Chapter 19 – Permintaan maaf
Maehara Maki dan Amami Yuu. Dua orang yang sama sekali tidak berhubungan satu sama lain sedang mengobrol. Fakta ini membuat suasana yang tadinya ramai menjadi hening dalam sekejap.
“Eh? Uhh… Aku?”
Dia secara spesifik menyebut namaku. Jadi, tentu saja dia memanggilku. Tapi aku panik, mau tak mau aku melontarkan pertanyaan itu.
Sekarang aku mengumpulkan tatapan penasaran dari seluruh kelas.
Aku tahu, semua orang pasti tidak menduga bahwa seorang penyendiri sepertiku mengobrol dengan Amami-san 'gadis paling imut pertama dikelas'. Mereka pasti tidak menyukai Idol mereka berbicara dengan seorang penyendiri sepertiku.
“Iya.. Ah, tenang saja. Aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin berbicara denganmu tentang tempo hari. Kamu tidak keberatan, kan?"
“Ah, yah. Aku tidak keberatan. Tapi...."
Di saat semua orang di kelas mulai membicarkanku dengan Amami-san, aku melirik ke arah seseorang atau lebih tepatnya. Asanagi, orang yang kuanggap sebagai temanku.
Aku tidak tahu apa yang Asanagi dan Amami-san bicarakan. Tapi, mungkin dia menyuruh Amami-san untuk setidaknya meminta maaf padaku dengan cepat karena pertemuan terakhir kami cukup tidak menyenangkan.
Asanagi memberi isyarat permintaan maaf dengan tangannya...
"Um, tentang kejadian tempo hari.. Aku benar-benar minta maaf. Aku mengajakmu bergaul denganku dan yang lainnya tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Maafkan aku, Maehara-kun."
“E-eh.. t-tidak, tidak apa-apa. Kau tidak salah, Amami-san. Sebaliknya, akulah yang seharusnya meminta maaf kepadamu. Jadi, tolong angkat kepalamu.”
Aku bahkan tidak perlu mempertanyakan ketulusannya. Itu jelas terlihat di wajahnya. Dia benar-benar tulus ingin meminta maaf kepadaku.
Padahal dia bisa saja mengabaikan seorang penyendiri sepertiku.
Aku sudah tahu itu, Amami-san sangat baik.
“Jadi, kamu mau memaafkanku? Kamu tidak marah padaku lagi?”
“Ya, aku tidak marah atau semacamnya. Sebaliknya, aku yang harusnya minta maaf. Maafkan aku, Amami-san."
"Tidak, tidak, aku yang salah. Maafkan aku.."
"....."
Kami terus melakukan hal ini sampai bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
Aku harus berterima kasih pada bel yang berbunyi. Jika tidak, kami akan terjebak dalam lingkaran permintaan maaf yang tak ada habisnya.
“Baiklah~ semuanya, duduk… Eh? Ada apa, kalian. Hmm ..."
Yagisawa-sensei, wali kelas kami, masuk ke kelas dan mengirimi kami tatapan penuh kecurigaan.
“Jadi, kamu memaafkanku?"
"Tentu.."
“Terima kasih, Maehara-kun.."
"Ya..."
"Ngomong-ngomong.. Hari ini, apa kamu punya waktu luang? Aku ingin berbicara denganmu. Bisa, kan?"
“Eh? Ya, aku punya.."
“Sudah diputuskan! Kalau begitu, aku akan memberitahumu detailnya nanti. Ah, kamu masih menyimpan nomor yang kukasih waktu itu, kan?"
“Eh?”
""Hah!?""
Saat kata-kata itu keluar dari mulut Amami-san. Suasana kelas yang tadinya hening kembali menjadi ramai.
Mereka mulai membicarakan sesuatu seperti,
'Oi, apa kau mendengar itu?'
'Bagaimana dia bisa mendapatkan nomor HP Amami-san?'
'Ini pertama kalinya mereka berbicara satu sama lain, kan?'
'Tidak, kurasa mereka pernah berbicara satu sama lain sebelumnya..'
'Apa kau serius?'
'Aku tidak percaya, penyendiri seperti dia bisa mendaptakan kontak Amami-chan.'
'Benar.'
'Sial, dia membuatku cemburu ...'
Mereka bahkan tidak berusaha menyembunyikannya, percakapan mereka sampai ke telingaku.
"Um, apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?"
“Amami-san… Itu seharusnya rahasia, bukan…?”
"…Ah!"
Pertama kali kami berbicara bukan di arcade. Tapi beberapa waktu lalu, di bawah bayang-bayang sepeda di tempat parkir.
Saat itu kami bersembunyi dan melihat adegan pengakuan yang melibatkan Asanagi bersama.
Aku sudah meminta maaf kepada Asanagi tentang hal itu. Tapi, aku merahasiakan fakta bahwa Amami-san bersamaku.
Itu sebabnya, aku selalu berusaha agar tidak terlibat dengannya. Jika aku terlibat denganya. Aku hanya akan mendapat tatapan mengerikan dari teman kelasku. Terutama anak laki-laki.
“K-kalau begitu, sampai jumpa lagi.."
“Y-ya …”
Saat Amami-san berjalan kembali ke tempat duduknya dengan langkah kecilnya, smartphone di sakuku tiba-tiba bergetar.
Aku bahkan tidak perlu melihat siapa yang mengirimiku pesan.
Itu adalah orang yang sama yang mengeluarkan buku pelajarannya dan menatap papan tulis dengan saksama.
[Maehara, kita perlu bicara.]
Begitu aku melihat pesannya, aku menjerit kecil.
[Baik...]
Akankah permintaan maaf sederhana cukup baginya untuk memaafkanku? Haruskah aku menyelesaikan sendiri dan melakukan dogeza?
|| Previous || Next Chapter ||
12 comments