NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark
📣 IF YOU ARE NOT COMFORTABLE WITH THE ADS ON THIS WEB, YOU CAN JUST USE AD-BLOCK, NO NEED TO YAPPING ON DISCORD LIKE SOMEONE, SIMPLE. | JIKA KALIAN TIDAK NYAMAN DENGAN IKLAN YANG ADA DIDALAM WEB INI, KALIAN BISA MEMAKAI AD-BLOCK AJA, GAK USAH YAPPING DI DISCORD KAYAK SESEORANG, SIMPLE. ⚠️

Koukou Jidai ni Goumandatta Onna Ousama Volume 4 Chapter 3

 Penerjemah: RiKan

Proffreader: RiKan


Chapter 3

Ratu yang Hanyut dalam Cinta


Sudah sekitar satu bulan sejak aku kembali tinggal bareng Yamamoto.


Hari ini, aku pulang ke rumah orang tuaku untuk upacara peringatan 49 hari ayahku.


Upacara 49 hari ayahku hanya dihadiri oleh kerabat. Orang-orang yang membicarakanku di belakang saat malam berkabung dan pemakaman tempo hari juga hadir, tapi upacaranya berjalan lancar tanpa hambatan dan selesai dengan aman.


“Kamu pasti capek. Maaf, ya, jadi harus bolak-balik terus.”


Setelah upacara selesai dan para kerabat pulang, di saat suasana sudah tenang, Ibu menghampiriku.


“Enggak, kok. Justru aku yang minta maaf. Persiapan upacaranya pasti merepotkan, tapi aku malah menyerahkan hampir semuanya ke Ibu.”


“Tak apa. Malah, Ibu bersyukur tidak perlu merepotkanmu dengan hal-hal seperti ini.”


Ibu mengambilkan teh barley dari kulkas.


Seharusnya musim panas sudah berakhir menurut kalender, tapi mungkin karena sisa panasnya, malam ini suasananya masih gerah. Teh barley yang dingin rasanya sangat enak.


“...Yah, nanti kalau giliran upacaraku, tolong diurus, ya.”


“Jangan ngomong yang nggak-nggak, ah.”


Ibu memang suka dark joke seperti ini.


Biasanya aku bisa membalasnya dengan lebih cerdas, tapi mungkin karena baru saja kehilangan Ayah, aku jadi tidak berminat untuk bercanda.


“Maaf, maaf. Kayaknya Ibu cuma merasa lega akhirnya upacara 49 hari ini selesai.”


“Biarpun lega... lelucon kayak gitu nggak lucu, tahu.”


“Kan sudah minta maaf.”


Aku kembali meminum teh barley yang disajikan Ibu.


Teh barley di rumahku pakai gula, jadi sedikit lebih manis daripada di rumah orang lain. Merasakan cita rasa rumah yang kurindukan ini, aku merasa seolah kembali ke masa kecil.


Tapi, aku segera ditarik kembali ke kenyataan.


Waktu kecil, aku tidak mungkin bangun sampai selarut ini, dan Ayah, yang dulu selalu ada di ruang keluarga, sekarang sudah tiada.


...Beneran, deh, lelucon Ibu sama sekali nggak lucu.


“...Ah. Ngomong-ngomong, tempo hari Ibu ketemu Icchan.”


Ibu mengganti topik pembicaraan dengan canggung.


Icchan itu teman SMA-ku, Ishida Yuko-chan.


Aku baru sekelas dengan Icchan pas kelas tiga. Tapi selama setahun itu, hubungan kami jadi sangat dekat, sampai bisa disebut sohib. Makanya, pas kelas tiga, aku, Akari, dan Icchan sering main bertiga.


Saking dekatnya, biarpun aku sedang dalam masa pemberontakkan, aku sampai mengajak mereka ke rumah dan mengenalkan mereka pada Ibu. Mungkin dari situ bisa dibayangkan sedekat apa kami dulu.


Tapi kalau dipikir-pikir, setelah lulus SMA, beda dengan Akari, hubunganku dengan Icchan jadi renggang.


“Oh, gitu.”


