NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Mushoku Tensei: Redundancy Jilid 3 Bab 4

 Penerjemah: Kryma

Proffreader: Kryma


Bab 4

"Masa Muda"



Malam itu, suara bentakan Lilia menggema di dalam rumah.

Mungkin ayah dan yang lain yang sedang berdiskusi di ruang keluarga tidak mendengarnya, tetapi kami bisa.

Itu adalah suara Lilia yang sedang memarahi Aisha.

'Kenapa kau melakukan hal seperti itu, aku tidak bisa menghadap mendiang Tuan.'

'Menggoda putra dari Tuan Rudeus-sama bukanlah hal yang pantas kita lakukan.'

Aku mendengar suara yang memilukan itu dari kamar yang agak jauh.

Hatiku terasa sangat sakit.

Seharusnya, aku juga berada di sana, tetapi Aisha berkata, "Aku tidak apa-apa," jadi aku menunggu di kamar.

Ini cerita yang memalukan, tetapi bahkan setelah ditegur seperti itu oleh Mama Merah, aku tetap saja bersikap pasif.

Tidak, lebih dari sekadar pasif, saat itu aku begitu memercayai Aisha. Karena kemampuan Aisha untuk menyelesaikan masalah, jika dibandingkan dengan diriku saat itu... tidak, bahkan jika dibandingkan dengan diriku yang sekarang pun, ia masih lebih unggul.

Jika kuserahkan semuanya padanya, semua akan baik-baik saja. Ia akan menyelesaikan apa pun dengan sempurna.

Aisha, ya, dia adalah wanita seperti itu. Dia hebat. Sungguh, dia sangat hebat.

"Ars,"

Karena itu, saat kakakku, Lara, yang berkumpul di kamarku berkata seperti itu, aku berpikir, "Benar juga, ya."

"Apa kau pikir kau sepadan dengan Kak Aisha?"

Memang benar, aku dan Aisha tidak sepadan.

Tentu saja. Aku benar-benar menyerahkan segalanya padanya, bahkan di saat darurat pun aku bergantung padanya... Aisha memang bisa melakukan apa saja, tetapi bukan berarti aku boleh terus-terusan mengandalkannya.

Itulah arti dari perkataan Mama Merah yang menyuruhku untuk tahu malu.

Saat itu aku tidak bisa mengungkapkannya dengan jelas, tetapi aku berpikir, "Benar juga, ya."

"Aku juga pikir Kak Ars aneh."

"Sieg..."

"Aku sih belum begitu mengerti soal itu, tapi Kak Ars suka sama Kak Aisha, 'kan? Kalian berdua yang berbuat salah, tapi kenapa cuma Kak Aisha yang dimarahi? Aneh, 'kan?"

Bahkan saat diberitahu begitu oleh adikku, aku masih berpikir mungkin memang begitu.

Akan tetapi, bahkan di saat seperti ini pun, aku masih berpikir begini.

'Kan Aisha yang bilang tidak apa-apa kalau dia sendiri yang menanganinya.'

"Untung Kak Lucy tidak ada. Kalau ada, pasti sudah meledak. Kita pasti sudah dihajar habis-habisan."

"Iya, ya."

Aku merasa bimbang.

Ditatap dengan dingin oleh kakak dan adikku, aku tidak bisa membalas apa-apa.

Tentu saja aku juga tahu ini aneh.

Menyerahkan segalanya pada gadis yang kusukai, membiarkannya menanggung semua kesalahan, mana mungkin itu hal yang benar.

Lagi pula, bukan berarti aku hanya belajar dari Aisha saja. Aku tahu bahwa sosok pria atau manusia ideal yang kukenal bukanlah orang yang seperti itu.

"Ars, sekaranglah saatnya menunjukkan kejantananmu."

"Benar! Kak Ars, semangat!"

"...Tapi, 'menunjukkan kejantanan' itu maksudnya bagaimana?"

Saat aku bertanya begitu, kakak dan adikku yang akrab itu saling berpandangan.

Wajah mereka seolah berkata, 'Masa kau tidak mengerti?' Tapi, yang tidak kumengerti ya tetap tidak kumengerti. Aku ini 'kan memang bodoh. Kalau tidak mengerti, ya tidak mengerti.

Setidaknya, aku tahu tidak ada gunanya menyesali sikapku di rapat keluarga tadi.

'Jangan terpaku pada masa lalu, renungkan, dan teruslah maju,' begitulah ajaran di keluarga kami.

