Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 2
Ratu yang Mendadak Berani
Keesokan harinya setelah aku kembali ke kamar Yamamoto.
Saat aku terbangun, futon yang dipakai Yamamoto sudah dirapikan di sudut kamar.
Aku tuh, biarpun kelihatannya begini, susah bangun tidur. Bahkan sekarang, aku tidak tahu apakah pemandangan yang kulihat ini mimpi atau kenyataan (Kesimpulannya, aku masih berpikir ini mimpi).
“Fuaaaaah...”
Sambil mengucek mata yang mengantuk, aku berjalan ke dapur.
Seketika, aku mencium bau seperti bahan kimia, dan mataku langsung terbuka lebar.
“Bau apa ini?”
“Oh, pagi.”
“Pagi. ...Jadi, bau apa ini?”
“Oh. Hari ini aku berencana membersihkan wastafel. Sekalian, aku merendam peralatan makan pakai pemutih khusus dapur.”
Menurut Yamamoto, campuran asam sitrat dan air juga efektif untuk noda membandel seperti noda teh, tapi katanya ada bahan seperti plastik atau logam yang tidak cocok.
“Peralatan makan jadi bersih, dan selagi direndam, tanganku bisa membersihkan hal lain. Singkatnya, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.”
“Oh.”
Aku sempat khawatir Yamamoto bertindak macam-macam, tapi sepertinya kekhawatiranku berlebihan.
“Oi, oi, Hayashi. Persiapan yang luar biasa ini hanya kau tanggapi begitu saja?”
“Habisnya, itu kan sudah pernah kamu lakukan sebelumnya.”
Saat aku mengemukakan fakta itu pada Yamamoto yang anehnya sedang bersemangat tinggi, langsung terdiam.
...Entah kenapa, Yamamoto hari ini terlihat bersemangat (gelisah karena senang).
Dan, aku teringat.
“Ah, benar juga. Hari ini Akari mau datang, ya.”
Aku benar-benar lupa saking leganya sudah balik ke kamar Yamamoto dan makan ekiben yang enak.
“Kamu, seperti biasa, ya, tidak punya ‘daya tahan’ (terhadap Akari).”
Setelah menggodanya sambil nyengir, ekspresiku kembali serius.
...Ngomong-ngomong, aku kembali ke kamar ini, artinya aku harus hidup seatap dengan Yamamoto, ‘kan?
Seatap, cewek dan cowok muda tinggal bareng.
...Mustahil tidak terjadi apa-apa.
Yah, selama ini memang tidak terjadi apa-apa, sih.
Tapi kan sekarang perasaanku sudah berubah?
...Yah, tapi sepertinya aku tidak akan memulai duluan!
Malu banget, aku nggak mungkin bisa!
Tapi, sama sepertiku, mungkin kelak perasaan Yamamoto juga akan berubah...
“Hah, apa tak ada cara, ya, supaya Kasahara nggak jadi datang hari ini?”
“...Kamu, sebegitu enggannya Akari datang ke rumah?”
Sambil tersenyum masam melihat tingkahnya, aku teringat sesuatu yang mengganjal.
...Ngomong-ngomong, Yamamoto kan, suka Akari.
Seluruh pikiranku langsung macet.
Tadinya kupikir aku bisa tertawa dengan alami, tapi sekarang aku sadar senyumanku menjadi kaku.
Aku dilanda perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tapi, aku bisa jamin setidaknya perasaan itu bukanlah perasaan yang baik.
“...Hayashi? Hayashi!”
“Eh, ah... iya.”
“Kenapa tiba-tiba bengong?”
Tanpa sadar, sepertinya aku melamun.
“Maaf. Kayaknya masih setengah sadar.”
“Masa? Kalau nggak enak badan, gimana kalau sarapannya biar aku yang buat?”
“Tak apa. Kamu selesaikan saja bersih-bersihnya. Aku tidak bisa masak sarapan (kalau kamu di dapur).”
“...Oh.”
Apa aku berhasil menutupinya, ya?
Tapi, gara-gara teringat fakta menyedihkan bahwa Yamamoto menyukai Akari, seiring berjalannya waktu, aku merasa perasaanku semakin muram.
Benar juga.
...Parahnya lagi, aku malah bilang ke Yamamoto akan mendukung percintaannya dengan Akari.
Aku mengutuk kecerobohan ucapanku sendiri beberapa minggu lalu.
◇◇◇
Selesai sarapan dan mencuci piring, saat aku sedang menyesali ucapanku yang gegabah dulu, bel rumah berbunyi.
“Megu!”
Begitu aku membuka pintu depan, Akari langsung memelukku.
“Ah, Akari... Pagi.”
“...U-un?”
“M-Maaf ya, sudah banyak ngerepotin.”
