Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 6
Ratu yang Mulai Bertindak
Beberapa hari telah berlalu sejak aku kembali ke apartemen Yamamoto setelah upacara peringatan 49 hari ayahku.
Dimulai dari perpisahan dengan si pria KDRT, melalui kepergian ayahku, aku mulai berpikir bahwa upacara 49 hari mungkin adalah sebuah titik balik. Begitulah, beberapa hari terakhir ini, aku menjalani hari-hari yang tenang, sesuatu yang tak terpikirkan sejak aku datang ke Tokyo.
“Yamamoto, makan siangnya sudah siap.”
“Oke.”
Aku memindahkan karaage yang berhasil kugoreng dengan lezat ke piring, tepat saat kami hendak mulai makan malam.
“...Ah.”
Ponsel Yamamoto bergetar.
“Telepon.”
“Waktunya tidak pas, ya.”
“...Nomor tidak dikenal.”
“Eh, nggak diangkat?”
Aku terkejut melihat Yamamoto mematikan layar ponselnya tanpa menjawab panggilan itu.
“Iya. Telepon dari nomor tidak dikenal biasanya tidak kuangkat.”
“...Kenapa?”
“Biasanya kasus penipuan.”
“...Tapi, bagaimana kalau itu ajakan main dari teman kuliahmu?”
“Kalau teman, seharusnya tahu nomorku.”
“Eh, aku nggak tahu, tuh.”
“Kau kan memang nggak paham cara pakai ponsel.”
...Menyebalkan, tapi benar juga.
“...Yah, kemungkinan dari teman kuliahku tidak ada.”
“Kenapa?”
“Soalnya aku tidak punya teman di kampus.”
Entah kenapa Yamamoto mengatakannya dengan bangga.
“Itu bukan sesuatu yang bisa kamu banggakan, tahu.”
Melihat sikap percaya diri Yamamoto, aku jadi cemas dengan masa depannya, benar-benar cemas.
“...Bercanda.”
“Enggak lucu.”
“...B-Baiklah. Kalau begitu, kutelepon balik saja kali, ya.”
Yamamoto, mungkin karena merasa canggung, keluar ke balkon dan menelepon balik.
Yah, entah itu telepon dari teman atau penipuan, sepertinya tidak akan lama.
Aku pun menata makan malam di meja kamar, dan memutuskan untuk menunggu teleponnya selesai.
“Geh, Matsuo!”
Suara Yamamoto terdengar dari balik pintu kaca balkon.
Tanpa sadar, aku sudah melotot ke arah Yamamoto di balkon.
“...K-Kau, kenapa bisa tahu nomorku? ...Eh, kau cari tahu? Ngeri...”
Ngeri...
Anak itu, benar-benar punya sisi gelap.
“Jadi, ada perlu apa? Hah? Kapan aku akan kembali ke sana? Tidak tahu.”
...Aku menempel di pintu kaca, menguping pembicaraan Yamamoto.
“...Ah, oke, aku mengerti. Aku mau makan malam, jadi kirim email saja. Sampai nanti.”
Yamamoto menutup teleponnya dan membuka pintu kaca.
“Kenapa kamu angkat teleponnya!?”
Aku langsung marah.
“Yang tadi nanya kenapa tidak diangkat ‘kan kamu...”
Meski begitu... kekesalanku tidak mereda.
Selama makan malam, kami tidak bicara sepatah kata pun. Padahal, karaage-nya sudah kubuat enak...
“Jadi, si Matsuo itu telepon ada perlu apa?”
Aku bertanya pada Yamamoto setelah sedikit lebih tenang.
“Eh? Ah, soal festival budaya.”
“Oh. Apa bahan negosiasi dengan gurunya sudah terkumpul?”
“Katanya, sih, lancar. Jadi, dia sudah merangkum materinya dan memintaku memeriksanya.”
“...Benar-benar, dipercaya sekali, ya, bikin kesal!”
...Serius, kalau kamu punya waktu untuk meladeni si Matsuo itu karena dipercaya, seharusnya kamu bisa sedikit lebih memperhatikanku.
Hal seperti itu, sekalipun mulutku robek, aku tidak akan mengatakannya karena malu.
Dan aku juga sadar... bahwa aku yang ragu-ragu inilah yang salah.
Usai makan malam, Yamamoto membuka laptopnya dan memeriksa materi yang dikirim si Matsuo.
Yamamoto membaca materi itu halaman per halaman dengan saksama, dan menuliskan koreksi dengan huruf merah.
Tanpa sadar, setiap halaman sudah penuh dengan huruf merah Yamamoto. Terlihat sedikit menyeramkan.
