NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 7

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 7

Ratu yang Diundang


Siang keesokan harinya, ponselku bergetar.


“Ada pesan masuk, tuh.”


“Hm.”


Aku menjawab Yamamoto sambil sibuk mencuci piring.


Setelah selesai makan siang, Yamamoto mulai bersih-bersih seperti biasa. Seperti biasa, dia mematuhi aturan “bersih-bersih satu jam sehari” yang kami sepakati.


Hari ini, lokasi bersih-bersihnya di sekitar TV. Sebelum makan siang, Yamamoto mengusap bagian atas TV dengan jarinya, lalu memasang wajah cemberut yang kentara. Dari situ aku tahu, hari ini dia pasti akan membersihkan area itu.


Padahal, debu yang katanya menumpuk di atas TV itu, tidak terlihat oleh mataku. Itu adalah debu yang baru lolos sensor setelah diusap jari dan melewati ‘Mata Yamamoto’ yang super teliti.


Selesai mencuci piring, aku mengelap tangan dan kembali ke ruang tengah.


“Kamu bersih-bersih sampai mana, sih?”


“Basmi debu dari akarnya. Itu cara paling pasti dan cepat.”


Mendengar argumen pria yang bukan lagi teliti, tapi sudah seperti fobia itu, aku muak dan menghela napas sambil mengambil ponsel.


Yang membuat ponselku bergetar adalah Akari.


(“Kontak Maeda-kun sudah didapat.”)


Setelah pesan itu, tertera kontak Maeda.


Kalau dipikir-pikir, apa Akari sudah dapat izin dari Maeda untuk memberikan kontaknya padaku?


(“Kamu sudah dapat izin dari Maeda?”)


(“Aku dapatnya lewat teman.”)


(“Baguslah kalau begitu.”)


(“Katanya dia langsung balas, jadi kayaknya ada maunya, tuh!”)


(“Begitu. Pokoknya aku akan menghubunginya dan tanya apa besok bisa ketemu.”)


“Oke. Semangat.”


Aku merasa sedikit aneh.


Kupikir Akari pasti akan menemaniku untuk urusan ini.


...Duh, gimana, ya.


Biarpun dia teman sekelas waktu SMA, jujur aku sedikit takut kalau harus berduaan dengan cowok yang jelas-jelas punya maksud terselubung.


Urusan ini menyangkut si gila bersih-bersih itu, jadi aku tidak mungkin memintanya menemaniku...


“Uhuii, asyiknya menyedot debu pakai vakum!”


...Dia malah berteriak aneh lagi tanpa tahu perasaanku.


...Kayaknya, aku batalin aja deh ketemuannya.


Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Lagipula, aku kan baru saja jadi korban KDRT, jadi aku sedikit tidak percaya pada pria (kecuali Yamamoto, tentunya).


Aku tidak yakin apa aku bisa menghadapi cowok yang punya maksud terselubung sendirian dan bicara tanpa gentar.


...Tadinya kupikir begitu, tapi kayaknya bicara tanpa gentar itu gampang.


Kalau dipikir-pikir, aku kan dulu punya sifat keras kepala sampai dijuluki ‘Ratu’.


Maeda juga tahu sifatku waktu itu, jadi kalau kupelototi, dia pasti akan ciut sendiri.


Oke, aman.


Aku langsung mengirim pesan ke Maeda.


Mungkin karena ini hari libur, Maeda cepat membalas.


Setelah berkomunikasi singkat, akhirnya aku akan bertemu Maeda besok.


“Yamamoto.”


“Hm?”


“Aku besok mau keluar sebentar.”


“Oh, begitu. Ke mana?”


...Ngomong-ngomong, aku kan buta arah parah... apa aku bisa pergi sendirian?


Waktu pulang ke rumah kemarin saja aku salah transit. Akibatnya, Yamamoto jadi sedikit paranoid membiarkanku pergi sendirian...


Kalau aku bilang besok mau bertemu Maeda, kira-kira reaksi Yamamoto bagaimana, ya?


Mungkin dia akan bilang, “Siapa tuh?”


...Apa dia masih ingat wajah dan nama teman-teman sekelasnya waktu SMA?


“Hayashi?”


...Ah. B-Bagaimana, ya.


Setelah kupikir-pikir, aku jadi malas memberitahu Yamamoto siapa orang yang akan kutemui besok dan alasannya.


Kalau begitu, apa aku rahasiakan saja detailnya dan bilang aku akan menemui seorang pria?


Tidak, itu jelas tidak boleh. Kalau aku bilang begitu pada Yamamoto dan dia jadi menjauhiku, lebih baik aku mati.


“...Ke.”


Aku membuka mulutku dengan berat.


“Ke kantor pencarian kerja.”


“...Oh.”


Tumben aku bisa bohong dengan benar.


“Begitu. Semangat, ya.”


Dan Yamamoto menyemangatiku. Kenapa, ya, disemangati oleh orang yang kusuka bisa membuat hatiku jadi hangat begini.


Tapi, begitu memikirkannya, aku sadar aku baru saja membohongi orang yang kusuka, dan aku jadi sedikit murung.


...Keesokan harinya.


“Makan malam ada di kulkas. Jangan mandi kelamaan. Kalau mau pakai mesin cuci, pakai sisa air mandi. Terus, bersih-bersih cuma satu jam sehari!”


“Memangnya kau ibuku?”


Setelah makan siang, aku melesat keluar rumah.


Tempat pertemuanku dengan Maeda adalah kafe waralaba besar di dalam stasiun Shinjuku.


Tentu saja, aku tidak berniat lama-lama di kafe. Kalau sudah dapat info yang kumau, aku akan langsung pulang. Tapi, bisa saja ada apa-apa, jadi untuk jaga-jaga, aku sudah siapkan makan malam untuk Yamamoto.


“Oi, Hayashi!”


Di tempat pertemuan.


Lima menit sebelum waktu janjian, begitu aku masuk kafe, aku mendengar suara keras.


Seorang pria melambaikan tangan padaku dengan girang. Itu Maeda.


Aku langsung bete pada Maeda.


Berteriak keras di kafe tanpa memikirkan orang lain, benar-benar pria tidak bermoral.


Tapi, aku juga pernah melakukan hal serupa waktu SMA, jadi aku memutuskan untuk tidak menegurnya.


“Lama tidak bertemu.”


“Hm. Lama tidak bertemu.”


Sapaan yang singkat.


Padahal, waktu SMA aku benar-benar tidak punya hubungan apa pun dengan Maeda, sampai-sampai sapaan singkat ini pun terasa berlebihan.


“Padahal sudah musim gugur tapi masih panas, ya! Pesan minum yuk. Aku keringetan nih sampai sini. Pengin yang dingin-dingin.”


“Benar juga. Ayo.”


“Ah, Hayashi duduk saja. Mau minum apa?”


“...Tidak usah. Samakan saja.”


“Udah, nggak apa-apa. Cewek itu sudah sepatutnya ditraktir cowok.”


...Ah, tidak bisa.


Sok baik tapi merendahkan seperti ini, aku tak tahan. Aku jadi mual.


Kenapa, ya?


Mungkin karena teringat si pria KDRT itu.


“Udah, nggak perlu. Ayo, jalan.”


“Eh, ah... iya.”


Melihat sikapku yang keras kepala, semangat Maeda yang tadi berkobar langsung padam. Dia mengikutiku ke kasir dengan lesu.


Ngomong-ngomong, Maeda mengecat rambutnya jadi cokelat. Penampilannya juga jadi sok keren.


“Bagaimana dengan sepak bolamu?”


“Hm? Sudah berhenti.”


“Berhenti?”


“Iya. Habisnya, latihannya berat, lagipula aku memulainya juga karena dipaksa orang tua. Jadi, kuputuskan untuk berhenti begitu masuk kuliah.”


“...Jangan mengecewakan harapan orang tuamu, dong.”


Maeda terdiam lagi.


“Yah, biarpun aku tidak pantas bilang begitu.”


Malah, masa pemberontakanku dulu mungkin jauh lebih parah darinya.


“Maaf, ya. Lupakan saja.”


“...Iya.”


Semangat yang tadi ditunjukkannya di awal pertemuan sudah tidak terasa lagi dari Maeda.


Kami memesan kopi masing-masing di konter dan kembali ke meja.


Sambil melihat Maeda memasukkan sirup gula dan susu, kupikir sudah waktunya masuk ke topik utama.


“Kamu, waktu kelas satu, jadi panitia festival budaya, ‘kan?”


“Eh, ah, iya.”


“Sebenarnya, ada yang ingin kutanyakan soal festival budaya waktu itu. Makanya aku ingin bertemu denganmu.”


“...Oh, begitu.”


“Iya. Aku tanya terus terang saja, ya. Waktu itu, apa ada masalah di kepanitiaan festival budaya?”


“...Eh? Hmm, ah.”


Maeda melipat tangan dan menengadah ke langit.