“...Tidak. Sama sekali nggak ngerepotin, kok. Justru aku yang minta maaf nggak bisa banyak membantu di saat-saat sulitmu.”
“Ngomong apa, sih. Akari kan sudah banyak membantuku.”
Waktu SMA juga, Akari adalah sahabat terbaikku. Aku banyak curhat padanya, dan kalau ada masalah, dia selalu menengahi.
Aku selalu bergantung pada Akari. Baik dulu maupun sekarang.
Dan, orang yang bergantung pada Akari pasti bukan cuma aku. Makanya Akari diandalkan oleh banyak orang, bukan aku saja.
Dan, di antara orang-orang yang mengandalkan Akari... pasti ada Yamamoto.
Itu sebabnya... Yamamoto juga jadi suka pada Akari.
“Kalian berdua, mau sampai kapan di depan pintu?”
“Ah... M-Mari masuk, Akari.”
“Iya. Permisi.”
Tersadar oleh suara Yamamoto, aku mempersilakan Akari masuk.
“Asyik, pesta nabe! Aku mau makan banyak!” seru Akari riang.
“Kau... apa kau tipe yang makannya banyak dari dulu?” tanya Yamamoto.
“Bukan. Makanku sedikit, kok. Tapi kalau masakan Megu, aku bisa makan sepuasnya. Biarpun perutku meledak!”
“Luar biasa, tekadmu beda, ya.”
“Iya, ‘kan?”
Aku menatap dalam diam kedua orang yang tengah asyik mengobrol itu.
...Pemandangan orang yang kusukai dan sahabatku sejak SMA berbicara akrab, tadinya adalah pemandangan yang menyenangkan, tapi sekarang rasanya sedikit menyakitkan untuk dilihat.
Tapi, kalau memikirkan perasaan Yamamoto, mungkin ini adalah hal yang benar.
“Ngomong-ngomong, lusa kemarin aku kaget banget, loh. Waktu aku usul ke Yamamoto-kun buat pesta nabe, dia malah bilang mau pergi jemput Megu.”
“Tiba-tiba cerewet.”
“Wah, Megu. Kamu dicintai banget, ya, sama Yamamoto-kun!”
...Benar juga.
Kemarin, Yamamoto menjemputku sampai ke kampung halamanku. Padahal tak ada jaminan kalau aku akan kembali, bahkan aku sudah bilang di telepon akan tetap di rumah orang tuaku, tapi dia tetap menjemputku.
Aku tidak tahu seberapa besar perasaan Yamamoto padaku. Mungkin tidak bisa disebut sebagai rasa suka.
Tapi, setidaknya tidak salah lagi kalau dia memikirkanku, sampai merasa sayang jika hubungan kami selama ini berakhir begitu saja.
...Mungkin aku masih punya kesempatan.
Tapi, apa boleh aku mendekati Yamamoto?
Dilihat dari mana pun, mereka berdua terlihat sangat serasi. Makanya, sebelum aku sadar perasaanku pada Yamamoto, aku berniat mencomblangkan mereka.
Memabg boleh aku melakukan sesuatu yang merusak hubungan mereka berdua?
“Ngomong-ngomong, Yamamoto-kun, kamu ingat Irie-chan yang tempo hari mendekatimu?”
“Hah!?”
“Siapa?”
Aku sedang termenung memikirkan hubungan mereka berdua, tiba-tiba muncul nama cewek yang tidak kukenal. Aku langsung melotot ke Yamamoto.
Beraninya dia main mata dengan cewek lain tanpa sepengetahuanku, pikirku... tapi aku sadar Yamamoto sedang melongo. Sepertinya dia sendiri tidak terlalu ingat.
“Itu, loh. Waktu kita pertama kali bicara di kampus, cewek yang mendekatimu itu.”
Kata Akari.
“...Ah. Orang itu, ya.”
Yamamoto sepertinya ingat.
...Kurang ajar.
“B-Bukan begitu! Aku hanya ingat betul hari itu karena itu hari kamu bertemu lagi dengan si pria KDRT!”
Saat aku memelototinya, Yamamoto buru-buru membela diri.
...Topik soal orang menyebalkan itu muncul lagi, pikirku, sambil teringat hari itu aku mencium bau parfum dari Yamamoto, lalu marah besar dan kabur dari rumah.
Oh, begitu. Jadi cewek yang menempelkan bau parfum di baju Yamamoto waktu itu adalah si Irie.
“Irie-chan bilang mau ketemu kamu lagi, loh.
Kiw kiw.”
Aku melotot lagi ke Yamamoto. Dia tampak jengkel dan menghela napas panjang.
“Kalau begitu, tolong sampaikan penolakan dariku secara halus.”
“Loh? Kenapa? Apa dia bukan tipemu?”
“...Yah, begitulah.”
Yamamoto menjawab dengan ragu.
Aku senang dia tidak tertarik pada si Irie itu.