“Fuh.”
Usai bekerja, Yamamoto meregangkan badannya.
“Sudah selesai.”
“Oh, makasih.”
Aku menyodorkan kopi yang sudah kuseduh sebelumnya, dan Yamamoto mengucapkan terima kasih, membuatku senang.
“Hayashi, kamu tahu nomor telepon Kakogawa-sensei?”
“Eh, ada apa tiba-tiba?”
“Aku ingin mendengar suaranya setelah lama tidak dengar.”
“...Sepertinya aku pernah dikasih.”
Meskipun heran, aku memberikan ponselku pada Yamamoto.
“Makasih.”
“...Ngomong-ngomong, materinya kamu coret-coret merah semua, ya.”
“Hm? Ah, sebenarnya sudah bagus. Hanya saja aku sedikit terganggu dengan nuansa bahasanya.”
Pembohong.
Aku melihat dia tidak hanya mengoreksi nuansa bahasa, tapi juga detail-detail kecil seperti, ‘Tabelnya dibuat perbandingan sebelum dan sesudah,’ atau, ‘Bagian yang ingin ditonjolkan warnanya diganti.’
“Mungkin, kalau melihat itu, anak itu akan jenuh dan berpikir, ‘Banyak sekali koreksinya?’”
“Masa? ...Wah, kalau begitu aku salah, ya.”
Yah, mengingat karakter Yamamoto, dia pasti tidak bisa menahan diri untuk tidak mengoreksi bagian yang mengganggunya. Tapi, dia juga bisa mendengarkan masukan orang lain seperti ini, Yamamoto memang pria yang hebat.
Karena kalau aku, jika dikritik padahal niatnya baik, pasti akan ngotot.
...Seperti sikapku pada Ayah dulu.
“Oh, ada balasan.”
Di saat aku sedang murung sendiri, sepertinya ada balasan dari si Matsuo di laptop Yamamoto.
“Katanya apa?”
“Katanya, ‘Terima kasih.’ Sepertinya dia tidak merasa terganggu.”
“Lain kali hati-hati, ya.”
“Iya, akan kuusahakan.”
...Terima kasih, ya.
Si Matsuo itu, setelah menerima koreksi sebanyak itu dari Yamamoto, apa yang dia pikirkan saat berterima kasih?
Apa itu basa-basi?
Atau, dia mengatakannya karena benar-benar berterima kasih dari lubuk hatinya?
Entah kenapa, aku merasa itu yang kedua.
Meskipun aku baru sekali berbicara dengannya... tapi dari sekali itu saja, aku sudah tahu dia sangat mengagumi Yamamoto.
Itu artinya, kiprah Yamamoto di festival budaya tahun lalu pasti sehebat itu.
...Festival budaya tahun lalu memang menyenangkan.
Ngomong-ngomong, ketua panitia festival budaya tahun lalu seharusnya Akari.
Di upacara pembukaan festival budaya, ada waktu untuk sambutan dari panitia... Di SMA kami, sudah tradisi, yang naik ke panggung untuk sambutan adalah ketua panitia.
Akari, yang berdiri di panggung, melambaikan tangan sambil tersenyum pada kami yang bersorak-sorai...
Setelah itu, festival budaya terasa berlalu begitu cepat, seperti mimpi.
Tanpa ada masalah besar...
Tanpa ada insiden lupa memesan kayu bakar api unggun...
Tanpa sadar, rasanya kami menari-nari di sekeliling api yang menjulang tinggi.
“...Hei, Yamamoto?”
“Hm?”
“...Tidak jadi.”
Aku membuang muka.
Waktu kami kelas satu, api unggun yang seharusnya diadakan di acara penutupan festival budaya dibatalkan. Alasannya, karena Yamamoto lupa memesan kayu bakar.
“...Aku bilang, aku tidak bisa memaafkan semua orang yang menjebak Yamamoto-senpai.”
Tapi, gara-gara si Matsuo... aku jadi mulai berpikir, jangan-jangan penyebabnya bukan Yamamoto.
Tidak, mungkin bukan hanya karena kata-kata si Matsuo.
Dulu, saat aku baru mulai tinggal bersama Yamamoto, aku juga teringat soal batalnya api unggun waktu kelas satu itu. Dan kupikir, kesalahan ‘lupa memesan kayu bakar’ itu terlalu konyol untuk dilakukan oleh seorang Yamamoto.
...Setelah melihat sosok Yamamoto yang berdedikasi menyokongku, aku jadi semakin yakin, Yamamoto tidak mungkin melakukan kesalahan ceroboh seperti lupa memesan kayu bakar.
