Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Penyelamatan
──12 September · Sudut Pandang Takayanagi──
Masalah perlahan-lahan mulai menuju penyelesaian. Artinya, pihak pelaku telah diidentifikasi, dan proses penindakan terhadap mereka pun mulai berjalan.
Sekali lagi, rapat seluruh siswa dimulai. Kepala sekolah menyediakan kesempatan untuk menjelaskan insiden kali ini kepada para siswa.
"Pertama-tama, sebagai kepala sekolah, ada hal yang harus saya sampaikan dengan permohonan maaf kepada kalian semua. Terkait masalah perundungan yang dilakukan oleh para siswa, terutama yang berpusat pada klub sepak bola, akibatnya telah mengganggu kehidupan sekolah yang seharusnya damai bagi banyak siswa. Saya benar-benar minta maaf."
Sebenarnya, jika dilihat secara keseluruhan, siswa yang menyebarkan di media sosial atau melakukan tindakan nyata hanyalah sebagian kecil. Meski diperkirakan akan ada puluhan siswa yang dikenai sanksi… karena itulah, kepala sekolah memilih untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
"Namun, kami para guru tidak berniat mengubah kebijakan kami dalam menangani kasus seperti ini. Terhadap para pelaku, kami akan tetap bersikap tegas ke depannya. Ada satu hal yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua. Apa pun alasannya, perundungan dan pelecehan tidak dapat dibenarkan. Dengan perasaan sepele menindas orang lain, kalian bisa menghancurkan hidup satu sama lain."
Biasanya para siswa hanya mendengarkan sambil lalu, tetapi kali ini mereka tampaknya sangat memperhatikan. Hampir semua siswa mendengarkan dengan serius. Mungkin ada juga yang gelisah, takut kalau-kalau giliran merekalah yang akan dikenai sanksi berikutnya.
"Perundungan adalah tindak kejahatan yang jelas. Ia bisa termasuk dalam tindak penganiayaan, penganiayaan berat, pemaksaan, hingga pencemaran nama baik. Dalam kasus kali ini, kami telah mengkonfirmasi beberapa contoh yang sangat serius, dan setelah berdiskusi dengan orang tua siswa korban, laporan resmi juga telah diajukan kepada pihak kepolisian. Tentu saja, pihak sekolah akan bekerja sama sepenuhnya dengan polisi. Selain itu, pemerintah prefektur akan memimpin pembentukan komite pihak ketiga untuk memulai penyelidikan fakta yang sebenarnya. Ke depannya, melalui prosedur administratif yang semestinya, para siswa yang terlibat akan menerima hukuman berat. Alasan seperti ‘karena teman-teman juga melakukannya’ atau ‘dia memang pantas dicurigai’ tidak akan diterima."
Beberapa siswa terlihat gemetar. Mungkin karena rasa takut yang tak bisa mereka kendalikan. Mereka hampir hancur di bawah beratnya dosa yang telah mereka perbuat.
Para guru memperhatikan dengan saksama siswa-siswa yang menunjukkan perilaku mencurigakan. Di sini memang belum ada kepastian, tetapi jika ada kemungkinan keterlibatan, mereka tetap berhati-hati.
"Selain hukuman pidana, dalam ranah perdata kalian juga mungkin diwajibkan membayar ganti rugi. Jika itu terjadi, tentu akan sulit bagi kalian sebagai pelajar. Beban besar juga akan ditanggung oleh orang tua kalian."
Bagi siswa SMA, ini adalah kenyataan yang sangat berat. Terlebih lagi bagi sekolah unggulan seperti kami. Para siswa selama ini dinilai sebagai murid berprestasi. Karena itu, tersingkir dari jalur tersebut pasti terasa menakutkan.
"Dan yang paling harus dilindungi adalah para siswa korban perundungan. Jika di antara kalian ada yang sedang mengalami perundungan, silahkan lapor. Kami sadar bahwa seharusnya pihak guru yang lebih dulu menyadarinya. Namun, sebagai orang dewasa, kami juga memiliki keterbatasan. Para korban pasti menanggung penderitaan yang paling berat. Mereka pasti dilanda keputusasaan. Karena itulah, meskipun hanya sedikit, tolong andalkan kami."
Kepala sekolah menundukkan kepala dengan dalam. Dalam kondisi biasa, ini mungkin dianggap sekadar formalitas… tetapi dia telah memantapkan tekadnya.
Dan dalam menangani masalah kali ini pun, dia menunjukkan tekad tersebut.
