NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tokidoki Bosotto Roshia-go Dereru Yuusha no Alya-san [LN] Bahasa Indonesia Chapter 1

 


Penerjemah: Arifin S

Proffreader: Arifin S


Ketika dia terbangun, dia mendapati dirinya berada di dunia lain.

“Mmm?”

Di tengah keributan tak biasa yang memenuhi ruangan OSIS yang seharusnya tenang, Masachika perlahan membuka matanya. Pemandangan di hadapannya tampak seperti sesuatu yang langsung keluar dari manga atau anime—sesuatu yang tak pernah dia bayangkan akan lihat di dunia nyata. Sebuah ruangan megah terbentang di depannya, lantainya dari batu, dilapisi karpet merah mewah, dan memancarkan aura khas ruang tahta.

“Eh? Apa…?”

“Umm, huh?”

Mendengar suara dari dekat, ia refleks menoleh. Berdiri di sana adalah Alisa dan Maria—dua orang yang baru saja bersamanya di ruang OSIS beberapa saat lalu. Di balik mereka, berjajar di sepanjang dinding, tampak orang-orang dengan pakaian bangsawan bergaya kuno, seperti dari zaman abad pertengahan, benar-benar terasa tidak pada tempatnya. Dan di bawah kakinya, sebuah lingkaran sihir bersinar redup dengan cahaya kebiruan.

“...Hmm?”

Ketika cahaya lingkaran sihir itu perlahan memudar, Masachika menatapnya sambil mengerutkan kening. Namun kemudian—

“Kalian akhirnya tiba juga, para pahlawan dari dunia lain!”

Sebuah suara lantang menggema dari arah depan, menembus riuhnya suasana di sekitar.

Masachika dan dua rekannya segera mengangkat kepala.

Yang pertama menarik perhatian mereka adalah seorang gadis dengan gaun, duduk di atas tahta besar. Namun yang berbicara bukanlah gadis itu, melainkan pria paruh baya yang berdiri di sampingnya. Rambut dan kumisnya melengkung di ujung, memberi kesan berwibawa tapi agak eksentrik. Melihat pakaiannya yang bahkan lebih mencolok dari para bangsawan di dinding, bisa dipastikan dia adalah sosok seperti kanselir atau penasehat kerajaan.

“Ketidakpahaman kalian bisa dimaklumi. Namun, kumohon, tenangkan diri kalian dan dengarkan penjelasanku!”

Mendengar itu, Masachika saling bertukar pandang dengan kedua temannya. Untungnya, meski Alisa dan Maria tampak bingung, keduanya tidak menunjukkan tanda-tanda panik. Dengan sedikit lega, Masachika berkata kepada mereka:

“Baiklah, kita dengarkan dulu apa yang dia katakan.”

“Yeah… baik…”

Menanggapi ucapan Masachika, Alisa yang masih waspada menatap sekeliling dengan hati-hati sebelum berbicara. Sementara itu, Maria justru menatap ke arah tahta dengan pandangan penasaran.

“Uh-huh… tapi, um, yang di tahta itu, ratu ya? Atau putri? Apa-apaan tuh…?”

“Ah, iya. Aku juga kepikiran hal yang sama.”

“Kan! Aku juga mikir begitu!”

Ketika pandangan Maria tertuju pada tahta, Masachika dan Alisa mengikuti arah tatapannya—semuanya menatap gadis muda yang duduk di sana. Menganggap perhatian mereka sebagai tanda persetujuan, pria di samping tahta itu kembali berbicara.

Dikatakan bahwa dunia ini dihuni oleh ras iblis, yang menentang umat manusia. Selama beberapa generasi, keseimbangan yang rapuh tetap terjaga di perbatasan, namun kedamaian itu hancur ketika seorang iblis kuat yang menyebut dirinya Raja Iblis muncul di ibu kota kerajaan dan menyatakan perang terhadap manusia. Sebagai bukti keseriusannya, dia menculik tunangan sang ratu—putra dari seorang bangsawan berpangkat tinggi.

Setelah selesai menjelaskan, pria yang tampak seperti kanselir itu menghela napas kesal dan menampakkan ekspresi penyesalan. Lalu, dengan cepat, ia menunjuk ke arah gadis di atas tahta.

“Benar! Tunangan Yang Mulia Ratu Chisaki, Tuan Touya, telah diculik!”

“Dugaanku benar! Itu memang dia!”

Ya—alasan Masachika dan yang lain terus menatap gadis di atas tahta itu sangat sederhana. Karena, tidak peduli bagaimana mereka melihatnya, gadis itu tidak lain adalah wakil ketua OSIS mereka sendiri, Chisaki Sarashina.

“Tunggu, presidennya yang diculik? Bukannya biasanya putrinya yang diculik?”

Mendengar nama yang familiar, Masachika refleks berkomentar, “Eh, bukannya biasanya putri yang diculik?” Pada saat yang sama, muncul perasaan aneh di dalam dirinya—Oh, jadi ini cuma mimpi, ya.

Alisa tampaknya juga berpikiran sama, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang memudar, sementara Maria hanya bisa tersenyum canggung.

Tidak, bahkan kalaupun Chisaki diabaikan, ada sesuatu yang terasa janggal. Karena, yah… semua orang lain di sini terasa seperti tidak nyata. Pria yang bicara tadi, para bangsawan di sepanjang dinding—kalau disimpulkan, mereka semua terasa seperti karakter latar. Dari sudut pandang meta, seperti ilustratornya malas memberi detail. Kamu tahu, saat bisa langsung bedain mana karakter utama dan mana figuran... rasanya seperti RPG jadul.

Yang anehnya, hanya Alya dan Masha-san yang terlihat punya kehendak sendiri… tapi bagaimana dengan Ratu Chisaki—eh maksudku, Sarashina-senpai?

Apakah dia masih punya kesadarannya yang asli…? Saat Masachika memperhatikannya, sang ratu—yang sejauh ini diam—tiba-tiba meremukkan sandaran tangan tahtanya… Dia meremukkannya??

“Y-Yang Mulia?”

Suara retak! dan krek! bergema di seluruh aula tahta, membuat si kanselir menegang. Para bangsawan di dinding mulai berbisik panik. Saat semua mata tertuju padanya, penuh rasa takut dan kagum, Ratu Chisaki perlahan berdiri—lalu tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar dan berteriak dengan tatapan tajam.

“Bangsat! Raja Iblis itu! Seperti yang kuduga… aku tak punya pilihan lain! Aku akan menyelamatkan Touya sendiri!!”

Teriakannya mengguncang seluruh ruangan tahta. Lampu gantung di atas bergetar, dan para bangsawan yang berdiri di tepi dinding terjatuh dalam kepanikan.

“Y-Yang Mulia! Haki Anda! Tolong kendalikan Haki Anda!”

“Argh! Jangan halangi aku, Kanselir!”

Ketika sang kanselir mencoba menyentuh bahunya untuk menahan, ratu mengibaskan tangannya dengan keras—dan WHOOSH!—sebuah gelombang kejut menghantam aula, menghancurkan sebagian dinding. BOOM!

“Whoa…”

“Eeeeh…?”

“Ara~”

Melihat keganasan sang ratu—yang seolah bisa menandingi amarah dewa badai—ketiganya hanya bisa terdiam, terlepas dari realita untuk sesaat. Lalu…

Tidak, tunggu… apa mereka bahkan butuh kita di sini?

Ketiganya berpikiran sama tepat ketika si kanselir berteriak putus asa:

“Wahai para pahlawan dari dunia lain! Kumohon—sebelum ratu kita menghancurkan segalanya, kalahkan Raja Iblis dan selamatkan Tuan Touya!”

“Jadi… siapa yang dimaksud Raja Iblis di sini, ya?”

*** 

“...Jadi, kapan tepatnya aku akan bangun dari mimpi ini?”

Masachika melangkah ke dalam kota kastil dan menghela napas lelah saat menatap pemandangan khas kota abad pertengahan yang benar-benar klise.

Setelah itu, mereka bertiga—termasuk Masachika—dengan cepat diantar keluar dari aula agar tidak terseret dalam amukan sang ratu. Sebelum mereka menyadarinya, mereka sudah dievakuasi (atau lebih tepatnya, didepak?) hingga keluar dari kastil. Dari balik gerbang di belakang mereka, suara gemuruh reruntuhan dan kehancuran masih terdengar keras.

“Aku tahu ini terdengar klise, tapi serius deh? Mereka memanggil warga acak dari dunia lain, ngasih uang sama peralatan seadanya, lalu cuma bilang ‘Semoga beruntung, bersenang-senanglah!’? Serius? Tanpa pelatihan, tanpa panduan, benar-benar gitu aja?”

“Ini bukan cuma tidak sopan… tapi benar-benar konyol.”

“Sudahlah, Chisaki-chan… atau aku masih boleh memanggilmu begitu? Pokoknya, syukuri saja kita tidak ikut terseret dalam amukan Yang Mulia barusan, oke?”

Maria menampilkan senyum canggung sambil berusaha menenangkan Alisa, yang hanya menghela napas pelan dengan ekspresi sulit dibaca. Namun Alisa, masih tampak tak puas, menoleh menatap kastil di belakang mereka… di mana suara kehancuran masih bergema.

“Kalau dipikir-pikir… kalau ratu sekuat itu, apa benar kita ini perlu dipanggil ke sini?”

“Itu… yah…”

Bahkan Maria tak bisa membantah, jadi ia hanya tersenyum kikuk dan membiarkan percakapan terhenti. Masachika pun menghela napas dan ikut berbicara.

“Yah, aku juga nggak yakin sih. Tapi kalau dipikir logis, ini kayak pola umum di mana dewa nggak bisa turun tangan langsung karena bisa mengacaukan keseimbangan dunia, jadi mereka kirim utusan. Masih masuk akal sih... Tapi aku belum pernah dengar dunia bisa hancur cuma gara-gara ratunya ngambek.”

“Tadi mereka nyebut soal ‘Haki’, kan...? Tunggu, itu berarti Sarashina-senpai semacam Overlord gitu?”

“Raja Iblis lawan Overlord? Kedengarannya kayak pertarungan epik, bukan~?”

Sementara ketiganya terus mengobrol, pakaian mereka sudah berubah drastis dari seragam sekolah yang mereka kenakan sebelumnya.

Alisa kini mengenakan baju zirah perak di atas tunik putih-biru, dengan pedang bergaya Barat tergantung di pinggangnya. Sementara Maria mengenakan jubah putih panjang bergaya pendeta, sambil memegang tongkat berhias indah. Sesuai penampilannya, Alisa kini berperan sebagai Hero, sedangkan Maria sebagai Priestess.

Yah… aku tahu aku nggak seharusnya mempertanyakannya, tapi kalau dipikir logis, perlengkapan ini benar-benar nggak masuk akal…

Pakaian pendeta Maria masih bisa dimaklumi. Kalau dibilang bisa memperkuat kekuatan suci, ya masih bisa diterima. Tapi bahkan begitu, untuk pakaian yang katanya suci, itu terlalu ketat dan… jujur saja, terlalu terbuka. Dengan potongan dan celah yang memperlihatkan kulit di sana-sini, rasanya lebih seperti ujian ketahanan iman pria lemah dibanding pakaian ritual. Tapi kalau memang begitu aturan pakaian pendeta di dunia ini, ya sudah, bisa dimaklumi. Karena dia kelas pendukung di barisan belakang, kurangnya pertahanan masih masuk akal. Masalahnya justru ada pada Alisa—yang jelas-jelas petarung garis depan.

Tunggu dulu, kepalanya sama sekali nggak terlindungi.

Masachika tak bisa menahan komentar dalam hati soal perlengkapan Alisa, yang sama sekali tak berfungsi menutupi keindahan wajahnya yang tidak duniawi itu.

Pada titik ini… menyebutnya “zirah” saja sudah terlalu dermawan. Memang, ada pelat logam di beberapa bagian, tapi hampir tidak melindungi area vital. Perutnya lumayan terlindungi, tapi entah kenapa bagian dada—yang notabene tempat jantung—hanya ditutupi kain. Serius? Lindungi bagian penting, dong! Atau dunia ini beroperasi dengan logika bahwa… “aset tubuh tertentu” bisa berfungsi sebagai pelindung alami?

Yah… kalau dipikir, itu memang “pelindung dada” yang cukup mengesankan—eh, fokus! Mungkin aja mereka nggak punya baju zirah ukuran perempuan?

Mengalihkan pandangannya dari “pelindung dada” Alisa (berdaya tahan tinggi), Masachika berdeham pelan. Ya, anggap saja memang di dunia ini tak ada zirah untuk wanita. Kalau zirah penuh memang tradisi untuk pria, masih bisa diterima. Tapi… bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa alih-alih helm, Alisa malah memakai hiasan kepala berbentuk sayap yang jelas-jelas bukan alat pelindung? Dan kenapa dia pakai rok mini? Paha dan semua pembuluh darah penting di situ benar-benar terekspos. Mustahil dia bisa bertarung tanpa menyingkap sesuatu.

Tunggu sebentar… kenapa aku malah jadi orang yang paling sopan pakaiannya di sini…?

Sementara itu, Masachika sendiri mengenakan jubah hitam berkerudung, sambil membawa buku besar yang sudut-sudutnya diperkuat logam. Rupanya, kelasnya adalah Sage, dan buku itu adalah grimoire.

“Menu.”

Mengikuti instruksi yang diberikan di kastil, ia mengucapkan kata itu, dan sebuah jendela biru transparan langsung muncul di depannya.

Antarmukanya tertata rapi dalam dua kolom. Di sebelah kiri, tercantum profil dirinya—nama, usia, berbagai statistik, dan kemampuan yang ia miliki. Di sebelah kanan, model 3D dirinya berputar perlahan, mereplikasi penampilan aslinya dengan detail sempurna. Tak diragukan lagi, itu layar status. Menyentuh bagian tertentu dari model menampilkan jendela kecil dengan deskripsi item. Jumlah uang yang ia miliki tercantum rapi di pojok, dan dengan menekan tab di bagian atas, ia bisa berpindah ke layar status Alisa atau Maria. Ini jelas-jelas sistem menu dalam game. Tapi… seberapa keras pun ia mencari, tidak ada opsi untuk keluar.

“Haaah… Jadi, apa aku beneran harus ngalahin Raja Iblis biar bisa balik ke dunia nyata?”

Mungkin dia seharusnya panik. Mungkin dia seharusnya sadar bahaya—karena dilempar ke dunia penuh monster dan iblis. Tapi… semuanya di sini terasa terlalu seperti game. Para NPC yang tampak generik, suasana yang terasa buatan, dan terutama, fakta bahwa semua “karakter utama” di dunia ini adalah orang-orang yang dia kenal. Sulit untuk menganggap semua ini nyata.

“Yeah, ini jelas presiden… tapi versi dia sebelum jadi presiden.”

Masachika menatap sketsa “orang yang harus diselamatkan” mereka dan menghela napas. Anak laki-laki di gambar itu, dengan wajah canggung seperti anak baru masuk SMA, jelas-jelas adalah Touya—versi dirinya di awal masa SMA.

“Jadi ratunya Sarashina-senpai, dan peran putrinya itu presiden...? Kalau begini terus, jangan-jangan Yuki atau Ayano bakal muncul juga nanti?”

“Ahaha, bisa jadi tuh~”

“Kalau dua orang itu adalah pemimpin umat manusia, maka…”

Alisa menghentikan ucapannya di tengah jalan, tapi Masachika bisa dengan mudah menebak apa yang ia pikirkan.

“Bisa jadi Yuki itu Raja Iblis… dan Ayano adalah tangan kanannya yang setia?”

Alisa menatap Masachika dengan sedikit kesal karena telah mengatakan secara blak-blakan hal yang sengaja ia hindari. Namun, setelah mendesah pelan melihat senyum ceroboh pria itu, ia menjawab,

“Kalau memang begitu, mungkin kita bisa menyelesaikannya lewat negosiasi. Bagaimanapun juga, tidak ada gunanya terus berdiri di sini—ayo kita jalan.”

“Ya. Bukan karena aku peduli dengan tatapan orang, sih… tapi tempat ini tetap terasa agak nggak nyaman.”

Meskipun mereka menonjol dengan pakaian yang mencolok, para penduduk kota sama sekali tidak memedulikan mereka. Mereka hanya berjalan di jalanan dengan gerakan kaku dan berulang—seperti NPC yang tersangkut dalam loop. Melihat pemandangan itu secara langsung membuat bulu kuduk Masachika meremang. Sekali lagi, bukannya mencubit dirinya sendiri, ia malah menggigit bagian dalam pipinya. Ia sudah kehilangan hitungan berapa kali ia melakukan itu.

Hmm… Tidak sakit. Rasanya aneh, seperti sedang ditarik atau didorong, tapi hanya itu.

Artinya ini pasti mimpi. Mimpi di mana seseorang sadar bahwa dirinya sedang bermimpi—mimpi sadar (lucid dream). Tapi, untuk berjaga-jaga, kalau-kalau ini adalah semacam teknologi super canggih yang memindahkan kesadarannya ke dalam ruang permainan dan menekan rasa sakit untuk semacam death game, Masachika memanggil kedua temannya yang sudah mulai berjalan.