Tapi, jujur saja, aku ingin dia bilang “Nggak tertarik” dengan lebih tegas (marah).
“...Oh gitu. Yah, sepertinya kamu lagi nggak niat cari pacar, ya?”
“...No komen.”
“Ngomong-ngomong, kalau aku sih, sekarang sama sekali nggak niat cari pacar.”
...!
Kalau dia tidak niat cari pacar, itu artinya tidak ada laki-laki di sekitarnya yang memenuhi kriteria Akari.
...Berarti Yamamoto, tidak termasuk dalam target percintaan Akari, ‘kan.
...Kalau begitu, biarpun aku pacaran dengan Yamamoto, itu tidak berarti aku merusak hubungan Yamamoto dan Akari, dan juga tidak berarti aku mengganggu mereka!
“Kalau Megu, gimana?”
“...Eh?”
“Sekarang, ada orang yang ingin kamu pacari?”
“...Eeeeeeeh!?”
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku sendiri, Akari melemparkan umpan mematikan padaku.
Aku jadi panik. Bagaimana ini?
Mengelak, atau jujur.
...Akan kukatakan.
Aku benci menyembunyikan sesuatu... Aku juga tidak becus menjalani waktu dengan tenang sambil memendam rasa galau. Selama ini pun, aku selalu mengatakan apa yang kupikirkan.
Bodo amat apa yang akan terjadi nanti!
Di tempat ini, akan kuselesaikan semuanya...!
“...S-Sekarang aku lagi masa berkabung.”
...Nggak bisa, deh.
Memikirkan kemungkinan ditolak Yamamoto, aku tidak mungkin bisa mengatakannya semudah itu...
Maaf, Ayah. Aku menjadikan Ayah sebagai alasan.
“Kalau begitu, setelah 49 hari (masa berkabung), ada orang yang ingin kamu pacari?”
“E-Eeeh!?”
“Woi, nggak sopan, tahu.”
“...Ehehe. Maaf, maaf.”
Berkat bantuan Yamamoto, aku berhasil lolos dari bahaya.
“Bagaimana kalau kita mulai pesta nabe-nya? Sudah mau jam dua, nih.”
“Ah, iya juga. Ayo, kita mulai.”
“...Dasar. Bilangnya mau datang jam dua belas, tapi telat lebih dari satu jam.”
“Maaf, maaf. Aku bingung mau pakai baju apa.”
...Eh?
Akari, tadi kan kamu bilang lagi nggak mau cari pacar.
Apa kamu dandan... karena mau ketemu Yamamoto?
“Aku dandan karena mau ketemu Megu!”
...Oh, begitu. Demi aku, ya.
...Tiba-tiba aku kepikiran. Jangan-jangan Akari suka padaku?
Kadang-kadang, perasaan Akari padaku rasanya melebihi perasaan pada sahabat...
...
...Nggak mungkin, ‘kan.
“Oke, ayo kita siapkan nabe-nya.”
Aku bangkit dan mulai bersiap.
“Sebenarnya, sambil menunggu Akari, sebagian besar persiapannya sudah selesai, sih. Tinggal dipanaskan.”
“Uuuh... maaf.”
“Nggak apa-apa.”
Selagi Akari belum datang, aku bisa memasak berdua dengan Yamamoto.
Aku bisa menggoda Yamamoto, yang memegang pisau dengan kaku, ‘Kamu yakin bisa masak sendiri selama aku nggak ada?’...
Dan Yamamoto juga bilang padaku, ‘Belakangan ini urusan masak jadi kuserahkan padamu terus, ya,’ atau, ‘Aku senang bisa makan masakanmu lagi.’
Terus aku keasyikan sampai jariku teriris... ‘Aduh!’
Y-Yah, setelah itu Yamamoto langsung mengambilkan plester. Tapi plesternya kupasang sendiri. Habisnya malu, jariku gemetaran, nanti malah dicurigai Yamamoto...
P-Pokoknya, kesimpulannya, rasanya seperti jadi pengantin baru, dan sangat menyenangkan. Ya.
“Ngomong-ngomong, nggak ada wajan takoyaki, tapi kok ada panci nabe, ya?”
Tanya Akari, yang tetap di ruang keluarga, pada Yamamoto yang juga di sana.
“Hm? Oh, nabe kan standar buat yang tinggal sendiri.”
“Tapi untuk ukuran tinggal sendiri, pancinya besar, ya.”
“...”
“Jangan-jangan, kamu sengaja beli karena aku bilang mau pesta nabe?”
“...Bukan.”
“Wah, nggak pintar bohong, ya. Kayak dulu.”
“...Kamu juga, kayak dulu ya, suka banget godain orang.”
Mendengar obrolan mereka berdua, hatiku sedikit berdesir.
