Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Eiji yang Berbalik Keadaan dan Dalang di Balik Layar yang Dijatuhkan
"Senpai, maaf sudah menunggu!"
Ichijou-san yang sudah janjian menunggu di depan gerbang sekolah datang sedikit terlambat. Karena dia terlambat, aku sempat berpikir untuk menjemput ke kelas, jadi syukurlah kami bisa bertemu.
"Kamu nggak apa-apa? Napasmu terengah-engah lho."
Mendengar itu, dia tersenyum kecut sambil mengangguk.
"Nggak apa-apa kok. Aku sempat dipanggil guru-guru karena ada sedikit urusan, tapi tidak ada masalah. Ngomong-ngomong, hari ini kita mau bagaimana?"
"Iya. Sebenarnya, editor yang menghubungiku bilang, kalau bisa ingin bertemu sekitar jam lima. Katanya dia akan datang ke kafe depan stasiun, jadi…"
Junior di depanku mendengar itu lalu matanya berbinar, seolah itu urusannya sendiri. Tapi, matanya juga tampak sedikit berkaca-kaca. Aku sempat ingin menyapanya, tapi suara ceria Ichijou-san menelan momen itu.
"Wah, hebat sekali! Pembicaraannya terus maju, ya. Berarti nanti karya-karya lain yang sudah ditulis juga akan dibaca, kan?"
"Iya, beberapa sudah kukirim lewat email sebagai lampiran, jadi kurasa aku bisa dengar pendapat mereka juga. Tapi, jujur saja, aku cukup gugup. Takut kalau malah dihancurkan habis-habisan."
"Tidak apa-apa. Aku sudah membacanya, dan semuanya menarik!"
Mendengar itu, aku merasa sedikit lebih tenang.
"Kalau begitu, aku bisa agak lega. Ichijou-san kan paham soal novel."
"Iya, iya! Lagipula, masih ada sekitar satu setengah jam sebelum pertemuan. Mari kita habiskan waktu di sekitar stasiun. Sebelum pertemuan aku pasti pulang, jadi tolong temani aku sebentar ya. Daripada menunggu sendirian, rasanya lebih menenangkan!"
"Tentu. Enaknya bagaimana ya. Mau coba ke game center?"
Sedikit gugup mengajak Ichijou-san ke tempat yang mungkin cukup berisik, tapi melihatnya justru berbinar mendengar usulan itu membuatku lega.
"Benarkah?"
"Iya. Atau, buat Ichijou-san tidak apa-apa? Tidak akan ada orang berbaju hitam yang datang lalu memarahi? Tidak dilarang, kan?"
"Fufu. Memang mungkin tidak akan dipandang baik, tapi setidaknya hari ini tidak apa-apa."
Entah benar-benar tidak apa-apa atau tidak, tapi sudahlah. Suasana sekolah kami cukup bebas, jadi selama tidak berbuat keterlaluan, biasanya tidak akan dimarahi.
"Kalau begitu, ayo. Omong-omong, kamu pernah ke sana?"
"Belum! Sebenarnya aku sudah lama mengaguminya. Aku ingin mendapatkan boneka. Lalu, game balap juga. Aku pernah lihat liputannya di TV, kelihatannya seru. Aku juga sering dengar teman sekelas pergi ke sana, tapi entah kenapa aku tidak pernah diajak. Mungkin aku membuat mereka sungkan tanpa sadar…"
Melihatnya berbicara dengan wajah ceria seperti itu membuatku ikut senang. Padahal, kami bahkan belum benar-benar mulai bermain.
Seperti inilah, kami melangkah maju bersama.
Kami pun tiba di game center depan stasiun. Tempat ini relatif aman, bahkan anak-anak pun bisa bermain dengan tenang, jadi kecil kemungkinan terjadi masalah. Lagipula, kafe tempat janji temu hanya satu menit berjalan kaki, jadi tidak perlu khawatir terlambat.
"Wah… semuanya berkilau."
Ichijou-san terpikat pada deretan mesin crane game. Kalau tidak salah, dia bilang ingin boneka, dan juga ingin mencoba game balap. Selain itu, untuk pemula yang mudah dimainkan mungkin game taiko atau air hockey. Waktu kami masih lebih dari satu jam, jadi sepertinya bisa bermain cukup lama.
Ichijou-san langsung mencoba mesin untuk mendapatkan boneka.
"Ini! Aku mau yang ini!"
Yang dia tunjuk adalah boneka beruang ukuran sedang.
Saat aku mengangguk, dia dengan senang hati memasukkan koin.
Dengan lima ratus yen bisa bermain enam kali, jadi mungkin saja bisa dapat. Sepertinya pelanggan sebelumnya menyerah di tengah jalan, jadi posisinya sudah cukup maju.
"Latihan dengan membayangkan juga sudah sempurna!"
Dia tertawa seperti anak kecil. Namun, tak lama kemudian, jeritan kecil terdengar.