“Ah, tunggu sebentar. Aku mau coba satu skill sebelum kita lanjut.”

“Eh…? Skill apa?”

“Lihat, yang ini nih, 《Pemanggilan Peri (Fairy Summon)》.”

Saat ia menunjuk ke skill yang tertera di layar statusnya, Alisa dan Maria juga membuka layar menu mereka untuk memeriksa status Masachika.

Tertera di sana, selain skill seperti 《Sihir Api》 dan 《Sihir Air》, ada dua skill unik. Salah satunya adalah 《Pemanggilan Peri (Fairy Summon)》 yang baru saja disebut Masachika. Yang lainnya adalah… 《Pengganda Pengalaman Sepuluh Kali (Kecuali Permainan Bola)》.

Mereka benar-benar bercanda denganku…

Masachika menatap layar dengan ekspresi datar. Skill yang sering dijadikan bahan olokan oleh adik kandungnya di dunia nyata, Yuki, kini benar-benar muncul di dalam game. Kalau skill itu bekerja sesuai deskripsinya, itu akan sangat kuat, tapi rasanya sulit untuk tidak menganggap para pengembang sedang iseng. Namun, untuk saat ini, ia lebih tertarik pada 《Pemanggilan Peri》.

“...Lalu? Ada apa dengan itu?”

“Pemanggilan peri… bukannya itu biasanya kayak salamander atau undine? Disummon terus boom! gitu?”

“Ah, yah… tapi yang seperti itu sepertinya termasuk ke dalam 《Sihir Roh》 atau 《Sihir Pemanggilan》, kan…”

Pendapat Maria itu memang gambaran umum tentang pemanggilan roh yang sering muncul di game. Tidak sepenuhnya salah kalau dianggap semacam variasinya… tapi dalam cerita isekai, “Pemanggilan Peri” biasanya punya pola berbeda.

“Kau sering lihat ini di cerita isekai tentang pemanggilan atau reinkarnasi. Biasanya ini semacam peri kecil yang jadi pembimbing, gitu loh.”

“Peri pembimbing?”

Jadi seperti di game, peri yang menjelaskan kontrol saat tutorial, kan? Skill yang memanggil maskot imut untuk membimbing pemain di dunia baru… Dan, lihat, skill ini berbeda dari sihir lain karena tidak menggunakan MP dan hanya bisa digunakan sekali.

Dalam dunia ini, sihir mengonsumsi MP (Magic Points), sedangkan seni bela diri mengonsumsi SP (Stamina Points), tapi skill ini tidak memakai keduanya.

Sambil menjelaskan sambil melihat deskripsi yang muncul setelah mengetuk nama skill, Alisa dan Maria hanya menatap bingung sambil bergumam, “Ooh, gitu ya,” dengan nada tidak terlalu paham. Tapi karena mereka tahu Masachika lebih paham soal beginian, akhirnya mereka mengangguk setuju.

“Yah, terserah kau kalau mau mencobanya.”

“Ya, aku rasa nggak apa-apa~ Oh, apa kita perlu menjauh sedikit dulu?”

“Ah~ iya, ide bagus. Buat jaga-jaga aja…”

Kalau ternyata skill ini semacam cheat yang bisa memanggil roh agung atau raja roh, mungkin akan ada kerusakan akibat pemanggilan itu. Dengan mempertimbangkan kemungkinan itu, ia meminta kedua temannya menjauh sedikit.

“Baiklah kalau begitu... Skill 《Pemanggilan Peri》, aktifkan!”

Dengan sedikit rasa malu, ia mengucapkan mantra itu, tapi bukannya muncul lingkaran sihir besar di depannya… yang terjadi malah kebalikannya. Hanya ada sedikit asap putih dan suara lembut “Pop.” Yuki—dalam wujud iblis kecil—muncul.

— Heh, kau memanggilku, ya? Tuanku.

“Ngapain kamu…?”

Dengan nada sopan tapi kesal, Masachika menegur makhluk kecil itu. Melihat Yuki seukuran telapak tangan dengan senyum nakal khas iblis, Masachika langsung lemas, menyerah total.

— Hei, hei, kenapa wajahmu suram begitu, tuanku? Peri imut seperti aku sudah muncul khusus untukmu, lho. Ayo semangat!

“Peri dari mana? Kau jelas-jelas iblis.”

Menatap Yuki yang kini punya sayap kelelawar, tanduk, dan ekor, Masachika menyipitkan mata. Saat itu, Alisa dan Maria yang menonton dari jauh kembali menghampiri.

“Um, Kuze-kun? Sudah selesai, ya?”

“Eh, tapi kita nggak lihat apa-apa, loh…”

“Eh—”

Mendengar kata-kata Maria, Masachika menatap Yuki, yang kemudian membusungkan dada dengan bangga dan berkata:

— Heh-heh-heh, aku ini makhluk yang tidak bisa dilihat atau didengar oleh siapa pun selain sang pemanggil… Selain itu, aku juga makhluk praktis yang bisa berkomunikasi lewat pikiran!

“Yah, kamu memang suara di kepalaku dari awalnya juga. Dan jangan bilang dirimu makhluk ‘praktis’.”

— He-he-he, justru karena aku makhluk praktis, aku bisa melakukan hal seperti ini!

Sambil berkata begitu, Yuki dengan lancar melayang di udara… dan, tentu saja, dengan berani mengintip ke bawah rok Alisa.

“Hey! Berhenti!”

— Oh… putih. Warnanya putih… hooo.

“Hentikan, dasar bodoh!”

Bereaksi secara naluriah terhadap pelecehan yang terjadi di depan matanya, Masachika berusaha menangkap Yuki. Tapi tangannya tidak pernah menyentuh sang iblis kecil, malah ujung jarinya menyentuh paha Alisa yang terbuka. Dalam sekejap, kulit pucat Alisa berubah merah padam.

“—! Apa yang kau pikirkan?!”

“Ach?!”

Ia mendapat tendangan keras di tulang kering, dan meskipun ia menjerit kesakitan, tidak ada rasa sakit yang nyata. Namun, di pojok pandangannya, ia melihat bilah HP-nya berkurang secara signifikan akibat serangan dari sang frontliner.

“Kau menyebalkan!”

“Ah… aaah, jangan main kekerasan, Alya-chan. Um, sihir penyembuhan, sihir penyembuhan…”

Maria buru-buru mengeluarkan buku panduan sihir dasar yang diberikan orang-orang dari kastil, lalu dengan canggung mengangkat tongkatnya dan mulai melantunkan mantra.

Istselenie nizshego urovnya「【Penyembuhan Tingkat Rendah】」

Sekejap kemudian, cahaya lembut keluar dari tongkat itu, menyelimuti tubuh Masachika, dan bilah HP-nya yang sempat berkurang langsung pulih.

“Terima kasih, Masha-san.”

“Sama-sama~”

Sambil mengucapkan terima kasih pada Maria, Masachika berpikir,

Ngomong-ngomong…

Maria kemudian menambahkan,

“Mantranya benar-benar dalam bahasa Rusia, ya~.”

Benar sekali!!

Dengan semangat yang sama, Masachika teringat penjelasan singkat yang pernah ia dengar di kastil.

*** 

“Ini senjata kalian, para pahlawan. Ada pedang suci, tongkat suci, dan sebuah grimoire.”

Di dalam sebuah ruangan di dalam kastil, di mana suara kehancuran dan getaran terus terdengar, Masachika dan kedua rekannya diperlihatkan senjata-senjata yang diklaim sebagai senjata legendaris.

“Senjata-senjata ini telah dianugerahi berkah dari ‘keabadian’ dan ‘pertumbuhan,’ sehingga tidak akan pernah rusak atau kotor, dan akan tumbuh seiring dengan penggunanya.”

Dengan kata lain, ketika penggunanya naik level, senjatanya pun akan naik level secara otomatis. Untuk Pedang Suci, ini berarti kemampuan menebasnya menjadi lebih tajam dan mendapatkan berbagai kekuatan baru; untuk Tongkat Suci, kekuatan sihirnya menjadi lebih besar dan jangkauannya lebih luas; dan untuk Grimoire, tampaknya pengguna akan memperoleh mantra-mantra baru untuk digunakan.

Setelah mendengar penjelasan itu, Masachika langsung bersuara.

“Tunggu sebentar. Kami bahkan belum pernah menggunakan sihir, jadi bagaimana caranya kami bisa memakainya?”

“Terkait hal itu, jika kalian membaca grimoire dan mengikuti instruksi di dalamnya, sihirnya akan aktif.”

“Mengikuti instruksinya, maksudmu…?”

Masachika membuka buku itu dan melirik tulisan di dalamnya. Lalu, dengan wajah serius, ia mengajukan satu pertanyaan.

“Kenapa tulisannya dalam bahasa Rusia?”

Tulisan di dalamnya bukan dalam bahasa Jepang atau Inggris... melainkan Rusia. Ia sebenarnya sudah sedikit curiga sejak pertama kali dipanggil, karena lingkaran sihir yang bersinar di bawah kakinya bukan dipenuhi dengan huruf rune, melainkan huruf-huruf Kiril. Namun, meskipun sudah menduganya, ia tetap sulit menerima kenyataan itu.

Apa-apaan ini?! Biasanya, di dunia fantasi, sihir itu pasti pakai bahasa Inggris, kan?! Kayak Fireball, Wind Cutter, Stone Wall, yang begitu-begitu!

Kalau saja pakai bahasa Inggris, Masachika mungkin masih bisa memahaminya. Tapi kemampuan bahasa Rusianya lebih banyak berkembang lewat mendengar, jadi ia tidak terlalu mahir membaca. Intinya, ada bagian dari grimoire ini yang sama sekali tidak bisa ia pahami.

Aku cuma bisa membaca sedikit bagian yang dibutuhkan untuk melafalkan mantra… tapi tetap saja, bahkan kalau ini mimpi, berbicara dalam bahasa Rusia di depan Alya itu rasanya agak—

“Oh iya, omong-omong, saat kalian mengucapkan mantra, pastikan pengucapannya benar. Kalau tidak, sihirnya bisa berbalik arah. Setiap tahun, banyak orang kehilangan nyawa karena kecelakaan sihir, jadi mohon berhati-hati.”

“Ini game yang mustahil banget, ya?”

Setelah mendengar peringatan mengerikan itu diucapkan dengan santai, Masachika tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, lalu muncul keraguan lain di benaknya.

“Kalau begitu, para penyihir biasa bagaimana cara mereka berlatih sihirnya?”

“Kalau begitu, kalian bisa menahan kekuatan sihir kalian agar mantranya tidak aktif… Kalian kan punya skill Magical Control, kan? Sebagai seorang Sage, dan skill itu sudah maksimal… mestinya kau bisa mengendalikannya, bukan?”

“Aku nggak bisa menahannya. Lagipula, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kekuatan sihir itu sendiri?”

Meskipun sudah menerima berbagai penjelasan, Masachika tetap tidak bisa merasakan yang disebut kekuatan sihir itu. Berkat kelasnya sebagai “Sage,” yang memiliki kemampuan sekelas cheat, ia memang bisa mengeluarkan sihir hanya dengan melafalkan mantranya. Namun, hal ini juga berarti bahwa begitu ia mengucapkan mantra, sihir itu akan otomatis aktif (tanpa bisa dikendalikan), sehingga kesimpulannya pun jelas.

“Aku tamat.”

Dan begitulah, karena berbagai alasan, lahirlah seorang “sage yang tidak bisa menggunakan sihir.”

*** 

“Aku sempat berharap kalau 《Fairy Summon》 ini bisa membantu menyelesaikan sebagian masalah itu…”

Melihat Yuki tertawa terbahak-bahak setelah Masachika ditendang oleh Alisa, ia menatapnya dengan pandangan kesal. Menyadari sesuatu dari tatapan itu, Alisa melunak sedikit dan bertanya dengan nada hati-hati.

“...Jangan-jangan, di sana memang ada peri?”

“Ya… dan peri ini benar-benar nakal, tahu?”

Setelah berkata begitu, Masachika sempat ragu sejenak sebelum melanjutkan.

“Jujur saja, Yuki ini kecil banget kalau dilihat-lihat…”

“Eh?”

“Ara~ Yuki-chan? Kamu bisa melihatnya, ya~?”

“Masalahnya bukan aku bisa atau tidak melihatnya, tapi Masha-san yang memang tidak bisa melihatnya.”

Saat Maria melambaikan tangannya ke arah tempat Yuki berada, Masachika menghela napas dan mencoba menjelaskan. Yuki lalu melayang ke depan Maria dan melambai dengan tangan mungilnya.

— Oh~, aku bisa melihatmu dengan jelas dari sini~. Kamu nggak bisa lihat aku dari sana~? Nggak~? Kalau begitu…

Sambil mengangguk kecil, Yuki turun perlahan dan dengan santai mendarat di belahan dada Maria yang berisi, lalu tersenyum puas.

— He-he, dengan tubuh sekecil ini, aku harus mencoba hal ini setidaknya sekali.

“Kamu…!”

Masachika hendak berteriak, tapi tiba-tiba ia teringat ucapan Yuki sebelumnya dan bertanya lewat pikirannya.

— Hei, kamu... maksudku, kamu itu kayak “nembus objek” kayak bug di game. Kamu bahkan bisa merasakan itu?

— Enggak juga. Cuma vibes-nya aja, tahu? Tapi gila sih, ukurannya… eh, maksudku, pemandangannya luar biasa, benar-benar panorama kelas atas.

— ...

Saat si iblis kecil itu berbuat sesuka hatinya, Masachika setengah bercanda berpikir, Haruskah aku kirim dia balik aja? Tapi sebelum sempat melakukannya, Alisa tiba-tiba berbicara dengan suara dingin.

“Hey… kamu sebenarnya lagi lihat ke mana?”

“Hah?”

“Geez, kalau kamu terus menatap seperti itu, aku bisa salah paham, tahu…”

Ditambah lagi, Maria menatapnya dengan senyum canggung sambil mengubah posisi tubuhnya — dan barulah Masachika sadar, dari sudut pandang mereka berdua, seolah-olah ia sedang menatap dada Maria.

“Bukan begitu! Aku cuma lihat ke arah Yuki…!”

“...Benarkah?”

“Aku serius! Aku nggak akan menatap dada orang seperti itu!”

“Setelah kamu menyentuh pahaku tadi, kamu sama sekali nggak punya kredibilitas.”

“Tunggu, itu juga bukan—”

“Kalau begitu aku tanya—apa yang sedang Yuki-san lakukan, hm?”

“Itu…”

Tidak mungkin ia bisa menjawab, “Yuki mengintip di bawah rok Alya, lalu sekarang sedang bersantai di belahan dada Masha-san untuk bersenang-senang,” jadi Masachika terdiam. Tatapan Alisa menjadi semakin dingin, dan ia melotot ke arah Yuki. Sebagai balasan, Yuki melayang di depan wajahnya dengan ekspresi menyebalkan penuh ejekan.

— Hmm? Kenapa? Cemburu? Kamu cemburu, ya?

“Kamu… dasar!”

Ia berusaha menangkap sosok kecil itu untuk memberinya pelajaran, tapi seperti sebelumnya, tangannya hanya menembus udara kosong. Dari luar, kelihatannya seperti dia sedang berkelahi dengan bayangannya sendiri. Alisa menghela napas panjang dan mengangkat bahu.

“...Ya sudah, terserah. Jadi, Yuki-san itu bisa apa, sebenarnya?”

“…Hei, dia tanya tuh. Kamu bisa apa?”

Mendengar itu, Yuki—yang sedari tadi cuma mengganggu Masachika—langsung berbaring santai di udara dan menopang dagunya dengan tangan.

— Hmm? Aku pikir dulu, ya…

Setelah berpura-pura berpikir sebentar, ia memberi kedipan nakal ke arah Masachika.

— Aku bisa memberikan kecantikan dan hiburan sepanjang perjalanan sang master. Ta-daa☆

“...”

— Aku bisa memberikan kecantikan dan hibur—

“Enggak perlu diulang, enggak perlu diulang.”

Sambil menepuk dahinya, Masachika kembali menegaskan dengan wajah pasrah.

“Hah? Kamu… bukan semacam peri penolong, gitu? Bukannya seharusnya kamu kasih petunjuk, kayak lokasi toko, cara kerja puzzle, dan sebagainya?”

— Hei, hei, hei, master. Aku kan dari dimensi lain, ingat? Mana mungkin aku tahu lebih banyak dari kamu soal tempat ini.

“Udah balik aja!!!”

Tidak bisa menahan frustrasinya lagi, Masachika berteriak pada si pengganggu mungil yang hanya bikin repot. Tapi Yuki, tanpa merasa bersalah sedikit pun, mengangkat tangannya dan mengedikkan bahu.

— Yah, begitulah… ternyata aku juga nggak tahu cara balik.

