Penerjemah: Kryma
Proffreader: Kryma
Bab 7
“Sang Pelindung Kecil”
Belakangan ini, aku jadi sering berpikir tentang apa itu sebenarnya 'orang dewasa'.
Aku berpikir tentang apa artinya menjadi 'orang yang mandiri'.
Dulu, kukira aku ini sudah dewasa dan mandiri. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Setelah aku sadar bahwa aku hanyalah seorang bocah yang belum dewasa, aku berniat untuk berusaha dan bertumbuh, tetapi masih banyak sekali kekuranganku.
Pertumbuhan anak-anak itu cepat. Mereka terus tumbuh menjadi dewasa.
Di sisi lain, dari sudut pandang kami, terlihat sisi-sisi mereka yang belum dewasa.
Bagi kami, sepertinya anak-anak itu tidak menyadari ketidakdewasaan mereka.
Tetapi apa benar begitu? Apa mungkin sebenarnya mereka sadar, tetapi hanya masih bingung untuk memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk?
Dan bahkan aku sendiri pun masih belum bisa menilai, apakah ketidakdewasaan itu adalah sesuatu yang benar-benar harus dihilangkan, dan apakah dengan menghilangkannya itu benar-benar bisa disebut sebagai sebuah pertumbuhan.
Dikutip dari 'Kitab Rudeus, Volume 29'
★ ★ ★
Aisha dan Ars ditemukan di Benua Millis.
Di sebuah desa kecil di tepi sungai, di ujung Kerajaan Suci Millis.
Sepertinya, Aisha dan Ars tinggal di sebuah rumah kecil di sana.
Yang menemukan informasi itu adalah Roxy.
Lebih tepatnya, seorang petualang. Seorang petualang yang beraktivitas di Millis menemukan Aisha dan Ars di sebuah desa yang ia singgahi untuk sebuah permintaan. Karena di Guild Petualang ada permintaan pencarian untuk Aisha dan Ars, informasi itu pun diteruskan ke Kelompok Tentara Bayaran Rude. Akan tetapi, informasi yang sampai ke Kelompok Tentara Bayaran Rude telah dihanguskan, karena Aisha sudah mempersiapkan landasannya terlebih dahulu.
Tetapi, ceritanya tidak berakhir di sana.
Meskipun aku sudah melarang Roxy untuk pergi mencari, ternyata ia sering diam-diam menggunakan lingkaran sihir teleportasi untuk mengumpulkan informasi di berbagai daerah. Seperti yang diharapkan dari guruku yang bisa diandalkan.
Karena Guild Petualang memiliki kewajiban menjaga rahasia, seharusnya informasi hanya diberikan pada klien, tetapi di Guild Petualang Millis, ada seorang teman lama Roxy yang bekerja sebagai staf.
Karena itu, Roxy bisa mengetahui isi informasi tersebut dan juga fakta bahwa informasi itu telah dihanguskan oleh kelompok tentara bayaran.
Untuk memverifikasi informasi tersebut, Roxy pun bergegas ke desa itu.
Ia mengonfirmasi keberadaan Aisha dan Ars dari kejauhan.
Untuk saat itu ia menghindari kontak dan kembali untuk melapor padaku, yang sudah mulai panik karena Roxy pun tak kunjung kembali... begitulah ceritanya.
Dan kemudian, aku pun datang ke desa itu.
Bersama dengan Sylphie, Roxy, dan Eris.
Lilia juga berkata ingin ikut, tetapi untuk kali ini, aku memintanya untuk menjaga rumah.
Karena kupikir, akulah yang harus pertama kali berbicara dengan Aisha.
Desa itu damai, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Kudengar, desa itu dikelola oleh Guild Penebang Kayu. Pekerjaan utamanya adalah sebagai titik estafet transportasi kayu, di mana mereka menerima kayu yang dihanyutkan dari hulu sungai dan menyerahkannya pada para pedagang yang akan membawanya ke kota besar.
Selain itu, ada juga peternakan dan pertanian yang dilakukan secukupnya untuk bertahan hidup.
Meskipun ada hutan di dekatnya, kerusakan akibat monster tidak begitu banyak, dan permintaan ke Guild Petualang pun sedikit.