Setidaknya, pasti ada masalah besar sampai acara penutupannya dibatalkan. Tapi, sepertinya topik itu tidak akan keluar dari mulut Maeda.


“...Lebih tepatnya, aku ingin tahu soal acara penutupan.”


“Acara penutupan?”


“Iya. Tahun itu, acara penutupannya dibatalkan, ‘kan.”


“Ah, benar juga.”


...Padahal dia juga panitia dan terlibat langsung, tapi sikap macam apa ini. Benar-benar seolah bukan urusannya.


Sebenarnya, apa yang dia lakukan waktu itu.


...Aku teringat, aku tidak punya hak untuk menyalahkannya, jadi aku berusaha keras menenangkan diri.


“Itu kan, katanya gara-gara si Yamamoto. Acara penutupannya batal.”


“...Begitu, ya?”


“Iya. Lagian, kamu juga pasti pernah dengar ceritanya. Gara-gara dia lupa pesan kayu bakar, api unggunnya dibatalin.”


“...Kamu ngomongnya seperti orang luar saja, ya.”


Aku menghela napas jengkel.


“Kamu kan panitia festival budaya, masa cuma tahu cerita level gosip begitu? Seharusnya kamu tahu sedikit kebenarannya, ‘kan?”


“T-Tahu dari mana?”


“Kalau begitu, kenapa kamu bisa yakin itu salah Yamamoto?”


“I-Itu...”


Maeda tergagap. Apa dia kehabisan kata-kata karena ucapanku benar?


“Tidak, tapi, kalau dia sih, mungkin saja. Habisnya, waktu aku sesekali datang ke rapat panitia, dia selalu belagu mengkritik kakak kelas.”


“...Sesekali?”


Yamamoto yang bersitegang dengan kakak kelas memang menarik perhatian, tapi yang paling menggangguku adalah ucapan Maeda yang menyiratkan dia sering bolos tugas panitia.


“Kamu cuma sesekali datang ke rapat panitia?”


“Eh? ...Iya, tentu saja aku tidak datang setiap hari. Aku kan sibuk... klub... atau apalah.”


“Seingatku, selama persiapan festival budaya, kegiatan klub dilarang, ‘kan.”


Aku mengerutkan kening.


“...A-Anak lain juga ada yang bolos tugas panitia dan ikut klub, kok.”


Jadi, dia merasa dirinya tidak salah.


“P-Pokoknya! Waktu kami sedang asyik-asyik, dia tiba-tiba sok jago mengkritik kakak kelas, merusak suasana saja!”


Ini orang...


“Makanya semua orang berpikir begitu. Waktu gosip Yamamoto lupa pesan kayu bakar beredar, semua orang pikir dia sengaja melakukannya sebagai pelampiasan karena kemauannya tidak dituruti.”


Seberapa dangkalnya orang ini...?


“...Oh.”


Aku sudah paham argumen Maeda.


“Aku kayaknya mau pulang.”


“Eh?”


“Makasih untuk hari ini. Aku dapat cerita berharga. Sangat membantu.”


“Eh? Eh... o-oi!”


Mengabaikan suara Maeda, aku meninggalkan kafe.


Setelah bertemu Maeda lagi kali ini dan mendengar cerita soal tugas panitia festival budaya waktu itu, semuanya jadi jelas.


Insiden lupa pesan kayu bakar api unggun itu, bukan salah Yamamoto sama sekali.


Bukan, masalahnya bahkan sebelum itu.


Rendahnya motivasi Maeda dan panitia festival budaya lainnya. Tipisnya rasa tanggung jawab. Dan tebalnya muka mereka, yang bisa seenaknya bilang tidak terlibat saat terjadi masalah.


Ya wajar saja human error yang tak terduga bisa terjadi. Seburuk itulah struktur organisasi yang tidak bertanggung jawab.


Yamamoto, yang berani melawan kakak kelas yang tidak serius, pasti mengerjakan tugasnya sebagai panitia dengan sungguh-sungguh.


Dan karena dia berusaha menangani semua tugas panitia sendirian, begitu terjadi kesalahan, dia yang disalahkan.


Orang yang bolos dan tidak serius tidak dihukum, tapi Yamamoto yang bekerja serius malah disalahkan...!


...Perutku terasa melilit.


Ingin terbebas dari rasa tidak nyaman ini, langkahku jadi semakin cepat.


Aku marah.


Aku tahu aku tidak punya hak untuk marah pada mereka, karena aku juga orang pertama yang menyalahkan Yamamoto waktu itu.


Jadi awalnya, aku berusaha menahan amarahku dengan akal sehat. Tapi sudah tidak bisa. Kesabaranku sudah habis.


Tidak bisa dimaafkan.


Takkan bisa kumaafkan...


...Panitia festival budaya itu kan harusnya bekerja sebagai tim.


Yamamoto kan hanya salah satu anggota.


Tapi, kenapa semua kesalahan itu dilimpahkan pada Yamamoto?


Kenapa kelalaian kakak kelas dan guru yang seharusnya mengawasi tidak disorot?


Kenapa semua orang bisa menganggap insiden itu sebagai masa lalu dan melupakannya?


...Tapi, mungkin aku salah paham.


Setidaknya, Maeda jelas sering bolos tugas panitia. Tapi, pemikiran bahwa yang lain juga punya motivasi serendah itu, itu baru dugaanku saja.


...Mungkin, aku hanya ingin membela Yamamoto, dan ingin percaya bahwa hanya dia yang mengerjakan tugas panitia dengan sungguh-sungguh.


Tapi, apa pun itu, aku harus bertemu dengan seseorang yang tahu kebenaran insiden itu.


Si Matsuo sudah bilang tidak akan memberitahuku... Akari yang selalu bisa diandalkan tidak tahu...


Apa aku tanya langsung pada Yamamoto saja... tidak, jangan.


Aku tidak mau melukainya lagi dengan masalah ini.


Yamamoto itu kuat, mungkin dia tidak terluka dengan insiden api unggun itu... tapi tetap saja, aku tidak ingin membuatnya teringat.


Tapi, kalau begitu, siapa lagi yang bisa kuandalkan...?


“Aku pulang.”


Selagi aku bingung, aku sudah sampai rumah.


“Hm? Oh, cepat juga.”


Yamamoto sepertinya baru hendak makan malam.


“Kamu sudah makan malam?”


“...”


“Hayashi?”


“Eh, ah, maaf. Belum.”


“Begitu. ...Kalau begitu, mau makan bareng?”


“...Iya.”


Atas ajakan Yamamoto, aku makan malam bersamanya.


“Ngomong-ngomong, terima kasih, ya.”


Tiba-tiba Yamamoto berterima kasih.


“Untuk apa?”


Aku tidak ingat melakukan sesuatu yang pantas diberi terima kasih.


“Kontak Kakogawa-sensei.”


“Oh.”


Ah, benar juga. Aku memberikan kontak guru itu padanya.


Aku lupa, karena aku tidak paham cara pakai ponsel dan memintanya mendaftarkannya sendiri.


...Tunggu sebentar?


Kakogawa-sensei... dijuluki Kako-chan, mulai mengajar di SMA kami sebelum kami masuk.


Kalau begitu, dia pasti... tahu soal festival budaya waktu kami kelas satu.


Dibandingkan Maeda yang tidak berguna, Kako-chan, yang posisinya sebagai guru pembimbing... mungkin bisa memberi informasi yang lebih berguna.


“Hei, Yamamoto.”


“Hm?”


“Aku, besok mau keluar lagi.”


“...Oh, begitu.”


Yamamoto menggaruk kepalanya dengan canggung.


“Yah, cari kerjanya jangan terlalu dipaksaka, ya.”


...Benar juga. Aku kan bilang pada Yamamoto, hari ini aku keluar untuk mencari kerja.


◇◇◇


Keesokan harinya, aku menelepon Kako-chan, guru yang berjasa bagiku waktu SMA.


Setelah beberapa kali dering, Kako-chan mengangkat teleponnya.


“Halo. Apa ini telepon Kakogawa-sensei?”


“Iya. Benar.”


“Sensei. Ini aku. Hayashi Megumi.”


“Eh, Megu? Loh, nomormu ganti?”


“Iya. Ada banyak kejadian soalnya.”


“Oh, ya? Eh, ya ampun. Sudah lama, ya. Ada apa?”


“Aku berencana pulang kampung. Terus kupikir, aku ingin bertemu Kako-chan setelah sekian lama.”


“Oh, begitu?”


“Iya. Makanya, apa kita bisa ketemuan di kafe atau semacamnya? Sudah mau setahun rasanya.”


Kako-chan dengan senang hati menyetujui permintaanku.


Dan kami pun janjian untuk ketemuan pada Sabtu depan di kafe lokal.


“Kalau begitu, aku berangkat.”


Pada hari Sabtu, aku duduk di kereta sambil memegang buku panduan pulang kampung yang dibuatkan Yamamoto tempo hari.