"Kenapaaa."
Mendengar suara Ichijou-san yang lemah seperti itu untuk pertama kalinya membuatku merasa hangat.
Tampaknya, game yang baru pertama kali dicoba memang sulit, bahkan untuk gadis cantik serba bisa sepertinya.
Empat kali pertama, posisinya meleset cukup jauh, sampai lengan crane bahkan tidak menyentuh boneka.
Pada dua kali terakhir, dia mulai membaik dan berhasil mengait boneka, tapi tampaknya masih sulit menentukan titik berat dan kelemahannya, jadi boneka itu tidak bergerak sedikit pun.
"Padahal sudah tersangkut, tapi tidak bergerak. Di TV kelihatannya gampang sekali dijatuhkan."
Memang, untuk genre yang butuh kebiasaan seperti ini, cukup berat. Saat dia menyadari aku tersenyum, dia sedikit menggembungkan pipinya.
"Kenapa senyum-senyum begitu?"
Sepertinya dia cukup tidak mau kalah.
"Bukan apa-apa. Aku cuma merasa sedikit lega, karena selama ini kupikir Ichijou-san itu sempurna, ternyata ada juga hal yang kurang dikuasai."
"Sudah, jangan menggoda gitu. Kalau begitu, Senpai, tolong perlihatkan contoh!"
Nah, ini dia. Alurnya persis seperti yang kubayangkan, dan di dalam hati aku sedikit mengepalkan tinju.
Sesekali, aku memang ingin menunjukkan sisi kerennya.
Aku memasukkan koin lima ratus yen dari dompet.
"Ah, bergerak!"
"Oh, jadi lebih stabil kalau membidik di antara lengan dan badan, ya."
"Wah, hebat, hebat! Sedikit lagi!"
"Padahal tinggal sedikit!"
"Satu kali lagi, Senpai! Semangat!"
Kupikir, sebagai gadis yang baru pertama kali main crane game, reaksinya sudah seratus poin. Dengan strategi perang panjang, aku perlahan menggerakkannya, lalu di percobaan terakhir, boneka itu jatuh.
"Yay! Hebat, hebat sekali!"
Saat itu juga, dia menunjukkan kegembiraan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Jantungku berdebar dalam hati, tapi rasa lega karena berhasil membuatku tersenyum. Saat dia bersorak, aku mengambil boneka beruang dari lubang hadiah dan menyerahkannya padanya.
"Eh, tapi ini kan hadiah yang didapat dari uang Senpai."
Pada Ichijou-san yang berkata dengan ragu begitu, aku kembali menyodorkan bonekanya.
"Kalau boneka dipegang oleh pria sepertiku, rasanya kasihan. Lebih baik benda seperti ini dipegang oleh gadis manis seperti Ichijou-san."
Mendengar itu, tubuhnya tersentak kecil.
"Lagi-lagi… dengan alami memuji aku begitu. Curang… tapi, terima kasih. Akan kujaga baik-baik, bersama dengan barang yang Senpai belikan waktu kencan pertama."
Sambil berkata begitu, dia memeluk boneka itu dengan senang. Kencan ini baru saja dimulai.
"Senpai! Berikutnya, aku mau yang air hockey itu. Ah, maaf!"
Jari Ichijou-san tanpa sengaja menyentuh ringan seorang pria yang sedang berjalan. Kesalahan yang biasanya tidak akan dia lakukan. Sepertinya, dia benar-benar menikmati hari ini.
Yang tersentuh adalah seorang pria dari pasangan itu. Seragamnya—itu seragam SMA kami. Aku sempat berpikir mungkin kenalan, jadi kulihat wajahnya lebih jelas, dan ternyata itu temanku.
"Ah, Endou."
Tanpa sadar aku bersuara.
"Ah, Aono dan Ichijou-san…"
Dia tampak sedikit canggung, wajahnya mengeras samar.
※
──Sudut Pandang Endou──
Aku datang ke game center depan stasiun bersama Yumi.
Tempat ini adalah lokasi penuh kenangan yang dulu sering kami datangi bertiga bersama Eri. Bermain crane game bersama Eri, bermain game versus bersama Yumi…… tempat ini hanya menyimpan kenangan menyenangkan.
Hari-hari ceria itu terasa sudah jauh pergi, dan karena rasa sepi itulah aku sempat berhenti datang ke sini, tapi akhirnya aku bisa kembali lagi.
Kondou dan kelompoknya biasa pergi ke game center lain yang keamanannya buruk, dan bahkan saat membuntuti mereka pun aku merasakan rasa muak.
"Heh, Kazuki! Main game fighting yuk."
Yumi menunjuk game yang juga muncul dalam kenangan masa itu sambil tersenyum.
"Sudah lama sih, masih bisa enggak ya. Aku lupa kombo-kombonya."
"Iya, sama. Aku juga sudah lama. Soalnya aku sudah memutuskan, lain kali ke sini harus bareng Kazuki."