“Hah?”

— Jadi begini, skill unik 《Fairy Summon》 itu cuma bisa dipakai sekali aja, jadi nggak ada cara buat mengembalikanku. Lagipula aku nggak punya tubuh asli, jadi nggak punya HP, artinya kamu juga nggak bisa mukul aku biar hilang.

Saat mengecek menu, skill 《Fairy Summon》 yang sebelumnya terdaftar di kolom skill unik sudah benar-benar menghilang tanpa jejak. Tak ada cara apa pun untuk mengendalikannya lagi.

— Jadi ya gitu~ Mari akur ya, Master☆

Yuki dengan anggun mendarat di bahu kanan Masachika sambil memberi kedipan genit lagi. Masachika hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Tak gentar, Yuki meletakkan kedua tangannya di bawah dagu dan menatapnya dengan wajah manis sambil bersuara ceria.

— Hmm? Kenapa? Kamu terpesona sama kelucuan tak terbantahkan dari aku, Yuki-chan si peri bahu satu-satunya?

“…Nyebelin banget untuk sesuatu yang bahkan nggak punya tubuh fisik.”

— Kamu mungkin nggak bisa nyentuh aku, tapi aku bisa bertengger di sini dengan stabil, tahu!

Mengabaikan ucapan Yuki yang makin aneh, Masachika menoleh ke arah kedua saudari Kujou yang tampak kebingungan.

“Ahh, intinya, peri ini cuma muncul buat lucu-lucuan aja. Maaf kalau sempat berharap banyak, tapi sepertinya dia nggak berguna sama sekali.”

Mengabaikan Yuki yang berteriak, “Apa maksudmu aku nggak berguna?!” langsung ke dalam pikirannya, Masachika melanjutkan.

“Aku aja yang bisa melihat atau mendengarnya, dan kelihatannya dia juga nggak bisa pakai sihir atau apa pun, jadi…”

Tiba-tiba, di tengah kalimatnya, ia teringat sesuatu.

“…Hei, kalau nggak ada yang bisa melihatmu dan kamu bisa berbicara langsung ke kepalaku, bukannya kamu bisa berguna buat ngintai ke depan?”

— Kelihatannya aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu, master.

“Kamu benar-benar nggak berguna.”

Mengabaikan protes Yuki yang terus berulang, Masachika berkata lagi.

“Jadi ya, sepertinya dia benar-benar cuma ada buat lucu-lucuan. Abaikan aja, yuk, lanjut jalan.”

“A-Aku paham…”

“Hmm, aku nggak bisa lihat, tapi tahu Yuki-chan ada di sana rasanya agak aneh juga~.”

Menyemangati kedua gadis yang masih terlihat bingung, Masachika membawa mereka menuju sebuah toko umum besar di jalan utama. Di sana, ia membeli tiga “Set Petualang,” yang berisi item penyembuh, makanan darurat, dan perlengkapan penting lainnya.

“Wah, ini kayak pembayaran digital paling canggih ya?”

Tidak ada uang yang berpindah tangan, tidak ada barang fisik yang diserahkan—hanya saldo di menunya yang berkurang dan ‘Adventurer’s Kit’ yang muncul di inventori. Rasanya agak aneh. Ia mengetuk item itu, dan—poof!—muncullah sebuah kantong kulit cokelat di jendela baru.

“Yang ini ramuan HP, yang itu ramuan MP… Bisa diminum atau dituangkan ke luka. Yah, wajar sih bawa beberapa item penyembuh.”

“Yup, yang berat-berat bisa disimpan aja… Eh, ini tenda lipat? Serius?”

“Kelihatannya alat sihir, deh~ Banyak juga benda aneh lainnya…”

Setelah memeriksa isi tas—termasuk alat sihir untuk menyalakan api dan penerangan—dan merasa sedikit bersemangat, Masachika dan kawan-kawan akhirnya menuju gerbang besar di ujung kota.

“Dari tampilan statusnya… Alya itu tank, Masha-san penopang jarak menengah, dan aku seharusnya caster garis belakang, tapi…”

Sambil berjalan, Masachika meninjau status mereka dan berbicara.

Skill set milik Masachika didominasi oleh sihir—api, air, angin, petir, dan tanah—plus beberapa kemampuan dasar penting untuk kelas pengguna sihir. Ia sama sekali tidak punya skill pertarungan jarak dekat. Sementara itu, Maria memiliki struktur skill yang mirip, tapi bukan lima elemen, melainkan spesialisasi di ‘Light Magic.’ Sihir ini terbagi menjadi tiga kategori utama: Blessing (pemberkatan dan penguatan), Healing (penyembuhan), dan Purification (pemurnian). Purification bisa membersihkan racun dan kutukan, tapi juga bisa melukai musuh seperti undead dan iblis.

Iblis, huh…

—?

Menatap Yuki—yang bersikeras bahwa dirinya adalah peri meskipun tampilannya lebih mirip iblis kecil—Masachika sempat berpikir, “Gimana kalau aku coba pukul dia pakai Purification, ya?” Sadar bahwa itu pikiran jahat, ia langsung menggeleng.

Jadi undead beneran ada di dunia ini… Kalau sampai zombie realistis nongol, sumpah aku bakal muntah. Yah, paling nanti aku andalkan Masha-san aja buat ngurus itu.

Masachika benar-benar bersyukur memiliki seorang penyembuh dengan kemampuan anti-undead… Tapi di sisi lain, itulah satu-satunya kondisi di mana Maria bisa menyerang. Karena di luar itu, dia benar-benar tidak punya skill ofensif. Ia memang punya dua skill unik: 《Madonna’s Miracle》—kemampuan misterius yang menjamin dia akan sampai ke tujuan meski sering tersesat—dan 《Saint’s Mercy》, skill kebangkitan dengan batas penggunaan tiga kali. Tapi keduanya sama sekali tidak bisa dipakai menyerang. Dengan kekuatan fisik rendah, Maria jelas murni pendukung dan penyembuh.

Kalau dia harus menyerang… mungkin bisa bikin penghalang lalu nabrak musuh? Tapi nggak tahu juga penghalang bisa dipakai gitu atau nggak. Mending jangan dicoba deh.

Dengan begitu, jelaslah Maria cocok di posisi tengah, melindungi diri dan barisan belakang sambil menyokong garis depan dengan pemberkatan dan penyembuhan. Tapi masalah utamanya adalah…

“Kamu bahkan nggak bisa pakai sihir.”

“Yup, itu masalahnya~.”

Masalah sebenarnya: barisan belakang—Masachika—benar-benar tidak bisa berfungsi sebagai penyihir.

Seorang santo yang tidak bisa menyerang dan seorang sage yang tidak bisa pakai sihir. Realitanya, hanya Alisa yang bisa bertarung.

“Semangat ya! Ayo Alisa!”

“Jangan bersikap seolah ini bukan urusanmu!! Kamu juga bagian dari party, tahu!!”

“Yaaah, soalnya begini…”

Mengelak dengan alasan samar, Masachika melirik status Alisa. Di sana tertera skill seperti 《Swordsmanship》 dan 《Martial Arts》, keduanya berfokus pada pertarungan jarak dekat. Di samping penguasaan enam elemen—api, air, angin, petir, tanah, dan cahaya—ia juga memiliki 《Holy Light Magic》, skill eksklusif untuk pahlawan yang dikhususkan untuk melawan iblis. Dengan kemampuan fisik dan sihir yang seimbang, statistiknya benar-benar sempurna.

“Kalau dipikir-pikir, Alya sendirian aja udah cukup, sih.”

“Alya-chan... aku tahu kamu Pahlawan, tapi ini rasanya nggak adil banget.”

“Aku juga nggak tahu harus bilang apa…”

Meskipun tidak mengungguli spesialis di bidang tertentu, Alisa adalah tipe serba bisa yang mampu bertarung jarak dekat, menyerang jarak jauh, memberi dukungan, dan menyembuhkan sekaligus. Di atas semua itu, ia memiliki skill unik 《Heroic Strike》, serangan pamungkas super kuat yang bisa digunakan saat HP-nya turun di bawah batas tertentu, dengan mengorbankan semua MP dan SP. Dan belum cukup sampai di situ, ia masih punya satu skill unik lainnya…

“Dan yang satu ini… 《The Solitary Princess》? Serius? ‘Meningkatkan semua status saat tidak punya anggota party’? Skill macam apa itu?”

Mendengar skill uniknya yang ternyata berasal dari julukan masa sekolahnya (yang tidak ia sukai), Alisa hanya bisa mengernyit.

— Skill yang dibuat khusus buat jomblo, LOL.

— Udah, jangan dibahas!!

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Masachika menatap Yuki dengan lelah, lalu menanggapinya dalam hati dengan senyum getir.

“Hmm... Jujur saja, skill ini agak sulit digunakan. Secara teknis, aku bisa mengeluarkanmu dari party dan kamu masih bisa bertarung bersama kami, tapi kamu nggak akan dapat shared experience. Selain itu, aku juga nggak bisa memantau MP atau SP-mu, jadi sulit buat ngasih dukungan. Dan yang paling penting, sihir penyembuhan dan buff area dari Masha-san nggak bakal berlaku buatmu, dan itu kelemahan besar.”

“Ya, benar juga. Kalau dipikir-pikir, skill itu cuma berguna kalau kita terpisah di dungeon, mungkin? Tapi tetap aja, nggak bisa lihat HP-mu itu bikin khawatir~.”

“Nggak juga. Dari yang kulihat, sihir area tetap berfungsi meskipun kita terpisah. Jadi, sejujurnya, itu justru waktu yang paling nggak cocok buat keluar dari party.”

“Berarti skill itu nggak ada gunanya sama sekali... Yah, terserahlah.”

Sepertinya Alisa memang tidak terlalu tertarik menggunakan skill dengan nama yang ia benci, jadi dia hanya mengangkat bahu.

“Baiklah, kalau begitu, aku yang maju di garis depan. Masha, kamu tangani sihir pendukungnya.”

“Siap~ Roger that.”

“Kalau begitu, aku…”

Di bawah tatapan kedua saudari itu, Masachika berhenti sejenak, lalu mengangkat jempol dengan penuh semangat.

“...Aku bakal menyemangati kalian! Dan melempar item kalau keadaan gawat!”

“Yup, yup, semangat itu penting banget.”

“Kuze-kun, bukannya kamu jelek banget main lempar tangkap?”

“Nggak apa-apa! Selama bukan bola!”

“Jenis kepercayaan diri macam apa itu? Lagipula, bom asap di tas tadi juga bentuknya bola, kan?”

“Kalau begitu aku lempar potion aja!”

“Kita sudah punya Masha buat penyembuhan, tahu? Dan kalau kamu lempar botol kayak gitu—bukannya malah bisa nyakitin aku?”

“Maaf, Alya... sepertinya aku cuma bisa menyemangatimu…”

“Jangan sedih! Semangat itu penting juga!”

Maria menepuk lembut bahu Masachika yang merosot lesu, seolah berusaha menghiburnya.

— Eeeek!

Dengan suara seperti kucing terjepit, Yuki yang tadinya bertengger di bahunya memekik karena kaget akibat tepukan tak terduga itu. Namun, baik Alisa maupun Maria tidak mendengarnya, dan Masachika pun memilih untuk mengabaikannya.

“Kalau begitu... sepertinya rencananya seperti itu.”

Sebelum mereka sadar, mereka sudah tiba di gerbang besar kota. Alisa menatap Maria dan Masachika sebentar, lalu melangkah keluar.

“Wooow~~, padang rumputnya luas banget!”

Melihat hamparan padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, Masachika berseru kagum. Bukan hanya dia, tapi juga saudari Kujou yang terlihat sama-sama terpesona... sampai akhirnya Alisa mengernyitkan dahi dan berbicara.

“Tapi, di sekitar sini... ada monster, kan?”

“Mm... ya, benar juga.”

Setelah mendengar itu, Masachika kembali mengamati sekitar. Jalanan selebar sekitar sepuluh meter membentang jauh, diapit oleh rerumputan tinggi di kiri dan kanan. Dari pandangan sekilas, tak terlihat apa pun yang mencurigakan.

“Gawat... seharusnya aku riset dulu monster apa yang muncul di area ini.”

Menyesali kelalaiannya, Masachika sempat berpikir untuk kembali... sampai tiba-tiba sesuatu melompat keluar dari rerumputan sekitar lima meter di depan mereka.

“—!”

“!”

“Eh—musuh?!”

Dalam ketegangan pertempuran pertama mereka, ketiganya menatap makhluk yang baru saja muncul…

— Itu Kelinci Bertanduk! Itu Kelinci Bertanduk-san, kan?!

“Itu dia! Memang belum pernah muncul di game yang aku mainkan, tapi di dunia isekai, musuh level awal itu pasti Kelinci Bertanduk!”

Di hadapan mereka berdiri seekor kelinci putih dengan satu tanduk mencuat dari dahinya. Entah kenapa, Yuki dan Masachika justru terlihat bersemangat. Namun…

“Uh... tampilannya agak... jelek, ya?”

Alisa ada benarnya. Selain itu, penampilannya juga agak berlebihan.

Tekstur bulunya sederhana, dan tak terlihat adanya otot atau struktur tulang di baliknya. Lebih mirip boneka daripada makhluk hidup. Bar HP hijau yang melayang di atas kepalanya hanya membuat kesannya semakin aneh.

“Baik, saatnya bertarung! Ayo kita lakukan ini!”

“Ah, iya... tapi, ini aman nggak, sih?”

Walaupun punya tanduk dan tampak agak garang, pada dasarnya itu tetap seekor hewan kecil. Menebasnya dengan pedang terasa agak kejam... begitu pikir Masachika.

“Aku maju duluan...! Nggak ada cara lain! Kita nggak boleh ragu di awal seperti ini!”

“!”

Dengan suara mantap yang seolah menyemangati dirinya sendiri, Alisa maju ke depan. Tepat saat itu, kelinci itu menegangkan kaki belakangnya dan melompat ke arah Alisa.

Kelinci Bertanduk itu menundukkan kepala, berusaha menusukkan tanduknya ke tubuh Alisa. Namun, sebagai pemula yang sama sekali belum berpengalaman, Alisa tak sempat bereaksi.

“Ah—”

Menyerang, bertahan, atau menghindar?

Tak tahu harus bagaimana, Alisa hanya berdiri kaku sambil memegang pedangnya di depan dada.

Dan tanpa ragu, kelinci itu justru menusukkan dirinya sendiri ke pedang suci yang Alisa pegang secara refleks.

“Ah.”

Sekejap, efek tebasan tajam seperti di game muncul di kepala kelinci itu. Bar HP-nya langsung anjlok dari kuning ke merah... lalu dengan suara lirih Kyui~, tubuhnya berubah menjadi partikel cahaya dan lenyap.

“““...”””

Suasana aneh menyelimuti mereka. Di sudut pandang Masachika, muncul tampilan EXP yang diperoleh, dan levelnya langsung naik menjadi tiga.

“Satu musuh level rendah, tapi langsung naik dua level... seperti yang kuduga, bonus EXP sepuluh kali lipat ini memang gila.”

Sambil merenungkan betapa broken-nya skill uniknya itu, Masachika menatap Alisa.

“Ahh... selamat atas kemenangan pertamamu.”

“...Entah kenapa, rasanya bukan pertempuran, sih.”

“Yah... mungkin kelihatannya lebih seperti babi hutan daripada kelinci.”

Sambil menambahkan, “Soalnya tadi nyeruduk kayak babi,” Masachika melirik wajah Alisa.

“Jadi... kamu nggak apa-apa?”

“Mengalahkan hewan...? Yah... rasanya nggak terlalu nyata, jadi aku masih oke.”

“Ya, kupikir begitu juga.”

Musuh itu terasa lebih seperti boneka daripada makhluk hidup. Saat ditebas, tak ada darah, tak ada mayat tertinggal. Saat Masachika membuka menu item, beberapa bahan hasil drop muncul, menandakan bahwa itu memang makhluk hidup... tapi semuanya terasa seperti permainan.

“Yah, entahlah gimana cara kerjanya... tapi kalau begini nggak ada darah, aku nggak keberatan.”

“Ya.”

“Masha-san, kamu baik-baik saja juga?”

“Mhm, terima kasih~.”

Setelah memastikan Maria aman dan menghela napas lega, Masachika mengusulkan untuk kembali ke kota mengumpulkan informasi. Keduanya setuju, dan mereka bertiga pun pergi ke guild—yang juga berfungsi sebagai tempat jual beli bahan monster—untuk mencari tahu lebih banyak.

“Jadi, monster utama di sekitar sini itu Kelinci Bertanduk, Serigala Bertanduk, dan Goblin…”

— Kenapa ada serigala di padang rumput? Dan gimana caranya serigala sama kelinci bisa hidup bareng?

“Tuh kan, lari dong, kelinci.”

Sambil melempar komentar bareng Yuki, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, mereka sesekali diserang oleh kelinci dan serigala bertanduk, tapi Alisa mampu mengatasinya dengan mudah.

“Haaah!”

