabene punya hubungan baik dengan pihak Gereja, hanyalah sebatas sapaan formal.

Aku ingin memperlihatkan bagian dalam istana pada anak-anak juga, tapi tentu saja aku menahan diri. Yah, mau bagaimana lagi.

Bagaimanapun juga, bisa dibilang kami telah menikmati Millision sepenuhnya.

Dan pada hari kesepuluh. Kami pun berangkat dari Millision.

Menaiki kereta kuda, menyusuri Jalan Raya Pedang Suci ke arah utara, menuju pemandian air panas.

"Monster tidak akan muncul sampai di pintu masuk Hutan Raya, tetapi kudengar ada banyak orang kasar di kota-kota penginapan. Jika hanya kalian orang dewasa mungkin tidak apa-apa, tapi karena kalian membawa anak-anak, berhati-hatilah—"

Saat kami berangkat, Claire menasihati kami berulang kali.

Mungkin karena dulu aku pernah memintanya untuk tidak ikut campur, di awal-awal kunjungan ia tidak begitu cerewet, tetapi di hari kesepuluh, omelan dan ceramahnya semakin bertambah.

Akan tetapi, rasanya tidak begitu mengganggu. Mungkin, ia juga sudah mulai menemukan jarak yang pas dengan kami.

Namun, saat kami hendak berpisah, ia berbalik menghadap Norn.

"Norn-san. Selama kunjungan ini, kita memang tidak banyak bicara, tetapi bolehkah saya mengatakan satu hal saja?"

"...Baik."

Ekspresi Norn seolah berkata, "Akhirnya datang juga."

Selama sepuluh hari ini, ia selalu bertingkah seolah menghindari Claire. Meskipun Ruijerd sudah menyuruhnya untuk menghargai kerabat darahnya...

Tetapi, jangan salahkan Norn. Jika ia berbicara dengan Claire, ada kemungkinan Ruijerd akan dihina. Jika itu terjadi, Norn pasti tidak punya pilihan selain membalas.

Claire juga keras kepala, jadi ia tidak akan bisa meralat kata-katanya, dan ada kemungkinan besar itu akan berujung pada pertengkaran hebat.

"Kau, sudah bukan lagi anggota keluarga Latreia ataupun Greyrat."

"Baik."

Ekspresi Norn saat itu, sangatlah agresif.

Ia pasti mengira akan dihina habis-habisan karena telah menjadi istri dari anggota Ras Iblis.

Kata-kata Claire memang setajam itu. Bahkan aku pun sempat salah mengira ia akan mengatakan sesuatu yang buruk.

"Kau telah menjadi istri dan ibu dari keluarga Superdia. Sadarilah hal itu, dan mengabdilah pada suami dan rumahmu."

"Eh?"

Akan tetapi, kata-kata yang dilanjutkan oleh Claire adalah kata-kata yang sangat pantas.

Meskipun nada bicaranya sedikit memerintah dan terasa keras...

"Saya tidak begitu paham dengan adat istiadat Ras Iblis, tetapi tugas dan kesiapan hati seorang istri—untuk melahirkan anak dan menjaga rumah—seharusnya tidak berubah."

"..."

"Apa kau mengerti?"

"Ah... baik!"

Norn yang tadinya tercengang seolah semangat bertarungnya hilang, akhirnya mengangguk dengan wajah khidmat.

Mendengar jawaban itu, Claire pun mengangguk puas. Wajahnya seolah menunjukkan satu lagi beban di pundaknya terangkat.

Kurasa, Claire telah sedikit berubah selama sepuluh hari ini.

Mungkin karena menyesuaikan dengan perubahan itu, aku merasa Roxy dan Lilia juga bisa lebih santai di akhir-akhir kunjungan.

Pasti, ada sesuatu yang terjadi saat aku sedang pergi.

Terutama, jarak antara Roxy dan Claire, jika dibandingkan saat kami baru datang, rasanya sudah menjadi jauh lebih dekat.

Bagaimanapun juga, aku senang karena Claire tidak mendiskriminasi Ras Iblis.

Karena masalah diskriminasi bukanlah sesuatu yang bisa selesai hanya dengan dibicarakan.

Berkat itu, bukankah ketegangan antara dirinya dan Norn juga sedikit teratasi?

...Meskipun hubungan dengan Aisha tetap tidak berubah, sih.