Ia dengan tegas menolak ancaman dari anggota dewan kota Kondou.
Tanpa peduli jika karirnya sendiri ternoda, ia tetap bersikeras menghukum para siswa pelaku dan menjalankan prinsipnya sampai akhir.
Tekad yang ditunjukkan melalui tindakan itu terasa terlalu berat bagi para siswa SMA.
Suasana berat menyelimuti seluruh gedung olahraga.
※
──Ruang Kelas Kosong──
Jam pelajaran pertama hari ini diisi oleh Takayanagi-sensei dengan pelajaran sejarah dunia.
Entah kenapa, kami melaju lebih cepat dari kecepatan kelas biasa, sehingga pelajaran pun berjalan santai dengan banyak obrolan. Kisah-kisah menarik dari sejarah bisa jadi bahan novel, dan sejujurnya aku sangat menyukainya.
Terutama karena Takayanagi-sensei banyak melontarkan lelucon dan penjelasannya mudah dipahami, dia punya reputasi yang baik di kalangan siswa.
Karena bisa memonopoli guru sepopuler itu, pelajaran kami jadi cepat selesai. Katanya, jadwal Takayanagi-sensei cukup fleksibel, jadi dia yang paling sering mengajar kami. Setelah itu biasanya pelajaran bahasa Inggris oleh kepala sekolah, lalu bahasa Jepang oleh wakil kepala sekolah.
"Heh, Aono. Baru setengah jam, materi hari ini sudah habis. Gimana ya. Oh iya, mau dengar simfoni karya Beethoven yang dibuat untuk memuji Napoleon saat Revolusi Prancis? Seperti yang tertulis di buku referensi, karya itu awalnya dibuat untuk memuliakan Napoleon, tapi begitu Beethoven mendengar bahwa dia menjadi kaisar, dia langsung mencaci-maki sang kaisar dan merobek halaman dedikasinya. Kamu suka novel, kan, Aono?"
Sambil berkata begitu, beliau memutar musik dari ponselnya.
"Iya."
"Kamu tahu Goethe yang menulis ‘Faust’?"
"Tahu, tapi kalau membacanya sih…"
"Ya, wajar. Aku sendiri baru sempat membacanya saat kuliah dan lagi senggang. Tapi karya itu luar biasa. Nanti aku pinjami. Totalnya lebih dari seribu halaman, tapi seru dan bikin ketagihan. Terutama bagian akhirnya. Kalimat terkenalnya itu, sekali baca pasti tidak akan pernah lupa. Versi manga-nya juga sepertinya ada di perpustakaan. Nah, Goethe itu menilai Pertempuran Valmy yang barusan kita baca di buku teks dengan kata-kata seperti ini. ‘Mulai hari ini, dari tempat ini, era baru dalam sejarah dunia dimulai.’ Katanya begitu. Katanya sih masih diragukan apakah itu benar-benar ucapannya, tapi sebesar itulah arti penting pertempuran itu sebagai titik balik sejarah dunia…"
Dalam kelas tatap muka, beliau selalu menyesuaikan ceritanya dengan minatku dan menyampaikan sejarah dengan cara yang menyenangkan. Karena beliau tahu aku menulis novel, mungkin itulah sebabnya dia juga sering membagikan kisah para sastrawan besar.
Dan dengan begitu, pelajaran sejarah pun selesai.
Aku melihat ini sebagai kesempatan dan melapor kepada beliau. Editor mengatakan bahwa demi menjelaskan pada pihak sekolah, aku boleh menceritakan kejadian ini, jadi aku merasa harus menyampaikannya dengan benar.
"Takayanagi-sensei, sebenarnya aku…"
Mungkin karena aku berbicara dengan nada serius di saat seperti ini, beliau pun refleks bersiap. Sambil menyesal, aku menenangkan diri dan melanjutkan.
"Aku mengunggah novel ke internet, lalu ada penerbit yang menghubungiku. Mereka menawariku debut profesional dengan menerbitkan kumpulan cerpen dari karya-karyaku sejauh ini…"
Karena mendengarnya secara tiba-tiba, beliau membeku seolah tak mengerti maksudnya.
"Siapa?"
Suara yang keluar terdengar sangat lemas, sampai-sampai rasanya belum pernah kudengar sebelumnya.
"Ya aku, Sensei."
"Hah!?"
Beberapa detik kemudian, beliau menunjukkan ekspresi terkejut yang belum pernah kulihat.
