Penerjemah: RiKan
Proffreader: RiKan
Chapter 10
Ratu yang Bodoh
“Lalalala...”
Sehari setelah pergi ke festival budaya SMA, aku bersenandung riang sambil menyiapkan makan siang.
“Kamu kayaknya lagi senang banget, ya,” celetuk Yamamoto, teman serumahku.
“Masa sih? Perasaan biasa aja.”
“...Masa?”
“Iya, kok.”
Sambil tersenyum lebar sampai sudut bibirku naik, aku melanjutkan jawabanku.
Meskipun aku menyangkalnya di depan Yamamoto untuk mengalihkan perhatian, aku sendiri sadar kalau suasana hatiku memang sedang bagus. Terus terang, aku sedang berbunga-bunga.
Rasanya benar-benar menyenangkan.
Alasannya tentu saja berkat festival budaya SMA yang kudatangi kemarin.
Aku bisa ketemu lagi dengan teman-teman lama dan mengobrol banyak hal.
Kemudian, ikut acara pesta penutupan secara diam-diam dengan melanggar aturan...
Bisa menari folk dance bersama Yamamoto di sana menjadi kenangan yang paling berharga bagiku.
“Ehehe.”
“...Tuh kan, jelas-jelas lagi berbunga-bunga.”
“Enggak, kok. Ah, jariku teriris. Ehehe.”
“...Biar aku ambilkan plester.”
Bahkan saat Yamamoto mengobati lukaku, wajahku terus saja senyum-senyum sendiri.
“Ya sudah, aku berangkat kerja dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Setelah makan siang, Yamamoto pergi meninggalkan rumah untuk bekerja paruh waktu.
Ah, jangan hanya senyum-senyum sendiri, aku juga harus beres-beres rumah!
Pertama-tama, ayo angkat jemuran.
Tepat saat aku hendak keluar ke balkon, ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk.
Layar ponselku menampilkan nomor tak dikenal.
“Halo.”
Sejak Yamamoto bilang dia nggak bakal mengangkat telepon dari nomor tak dikenal, aku pun ikut menirunya... tapi karena hari ini suasana hatiku sedang bagus, entah kenapa aku iseng mengangkatnya.
“Halo. Apa benar ini nomor Hayashi-senpai?”
Suara penelepon itu terdengar akrab.
Sepertinya aku baru mendengarnya belum lama ini...
Tapi, aku tidak bisa mengingat siapa pemiliknya.
“Benar, ini siapa ya?”
“...Ini aku, loh.”
“Penipu?”
“Bukan!”
Si penelepon marah.
“Ini Matsuo! Ih, masa dengar suara aja nggak kenal, sih!”
...Ah.
Adik kelas satu tingkat di bawah kami, saingan cintaku, si Matsuo yang aura kegelapannya pekat itu rupanya.
“Eh, kamu dapat nomor teleponku dari mana?”
Itu hal pertama yang terlintas di benakku begitu tahu peneleponnya adalah Matsuo.
“Dari sumber terpercaya.”
“Jangan begitu, loh. Sembarangan cari tahu nomor telepon orang. Bagi sebagian orang, itu bisa dianggap tindakan stalking, tahu?”
“Yah, kalau soal itu... maaf.”
Matsuo meminta maaf dengan tulus.
“Nggak apa-apa. Nggak perlu minta maaf.”
Soalnya, suasana hatiku saat ini sedang sangat baik.
“Ya sudah, sampai nanti.”
“T-Tunggu sebentar, kenapa main tutup aja?”
“Loh, bukannya kamu nelepon cuma mau bilang hati-hati saat jalan malam-malam karena kamu sudah tahu nomorku?”
“Pikiran Senpai kacau banget, ya.”
Suara jengah terdengar dari seberang telepon.
“Bukan. ...Alasanku menelepon Hayashi-senpai adalah untuk protes.”
“Protes?”
Hah?
Memangnya kapan aku melakukan sesuatu yang mengharuskan Matsuo untuk memperingatkanku?
...Aku mencoba mengingat-ingat.
Tapi, tak ada satu pun yang terpikirkan. Sama sekali tidak ada.