Makanya, biarpun Ibu bilang ketemu Icchan, aku menanggapinya dengan datar, seolah itu bukan urusanku.


“Ngagetin, loh. Lagi belanja di supermarket, tahu-tahu ketemu.”


“Oh.”


“Iya. Dulu kan dia dikuncir kuda, tapi kemarin rambutnya digerai, terus kacamatanya diganti lensa kontak. Dia jadi dewasa banget.”


“Hee... ganti penampilan, ya.”


Membayangkan penampilan Icchan yang diceritakan Ibu, keinginanku untuk bertemu dengannya mulai muncul sedikit.


Waktu SMA, Icchan selalu dapat ranking dua di angkatan, jadi dia tipe murid teladan sejati.


Tapi bukan berarti dia tidak menonjol. Justru, penampilannya yang rapi dan taat aturan itu memancarkan kesan anggun, dan cukup populer di kalangan cowok.


...Tapi, aku nggak pernah dengar dia punya pacar.


Gosip miring pun tak pernah terdengar, mungkin karena sifat Icchan yang sulit ditebak. Akari juga sulit ditebak, sih... tapi tipe sifat Akari dan Icchan itu beda.


Susah dijelaskan, sih... tapi Akari itu tipe yang bercanda sambil bercanda, sementara Icchan tipe yang bercanda sambil ngomong serius.


“Icchan kuliah di mana?”


Ibuku bertanya.


“...Umm, di mana, ya?”


Parah banget, aku lupa Icchan kuliah di mana.


“Seingatku sih dia bilang di universitas lokal sini.”


“Oh.”


Ibuku tersenyum lembut.


“Kalau begitu, dia pasti sudah menemukan seseorang yang baik.”


Seseorang yang baik, ya.


Waktu SMA, Icchan nggak kelihatan dekat dengan cowok.


Tapi sekarang, Ibu, yang baru ketemu dia lagi, sampai curiga dia punya pacar saking dewasanya.


Tabpa sepengetahuanku, semua orang terus melangkah maju.


“Kenapa mukamu murung gitu?”


“...Maaf.”


Belakangan ini aku banyak pikiran, rasanya aku jadi gampang murung dibanding dulu.


“...Kamu juga sudah banyak berubah, ‘kan.”


Ucap Ibu, seolah ingin menghiburku.


“...Nggak juga.”


“Masa, sih?”


Sambil meminum seteguk teh barley, Ibu melanjutkan.


“Habisnya, kamu kan sudah jadian sama Yamamoto-kun?”


“Uhuk!”


Kesalahpahamannya benar-benar di luar dugaan.


Aku hampir menyemburkan teh barley yang ada di mulutku.


“J-Jangan ngomong yang aneh-aneh.”


“Aneh apanya? Kamu nembak dia, ‘kan?”


Ibu bertanya seolah itu hal yang sudah wajar.


...Yah, mungkin wajar juga Ibu berpikir begitu.


Aku dan Yamamoto kembali tinggal bareng. Dan kali ini, beda dengan sebelumnya, kami tinggal bersama bukan lagi dengan alasan ‘dilindungi dari si pelaku KDRT’. Tidak ada alasan lain untuk tinggal bersama selain karena kami sudah pacaran.


“...Aku nggak nembak dia.”


Kami masih melanjutkan kehidupan serumah yang aneh ini.


“Hah?”


“...Nggak.”


“...Sayang banget, ya.”


Lanjut Ibu.


“...Habisnya, tinggal bareng meski bukan pacar itu kan cuma memperumit keadaan?”


Memperumit, ya...


“...Mungkin ada benarnya.”


Mau tak mau, aku setuju.


“Lagian, padahal waktu SMA kamu kayak gitu... ternyata kamu penakut banget, ya.”


“...A-Apaan, sih.”


Aku malu karena Ibu tahu kelakuanku waktu SMA.


“Lagian, Ibu tahu dari mana soal kelakuanku waktu SMA?”


Aku bertanya sambil memanyunkan bibir.


“Ibu diam-diam sering dipanggil, tahu.”


“Hah...?”


“’Sikap Megumi di kelas buruk.’ ‘Megumi berkelahi.’ ‘Megumi membuat anak laki-laki menangis.’ ‘Megumi inilah, Megumi itulah,’ begitulah.”