Jika pekerjaan penebangan di hulu selesai, desa itu pun akan lenyap dengan sendirinya, karena itu ia bahkan tidak punya nama.
Tentu saja, tidak ada di peta. Sebagian besar orang bahkan tidak tahu ada orang yang tinggal di sana.
Di salah satu sudut desa seperti itulah, mereka berdua tinggal.
Sebuah rumah kecil, mungkin bekas. Di sampingnya ada kincir air kecil, ladang kecil, dan kandang ayam kecil.
Dan, sebuah taman bunga kecil.
Aku berdiri di depan rumah itu. Aku ingin segera masuk dan berbicara dengan Aisha.
Akan tetapi, aku tidak bisa masuk. Karena ada seorang penjaga gerbang kecil.
Ars. Dengan mata yang penuh tekad kuat, ia menatapku tajam.
"..."
Tatapan yang kuat. Terlihat seolah bahkan mengandung niat membunuh.
Belum pernah sekalipun aku ditatap seperti ini oleh anakku sendiri.
Seketika aku merasa ingin menangis dan ingin berbalik pulang.
Tentu saja, aku tidak berniat untuk pulang...
"Ars."
"...Papa."
Ars yang kulihat setelah sekian lama, tampak jauh lebih dewasa.
Apa karena pakaiannya? Zirah kulit seperti petualang dan sebilah pedang. Tapi, secara keseluruhan terlihat kotor.
Dan, ada semacam keliaran yang tidak ia miliki saat masih di rumah.
Aku juga harus bicara dengannya.
"Ars... apa kau baik-baik saja dengan semua ini?"
Padahal sudah setahun aku berpikir harus bicara dengan Ars.
Isi pembicaraan yang sudah kurancang sudah lama lenyap, dan yang keluar dari mulutku malah kata-kata seperti itu.
"Dengan semua ini, maksudnya apa?"
"Hubunganmu dengan Aisha, kawin lari, situasimu sekarang... apa kau tidak menyesal?"
"Saya sudah... punya tekad."
Aku bertanya soal penyesalan, tapi jawabannya adalah tekad, ya.
Tidak ada keraguan sedikit pun. Aku bisa merasakan tekad yang lebih kuat dari yang kuduga.
Ia tidak sekadar ikut-ikutan dengan Aisha. Itulah kesan yang ia berikan.
"Kuharap kau bisa menunjukkan sikap itu pada hari itu."
"Benar. Seharusnya saya begitu."
"Aku juga seharusnya bertanya padamu baik-baik."
"Pada hari itu, kurasa saya tidak akan bisa menjawabnya."
Jawaban yang jelas. Apa ia ingin mengatakan bahwa ia telah berubah dalam setahun ini?
"Apa kau berniat untuk terus hidup bersama Aisha?"
Saat aku bertanya begitu, jawaban yang sedikit panjang pun datang.
"...Saya suka Kak Aisha. Sejak dulu ia selalu menjaga saya, menolong saya, dan membesarkan saya. Tentu saja saya juga berterima kasih pada Papa dan para Mama, tetapi Kak Aisha telah merawat saya lebih dari siapa pun. Kalau Kak Aisha bilang ia ingin bersamaku, maka aku... ingin hidup untuk melindungi Kak Aisha... aku ingin membantunya melakukan apa yang ingin ia lakukan. Begitulah yang kupikirkan."
Jawaban yang sedikit berbeda dari maksud pertanyaanku, tetapi, seperti yang kuduga, tidak ada keraguan sedikit pun.
'Ingin membantunya melakukan apa yang ingin ia lakukan', ya...
Itu artinya, Ars juga telah memikirkan berbagai macam hal selama setahun ini.
Meskipun aku sedikit khawatir karena semuanya masih berpusat pada Aisha... yah, kurasa hubungan seperti itu juga tidak apa-apa.
Tetapi, jika saja ia menunjukkan sikap dan kata-kata ini pada hari itu, hasilnya pasti akan berbeda.
Yah, alasan aku menentangnya memang sama sekali berbeda, jadi mungkin pada akhirnya mereka akan tetap kawin lari... tapi setidaknya, Eris mungkin tidak akan sampai memukul Ars.
Tidak, mungkin justru satu tahun inilah yang telah menciptakan fondasi yang membuatnya bisa berkata seperti ini.