★ ★ ★

Setelah berjalan sekitar setengah hari ke utara dari Millision, kami tiba di pintu masuk Pegunungan Naga Biru.

Kami menghentikan kereta kuda dan menurunkan anak-anak.

Lalu, aku berbalik.

"..."

Pemandangan terbentang di hadapan mataku.

Birunya sungai yang mengalir ke ibu kota. Hijaunya padang rumput sejauh mata memandang. Millision, tempat kami menghabiskan sepuluh hari. Istana Kerajaan White Palace, Katedral Agung yang berkilauan keemasan, Guild Petualang yang berkilauan keperakan.

Sudah hampir dua puluh tahun berlalu sejak aku melihatnya bersama Eris dan Ruijerd, ya.

Bangunan-bangunan kecilnya pasti sudah berbeda dari dulu, dan orang-orang yang tinggal di sana pun pasti sudah berganti, tetapi jika dilihat dari jauh seperti ini, rasanya hampir tidak ada yang berubah.

"Bagaimana menurut kalian?"

Pemandangan luas seperti ini memang biasa di dunia ini, tetapi jarang sekali ada kesempatan untuk melihatnya dari jauh setelah berjalan-jalan di dalamnya. Pasti ada perasaan nostalgia yang mendalam.

Sambil berpikir begitu, aku berbalik dan melihat reaksi anak-anak.

"Waaah~!"

Reaksi anak-anak bermacam-macam.

Lucy tersenyum sambil mengeluarkan seruan kagum yang tulus.

Belakangan ini ia sering bersikap sok dewasa seperti seorang kakak, tetapi di saat-saat seperti ini ia masih terlihat jujur dan kekanak-kanakan.

...Oh, Clive yang berdiri di sebelahnya sepertinya sedang bimbang antara mau menggenggam tangan Lucy atau tidak.

Tetapi, pada akhirnya ia tidak jadi menggenggamnya, dan saat Lucy berbalik sambil tersenyum dan berkata "Hebat, ya!", ia malah tersipu dan berkata, "Biasa saja, kok."

Dasar anak laki-laki... melihatnya membuatku tanpa sadar tersenyum. Dulu aku juga pernah seperti itu... tidak, apa pernah, ya? Rasanya tidak.

Ngomong-ngomong, kali ini Cliff juga ikut. Katanya ia disuruh untuk meninjau gereja yang baru dibangun di kota penginapan sebelum mulai bertugas di sana, tetapi itu pasti hanya dalih.

Paus telah mengaturnya agar ia bisa menghabiskan waktu bersama Elinalise.

"...Di masa depan, aku mau tinggal di sini. Banyak makanan manis."

Ucap Lara setelah matanya yang mengantuk itu terbelalak selama beberapa detik.

Tadi di dalam kereta aku sempat mendengar cerita dari Roxy, sepertinya Claire sangat memanjakan Lara.

Katanya, setiap hari ia diberi penganan manis, dan ia menghabiskan hari-harinya dengan senyum penuh kebahagiaan.

Entah kenapa, rasanya ia jadi sedikit lebih gemuk dibandingkan sebelum liburan. Wajar saja ia ingin tinggal di surga di mana makanan manis akan muncul sendiri meskipun ia hanya diam.

"Hei, Papa dan Mama Merah juga pernah ke sini sebelumnya?"

"Iya, meskipun umur Papa waktu itu sedikit lebih tua darimu sekarang."

"Hm..."

Ars mengangguk dan mengepalkan tinjunya. Apa mungkin ia sedang berpikir untuk menjadi petualang di masa depan?

"Hei, hei, Mama! Itu Sungai Nicolaus, 'kan! Terus, yang di sebelah sana itu hutan tempat para goblin!"

"Benar sekali. Apa kau tahu itu apa?"

"Itu Gerbang Kemenangan, 'kan! Gerbang Kemenangan itu gerbang tempat Santo (Saint) Millis kembali saat perang sudah selesai! Makanya lebih besar dari yang lain!"

"Betul. Kau tahu banyak, ya."

Sieg, sambil kegirangan melihat pemandangan di hadapannya, melontarkan pertanyaan satu per satu pada Roxy.

Sepertinya belakangan ini ia sering mendengar berbagai macam kisah petualangan dari Alec, jadi ia tahu banyak hal aneh.