Sesuai dugaanku, di perjalanan sempat ada insiden salah naik kereta, tapi karena aku berangkat lebih awal, aku berhasil tiba tepat waktu.


“Permisi. Saya sudah ada janji.”


“Ah, Megu. Sini, sini.”


“Ah! ...Lama tidak berjumpa, Kako-chan.”


Aku merasa lega ketika berhasil bertemu Kako-chan di kafe, dan duduk di kursi.


“Megu, mau minum apa?”


“Eh, kalau begitu, teh mungkin?”


“Oke. Aku yang traktir.”


“Eh? Enggak enak, ah.”


“Tidak apa-apa, kok.”


Kako-chan adalah wali kelasku waktu kelas tiga. Usianya tahun ini 34 tahun. Senyumnya sangat menawan... Dulu aku, Akari, dan Icchan sering bergosip kalau dia pasti sangat populer sebelum menikah.


“Mau makan kue juga? Yang ini kelihatannya enak”


“Ah, nggak usah.”


“Oh, ya? Kalau begitu aku juga tidak, deh. Kalau diingat-ingat, aku kan sedang diet.”


“Diet itu bukan sesuatu yang ‘baru diingat’, ‘kan?”


Tak lama kemudian, pelayan membawakan teh dan kopi ke meja kami.


“Benar-benar sudah lama, ya. Padahal kalian baru lulus setengah tahun lebih sedikit? Tapi rasanya lama sekali.”


“Benar juga, ya. Aku juga, bertemu Kako-chan lagi setelah sekian lama rasanya rindu banget sampai mau nangis.”


“Jangan, dong. Nanti nangisnya heboh sampai bikin riasan luntur kayak waktu upacara kelulusan.”


“Ah, kan sudah kubilang lupakan soal itu...”


Aku sedikit cemberut.


Kako-chan tertawa, kelihatannya senang sekali.


“Ngomong-ngomong, kenapa kamu sempat lost contact? Biarpun begini, aku cukup khawatir, loh. Yah, aku sih percaya Megu pasti baik-baik saja.”


“...Ah.”


Aku sedikit bingung menjawab pertanyaan Kako-chan.


Seberapa banyak aku boleh bercerita pada Kako-chan?


Orang yang tahu situasiku sekarang hanya tiga orang.


Ibu.


Akari.


Dan Yamamoto.


...Aku tidak mau menceritakan situasiku secara detail selain pada kerabat atau orang yang benar-benar kupercaya.


“...Megu?”


Bagiku, Kako-chan adalah... waktu SMA, saat masa pemberontakanku parah dan aku ingin pergi dari rumah, dia memperlakukanku dengan tulus seolah menggantikan orang tuaku... dia orang yang penting.


Jelas, dia orang yang bisa kupercaya.


...Aku benar-benar dikelilingi orang-orang baik.


“Aku setelah pindah ke Tokyo punya pacar.”


“...Oh, begitu. Kamu kan manis. Pasti banyak yang deketin.”


“Terus, kami tinggal bareng.”


“Begitu. Selamat, ya.”


“...Tapi, kami putus. Aku... jadi korban KDRT. Alasanku lost contact dengan Kako-chan juga gegara ponselku dirusak sama dia...”


Aku mengusap lenganku yang sampai beberapa waktu lalu masih lebam.


...Kupikir aku sudah baik-baik saja.


Berkat Yamamoto, kupikir aku sudah mulai bisa mengatasi trauma akibat KDRT itu.


Tapi sekarang, aku nyaris tidak bisa bersuara, dan aku tidak sanggup menatap wajah Kako-chan.


Aku tidak mau Kako-chan melihat wajahku yang diambang tangis.


“Aku juga putus kuliah... Waktu itu kondisiku parah banget. ...Tapi, aku diselamatkan seseorang.”


Dia adalah pria yang paling kubenci waktu SMA.


“Dan akhirnya, aku bisa bertemu lagi dengan Kako-chan.”


“Syukurlah.”


Kako-chan mengatakannya dengan wajah lembut.


“Orang itu... apa aku kenal?”


“...Entahlah.”


“Jawabanmu ambigu, ya. Tapi kamu tidak menyangkal, jangan-jangan dia alumni sekolah kita?”


“...Yah, begitulah. Kami bertemu lagi secara kebetulan.”


Aku teringat wajah Yamamoto yang bekerja paruh waktu di minimarket larut malam, dengan wajah sedikit mengantuk.


“Terus, dia memahami situasiku dan menyembunyikanku di rumahnya. Awalnya benar-benar berat. Dia itu keras kepala, dan selalu bicara berbelit-belit.”


Sungguh, cara bicaranya yang tidak to the point itu berulang kali membuatku kesal.


“Kami bertengkar terus.”


Sampai-sampai aku khawatir tetangga sebelah akan mengadukan kami.


“Yah, biarpun dibilang bertengkar, sebenarnya aku yang misuh-misuh sendiri”


Dan setiap kali aku mengamuk... dia hanya memandangku dengan wajah bete.


“...Waktu SMA, aku sangat membencinya.”


Lalu, saat emosiku sudah mereda, dia akan memberiku es krim yang diam-diam sudah dibelinya.


“Tapi sekarang, aku benar-benar berterima kasih padanya...”


Berusaha mengambil hatiku dengan es krim, benar-benar cowok yang kikuk...


Tapi, rasa es krim yang diberikannya, rasanya sedikit lebih manis dari biasanya.


Kenapa es krim darinya terasa manis...


Itu pasti... karena cinta.


Tapi, aku belum bisa menceritakan perasaan ini pada Kako-chan. Malu soalnya.


“Hei, Megu?”


Kako-chan melanjutkan dengan wajah ragu.


“Maaf kalau aku salah... tapi... jangan-jangan, orang itu, bisa saja aku salah tebak, sih”


“...Kako-chan?”


“Jangan-jangan, orang yang menyembunyikanmu itu Yamamoto-kun?”


Aku benar-benar kaget.


Kaget karena Sensei masih ingat Yamamoto.


Kaget karena hanya dari obrolan singkat ini, Kako-chan bisa menebak orang yang menyembunyikanku adalah Yamamoto.


Kaget karena... orang yang pertama kali terlintas di benak Kako-chan sebagai penolongku adalah Yamamoto, itu artinya dia sangat menghargai Yamamoto.


Tidak, mungkin tidak aneh kalau Kako-chan menghargai Yamamoto.


Habisnya, waktu SMA, nilai ujiannya selalu bagus, dan sikapnya di kelas juga serius.


Meskipun begitu, kesan dia di mata guru-guru lain... yah, tidak sebagus nilai ujiannya. Sifatnya yang tidak manis itu sering terlihat dari sikapnya.


“...Kok tahu?”


Aku mengutarakan kekagetanku terus terang.


Kukira Kako-chan yang kukenal akan senang mendengarnya.


Tapi, wajah Kako-chan tidak nampak cerah.


“...Oh. Begitu. Syukurlah, Megu. Kamu diselamatkan oleh Yamamoto-kun.”


“...Kako-chan?”


“Kalau begitu, mungkinkah telepon dari Yamamoto-kun tempo hari, itu karena kamu?”


“...Ah. Yah, kalau maksudnya aku yang memberitahu nomor Kako-chan, sih, iya.”


“...Begitu.”


Kako-chan menunduk sejenak, lalu tersenyum pahit.


“Begitu, ya. Yah, ini mungkin karma.”


“Karma?”


“...Mendengar suara Yamamoto-kun setelah sekian lama, bikin aku teringat banyak hal.”


“Apa?”


“...Aku benar-benar sudah melakukan hal yang jahat pada Yamamoto-kun.”


Kako-chan bergumam dengan nada bersalah.


“Itu jangan-jangan, soal festival sekolah tiga tahun lalu?”


Kejadian yang membuat Kako-chan merasa bersalah pada Yamamoto. Aku hanya bisa teringat satu hal itu.


Mendengar kata-kataku, Kako-chan membelalakkan matanya.


“Loh, salah, ya?”


“...Tidak. Benar, kok.”


Kako-chan tampak mengerti.


“Jadi begitu. Kamu, naksir Yamamoto-kun, ya?”


...Hah?


“E-Enggak naksir, kok!”


Tidak, habisnya...


Habisnya kan, Kako-chan.


...Suka, sih.


Kalau ditanya seberapa suka, akhir-akhir ini kalau dia tidak ada, aku memeluk bantalnya terus. Aku menempelkan bauku di bantalnya. Sekalian aku juga mencium baunya.


Aku baru sadar, tidur siang sambil memeluk bantal Yamamoto itu rasanya luar biasa.


“Ahaha. Maaf, maaf. Aku cuma ngerasa geli aja lihat Megu, yang sewaktu SMA dijuluki ‘Ratu Arogan’ itu, sekarang jadi gadis manis yang lagi kasmaran.”


“K-Kako-chan dengar omonganku, nggak, sih?”


“Tentu saja. Sungguh, kamu tidak berubah, ya. Tak bisa jujur.”