Mungkin ada baiknya ia berada di lingkungan yang lebih keras bersama Aisha daripada di rumah.
Tetapi, ia tetap saja masih terlihat kecil.
Terlihat seperti seorang anak kecil yang belum melihat realita, melebih-lebihkan kekuatannya sendiri dan membual.
"Apa kau pikir kau bisa melakukannya?"
"Bisa."
"Menurutku, kau masih belum sanggup."
Saat aku mengatakan itu dengan jujur, Ars mengatupkan bibirnya dan menatapku dengan tajam.
"..."
Ia tidak berkata iya ataupun tidak.
Wajahnya juga terlihat seperti nyaris menangis. Terlihat seolah ia ingin berkata, 'Aku punya kekuatan yang cukup, tapi kau tidak mau mengerti.'
Nah, harus bagaimana ini. Sepertinya dia tidak akan mau minggir.
"Biar aku yang menguji apakah kata-katamu itu benar atau tidak."
Saat aku berpikir begitu, yang melangkah maju di hadapanku adalah Eris.
Sepertinya, ia juga berpikir bahwa adu mulut saja tidak akan cukup.
Saat aku mengangguk, ia menghunus pedang dari pinggangnya dan memasang kuda-kuda menghadap Ars.
Aura membunuh yang memancar dari seluruh tubuhnya itu asli. Aku bisa melihat warna pucat seketika menyebar di wajah Ars. Bukan hanya wajahnya, kaki dan seluruh tubuhnya juga mulai gemetar.
Akan tetapi, meskipun wajahnya pucat pasi, ia tidak melarikan diri.
Ia menghunus pedang dari pinggangnya dan memasang kuda-kuda. Menghadapi Eris, dengan gagah berani.
"Bisa melindunginya?"
Eris hanya bertanya singkat begitu.
"Akan kulindungi."
Ars kembali menjawab seperti itu. Dengan jelas.
"...!"
Detik berikutnya, Eris bergerak.
Sambil menghunus pedangnya dengan kecepatan luar biasa, ia menebas ke arah Ars.
Kecepatan dan waktu yang mungkin tidak akan bisa kureaksi sepenuhnya.
Akan tetapi, Ars berhasil bereaksi. Ia menahan pedang Eris, tetapi tidak bisa menahannya sepenuhnya, dan terguling ke tanah.
Sambil terguling, Ars mengayunkan pedangnya dan mengincar pergelangan kaki Eris.
Darah menyembur dari pergelangan kaki Eris. Luka yang dangkal. Eris tidak akan berhenti hanya karena itu. Dengan kakinya yang terluka, ia melesat maju, dan mengayunkan pedangnya ke bawah ke arah Ars yang kehilangan keseimbangan di tanah.
Di dekat kaki Eris, terdengar suara daging tertebas.
Itu bukan suara dari punggung pedang.
Darah muncrat ke udara, dan menyebar di dekat kaki Eris.
Cipratan darah merah itu bahkan sampai ke wajahku.
Suara yang tidak bisa ditarik kembali, pemandangan yang tidak bisa diulang kembali.
Ars telah hilang untuk selamanya.
Menyadari fakta itu, aku merasakan tenggorokanku bergetar.
Akan tetapi, ternyata tidak begitu. Detik berikutnya, seolah menyelinap di antara kedua kaki Eris, sesuatu melesat keluar.
Ars. Sambil mengucurkan darah dari bahunya, ia menyeringai dan menatap tajam ke arah Eris, meluapkan semangat juangnya yang tak kunjung padam.
"GAAAAAAH!"
Eris menyerang.
Seolah berkata darah yang mengalir dari pergelangan kakinya bukanlah masalah.
"GAAAAAAAH!"
Ars juga menyerang.
Luka di bahunya dalam dan bajunya telah basah oleh darah, tetapi ia bertarung seolah tidak merasakan sakit.
Tebasan Eris lebih cepat dan lebih berat. Setiap kali ia mengayunkan pedangnya dan Ars menahannya, Ars menerima dampak yang begitu kuat hingga seolah seluruh tubuhnya akan ikut terbawa, dan ia terhuyung-huyung mundur.
Terkadang ia terlempar jauh, terguling, mendapat luka-luka kecil, ditendang, dipukul dengan gagang pedang, dan dalam sekejap sekujur tubuhnya penuh luka.