"...Kalahkan Papa?"

"Eh?"

Mendengar kata-kata Lara, Sieg memasang wajah kaget.

"Aku tadi diam-diam menguping rapatnya, dan kalau didengar baik-baik, yang menentang itu hanya Papa dan Nenek. Mama Putih marah karena Kak Aisha berbohong, dan Mama Merah marah karena Ars lembek, tapi mereka tidak menentang hubungannya itu sendiri. Kurasa Nenek juga tidak akan menentang kalau Papa tidak marah. Dia 'kan selalu senang melihat Ars akrab dengan Kak Aisha... artinya, kalau kau kalahkan Papa, masalahnya selesai. Mama Merah pasti akan bilang begitu juga."

Ucap Lara panjang lebar, tanpa intonasi.

Meskipun kakakku yang satu itu biasanya malas dan tidak banyak bicara, aku tahu saat ini ia sedang bersungguh-sungguh memikirkan solusinya untukku.

Walaupun isi pembicaraannya tidak realistis.

"Meskipun dibilang kalahkan, mana mungkin aku bisa menang."

"Ars pasti bisa. Kalau kau serang saat dia tidur."

Ayah memang kuat, tapi dia seorang penyihir.

Kewaspadaannya pada kami juga tipis.

Jadi seperti kata Lara, jika aku menyerangnya saat ia tidur, aku pasti bisa mengalahkannya.

Tidak, tapi, rasanya itu juga salah. Aku tidak yakin Mama Merah akan setuju jika aku menyerangnya saat ia tidur.

"J-Jangan, ah. Meskipun kita kalahkan Papa, 'kan masih ada para Mama?"

"...Benar juga, ya."

Lara langsung mundur mendengar satu kalimat itu.

Mungkin Lara juga sadar kalau idenya tidak begitu cemerlang.

"Lagipula, untuk apa mengalahkan Papa?"

"Kalau kita lenyapkan Papa, kau bisa menyebut dirimu kepala keluarga, dan Kak Aisha juga bisa bebas."

"Lenyapkan... apa itu tidak berlebihan?"

"Iya, sih. Bercanda."

Aku tidak bisa tertawa mendengar candaan Lara.

Tetapi, untuk urusan dengan Mama Merah, mungkin aku memang harus menunjukkan semangat juang sebesar itu.

Apa aku harus menyatakan pada ayah, "Tolong berikan adik Anda pada saya"?

Rasanya itu juga agak salah... tapi kurasa Mama Putih akan mengerti jika aku berbicara dengannya baik-baik.

Berbicara baik-baik.

Iya, benar. Aku harus sekali lagi menyampaikan bahwa aku menyukai Aisha dan ingin menikahinya di masa depan.

Alasan kenapa ayah menentangnya, Mama Biru pasti akan memberitahuku. Termasuk cara menyelesaikannya.

Saat ia berpikir begitu, rasanya berbagai hal mulai tersusun dengan rapi.

Aku juga tidak pandai bicara, tapi kupikir perasaanku pasti akan tersampaikan.

"Ah, omelannya sudah selesai."

"Aku pergi dulu."

"Hati-hati jangan sampai ketahuan."

Suara bentakan Lilia yang tadinya samar-samar terdengar dari luar jendela telah hening, dan terdengar bunyi 'klik' pintu ditutup.

Agar tidak terlihat oleh ayah dan para ibu, aku bergerak mengendap-endap, dan tepat saat Aisha berpisah dengan Lilia dan hendak kembali ke kamarnya, aku meraih tangannya.

"Kak Aisha..."

"Ah, Ars-kun..."

'Tidak boleh. Kita baru saja dimarahi, kalau sampai terlihat sedang bertemu, kita akan dimarahi lagi, lho.'

Aku membayangkan Aisha yang tersenyum sambil berkata begitu dan mencolek ujung hidungku.

Lalu ia akan memberitahuku kenapa aku gagal dan dengan santai mengusulkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Sesaat aku berpikir akan seperti itu.

"Maaf, ya, aku gagal..."

"Uhm."

Tetapi ternyata tidak begitu.

Aisha tampak sangat lelah dan menderita.

Dengan ekspresi yang seolah bercampur antara kepasrahan, kekecewaan, dan kegelisahan, ia mencoba untuk tersenyum, tetapi bahkan tidak bisa tersenyum seperti biasanya dan hanya memasang wajah bingung.

"Kita akan terpisah, ya..."