"Lalu, kamu ingin melaporkannya ke pihak sekolah, ya. Katanya baru bisa diumumkan secara resmi menjelang penerbitan, tapi…"
"Be-begitu ya. Itu luar biasa. Aku benar-benar kaget."
Dengan wajah terkejut, beliau tersenyum senang.
"Terima kasih. Apa ada masalah dari pihak sekolah?"
"Mana mungkin. Sekolah kita saja cukup longgar soal kerja part-time. Mungkin nanti perlu mengisi beberapa dokumen, tapi itu saja. Tidak ada guru yang tidak senang melihat siswanya berprestasi. Justru, punya murid yang jadi penulis profesional itu pengalaman langka. Aku senang sekali. Rasanya seperti waktu anak-anak klub yang kubina lolos ke turnamen nasional. Tolong jelaskan juga ke kepala sekolah dan yang lain dari pihakmu sendiri. Pasti para guru juga akan ikut senang."
Guru yang biasanya terlihat sedikit letih itu menunjukkan senyum polos seperti anak kecil. Hanya dengan itu saja, hatiku terasa hangat.
"Terima kasih."
Beliau mengulurkan tangannya ke arahku. Isyarat untuk berjabat tangan. Rasanya seperti diakui sebagai sesama orang dewasa, dan itu membuatku bahagia.
Kami pun berjabat tangan dengan erat.
※
──Koridor · Sudut Pandang Takayanagi──
Selesai mengajar, aku melangkah ke koridor.
Tanpa sadar, kata-kata itu terucap.
"Aono. Kamu benar-benar luar biasa. Kamu murid yang kubanggakan."
Meskipun mungkin pernah terpikir untuk bunuh diri, dia mampu mengatasi keadaan sulit itu dan tetap melangkah maju.
Aku benar-benar merasa bangga. Bisa menjadi guru bagi murid seperti ini membuatku merasa sangat beruntung.
Karena itulah……
Aku ingin terus mendukung Aono dengan sungguh-sungguh. Semoga kehidupan sekolahnya ke depan menjadi sesuatu yang begitu membahagiakan, sampai-sampai mampu menutupi semua perasaan pahit yang pernah ia rasakan……
Setelah pelajaran usai, aku berpindah ke ruang kelas kosong. Saat jam istirahat, aku dipanggil oleh seorang murid.
Ketika aku masuk ke ruang kelas kosong yang telah ditentukan, seorang murid laki-laki sudah menungguku di sana.
"Ada apa, Endou? Soal les tambahan Aono sepulang sekolah? Atau urusan klub sepak bola? Kalau bisa, sih, aku berharap yang pertama."
Aku mengatakannya seperti bercanda, tetapi mataku sama sekali tidak tersenyum.
"Mungkin tidak sepenuhnya soal Aono. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, dan saya ingin sensei menyelidikinya."
"Sesuatu yang mengganjal?"
"Sebenarnya, siswa kelas tiga bernama Tachibana terlihat melakukan tindakan mencurigakan di stasiun."
Endo tampak memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Ketua klub sastra itu? Tindakan mencurigakan seperti apa?"
"Sepertinya dia membuntuti Aono Eiji. Dia terlihat panik, bahkan sampai berteriak."
Klub sastra lagi. Sepertinya titik temu Amada dengan Kondo juga berawal dari perkenalan anggota klub sastra. Ini terasa mencurigakan.
"Lalu?"
Aku memberi isyarat agar Endou melanjutkan.
"Sensei tahu kan kalau saya sedang mengulang tahun?"
Ekspresinya tampak menyakitkan. Mungkin itu kenyataan pahit yang tak ingin ia ceritakan. Aku dengar penyebabnya adalah hubungan antar siswa yang berujung pada dirinya menjadi tidak masuk sekolah. Keadaannya terasa mirip dengan Aono.
"Iya. Karena kejadian ini juga, saat aku menyelidikinya lebih dalam, ternyata kamu pernah punya masalah dengan Kondou."
Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengungkitnya. Aku tak ingin mengorek luka lama seorang murid.
Namun, mungkin Endou rela memperlihatkan luka itu demi menyelamatkan Aono.
"Di sekitar masalah itu juga, Tachibana ada di sana. Sensei, bisakah Bapak menyelidiki klub sastra secara menyeluruh? Saya merasa, kasus ini masih menyimpan sesuatu."
Terdesak oleh kesungguhan murid itu, aku mengangguk sambil berkata, "Baik."