Kenapa waktu itu aku tidak berpikir ulang bahwa insiden itu bukan salah Yamamoto?
Apa karena waktu itu aku masih sibuk dengan masalah si pria KDRT, jadi tidak punya waktu untuk memikirkannya?
...Atau mungkin, aku menganggapnya tidak penting.
Kasus itu sudah berlalu.
Entah jawabannya salah atau benar.
Entah itu salah Yamamoto atau bukan.
Kita tidak bisa kembali ke kelas satu SMA dan mengulang masa lalu saat api unggun dibatalkan.
Karena tidak bisa diulang, mengungkit cerita yang sudah selesai itu mungkin kuanggap buang-buang waktu.
...Tapi, sekarang berbeda.
Sekarang... rasanya tidak enak kalau menganggap insiden itu adalah kesalahan Yamamoto.
Makanya, biarpun semuanya sudah berlalu, aku ingin mengungkap kebenarannya.
Aku ingin menjadi salah satu dari sedikit orang yang memahaminya.
Tapi, aku sedikit bingung.
Karena, Yamamoto, si pelaku utama, mungkin takkan mau membuka mulutnya lagi soal insiden ini. Aku sudah sering melihat sifatnya yang seperti itu.
Tapi, si Matsuo, yang sepertinya tahu kebenarannya, malah jahat dan tidak mau memberitahuku...
Kalau sudah begitu, orang yang bisa kuandalkan hanya tinggal satu.
“Halo, Akari?”
“Yaa! Megu!”
Keesokan harinya, aku menelepon Akari saat Yamamoto sedang keluar. Seperti biasa, Akari mengangkat teleponku dalam satu kali dering. Tidak, malah, sebelum dering pertama selesai, dia sudah mengangkatnya. Refleksnya cepat sekali.
“Maaf, Akari. Sebenarnya aku ingin mengakhiri telepon sebelum Yamamoto pulang.”
“Eh, apa? Bertengkar? Iya, ‘kan?”
“Bukan. ...Maaf. Kali ini agak serius.”
Kedengarannya jadi seolah selama ini topik kami tidak pernah serius, tapi aku tetap memasang sikap serius.
Akari, yang peka, membaca situasi dan menunggu kata-kataku selanjutnya.
“Akari... kamu ingat festival budaya waktu kita kelas satu?”
“...Eh? Ah, iya.”
“Maaf. Mungkin kedengarannya tidak seperti obrolan serius, ya. Tapi ini benar-benar serius.”
“...Oh, begitu.”
“Terus, Akari... kamu ingat nggak, api unggun di acara penutupan festival budaya kelas satu dibatalkan?”
“Ahaha. Begitu, ya?”
“...Iya. Begitu.”
Aku sedikit berharap Akari mengingat kejadian ini, atau bahkan tahu kebenarannya, tapi sepertinya harapanku meleset.
“Hei, Akari. Siapa panitia festival budaya di kelasmu waktu kelas satu?”
Seingatku, panitia festival budaya dipilih satu cowok dan satu cewek dari setiap kelas.
“...Seingatku, Maeda-kun. Kita sekelas sama dia waktu kelas tiga, ‘kan.”
Orang itu, ya.
Maeda, seingatku dia anak klub sepak bola. Aku mengingatnya sebagai orang menyebalkan yang suaranya saja keras, padahal tidak bisa melucu.
“Akari, kamu tahu kontaknya Maeda?”
“...Megu, kamu mau apa?”
“Aku mau tanya soal kejadian waktu itu... soal festival budaya kelas satu.”
Meskipun lewat telepon, aku tahu Akari sedikit terkejut.
“Maaf. Aku juga tidak tahu kontaknya Maeda-kun.”
“...Oh, begitu.”
“Oleh karena itu, nanti aku coba tanyakan, ya?”
“Eh?”
“Nanti kukabari kalau sudah dapat. Jadi, temui saja dia.”
...Rasanya ada kehangatan menjalari dadaku.
Orang yang paling membuatku senang setelah lulus SMA adalah Yamamoto, tapi... orang yang paling membuatku senang karena kutemui waktu SMA, sudah pasti... Akari.
“Akari, terima kasih.”
“Bukan apa-apa. Tunggu sebentar, ya.”
“...Akari.”
“Apa?”
“Lain kali, aku yang akan membantu Akari.”
“...Iya. Terima kasih.”
Suara Akari yang tersenyum malu-malu terdengar dari seberang telepon.



Post a Comment