Aku melotot ke arah Kako-chan sekuat tenaga, tapi sejak dulu itu tidak pernah mempan padanya yang lebih tua dan berpengalaman.


“Megu. Pertama, bisa beritahu aku? Kamu, sudah mencari tahu sejauh mana soal festival budaya tiga tahun lalu?”


Setelah beberapa saat, Kako-chan bertanya padaku dengan wajah serius.


“...Baru sedikit, kok. Aku baru bertanya pada salah seorang yang terlibat waktu itu.”


Setelah memberikan pengantar, aku menceritakan semua yang kutahu pada Kako-chan.


Bahwa ada gosip festival sekolah tiga tahun lalu dibatalkan gara-gara Yamamoto.


Bahwa alasan pembatalan itu, katanya sebagai pelampiasan Yamamoto pada panitia.


Tapi, aneh rasanya Yamamoto, yang hanya panitia kelas satu, harus bertanggung jawab atas kayu bakar yang tidak dipesan.


Bahwa mungkin, motivasi panitia lain waktu itu sangat rendah.


Tapi, semua ini baru dugaanku saja... dan aku sedang mencari orang yang tahu kebenarannya.


“Kako-chan, beritahu aku. Apa Kako-chan tahu kebenaran soal insiden kayu bakar itu?”


Setelah mendengar ceritaku yang panjang, Kako-chan tampak ragu sejenak.


Tapi, dia membuka mulutnya seolah sudah membulatkan tekad.


“...Aku tahu.”


“Begitu.”


Separuh hatiku merasa lega akhirnya bertemu orang yang tahu kejadiannya. Separuh lagi merasa muram karena harus mendengar cerita menyebalkan lagi.


“Pertama... iya. Mari kita perjelas hal yang paling penting.”


Kako-chan melanjutkan.


“Megu. Kamu benar. Itu, sama sekali bukan salah Yamamoto-kun.”


...Mendengar kata-kata Kako-chan, aku merasa sangat lega.


Seluruh ketegangan di tubuhku rasanya luruh, sampai aku hampir terjatuh dari sofa.


“Kamu bisa tahu, ya.”


“...Sensei ingat Maeda, ‘kan? Aku dengar darinya. Alasan-alasannya sama sekali tidak menunjukkan rasa tanggung jawab.”


“Begitu, ya.”


“Sungguh, aku sampai mau memukulnya saking tebal mukanya...”


“Jangan memukul orang.”


“...Iya.”


Aku tahu.


Aku, yang waktu itu tidak membela Yamamoto... malah, ikut andil menyebarkan kesan yang salah bahwa dialah pelakunya... aku tidak punya hak menyalahkan mereka.


“Mari kita kembali ke topik.”


“Iya.”


“Yah... kurang lebih seperti yang kamu katakan tadi. Dan ini bukan cerita yang menyenangkan.”


“...Begitu, ya.”


“Iya. Tetap mau dengar?”


...Mau dengar, atau tidak mau dengar... jujur, setengah-setengah.


Biarpun aku tahu kebenarannya sekarang, kurasa Yamamoto tidak akan senang.


“Aku mau dengar.”


Tapi, sudah sampai sejauh ini, lari tanpa mendengarkan rasanya adalah hal yang paling tidak boleh kulakukan.


“Ceritakan padaku, Kako-chan.”


Sebagai orang yang dulu mengatakan hal kejam pada Yamamoto.


Sebagai orang yang sekarang menyukai Yamamoto.


“Wajar, ‘kan, ingin tahu segalanya tentang orang yang kita sukai.”


Sama seperti orang lain, aku ingin tahu semua yang telah dilakukan Yamamoto selama ini.


“...Pada akhirnya, itu semua adalah keteledoran pihak sekolah”


Kako-chan mengatakannya dengan nada yang agak kaku.


“Pihak sekolah?”


“Tadi kamu juga bilang, ‘kan. Panitia festival budaya itu bekerja sebagai tim. Kesalahan kerja yang terjadi di organisasi, tentu saja tidak bisa dilimpahkan pada satu orang anggota. Kesalahan anggota adalah kesalahan ketua panitia, kesalahan ketua panitia adalah kesalahan guru pembimbing panitia. Dan kesalahan guru pembimbing panitia adalah kesalahan sekolah.”


Yah, itu wajar, sih.


“...Itu tradisi yang buruk.”


“Apanya?”


“Di SMA kita. Sudah jadi tradisi, guru pembimbing panitia festival budaya adalah guru yang paling muda.”


“...Begitu, ya”


“Iya. Tentu saja, guru-guru lain yang tidak bertugas juga berusaha membantu agar pekerjaan panitia berjalan lancar... tapi, waktunya sedang tidak tepat.”


“Waktunya?”


“Guru pembimbing panitia di tahun kalian masuk adalah Sakaigawa-sensei.”


Aku ingat Sakaigawa-sensei.


Guru sejarah Jepang, masih muda, suaranya pelan, dan tidak terlalu bersemangat. Bisa dibilang, dia tipe yang introvert.


“Sakaigawa-sensei baru masuk setelah pandemi berakhir, dan belum pernah sekalipun jadi guru pembimbing panitia festival budaya.”


“...Masa.”


Festival budaya setelah pandemi pasti situasinya berbeda dari sebelumnya, apa tidak terlalu berat jika langsung diserahkan padanya?


“Persiapan panitia festival budaya tahun itu, isinya hanya penundaan dan penundaan...”


“...”


“Kelihatannya Sakaigawa-sensei juga semakin tertekan dari hari ke hari, tapi guru-guru lain tidak membantunya.”


“Kenapa?”


“...Karena merepotkan, mungkin. Kalau boleh jujur.”


...Tempo hari, waktu si Matsuo bertanya cara agar festival budaya dibuka untuk umum, Yamamoto berkali-kali menyalahkan sikap ‘cari aman’ para guru. Mungkin, dia jadi tidak percaya pada guru gara-gara festival budaya waktu kelas satu.


“Waktunya tidak pas. Festival budaya kita kan diadakannya tepat sebelum ujian tengah semester? Jadi, itu masa-masa guru sibuk membuat soal ujian dan tugas lain menumpuk.”


“Tapi tetap saja...”


“Benar. Aku juga, waktu itu baru kembali dari cuti melahirkan... aku kaget melihat persiapan festival budaya yang acak-acakan. Aku berusaha membantu, tapi rasanya seperti menyiram air ke batu yang terbakar.”


“...Karena itulah, human error terjadi.”


“Kesalahan yang paling kelihatan jelas adalah kayu bakar yang tidak dipesan... tapi jujur, kesalahan terjadi di mana-mana.”


“Begitu?”


“Iya.”


“...Hei, kenapa ketua panitia tidak melakukan apa-apa dalam situasi seperti itu?” tanyaku.


“Biarpun guru pembimbingnya tidak berguna, kalau ketua panitianya becus, hasil kerjanya tidak mungkin separah itu, ‘kan? Lagipula, kali ini yang disalahkan Yamamoto, tapi normalnya, kalau ada kesalahan di festival, yang pertama kali dikritik seharusnya ketua panitia, ‘kan?”


“...Benar. Normalnya, ketua panitia juga akan bekerja mati-matian karena tahu dia yang akan disalahkan kalau ada kesalahan.”


“Kalau begitu...”


“Karena dia pikir dia tidak perlu bertanggung jawab.”


“...Hah?”


“Habisnya, ketua panitia tahun itu, hampir tidak bekerja sama sekali.”


...Maksudnya?


“Megu, waktu kamu dengar cerita Maeda-kun, kamu tidak merasa janggal?”


“Janggal?”


“Maeda-kun bilang, ‘kan? Katanya setiap kali dia ‘sesekali’ datang ke rapat panitia, Yamamoto-kun selalu melawan kakak kelas tiga.”


“...Iya”


“Kamu tidak merasa janggal?”


“Apanya?”


“Habisnya... kalau perkataan Maeda-kun benar, setiap kali datang, Yamamoto-kun selalu melawan kakak kelas tiga, itu artinya Yamamoto-kun sudah sadar sejak awal kalau pekerjaannya ngaret, ‘kan.”


“...Ah”


“Bukan cuma Yamamoto-kun. Kakak kelas yang dikritiknya juga sadar pekerjaannya ngaret. Tapi, mereka tidak melakukan apa-apa.”


“...Kenapa?”


“Karena ada Yamamoto-kun.”


...Karena ada Yamamoto?


“Megu. Kamu masih gagal paham.”


“Maksudnya?”


“Tugas Yamamoto-kun di panitia waktu itu, awalnya bukan urusan pemesanan.”


“Eh?”


...Kalau begitu, waktu aku menyalahkannya soal kayu bakar yang tidak dipesan, dan Yamamoto meminta maaf padaku... menundukkan kepalanya seolah itu salahnya...


Apa artinya Yamamoto menundukkan kepala untuk kesalahan yang bukan tugasnya...