Mendengar itu, aku sadar Yumi merasakan hal yang sama. Seharusnya aku merebut kembali waktu ini lebih cepat. Yang tersisa di hatiku hanya penyesalan.
"Sebenarnya aku pengin bernostalgia, tapi kita selesaikan dengan tinju dan tendangan saja. Kita kan sama-sama saling menyakiti. Ini duel untuk berdamai!"
Dengan cara itu, kami menyelesaikan semacam ritual perdamaian. Dan ternyata tubuh kami masih mengingat lebih dari yang kami kira.
"Pembohong, Kazuki. Kamu kan belum lupa kombo."
"Mau gimana lagi. Tubuhku masih ingat."
Duel perdamaian itu dipenuhi senyum. Seperti biasa, Yumi menggerak-gerakkan tuas secara acak sampai jadi pertarungan kacau dan akhirnya jadi bulan-bulanan. Benar, inilah yang menyenangkan.
"Makasih."
"Aku juga. Seru bisa main lagi setelah lama. Selanjutnya air hockey yuk."
Yumi langsung berlari ke meja air hockey. Mengabaikan seruanku untuk menunggu, dia melangkah ringan penuh semangat.
Saat aku hendak menyusul, lenganku bersentuhan dengan lengan pelanggan lain yang keluar dari balik sudut.
"Ah, maaf."
Suara seorang gadis.
"Tidak, aku juga—ah."
Di sana ada wajah yang sangat kukenal.
Ichijou Ai, idol sekolah yang terkenal, dan Aono Eiji.
Dan satu lagi adalah sahabat berhargaku.
"Aono dan Ichijou-san…"
Karena kebingungan dan keterkejutan akibat pertemuan tak terduga ini, suaraku tanpa sadar meninggi.
Sejak kejadian itu, aku tidak lagi berhubungan dengan Aono. Kalau salah langkah, perundungan bisa makin parah. Karena itu, sebisa mungkin aku bergerak diam-diam tanpa membuatnya menyadari.
Bagiku, yang bahkan sempat menjauh dari Yumi, dia adalah satu-satunya ikatan terakhirku dengan dunia sosial. Lewat dirinya, aku kembali terhubung dengan Imai dan teman-teman sekelas, dan itu memberiku harapan dalam kehidupan SMA.
Justru karena itu, aku tak ingin menyeretnya ke dalam balas dendamku. Dengan sifatnya yang baik, tak mungkin dia memilih jalan balas dendam. Karena itu, akulah yang berniat mengambil peran kotor itu. Akulah yang harus menghentikan Kondou.
Meski begitu, aku tak bisa menahan diri dan mengirim pesan pada malam hari pertama masuk sekolah.
[Aku percaya pada Aono.]
Pesan itu tidak dibaca hari itu. Mungkin dia mematikan ponselnya untuk lari dari hujatan di media sosial. Pesanku mungkin tenggelam di sana.
"Endou! Ketemu di tempat seperti ini, kebetulan banget ya!"
Aono menyapaku dengan suara yang sama seperti biasanya. Itu membuatku sangat, sangat senang.
"Kazuki, temanmu?"
Yumi bertanya dengan heran.
"Namaku Aono Eiji. Aku dan Endou satu kelas waktu kelas satu."
Aono menjawab cepat, bahkan sebelum aku sempat membuka mulut. Lalu dia berbisik di dekat telingaku.
"Jangan-jangan pacarmu?"
Bisikan itu sepertinya terdengar juga oleh Yumi, karena dia tersenyum kecut sedikit.
"Ah, aku Doumoto Yumi. Bukan begitu kok, kami masih teman masa kecil. Aku dan Kazuki!"
Yumi yang tidak tahu situasinya menjawab begitu. Aku sempat khawatir dia salah bicara, tapi Aono hanya tersenyum sambil berkata, "Begitu ya." Bahkan dia terlihat seolah sudah benar-benar move on dari Amada-san.
"Kalau begitu, Aono-san, gadis cantik di sebelahmu ini pacarmu?"
Meski sekolahnya berbeda, Yumi tetap penasaran dengan gadis cantik di sampingnya.
"Perkenalkan, aku junior Eiji-senpai, Ichijou Ai. Kami belum berpacaran."
Jawaban itu penuh kecerdikan, menanggapi ucapan Yumi. Kami pun tertawa bersama.
"Oh begitu, sama juga ya. Eh, kalau mau, bagaimana kalau main air hockey ganda? Mumpung ketemu."
Atas usulan Yumi, mereka berdua langsung menjawab, "Boleh." Aku sampai pusing dengan alur yang tak terduga ini.
"Ah, kalian berdua duluan saja ambil tempatnya. Aku mau ngobrol sebentar sesama cowok dengan Endou."
Dan Aono semakin mempercepat alur yang tak terduga itu.
"Jadi, mau ngomong apa?"