“Hayashi-senpai, kemarin ikut nyelip di acara pesta penutupan, ‘kan?”
...Ah, ada toh.
“Ampun deh. Ngapain sih Senpai ngelakuin itu. ...Untung aja orang-orang nggak sadar dan nggak ada masalah yang timbul... Kalau sampai salah langkah sedikit saja, aturan yang susah payah Senpai perjuangkan supaya alumni dan wali murid boleh masuk festival budaya, bisa-bisa dibatalin lagi, tahu?”
“...Benar juga, ya.”
...Lagipula, untuk hal itu aku sudah dimarahi Yamamoto.
“Maaf banget, ya.”
“...Senpai serius minta maaf?”
“Tentu saja.”
“...Ya udah, kumaafin.”
“Makasih.”
Aku tersenyum.
Anak ini ternyata memang berjiwa besar dan baik hati, ya.
“Tapi hebat juga kamu bisa sadar. Padahal kami di sekitar api unggunnya cuma sebentar, loh? Seterusnya kami sembunyi di kegelapan malam, dan aku yakin banget nggak bakal ketahuan.”
“...Aku tahu dari baunya.”
“Bau?”
“Iya. Kalau Yamamoto-senpai ada di dekatku, aku bisa tahu dari baunya.”
...Meskipun ada sisi baiknya, bagian yang ini agak nyeremin, ya.
Entah kenapa, sifat dasar Matsuo ini rasanya agak mirip dengan Akari.
“...Tapi, kamu juga hebat, loh. Festival budayanya meriah banget, ‘kan.”
“Makasih.”
“Api unggun di pesta penutupan juga, rasanya api tahun ini lebih tinggi dari tahun lalu, ‘kan?”
“...Hah.”
“Kenapa sih. Orang sudah muji-muji, kok responsnya malah kayak nggak suka begitu.”
“Bukan begitu. Cuma mikir, andai saja yang memuji itu Yamamoto-senpai, bukan Hayashi-senpai, pasti lebih menyenangkan.”
“Kamu benar-benar cinta mati sama Yamamoto, ya.”
Jujur saja, meskipun aku juga menyukai Yamamoto sama seperti Matsuo... kadar cinta Matsuo itu kadang bikin aku agak ilfeel.
“...Ini cuma saran, ya. Yamamoto itu kayaknya kurang suka, loh, sama cewek yang terlalu agresif mendekatinya.”
Setelah tinggal serumah dengan Yamamoto beberapa bulan ini, aku mulai sedikit memahami sifatnya.
Dan aku sadar, Yamamoto yang punya sifat tsundere dan agak sinis itu, kalau didekati secara agresif, malah akan waspada dan berusaha jaga jarak.
...Agak mirip kucing, jadi lucu.
“Hayashi-senpai.”
“Hm?”
“Senpai cerewet.”
Suara Matsuo terdengar mengandung amarah. Sepertinya dia sedang berusaha keras menahan emosinya agar tidak meledak.
“...Padahal aku cuma kasih saran sebagai ucapan terima kasih karena udah bikin festival budaya yang meriah.”
“Itu namanya ikut campur.”
“...Oke, kalau begitu, maaf.”
Aku tidak begitu paham bagian mana yang membuatnya tersinggung, tapi sepertinya dia benar-benar marah, jadi aku meminta maaf.
“...Terus?”
“Eh?”
“Gimana rasanya? Folk dance bareng Senpai?”
“...Apanya yang gimana?”
“Senang nggak? Bahagia nggak! Terus deg-degan nggak!? Pasti iya, ‘kan! Ih, nggak bisa dimaafkan! Ini sih udah bisa dituntut ke pengadilan!”
...Ah, begitu rupanya.
Si Matsuo ini, bilangnya nelepon cuma buat protes... tapi sebenarnya dia cuma ingin dengar cerita soal folk dance kemarin.
Anak ini, ternyata ada sisi imutnya juga.
“Biasa aja, kok? Nggak ada spesial-spesialnya.”
“...Jawabannya kikir banget. Dari sepuluh cuma dijawab satu.”