Setelah beberapa kali bertarung, Alisa tampak semakin mantap, mengayunkan pedang sucinya tanpa ragu ke arah serigala bertanduk (yang lagi-lagi terlihat seperti boneka). Entah karena skill-nya meningkat atau memang efek pedang suci, tebasannya begitu tajam dan kuat.

“Gyan!”

Seperti yang diharapkan dari seorang pahlawan—musuh selevel itu langsung tumbang hanya dengan satu serangan. Tubuh serigala itu pun lenyap menjadi cahaya. Tapi begitu cahayanya padam, seekor kelinci bertanduk lain langsung melompat menyerang.

“Alya!”

“H-heeeh!”

Mendengar peringatan Masachika, Alisa segera melepaskan pegangan tangan kanannya dari pedang, dan menangkis tanduk kelinci dengan pukulan balik. Entah karena efek skill 《Martial Arts》 atau bukan, serangan baliknya justru mematahkan tanduk kelinci itu.

“Kyuuun...”

Kelinci itu terpental, lalu bangkit dengan langkah gontai.

“Hm...? Tunggu, dia kayak pusing?”

“Pusing? Maksudmu... kayak stun?”

“Bukan cuma pusing... mungkin gegar otak?”

Saat menjawab Maria, sebuah hipotesis terlintas di benak Masachika.

Tunggu... ini karena tanduknya patah, ya? Atau karena kepalanya kena keras? Kalau tanduknya nyambung ke tengkorak, berarti guncangannya langsung kena otaknya, kan...?

Kalau begitu, monster ini pada dasarnya menjadikan titik lemahnya sendiri sebagai senjata... Bukankah itu cacat desain besar untuk makhluk hidup?

Ya sih, di dunia nyata juga ada hewan yang bisa mati karena taringnya tumbuh menembus tengkorak sendiri... apa namanya, babirusa? Kalau di dunia nyata saja bisa begitu, berarti nggak usah dipikir dalam-dalam di dunia isekai begini.

Sambil berpikir begitu, Alisa maju ke depan kelinci yang masih limbung.

“H-Haa!”

Mungkin masih ragu menebas musuh yang tak berdaya, Alisa berteriak lantang untuk menyingkirkan keraguannya dan mengayunkan pedang dari atas kepala.

Dengan hentakan berat, kaki kanannya maju satu langkah. Pedang suci itu menebas udara dengan cepat—whoosh!—membuat angin berputar... dan seperti yang dikhawatirkan (atau diharapkan?) Masachika, rok pendek Alisa pun ikut berkibar…

— Censored!

Begitu Masachika menatap ke arah itu, Yuki tiba-tiba mengeluarkan papan kecil entah dari mana dan menutupi pandangannya.

“...”

— Fuh... tugas selesai dengan baik.

“Ya, ya... bagus banget.”

Masachika menatap datar Yuki yang sedang menyeka keringat imajiner dengan tinju mungilnya.

Saat merasakan tatapan curiga Maria, ia buru-buru beralih ke komunikasi batin.

— Hei, dari mana kamu ngambil papan itu?

— Hah, tolonglah Master. Aku ini peri pendukung yang baik dan sopan! Menjaga rating umur dunia ini tetap aman adalah salah satu tugasku!

— Kayak panty shot kecil aja udah bikin ini R-18, emangnya? Dan tunggu… dari nada bicaramu, kita ini beneran di dunia game, ya?

— Mana aku tahu~

Dengan gerakan berputar elegan, Yuki membuat papan itu lenyap entah ke mana, lalu mendarat lagi di bahu Masachika. Menghela napas kecil, Masachika pasrah dengan perilaku “adik kecil”-nya yang tidak bisa diandalkan itu.

“Kuze-kun...?”

“Eh? Oh, nggak, nggak ada apa-apa… Aku cuma sadar—di sini sepi banget, ya.”

Maria mengerutkan alis dan menatap Masachika, membuatnya buru-buru menambahkan sambil melirik sekitar. Mendengar itu, Alisa yang baru kembali mengangguk setuju.

“Kalau dipikir-pikir, iya juga. Jalan ini... harusnya jalan utama ke ibu kota, kan? Biasanya pasti banyak pedagang lalu-lalang, tapi…”

Alisa benar juga, tapi kenyataannya tak ada satu pun manusia lain di sekitar mereka—hanya monster bertanduk yang berkeliaran.

“Yah, kalau NPC random jalan-jalan di tengah pertarungan game, pasti malah ganggu. Mungkin emang sistem dunianya begini.”

“Entahlah... apa ini benar-benar dunia game~?”

“Siapa yang tahu? Mungkin ini mimpi atau halusinasi massal aja~.”

Saat mereka berbincang, terdengar suara gemerisik dari semak di dekat mereka. Ketiganya menegang dan menoleh ke arah suara itu. Namun, yang muncul kali ini bukan hewan bertanduk seperti biasa…

“Itu... goblin?!”

Melihat dua musuh baru muncul bersamaan, ekspresi Alisa langsung menegang.

“Jadi itu goblin… huh. Yang ini juga kelihatannya seperti boneka.”

Sosok kecil berwarna hijau, tingginya tak lebih dari satu meter, mengenakan kain compang-camping. Kata “goblin” biasanya memunculkan bayangan makhluk kotor dan menjijikkan, tapi sepertinya aspek itu sudah dikurangi—tidak ada kotoran yang terlihat di tubuhnya. Atau lebih tepatnya…

“Aku juga berpikir begitu tentang kelinci dan serigala tadi, tapi… mereka benar-benar memakai ulang asetnya, kan?”

Dua goblin yang berdiri berdampingan tampak persis sama, seperti hasil salin-tempel. Mulai dari robekan di kain mereka sampai penyok di pentungan kayu yang mereka pegang—semuanya identik.

“Ini benar-benar nggak realistis… Yah, namanya juga mimpi.”

Sambil bergumam begitu, Masachika tetap memanggil Alisa yang berdiri di depan.

“Kau nggak apa-apa? Mau kubantu lawan satu?”

“Tidak perlu. Penjaga belakang yang nggak bisa pakai sihir lebih baik jangan menghalangi.”

“Ugh… Pedas, tapi benar juga.”

Saat Masachika menunduk kecewa, Alisa mengeluarkan teriakan tajam “Heeee!” dan menerjang goblin di sisi kiri dengan pedangnya.

Goblin itu mencoba mengangkat pentungannya untuk menahan serangan, tapi… dengan perbedaan kekuatan tubuh dan senjata yang begitu besar—belum lagi gravitasi berpihak pada Alisa—tidak ada kemungkinan ia bisa menahan tebasan itu.

“Gyaaah!”

Efek serangan muncul di tubuh goblin, HP-nya langsung turun, dan tubuhnya bergetar sebelum lenyap dalam cahaya disertai teriakan standar yang lemah. Tapi saat situasi tampak terkendali, hal tak terduga terjadi.

“Gyah-gyaaak!”

“Ah—!”

Goblin yang tersisa, bukannya menyerang Alisa, malah berlari lurus ke arah barisan belakang.

Setelah menebas satu musuh, Alisa bersiap melanjutkan dengan tebasan diagonal dari arah berlawanan, tapi gerakan tiba-tiba itu membuatnya lengah. Begitu juga dengan Masachika.

“Eh…?!”

Karena tidak punya peran dalam pertarungan sejauh ini, ketegangannya sempat mengendur. Butuh kurang dari satu detik untuk sadar kembali—dan saat itu, goblin sudah tepat di depannya.

A-Aku harus melindungi Masha-san—!

Dengan cepat, Masachika memposisikan tubuhnya di depan Maria untuk melindunginya.

Sihir… tidak mungkin kupakai, jadi pertarungan jarak dekat? Mungkin tendangan—tidak, aku tipe penyerang belakang, tapi ini bukan waktunya mikir itu—pakai karate, mungkin? Tapi tanganku—

Dalam sepersekian detik kebimbangan itu, ia berniat memukul balik dengan tangan kosong—baru sadar kalau tangan kanannya sedang memegang grimoire. Dan sebelum ia sempat berpikir lagi, goblin itu sudah mengangkat pentungannya—

“Hmph!”

Secara refleks, Masachika menghantam wajah goblin itu dengan grimoire!

Dengan suara “thud” tumpul, efek serangan muncul di wajah goblin itu… dan seketika HP-nya lenyap, tubuhnya pun menghilang.

““...””

“Ara~, Kuze-kun, kamu terlihat seperti guru, lho~.”

“Masha-san, guru seperti apa yang kamu maksud, tepatnya?”

Sambil menanggapi komentar Maria yang agak aneh, Masachika menatap ke arah Alisa. Gadis itu terdiam, berhenti di tengah gerakannya seolah baru hendak berlari menghampiri. Menyadari hal itu, Masachika memasang senyum percaya diri kecil dan berkata pelan,

“Sihir, ternyata… adalah seni memukul orang dengan buku.”

“Itu salah total.”

Ucapan Alisa benar adanya, tapi kenyataannya, cara itu berhasil. Dan semua itu berkat skill unik 《Sepuluh Kali Lipat Pengalaman (Kecuali Permainan Bola)》 yang ia miliki.

Di dunia ini, poin pengalaman tampaknya dibagi rata di antara anggota party tanpa memandang kontribusi individu dalam pertempuran. Namun, skill unik Masachika membuat jatahnya dikalikan sepuluh kali lipat.

Akibatnya, meskipun ia hanya berdiri di belakang dan menonton, levelnya meningkat jauh melebihi kedua rekannya. Bahkan sebagai penyerang belakang, kekuatan, kelincahan, dan daya tahannya sudah melampaui Alisa yang merupakan petarung garis depan. Dan sekarang, dengan pengalaman bela diri serta senjata tumpul yang tak bisa hancur—grimoire-nya—Masachika memperoleh kemampuan tempur jarak dekat yang jauh di atas Alisa.

“Yah, sepertinya aku sekarang jadi petarung garis depan.”

Dan dengan begitu, lahirlah sosok legendaris yang tak terduga—“Sang Sage Tanpa Sihir yang Bertarung dengan Buku.”

*** 

“Hah! Hah!”

“...”

“Ayo, Kuze-kuuun~! Kamu pasti bisa~!”

Sang penyihir itu mengayunkan grimoires-nya tanpa ragu ke arah monster yang melompat keluar, sementara sang pahlawan dan sang pendeta mengikuti dari belakang.

Menurut logika Masachika, Alisa—si petarung tangguh di garis depan—seharusnya berjalan paling depan untuk menahan serangan mendadak. Idealnya, mereka juga sebaiknya menyewa pengintai untuk memeriksa bahaya di depan... tapi mereka tidak melakukan itu. Atau lebih tepatnya, Masachika sadar bahwa mereka memang tidak perlu melakukannya.

Entah kenapa, monster di dunia ini tidak pernah melakukan serangan mendadak. Baik itu kelinci bertanduk, serigala bertanduk, atau goblin, semuanya selalu muncul dari depan. Mereka tidak pernah menyerang dari samping, atau melempar batu dari balik semak-semak. Sebaliknya, mereka selalu melangkah ke depan, mengeluarkan teriakan aneh—entah itu ancaman atau animasi pertemuan—baru kemudian memasuki mode pertempuran.

“Ah, musuh lagi…”

Tepat setelah itu, tiga goblin melompat keluar, berbaris rapi sambil mengangkat pentungan mereka dan berteriak “gyagya!”. Gerakan mereka yang sangat sinkron itu bahkan terlihat terlalu rapi, sampai-sampai mereka bertiga mulai berpikir kalau monster paling lemah pun di dunia ini seolah punya rasa kesatria. Namun tetap saja...

“Ya, ya, bagus begitu.”

Jenis kesatria seperti itu tidak berarti apa-apa bagi kelompok pahlawan yang bukan penduduk asli dunia ini. Jadi Masachika dan kelompoknya tak ragu melancarkan serangan kejutan, bahkan sebelum musuh sempat menyelesaikan pose ancamannya.

Masachika mengabaikan teriakan intimidasi goblin dan menghantam dahinya dengan senjata tumpulnya—yakni grimoire. Berkat keterampilan uniknya, 《Pengganda Pengalaman Sepuluh Kali Lipat (Kecuali Olahraga Bola)》, level dan statistik Masachika jauh melampaui batas wilayah ini. Sekali pukul saja, goblin malang itu langsung lenyap menjadi partikel cahaya.

— Woo~♪ Itu dia, Master! Aku kagum dengan kekejamanmu!

Mengabaikan ejekan nakal dari iblis kecil bernama Yuki, Masachika kembali mengangkat grimoires-nya. Namun meski rekan mereka baru saja dihancurkan tanpa ampun dan takdir yang sama akan segera menimpa mereka, kedua goblin yang tersisa tidak marah dan berteriak, “Hei, kami masih dalam pose intimidasi, tahu!” Sebaliknya, mereka tetap dengan tekun menyelesaikan seluruh ritual ancamannya sebelum akhirnya masuk ke posisi bertarung—hanya untuk kemudian dihantam grimoires Masachika di pelipis mereka dengan suara thud keras sebelum sempat berbuat apa-apa.

““Gyaaah!””

Jeritan goblin itu kini terdengar hampir datar sebelum tubuh mereka berubah menjadi cahaya. Tanpa menoleh sedikit pun, dan pura-pura tidak melihat tatapan heran dari belakang, Masachika memeriksa poin pengalaman dan uang yang muncul di tepi pandangannya.

“Baiklah, ayo lanjut.”

Dan begitu, kelompok itu terus maju, mengulangi apa yang nyaris tidak bisa disebut “pertarungan”—melainkan pembantaian sepihak oleh sang penyihir brutal. Tak lama kemudian, mereka tiba di kota berikutnya.

“…Tunggu, ini aneh…”

“Tidak mungkin kita sudah berjalan sejauh ini…”

Sambil menoleh ke padang rumput luas di belakang mereka, Masachika dan Alisa dengan tenang menunjukkan kejanggalan itu.

Ibu kota kerajaan yang mereka tinggalkan sekitar satu jam lalu—setidaknya menurut perasaan mereka—sudah sama sekali tak terlihat, tersembunyi di balik cakrawala. Meskipun mereka berjalan kaki melewati hamparan padang rumput tanpa ujung, entah bagaimana mereka sudah menyeberanginya tanpa sadar. Rasanya seolah mereka tiba-tiba berpindah tempat, pemandangan berganti begitu saja. Atau mungkin...

— Kita ganti area.

“Kurasa juga begitu, kan?”

“Hah? Maksudmu apa?”

“Maksudku... sepertinya kita baru saja mengalami area transition. Jadi, mungkin permainan ini menganggap kita sudah ‘menyelesaikan’ area padang rumput, lalu langsung memindahkan kita ke area berikutnya—yaitu kota ini. Kalau begitu, mungkin kelompok goblin dan serigala bertanduk tadi... sebenarnya dianggap bos area?”

Mendengar penjelasan itu, Alisa—yang tampaknya tidak punya banyak pengalaman dengan game—hanya mengerutkan kening dan memiringkan kepala. Saat itu, Maria mengangkat jari telunjuknya dengan wajah penuh ide dan berkata,

“Kau tahu, seperti di pertunjukan teater, ketika latar belakangnya tiba-tiba berubah dan adegannya berganti dalam sekejap? Aku rasa seperti itu!”

“Tidak, itu... bukan begitu caranya…”

“Aaah, aku rasa aku agak paham sekarang… mungkin.”

“Benarkah kamu paham…?”

Alisa tampak menerima penjelasan Maria yang aneh itu begitu saja. Melihatnya dengan ekspresi sedikit bingung, Masachika memperhatikan Yuki yang ikut mengangguk sambil menyilangkan tangan.

— Gameplay yang lancar—fantastis.

“Ini terlalu lancar… Maksudku, memang sih, di game bagian awal biasanya dibuat cepat biar pemain bisa sampai kota pertama, dan kadang game bahkan bisa diselesaikan dalam sepuluh jam... tapi kalau dipikir, itu agak aneh juga, kan?”

Aneh juga kalau perjalanan panjang di dunia terbuka bisa diselesaikan dalam beberapa jam saja. Itu mungkin berarti waktu perjalanan dipersingkat di banyak bagian...

“Mengalami sendiri seperti ini... dunia game benar-benar penuh dengan keanehan dan kemudahan buatan, ya?”

“Orang-orang di istana bilang kita harus melewati tujuh kota untuk sampai ke kastil Raja Iblis, kan? Kalau seperti ini, kita mungkin sampai dalam waktu kurang dari sehari.”

“Yah, mungkin karena ini area pertama, jadi tingkat kesulitannya memang sengaja dibuat rendah... Lagipula, nanti malam kita pasti harus menginap di penginapan juga, jadi kurasa tidak akan selesai dalam sehari.”

Setelah berkata begitu, Masachika menambahkan, “Meski menginap juga belum tentu bisa benar-benar tidur sih.”