“Itu... maaf.”


“Tak perlu minta maaf. Ibu juga senang, kok, dengar kisah kepahlawananmu dari guru.”


...Kalau begitu, syukurlah (?).


“Jadi? Sama Yamamoto-kun lancar nggak?”


“...Nggak tahu.”


“Nggak niat nembak?”


“Nggak tahu...”


Pikiran bahwa aku akan merusak hubungan Yamamoto dan Akari sih sudah hilang sejak pesta nabe kemarin... tapi kalau memikirkan kemungkinan ditolak, aku jadi tak punya keberanian untuk mengutarakan perasaanku.


Andai saja aku bisa lebih yakin kalau Yamamoto juga tertarik padaku...


“Aah, andai ada mesin yang bisa mengukur tingkat kesukaan, ya.”


...Andai aku bisa tahu perasaan dia padaku dalam bentuk angka.


“Kalau ada mesin kayak gitu, kamu mau pakai?”


“Langsung kupakai.”


“Hmm. Kayaknya kamu nggak bakal pakai, deh.”


“Eh, masa, sih?”


“Soalnya, kalau pakai mesin itu, ‘kan, ada kemungkinan kamu tahu kalau dia benci sama kamu. Kamu sudah mempertimbangkan kemungkinan Yamamoto benci sama kamu?”


“...Nggak jadi pakai, deh.”


Aku bergumam pelan.


“Maaf. Ibu jahat, ya.”


“Emang...”


“Ibu nggak nyangka kamu sudah jadi gadis yang dimabuk cinta sampai segitunya.”


Ibu minta maaf, tapi wajahnya menyeringai. Jelas sekali dia sedang menjadikanku bahan tertawaan.


“Hei, hei, gimana rasanya tinggal bareng Yamamoto-kun?”


“...Ngapain, sih. Ceritanya nggak seru juga.”


“Masa, sih. Ibu kan bisa tahu sebaik apa laki-laki yang disukai putri Ibu. Justru tidak ada cerita yang lebih seru dari ini.”


“Itu sih namanya jahat.”


Aku melanjutkan sambil jengah.


“...Yah, nggak ada seru-serunya. Kami berantem terus.”


“Eh, gitu?”


“Iya. Habisnya, cara ngomong dia nyebelin banget.”


“Wah, nggak nyangka.”


“Itu Ibu ketipu sama sikap baiknya di luar. Dia tuh aneh banget.”


“Oh, ya.”


“Tempo hari juga, aku lagi ngerjain pekerjaan rumah terus sakit, eh dia malah marah-marah.”


“...Itu, tergantung ceritanya, Ibu mungkin harus menyuruhmu berhenti tinggal dengannya.”


“...Yah, mungkin bakal begitu.”


Aku bisa melihat Ibu menelan ludah.


“Hari itu dari pagi badanku rasanya nggak enak. Tapi kupikir masih bisa ngerjain pekerjaan rumah. Aku antar dia berangkat kuliah, terus aku lanjut bersih-bersih. Tapi badanku makin nggak enak, akhirnya aku tiduran di kasur. Belakangan aku baru tahu, ternyata aku demam.”


“Terus?”


Ibu tampak kaget.


“Masa, dalam kondisi begitu Yamamoto-kun marah padamu?”


“Yah, begitulah.”


“Jahat sekali...”


“Dia marah-marah, ‘Kenapa kamu nggak menghubungiku kalau kamu demam?’”


“...Hm?”


“Katanya, ‘Kalau sakit, mengandalkan orang lain itu juga bagian dari tugasmu.’ Terus setelah itu, dia malah menyalahkan dirinya sendiri, ‘Maaf, aku nggak sadar kamu sakit sebelum berangkat tadi.’”


“Ceritanya beda banget dari yang Ibu bayangkan...”


“Masa? Kan sama aja.”


Dia tidak mengerti perasaanku yang tak mau merepotkannya.


Yah, akhirnya, demamku tidak turun sampai dua hari, dan selama itu aku dirawat olehnya...


“A-Ada lagi? Episode lain?”