“Dia kayaknya nggak jago nari, deh. Langkah kakinya kaku, terus tiap ganti step kayak mau jatuh melulu.”
“...”
“Karena aku lumayan jago nari, jadi aku yang pimpin dia. Eh, lama-lama dia makin lancar... dalam lima menit, gerakannya sudah nggak kaku lagi.”
“...Hah?”
“...Tapi, pas dia mulai terbiasa sama tariannya, sepertinya ada hal lain yang mulai mengganggunya.”
“Hah?”
“Soal pegangan tangan sama aku... Sepertinya dia mulai sadar dan jadi canggung.”
“...Cih.”
“Entah karena dekat api unggun atau karena gugup... tangan dia jadi agak berkeringat. Tapi, aku nggak merasa jijik. Malah aku senang karena sadar dia mulai memperhatikanku. Agak deg-degan juga. Tapi... begitu sadar dia mulai canggung, aku pun jadi ikutan canggung dan malu sendiri.”
“...”
“Terus karena malu, aku jadi nggak berani lihat wajahnya lagi.”
Kami saling menunduk, diselimuti rasa canggung... dan di saat para siswa masih asyik menari, kami berhenti dan meninggalkan sekolah.
Di jalan pulang, kami tidak saling bicara.
Serius, untuk waktu yang cukup lama, kami hanya diam.
...Kami baru bicara lagi saat tiba di rumah, tepat ketika hari berganti.
‘Tahun depan, ayo kita ke festival budaya lagi.’
Tanpa menatap wajahku, Yamamoto mengatakannya dengan suara ketus.
Dengan senyum lebar, aku menyetujui ajakannya.
Sejak saat itu... aku terus-terusan merasa berbunga-bunga.
Seperti anak SD yang menanti hari darmawisata, aku sudah tidak sabar menunggu festival budaya tahun depan.
Aku ingin segera menari folk dance lagi sama Yamamoto.
...Kali ini, aku ingin kami bisa menari dengan lebih luwes dan alami.
Makanya, tolong bertahanlah setahun lagi, wahai kulitku, tetaplah semulus kulit anak SMA...! Begitu harapku.
Bagaimana caranya supaya keinginanku itu bisa terwujud, ya?
“...Bikin iri saja.”
“M-Masa sih?”
“...Serius deh, Senpai kelihatannya senang banget.”
Yah, itu aku akui.
“...Padahal waktu SMA dulu Senpai benci banget sama dia, kok bisa berubah drastis gini sih hatinya.”
“Kan sudah pernah kubilang, namanya juga hati sudah berubah, mau gimana lagi.”
“...Hayashi-senpai?”
“Apa?”
“Sebenarnya, siapa saja yang tahu perasaan Senpai?”
“Tiba-tiba tanya apa sih?”
“Jawab saja.”
“Siapa saja ya...”
...Sebenarnya siapa saja, ya?
Ibuku tahu.
Tapi mungkin, Yamamoto tidak tahu. Atau lebih tepatnya, tidak sadar.
“Kasahara-senpai tahu?”
Aku tidak menyangka nama Akari akan disebut Matsuo.
Tapi kalau dipikir-pikir, Akari dan Matsuo kan pernah kerja bareng di panitia festival tahun lalu, jadi wajar kalau mereka saling kenal.
“Mungkin nggak tahu.”
“...Begitu ya.”
“Iya.”
Sedikit rasa bersalah menusuk hati nuraniku.
Meskipun aku sudah bertekad untuk mendekati Yamamoto, mungkin di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih berharap Yamamoto dan Akari bisa bersatu.
“Senpai nggak mau konsultasi sama Kasahara-senpai?”
“Eh?”
Aku belum pernah memikirkannya.
Perasaan cintaku pada Yamamoto yang tersimpan di dalam dada ini. Kalau kuceritakan pada Akari... apakah Akari akan mendukung cintaku? Apakah dia akan menyemangatiku?
Karena dia sahabat terbaikku, aku yakin.
...Akari pasti akan mendukung cintaku dengan sepenuh hati.
“Enggak, ah.”