Secara teknis, hanya empat lokasi pertama yang benar-benar bisa disebut kota. Setelah itu, mereka akan memasuki benteng dan pos pertahanan. Kota keempat adalah perbatasan, dan setelahnya terbentang tanah tanpa hukum yang dipenuhi monster— medan perang tempat umat manusia dan ras iblis bertarung.

“Yah, untuk saat ini, ayo lanjut sejauh mungkin sebelum matahari terbenam.”

“Iya.”

“Oke~.”

Dengan tekad untuk terus maju tanpa berhenti, mereka menjual barang jarahan, membeli persediaan, dan berangkat menuju kota berikutnya. Lalu... setelah kira-kira tujuh jam berjalan—

“Uwaaaah?!”

Dia nyaris menghindari pentungan raksasa yang menghantam dari atas, berlari pontang-panting daripada sekadar mengelak ke samping.

Pentungan sepanjang tiga meter dan setebal lima puluh sentimeter, penuh duri tajam, menghantam tanah dengan suara berat dan gemuruh. Getaran yang ditimbulkannya membuat bulu kuduk Masachika berdiri—kekuatan sebesar itu bisa dengan mudah menghancurkannya jadi bubur.

“Tidak, ini terlalu mengerikan! Itu ogre dengan pentungan berduri! Tingkat kesulitannya langsung naik drastis!”

Di ujung lembah kering, diapit tebing di kedua sisi, berdirilah sosok cyclops raksasa dengan kulit merah kehitaman yang memancarkan aura jahat. Tubuhnya menjulang sekitar lima meter. Melihat pemandangan itu, Masachika tak bisa menahan teriakannya. Mungkin karena suaranya yang keras, si cyclops perlahan mengangkat pentungan raksasanya. Satu matanya yang besar berputar, menatap Masachika dengan tatapan mengerikan.

“Geh—”

“GRAAAAHHHH!”

“Eeek?!”

Ketika pentungan besar itu menghantam miring dari atas, Masachika berteriak panik dan menjatuhkan dirinya ke tanah untuk menghindar.

Beban besar itu melewati kepalanya dengan suara “GOUH” yang berat. Merasakan tekanan angin menghantam punggungnya, Masachika menggigil dan merangkak menjauh dari cyclops.

Begitu merasa jarak cukup aman, ia berdiri dan melihat ke arah musuhnya. Cyclops itu melepaskan pegangannya pada pentungan, lalu mengulurkan tangan kirinya ke arah Masachika—dan firasat buruk langsung menyergapnya.

“Jangan bilang…”

Dan seolah menegaskan firasat itu, mulut besar cyclops terbuka, memperlihatkan deretan taring tajam.

「Fireball」

Suara itu terdengar seperti bergema dari lubang got—gelap dan bergemuruh. Tak lama kemudian, udara meledak dengan suara keras. Dalam situasi seperti ini, Masachika biasanya sudah lari duluan.

“Kamu pakai sihir?! Dan kenapa pakai bahasa Inggris?!”

— Mungkin sihir iblis memang beda dengan sihir manusia? Nggak tahu juga sih.

“Enaknya kamu bisa santai begitu!”

Berseru pada Yuki yang acuh, Masachika menarik tudung jubahnya menutupi kepala dan berlari sekencang-kencangnya. Di belakangnya, bola api meledak, dan gelombang panas membakar bagian belakang jubahnya.

“Whoaaa?!”

Meski punggungnya terasa panas, tak ada perubahan pada bar HP di sudut pandangannya. Mungkin jubah serta penghalang dari Maria berhasil menahan kerusakan panas.

“Haaaaaaah!”

Mendengar teriakan itu, Masachika melihat Alisa bersiap menyerang Cyclops yang baru saja melemparkan sihir padanya.

Namun ketika Alisa mencoba menebas kakinya, Cyclops menarik kaki ke belakang dan dengan mudah menghindar.

“Ah—apa?”

Serangan Alisa meleset total, membuatnya kehilangan keseimbangan. Saat itu, Cyclops dengan santai mengayunkan pentungan besarnya kembali.

Zashchita Stena!「【Barrier!】」

Suara tegas Maria menggema dari belakang. Seketika, penghalang cahaya muncul di antara Alisa dan Cyclops, menahan serangan itu dengan sempurna. Guncangan keras membuat Cyclops terhuyung beberapa langkah ke belakang. Itu adalah celah sempurna untuk menyerang, tapi baik Alisa maupun Masachika tidak bergerak. Kaki raksasa yang menghentak tanah membuat mereka berhati-hati—mereka tahu, kalau terlalu dekat, mereka bisa remuk seketika. Akibatnya, suasana pun menegang.

“Tidak… Ini jelas pertempuran yang mengasumsikan posisi belakang bekerja dengan baik, kan?”

Wajar kalau Masachika berkata begitu. Cyclops ini benar-benar berbeda level dibanding musuh-musuh sebelumnya.

Pertama, dari segi ukuran. Musuh terbesar sebelumnya hanyalah harimau raksasa sepanjang empat meter, tapi tetaplah binatang berkaki empat. Ketika menggigit, kepalanya tepat di depanmu, jadi masih bisa dihadapi.

Sebaliknya, Cyclops ini berdiri tegak dengan dua kaki. Lututnya saja setinggi kepala mereka. Menyerang kepala atau bahkan jantungnya hampir mustahil. Apalagi, ia bersenjata dan bisa menggunakan sihir.

Biasanya, titik lemahnya adalah mata, tapi bagaimana bisa mereka mendekatinya? Cara umumnya adalah tank menahannya, lalu penyerang jarak jauh menembak matanya... tapi tunggu. Serangan jarak jauh?

Saat itulah ia tersadar dan menatap Alisa. Di saat bersamaan, Cyclops menstabilkan posisinya dan mengeluarkan raungan sambil mengangkat kedua tangan. Masachika tahu bahwa tatapannya kini mengarah ke garis belakang—ke Maria, yang barusan memantulkan serangannya. Seketika, ia mengambil keputusan.

“Alya! Lindungi Masha-san dan bidik matanya pakai sihir! Aku akan menarik perhatiannya!”

“Hah…?”

“Hanya kamu yang bisa menyerang jarak jauh! Tolong, aku percaya padamu!”

Tanpa menunggu jawaban Alisa, Masachika melompat ke depan, berdiri di antara Cyclops dan kedua temannya.

“A-ayo… lawan aku kalau berani!”

Cyclops maju, mengangkat pentungan tinggi-tinggi. Masachika menggertakkan giginya, menahan rasa takut yang nyaris membuatnya lumpuh.

Tenang. Aku punya pengganda pengalaman! Level dan stat-ku jauh di atas rata-rata area ini! Lagipula, dia bukan petarung murni—dia juga pakai sihir, artinya kemampuan fisiknya lemah! Sekuat apa pun dia terlihat...

Secara angka, aku bisa mengimbanginya!

Menepis keraguan terakhir, ia menggenggam grimoires-nya erat dan bersiap.

“GRAAH!”

“Uoooh!”

Ia mengayunkan grimoires-nya sekuat tenaga, menghantam pentungan yang sedang turun.

Pentungan besar itu disapu secara horizontal, menyingkirkan apa pun di jalurnya. Dengan gerakan seperti melempar bola, Masachika menghantamnya balik dengan paksa.

Gelombang kejut di titik benturan itu bisa saja membuat lengannya patah total jika ini dunia nyata. Tapi di dunia ini, semua perhitungan dilakukan lewat formula sederhana—seperti permainan kartu. Artinya, ketika dua serangan bertabrakan, pihak yang menghasilkan angka kerusakan lebih besar akan menang, dan setelah dikurangi pertahanan, sisanya jadi kerusakan akhir. Jadi, bahkan jika dihantam meteor sekalipun, kalau serangan balasanmu lebih kuat, kamu tidak akan terluka.

Ketika grimoires Masachika menghantam, pentungan Cyclops terpental, dan satu bar HP di atas kepalanya sedikit berkurang. Sementara bar HP Masachika masih penuh.

“Hah... ha-ha-ha! Gimana tuh, kekuatan cheat XP-ku! Serangan adalah pertahanan terbaik! Nggak butuh tank! Saksikan bagaimana penyihir penghajar ini menunjukkan arti sesungguhnya dari punching tank!“

Masachika berusaha menutupi rasa takutnya dengan tawa percaya diri. Suaranya yang sedikit pecah justru memberi kesan... menawan.

— Suaramu pecah, lol.

“Diam.”

Mendesis pada adiknya yang cerewet, Masachika kembali bersiap. Di saat yang sama, Cyclops yang tadi yakin bisa menyingkirkannya dengan mudah kini mengalihkan pandangan dari Maria ke Masachika—dan tepat pada saat itu...

Bolshaya Strela!「【Panah Besar!】」

Dengan mantra berbahasa Rusia dari Alisa, sebongkah batu besar berbentuk sabit meluncur dari belakang Masachika.

— Wow, keren juga—kayak peluru meriam!

Yuki memandangnya kagum, tapi batu itu terlalu lambat untuk disebut peluru meriam. Cyclops pun dengan mudah menghindar hanya dengan sedikit memiringkan kepala.

“Ah, meleset—”

“Tidak apa! Teruskan saja! Jangan fokus ke mata, serang area sekitar! Setiap kali aku kena, tembakkan lagi di dekat kepalanya!”

“O-Oke, paham!”

“Masha-san! Kalau dia menyerangmu, pakai penghalang! Dan awasi sihirnya!”

“Ah, iya!”

Sambil memberi instruksi, Masachika terus memperhatikan Cyclops. Untungnya, mata tunggal itu kini menatapnya lagi. Mungkin karena sihir Alisa tadi meleset, sejauh ini aggro-nya masih tertuju padanya.

Kalau dipikir seperti game… monster biasanya akan menyerang siapa pun yang paling banyak memberi damage atau melakukan penyembuhan, kan? Kalau saja aku punya skill taunt, pasti lebih mudah…

Sayangnya, karena Masachika bukan tank, ia tidak punya kemampuan itu. Mengelola perhatian musuh pun jadi lebih sulit.

“Yah, sepertinya aku cuma bisa bertahan sambil minum potion nanti!”

Sambil berteriak, Masachika menatap balik ke mata tunggal Cyclops. Saat pentungan besar itu kembali menghantam, ia menahannya dengan grimoires-nya.

Setelah itu, pola pertempuran menjadi cukup jelas.

Tidak bisa menyerang karena jangkauan, Masachika hanya bisa fokus menahan. Setiap kali mereka bertabrakan, Alisa menembakkan sihir ke arah kepala Cyclops, sementara Maria memblokir sihir musuh setiap kali dia mencoba menyerang balik.

Namun ketika Masachika mulai berpikir bahwa pertarungan ini akan berlangsung lama, sesuatu yang tak terduga terjadi.

“GRUAAARRRGHH!!”

“Eh—”

Sihir berunsur air yang ditembakkan Alisa. Itu hanyalah sihir sederhana yang melemparkan massa air besar—tidak terlalu kuat. Alisa mungkin melakukannya karena putus asa, mencoba mengakhiri kebuntuan... tapi begitu air itu menyentuh kulit Cyclops, terdengar suara mendesis dan asap mengepul.

“A-Apa…?”

“Benar juga, itu kelemahannya! Monster ini lemah terhadap air!”

Kalau dipikir, memang jelas—kulit merah kehitaman dan sihir api jelas menunjukkan kelemahan terhadap air. Menyadari kelengahannya, Masachika berlari maju dan menghantam tulang kering Cyclops dengan grimoires-nya, lalu segera mundur sambil berteriak ke arah Alisa di belakangnya.

“Baiklah! Mulai sekarang, serang dia dengan sihir air! Tapi jangan terlalu memaksakan diri, nanti dia malah nyerang kamu—jaga jarak dan tetap kendalikan!”

“Siap!”

Perintah itu membuat jalannya pertarungan berubah total. Rupanya, tidak hanya Cyclops itu menerima damage ketika terkena air, tapi juga pertahanannya melemah, membuat serangan jarak dekat Masachika bisa menurunkan HP-nya secara signifikan. Selain itu, setiap kali Cyclops itu terkena air, tubuhnya akan tersentak, membuatnya terjebak dalam pola serangan berulang.

Sihir air Alisa terus membuat Cyclops kehilangan keseimbangan, memberikan celah sempurna bagi Masachika untuk menghantamnya dengan grimoire. Begitu makhluk itu mulai pulih, gelombang sihir berikutnya langsung menghantam, membuatnya tidak sempat membalas.

“Yah, begitu kita tahu polanya, ternyata boss ini lemah juga, ya?”

Merasa sedikit bersalah karena pertarungan itu mulai terasa seperti perundungan, Masachika kembali menghantam tulang kering Cyclops untuk entah keberapa kalinya.

Wham!

Namun kali ini, ia merasakan sesuatu yang aneh dari benturan itu.

“Hmm? Rasanya agak ker—”

“Kuze-kun!”

“Mundur! Ada yang—”

Peringatan dari kedua rekannya terdengar di belakangnya, dan Masachika segera paham alasannya.

Tepat di depan matanya, kaki Cyclops yang semula berwarna merah kehitaman tiba-tiba berubah menjadi biru, dan bulu di seluruh tubuhnya berdiri seperti tersetrum.

Sial—

Begitu ia menyadari ada yang tidak beres, Masachika mencoba menarik kembali grimoire-nya dan melompat menjauh... tapi ia terlambat setengah detik.

“GRRRAAAAHHHH!!”

Raungan menggema begitu keras hingga menusuk telinga. Saat Masachika mendongak, ia melihat tubuh Cyclops kini diselimuti warna biru-hitam pekat. Dari tanduknya, percikan energi listrik menjalar, memancarkan aura yang mengerikan.

Sebelum sempat berpikir lebih jauh, kilatan petir meledak dari tanduk Cyclops, menyambar ke segala arah dalam radius penuh. Masachika sempat mengira dirinya aman—ternyata tidak.

Jangkauan serangannya sedikit lebih luas dari yang ia perkirakan, dan ia pun tersambar.

“Gah—!”

Serangkaian kejutan listrik menyambar tubuhnya, membuat semua sensasi hilang seketika.

Ini buruk… pa…rali…sis…

Tak mampu menahan tubuhnya, Masachika jatuh telentang ke tanah karena momentum mundurnya. Sekilas ia masih sempat melihat bilah HP Cyclops—bagian bawahnya sudah hilang, dan bagian atasnya tinggal separuh.

Sial…! Begitu HP-nya tinggal seperempat, dia masuk ke fase baru!

Serangan petir besar-besaran ini mungkin adalah scripted move saat pergantian fase—jebakan licik untuk pemain jarak dekat yang berdiri terlalu dekat.

Achitsushie—「【Sea—】」

Itu adalah pertama kalinya anggota tim terkena efek status, membuat Maria ragu beberapa detik sebelum akhirnya mulai melafalkan mantranya. Namun sebelum ia sempat menyelesaikan ucapan, Cyclops mengangkat jari telunjuk kanannya, menuding langsung ke arah Maria dengan gerakan yang mengejutkan.

Dan ketika mulut besar makhluk itu terbuka perlahan... Maria melakukan kesalahan fatal.

Zashchitnaya —「【Barrier—】」

Merasakan serangan sihir yang akan datang, Maria secara refleks mengganti mantranya di tengah jalan.

“Saat melafalkan mantra, tolong berhati-hati, karena pengucapan yang salah bisa menyebabkan sihir gagal atau berbalik arah.”

Ia benar-benar lupa pada peringatan yang diberikan di kastil kerajaan. Dan akibatnya—

“Ah—?!”

Percikan muncul di ujung tongkat sucinya, dan kedua mantra langsung gagal. Maria terpaku sesaat oleh efek baliknya, dan pada saat itu, sihir Cyclops sudah dilepaskan.

「Blitz」

Dengan suara seperti udara yang meledak, petir melesat dari jari tebal Cyclops menuju Maria.

Alisa refleks melompat ke depan untuk melindunginya—namun itu juga merupakan kesalahan fatal.

“Uwah!”

Tubuhnya tersentak hebat oleh aliran listrik, tapi Alisa, sesuai gelarnya sebagai pahlawan, menggigit bibirnya dan tetap berdiri. Namun—

“Ah—!”

Sihir petir itu menembus tubuh Alisa dan melanjutkan sasarannya ke Maria di belakangnya.

Entah karena kurangnya resistensi atau sekadar nasib buruk, Maria pun tersambar dan lumpuh seperti Masachika.

Ini buruk…!

Masachika, yang masih terbaring di tanah, melihat kejadian itu dengan tubuh yang kaku.

Dua dari tiga anggota tim lumpuh. Yang tersisa pun dalam keadaan kaku sebagian. Jika Alisa baik-baik saja, ia bisa menggunakan item penyembuh pada Maria, lalu Maria akan memulihkan Masachika. Tapi karena tak menyadari kalau petir memiliki efek tembus, Alisa justru menempatkan diri di depan serangan itu, membuat satu-satunya jalan penyelamatan lenyap. Kini, mereka tak punya cara untuk menangkis serangan Cyclops berikutnya.

