Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Selingan 2
──Beberapa jam sebelumnya · Sudut pandang ketua klub sastra──
Akhirnya aku tetap tidak bisa tidur. Aku takut melihat tanggapan terhadap novelku.
Tapi, aku harus melihatnya.
Dengan tangan gemetar, aku mengoperasikan ponsel dan membuka halaman pribadiku.
Novel Eiji-kun, bahkan hanya hari ini saja, sudah mencapai jumlah pembaca lima digit.
Novelku……
Hampir tidak ada tanggapan.
Total jumlah pembaca hanya satu digit.
Penilaian nol.
Ulasan hanya masuk satu.
"Bo… bohong. Sampai sejauh ini……"
Tak kusangka jaraknya akan sejauh ini. Memang, genre yang populer di novel online bukanlah genre yang menjadi keahlianku. Tapi itu juga berlaku untuk Eiji-kun.
Fakta bahwa perbedaannya terlihat sejauh ini berarti satu hal—soal ada atau tidaknya bakat.
"Aku tidak mau mengakuinya, tidak mau. Mana mungkin aku bisa menerima hal seperti ini. Tidak mungkin jarak antara aku dan dia sejauh ini!"
Mungkin ulasan itu bisa menyelamatkanku. Dengan pikiran itu, aku meraih seutas benang. Meski aku tahu, ujungnya terhubung ke neraka.
[Secara keseluruhan cukup menarik. Tapi agak klise. Rasanya seperti versi lebih buruk dari novel Eiji-san yang sekarang berada di peringkat atas genre yang sama.]
"Di sini pun, Aono Eiji! Sampai sejauh mana pria itu harus berada di atasku baru puas!"
Aku menghantamkan bantal sekuat tenaga ke lantai.
Harga diriku sudah dihancurkan tanpa sisa. Aku merobek sertifikat penghargaan lomba resensi buku yang kudapat musim panas tahun lalu.
Kenapa, kenapa aku tidak punya bakat. Padahal aku sangat mencintai novel. Kenapa Eiji-kun memiliki hal yang paling kuinginkan.
Hei, kenapa!?
Ingin kuhancurkan, tapi tak bisa hancur.
Perasaan yang benar-benar terdistorsi. Kecemburuan yang mengental dan keruh di dalam diriku mulai menyala.
Awalnya, dia hanyalah junior yang imut. Saat membaca novel-novel yang dia tulis, aku perlahan mulai menyukainya. Tapi dia punya kekasih. Dan dia juga memiliki bakat menulis yang jauh melampauiku. Perasaanku pun menjadi kacau balau.
Aku menatap cermin. Di sana ada diriku sendiri, dengan wajah seperti zombie.
Dengan langkah lemas, aku berganti ke seragam dan keluar rumah. Mana mungkin aku bisa sarapan. Kalaupun makan, kurasa aku takkan merasakan apa pun.
Hampir tanpa sadar, aku tiba di dekat sekolah.
Saat hendak berbelok di sudut jalan, aku melihat Aono Eiji berjalan bersama seorang siswi junior. Ichijou Ai.
Jadi rumor itu memang benar. Dia…… yang disukainya?
Sepertinya mereka belum menyadari keberadaanku.
Dengan nada suara yang diturunkan, mereka berbincang dengan riang.
"Sudah semalam berlalu, tapi tetap saja sulit dipercaya ya."
"Iya, aku juga benar-benar kaget."
"Tak disangka orang dari penerbitan akan menghubungimu."
Penerbit?
Menghubungi?
Itu berarti…….
Jawabannya langsung terpahami. Tidak, mungkin aku hanya berusaha untuk tidak memikirkannya. Sejak tadi malam, di sudut kepalaku kemungkinan itu terus terlintas.
Tapi kalau itu benar-benar terwujud, aku tahu hatiku takkan mampu menahannya. Karena itulah aku menyingkirkannya dan berusaha untuk tidak memikirkannya.
Kenapa kau menghadapkan kenyataan sepahit ini padaku.
"Tidakkkkk!"
Di dalam hatiku, diriku yang lain menangis menjerit seperti anak kecil. Aku hanya bisa berusaha sekuat tenaga menjaga postur agar tidak ambruk.
Penerbit menyadari jenius bernama Aono Eiji dan menghubunginya. Jika begini terus, debut profesionalnya pasti akan segera ditentukan. Karena akulah orang yang paling banyak membaca karyanya sampai sekarang, aku bisa yakin. Bakatnya belum akan berhenti di sini.
Rasanya seperti sedang melihat sebuah roket yang melesat jauh ke atas, jauh melampaui diriku. Aku seperti sekadar penonton. Padahal aku ingin menjadi tokoh di dalam cerita, namun kenyataan yang kejam bahkan tidak mengizinkan itu.
Aku takkan pernah bisa menggapainya lagi. Diriku yang tak berdaya hanya bisa menatap bakat yang semakin menjauh ke angkasa.
Itu berarti, aku harus mengakui bahwa aku tidak punya bakat. Selama ini, di dalam hati aku meremehkan orang lain yang tak berbakat. Tanpa kusadari, aku melakukan hal yang sama pada diriku sendiri.
Kesadaran itu membuatku merinding.
Aku berlari. Menuju ruang klub sastra. Aku menarik keluar semua naskah lamaku dari laci meja ketua klub. Ratusan lembar hasil kristalisasi dari usahaku. Semuanya mulai kurobek.
Kertas-kertas yang terkoyak itu melayang di udara dan berserakan di lantai. Semua yang telah kulalui sampai sekarang ternyata sia-sia.
Aku tak butuh sampah seperti ini. Dibandingkan dengan naskah Aono Eiji, rasanya memalukan sampai ingin mati.
Dengan ini, aku takkan menang. Mana mungkin aku bisa menang. Dan kenyataan bahwa aku menulis semua ini tanpa menyadarinya membuatku takut pada diriku sendiri.
Lalu, dengan semuanya tetap berserakan, aku berlari keluar ruangan.
Aku tak perlu lagi mengikuti pelajaran. Aku akan pulang dan memikirkan cara untuk tidak menghadapi kenyataan ini. Tidak apa-apa. Aku pandai membuat rencana semacam itu.
"Aku harus cepat kabur. Dari sini…… kalau aku tetap di sini, aku akan berhenti menjadi diriku sendiri. Aku akan dipaksa untuk mengakui semuanya."
Aku tidak akan pernah memaafkan. Aono Eiji.
Aku meninggalkan sekolah.
Tanpa menyadari bahwa ini adalah pintu masuk menuju tangga keputusasaan.
Tanpa mampu mengakui diriku yang bodoh karena membuka kotak Pandora, aku hanya terus terjatuh.




1 comment