“Episode nyebelin lain, ya...”


Aku menengadah ke langit, lalu, “Ah,”.


“Terus, tempo hari juga. Dia bilang sesuatu yang keterlaluan soal masakanku.”


“Soal masakan? Jangan-bilang dia komplain sama masakanmu?”


“Bukan. Justru, kebalikannya?”


“Eh? ...Oh, jadi dia nggak menghargai masakanmu?”


“Yah, kurang lebih begitu.”


“Oh, ya? Kalau benar, sebagai orang yang masak, nggak bisa dimaafin, sih.”


“Bener banget!”


Aah, mengingatnya saja sudah bikin kesal.


“Hari itu aku bikin sup telur. Waktu kucicip, rasanya agak hambar, jadi kutambahi garam.”


“...Nggak mungkin kamu salah masukkan gula ke sup telur, ‘kan?”


“Eh, kok Ibu tahu?”


“...Haaah.”


“Dia minum supnya duluan, terus bilang ‘Enak’. Jadi aku ikut minum, tapi ternyata nggak enak sama sekali!”


“...”


“Makanya aku langsung bilang! Nggak mungkin ini enak! Nggak usah basa-basi! Terus tahu dia bilang apa?”


“...’Aku bilang ini enak karena menurutku ini enak,’ kan.”


“Eh, hebat. Persis banget. Kok bisa tahu?”


“Tahu, dong. Soalnya ada ‘seseorang’ dulu juga pernah bilang gitu ke Ibu.”


...Kira-kira, siapa, ya?


“Lagian, semua episode ‘nyebelin’ Yamamoto-kun itu kan intinya kamu yang ngambek nggak jelas!”


Ibu marah.


Kenapa...?


“Lagi pula, kalau dilihat dari kelakuanmu selama ini, yang salah itu kayaknya kamu, bukan Yamamoto-kun.”


“Eh, tapi kan sikap burukku itu bawaan.”


“Nggak usah ngeles. Hadeh.”


Mengabaikan Ibu yang jengah, aku menghabiskan teh barley di gelasku.


Kulihat gelas Ibu juga kosong.


Aku berdiri dan mengambil wadah kaca berisi teh barley dari kulkas.


“Makasih.”


“Sama-sama.”


“...Padahal waktu SMA, kalau sudah minum teh barley segelas, kamu langsung kabur ke kamar.”


Ucap Ibu bernostalgia.


“Masa-masa menganggap orang tua itu menyebalkan sudah lewat.”


“Perasaan sampai tahun lalu kamu masih begitu?”


“Dalam setahun, seorang anak bisa tumbuh jadi orang yang berbeda.”


“Gayanya sok banget.”


Ibu tertawa.


“Tapi omonganmu benar, kok. Ibu melihatmu dari kecil, dan setiap tahun kamu memang terus berubah.”


“Masa?”


“Iya, baik ke arah baik maupun buruk.”


“...Oh.”


“Sampai tahun lalu, Ibu pikir Ibu nggak akan bisa ngobrol santai lagi sama kamu kayak gini. Tapi hidup memang tak bisa ditebak, ya.”


“...Iya, juga.”


“Dibanding dulu, sifat ‘kuda liar’-mu berkurang, kamu jadi bisa masak... dan puncaknya, kamu yang buta arah parah itu, bisa pulang sendiri ke rumah.”


“Yang terakhir itu kayaknya nggak perlu disebut, deh.”


“Perlu, lah. Tingkat buta arahmu itu jujur saja sudah abnormal. Abnormal.”


Nggak perlu dibilang setegas itu juga, ‘kan...


“...Waktu kamu pulang kali ini, sebenarnya Ibu bingung apa perlu Ibu jemput ke Tokyo.”


Ibu tersenyum kecut.


“Mengingat tingkat buta arahmu, bahaya membiarkanmu pulang sendiri. Apalagi pulangnya pas hari kerja, nggak bisa minta tolong Yamamoto-kun juga. Kalau sudah begitu, Ibu pikir Ibu yang harus menjemput.”


“...Oh, gitu.”