「Attribute Infusion: Lightning」

Pada saat itu, suara mantra jahat membuat naluri Masachika berteriak bahaya. Ia menatap ke atas dan melihat pentungan besar Cyclops kini berkilat diselimuti listrik.

“—!”

Itu adalah mantra yang menyelimuti senjata dengan elemen tertentu, menambah damage tambahan saat menyerang. Jika Masachika mencoba menangkisnya dengan grimoire seperti sebelumnya, ia pasti akan menerima kerusakan dan kelumpuhan sekaligus.

Tolong… semoga dia menyerangku saja…!

Namun doa Masachika sia-sia—Cyclops malah menatap ke arah Alisa dan Maria, lalu mengaum keras sebelum berlari menyerbu.

—Bangun! Kau sudah tidak lumpuh lagi!

“!!”

Tepat pada saat itu, suara Yuki bergema di benaknya, dan Masachika langsung bangkit berdiri.

Tanpa pikir panjang, ia berlari secepat mungkin, berusaha memosisikan diri di antara Alisa dan Cyclops…

“Sial! Aku nggak akan sempat!”

Meskipun kecepatan di statusnya lebih tinggi, langkah Cyclops jauh lebih besar. Ia tak punya cukup ruang untuk mengitari sisi lain; yang bisa ia lakukan hanyalah menyerang dari samping, meski peluang berhasilnya kecil.

Apa yang bisa kulakukan? Harus ada sesuatu—cara untuk menghentikan langkahnya—serangan yang bisa bekerja…!

Di tengah keputusasaan, suara Yuki kembali terdengar di kepalanya.

— Tetap tenang, Master. Dari pertempuranmu dengan kelinci bertanduk dan goblin, kau tahu, kan? Bahkan monster di dunia ini punya titik lemah biologis. Pukul tanduknya—mereka pusing. Hantam tenggorokannya—mereka tersedak. Jadi—

“!”

Masachika langsung mendapat ide. Ia menatap penuh fokus, menunggu momen sempurna sambil berlari ke sisi kiri Cyclops.

Kaki besar makhluk itu mendarat dengan tumit terlebih dahulu, menekan tanah kuat-kuat, lalu naik ke ujung jari kaki sebelum menendang mundur dengan tenaga penuh.

Belum… belum…

Begitu kaki itu menurun sedikit dan mulai terdorong ke depan—

“Sekarang!”

Saat ujung kaki kiri Cyclops hampir menyentuh tanah, Masachika mengayunkan grimoire-nya sekuat tenaga, tepat ke arah jari kelingking kakinya.

“Makan nih! Serangan Spesial ‘Nendang Kaki Meja di Tengah Malam’!!”

Thud! Suara benturan tumpul menggema di lembah, dan Cyclops tersandung hanya beberapa meter sebelum mencapai Alisa.

Pukulan keras di jari kelingking kaki—reaksi terhadap rasa sakitnya sama, baik bagi manusia maupun monster di seluruh dunia:

“GUOOOAAAH?!”

Secara refleks, Cyclops memegangi jarinya yang terluka.

Seperti yang diduga, makhluk itu terhuyung beberapa langkah sebelum berjongkok, memeluk kaki kirinya. Namun saat itu juga, ia sudah berada dalam jangkauan Alisa.

“Haaa!”

Menghadapi mata raksasa yang kini sejajar dengannya, Alisa menurunkan pedang suci ke pinggang dan, dengan teriakan tajam, melancarkan jurusnya.

“Rock Breaker!”

Pedang suci itu bersinar lembut—menandakan aktifnya teknik Battle Aura. Dengan momentum tak terbendung, tebasan itu menembus mata Cyclops hingga menembus bagian belakang kepalanya. Bilah HP di atas kepalanya memerah total lalu menghilang seketika.

“GRRUAaaahhh—!!”

Dengan raungan kematian yang dramatis khas bos monster, Cyclops jatuh terkulai... lalu lenyap menjadi cahaya di tengah jalan. Sesaat kemudian, jendela pesan muncul di sudut pandangan Masachika, menunjukkan perolehan EXP dan kenaikan level sebanyak empat sekaligus.

“Kita berhasiiiiil~~~... tapi tadi nyaris banget~~~...”

Begitu memastikan semuanya aman, Masachika jatuh terduduk ke tanah dengan napas lega.

Melihat hasilnya, ketiganya nyaris tidak terluka sama sekali. HP mereka tetap di atas delapan puluh persen selama pertarungan—bisa dibilang kemenangan sempurna. Tapi sebenarnya itu kemenangan tipis; di akhir pertempuran, formasi mereka benar-benar berantakan. Jika pertarungan berlanjut sedikit lebih lama, mungkin ada yang tumbang lebih dulu.

“Ahh~, itu menakutkan banget~~! Maaf ya, mantraku gagal.”

“Nggak apa-apa, aku juga lengah, jadi sebagian salahku juga…”

“Aku juga, refleks maju ke depan tanpa mikir… Harusnya aku malah mendorong Masha menjauh.”

“Yah, nggak mungkin juga kau mikir sejauh itu dalam situasi itu. Lagipula, kau luar biasa bisa menyelesaikan serangannya.”

“Uh-huh, aku lihat dari belakang, dan Alya-chan kelihatan keren banget!”

“Makasih… Kamu juga hebat bisa menghentikannya… walau nama jurusmu agak aneh, sih.”

“Eh, jangan bilang gitu!”

Sambil mengevaluasi kesalahan mereka, ketiganya saling memuji hasil kerja masing-masing.

“Kau juga nggak bisa banyak bicara soal nama jurus, tahu!”

“Jangan diungkit, dong… itu memang nama resminya, mau gimana lagi!”

“Yah, katanya kalau sudah terbiasa, kita bisa pakai skill tanpa nyebut namanya… Tapi kalau saja mantra-mantranya pakai bahasa Jepang, aku juga bisa! Kenapa aku nggak punya skill jarak dekat, sih…?”

“Aku juga nggak punya~. Mungkin skill yang bisa dipelajari tergantung kelas?”

“Kayaknya masuk akal… Tapi tunggu deh! Kenapa sihir iblis pakai bahasa Inggris?! Kalau begitu, aku mungkin bisa pakai sihir juga!”

“Emang kamu bisa ngucapin dengan aksen native?”

“Kalau dipikir lagi… kayaknya enggak juga.”

Sambil bercakap ringan seperti itu, mereka berjalan keluar dari lembah tandus dan menuju ke kota baru yang tampak di kejauhan.

“Dan… kita sudah sampai.”

“Kita kayaknya barusan di-warp, deh…?”

“Ahaha, iya, rasanya memang agak aneh~.”

Tanpa sadar, mereka sudah berdiri di depan gerbang raksasa. Ketiganya saling bertukar senyum canggung, lalu memutuskan untuk melangkah masuk—tapi tiba-tiba suara penjaga gerbang menghentikan mereka.

“Apakah kalian berniat menyeberangi perbatasan? Kalau begitu, saya sarankan membeli tunggangan ajaib di toko makhluk sihir.”

“Machine-gun?”

— Senapan mesin di dunia ini? Lol, itu keterlaluan banget.

“Alya… kayaknya kamu salah paham deh. ‘Kiju’ itu maksudnya hewan tunggangan. Ini dunia fantasi, jadi tunggangannya mungkin bukan cuma kuda.”

“Ah, j-jadi maksudnya itu, ya…”

Sambil melirik Alisa yang menundukkan bahunya karena malu, Masachika berbalik ke arah penjaga gerbang untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

“Kami akan menuju ke benteng di depan… Apakah jaraknya benar-benar sejauh itu?”

“Hm? Nggak juga, sebenarnya nggak terlalu jauh… tapi kalau kalian mau menyeberangi jalan pegunungan itu dengan berjalan kaki, ya bakal susah banget. Lagi pula, kalau kalian punya tunggangan, perjalanan bakal jauh lebih mudah!”

“Begitu, ya.”

Di dunia ini, monster bertipe hewan seperti kelinci bertanduk dan serigala bertanduk disebut “binatang sihir”, sedangkan monster humanoid seperti goblin dan orc disebut “iblis.” Berbeda dengan iblis yang tidak bisa dijinakkan, binatang sihir bisa. Karena itu, “toko binatang sihir” kemungkinan adalah tempat yang menjual binatang sihir yang sudah dijinakkan.

“Ngomong-ngomong, di mana tepatnya toko binatang sihir itu?”

“Oh, itu ada di—”

Setelah menerima petunjuk arah yang rinci dari penjaga gerbang yang ramah itu, mereka berjalan menuju lokasi yang dimaksud.

“Jadi, kita akan dapatkan alat transportasi di sini, ya… Yah, kalau ini sudah memasuki paruh kedua, menambah mobilitas dengan tunggangan memang sudah standar.”

Sambil bergumam sendiri, Maria—yang tampaknya lebih paham tentang dunia fantasi dibanding Alisa—tersenyum lembut.

“Oh, aku tahu ini~! Biasanya kita naik burung besar atau makhluk mirip dinosaurus kecil untuk bepergian, kan?”

“Dinosaurus kecil? Uh… itu aman nggak? Mereka nggak bakal menggigit, kan?”

“Nggak kok, sepertinya nggak… atau, yah, semoga aja nggak. Tapi kalau ini dunia nyata, mungkin aja monster yang sudah dijinakkan bisa menyerang juga…”

Mendengar sudut pandang sesederhana tapi sebaru itu dari orang luar, Masachika tak bisa menahan diri untuk berpikir, “Huh, aku bahkan nggak pernah kepikiran begitu.”

“Tapi tetap saja, kurasa pasti ada semacam pengaman, kan? Mungkin mereka diikat secara sihir supaya tidak bisa melawan atau menyakiti majikannya…”

“Entah kenapa, kedengarannya malah rumit juga, ya…”

“Mm… yah, intinya mereka kayak dicuci otak, kan? Kalau begitu, sebaiknya kita pilih yang kelihatannya aman saja. Lagipula, kita nggak akan pakai mereka buat bertarung.”

“Iya, iya! Kalau gitu, sekalian aja pilih yang lucu! Kayak kucing besar gitu!”

“Itu pasti susah banget ditunggangi… Tapi ya sudahlah, toh aku sendiri kayaknya nggak bakal bisa duduk di atas kuda dengan benar.”

“Ngomong-ngomong… Alya-chan dan aku juga nggak bisa naik, kan?”

“Hmm… Bahkan kalau pun bisa, aku rasa kita tetap nggak bakal sanggup melewati jalur gunung seperti itu.”

Menyadari kelemahan mendasar dalam rencana mereka, Masachika dan yang lain berhenti dan saling menatap. Namun mengingat seberapa jelas “alur permainan” ini menuntun mereka, melewatkan toko binatang sihir jelas bukan pilihan yang disediakan.

“Yah… kita lihat saja nanti setelah sampai. Mungkin aja ada pelana sihir yang bisa bantu pemula supaya nggak jatuh.”

“Ya, bisa jadi.”

“Aku penasaran, ada kucing besar nggak ya~.”

“...Kalau dipikir objektif, yang kamu maksud itu singa, kan, Masha-san?”

Mereka berjalan melintasi kota, dan tak lama kemudian, toko binatang sihir yang dimaksud pun terlihat. Meski petunjuk dari penjaga hanya berupa arah kasar, bangunannya sangat mudah dikenali. Tidak seperti bangunan lain yang tampak samar, toko ini menonjol dengan bentuk tajam dan detail tinggi, seolah sengaja diberi kualitas grafis yang lebih bagus.

“Aku juga sempat berpikir begitu waktu di guild… aneh juga ya, kenapa cuma bangunan penting yang punya kualitas grafis lebih bagus.”

“...Sudahlah, jangan dipikirin.”

Dengan ekspresi sedikit kaku, Masachika melangkah masuk dan berbicara dengan pemilik toko berjanggut yang jelas berbeda dari NPC lain yang berwajah generik. Ia menuntun mereka ke pintu belakang, dan ketika ketiganya keluar, tampak sebuah kandang kayu raksasa.

“Tunggangan binatang ada di dalam. Tapi hati-hati, beberapa di antaranya agak galak, jadi jangan asal mendekat.”

“Ah, baik.”

Menjawab begitu, Masachika memutar pandangannya, lalu sedikit mengernyit.

“(Kalau dipikir-pikir, kenapa mereka memelihara makhluk sebesar ini di tengah kota? Nggak ada ruang buat mereka berlari agar tetap bugar, dan kalau salah satu lepas gimana?)”

“(Oh, iya juga~. Biasanya, tempat seperti ini harusnya di pinggiran kota, kayak peternakan luas gitu.)”

“(…Sudahlah, jangan terlalu dipikirin juga.)”

Meskipun perasaan aneh itu terus menggelayut, Masachika dan teman-temannya tetap melangkah masuk. Dan begitu mereka melihat ke dalam—semua keraguan lenyap seketika.

“Whoa… luar biasa!”

“W-wait, dinosaurus?! Itu beneran kelihatan kayak dinosaurus sungguhan!”

“Wooow, jadi kita bisa benar-benar menunggangi mereka~? Keren banget!”

Di dalam kandang, ada binatang sihir mirip kuda, mirip burung unta, bahkan beberapa yang tampak seperti dinosaurus kecil pemakan daging.

“…Apa benar aman menaruh mereka di tempat yang sama?”

Menahan rasa ragu yang muncul lagi, Masachika dan yang lain berkeliling seperti turis penasaran.

“Kalau soal daya tahan, yang tipe kuda paling unggul. Untuk medan kasar, tipe burung dan kambing bagus banget. Tipe raptor bisa dipakai buat bertarung, tapi makannya banyak dan berisik.”

Sambil mendengarkan penjelasan sang pemilik toko, Masachika tanpa sadar mengulurkan tangan ke arah seekor binatang mirip kuda yang sedang minum.

“…Dilihat dari dekat, yang tipe kuda ini kelihatan paling bisa diandalkan… meski ada tanduknya.”

Saat binatang itu menggelengkan kepala menghindari tangannya, Masachika tersenyum kecut. Melihat itu, Yuki berkomentar pelan:

— “Tunggu… bukannya ini unicorn? Warnanya putih lagi.”

“Eh? Oh, iya juga ya…”

Mungkin karena sudah terbiasa melihat kelinci dan serigala bertanduk, ia tidak menyadarinya. Tapi kalau dipikir-pikir, kuda putih dengan tanduk di dahi jelas saja seekor unicorn.

“Waaaah~, cantik banget~.”

“Aku belum pernah lihat kuda putih sebersih ini sebelumnya…”

Maria dan Alisa memandangi makhluk itu dengan tatapan kagum. Berbeda dengan Masachika, kuda bertanduk putih itu justru menggosokkan kepalanya dengan lembut ke arah dua gadis itu.

“...”

— “Perbedaan perlakuan ini… Jangan-jangan ini benar-benar unicorn? Eh? Tunggu, kalau begitu berarti dua orang itu…? Tapi, Masha-senpai kan udah punya pacar, ya?”

“Jangan bikin asumsi aneh! Ini cuma kuda bertanduk, titik!”

Dengan teriakan kesal, Masachika menepuk kepala Yuki, meski tahu percuma. Saat itu, Alisa memandangnya bingung dan mundur sedikit dari kuda itu.

“Hmm… tapi tetap aja, yang sebesar ini agak menakutkan. Aku lebih nyaman sama yang seukuran kambing ini.”

“Iya juga~. Hmm… aku penasaran, ada kucing besar nggak ya~?”

Masachika tersenyum miris saat Maria dengan santai mencari “kucing besar.”

“Sejauh yang aku lihat, kayaknya nggak ada kucing di sini…”

“Hmm… kalau begitu, anjing besar juga nggak apa-apa…”

“Itu sih udah kayak serigala, bukan?”

Sambil menjawab begitu, Masachika mengintip ke salah satu kandang—dan di sanalah ia melihatnya. Seekor “anjing besar.”

Namun, bukan anjing sungguhan—melainkan seorang gadis dengan telinga dan ekor anjing.

Di lantai berdaun, ada sebuah kotak kardus—benar-benar menghancurkan suasana dunia fantasi. Di dalamnya, seorang gadis beastkin(?) duduk diam. Di lehernya tergantung papan tulis kecil bertuliskan bahasa Jepang: [Tolong adopsi aku]. Atau lebih tepatnya…

— “Bukankah itu Ayano?”

Ya, seperti yang dikatakan Yuki, gadis itu memang Ayano. Karena dia mengenakan seragam pelayan. Meski entah kenapa, seragam itu agak terbuka… dan memperlihatkan perutnya.

“…Apa yang kamu lakukan?”

Suasana itu sama sekali tidak menegangkan seperti perdagangan manusia—lebih ke arah konyol. Dengan napas berat, Masachika berlutut dan bertanya. Sebagai balasan, Ayano(?) hanya menggeleng pelan, mengangkat papan tulis itu ke atas, mempertegas pesannya: “Tolong adopsi aku.”

“Enggak, harusnya tulisannya ‘Beli aku’, kan—?”

“Hm? Oh, yang itu nggak dijual.”