Akan tetapi, ia tidak jatuh.
Tepat di batas kemampuannya, ia bertahan, memperbaiki kuda-kudanya, dan kembali maju ke arah Eris.
Berkali-kali.
Perbedaan kekuatan mereka begitu telak, dan Ars sudah penuh luka di sekujur tubuhnya.
Sejak serangan pertama ke pergelangan kaki Eris, ia belum berhasil mendaratkan satu tebasan pun.
Gerakan Ars benar-benar terkunci.
Meskipun begitu, Ars tidak jatuh. Padahal Eris bukanlah ahli pedang yang lunak dalam memberikan serangan pamungkas.
Apa karena Ars adalah putranya jadi ia tidak bisa menghabisinya?
Apa ia menahan diri agar tidak membunuhnya?
Mungkin ada sedikit unsur itu. Tetapi, bukan hanya itu.
Ars sudah menderita luka yang begitu parah hingga membuatku ingin memalingkan muka. Ars sendiri pun pasti tahu. Ia tidak akan bisa menang dari Eris.
Meskipun begitu, Ars tidak jatuh. Ia tidak mau mengakui kekalahan. Aku mengerti.
Karena ia harus melakukannya.
Ia sedang berusaha membuktikan bahwa kata-katanya untuk melindungi bukanlah sebuah kebohongan.
Akan tetapi, batas kemampuannya pun tiba.
"...Guh!"
Dengan bunyi 'TRANG!', pedang terlepas dari tangan Ars.
Pedang itu berputar-putar di udara dan jatuh di dekat kakiku.
Seketika, aku merasa merinding ngeri.
Yang terbang bukan hanya pedangnya.
Di gagang pedang itu, menempel tangan Ars.
Tangan itu, meskipun sudah terlepas dari tubuhnya, masih menggenggam pedang dengan erat.
"...!"
Aku dilanda dorongan untuk menghentikan mereka. Perasaan ingin menahan mereka berdua sambil berkata "sudah cukup" muncul.
Akan tetapi, terlihat jelas bahkan dari pinggir bahwa Ars belum menyerah.
Sambil menahan lengannya yang tersisa, ia masih memasang kuda-kuda rendah, siap untuk kembali menerjang Eris.
Melihat itu, Eris membuang pedangnya. Dengan tangan kosong, ia menghadapi Ars.
"UGAAAAAH!"
Bersamaan dengan raungan, Ars menerjang Eris.
Sebuah terjangan tanpa strategi, hanya mengandalkan tenaga.
Sementara itu, Eris tetap tenang. Ia mendaratkan tinjunya ke kepala Ars sebagai serangan balasan, menjatuhkannya hingga telentang, lalu menindihnya.
Ia mengunci lengan Ars dengan kedua lututnya dan mengambil posisi di atas.
Setelahnya adalah pemandangan yang juga kukenal baik.
"GAAAAAAH!"
Ars dipukuli tanpa bisa melawan, tetapi ia tetap tidak menyerah dan terus meraung.
Eris memukul. Ia menghujamkan tinjunya berkali-kali.
Suara gedebuk yang tumpul menggema berulang kali.
Akan tetapi, perlahan-lahan, kekuatan dari tinjunya mulai menghilang.
Ia sendiri juga tidak suka. Memukuli putranya seperti ini.
"...!"
Tiba-tiba, wajah Eris meledak, dan ia terlempar ke belakang.
Eris berhasil mendarat dengan selamat dan langsung bangkit, tetapi poninya hangus dan ada luka bakar di wajahnya.
Itu sihir. Sambil meronta-ronta dengan putus asa, ia berhasil menggeser lutut Eris yang menahan lengannya, dan dengan satu lengannya yang bebas, ia menembakkan Fireball.
Ars bangkit. Dengan wajah yang babak belur, sambil menahan satu lengannya, dan dengan kaki yang gemetar hebat, ia bangkit. Ia memungut pedang Eris yang tergeletak di dekatnya, mencoba memasang kuda-kuda, tetapi tenaganya tidak cukup dan ujung pedangnya jatuh ke tanah.
Sambil menyeret pedangnya, berkali-kali jatuh berlutut, ia bergerak seolah menyeret tubuhnya.