Dibandingkan Ars, sepertinya dialah yang akan menjadi petualang.

"Papa, gendong."

Chris mengulurkan tangannya ke arahku.

"...Apa Chris masih belum mengerti, ya?"

"Nghh..."

Saat aku menggendongnya, ia menyandarkan dagunya di bahuku seolah berkata ia tidak tertarik pada pemandangan.

Seperti biasa, Chris manis sekali...

"..."

Saat aku melihat Lili, ia sedang digendong oleh Sylphie sambil mengutak-atik sebuah peralatan sihir yang dibeli dari pedagang kaki lima beberapa hari yang lalu.

Sepertinya ia juga tidak tertarik. Apa menikmati pemandangan masih terlalu cepat untuk mereka berdua?

Tidak, apa mungkin ini yang normal? Mungkin Lucy dan yang lainnya yang bisa langsung terkesan melihat pemandangan adalah anak-anak yang dewasa sebelum waktunya.

"...Nostalgia sekali, ya."

Tiba-tiba, Eris datang ke sebelahku.

"Dulu, aku tidak pernah menyangka akan jadi seperti ini."

Sambil berkata begitu, Eris menatap Millision dengan pandangan penuh kenangan.

Rambut merahnya tertiup angin, memperlihatkan tengkuknya. Meskipun masih muda, raut wajahnya yang sudah tidak lagi kekanak-kanakan itu sangatlah pas dengan kata 'cantik'.

"Dulu kau pikir akan jadi seperti apa?"

"...Kukira dunia ini jauh lebih sederhana."

Jadi sekarang ia tidak lagi berpikir begitu? Eris memang bukan orang yang suka berpikir, tetapi bukan berarti ia tidak pernah berpikir. Mungkin karena ia sudah melahirkan dua anak dan menjadi lebih tenang, tetapi waktu memang bisa mengubah seseorang.

"Aku mencintaimu, Rudeus."

Tiba-tiba Eris menoleh ke arahku dan mengatakannya sambil menatap mataku.

Jantungku jadi berdebar-debar. Duh, gimana, nih. Kayaknya, muka atashi sekarang lagi merah banget, deh.

"Aku juga, Eris."

Saat aku entah bagaimana berhasil berpura-pura tenang dan berkata begitu, Eris sedikit mendekatkan tubuhnya.

Ini adalah kesempatan untuk membelai tubuh Eris, tetapi sayangnya kedua tanganku sedang sibuk dengan sesuatu yang lain yang tak kalah penting.

Untuk saat ini, aku membelai Chris, dan ia tertawa "Hihi!" dengan wajah kegelian.

"Papa, jangan gelitikin~"

"Ups, maaf."

"Nggak gelitikin lagi?"

"Nggak, nggak."

Melihat percakapan itu, Eris terkekeh pelan dan mencium pipiku.

Setelah itu, Eris juga mencium rambut Chris, lalu dengan perlahan menjauh dari sisiku.

"Nah, ayo kita berangkat."

Mendengar perkataan Eris, kami pun kembali ke kereta kuda.

Sebuah lembah yang membelah Pegunungan Naga Biru.

Jika bagian yang membelah Hutan Raya adalah Jalan Raya Pedang Suci, maka tempat ini ibarat gagang dari pedang suci tersebut.

Tebing-tebing curam menjulang di kiri dan kanan, tetapi tidak ada batu yang berjatuhan. Lembah yang remang-remang ini terus terbentang tanpa akhir.

Melihat pemandangan itu, anak-anak pada awalnya menunjukkan ekspresi gembira.

Terutama Lara, tumben sekali ia sampai berseru "Ooh~".

Awal dari sebuah petualangan. Tempat seperti apa yang akan kami tuju? Apakah akan ada monster? Kudengar ada naga biru di sekitar sini, apa kami bisa melihatnya...?

Harapan seperti itu, hancur dalam beberapa hari.

Pemandangannya tidak berubah.

Karena bukan musimnya, kami juga tidak bisa melihat naga biru. Tentu saja, monster pun tidak muncul. Hanya lembah yang terus terbentang.

Dengan hari-hari yang seperti itu, anak-anak menjadi bosan dalam tiga hari.

Lara mulai terang-terangan mengeluh bosan, bosan, dan sesekali ia keluar dari kereta kuda sambil berkata, "Waktunya Leo jalan-jalan," lalu berjalan dengan menunggangi Leo.