Aku bertanya dengan hati-hati. Mengabaikan kecemasanku, Aono justru tersenyum cerah seolah akan meledak.
"Endou, makasih ya. Maaf aku nggak balas pesanmu. Aku telat menyadarinya. Tapi berkat pesan itu, aku benar-benar tertolong. Bukan cuma Ichijou-san, keluarga, guru, dan Imai—bahkan Endou yang baru kutemui di SMA pun percaya padaku, dan itu benar-benar membuatku senang. Banyak hal terjadi, dan aku seharusnya menghubungimu lebih cepat. Tapi aku juga enggak mau merepotkanmu karena tetap berhubungan denganku. Makanya, aku senang sekali bisa ketemu kamu secara kebetulan hari ini. Benar-benar makasih."
Melihatnya menunduk tulus seperti itu, aku yakin aku tidak salah. Rasanya semuanya terbayar.
※
Atas usulan Ichijou-san, kami pun bermain air hockey ganda.
Tentu saja, pertandingan antar pasangan!
Aku berpasangan dengan Ichijou-san, terpisah dari Endou.
Kombinasi yang tak pernah kubayangkan. Ini jadi seperti double date. Aku tersenyum pahit memikirkannya.
Ichijou-san tampak penuh semangat, memegang pemukul bundar itu, tapi sepertinya dia belum benar-benar paham cara menggunakannya.
Sebaliknya, pasangan di seberang sudah sangat terbiasa. Kerja sama mereka juga sempurna.
Ichijou-san menyerang dengan semangat sambil berseru, "Ei!", tapi kadang meleset. Meski begitu, dia terlihat sangat menikmatinya.
Ah, begitu. Menang atau kalah, yang penting dinikmati. Menyadari itu di tengah permainan, waktu yang kami lewati terasa benar-benar membahagiakan.
Duo teman masa kecil itu bergerak sangat selaras. Sementara kami mungkin terlalu berhati-hati. Tapi melihat Ichijou-san bermain dengan begitu gembira, aku pun ikut merasa senang.
Hasilnya, kami kalah telak dengan skor ganda, tapi kami tersenyum puas.
"Ah, kalah sih, tapi seru banget ya. Hei, Endou-san! Lain kali kita berempat main game balap, yuk!"
Ichijou-san tersenyum cerah. Sulit dipercaya ini gadis yang beberapa waktu lalu bersikap dingin dan tak percaya pada kebaikan orang lain.
"Ide bagus. Lain kali aku hajar kalian lagi sampai habis!"
Doumoto-san tertawa penuh semangat.
Endou juga tampak menikmati momen itu.
Begitulah, kami menghabiskan satu jam terbaik.
※
"Kita main banyak banget ya. Serunya sampai rasanya nggak percaya ini pertama kalinya kita main bareng!"
Doutomo-san tertawa terbahak-bahak. Kami pun sependapat dan hanya bisa mengangguk.
"Hei, kalian berdua. Kami rencananya mau makan dessert sebelum pulang, bagaimana kalau ikut?"
Endou mengajukan undangan yang sangat menyenangkan. Namun, waktunya sudah hampir sesuai jadwal.
Melihat aku kebingungan menjawab, Ichijou-san yang menanggapi.
"Maaf. Sebenarnya, Senpai masih ada jadwal setelah ini! Kalau aku sendiri sih ingin sekali ikut, tapi apa tidak merepotkan?"
"Tidak sama sekali. Malah, rasanya lebih enak kalau Aono tidak ada. Aku ingin dengar banyak cerita. Ayo ngobrol soal cinta, sesama perempuan!"
Mendengar jawaban itu, Ichijou-san terlihat sedikit bingung. Aku pun menyela dengan berkata, "Pergilah."
Dia mengangguk, lalu berbisik pelan.
"Aku masih ingin bicara, jadi setelah rapat selesai, bolehkah Senpai menyusul?"
Pertanyaan yang begitu lembut, tidak seperti biasanya, sampai membuatku merinding. Namun, itu justru usulan yang membuatku senang.
Saat aku menjawab tentu saja, Ichijou-san membalas dengan senyum terbaiknya.
"Senpai. Aku benar-benar berterima kasih karena sudah menyelamatkanku. Aku ternyata tidak tahu hal-hal menyenangkan seperti ini, juga tidak tahu bahwa kebaikan orang lain itu nyata. Tanpa menyadarinya, aku hampir melakukan hal bodoh. Aku senang bisa bertemu Senpai di atap waktu itu. Senpai sudah mengajarkanku bahwa dunia ini begitu hangat… dan membuatku menyadarinya. Semua itu berkat Eiji-senpai. Semangat rapatnya!"
Mendengar kata-kata itu, aku merasa benar-benar diselamatkan.
Setelah berpamitan dengan Endou dan yang lain, aku menuju kafe tempat aku janjian dengan editor.