Tujuannya bukan ke arah Eris.
Apa ia mau kabur? Bukan. Tujuannya adalah ke depan rumah.
Saat ia tiba di depan pintu, ia jatuh berlutut, mencoba mengangkat pedangnya, tetapi tenaganya lagi-lagi tidak cukup dan ujung pedangnya menggores tanah.
Ia sudah tidak dalam kondisi untuk bisa bertarung.
Meskipun begitu, hanya matanya yang mengintip dari sela-sela poninya yang bersinar dengan cemerlang, menatap tajam ke arah Eris dan juga kami.
"..."
Kata-kata "sudah cukup" nyaris keluar dari mulutku, tetapi kutelan kembali.
Eris yang bilang akan melakukannya. Aku akan menyerahkannya padanya. Aku akan melihatnya sampai akhir.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan?"
Eris melepaskan kuda-kudanya, melipat tangannya, dan bertanya dengan posisi seolah menatap ke bawah.
Ars, dengan ekspresi kesal, menatap Eris dan menggertakkan giginya.
"Meskipun aku mati... aku tidak akan... membiarkanmu lewat...!"
"Begitu... seperti yang diharapkan dari putra Rudeus, ya."
Eris mengangkat dagunya dan berteriak.
"Tapi dengan begitu, kau tidak akan bisa melindunginya sampai akhir!"
"...Aku tahu."
"Tapi dengan dirimu yang sekarang, meskipun kau bisa 'melindungi', kau tidak akan bisa 'melindunginya sampai akhir'!"
"...Aku tahu!"
"Kalau begitu...!"
Eris kembali memasang wajah kesal.
Dengan ekspresi itu, ia menoleh ke arah sini. Bibirnya terkatup rapat, tangannya terlipat di dada, dan ia berdiri tegak dengan angkuh.
Tapi, itu pastilah wajah orang yang sedang kebingungan.
Mungkin karena merasa apa yang ingin ia sampaikan tidak kunjung tersampaikan, ia jadi tidak tahu lagi harus berkata apa.
Saat aku mengambil keputusan itu, Roxy melangkah maju.
Ia berjalan ke hadapan Ars, berjongkok, menyejajarkan tinggi matanya, dan berkata.
"Apa yang seharusnya kau lakukan adalah melindungi Aisha meskipun harus mengorbankan nyawamu?"
"Iya... iya!"
"Menantang lawan yang jelas tidak bisa kau menangkan, mati karena kekuatanmu tidak cukup, lalu menurutmu apa yang akan terjadi pada Aisha yang ditinggalkan?"
"...Tapi, kalau begitu, apa yang harus kulakukan!"
"Rudy, dulu pernah bersujud."
Diberitahu hal itu secara tiba-tiba, tubuhku menegang.
"Dulu saat ia bertarung melawan Dewa Naga Orsted-sama, kehilangan Armor Sihir—Magic Armor—dan lengannya, dan di ambang kekalahan, ia memohon sambil menggesekkan kepalanya ke tanah, 'Tolong, selamatkan keluarga saya saja'. Dan saat sepertinya permohonan itu tidak akan dikabulkan, ia menggigitnya. Orsted-sama yang itu."
"...T-Tidak mungkin. Itu bohong. Papa dan Orsted-sama 'kan akrab sekali."
"Dulu tidak begitu."
Ars menatapku. Aku menatap Ars, lalu mengangguk pelan.
Memang sedikit memalukan anakku tahu cerita tentangku yang bersujud. Akan tetapi, itu adalah kebenarannya.
"Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan terus melawan Eris dan mati? Apa kau tidak peduli apa yang akan terjadi setelah kau mati? Setelah kau mati, apa kau benar-benar tidak peduli apa yang akan terjadi pada Aisha?"
"..."
Meskipun nadanya seperti menginterogasi, suaranya terdengar lembut.
Ars menatap Roxy, aku, lalu Eris secara bergantian...
Akhirnya, pedang terjatuh dari tangan Ars.
Pedang yang jatuh dari atas lututnya itu menggelinding di tanah dengan bunyi 'kelontang' yang kering.
Pada saat yang sama, air mata berderai dari mata Ars. Apakah itu air mata karena ia sadar kekuatannya tidak cukup?