Tapi justru karena itulah, aku tidak tega memberitahu perasaanku pada Akari dan meminta dukungannya.
“...Sayang banget.”
“Sayang apanya?”
“Menurutku, apa pun yang bisa dimanfaatkan harusnya dimanfaatkan. Kalau aku sih pasti bakal memanfaatkannya.”
“...Itu kan terserah aku.”
“Yah, benar juga sih. ...Tapi, justru karena ini soal Yamamoto-senpai, Kasahara-senpai adalah orang paling tepat buat diajak konsultasi, ‘kan?”
“Hah? Kok bisa?”
“Kenapa apanya...”
Suara Matsuo dari ponsel terdengar agak canggung.
“Mereka berdua kan pernah pacaran waktu SMA.”
***
Afterword
Terima kasih banyak kepada kalian semua yang telah membeli volume keempat dari seri ini.
Kalau disuruh memilih antara makan tiga kali sehari atau mencari namaku di internet, aku masih lebih memilih makan... meskipun tipis. Aku, Misoneta Dozaemon, menyapa kalian kembali.
Volume kali ini dimulai dengan situasi yang agak berbeda dari sebelumnya... keributan seputar para heroine sudah agak mereda dan mencapai semacam titik tenang. Mungkin karena itu, aku merasa bisa menulis beberapa perkembangan cerita yang lebih menantang dari biasanya.
Yang paling menantang adalah bagaimana caranya membuat heroine yang sudah lulus SMA tetap memakai seragam sekolah? Dan bagaimana cara membuat sang protagonis, yang juga sudah lulus, punya kenangan kuat soal festival budaya, dan sangat anti terhadap kecurangan ikut hadir di acara malam penutupan?
Untuk menyelesaikan misi itu, aku benar-benar memeras otakku yang tak seberapa ini.
Dan hasilnya...
Si heroine tiba-tiba diberi seragam oleh guru wali kelas lamanya...
Sementara si protagonis, meskipun tahu itu salah, tetap ikut acara malam penutupan karena dipaksa habis-habisan oleh heroine...
Dengan kata lain...
Dipaksa!
Dipaksa secara brutal!
Kepalamu beneran kopong, ya!
Setelah menulis bagian itu, aku sampai ngakak sendiri.
Tapi jujur, aku merasa ini adalah bagian paling “romcom” yang pernah kutulis sejauh ini.
Meskipun genre cerita ini mungkin dikategorikan sebagai komedi romantis, aku sendiri tak pernah merasa ceritanya benar-benar “romcom” selama ini.
Lebih tepatnya, saat menulis, aku merasa kayak lagi bikin sinetron siang hari yang ditujukan untuk emak-emak.
Dan kalau nanti volume kelima benar-benar terbit, akhir dari volume ini sudah dipastikan akan ada lagi drama penuh intrik ala sinetron siang hari.
Di versi web-nya, sejak awal aku sudah mengungkap bahwa protagonis pernah punya mantan pacar. Tapi di versi novel, karena alur sampai volume tiga belum cocok untuk itu, aku tahan dulu sampai sekarang.
Jadi, bagaimana menurut kalian tentang masa lalu Yamamoto (nama belum resmi), yang akhirnya terungkap dengan penuh persiapan?
Pasti kalian berpikir:
Loh, si Misoneta Dozaemon ini tumben-tumbenan nulis kata penutup yang serius!
Biasanya kan Cuma ngomongin soal royalti, kisah di balik nama pena yang nggak penting, atau soal jejak digital... Kok sekarang jadi serius?
Yah, seperti yang kalian lihat, pada dasarnya aku ini orangnya serius. Warga negara biasa yang baik, jujur, dan taat bayar pajak.
Serius deh, waktu lihat pajak daerah naik drastis bulan April lalu, aku sampai gemetaran...
Kalau kalian merasa cerita ini seru, tolong bantu sebarkan ke teman-teman juga, ya...
Dan semoga kita bisa berjumpa lagi di volume kelima... supaya aku bisa dapat royalti lagi, hehe.
Terima kasih banyak, semuanya! Maafkan aku yang seperti ini!
Previous Chapter | ToC |



Post a Comment