── Sudut Pandang Ketua Klub Sastra ──
Aku datang ke depan stasiun tanpa tujuan. Sambil berpikir untuk makan di tempat yang kosong, aku menoleh ke sekeliling.
Di sanalah aku melihat seseorang yang seharusnya tidak kulihat.
Eiji-kun keluar dari game center.
Tanpa sadar aku menatapnya. Dia masuk ke sebuah kafe dekat game center itu. Aku pun mengikutinya.
Tanpa tahu bahwa keputusan yang kuambil berdasarkan naluri ini akan berujung pada penyesalan seumur hidup.
Aku mengikuti Eiji-kun dan masuk ke kafe.
Karena kursinya cukup kosong, aku berpindah mendekat tanpa ketahuan.
Aku memesan sandwich dan kopi. Tapi, apa aku benar-benar bisa makan dalam kondisi seperti ini?
Tak lama kemudian, seorang pria kurus berkacamata duduk di depan Eiji-kun. Usianya sekitar dua puluhan. Dia hanya memesan es kopi, lalu mulai berbicara dengan cepat dan penuh semangat.
"Maaf sudah membuatmu menunggu, Aono-san. Aku Nogi dari bagian editorial penerbit ○○. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktu hari ini. Tapi sungguh, kamu benar-benar masih siswa SMA ya. Bisa menulis sejauh itu… jujur saja, aku terkejut."
Pria dengan penampilan karyawan kantoran yang rapi itu terus berbicara tanpa jeda. Jadi memang rapat dengan editor.
Orang yang terlihat tenang justru sangat bersemangat. Itu berarti, bakatnya memang luar biasa.
"Tidak, aku yang datang terlalu cepat saja. Aku bahkan datang lebih dari sepuluh menit sebelum waktu janji."
"Ah, maaf. Aku terlalu bersemangat. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu. Tapi malah membuatmu menunggu, jadi aku agak panik."
Eiji-kun benar-benar diperlakukan dengan penuh perhatian. Untuk pendatang baru saja sampai sejauh ini?
Sebegitu berharganya dia…
"Aku juga tegang."
"Ya, ya. Haha, yang lebih tua seharusnya lebih tenang. Walaupun aku termasuk yang muda di redaksi… Kami, termasuk pemimpin redaksi, punya harapan besar pada novel webmu. Novel itu benar-benar menarik. Tulisannya muda dan segar, tapi isinya bisa membuat menangis sekaligus merasa bahagia. Jarang ada karya seperti itu. Apalagi, di situs yang didominasi fantasi isekai, novelmu yang tergolong genre minor bisa menembus peringkat atas. Kamu benar-benar permata bakat. Kalau bisa bekerja bersama, tidak ada hal yang lebih membahagiakan."
Rayuan yang membuat gigi terasa ngilu.
Makananku diantar, tapi aku sama sekali tidak ingin menyentuhnya.
"Tidak, aku cuma beruntung saja."
Eiji-kun menolak dengan rendah hati. Biasanya itu terdengar sebagai kebajikan, tapi bagiku terasa seperti sindiran.
"Bukan begitu. Jumlah penulis yang meniru gayamu benar-benar meningkat. Tapi sayangnya, selain karya Aono-san, mereka tidak mampu memikat pembaca. Misalnya, karya dari penulis bernama Tachibana ini, juga sangat terpengaruh olehmu."
Itu adalah novel yang aku unggah satu jam lalu.
Firasatku memburuk.
"Memang, tulisannya bagus. Bahkan mungkin lebih rapi dari Aono-san. Tapi isinya terlalu terpengaruh, sampai menjadi salinan murahan yang kehilangan orisinalitas. Mungkin tidak sopan mengatakan ini di depan penulisnya, tapi karyamu itu begitu menarik sampai tidak bisa ditiru siapa pun."
Bahkan editor profesional pun menegaskan bahwa aku hanyalah salinan murahan dari junior sendiri.
Penghinaan. Noda. Rasa malu.
Air mata mulai menggenang saat aku menyadari betapa jauhnya jarak kemampuan kami. Aku tahu ini akan terjadi, makanya aku berniat menghancurkannya.
"Ah, terima kasih…"
Dia tampak malu.
"Jadi begini, Aono-san. Awalnya kami berniat memasukkan novelnya ke dalam antologi, tapi setelah membaca karya-karya lain yang kamu kirim, kami berubah pikiran. Ah, bukan dalam arti buruk. Justru sebaliknya. Karya-karya lainnya juga luar biasa. Pemimpin redaksi pun terkejut. Karena itu, kami ingin kamu tetap ikut antologi, tapi kami juga ingin membuat satu buku khusus berisi karya Aono Eiji saja. Bagaimana kalau kita membuat kumpulan cerpen bersama?"
Itu terdengar seperti vonis mati bagiku.
Fakta objektif bahwa junior memiliki bakat jauh di atasku dipaksakan ke hadapanku.