Apa untuk melindungi orang yang berbuat salah?


Atau... jangan-jangan.


“Yamamoto-kun waktu itu, terlibat di hampir semua tugas panitia... mulai dari tugas lapangan, manajemen jadwal, koordinasi dengan klub-klub lain...”


“...”


“Sendirian.”


“Apa-apaan itu... persis seperti dugaanku.”


“Makanya, ketua panitia tidak merasa terancam biarpun pekerjaannya terhambat. Dia tahu, biarpun ada kesalahan, yang akan disalahkan adalah Yamamoto-kun yang mengurus hampir semuanya. Intinya, dia ada di posisi di mana kalau terjadi sesuatu, dia bisa berkelit, ‘Yamamoto, bukannya kau bilang ini juga akan kau kerjakan?’. Makanya, dia tidak termotivasi, membolos, dan langsung pulang begitu jam sekolah usai. Begitulah sikapnya selama masa persiapan festival.”


...Menggantikan ketua panitia yang hanya pajangan.


Bukan, bukan cuma ketua panitia. Sambil diseret oleh Maeda dan panitia lain yang tidak niat, dia bekerja sendirian.


Di tengah waktu yang mepet, melihat jadwal yang semakin molor dari hari ke hari, dia menahan rasa cemasnya, mengerjakan tugasnya dengan tenang dan teliti... tapi pada akhirnya, jadwalnya tidak pernah terkejar. Persiapan dilakukan dengan tergesa-gesa.


Kadang dia juga menegur teman-temannya.


Kalau begini terus, festivalnya akan gagal.


Kalau begini terus, nanti akan ada masalah besar di hari-H.


...Tidak ada yang mau mendengarkan peringatan Yamamoto.


Bahkan ketua panitia pun tidak menanggapinya dengan serius.


Karena semua orang tidak peduli dengan persiapan festival.


...Dan, kesalahan benar-benar terjadi.


(“Pengumuman dari panitia festival budaya”)


...Di mana Yamamoto mendengarkan siaran pengumuman itu?


(“Acara penutupan tahun ini dibatalkan. Sekali lagi. Acara penutupan tahun ini dibatalkan”)


Padahal dia sudah bekerja serius.


Padahal dia sudah membantu tugas banyak orang...


Padahal seharusnya dia yang paling berjasa...


...Tidak ada satu orang pun yang membelanya.


“Sampai nanti, Kako-chan.”


“Iya. Hubungi aku kapan saja.”


Setelah itu, kami mengobrol santai beberapa saat di kafe, lalu Kako-chan mengantarku sampai depan stasiun, dan kami berpisah.


Nah, sekarang bagian yang sulit.


Apa kali ini aku bisa pulang tanpa salah naik kereta, ya?


Setelah melewati gerbang tiket, aku duduk di bangku peron menunggu kereta berikutnya.


Saat aku sedang memainkan ponsel, bangku berderit. Sepertinya ada yang duduk di sebelahku.


“Sudah tahu?”


“Eh? Uwah!”


Tanpa sadar aku melompat.


Orang yang duduk di sebelahku, ternyata si Matsuo.


“K-Kamu... kenapa ada di sini!?”


“...Aku bisa menebaknya, kok. Apa yang dipikirkan Hayashi-senpai.”


...Biarpun, katakanlah dia bisa menebak aku akan pulang untuk menyelidiki insiden festival budaya kelas satu, tapi bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini sekarang?


Anak ini... benar-benar menyeramkan.


“Jadi, sudah tahu?”


...Si Matsuo tidak menjawab pertanyaanku, dan langsung bertanya terus terang.


“Iya. Begitulah.”


“...Begitu.”


Hening sejenak.


“Kalau begitu, apa Senpai juga sudah tahu kenapa aku tidak menceritakan kebenaran insiden itu pada Hayashi-senpai?”


“Tidak tahu”


“...”


“Tapi mungkin... karena kamu kesal, atau semacamnya.”


“Benar.”


Si Matsuo meninggikan nada suaranya.


“Benar. Tepat sekali! Padahal Senpai ada di posisi yang, biarpun tidak sengaja, ikut mendorong Yamamoto-senpai jadi pelaku kesalahan itu!”


...Dia pasti sangat ingin mengatakan ini padaku, sampai-sampai emosinya meluap.


“Senpai tidak berusaha mengerti situasinya, dan malah membencinya! Kenapa... kenapa Senpai sekarang malah tinggal bersamanya? Kenapa Senpai malah ditolong olehnya...”


Tanpa sadar, si Matsuo... menangis.


“Kamu benar. Aku tidak bisa menyangkalnya.”


“...”


“Aku juga jadi kepikiran. Apa yang sudah kulakukan padanya waktu kelas satu. Setelah melakukan hal sekejam itu, apa aku masih boleh tinggal di rumahnya?”


“...Jangan bicara hal bodoh.”


...Benar, ya. Jelas tidak boleh, ya.


“Tetaplah di sana!”


“Eh?”


“Kalau Senpai pergi sekarang, Yamamoto-senpai pasti sedih! Semua usahanya akan sia-sia! Kalau Senpai berani berbuat egois seperti itu lagi, kali ini aku benar-benar tidak akan memaafkan Senpai!”


Melihat Matsuo yang mengatakannya dengan ketus, aku tersenyum hampa.


“...Boleh, nih?”


“Apanya.”


“Aku suka padanya, loh.”


“Lantas!?”


“Bisa saja aku akan merebutnya darimu.”


“Tidak mungkin. Hayashi-senpai kan cemen!”


“B-Bisa aja, ‘kan, aku tiba-tiba berubah...”


“...Boleh saja.”


“Eh?”


“Untuk sekarang, boleh.”


...Untuk sekarang, ya.


“Karena pada akhirnya, yang akan mendampingi Yamamoto-senpai adalah aku!”


“...Ahaha. Begitu, ya.”


Rasanya beban di dadaku sedikit terangkat.


Matsuo memang bukan orang yang terlibat langsung dalam insiden itu, tapi dia orang yang paling memuja Yamamoto... di-“maafkan” olehnya, rasanya seperti sebuah penyelamatan.


“Aku, kayaknya akan minta maaf padanya.”


Tapi, aku merasa harus menyelesaikan ini.


“Iya.”


Aku harus meminta maaf padanya atas insiden yang sudah dilupakan orang lain ini.


Setidaknya, aku harus meminta maaf pada Yamamoto.


...Tidak, salah.


“Nggak jadi, deh.”


“Eh?”


“Habisnya dia, pasti... tidak mengharapkan permintaan maaf.”


Kata-kata yang dia harapkan adalah...


Bukan permintaan maaf karena aku tidak mengerti situasinya.


Bukan permintaan maaf karena aku menyalahkannya tanpa tahu apa-apa...


Bukan permintaan maaf karena membuatnya teringat pengalaman pahit itu.


Habisnya dia, tidak akan tumbang hanya karena hal sepele.


Karena dia tahu, biarpun orang terlihat sempurna, manusia tidak akan luput dari kesalahan.


Karena dia tahu, yang penting adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama.


...Dia pasti tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.


“Mungkin, yang harus kuucapkan padanya adalah, terima kasih.”


Terima kasih sudah berjuang demi kenangan kita.


Terima kasih sudah menjagaku agar tidak terpojok, padahal aku menyalahkanmu tanpa tahu apa-apa.


Dan...


Terima kasih sudah menjadikan kegagalan itu sebagai pelajaran...


Dan menyelamatkanku.


Aku akan mengucapkan banyak terima kasih.


Padanya.


Pada Yamamoto...


“Hmph. Tiba-tiba mengerti sendiri. Nggak ngerti lagi aku.”


“Maaf, maaf.”


“...Yah, sudahlah.”


Matsuo membuang muka.


“Senpai tahu kenapa aku datang ke sini hari ini?”


“Untuk memarahiku?”


“B-Bukan! Kenapa juga aku harus memarahi Hayashi-senpai!”


“Eh, habisnya... kamu suka padaku?”


“H-Hah!?”


Wajah Matsuo merah merona.


“A-Aku sama sekali ti-ti-tidak suka sama Hayashi-senpai, ya!”


“Repot juga kalau disukai kamu, jadi baguslah.”


“~~~!”


Aku menyeringai pada Matsuo yang wajahnya memerah. Astaga, aku ini jahat juga, ya.


“S-Sudahlah! Aku ke sini karena ingin Hayashi-senpai menyampaikan sesuatu pada Yamamoto-senpai!”


“...Apa?”


“Soal festival budaya.”


Aku memiringkan kepala.


“Soal pembukaan festival budaya untuk umum...”


“Ah...”


Benar juga, kita pernah ngobrolin itu, ya. Aku jawabnya ngasal.


“Jangan-jangan Hayashi-senpai lupa soal festival budaya?”


“Eh? ...E-Enggak, ah. Aku ingat, kok.”


“Mata Senpai melirik ke mana-mana, tuh. Senpai gampang banget ketahuan, ya, kalau lagi bohong.”