“Waktu kamu kirim pesan ‘Aku pulang sendiri sekarang,’ Ibu cemas sekali sampai kamu benar-benar tiba di stasiun.”


“...Jadi malu.”


“Ibu beneran khawatir, tahu. ...Tapi, memikirkan kalau salah satu kecemasanku berkurang, rasanya sedikit sedih juga.”


Melihat Ibu yang berbicara dengan senang sekaligus sedih, aku jadi berpikir, apa suatu saat nanti aku juga akan merasakan hal yang sama.


Aku belum punya pasangan hidup, tapi aku ingin punya anak.


Kalau aku punya anak, aku pasti akan merasakan kesulitan yang sama dengan Ibu.


Namanya juga anakku.


Pasti keras kepala, mulutnya jahat, dan sombong...


Kelak, apa aku juga bisa seperti Ibu...


Dipanggil ke sekolah gara-gara anak.


Mendengarkan curhatan soal pacar anak.


Ikut senang melihat pertumbuhan anak...


Apa aku bisa merasakan waktu bahagia seperti itu?


...Kalau bisa, aku ingin merasakannya.


Bersama anakku tersayang, dan... Yamamoto.


“Haaah.”


Aku menghela napas panjang.


Belakangan ini aku aneh. Dan setiap kali aku menyadarinya, aku jadi jengkel dan menghela napas. Tensi-ku lagi aneh.


...Padahal aku belum jadian sama Yamamoto, tapi sudah mengharapkan yang lebih jauh.


Sejak kapan aku jadi cewek obsesif begini?


“Ini semua salah Yamamoto...”


Ini semua karena dia terlalu memanjakanku.


“Pokoknya, kalau urusan rumah sudah beres, Ibu mau kamu antar keliling Tokyo.”


Ucap Ibu dengan riang.


“Eh? Nggak mungkin, lah.”


Tapi, sadar akan kemampuan buta arahku, aku menolak.


“Sampai sini saja bisa, masa itu nggak bisa. Cari tempat makan yang enak, ya.”


“...Biarpun aku bisa pulang sampai sini, aku nggak PD.”


“...Tumben, kamu kok nggak yakin gitu.”


Ibu sepertinya merasa aneh dengan sikapku.


“Ibu kan cuma minta dijemput di stasiun, terus kita minum teh di dekat-dekat situ. Itu saja nggak bisa?”


“Iya. Nggak bisa.”


“Eh...?”


Ibu tampak bingung.


“Tapi, kalau begitu... kamu tadi pulang sendiri ke sini, bagaimana caranya?”


“...Ah. Aku belum cerita, ya?”


“Memangnya kamu pulang pakai cara yang perlu penjelasan?”


Mengabaikan Ibu yang kaget, aku mengeluarkan sebuah buku kecil dari tote bag-ku.


“Apa ini?”


Aku meletakkan buku itu di depan Ibu. Ibu melihat buku itu dan aku bergantian.


“’Buku Panduan Pulang Kampung’.”


“Buku Panduan... Pulang Kampung...? Eh, maksudnya? ...Hah?”


Ibu kelihatannya tidak mengerti.


“Ini buku panduan yang dibuatkan Yamamoto waktu aku bilang mau pulang sendiri.”


“Hah?”


Ibu masih belum paham.


“...Kamu, dibuatkan buku panduan pulang kampung oleh Yamamoto-kun?”


Tapi, begitu dia mengerti maksud ucapanku, entah kenapa dia tampak syok.


“I-Iya. Aneh, ya?”


“Iya. Aneh.”


“...Isinya kayak gini. Dijelaskan harus naik kereta jam berapa, gerbong nomor berapa, lengkap dengan foto keretanya. Terus ada foto peron stasiun transit, foto tangga ke lorong penghubung, foto setelah naik tangga, sama foto peron transitnya.”


Setiap kali aku membalik halaman buku itu, wajah Ibu semakin kaku.


“...Detail banget, ya.”


“Dia kan orangnya perfeksionis.”


“Cuma karena perfeksionis sampai segitunya?”


“Iya.”


“Nggak, normalnya nggak, tapi... dia segitunya?”


“Namanya juga Yamamoto.”