Eiji-kun akan debut sebagai profesional dan menapaki masa depan yang gemilang.
Sejak kapan jaraknya jadi sejauh ini? Tidak masuk akal.
Kalau begitu, sebar gosip buruk ke penerbit…
Saat pikiran itu muncul, aku sadar betapa dalamnya aku telah jatuh. Aku sudah mengakui kekalahan, dan itu membuatku ingin menangis karena merasa begitu menyedihkan.
Sambil menangis, aku memaksa memasukkan sandwich ke mulut, lalu meninggalkan tempat itu.
Aku membayar tanpa ketahuan dan keluar dari kafe dengan perasaan hampa, tanpa menyadari bahwa tindakan ini justru mendekatkanku pada kehancuran.
Aku pulang ke rumah dalam keputusasaan, memberi tahu orang tuaku bahwa aku tidak enak badan, lalu mengurung diri di kamar.
Sudah berakhir. Kepercayaan diriku benar-benar menghilang.
Aku kalah dari Eiji-kun. Tanpa sisa.
Kalau begini, tidak ada yang bisa kulakukan. Pikiran yang tadi kutolak kembali muncul. Melapor ke penerbit dan melakukan sabotase fisik?
Tidak, itu terlalu berisiko. Untuk apa aku selama ini menjaga tangan tetap bersih sambil memanipulasi Kondou-kun dan klub sepak bola?
Lalu, harus bagaimana? Mengakui kekalahan begitu saja?
Kalau itu terjadi, aku tidak akan bisa menjadi diriku sendiri lagi. Harga diriku akan hancur total.
Melawan Eiji-kun bisa dilakukan kapan saja. Sebentar lagi, penyelidikan pasti akan masuk ke klub sastra.
Soal barang pribadinya yang dibuang, rencananya akan kami tutupi bersama. Kalau menyamakan cerita, semuanya aman, dan itu sudah dilakukan.
Pagi hari, saat datang ke ruang klub, ruangan itu berantakan dan barang pribadinya hilang. Lalu ada surat ancaman anonim yang mengatakan, "Kalau kalian melapor ke guru, kalian juga akan kami bully."
Dengan begitu, kami bisa membenarkan alasan selama ini diam, dan guru pun pasti mengira itu ulah salah satu anggota klub sepak bola yang lepas kendali.
"Kasus Kondou-kun memang yang paling merepotkan, tapi untungnya data SNS sudah dihapus sebelum dia ditangkap. Aku sama sekali tidak punya hubungan dengan anggota klub sepak bola lain. Kalau riwayat pesan dihapus dari server, tidak akan bisa dipulihkan. Sekalipun dia mencoba menyalahkanku, tanpa bukti, itu hanya akan dianggap sebagai omong kosong karena terpojok."
Bagaimanapun caranya, rasanya aku masih bisa lolos.
Karena itu, lebih baik tidak bergerak sembarangan sekarang. Perlahan, aku akhirnya mulai kembali tenang.
Saat ini, angin masih berpihak pada Eiji-kun dan yang lain. Kalau memaksakan diri di sini, pasti akan menimbulkan masalah.
Jadi, tanpa bertindak gegabah, aku cukup menunggu sampai angin berbalik melawan Eiji-kun, lalu membalas dendam.
Setelah itu, semuanya bisa diatur. Tinggal mencari orang lain yang bisa menjadi pelaksana pengganti Kondou-kun.
Selama aku tidak bergerak sendiri dan mengotori tanganku, apa pun bisa diatasi.
"Aku tidak akan pernah memaafkannya."
Tanpa sadar, kata-kata itu keluar dari mulutku sambil menatap layar novelku sendiri yang dihujani ulasan pedas.
※
"Kalau begitu, untuk detail selanjutnya kita bahas lewat email saja. Aono-san, apakah bisa melakukan rapat online? Ke depannya, sepertinya akan sulit meluangkan waktu, jadi kalau memungkinkan, kita lakukan dengan cara itu. Nanti lewat email akan kukirimkan akses ke situs dan penjelasan cara penggunaannya."
Editor itu berkata dengan wajah ceria.
"Baik. Mohon kerja samanya ke depannya."
Jadwal rapat berikutnya akan diatur lewat email tersebut. Entah kenapa, aku merasa seperti tiba-tiba masuk ke dunia orang dewasa.
Setelah berpisah dengan editor, aku mengirim pesan pada Ichijou-san.
Katanya dia ada di toko es krim dekat stasiun. Dari sini jaraknya sekitar satu menit. Aku pun segera sampai.
"Senpai!"
Dia yang ada di dalam menyadari kehadiranku dan melambaikan tangan.
"Endou dan yang lain mana?"
"Tadi mereka masih ada, tapi… katanya tidak mau mengganggu kencan, jadi mereka pulang."
Aku menuju kursi dan meletakkan barang-barangku.
"Aku juga mau makan es krim, deh."