Matsuo menghela napas jengkel.


“...Yah, sudahlah. Pokoknya, tolong sampaikan pada Yamamoto-senpai. Berkat dia, negosiasi dengan pihak sekolah berjalan lancar”


“...Ah, jadi...”


“Iya.”


Matsuo mengangguk gembira.


“Kami berhasil membujuk pihak sekolah menyetujui pembukaan festival budaya untuk orang tua dan alumni.”


Aku teringat nasihat Yamamoto di restoran keluarga.


◇◇◇


Di restoran keluarga tempo hari, Matsuo meminta saran Yamamoto perihal cara agar festival budaya bisa dibuka untuk umum.


Matsuo tengah bernegosiasi dengan pihak sekolah untuk menghidupkan kembali tradisi festival budaya terbuka untuk umum, yang sebelumnya diizinkan sebelum pandemi.


Namun, respons sekolah sebelum dia bertemu kembali dengan Yamamoto sangatlah datar. Negosiasi dengan pihak sekolah berjalan buntu.


Yamamoto, yang mengetahui situasi Matsuo, menunjukkan tiga alasan mengapa para guru enggan membuka festival budaya untuk umum.


Pertama: “Adanya risiko kedatangan orang mencurigakan jika dibuka untuk umum.”


Kedua: “Belum ada bukti bahwa tidak akan ada masalah jika dibuka kembali untuk umum.”


Dan ketiga: “Tidak ada untungnya bagi guru untuk menyetujui pembukaan untuk umum.”


Yamamoto memberitahu Matsuo bahwa untuk mendapatkan izin dari pihak guru, ketiga masalah ini harus diselesaikan.


Dan dia juga menyampaikan pandangannya tentang apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ketiga masalah tersebut.


Di restoran keluarga, aku, yang mendengarkan percakapan mereka sebagai pihak ketiga, merasa kagum dengan kecerdasan Yamamoto.


“Lupakan soal pembukaan untuk umum.”


Di tengah kekagumanku, Yamamoto mengucapkan sesuatu yang membuatku ingin berkata, “Kembalikan kekagumanku.”


Jujur, aku tidak mengerti maksud ucapannya. Di saat-saat seperti ini, mengatakan “Lupakan soal pembukaan untuk umum”... bukankah itu pernyataan yang membalikkan semua pembicaraan sebelumnya?


“Yamamoto, jawab yang serius, dong.”


Awalnya, kupikir Yamamoto tiba-tiba bercanda. Karena dia dari tadi bicara dengan nada serius, kupikir dia mungkin tiba-tiba ingin melawak.


“Jangan konyol. Aku serius.”


Namun, ekspresi serius Yamamoto tidak berubah.


...Wajah tegang Yamamoto terlihat keren, pikirku, tapi di saat yang sama, aku tetap tidak mengerti kenapa Yamamoto mengatakan “Lupakan soal pembukaan untuk umum.”


“Senpai, maaf. Aku tidak berpikir Senpai bercanda, tapi aku juga tidak mengerti maksudmu.”


Matsuo, mungkin tidak ingin merusak suasana hati pria yang disukainya, dan menyusun kata-katanya dengan hati-hati.


“Gampang, ‘kan. Jujur, membuka festival budaya untuk umum itu kenyataannya memang punya risiko besar. Makanya, lupakan saja.”


Ya, seperti yang Yamamoto katakan, membuka festival budaya untuk umum bisa dibilang merupakan tindakan ceroboh, mengingat pihak sekolah, yang kini lebih waspada terhadap penyusup, justru secara sengaja mengundang orang-orang berisiko.


Meskipun kondisi sosial sebelum pandemi mengizinkan, kupikir cara berpikir itu tidak berlaku lagi sekarang.


Namun tetap saja, kesimpulan ini terlalu menepis mentah-mentah, berbeda dengan sarannya yang penuh simpati pada Matsuo sebelumnya.


“Tapi, biarpun begitu, aku tidak bisa menyerah begitu saja untuk membuka festival budaya untuk umum.”


Meskipun Yamamoto menjelaskan bahwa tujuannya sulit diwujudkan, Matsuo tetap keras kepala.


“Yah, aku mengerti perasaanmu yang tidak mau menyerah di tengah jalan.”


Yamamoto mengangkat bahu.


“Menyelesaikan apa yang sudah dimulai itu penting. Terkadang, kesuksesan terjadi karena kita teguh pada pendirian.”


“Kalau begitu...!”


“Tapi, waktu menuju festival budaya semakin menipis. Kalau kamu hanya terus mengulang-ulang argumenmu, bisa dibayangkan ujung-ujungnya takkan menghasilkan apa-apa.”


“...Bukan begitu.”


“Matsuo, mengingat waktu yang tersisa, sudah saatnya kamu mundur. Ubah cara pandangmu.”


Untuk sesaat, Matsuo tampak larut dalam pikirannya.


Namun, setelah didesak sejauh ini oleh Senpai yang dicintainya, dia sepertinya sudah membulatkan tekad untuk menyerah.


“...Baik.”


Matsuo terlihat sangat sedih.


“...Syukurlah. Kamu berpikiran fleksibel.”


“...Tapi, meski begitu, aku masih... sangat kesal.”


Matsuo bergumam pelan.


“Sampai sekarang... aku selalu menjadikan pembukaan festival budaya untuk umum sebagai tujuanku.”


Melihat Matsuo yang begitu terpuruk, aku yang merupakan saingan cintanya pun merasa sedikit kasihan.


“Aku menjadi ketua panitia festival budaya karena ingin membukanya untuk umum.”


Aku sedikit bersimpati padanya.


“Aku ingin mewujudkannya... demi semua orang yang telah percaya dan mengikutiku.”


Tapi, aku juga sedikit berpikir, mungkin ini yang terbaik.


“Matsuo. Masih banyak yang harus dikerjakan sebelum festival budaya, ‘kan. Tidak ada waktu untuk murung.”


Yang memberikan pukulan telak pada Matsuo adalah Yamamoto sendiri. Mungkin itu satu-satunya penyelamat baginya.


“Lagipula, aku bilang lupakan ‘pembukaan untuk umum’, tapi aku tidak bilang laksanakan festival budaya tahun ini hanya untuk siswa seperti tahun-tahun sebelumnya.”


...Hm?


“Hah?”


Itulah saat perasaanku dan Matsuo bersatu.


“Seperti yang kubilang tadi, pembukaan untuk umum berisiko harus berhadapan dengan orang mencurigakan. Makanya, guru-guru sangat enggan memasukkan orang yang tidak jelas asal-usulnya ke dalam sekolah. Jadi, lupakan soal pembukaan untuk umum.”


Meninggalkan kami yang memasang wajah cengo, Yamamoto melanjutkan.


“Tapi, kalau memasukkan orang yang asal-usulnya jelas ke dalam sekolah, guru-guru mungkin masih mau setuju.”


“...Artinya?”


“Matsuo, lupakan ‘pembukaan untuk umum’. Sebagai gantinya, mulai sekarang, bidik ‘pembukaan untuk wali murid dan alumni’.”


“...”


“Wali murid dan alumni kan bisa dibilang seperti keluarga sendiri. Rintangannya jelas jauh lebih rendah daripada dibuka untuk umum.”


“...”


“Bagimu ini mungkin bukan hasil seratus poin, tapi setidaknya bisa dapat delapan puluh poin, ‘kan?”


“...Senpai.”


Matsuo perlahan membuka mulutnya.


“Cara bicaramu nyebelin banget.”


Suaranya terdengar sedikit marah.


Yah, aku juga, kali ini... merasa cara bicara Yamamoto memang bermasalah.


Kalau memang punya rencana alternatif, apa perlu mengatakannya dengan cara yang seolah-olah menepis mentah-mentah sampai mematahkan semangat lawan bicaranya?


Yah, mungkin saja, itu cara Yamamoto menguji keseriusan adik kelasnya, sengaja memberinya keputusan yang berat.


“Maaf. Di tengah-tengah tadi aku jadi keasyikan.”


Yamamoto meminta maaf dengan jujur. Alasannya ternyata lebih brengsek dari yang kukira.


“Iih! Tapi yang boleh diperlakukan begini, cuma aku saja, oke?”


“Oi. Jangan genit.”


“S-Suaranya jangan nyeremin gitu, dong. Hayashi-senpai...”


Merasakan suasananya yang mulai genit, aku langsung mengubah atmosfer di sana jadi tegang dengan suara beratku, tanpa memberinya kesempatan berkedip sedikit pun.


“Yah, aku sebenarnya ingin tahu apa tujuanmu membuka festival budaya untuk wali murid atau alumni.”


Mendengar ucapan Yamamoto, Matsuo memiringkan kepalanya dengan manis.


“Kan tadi sudah kutanya berkali-kali? Kenapa kau ingin membuka festival budaya untuk umum.”


Oh, begitu.