“Hah?”

Saat ia menoleh, si pemilik toko—entah sejak kapan sudah berdiri di dekatnya—mengelus janggutnya dengan wajah agak canggung.

“Tadi malam, waktu aku bersih-bersih ruangan kosong, tiba-tiba dia udah nongkrong di situ. Yah, dia kelihatannya nggak berbahaya, jadi aku biarin aja…”

“Jangan cuma dibiarkan! Tunggu… jadi begini caranya? Di negara ini, beastkin diperlakukan kayak hewan?”

“Nggak, mereka diperlakukan sama kayak manusia.”

“Kalau begitu, jangan dibiarkan gitu aja.”

“Yah, soalnya waktu aku temukan dia, ada tulisan di situ: [JANGAN DIGANGGU], jadi…”

“Apa ini, hotel?”

Masachika menatap Ayano dan mengomentarinya, tapi gadis itu hanya melambaikan papan tulisnya. Dan ternyata—ekornya juga ikut bergoyang. Seekor ekor anjing berbulu muncul dari kotak, bergoyang ke kiri dan kanan seolah menunggu sesuatu.

“Ahh, hei, nak. Kalau kamu tertarik padanya, kenapa nggak diadopsi aja? Kelihatannya dia juga mau kok…”

“Yah, memang—tapi tunggu dulu. Aku harus tanya ke yang lain dulu…”

Setelah memanggil Alisa dan Maria, keduanya juga sama terkejutnya melihat Ayano menawarkan diri seperti anak anjing terlantar. Namun pada akhirnya, mereka setuju untuk membawanya sebagai rekan. Karena situasinya terlalu absurd, mereka jadi kehilangan semangat untuk memilih tunggangan, dan akhirnya mereka bertiga meninggalkan toko bersama Ayano.

Hah? Apa yang sebenarnya terjadi…?

Melihat kotak kardus yang entah kenapa mengikuti Ayano dari belakang, Masachika hanya bisa bingung. Sementara itu, Alisa—yang baru saja menambahkan Ayano ke dalam party—berkata dengan nada heran:

“Untuk sekarang, aku sudah tambahkan dia ke party… dan sepertinya memang dia Kimishima-san. Itu nama yang tertera, setidaknya… Tapi, uh, rasnya tertulis ‘Dogfolk’?”

“…Yah, Yuki juga entah kenapa berubah jadi peri(?) atau semacamnya, jadi mungkin kita nggak perlu mikirin ini terlalu dalam?”

“Kelasnya tertulis ‘Maid’... Yah, itu masuk akal sih. Tapi… apa pelayan bisa bertarung?”

“Siapa tahu? Dia punya banyak skill tipe sembunyi, mungkin bisa berfungsi kayak pembunuh bayaran…”

Selain itu, dia juga punya skill unik. Namanya: 《Seorang Pelayan Harus Seperti Udara.》 Efeknya: ‘Dengan memusatkan pikiran, dia bisa menjadi seperti udara.’ …yang kedengarannya sangat ambigu.

“...”

Masachika hanya terdiam menghadapi kombinasi antara nama skill yang berlebihan dan efek yang tidak jelas, sampai Alisa angkat bicara lagi.

“Itu mungkin benar, tapi tanpa senjata, dia nggak bisa berbuat banyak. Kita harus belikan senjata, kan?”

Masachika hendak mengangguk, tapi tiba-tiba merasa ada yang menarik tudungnya. Saat berbalik, Ayano menatapnya tanpa suara, lalu perlahan mengangkat rok maid-nya—memperlihatkan paha yang dililit sabuk berisi pensil mekanik.

Dia memang tidak mendengus bangga, tapi ekspresi bibir tertutup dan mata terpejamnya jelas mengisyaratkan hal itu. Melihatnya, kedua kakak beradik Kujou terdiam sejenak karena kaget, lalu menatap heran.

“Uh… itu, maksudnya senjata?”

“Uhh, oh, di menu memang tercatat sebagai senjata. ‘Sesuatu seperti pensil mekanik’… Tunggu, bukan cuma pensil mekanik biasa?”

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak bicara dari tadi?”

Masachika menatap Ayano seolah bertanya, tapi gadis itu hanya memiringkan kepala. Mungkin dia terkena semacam efek status yang membuatnya tidak bisa bicara? Tapi saat diperiksa di menu, tidak ada keterangan semacam itu.

“Hmm… yah, aku nggak terlalu paham, tapi seenggaknya kita harus belikan dia baju pelindung.”

Melihat seragam maid Ayano yang terlalu terbuka, Masachika bergumam pelan.

Kemungkinan, baju itu dibuat seperti itu agar ekor anjingnya bisa keluar bebas… Tapi tetap saja, baju dua potong itu memperlihatkan perut dan bagian punggungnya yang hanya ditutupi renda tipis. Sangat tidak cocok untuk pertempuran.

— Oh ho, punggung terbuka begitu… dia benar-benar tahu cara menarik perhatian.

— Kamu satu-satunya yang memperhatikan punggung Ayano, tahu.

Sambil menahan diri untuk tidak membalas komentar Yuki dalam pikirannya, Masachika berbicara pada Alisa dan Maria.

“Untuk sekarang, sebaiknya kita carikan baju yang lebih kuat, ya?”

“Iya, benar.”

“Iya, tapi baju ini imut sih~.”

“!”

Saat itu juga, ekor Ayano langsung berdiri tegak, dan dia menggoyangkan seluruh tubuhnya dengan semangat.

“W-woah, kenapa tiba-tiba?”

Kaget, Masachika menatap ke bawah. Ayano kemudian membalik papan tulisnya—tertulis: [Aku nggak butuh].

“…Meskipun kamu bilang nggak butuh, aku nggak bisa biarkan kamu bertarung pakai baju yang nggak melindungi apa-apa.”

Ayano menggeleng, lalu membalik papan tulisnya lagi.

[Ini pakaian tempurku!]

“Tunggu? Apa-apaan itu?”

Masachika hanya bisa pasrah melihat papan tulis yang tulisannya berubah setiap kali dibalik.

Namun, karena Ayano tetap diam dan hanya menatap polos, Masachika membuka menu dan mengetuk model papan tulis di peralatan Ayano.

‘Sesuatu seperti papan tulis.’

“Oh, dasar.”

Ia mendengus kesal dan mengetuk kotak kardus yang mengikuti kaki Ayano.

‘Sesuatu seperti kardus.’

“...”

Tanpa berkata apa-apa, ia menutup menu dengan gerakan cepat.

“Baiklah, walaupun dia menolak, sebaiknya tetap kita belikan baju pelindung. Di luar sana berbahaya.”

“Benar.”

“Setuju~.”

“!!”

Dan begitulah, sambil memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal, Masachika dan yang lain pun menuju ke toko senjata dan baju zirah.

*** 

Empat puluh menit kemudian.

“...”

Di depan toko senjata dan baju zirah, berdirilah sosok Ayano, yang kini mengenakan jubah di atas pakaian pelayannya yang terpisah. Ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan yang samar.

Meskipun hasil akhirnya adalah upaya untuk menghormati penolakan tegas Ayano agar tidak mengganti seragam pelayannya dan ketidaksukaannya terhadap baju zirah logam, gadis itu tetap tampak gelisah, mondar-mandir dengan resah.

Dia terlihat seperti seekor anjing yang dipaksa memakai pakaian yang tidak pas...

Mereka sudah memilih jubah dengan belahan agar ekornya bisa keluar, tapi ekor itu tetap saja bergerak ke kanan dan kiri tanpa henti. Sementara itu, Maria menatapnya dengan ekspresi terpesona dan senyum bahagia.

“Aduh~~ Ayano-chan lucu sekali~~♡”

“Baiklah, baiklah, berhenti lebay begitu dan ayo berangkat. Ayo, Ayano-san.”

Ucap Alisa sambil mendorongnya untuk bergerak, namun Ayano menunduk sedikit dan terus menggeliat.

“Ayano-san?”

“? Ada apa?”

Ketika mereka memperhatikan lebih dekat, mereka melihat tangan Ayano bergerak-gerak di balik jubahnya. Ketiganya menatap dengan bingung. Lalu, Ayano tiba-tiba membuka jubahnya, memperlihatkan apa yang sedang ia lakukan.

Di bagian dalam jubah itu terdapat deretan kantong berbentuk tabung yang dijahit dengan rapi. Dan di dalamnya—puluhan pensil mekanik... atau sesuatu yang mirip dengannya.

“““...”””

Ayano mengeluarkan suara seperti mendengung puas... setidaknya itulah kesan yang diberikan. Ketiganya hanya bisa menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan tidak percaya.

Tunggu, bagaimana dia menjahitnya... dan, uh, kenapa jumlah pensil mekaniknya jadi lebih banyak?

Namun karena Masachika tahu dia tak akan mendapat jawaban memuaskan walau bertanya, ia hanya menggeleng ringan dan kembali fokus.

“Baiklah, ayo ke toko perlengkapan! Mungkin ada barang baru... atau setidaknya yang belum ada di kota sebelumnya.”

“Boleh saja, tapi... jangan boros lagi ya.”

“Wah, kasar sekali menyebutnya boros.”

“Kalau kamu beli barang yang bahkan kamu nggak tahu gunanya apa, itu namanya boros.”

“Walau aku belum tahu sekarang, nanti bisa saja berguna. Kalau saat itu tiba dan aku nggak punya, aku pasti nyesel.”

“Ya, ya, aku juga nggak merasa salah sih kalau beli sedikit dari semuanya~.”

Dengan memanfaatkan kapasitas slot barang yang hampir tak terbatas, Masachika berpikir dalam logika RPG—“beli satu dari semua”—sementara Maria hanya suka berbelanja. Melihat dua orang itu, Alisa menghela napas untuk kesekian kalinya hari itu. Tapi karena mereka memakai uang pribadi untuk barang-barang seperti ramuan, dia tak bisa banyak protes.

Setelah Alisa menyerah pada keputusan mayoritas, Masachika hendak menuju toko itu ketika tiba-tiba lengannya ditarik sedikit.

[Apakah kita tidak akan ke toko sihir?]

Melihat pertanyaan yang ditulis di papan tulis kecil milik Ayano, Masachika melirik Alisa dan Maria, lalu memiringkan kepala.

“Toko sihir? Hmm... aku belum pernah ke sana, dan lagipula, aku sendiri nggak bisa pakai sihir.”

“?”

“Ya, aku nggak bisa melafalkan mantra… jadi aku nggak bisa pakai sihir.”

Dengan nada bercanda, Masachika menjawab, tapi Ayano justru memiringkan kepala ke arah lain dan membalik papan tulisnya.

[Kamu nggak perlu melafalkan mantra kalau pakai gulungan sihir, tahu?]

“...Apa?”

[Gulungan itu aktif hanya dengan membukanya.]

“Serius?!”

Informasi mengejutkan dari Ayano membuat bukan hanya Masachika, tapi juga kedua saudari Kujou terkejut dan bersemangat.

“Benarkah~? Kalau begitu, artinya Kuze-kun akhirnya bisa pakai sihir juga~.”

“Benar! Sepertinya akhirnya saatnya kemampuan sejati sang Sage bersinar.”

“Terima kasih infonya, Kimishima-san... boleh aku panggil begitu? Soalnya kamu nggak punya nama keluarga, jadi cukup Ayano-san aja?”

“Kurasa cukup panggil Ayano aja. Sekarang kalau begitu, ayo ke toko sihir! Pimpin kami, Ayano!”

Dan begitu semangat mereka meningkat, mereka bergegas menuju toko sihir.

Namun sepuluh menit kemudian, setelah mendengar penjelasan dari penjaga toko, semangat Masachika langsung lenyap. Alasannya sederhana.

“...Ini nggak seperti yang kubayangkan.”

— Yah, gulungan sihir memang begitu biasanya.

“Kalau kamu tahu, kenapa nggak bilang dari awal…”

Masachika melirik Yuki dengan kesal, seolah melampiaskan frustrasinya.

Dari penjelasan Ayano, Masachika sudah menduga bahwa gulungan sihir bukanlah alat ajaib yang memungkinkan seseorang bebas menggunakan sihir begitu saja. Karena gulungan itu aktif hanya dengan dibuka, berarti kemungkinan besar itu barang sekali pakai tanpa biaya MP. Dia sudah siap untuk itu. Tapi... ternyata gulungan sihir di dunia ini jauh lebih tidak efisien dari yang dia kira.

Pertama, kamu hanya bisa menggunakan mantra yang sudah kamu pelajari sebelumnya. Bagi Masachika sebagai Sage, itu tidak terlalu bermasalah. Tapi masalah utamanya—atau lebih tepatnya, kelemahan besar—adalah kekuatan sihir pada gulungan tidak bergantung pada kekuatan serangan magis pengguna. Kerusakannya tetap. Jadi, entah Masachika atau Alisa yang memakainya, hasilnya sama saja. Selain itu, gulungan yang dijual di toko hanya sampai tingkat menengah, dan harganya cukup mahal untuk efek yang ditawarkan. Singkatnya, gulungan ini lebih mirip senjata darurat terakhir saat pengguna sihir kehabisan MP.

[Maaf karena tidak bisa memenuhi harapanmu.]

“Tidak perlu minta maaf, Ayano... Ini salahku yang kurang tahu.”

Saat Masachika mencoba menenangkan Ayano—yang telinganya menunduk sedih—pemilik toko yang tampak seperti penyihir dengan pipa di mulutnya menatap tajam ke arahnya dari balik meja penuh gulungan.

“Jadi, mau beli apa?”

“Ahhh... kalau begitu, aku ambil sihir serangan tingkat menengah untuk lima elemen... hmm, yang ini dan yang ini... mungkin tambahkan sihir pertahanan juga?”

“Iya, buat jaga-jaga.”

“Hmm~, tapi aku juga bisa pakai sihir pertahanan, jadi prioritasnya bisa dikurangi sedikit?”

“Ya, lebih baik fokus pada sihir serangan yang Masha-san nggak bisa pakai.”

Melihat harganya yang cukup tinggi, kali ini bahkan Masachika pun berhati-hati, berdiskusi serius dengan rekan-rekannya sebelum memutuskan. Akhirnya mereka sepakat membeli dua gulungan pertahanan untuk masing-masing pengguna sihir, dan tujuh gulungan serangan untuk Masachika.

“Ugh, cuma sembilan gulungan aja udah menghabiskan setengah uangku…”

“...Harusnya aku bantu sedikit? Kalau kamu jadi lebih kuat, itu juga keuntungan buat kita semua.”

“Nggak perlu, ini tanggung jawabku sendiri.”

“Jangan bilang begitu, kita kan tim, harus saling bantu.”

“Nggak, sungguh, nggak apa-apa.”

Setelah tiga menit berdebat, dua saudari Kujou itu akhirnya berhasil memaksanya menerima bantuan mereka. Akhirnya, Alisa dan Maria masing-masing menanggung biaya dua gulungan serangan milik Masachika.

“Aku jadi merasa nggak enak…”

“Jangan dipikirin. Lebih baik kamu bilang terima kasih di saat seperti ini.”

“Haaah... baiklah. Terima kasih, Masha-san, Alya.”

“Sama-sama.”

“Tidak apa-apa.”

Masachika tersenyum melihat Maria mengangguk puas dan Alisa dengan ekspresi tenang namun sedikit bangga.

“Berkat itu, kita masih bisa beli barang-barang lainnya juga!”

“Yap~! Banyak banget barang yang belum pernah kulihat♪”

“Kembalikan uangku!”

Mengabaikan teriakan Alisa, Masachika dan Maria mulai menjelajahi berbagai barang aneh di toko sihir itu.

“Hey, hey, ini ada minuman yang di dalamnya ada mandragora utuh.”

“Ih menjijikkan! Dan kamu belum cukup umur buat minum alkohol!”

“Lihat, lihat—boneka ini... Huh? Kok kayaknya ada suara dari dalamnya…”

“Lepas! Taruh lagi di rak sekarang juga!”

“Nah, boneka gantung ini katanya bisa menahan satu serangan sihir kegelapan dari iblis.”

“Penampilannya terlalu menyeramkan, jadi nggak!”

“Bukan, ini beneran berguna. Walaupun Alya punya ketahanan terhadap sihir gelap karena perlengkapan hero-nya, tapi tetap saja.”

“Jangan ngomong begitu sambil pegang talinya! Cuma ngelihat aja udah bikin merinding!”

Sesi kritik tak berujung Alisa pun dimulai. Di depan berbagai barang aneh, Masachika dan Maria (serta Yuki juga) bersemangat, tapi Alisa—yang berperan sebagai suara hati tim—menolak ide-ide mereka satu per satu. Sementara itu, Ayano hanya ikut mengamati tanpa banyak bicara.

— Oh, yang ini kelihatannya benar-benar berguna.

“Hm?”

Saat itu, Yuki menunjuk ke sebuah gelang ungu. Masachika mengambilnya dan memanggil Alisa.

“Heeey, Alya. Ini kelihatannya berguna banget, kan?”