"Eh, bukannya Senpai sudah minum sesuatu saat rapat tadi?"
"Ada sih, tapi karena tegang, aku tidak merasakan apa-apa. Aku ingin makan es krim buat menenangkan diri."
Mendengar itu, dia tertawa pelan. Ichijou-san sedang makan sherbet jeruk dan es krim stroberi.
Aku memesan kombinasi klasik: vanila dan rum raisin.
Aku menyuapinya satu sendok, dan rasa manis serta dinginnya langsung membuatku segar kembali.
Ichijou-san yang duduk di depanku tersenyum senang.
"Senpai suka es krim, ya."
"Memangnya ada orang yang tidak suka es krim?"
"Benar juga."
Obrolan yang sepele, tapi entah kenapa terasa menyenangkan. Suasananya benar-benar nyaman.
"Senpai, bolehkah aku mewujudkan satu hal yang aku idamkan?"
Dengan senyum malu-malu, suaranya yang manis sampai ke telingaku.
"Hm?"
"Sebenarnya, di saat seperti ini aku ingin mencoba berbagi es krim. Lagipula, aku belum pernah makan rum raisin. Boleh aku minta satu suap? Kita tukar dengan sherbet jerukku."
Usulan yang begitu imut sampai membuatku tersenyum. Mungkin karena dia tumbuh seperti putri bangsawan yang terkurung, dia mendambakan komunikasi ringan seperti ini.
"Jangan-jangan Senpai menganggapku kekanak-kanakan atau bodoh?"
Pipinya sedikit menggembung, lalu dia tersenyum nakal. Gestur itu pasti akan membuat kebanyakan siswa SMA laki-laki salah paham, dan aku sendiri tanpa sadar berdebar.
Mengingat kewaspadaannya yang tinggi, bisa melihat celah seperti ini terasa hampir seperti keajaiban.
"Ini, silakan."
Dengan sendokku sendiri, aku mengambil satu suap rum raisin dan meletakkannya di cangkirnya.
"Itu… ciuman tidak langsung, ya…?"
Dengan suara kecil, Ichijou-san menunjukkan reaksi polosnya.
Padahal dia sendiri yang mengajak, batinku menyela sambil tersenyum, lalu aku menikmati sherbet jeruknya.
"Tunggu, aku belum siap secara mental."
Sambil menggodanya karena sudah sejauh ini tapi masih ragu, aku menyuapkan es krim ke mulut.
Sherbet yang dingin membeku dan rasa asam jeruknya langsung meniup pergi sisa panas bulan September.
"Dasar, Senpai bodoh."
Dengan wajah malu-malu, dia melirik rum raisin dan aku bergantian, lalu dengan tekad bulat memasukkan es krim ke mulutnya.
"Enak."
Matanya terbuka lebar, terkesan dengan rasanya. Melihat reaksinya, aku tersenyum puas dalam hati sambil menyuap rum raisin milikku.
Manis, tapi dibalut aroma dewasa dari rum—es krim yang aneh itu seolah makin mendekatkan jarak di antara kami.
Ichijou-san berbisik pelan.
"Kita… sudah ciuman tidak langsung, ya…"
※
Aku melaporkan hasil rapat hari ini pada keluargaku dan Ichijou-san.
"Eh!? Jadi bukan cuma ikut antologi, tapi juga akan menerbitkan kumpulan cerpen sendiri!?"
Ichijou-san berseru kaget.
Ibu melanjutkan dengan mata berbinar.
"Hebat sekali. Jadi akan keluar buku khusus karya Eiji saja, ya! Ibu senang sekali. Harus beli tiga eksemplar—buat dibaca, disimpan, dan buat disebarkan!"
Para perempuan langsung heboh tanpa memedulikanku.
"Iya. Bisa menerbitkan dua buku sekaligus itu luar biasa. Senpai sudah benar-benar jadi novelis profesional."
Kalau dibilang begitu, rasanya jadi geli.
"Selamat ya, Eiji."
Kakak laki-lakiku mengatakannya dengan senyum yang jarang ia tunjukkan.
Kombinasi pizza spesial favoritku dan cola pun diantarkan. Sepertinya mereka membuatnya khusus untuk merayakan.
"Terima kasih, semuanya."
Pizzanya memakai saus tomat dengan topping seafood dan sayuran yang melimpah.
Aromanya menggoda.
"Ngomong-ngomong, apa sebaiknya pihak sekolah juga diberi tahu? Pasti ada kewajiban menjaga kerahasiaan, kan?"
Ibu memang orang dewasa sejati. Hal-hal seperti itu langsung terpikir olehnya.
"Katanya, sampai ada pengumuman resmi, sebisa mungkin dirahasiakan. Tapi kalau hanya untuk meminta izin ke sekolah, tidak masalah untuk dibicarakan. Aku masih di bawah umur, jadi sepertinya ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani wali. Maaf, tapi tolong bantu ya."