Kalau saja Matsuo menjelaskan dengan gamblang alasannya ingin membuka festival untuk umum, Yamamoto mungkin akan langsung memberikan rencana alternatif tanpa berbelit-belit.


Tapi, karena Matsuo mengelak saat ditanya alasannya, Yamamoto jadi ingin sedikit jahil.


“Jahat.”


“Jangan melotot, Hayashi.”


Yamamoto tidak mau menatap mataku.


“Jadi, bagaimana? Apa kau masih tidak puas kalau festivalnya dibuka untuk wali murid dan alumni?”


“...Tidak.”


Matsuo menunduk dan menggelengkan kepalanya beberapa kali.


“Aku puas.”


“Syukurlah kalau begitu.”


Yamamoto menghela napas lega.


...Sosok Yamamoto sekarang, sedikit mengingatkanku padanya saat aku memintanya menemaniku ke polisi ketika aku kabur dari cengkeraman si pria KDRT.


“Jadi... boleh aku tambah lagi tugas panitianya?”


“Maksudnya?”


“Biarpun dibuka untuk wali murid dan alumni... kalau tidak disediakan tempat resepsionis untuk mengecek identitas, jadi tak ada bedanya, ‘kan, dengan memasukkan orang tak dikenal?”


“Jadi, kita harus siapkan loket di gerbang sekolah untuk mengecek identitas wali murid dan alumni, ya.”


“Benar. Tapi, selain menyiapkan itu, kurasa kita juga perlu menyiapkan cara untuk menghindari masalah.”


“Menghindari masalah?”


“Wali murid datang untuk melihat aktivitas anak-anak mereka di sekolah, alumni datang untuk melihat almamater mereka. Intinya, mereka datang dengan santai. Kalau mereka yang datang dengan santai malah dicek identitasnya dengan ketat... sebagian orang mungkin akan tersinggung dan bisa jadi sumber masalah.”


Benar juga.


Contohnya, kalau kereta yang biasanya bisa dinaiki tanpa syarat apa pun tiba-tiba memberlakukan pemeriksaan barang bawaan, biarpun alasannya demi keselamatan penumpang, pasti akan ada orang yang mengeluh karena ngeribetin... argumen Yamamoto memang ada benarnya.


“Makanya, kita perlu cara untuk menghindari masalah, ya.”


“Benar. Jadi... misalnya, bagaimana kalau metode pengecekannya dibuat seolah-olah angket?”


“Tapi, kalau angket kan sifatnya sukarela?”


“Makanya, sebagai ganti mengisi angket, kita siapkan sesuatu yang membuat semua orang senang. Dengan begitu, sebagian besar orang pasti mau mengisi angket, ‘kan?”


“Sesuatu yang membuat semua orang senang?”


“Misalnya, kupon belanja yang bisa dipakai di stan setiap kelas.”


Oh, iya. Di festival budaya sekolah kami dulu ada sistem di mana penjualan stan kelas dihitung, dan tiga besar akan diberi penghargaan.


“...Boleh juga, sih, tapi sejujurnya, kayaknya bakal repot pas menghitungnya nanti.”


Matsuo sepertinya kurang antusias.


“Aku juga merasa itu ide buruk. Uang pendapatan stan kan akhirnya dipakai untuk pesta penutupan? Kalau sebagian uang yang mereka dapatkan tiba-tiba berubah jadi kupon kertas misterius, semua orang pasti kesal.”


...Ngomong-ngomong, aku baru ingat, selama tiga tahun, aku tidak pernah sekalipun melihat Yamamoto ikut pesta penutupan festival budaya.


“Kalau begitu, bagaimana kalau kertas voting popularitas?”


“Kertas voting popularitas?”


“Iya. Di festival budaya tahun lalu kan yang dikasih peringkat hanya kategori penjualan stan. Kita tambah satu kategori lagi... kategori voting popularitas dari luar. Lalu, wali murid dan alumni yang datang dan mengisi angket, kita beri kertas voting untuk dimasukkan ke kotak suara yang disebar di sekolah, lalu dihitung sebelum upacara penutupan.”


“Itu... kedengarannya menarik.” Kataku.


Benar juga, aku pernah lihat di aplikasi video, orang Jepang itu suka sekali membuat peringkat, mulai dari peringkat sumo dan lain-lain.


Kalau ada kertas voting seperti yang diusulkan Yamamoto, wali murid mungkin akan bersemangat membantu agar kelas anak mereka dapat peringkat tinggi.


“...Tapi, itu kan tetap sukarela, jadi mungkin saja ada yang menolak?”


“Tapi, kurasa sebagian besar akan mau mengisinya.”


“Kenapa?”


“Habisnya, semua pengunjungnya kan punya anak atau kenalan di sekolah ini.”


“...Yah, benar juga, sih.”


“Artinya, mereka pasti berpikir tidak bisa berbuat seenaknya di lingkungan tempat anak atau kenalan mereka berada.”


“Yah, orang tuaku sih tidak akan begitu.”


“Orang tuaku juga.”


Meskipun ayahku kolot, dia bukan tipe orang tua yang sengaja membuat keributan yang akan membuat anaknya dikucilkan di sekolah.


“Selain itu, siswa di sekolah pasti akan meminta para pengunjung untuk mengisi kertas voting demi peringkat kelas mereka. Para pengunjung juga, kalau hanya mengisi angket saja bisa membantu, mereka pasti akan mengisinya dengan senang hati.”


“Simbiosis mutualisme, ya.”


“...Yah, mungkin ini cuma teori di atas meja.”


Yamamoto mengatakan sesuatu yang bernada lemah.


“Kalau benar-benar dilakukan, ini kan hal baru, jadi pasti akan ada banyak masalah. Tapi, kalau kalian bisa menunjukkan pada guru-guru bahwa kalian sudah memikirkan berbagai cara untuk menghindari masalah dan ide-ide baru, mereka mungkin akan sedikit tertarik.”


“...Iya.”


Matsuo mengangguk pelan, tampak terkesan.


Di lubuk hatinya dia mungkin berpikir, ‘Mengandalkan Yamamoto memang keputusan yang tepat.’


Yah, aku saja, yang awalnya berpikir tujuan Matsuo sulit diwujudkan, sekarang mulai berpikir itu bisa saja terwujud... Yamamoto memang pria yang hebat.


“Senpai, terima kasih.”


Hanya saja... ada satu keraguan yang tersisa di benakku.


Bukan soal ide Yamamoto untuk membuka festival bagi wali murid dan alumni. Mungkin keraguan ini akan sirna seiring berjalannya waktu jika aku tidak memikirkannya.


Pada akhirnya, kenapa Matsuo sengotot itu ingin menghidupkan kembali tradisi pembukaan festival budaya untuk umum?


◇◇◇


“Baguslah. Usahamu terbayar, ya.”


Aku mengucapkan selamat pada Matsuo, yang berhasil mendapatkan izin membuka festival budaya untuk wali murid dan alumni.


“...Dibilang begitu sama Hayashi-senpai, aku nggak senang sedikit pun!”


Sambil bilang begitu, pipi Matsuo sedikit memerah. Sudut bibirnya juga kelihatan ditahan-tahan agar tidak naik.


...Loh, kayaknya anak ini gampang ditebak, ya?


“...J-Jadi, tolong sampaikan pada Senpai. Bilang, ‘Datang, ya, ke festival budayanya’.”


“Ke Yamamoto?”


“Iya. ...Aku, ingin sekali Senpai datang.”


...Ke Yamamoto?


...


...


Ah, jadi begitu.


“Kamu ingin Yamamoto datang ke festival budaya, makanya kamu berusaha membukanya untuk umum, ya?”


Satu-satunya keraguan yang tidak terjawab saat di restoran keluarga, akhirnya terjawab di sini.


Begitu, toh. Jadi Matsuo ingin Yamamoto tercintanya datang ke festival, makanya dia meminta izin sekolah agar dibuka untuk umum.


Begitu, ya. Kalau begitu, wajar saja Matsuo tidak mau menceritakan alasannya pada Yamamoto.


“B-Bukan begitu!”


Matsuo jelas panik.


“Terus kenapa?”


“I-Itu...”


“Hei, kasih tahu aku, dong. Kita kan sudah sama-sama mikir keras demi membuka festival ini untuk umum.”


“...Soal itu, Hayashi-senpai tidak berjasa sedikit pun.”


Ehehe, benar juga, ya.


Yah, dalam kasus ini, yang paling berjasa adalah Yamamoto.


Tapi... mungkin kalau Matsuo berterima kasih pada Yamamoto...


Dia pasti akan bilang: “Festival budaya bisa dibuka untuk wali murid dan alumni itu berkat jasamu. Soalnya, aku kan sekedar ngasih ide.”


...Gawat. Imajinasi Yamamoto di kepalaku... atau, Imaginary Yamamoto-ku, terlalu detail. Sebentar lagi bisa melampaui wujud aslinya.


“...Sebenarnya, ada yang mengganjal.”