※
── Sudut pandang seorang anggota klub sastra ──
Dalam apel seluruh sekolah, kepala sekolah memberikan penjelasan mengenai keributan kali ini.
Para anggota klub sepak bola yang kukenal sudah diperintahkan untuk diskors sementara sampai keputusan hukuman keluar, sehingga mereka tidak bisa datang ke sekolah.
Hal itu juga berlaku bagi Kondou-senpai, pelaku utama dalam insiden ini, dan Amada Miyuki.
Aku tak pernah menyangka senior Kondou akan "dibuang" secepat ini. Orang tuanya adalah tokoh berpengaruh di dewan kota, dan dia sendiri adalah ace klub sepak bola. Dia seharusnya figur terkenal. Bahkan mestinya bisa jadi bahan promosi sekolah.
Namun, meskipun dia orang berpengaruh, pihak sekolah tetap menjatuhkan hukuman tanpa pandang bulu. Biasanya, sekolah pasti memikirkan gengsi atau melindungi diri sendiri. Jadi kenapa semuanya diproses secepat ini?
Kondou-senpai berada di puncak kasta sosial sekolah, dan dia punya aura yang membuat tak seorang pun bisa melawannya.
Aku mengaguminya. Dia memang tidak menjadikanku pacarnya, tapi kupikir tidak apa-apa meski hanya untuk bersenang-senang. Lagipula, kalau dekat dengan Kondou-senpai, semua orang akan memanjakanmu. Posisi sosialmu juga akan naik.
Tapi kini aku benar-benar menyadari bahwa kasta sekolah hanyalah permainan anak-anak. Para pemain sepak bola yang seharusnya berada di puncak permainan itu, dengan mudah kehilangan posisi mereka karena kekuatan orang dewasa.
Lalu, di atas podium, kepala sekolah melanjutkan.
Para siswa yang terlibat dalam masalah perundungan ini akan dikenai sanksi pidana, perdata, dan juga hukuman dari pihak sekolah. Orang tua Aono Eiji sangat marah, dan mereka berniat bertarung sampai tuntas melawan para siswa yang berusaha menjatuhkannya.
Menakutkan, menakutkan, menakutkan. Aku juga mendengar bahwa di akhir-akhir ini, klub sepak bola dipenuhi pengkhianatan.
Demi menyelamatkan diri sendiri, mereka menjual rekan-rekannya. Aku takut hal yang sama terjadi di klub sastra. Bisa jadi, seseorang sudah berkhianat.
Kalau itu terjadi……
Fakta bahwa akulah yang menghubungkan Kondou-senpai dengan Amada Miyuki, bahwa aku ikut serta dalam fitnah terhadap klub sepak bola, bahwa aku membuang naskah dan barang pribadi Aono Eiji……
Jika pihak sekolah sudah mengetahui semuanya dan hanya membiarkanku "berenang" saja, maka nasibku sudah ditentukan.
Aku akan tinggal kelas atau dikeluarkan dari sekolah. Kalau itu terjadi, apa yang akan orang tuaku pikirkan tentang diriku? Bagaimana kalau aku dituntut ganti rugi? Mungkinkah aku juga akan ditangkap, seperti Kondou-senpai?
Kalau sampai begitu, apakah hidupku akan berakhir?
Kenapa aku sampai berpikir untuk merundung Aono Eiji? Kalau aku tahu akan jadi seperti ini, aku pasti tidak akan ikut-ikutan.
Menakutkan, menakutkan, menakutkan. Apakah perundungan itu sebuah kejahatan?
Kenapa tidak ada seorang pun yang mengajarkan hal sepenting itu kepadaku?
Kenapa aku tidak berusaha mencari tahu sendiri?
Sedikit demi sedikit, aku merasa bisa mendengar langkah kaki kehancuran mendekat. Tidak apa-apa. Kalau kami semua menyamakan cerita, pasti tidak akan ketahuan.
Begitulah yang dikatakan ketua klub, Tachibana sendiri—tetapi kini dia tidak masuk sekolah dan tak menampakkan diri.
Terlalu tidak bertanggung jawab. Padahal hidup kami bisa hancur berantakan, kenapa dia……
Aku sudah dipenuhi perasaan dikhianati.
Rasanya kakiku goyah, seolah tanah di bawahku runtuh.
Tidak, aku tidak boleh menjadi lemah. Aku harus melindungi diriku sendiri.
Dengan tekad itu, aku berhasil melewati apel seluruh sekolah.