“Jadi kamu ngaku kalau yang tadi-tadi nggak berguna, ya...?”

Merasa bersalah karena tatapan tajam Alisa, Masachika mengangkat gelang itu.

“‘Switch Bracelet’ ini memungkinkan dua orang bertukar posisi secara instan kalau keduanya mengaktifkannya bersamaan. Tentu saja, cuma bisa sekali pakai dan ada batas jaraknya.”

“Itu mahal banget buat barang sekali pakai... Kapan kamu bakal pakai itu? Tukar posisi antar dua petarung depan juga nggak terlalu berguna, dan kalau antara depan-belakang malah bahaya.”

Alisa menatapnya curiga, seolah berkata, “Kamu mau buang uang lagi?” Masachika pun menjelaskan ide penggunaan yang baru terpikir olehnya.

“Nggak, nggak, aku serius, ini bisa sangat berguna bahkan antar petarung depan. Misalnya, aku terluka dan perlu mundur biar disembuhkan Masha-san. Kalau aku pakai gelang ini untuk kembali ke depan, aku bisa tukar tempat dengan Alya untuk menyerang balik. Bagus kan?”

Mendengar itu, ekspresi Alisa langsung datar. Ia berkedip pelan, lalu menatap ke arah lain sambil memainkan rambutnya.

“...Begitu ya. Ya udah, terserah.”

“Eh? Jadi boleh?”

“Kalau begitu... aku juga beli satu.”

“Oh, bagus... aku senang kamu ngerti.”

Masachika bingung melihat Alisa tiba-tiba setuju. Ia pun memanggil Maria dan Ayano.

“Masha-san, Ayano~. Ini berguna banget, ayo kita beli masing-masing satu!”

Saat itu juga, jari Alisa yang sedang memainkan rambutnya mendadak berhenti, dan matanya yang biru menatap tajam pada Masachika.

“Whoa—a-ada apa?”

Terkejut oleh hawa dingin yang menyeramkan dari jarak sedekat itu, Masachika tersentak. Namun begitu ia menatap balik, Alisa sudah memalingkan wajah dengan ekspresi dingin.

【Baka…】

Kata dalam bahasa Rusia yang meluncur pelan dari bibirnya membuat bahu Masachika kaku.

Dia baru saja menghina aku... ya kan? Eh? Apa mungkin dia marah karena kita nggak jadi pakai gelang yang sama? Nggak mungkin... kan?

Masachika buru-buru menepis pikirannya sendiri. Ia meyakinkan diri bahwa Alisa tidak mungkin tiba-tiba bersikap seperti itu hanya karena hal sepele.

— Astaga, tuanku benar-benar nggak peka terhadap perempuan ya.

Yuki bergumam pelan sambil melayang di udara.

“Yah, matahari sebentar lagi terbenam... Gimana kalau kita menginap di kota malam ini?”

Setelah mengunjungi toko sihir dan toko umum, Masachika mengusulkan itu. Alisa dan Maria saling berpandangan lalu mengangguk.

“Benar juga. Jalan malam-malam bisa berbahaya.”

“Setelah ini nggak ada kota lagi, kan? Daripada berkemah atau menginap di pos jaga, mending tidur di penginapan yang layak. Aku setuju. Oh! Sekalian aja kita nginep di penginapan terbaik di kota ini!”

“Kita baru aja habis banyak uang, tahu…”

“Itu urusan tadi! Sekarang kita masih punya uang, dan istirahat juga penting, kan?”

“...Haaah, baiklah.”

“Kalau begitu, ayo kita cari.”

[Seperti perintah Anda.]

Masachika dan yang lainnya kembali ke gerbang dan memanggil penjaga yang sebelumnya memberi tahu tentang toko hewan sihir, menanyakan penginapan terbaik di kota. Mengikuti arahannya, mereka menuju penginapan kelas atas di daerah itu. Hasilnya, mereka kini berdiri terpaku di depan sebuah bangunan bergaya Jepang.

“...Tunggu, ini masih dunia fantasi kan?”

“Ya, sepertinya sekarang semua hal sudah bisa terjadi.”

“Waa~, taman ini indah sekali~.”

“...”

Melihat Maria yang berlarian dengan senang di taman itu, Yuki menatap dengan campuran kagum dan lelah, lalu menunjuk ke papan di atas gerbang.

— Hey, Tuan, lihat ke atas.

“Ke atas?”

Seperti yang dikatakan, ia menatap ke atas dan melihat papan kayu besar tergantung di sana, bertuliskan kaligrafi elegan: 「意外荘」 (Igai-sou).

— Tulisannya ‘Igai-sou’. ...Hei, bukannya itu berarti ‘Tempat yang Tak Terduga’? Pfft.

“Diam, kau.”

Sambil berpura-pura menepuk dahi adiknya yang nakal itu, Masachika melangkah masuk. Tanpa banyak berkomentar soal pemilik penginapan yang mengenakan kimono anggun, ia langsung memesan kamar. Tentu saja, karena tidak pantas laki-laki dan perempuan sekamar, mereka memesan dua kamar: satu untuk Masachika, satu lagi untuk tiga gadis.

“Penginapan kami memiliki pemandian air panas yang bisa Anda nikmati kapan saja. Silakan bersantai dan lepaskan lelah perjalanan Anda.”

“Oh, pemandian air panas… Ah, baiklah.”

“Jadi ada pemandian air panas, ya…”

“Yay! Pemandian air panas~♪”

“...”

— Pemandian campur?! Jangan bilang ini pemandian campur?!

Dengan kesal, Masachika seolah menepuk kepala adiknya lagi, lalu mengikuti pelayan menuju kamarnya.

“Pertama, kamar untuk tamu pria ada di sini. Untuk para wanita, kamar Anda di sebelah sana.”

“Baik, terima kasih... sampai nanti.”

“Baik.”

“Oke~.”

[Kalau begitu, permisi.]

Setelah berpisah di depan kamar para gadis, Masachika merasakan rasa aneh saat memasuki kamar bergaya Jepang itu. Namun tanpa banyak berpikir, ia langsung rebahan di atas tatami.

“Ahh~~ Aku tidak lelah secara fisik... tapi rasanya capek banget secara mental.”

Seperti biasa, tubuhnya tidak terasa lelah, tapi kepalanya sedikit berat — wajar saja, kalau dihitung sejak di dunia aslinya, ia sudah terjaga lebih dari dua puluh jam. Meskipun begitu, mungkin itu hanya perasaannya saja.

— Tuan merasa lelah, ya?

“...Kurang lebih begitu.”

Melihat Yuki melompat-lompat di depannya, Masachika mengangguk pelan sambil berpikir, ‘Sebagian besar ini juga salahmu, tahu.’ Tepat setelah itu, Yuki mendarat (?) di pipinya dan mulai menepuk-nepuk hidungnya dengan gemas.

— Ayo, ayo! Kita ke pemandian air panas! Pemandian air panas!

“Eh~? Tapi kan kamu nggak bisa ikut mandi juga?”

— Yah, siapa tahu ini mixed bath!

“Jadi itu tujuan utamamu, ya.”

— Apa? Jangan bilang kamu nggak tertarik juga, Master~?

“Kalau ini dunia nyata, mungkin aku tertarik~.”

Ia menjawab datar tanpa minat. Namun, karena tidak tahu harus berbuat apa dan merasa canggung berada di kamar bergaya Jepang sambil tetap memakai jubah, Masachika mengambil yukata dari lemari dan keluar kamar. Hampir bersamaan, ketiga gadis itu juga keluar dari kamar mereka yang berjarak beberapa langkah.

“Oh? Kalian juga mau ke pemandian, Alya?”

“Ya, sepertinya begitu.”

— Hoho~, ini pasti akan jadi adegan mixed bath klasik…

Mengabaikan ocehan Yuki yang tidak berguna, Masachika mengangkat alis melihat ketiganya tidak memakai yukata.

“Hah? Di mana yukata kalian?”

“Hm? Yukatanya ada di sana tuh~.”

“Eh?”

Ketika menunduk mengikuti arah jari Maria, ia melihat bahwa yukata untuk ketiganya ada di dalam kotak kardus yang ditarik oleh Ayano. Saat Ayano berbalik, kotak itu meluncur dengan mulus ke belakangnya sambil tetap membawa yukata di dalamnya.

“Jadi begitu cara kamu memakainya…?”

“Nyaman banget, lho~. Barang bawaan kita dibawa otomatis.”

“Hmm... apa ‘nyaman’ itu kata yang tepat untuk ini?”

Tanpa menanggapi lebih jauh, Masachika berjalan menuju pemandian bersama ketiganya.

Mereka menuruni tangga, melewati lorong panjang, dan akhirnya tiba di depan dua tirai noren—biru bertuliskan “Pria” dan merah bertuliskan “Wanita.”

— Tch.

Masachika tidak menggubris suara jengkel Yuki dan dengan santai melangkah ke balik tirai biru—baru menyadari bahwa Yuki masih bertengger di pundaknya.

“Eh, kamu beneran mau ikut ke sini?”

— Ya dong. Aku nggak bisa jauh dari tuanku, kan.

“Ya tapi ini... pemandian pria, tahu…”

— Diam! Kalau boleh pilih, aku juga lebih pengen lihat tubuh seksi Alya-san dan Masha-senpai! Siapa juga yang tertarik sama pisang milik tuanku, kalau di sana ada melon Alya-san dan semangka Masha-senpai?!

“Jangan sebut itu pisang.”

— Oh? Mau disebut zucchini, ya? Wih, pede banget, Master~

“Sudahlah, mending kamu minta maaf sama semua petani dulu deh.”

Masachika mendengus, sadar kalau berdebat lebih lanjut tidak ada gunanya. Ia cepat-cepat melepas bajunya, menaruhnya di keranjang, dan demi menjaga sopan santun di depan adiknya, ia melilitkan handuk di pinggangnya.

“…Ada apa lagi?”

Tiba-tiba Yuki menepuk-nepuk pipinya (walau sebenarnya tidak terasa), membuat Masachika menoleh. Melihat itu, Yuki menyilangkan tangan dan mengangguk-angguk serius.

— Aku akui kekalahan, tuanku... kau benar-benar zucchini.

“Diam, kau!!”

Dengan teriakan keras, ia membuka pintu geser dan masuk ke ruang pemandian.

“…Seriusan? Nggak ada orang juga?”

Melihat pemandian besar yang kosong, Masachika bergumam.

— Yah, kalaupun ada NPC di sini, pasti canggung juga. Jadi begini malah lebih baik, kan?

“NPC... tunggu, sejak kapan kamu ganti baju?”

Ketika melirik, ia melihat Yuki entah bagaimana sudah memakai school swimsuit, membuat Masachika menyipitkan mata.

— Hehe~ karena tuanku pasti kecewa tidak ada mixed bath, jadi kupikir aku hibur sedikit~

“Hm~. Ini agak berani juga, ya.”

— Blinding strike!

“Hentikan.”

Menghindari serangan tangan Yuki yang mencoba menusuk matanya, Masachika berpaling dan menuju area bilas. Ia duduk di bangku kayu dan meraih pancuran—

“Tunggu, di sini ada pancuran?!”

Sambil memegang kepala pancuran, Masachika baru sadar. Meski tidak ada sampo atau kondisioner, tapi ada sabun, keran, dan bahkan kaca besar tanpa distorsi.

“Dunia ini bener-bener campur aduk…”

Merasa lelah, ia cepat-cepat membilas tubuhnya dan masuk ke bak air panas.

“Mmm... rasanya aneh juga.”

Tubuhnya terasa hangat, tapi tidak ada sensasi tekanan air yang nyata.

“Yah, ini cuma mimpi juga, sih…”

Ia bergumam sambil menatap langit-langit, lalu dengan iseng membuka layar menu—

“Bwagh!!”

Ia tersedak air.

Karena tampilan menu di depannya berubah drastis.

“Kenapa aku telanjang?!”

Refleks ia berteriak, tapi setelah berpikir sejenak, ia sadar model karakter di layar menampilkan pakaian yang sedang dikenakan, jadi wajar kalau dirinya tampak telanjang. Namun—kenapa informasi di jendela status di sisi kiri juga berubah?!

Melihat itu, Yuki tersenyum mengejek.

— Nol pasangan, ya? Hmph, payah banget. Dan tentu saja, pengalaman juga nol. Mari kita lihat... tingkat perkembangan—

“Ini game dewasa, hah?!”

Masachika langsung menutup layar dengan kibasan tangan. Tapi setelah itu, ia sadar, “Ah, ini bakal jadi masalah…”

— Tuanku.

“Jangan bilang, jangan kamu bilang.”

Dengan nada kaku, ia memalingkan muka. Tapi tentu saja, Yuki tetap mengatakannya.

— Yuk, kita lihat status Alya-san dan Masha-senpai juga!!

“Kamu tuh parah banget!”

Masachika menatap Yuki tajam, sementara makhluk kecil itu hanya menggerak-gerakkan tangannya dengan senyum mesum.

— Ayo dong~ Pasti kamu juga penasaran, kan? Siapa tahu bisa lihat ukuran mereka juga~!

“—”

Tak bisa berkata-kata, Masachika langsung berdiri.

“Aku keluar.”

— Tunggu! Setidaknya biarkan aku cek tingkat perkembangan Ayano! Aku cuma mau tahu seberapa besar dadanya!

“Aku nggak mau lihat!! Lagian buat apa juga aku tahu itu?! Nggak, jangan jawab!!”

Bagi orang lain, ia pasti tampak seperti sedang marah-marah sendirian ketika meninggalkan pemandian dan kembali ke kamar. Namun, begitu sampai di sana, ia mendapati tidak ada yang bisa dilakukan. Ia sempat berpikir untuk memeriksa inventori, tapi karena para gadis mungkin masih di pemandian, ia ragu membuka menu. Saat menatap sekeliling mencari sesuatu untuk dilakukan, matanya tertuju pada meja rendah.

“Hm? Wah, nostalgia banget!”

Di sana ada puzzle kayu di dalam bingkai persegi.

“Mereka bahkan punya ini juga... aku dulu sering bikin kapal sama binatang.”

— Ah iya, permainan klasik yang cuma disentuh pas karyawisata waktu HP dan TV disita, kan…

“Ya sih, tapi... sebenarnya seru juga kok.”

Dengan tangan yang terulur untuk mengambil puzzle, Masachika teringat saat ia, Takeshi, dan Hikaru dulu memutar otak membuat desain tantangan mereka sendiri.

“Wha—oh!!”

Tiba-tiba, pandangannya berubah.

“Ara~? Sekarang kupikir-pikir, Ayano-chan itu setengah anjing, kan? Ada makanan yang nggak bisa kamu makan? Seperti daun bawang, misalnya?”

[Tidak ada masalah khusus.]

“Ara, begitu ya~? Syukurlah.”

“Kalau memang ada, pasti pihak penginapan bakal kasih tahu, kan?”

“Benar juga... Oh ya, Alya-chan, kamu nggak apa-apa? Kamu bertarung terus tadi…”

“...Yah, aku memutuskan untuk menganggap semua ini kayak wahana di taman hiburan saja… Tapi serius, aku ulang lagi deh—ini semua cuma mimpi, kan? Rasanya agak tumpul.”

“Hm~? Entahlah~?”

“…Percuma dibahas. Pokoknya,”

Alisa menatap langit-langit dan bergumam pelan.

“Dia belum datang juga… Kuze-kun.”

“Iya~, padahal dia bilang kita boleh makan duluan~…”

“Tapi tetap saja, ini sudah terlalu lama, kan?”

Setelah menikmati pemandian, para gadis bersantai di kamar sampai dipanggil ke ruang makan. Mereka menunggu Masachika sambil mengobrol, tapi ia tak kunjung muncul. Tadi mereka sempat memanggil lewat pintu, tapi hanya mendapat jawaban samar. Namun, bahkan setelah tiga puluh menit berlalu, ia masih belum turun.

“…Yasudah, percuma nunggu terus. Kita makan saja.”

“Iya~, benar juga~. Lagipula tadi dia terlihat sibuk… Oh! Permisi~! Tolong hidangkan makanannya ya~?”

Begitulah, setelah sedikit penundaan, makan malam pun dimulai. Hidangan mewah khas penginapan kelas atas hampir habis—sekitar sembilan puluh persen tandas—ketika akhirnya Masachika datang.

“Ah, akhirnya datang juga... eh tunggu.”

“? Kuze-kun, kamu kenapa? Kelihatannya capek banget.”

“?”

Padahal baru saja mandi air panas, tapi Masachika tampak letih luar biasa. Melihat itu, Maria bertanya dengan nada khawatir. Ia hanya tersenyum lelah dan menjawab:

“Entah kenapa, ada mini-game yang muncul…”

“Mini-game??”

“Aku tergoda sama hadiah clear-nya dan main sampai level 99…”

“““??”””

Ketiga gadis itu hanya bisa bengong, sementara Masachika mendapatkan satu pelajaran hidup penting:

Di dunia ini, jangan pernah menyentuh puzzle secara sembarangan.


ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close