Aku selalu berpikir bahwa suatu saat nanti kami memang akan terpisah.

Sama seperti Lucy yang pergi ke sekolah di Kerajaan Asura, aku juga akan pergi dari sini setelah lulus dari Universitas Sihir Ranoa. Bukankah itu adalah hal yang sudah diputuskan?

Tetapi mungkinkah, Aisha berniat untuk ikut bersamaku?

Aku tidak tahu apa yang Aisha rencanakan, tetapi tidak aneh jika ia memang sedang mempersiapkan hal seperti itu.

Karena Aisha adalah orang yang bisa melakukan hal-hal semacam itu.

"...Ars-kun."

Ucap Aisha pelan.

"Bagaimana kalau kita kabur saja, berdua? Pergi dari rumah ini, ke tempat lain."

Itu adalah ekspresi yang baru pertama kali kulihat.

Kata-kata yang terasa seperti diucapkan secara impulsif, meskipun ia tampak seperti akan menangis dan tahu bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi.

"Hanya bercan—"

"Aku ikut."

Karena itu, sebelum Aisha selesai berkata itu hanya bercanda, aku mengatakannya.

Itu adalah sebuah refleks. Semua yang kupikirkan sampai saat itu lenyap begitu saja.

"Kalau Kak Aisha ingin melakukannya, aku akan ikut. Apa pun yang ingin Kak Aisha lakukan, akan kubantu dengan sekuat tenaga. Mari kita bersama. Karena aku suka Kak Aisha, aku tidak mau berpisah."

Untuk beberapa saat, Aisha memasang wajah bengong, lalu berkata dengan suara tanpa intonasi.

"Waaah..."

"Aku memang masih belum kuat sama sekali dan mungkin tidak akan berguna, tapi akan kutunjukkan kalau aku bisa melindungi Kak Aisha."

Saat aku berkata begitu dan menggenggam tangannya, Aisha memerah dan dengan kaku balas menggenggam tanganku.

Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Aisha saat itu.

Kurasa aku sendiri juga tidak berpikir panjang.

Tetapi, bahkan diriku yang tidak peka ini mengerti, setidaknya, bahwa Aisha ingin bersamaku. Aisha, yang biasanya mengabaikan perasaan dan selalu memikirkan cara yang paling efisien, ia mengabaikan semua itu dan untuk pertama kalinya mengatakan sesuatu yang didasari oleh perasaannya.

Tentu saja, kau pasti ingin mengabulkannya, 'kan?

"...Kalau begitu, ayo kita pergi."

Dan begitulah, kami memutuskan untuk kabur dari rumah.

★ ★ ★

Berkemasnya cepat.

Aisha sudah menyiapkan tas untuk evakuasi di saat darurat.

Agar bisa kabur kapan saja, karena tidak tahu kapan musuh Ayah akan menyerang.

Ia mengambil dua tas, berpikir sejenak, lalu menyuruhku membawa keduanya.

Tasnya tidak begitu berat. Lagi pula ini adalah perlengkapan darurat minimal. Saat kutanya apa ini saja cukup, Aisha tertawa dan berkata, "Tenang, tenang, apa yang kita butuhkan di jalan nanti bisa kita dapatkan di jalan."

Setelah itu, kami diam-diam keluar dari rumah lewat pintu belakang.

Leo tidak menyalak. Beat juga diam.

Entah karena semua orang sudah tidur, rumah terasa sunyi, tetapi aku bisa melihat Lara dan Sieg mengintip dari jendela, menatap ke arah kami.

Saat mata kami bertemu, aku hanya mengangguk pada mereka.

Mereka berdua melambaikan tangan, tetapi aku tidak membalasnya. Aku tidak merasa cemas, tidak berpikir mungkin aku tidak akan bisa kembali lagi. Kupikir aku pasti akan bertemu lagi dengan Lara. Soal Sieg, aku tidak tahu.

Tetapi entah kenapa, aku merasa mungkin aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan para Mama.

"Kalian mau kabur dari rumah?"

Padahal baru beberapa langkah kami berjalan setelah keluar dari rumah, sebuah suara memanggil kami dari belakang.

Suara yang familier. Suara yang sering kudengar baik di rumah maupun di sekolah. Suara yang terdengar sedikit mengantuk, tetapi bergema dengan penuh wibawa.

Mama Biru, Roxy M. Greyrat, ada di sana.

"..."

Aku melangkah maju ke depan Aisha.