※
── Sudut pandang ketua klub sastra ──
Aku terbangun. Tidak, aku bahkan tidak tahu kapan aku tertidur. Sampai matahari terbit, aku masih sadar. Mungkin aku hanya tidur sekitar dua jam.
Kepalaku berdenyut hebat. Aku mencoba berjalan, tapi tubuhku terasa terlalu berat. Aku juga mual. Padahal seharusnya aku tidak demam.
"Kenapa……?"
Aku tahu alasannya. Karena rasa putus asa yang menghancurkan itu.
Tak peduli berapa kali aku menulis, karyaku selalu terasa seperti tiruan dari novel Aono Eiji.
"Kenapa jadi begini? Aku sudah tidak bisa menulis lagi……"
Selama ini, menulis novel selalu menyenangkan. Aku bangga saat karyaku dinilai orang lain. Tapi sekarang, rasa takut itu sudah tak tertahankan.
Aku takut pada diriku sendiri yang, jauh di lubuk hati, telah mengakui kehebatan novel Eiji. Aku membenci diriku yang menganggap karyanya sebagai mahakarya. Aku iri pada bakat itu.
Dan aku menyadari satu hal: mahakarya orang lain adalah racun.
Rasa iri, kegelisahan, dan perbandingan antara karya itu dengan karyaku sendiri perlahan mengikis kepercayaan diriku.
Dan yang lebih parah, itu adalah karya seorang junior.
Tidak mau, terlalu menakutkan. Aku takut mengakui bahwa aku tidak punya bakat.
"Aku tidak ingin pergi ke sekolah……"
Dan akhirnya aku menyadari. Inilah akhir yang sebenarnya kuinginkan untuk Eiji.
Bakatnya membusuk, dikhianati orang-orang di sekitarnya, segalanya menjadi menakutkan, lalu ia menutup diri dalam dunianya sendiri dan menyia-nyiakan hidupnya.
Tidak boleh. Kalau terus begini, niat jahatku akan berbalik menghantam diriku sendiri.
"Aku harus bangun… aku harus berusaha."
Aku berusaha berdiri. Baru bangun dari tempat tidur dan berjalan sedikit saja, berat tubuhku membuatku kalah, dan aku terduduk.
"Tidak mau……"
Seolah tubuh dan pikiranku terpisah, air mata mengalir begitu saja.
Aku dipaksa menyadari betapa beratnya kebencian yang selama ini kutujukan pada Eiji. Kenapa aku bisa bersikap sekejam itu padanya?
Sementara itu, tanpa peduli pada diriku yang menyebarkan niat jahat, dia terus melesat tinggi tanpa kusadari.
Aku hanya bisa melihatnya. Berkat kebaikan hatinya sejak lahir dan bantuan orang-orang di sekitarnya, dia semakin bahagia. Sebaliknya, aku……
Tidak boleh lemah. Masih tidak apa-apa. Soal Kondou, seharusnya masih bisa kututup-tutupi dengan baik.
Tidak mungkin aku kehilangan segalanya.
Ibu membuka pintu. Mungkin karena khawatir aku tak kunjung bangun, dia datang untuk mengecek keadaanku.
Melihatku tergeletak, dia bergegas mendekat sambil berkata, "Kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa kok. Hari ini cuma agak tidak enak badan. Aku mual… boleh tidak kalau aku izin tidak masuk sekolah?"
Setelah aku mengatakan itu, ibu mengangguk. Katanya, dia akan segera membuatkan bubur.
Aku kembali ke tempat tidur sambil terhuyung-huyung.
Pikiran bahwa aku mungkin tidak akan bisa pergi ke sekolah lagi mulai terlintas, dan rasa dingin yang mengerikan menjalar di punggungku. Aku tidak tahu apakah ini karena kondisi fisikku, atau karena keputusasaan. Aku bahkan tidak ingin memikirkannya.
"Kenapa aku harus mengalami hal seperti ini……"
Tanpa kusadari, air mata menetes ke atas bantal.
※
── Sudut pandang seorang anggota klub sastra ──
"Silakan, masuk."
Aku diminta oleh Takayanagi-sensei dan Mitsui-sensei untuk datang ke ruang bimbingan siswa karena mereka ingin berbicara denganku.
Sejak dipanggil, detak jantungku tidak mau berhenti. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
"P-permisi."
Begitu aku masuk ke ruangan, kedua guru itu menatapku dengan ekspresi serius.