“Baru sekarang kamu menunjukkan kepercayaan setinggi itu pada Yamamoto-kun.”


“Yah, biarpun kelihatannya panduan ini sempurna, Akari banyak banget komplainnya.”


“Oh, ya?”


“Iya.”


“...Memangnya apa yang dikomplain Akari-chan?”


“Dia bilang, ‘Nggak ada cara penanganan kalau sampai salah transit!’”


“...Selama ini, kamu separah apa sih buta arahnya sampai bikin Akari-chan repot?”


“Eh, nggak tahu. Kayaknya nggak sering-sering amat.”


“Sudah melihat panduan ini, tapi masih dikomentari soal kemungkinan salah transit?”


“Tapi nyatanya aku memang salah transit, sih. Ehehe.”


“Jangan malah ‘Ehehe’.”


“Tapi komplain Akari jahat juga, ‘kan. Padahal Yamamoto sudah capek-capek bikin panduannya...”


“O-Oh...”


“Makanya aku pikir. Komplain Akari itu salah. Panduan Yamamoto ini sempurna. Untuk membuktikannya, aku nggak boleh salah transit!”


“Itu bukan kalimat yang diucapkan dengan bangga setelah kamu gagal, ‘kan.”


Benar juga, ya. Kena skakmat, aku pun tertunduk lesu.


“Lagian, kamu sama sekali nggak bisa pulang sendiri, ‘kan.”


“Eh, bisa, kok. Sambil lihat panduan.”


“Normalnya, nggak ada yang bakal buatin panduan kayak gini. Anak TK yang ‘belanja sendirian pertama kali’ (acara TV Hajimete no Otsukai) saja cukup pakai penjelasan lisan dari ibunya.”


“Tunggu dulu. Anak TK bisa menempuh perjalanan hampir 200 kilometer sendirian?”


“Kamu... mau menyaingi anak TK...?”


Ibu tampak sedikit ilfeel.


“Pokoknya Ibu ngerti. Nanti kalau ketemu Yamamoto-kun, Ibu juga akan berterima kasih.”


“Ah, kalau gitu pas banget.”


“...Hm?”


“Yamamoto besok mau jemput aku.”


Entah kenapa, Ibu terbelalak.


“Eh, kenapa?”


“...Padahal aku sudah bilang nggak usah.”


Ucapku (dengan malas).


“Di kepulangan kali ini, Yamamoto sudah mendaftarkan aplikasi pelacak di ponselku. Semalam waktu aku salah transit, Yamamoto langsung sadar aku nggak bergerak padahal sudah jam berangkat kereta, jadi dia menelepon. Dia tanya ‘Kereta berikutnya sudah mau berangkat, kamu ggak apa-apa?’ Di situlah ketahuan aku salah peron. Beneran, deh, setelah itu... repot banget.”


“...”


“’Ternyata perjalanan 200 km sendirian masih terlalu cepat buatmu,’ katanya. ‘Aku yang salah. Penjelasanku kurang,’ katanya. Aku jadi repot menenangkan Yamamoto yang depresi.”


“...Ya, ampun.”


“Kaget, ‘kan?”


“Anakku, ternyata lebih parah dari anak TK...!”


Ibu sudah benar-benar ilfeel.


Aku nggak tahu dia ilfeel sama apa. Tapi rasanya jahat banget.


“Akhirnya, dia bilang karena besok libur, dia mau jemput...”


“Begitu. Kalau gitu Ibu mau beli oleh-oleh (kue) dulu.”


“Ah, kalau gitu biar aku yang beli.”


“...Nggak usah. Ibu nggak tenang kalau kamu yang pergi.”


“Kok aku diperlakukan kayak gitu, sih?”


“...Habisnya, anak TK saja bisa berhasil disuruh belanja pertama kali tanpa pelacak, dan tanpa bantuan orang tua di tengah jalan.”


“Tapi kan, acara ‘belanja sendirian pertama kali’ sudah di-setting sama staf biar seru.”


“Kalau begitu tidak masalah. Tingkat buta arahmu itu juga sudah bisa dijadikan tontonan, kok.”


Dari tadi Ibu pedas banget omongannya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close