Melawan Mama Biru, di jarak sedekat ini, aku bisa menang.

Sambil berpikir begitu dan meletakkan tangan di pedang di pinggangku, aku sadar tanganku gemetaran.

"Ars-kun, tidak apa-apa."

Diberitahu begitu oleh Aisha, aku melepaskan tanganku dari pedang.

Hanya dalam sekejap, dahiku basah kuyup oleh keringat, dan aku menyekanya dengan lengan bajuku.

Mama Biru adalah ibu yang selalu mengawasi kami.

Di sekolah pun, jika ada yang tidak kumengerti, ia akan mengajariku dengan lembut.

Saat aku bertengkar dengan teman, ia juga menemaniku pergi meminta maaf.

Di hari saat Ayah, Mama Merah, Mama Putih, Aisha, dan Lilia sedang pergi, ia mengajakku memancing sambil berkata, "Ayo kita cari bahan makanan bersama."

Saat aku sadar apa yang baru saja akan kulakukan pada Mama Biru—yang selalu tenang, lembut, cerdas, dan menemaniku saat aku dalam kesulitan—aku nyaris menangis.

Apa ini yang namanya pengkhianatan? Apa benar ini...?

Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaanku, dan aku hanya bisa terdiam membeku.

"Tidak kusangka akan ketahuan oleh Kak Roxy."

"Aku terkejut karena tidak menyadari perubahan kalian berdua, jadi aku ragu apa sebaiknya aku bicara pada kalian atau tidak..."

Mama Biru yang berkata begitu tidak menegur kami, tidak juga terlihat marah. Ia tampak tenang dan lembut seperti biasanya.

"Kalian mau pergi ke mana?"

"Aku tidak akan bilang. Kalau kubilang, nanti kami akan disuruh kembali, 'kan."

"Apa kalian punya tujuan?"

"Iya. Kami bisa hidup berdua."

"Sebaiknya jangan jadi petualang. Penghasilannya tidak seberapa."

"Tenang, tenang. Kami tidak akan melakukan hal berbahaya seperti itu. Untungnya berkat diizinkan mengelola Kelompok Tentara Bayaran Rude, aku punya uang, jadi kami akan bertahan dengan itu."

"Rudy pasti akan khawatir dan mencari kalian, lho."

"Kalau Kakak, mungkin dia bisa menemukan kami... tapi entahlah. Kakak itu, terkadang suka ceroboh."

"Meskipun Rudy punya sisi ceroboh, jika ia meminta bantuan pada Orsted-sama atau Perugius-sama, tidak mungkin kalian tidak akan ditemukan."

"...Iya, juga, ya... Meskipun begitu, kami tetap akan pergi."

"Begitu, ya."

Mama Biru menghela napas panjang.

"Aisha."

"Apa?"

"Akan kusiapkan landasannya agar kalian tidak mudah ditemukan. Tapi, jika kau merasa 'begini terus tidak akan bisa', hubungi aku. Caranya apa saja boleh."

"Iya... aku mengerti. Terima kasih, Kak Roxy."

Aisha mulai berjalan dengan santai.

Sambil mengikutinya, aku menatap Mama Biru yang sedang tersenyum.

Sepertinya Mama Biru tidak berniat menghentikan kami.

Tidak tahan lagi, aku pun bertanya.

"Anu, Mama Biru... Mama tidak akan menghentikan kami?"

"Iya. Karena saya juga kabur dari rumah di usia seperti Anda, dan beginilah saya sekarang."

"Mama Biru juga...?"

"Saat masih kecil saya kabur dari rumah, menjadi petualang, dan terus sampai ke Ranoa. Selama lebih dari dua puluh tahun, saya tidak kembali ke rumah. Meskipun begitu, saya masih hidup sampai sekarang, jadi tidak apa-apa. Perjalanan itu bisa mengajarkan banyak hal. Berusahalah untuk berpikir dengan kepalamu sendiri agar tidak terlalu bergantung pada Aisha."

"...Baik."

Sambil berkata begitu, Mama Biru menepuk kepalaku.

Mama Biru itu mungil, tingginya hampir sama denganku, tetapi saat itu aku merasa ia adalah seorang orang dewasa.

Mengingat aku baru saja hendak menghunus pedang pada orang seperti itu, air mata menggenang di sudut mataku.

"Kalau begitu, hati-hati di jalan."

Dengan Mama Biru di belakang kami, kami pun memulai perjalanan kami.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close