Ini benar-benar seperti interogasi. Saat membayangkan bahwa klub sepak bola juga ditekan seperti ini, tubuhku mulai gemetar dan tak bisa berhenti.
Bagaimana kalau ada yang berkhianat…… bagaimana kalau salah satu anggota klub keliru saat menyamakan cerita…… terlebih lagi, ketua klub—orang yang menjadi penyebab utama kejadian ini—tidak datang ke sekolah.
Aku jadi khawatir dia melarikan diri sambil melemparkan semua tanggung jawab kepada kami.
"Alasan kami memanggilmu hari ini adalah soal Aono Eiji. Kamu tahu, kan, bahwa pusat dari perundungan kejam terhadap Aono adalah klub sepak bola?"
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku mengaku? Atau berpura-pura tidak tahu sampai akhir?
Tidak, kalau aku menggelengkan kepala di sini, justru akan terlihat mencurigakan. Lagipula, kasus ini sudah sampai menjadi berita, dan soal klub sepak bola sudah menjadi bahan gosip di seluruh sekolah.
Kalau tidak mengaku, justru aneh.
"Iya, saya tahu."
Aku sendiri tidak tahu apakah ini jawaban yang benar.
Menakutkan. Rasanya seperti sedang mengulang tanya jawab di atas tiang pancung.
"Begitu ya. Dan karena Aono pernah menjadi anggota klub sastra, kami juga harus menyelidiki bagian itu dengan saksama."
Kepalaku terasa ingin kosong.
"Tidak benar. Kami tidak melakukan apa-apa."
Penolakan ini terdengar sangat dibuat-buat.
"Begitu ya. Tapi kami ingin mendengar ceritamu dengan jelas. Itu akan lebih baik untuk ke depannya."
Aku merasa seperti sedang diberi tahu bahwa aku sudah tidak bisa melarikan diri lagi.
"Cerita… yang bagaimana?"
"Baiklah. Setelah rumor itu menyebar, Aono tidak lagi mengikuti kegiatan klub, bukan?"
"I-iya. Sepertinya dia jadi sulit untuk ikut kegiatan."
Jawaban ini memang sudah ditentukan seperti itu.
Guru itu mengangguk-angguk sambil mendengarkan.
"Begitu ya. Lalu, apakah ada barang-barang pribadi Aono yang tertinggal di ruang klub? Naskah yang ia tulis untuk majalah klub, atau novel yang dibawanya……"
Ini juga sudah ditentukan.
"A-ada. Maksudnya, memang ada, tapi……"
"Ada apa?"
"Iya. Sebenarnya, entah sejak kapan barang-barang itu menghilang. Setelah masalah itu terjadi, sepertinya ada seseorang yang membawanya pergi."
Jawaban ini adalah satu-satunya yang dihafal oleh semua anggota klub sastra demi melindungi diri.
"Siapa yang membawanya pergi?"
"Saya tidak tahu. Mungkin salah satu anggota klub sastra, atau orang luar, atau mungkin Aono sendiri."
"Kenapa kalian tidak melaporkan hal ini ke pihak sekolah?"
"Itu karena…… kalau masalahnya dibesar-besarkan dan kami membela Aono, kami sendiri mungkin akan menjadi sasaran perundungan. Kami takut, jadi tidak bisa mengatakan apa pun kepada siapa pun. Tapi tolong percayai saya. Bukan saya pelakunya. Seseorang… seseorang melakukannya tanpa sepengetahuan saya."
Setelah aku menjelaskan sejauh itu, guru tersebut menghela napas pelan, lalu berkata,
"Baik, aku mengerti. Untuk hari ini, kamu boleh pulang."
Aku… dimaafkan?
Sedikit rasa lega memenuhi hatiku.
Syukurlah, semuanya berjalan lancar. Tidak apa-apa, kami pasti baik-baik saja.
Sambil menanamkan kata-kata itu di dalam hati, aku melangkah menuju koridor.
※
── Sudut pandang Takayanagi ──
Setelah murid itu pergi, helaan napas berat pun keluar tanpa tertahan.
"Percuma saja. Semua anggota klub sastra memberikan alasan yang sama persis, seolah-olah sudah menyamakan cerita. Itu saja sudah mencurigakan. Belum lagi, di ponsel Aono tersimpan tangkapan layar berisi berbagai hinaan kejam yang kalian lontarkan kepadanya. Sekalipun kalian buru-buru menghapus log media sosial, semuanya sudah terlambat."



Post a Comment