Ataukah, air mata yang lain...
Dan kemudian, tenaga seolah terkuras habis dari tubuh Ars. Roxy menangkap tubuhnya yang jatuh ke depan.
Ia pasti sudah kehabisan seluruh tenaganya.
Di kakinya, ada genangan darah. Meskipun melihat putranya tergeletak babak belur dan bersimbah darah, tidak ada kecemasan di hatiku. Entah kenapa, yang ada justru rasa bangga.
Memang benar, Ars masih belum dewasa.
Masih lemah. Cara berpikirnya pun masih kekanak-kanakan. Tidak aneh jika ia berpikir tidak apa-apa mati saat bertarung.
Aku memang merasa ia sudah lebih dewasa dibandingkan setahun yang lalu, tetapi pasti masih banyak hal yang harus ia pelajari.
Tetapi, di dunia ini, ada berapa banyak orang yang berani berduel satu lawan satu dengan Eris dan tidak mundur sampai sejauh itu?
Kehilangan tangan andalannya, ditindih dan dipukuli oleh Eris, ada berapa banyak orang yang akan terus mencoba melawan tanpa patah semangat? Eris yang itu, lho.
Aku jadi mengerti perasaan Ars yang membuatnya berjuang sampai sejauh itu.
Ars saat ini, mungkin berdiri di sini dengan perasaan yang sama sepertiku saat aku menantang Orsted dulu.
Sampai akhir, bahkan jika harus mati, ia mencoba melindungi Aisha. Memang benar cara dan tindakannya mungkin salah. Kekuatannya mungkin tidak cukup.
Tetapi jika hanya berbicara soal tekadnya, itu pasti sama seperti diriku waktu itu.
Hanya dengan berpikir begitu saja, ada sesuatu yang membuncah dari lubuk hatiku.
Aku ingin segera mengangkat Ars dan memujinya. Aku ingin memujinya karena telah berjuang dengan gagah berani.
Cerita yang aneh. Seharusnya, ada banyak hal yang harus kumarahi, seperti soal kawin lari dan merepotkan banyak orang...
Ars bukan lagi anak kecil.
Mungkin ia masih akan membuat banyak kesalahan untuk bisa mandiri, tetapi ia benar-benar sedang bertumbuh.
Saat berpikir begitu, entah kenapa aku merasa senang. Sepertinya aku memang terlalu lunak.
"...Sylphie. Boleh kuserahkan tempat ini padamu?"
"Kau tidak akan mengatakan apa-apa pada Ars-kun?"
"Apa yang ingin kukatakan sudah disampaikan oleh Roxy."
Ars akan baik-baik saja.
Aku sudah bisa mendengar apa yang ingin ia lakukan. Aku juga sudah bisa melihat tekadnya.
Ia telah menunjukkan keputusannya.
Setelah ini, semua seperti yang dikatakan oleh Roxy.
Aku juga tidak keberatan. Mengenai hubungan Aisha dan Ars, aku memang merasa secara naluriah tidak bisa menerimanya, tetapi itu bukanlah sesuatu yang harus kulampiaskan pada Ars.
Masih banyak hal lain yang harus dikatakan, tetapi itu akan kulakukan nanti dengan tuntas.
Alasanku datang ke sini bukan hanya untuk memastikan pertumbuhan Ars.
Aku datang untuk berbicara dengan Aisha.
"Dan lagi, pertama-tama aku ingin bicara dengan Aisha. Berdua saja."
"...Begitu, ya. Oke. Serahkan padaku."
Sylphie menerima gulungan sihir penyembuhan Tingkat Raja dariku, memungut lengan Ars yang terpotong, lalu berlari ke arah mereka bertiga.
"Ars, aku akan bicara dengan Aisha dulu. Nanti kita bicara lagi."
Saat aku berkata begitu, Ars mengangguk dengan lemah.
Aku menatap ke arah Eris, dan ia juga sedang menatap ke sini.
Saat aku memberinya isyarat dengan mata, ia menggerakkan dagunya ke arah rumah, seolah berkata cepatlah pergi.
Roxy juga, saat mata kami bertemu, ia memberiku anggukan.
Aku membalas anggukan mereka bertiga dan masuk ke dalam rumah.




Post a Comment