"Tentu saja. Yang begitu mah akan kutandatangani sebanyak apa pun. Ah, aku jadi tak sabar. Kalau begitu, kami harus bersiap untuk buka malam. Ai-chan, makan pizzanya pelan-pelan saja bersama Eiji."
"Baik! Terima kasih banyak."
Ichijou-san menatap pizza itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Jangan-jangan…?
"Ichijou-san, kamu suka pizza?"
"Suka sih… atau lebih tepatnya, aku mengidamkannya… Aku selalu ingin suatu hari bisa makan pizza bersama teman-teman. Jadi rasanya seperti mimpi yang terwujud lagi, sama seperti waktu makan ramen."
Aku tersenyum kecut. Benar-benar seperti nona bangsawan. Dia tampak terlalu bersemangat sampai tidak bisa menjawab dengan lancar.
Aku mempersilahkannya lebih dulu. Pizza ini adalah menu spesial yang hanya disajikan saat Natal atau ulang tahun pelanggan tetap.
"Enak sekali. Jadi pizza itu seenak ini, ya. Rasa seafood, sayuran, dan kejunya benar-benar luar biasa."
Sepertinya dia menyukainya. Dia sudah mencicipi rasa yang berdosa, ya.
Kami menghabiskan waktu makan malam yang menyenangkan. Perlahan, keberadaan Ichijou-san di sini mulai terasa wajar. Dan anehnya, itu membuatku senang.
※
"Senpai, terima kasih selalu sudah mengantarku. Kalau sedang sibuk, bilang saja ya. Kapan pun, penjemputan bisa datang."
Seperti biasa, kami makan malam bersama lalu aku mengantarnya pulang.
"Tidak apa-apa kok. Aku melakukannya karena aku mau. Lagipula, aku juga suka mengobrol santai di jalan pulang."
Saat aku mengatakan itu, wajah Ichijou-san langsung memerah.
"Dasar…" katanya pelan, lalu segera kembali seperti biasanya.
"Senpai, dari dulu aku sering berpikir… Apa Senpai tidak terlalu menyukaiku? Kadang juga jadi terlalu protektif."
Sepertinya dia baru sadar telah menjatuhkan bom pada dirinya sendiri. Wajahnya semakin merah.
"Yah, aku tidak akan menyangkalnya. Jujur saja, jarang ada orang yang bersamaku seseru ini."
Kami punya selera yang sama, dan dia pernah melindungiku meski harus merugikan dirinya sendiri. Tidak mungkin aku tidak menganggap orang seperti itu berharga.
Kalau semuanya sudah tenang, aku berniat menyampaikan perasaanku dengan sungguh-sungguh. Kurasa hari itu sudah tidak jauh lagi.
── Sudut Pandang Ichijou Ai ──
Seperti biasa, aku diantar pulang oleh Senpai setelah makan bersama. Rasanya, ini sudah lebih dari sekadar waktu yang dihabiskan pasangan biasa—terlalu intim.
Kalau bisa, aku ingin memperdalam hubungan ini.
Tadi aku memang sempat blunder, tapi aku sudah tahu. Kami saling menyukai.
Kami saling mencintai, tapi melangkah satu langkah lebih jauh terasa menakutkan. Ada diriku yang ingin terus tenggelam dalam hubungan nyaman ini. Itu wajar, pikirku. Ini cinta pertamaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi, aku yakin akan bahagia kalau bisa menjadi kekasihnya.
Aku berutang budi pada Senpai dan keluarganya. Mereka mengajarkanku kembali kehangatan manusia yang dulu sempat kubuang.
"Aku ingin selalu bersama."
Dengan suara pelan agar tidak terdengar olehnya, aku membisikkan perasaanku yang sebenarnya. Karena itu pula, aku ingin punya keberanian untuk melangkah maju.
Aku masih belum bisa mengambil keputusan, padahal ibu Senpai baru saja mengatakan kata-kata yang begitu lembut padaku.
Padahal kukatakan agar tidak terdengar, tapi ada bagian dari diriku yang berharap dia mendengarnya. Aku merasa itu licik.
Mengandalkan kebetulan untuk memajukan hubungan padahal belum siap mengambil keputusan… itu pasti akan kusesali.
Lalu aku menyadari, saat ini aku bahagia. Bersamaan dengan itu, aku teringat rasa gelisah yang terus kurasakan akhir-akhir ini. Kalau penerbitan novelnya berjalan lancar, bukankah dia akan pergi semakin jauh?
Hubungan kami yang menjadi dekat dalam sekejap setelah liburan musim panas mungkin jauh lebih rapuh daripada yang kami bayangkan. Rapuh, dan bisa hancur dengan mudah jika menerima sedikit saja guncangan.
Kami berjalan pulang dengan langkah yang sengaja diperlambat.
Agar waktu kebersamaan kami bisa bertahan sedikit lebih lama.




Post a Comment