Baru kemarin aku bilang mau mencomblangkan Yamamoto dengan Akari... tapi jujur, melihat hubungan mereka sekarang, rasanya mereka sudah akrab biarpun tanpa bantuanku.
Sebenarnya, bagaimana ceritanya mereka berdua bisa berteman waktu SMA?
“Megu, ada yang bisa kubantu?”
Setelah asyik mengobrol dengan Yamamoto, Akari bertanya padaku.
“Hm? Nggak apa-apa, kok.”
Pancinya tinggal dipanaskan, rasanya tidak ada yang perlu dibantu.
“Oh gitu? Padahal aku mau bantu-bantu sekalian modusin Megu...”
“...Kalau gitu, bisa tolong siapkan nasi di mangkuk?”
“Eh? Kalau gitu kan nggak bisa modusin Megu!”
“Kalau gitu, mau modus-modusan aja tanpa bantu-bantu?”
“I-Itu nggak boleh, dong! Nggak baik!”
...Aku tidak mengerti logikanya, kenapa modus sambil bantu-bantu itu boleh, tapi modus terang-terangan itu tidak baik.
“Kalau gitu, biar aku yang siapkan nasinya.”
“Loh? Masa aku disuruh santai-santai aja di ruang keluarga?”
“Kamu kan tamu. Terima saja dilayani.”
“Benar, tuh.”
“Hmph. Kalian berdua jahat.”
...Padahal kami sedang melayaninya?
“Kalau begini, aku obrak-abrik bawah kasur aja, ah.”
“Kenapa?”
“Mencari tahu fetish Yamamoto-kun.”
“Enggak ada barang aneh di sana. Tapi kamu bakal ku-blacklist dari rumah, ya. Nggak boleh menginjakkan di sini lagi.”
“Loh? Terus kamu simpan di mana?”
“Dengar, nggak?”
“Di dalam tablet.”
Aku teringat Yamamoto pernah menyimpan video aneh di tabletnya, jadi aku keceplosan.
“Ah, maaf.”
Sambil meminta maaf tanpa rasa bersalah, aku jadi terpikir, bagaimana cara Yamamoto melampiaskannya, ya, selama tinggal di rumah ini. Tapi, aku berhenti memikirkannya.
Dulu, aku mungkin akan menggodanya, “Kalau kamu memohon, mungkin akan kulayani,” tapi sekarang, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau sampai marah.
“...Tablet? Mana? Mana?”
“...Tolong, hentikan.”
“Iya, tuh. Kasihan, ‘kan.”
Kalau sampai di tablet yang dipakai Yamamoto sekarang ada video aneh, mungkin... aku akan membunuh Yamamoto, lalu bunuh diri.
“Yah, kalau Megu yang bilang.”
“Kamu harus berterimakasih, loh, Yamamoto.”
“Kamu kan yang menodongkan pisau ke leherku?”
Ucap Yamamoto dengan jengah.
“Yamamoto-kun, kamu nggak boleh melawan Megu, loh.”
Lanjut Akari dengan nada riang.
“Bisa tinggal bareng Megu saja sudah merupakan sebuah mukjizat. Kamu harusnya sungkem sama Megu.”
“...Akari.”
“Apa? Megu?”
“...Jangan... jelek-jelekkan Yamamoto.”
Aku berniat mengatakannya dengan tenang, tapi nadaku malah meninggi. Apa boleh buat. Aku tidak bisa tinggal diam mendengar ucapan Akari.
Lagi pula, siapa yang menyewa rumah ini.
Siapa yang tidak punya uang sepeser pun dan kebingungan tidak punya tempat tujuan.
Siapa yang punya banyak masalah.
...Ucapan Akari benar-benar keterlaluan.
Kehidupan kami ini bisa berjalan berkat kemurahan hati Yamamoto.
Karena ada Yamamoto, makanya ada aku yang sekarang.
...Sekalipun itu Akari.
Biarpun aku tahu Akari cuma bergurau...
Aku tidak bisa membiarkannya menjelek-jelekkan Yamamoto.
...Hatiku yang panas tadi, mendingin oleh udara ruangan yang tiba-tiba menjadi hening.
“B-Bukan... Maksudku bukan begitu.”
Aku buru-buru meralat.
“A-Aku cuma... nggak suka aja kalau ada yang jelek-jelekin teman serumahku, gitu...”
Kata-kataku terdengar lirih, tapi apa ini cukup untuk mengelabui mereka?
“Dikit doang...”
Yamamoto kelihatan bingung, tapi sepertinya aku berhasil mengelak.
Akari...
“...Oh gitu. Maaf, ya.”
Entah apa yang dipikirkannya, tapi dia menatapku dengan senyuman paling lembut hari ini.
“Nabe-nya sudah siap, kayaknya.”
“I-Iya, benar juga.”
Kami pun menikmati pesta nabe dalam suasana yang sedikit canggung.



Post a Comment