Jika ada celah, mungkin ia bahkan akan mencoba memanjat tebing.

Ars, Sieg, dan Clive juga, meskipun tidak mengatakannya, sepertinya sudah tidak sabar untuk berlatih pedang dengan Eris saat kereta kuda berhenti, atau bertarung tanding antar anak-anak, atau berlatih sihir dengan Roxy. Mungkin itu lebih baik daripada hanya berguncang-guncang di dalam kereta kuda tanpa melakukan apa-apa.

Chris menangis, "Aku terkurung!", dan Lily membongkar peralatan sihir yang baru dibelinya hingga berkeping-keping.

Yang tenang hanyalah Lucy, yang sedang membaca buku pemberian dari kediaman Latreia.

Hebat sekali dia tidak mabuk kendaraan meskipun membaca buku di dalam kereta kuda.

Suasana di dalam kereta kuda menjadi riuh rendah penuh jeritan. Aku bekerja sama dengan Sylphie dan yang lain untuk menenangkan anak-anak, tapi...

Mumpung sedang liburan, mungkin seharusnya aku memilih rute yang lebih menarik. Meskipun rute ini memang aman, sih...

Akan tetapi.

Justru karena mereka berada dalam kondisi lemas seperti itu, kegembiraan anak-anak saat tiba di kota penginapan menjadi luar biasa.

"Sampaaai!"

Begitu mereka keluar dari lembah dan melihat kota, Ars, Sieg, dan Lara langsung melompat turun dari kereta kuda.

"Hei, tunggu!"

Saat mereka berlari begitu saja menuju kota, Eris dan Sylphie mengejar dan menangkap tengkuk mereka.

Mereka berdua berhasil menangkap tengkuk Ars dan Sieg, tetapi Leo yang ditunggangi Lara berhasil menyelinap pergi dan naik ke atas sebuah batu karang yang agak tinggi.

Meskipun begitu, tidak perlu panik.

Ini adalah Jalan Raya Pedang Suci, tidak begitu banyak bahaya di sini.

"Lara! Kita semua ke penginapan dulu!"

Eris berteriak begitu, tetapi ia sendiri tampak gelisah.

Ia juga adalah salah satu orang yang telah menumpuk rasa frustrasi selama beberapa hari ini. Meskipun ia sudah lebih dewasa dan tenang dibandingkan dulu, sifat dasar manusia tidak banyak berubah. Eris adalah orang yang tidak bisa diam di satu tempat.

Ars dan Sieg dengan enggan kembali ke kereta kuda.

Akan tetapi, Lara tidak kembali. Ia sedang menatap Hutan Raya yang terbentang luas tanpa akhir di hadapan matanya.

"Lara, kembali."

Mendengar perkataan Sylphie, Lara menoleh, tetapi Leo tidak bergerak.

Lara menatap Sylphie dan Leo secara bergantian, lalu turun dari punggung Leo dan menepuk-nepuk punggungnya.

Melihat Leo tetap tidak bergerak, alisnya sedikit berkerut.

Sylphie yang sudah tidak sabar pun mendekati Lara.

Saat tangannya terulur, Lara mengulurkan tangannya seolah menahannya.

"Sebentar lagi."

"Besok juga bisa dilihat pelan-pelan. Cepatlah."

"Leo bilang, ini pertama kalinya dia melihat kampung halamannya seperti ini, jadi dia ingin melihatnya sedikit lebih lama."

"Begitu, ya..."

Sylphie, dengan wajah bingung, menoleh ke arahku.

Ia pasti ingin membiarkannya, tetapi saat ini mereka sedang dalam rombongan. Anak-anak lain sudah di ambang batas kesabaran, dan lebih baik mereka segera bergerak.

Harus bagaimana, ya. Meskipun ada Leo, tidak mungkin juga meninggalkan Lara sendirian. Mungkin itulah yang ia rasakan.

Aku turun dari kereta kuda dan berjalan ke tempat Lara.

"Sylphie. Biar aku yang bersama Lara."

"...Mengerti. Cepat menyusul, ya."

Entah karena ia langsung mengerti maksudku, Sylphie mengangguk singkat dan kembali ke kereta kuda.

Aku duduk di samping batu karang tempat Leo berdiri.