Setelah beberapa saat, Matsuo membuka mulutnya dengan ragu.


“Mengganjal?”


“Iya.”


Matsuo mengangguk.


“Rapat ketiga dengan pihak sekolah, rasanya berjalan terlalu lancar.”


“...Lantas?”


Aku memiringkan kepala.


Apa yang mengganjal dari itu?


Bukankah itu artinya rencana yang diusulkan Yamamoto berhasil?


“Tentu saja, aku tahu rencana Senpai itu sempurna.”


Matsuo memberi pengantar.


“Tapi... di dua pertemuan sebelumnya, guru-guru itu sama sekali tidak mendengarkan. Memang, materi presentasinya jadi luar biasa berkat konsultasi dengan Senpai. Tapi tidak ada sesi tanya jawab sama sekali, dan begitu penjelasanku selesai, tiba-tiba diputuskan, ‘Oke, kita lakukan,’ itu aneh banget.”


...Aku tidak ikut dalam tiga pertemuan yang dihadiri Matsuo, jadi aku tidak tahu bagaimana suasana setiap pertemuannya.


Tapi memang, kalau hanya di pertemuan ketiga tiba-tiba keputusannya diambil tanpa tanya jawab, aku bisa paham maksud Matsuo.


“Hayashi-senpai, apa akhir-akhir ini Yamamoto-senpai berperilaku aneh?”


“Kenapa tanya padaku?”


“Karena, biarpun aku tidak terima, kalian tinggal bareng.”


“Oh, gitu...”


Meskipun tidak puas, aku mencoba memikirkan apa akhir-akhir ini Yamamoto menunjukkan perilaku aneh seperti yang dikatakan Matsuo.


Aku menengadah ke langit sejenak...


“Hmm. Nggak kepikiran.”


Aku langsung menyerah.


“Sesekali, coba ingat dengan lebih serius, dong!”  


“Apa maksudmu ‘sesekali’? Memangnya aku biasanya nggak pernah mikir serius?”


“Memangnya salah?”


“Jangan bodoh! Orang baru akan marah kalau yang dibilang itu emang bener!”


Tidak ada orang yang tidak kesal kalau kenyataannya diungkap. Paham?


...Yah, bercanda, sih, tapi benar-benar nggak kepikiran.


“Tetap tidak bisa, ya?”


“Iya. Lagipula, kenapa kamu berpikir rapat ketiga berjalan lancar itu ada hubungannya dengan Yamamoto?”


“Habisnya, aku nggak kepikiran kenalan lain selain Senpai, yang kelihatannya suka bergerak di balik layar tanpa sepengetahuanku...”


“Kamu ternyata nggak ada sungkan-sungkannya sama Yamamoto, ya.”


Aku jengkel.


“Hmm... Benar-benar nggak kepikiran. Akhir-akhir ini, aku terlalu fokus memikirkan festival budaya kelas satu, jadi mungkin aku kurang memperhatikan Yamamoto.”


“...Ngomong-ngomong, kenapa Hayashi-senpai hari ini ketemuan sama Kakogawa-sensei?”


“Eh?”


Benar juga, kenapa, ya?


“Seingatku... untuk mencari tahu kebenaran festival budaya kelas satu, aku bertemu mantan teman sekelasku, namanya Maeda, tapi tak ada hasil.”


Aku kembali menengadah ke langit.


“Terus, aku ingat, aku baru saja ngasih nomor Kako-chan ke Yamamoto... Ah.”


Aku akhirnya teringat.


Bahwa Yamamoto menanyakan nomor telepon Kako-chan.


“...Ngomong-ngomong, siapa guru penanggung jawab panitia festival budaya tahun ini?”


“Kurasa Senpai takkan kenal biarpun kusebut namanya. Guru baru.”


“Oh.”


Percakapan santai Yamamoto dan Matsuo di restoran keluarga...


“...Mendengar suara Yamamoto-kun setelah sekian lama, aku jadi teringat... banyak hal.”


Dan, ucapan Kako-chan tadi... setelah mengingat semuanya, aku akhirnya sadar.


“...Begitu. Jadi Kakogawa-sensei adalah mata-mata Yamamoto-senpai.”


Matsuo, yang mendengar gumamanku, sepertinya juga sadar.


“...Baru kepikiran sekarang, tidak mungkin seorang Yamamoto mau berinisiatif menghubungi gurunya waktu SMA.”


“Alasan dia menelepon mungkin untuk menyokongku yang sedang memperjuangkan pembukaan festival budaya.”


“Yamamoto kan orangnya sangat hati-hati... biarpun dia sudah memberimu berbagai strategi, mungkin dia merasa itu masih kurang untuk membuat guru-guru tertarik.”


“Perasaan itu, jujur aku juga memahaminya. Aku juga, waktu merangkum materi, sempat cemas apa proposal dari Senpai saja cukup untuk membuat mereka setuju.”


“Begitu, ya?”


“Iya. ...Habisnya, ini kan hal baru. Kalau guru-guru sama sekali tak berniat menyetujuinya, mereka pasti akan mencari-cari kesalahan sekecil apa pun.”


Jika di rapat itu Matsuo dicecar pertanyaan detail oleh guru dan tidak bisa menjawab, tamat sudah. Diskusi dibubarkan, dan izin pembukaan festival takkan turun di rapat ketiga itu.


Bagi Yamamoto, mendapatkan persetujuan guru di rapat kali ini, saat materi negosiasi sudah cukup terkumpul, adalah suatu keharusan. Karena, kalau sampai diadakan rapat keempat, rintangan yang akan diberikan guru-guru pasti akan lebih tinggi lagi daripada di rapat ketiga.


“...Kako-chan, bagi Yamamoto, adalah partner terbaik, ya.”


“Benar. Kakogawa-sensei ramah, baik hati, peka... aku juga sering melihat guru-guru pria menggodanya.”


“Uek, najis. Dia sudah menikah, tahu.”


“Mulutmu jahat banget, Hayashi-senpai.”


Aku merinding, sampai-sampai...


“T-Tapi mungkin, bukan cuma karena kepribadiannya.”


Aku berdeham dan kembali ke topik.


“Mungkin, fakta bahwa Kako-chan bukan guru pembimbing panitia tahun ini juga jadi poin plus bagi Yamamoto.”


“...Begitu, ya. Kalau guru pembimbing panitia mendukung permintaan panitia, itu wajar. Tapi kalau guru dari luar panitia ikut mendukung, pihak guru lain juga tidak bisa mengabaikannya.”


“Iya.”


Aku mengangguk, dan berpikir.


“...Orang itu, seberapa jauh dia memikirkan semuanya.”


Aku jadi sedikit ngeri pada Yamamoto.


“Agak nyeremin, ya.”


Sepertinya Matsuo juga merasakan hal yang sama.


“...Tapi, memikirkan dia diam-diam bergerak di balik layar demi aku, rasanya aku nggak keberatan, kok.”


Tapi... Matsuo memang bukan cewek biasa.


“Justru... rasanya, ‘Lihat! Yamamoto-senpaiku sehebat ini, loh!’”


Matsuo membusungkan dada ratanya dengan bangga.


Jujur, ucapan itu sedikit membuatku kesal.


“Dia bukan milikmu.”


“Mungkin untuk sekarang.”


“...”


“Tapi kelak, kalau dia mau mendampingku... aku sudah cukup senang.”


Matsuo tersenyum cerah.


Jujur, itu bukan ucapan yang bisa dilontarkan sembarangan. Habisnya, ucapan Matsuo itu, bisa berarti ‘Untuk sekarang, dia bebas pacaran dengan siapa saja.’ Melihat orang yang kita sukai bermesraan dengan orang lain... normalnya, itu tidak bisa ditolerir, kapan pun itu.


Tapi, dia bisa mentolerir hal itu pada Yamamoto.


Karena dia berhati besar?


Bukan, salah...


Itu karena... dia begitu memuja Yamamoto.


...Yah, tapi, kalau melihat sepak terjang Yamamoto di insiden festival budaya kelas satu dan di kasus pembukaan festival kali ini, aku jadi sedikit mengerti kenapa dia bisa sebegitunya memuja Yamamoto.


Mentalitasnya, mungkin harus kucamkan juga.


...Tapi aku langsung sadar itu tidak mungkin.


Habisnya, aku, berbeda dengannya, punya rasa ingin memiliki yang kuat.


Aku tidak tahan kalau orang yang kusayangi direbut orang lain.


Dan yang terpenting...


Karena aku sangat menyukai Yamamoto, sampai-sampai aku tidak mau menyerahkannya pada siapa pun.


“Pokoknya, aku akan pergi ke festival budaya bersamanya, bersama Yamamoto.”


Aku sengaja menekankan bagian ‘bersama Yamamoto’.


“...Fufu. Kutunggu kedatangannya, Hayashi-senpai.”


Matsuo tersenyum licik.


...Sayang sekali. Kukira aku bisa membuatnya sedikit lebih marah.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close