Lalu, Lara ikut duduk di sebelahku. Kami duduk berjajar—Leo, aku, dan Lara—sambil memandang Hutan Raya.

Meskipun jalannya sebagian besar datar dan lurus, mungkin karena jalan ini terus menanjak ke arah pegunungan, kami bisa melihat Hutan Raya dari atas.

Di tengah hamparan hijau sejauh mata memandang, ada sebuah garis lurus berwarna cokelat. Pemandangan yang cukup megah.

Kalau dipikir-pikir, dulu saat aku melewati tempat ini, aku tidak menoleh ke belakang...

"Lara."

"Apa?"

"Apa Leo sedang bernostalgia?"

"...Sepertinya dia tidak merasa nostalgia."

Tidak merasa, ya.

"Heeh..."

"..."

Lalu, perasaan apa yang ia rasakan?

Aku tidak akan tahu tanpa Bow-Lingual*, tetapi Bow-Lingual di rumah kami tidak mau bicara banyak. Jika aku terus bertanya, ia akan menunjukkan sikap seolah berkata, "Jangan gunakan aku sebagai alat penerjemah."

(TL Note - Bow-Lingual: Sebuah referensi ke mainan dari Jepang yang diklaim bisa "menerjemahkan" gonggongan anjing. Di sini, Rudeus menggunakan istilah ini untuk menyindir Lara yang bisa berbicara dengan Leo.)

Yah, sudahlah, ganti topik saja.

"...Lara."

"Apa?"

"Aku tadinya berencana memberitahumu saat kau berumur sepuluh tahun, tapi saat kau dewasa nanti, kau harus melakukan Ritual Pohon Suci di desa Suku Doldia."

"Tahu. Sudah dengar."

"Dari siapa?"

"Leo."

Langsung dari Tuan Hewan Suci sendiri, ya.

"Kau tahu Pursena, 'kan?"

"Anjingnya Kak Aisha."

Kejam sekali cara bicaranya. Meskipun tidak salah, sih.

"Kau akan pergi bersamanya."

Saat aku berkata begitu, Lara memasang ekspresi curiga.

"...Papa tidak ikut?"

"Aku ingin ikut, tapi itu 'kan ritual khusus untuk Ras Buas, jadi mungkin ras manusia bahkan tidak boleh melihatnya."

Atau, jangan-jangan Lara berpikir, 'Jangan datang, Papa, malu'?

Kurasa masih terlalu cepat untuk masa pemberontakannya, tapi...

Dan, Leo menoleh ke arahku.

"Guk."

"...Leo bilang, tidak apa-apa."

Tidak apa-apa, maksudnya tidak apa-apa jika aku ikut melihat?

Fakta bahwa ia mau repot-repot menjadi penerjemah... untuk saat ini, artinya Lara tidak membenciku, ya.

Meskipun begitu, nanti kalau ia sudah besar, ia pasti akan mulai membenciku.

Mengatakan hal-hal seperti, "Jangan cuci celana dalamku bersama celana dalam Papa!"

Bahkan Chris pun, sekarang ia bilang mau menjadi pengantin Papa, tapi siapa tahu bagaimana nanti kalau ia sudah besar.

"Papa."

"Hm?"

"Tenang saja. Papa cukup percaya dan nantikan saja."

"...Iya. Akan kulakukan."

Meskipun aku tidak tahu apa yang harus kupercaya dan kunantikan, aku tetap mengangguk.

Lalu Lara balas mengangguk dengan puas dan berdiri. Apa sudah waktunya pergi?

Saat aku berpikir begitu dan hendak berdiri sambil berbalik,

"Uwoh...!"

Tiba-tiba sesuatu yang berat mendarat di pundakku.

Melihat sepasang sepatu kecil yang bergoyang di pandanganku, aku sadar Lara telah melompat ke pundakku.

"Gendong di pundak."

"...Sebagai ganti Leo?"

"Sekarang aku sedang ingin bermanja-manja dengan Papa."

Jadi begitu, ya. Kalau begitu, akan kumanjakan kau sepuasnya. Rudeus-san ini memang lemah kalau sudah menyangkut putrinya.

"AUUUUUUUUUUU────………NG"

Saat aku berdiri, Leo melolong panjang. Suaranya menggema jauh hingga ke dalam Hutan Raya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close