-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dokuzetsu Kuudere Bishoujo Volume 4 Chapter 3

Chapter 3 - Serangan Pencegahan


Beberapa jam setelah pertemuan yang bergejolak di bandara.

Di sebuah apartemen besar, Naoya sedang sibuk dengan tumpukan kardus.

Dari luar jendela terlihat hari mulai gelap, lampu-lampu rumah dan jalan bersinar terang di bawah.

Dia membuka salah satu kotak karton besar yang penuh dengan buku-buku tebal dan semuanya dalam bahasa Inggris. Naoya melihat ke belakang untuk memeriksa jumlah buku tersebut.

"Hei, kau tahu? Kurasa aku bisa memasukkan semua ini ke rak buku itu."

"Oh, ya. Kalau begitu, tolong lakukan itu untukku."

"Oke."

Arthur, yang juga sedang membuka bungkusan itu, berhenti dan menjawab.

Tempat dimana Kakek Koyuki telah menyiapkan akomodasinya selama di Jepang adalah sebuah apartemen yang tidak jauh dari rumah Koyuki.

Apartemen tersebut dilengkapi dengan furnitur dan memiliki banyak kamar. Koper yang dia kirim dari rumah orang tuanya sudah tiba dan sekarang mereka berdua bekerja keras untuk membongkarnya.

Naoya mengemasi buku-buku itu seperti yang diminta oleh Arthur.

Saat dia bekerja dengan cepat, Arthur mendatanginya dan menatapnya dengan curiga.

"Apa kau pernah ke sini sebelumnya? Kau bahkan sudah selesai merapikan semuanya."

"Tidak, karena kau adalah orang yang agak kutu buku, bukan? Kupikir mungkin dia akan mengurutkannya berdasarkan ukuran dan kemudian menurut penulisnya."

"Lalu kenapa kamus itu ada di pojok begitu? Jelas-jelas ini terlihat menonjol dari yang lain."

"Loh itu kan manga. Beratnya saja jauh berbeda."

"...Aku tahu ini keputusan yang salah untuk membiarkanmu masuk ke kamarku."

Arthur terlihat enggan dan mengambil buku yang katanya adalah kamus tersebut.

Dia melepas sampulnya dan terlihat sebuah manga Jepang. Mungkin karena seleranya telah terungkap, Arthur membukanya kembali dan langsung memasukkannya ke dalam rak buku.

Monograf berwarna pastel yang bersembunyi di antara buku-buku asing tersebut terlihat sangat menonjol.

Arthur menghela napas panjang.

"Aku senang kau mau membantuku, tapi... apa kau yakin? Aku itu tunangan Koyuki. Aku adalah musuhmu."

"Tidak, kau bukan musuhku. Aku akan senang jika aku bisa berteman denganmu."

"Bukannya sebelumnya kau terlihat seperti ingin bertarung...?"

Naoya dengan riang mengulurkan tangan kanannya kepada Arthur, tetapi Arthur hanya memberinya tatapan sinis.

Tentu saja, dia bahkan tidak menjabat balik tangannya.

Dia menatap Naoya sejenak, lalu tiba-tiba warna wajahnya berubah.

"Jangan bilang kau ingin mendekati Claire? Sama sekali tidak boleh!"

"Jangan khawatir, di hatiku hanya ada Koyuki."

"Kau bisa mengatakan apa pun yang kau inginkan dengan mulutmu!"

Tangan Naoya ditepis begitu saja dan Arthur memelototinya dari jarak dekat.

Matanya setajam elang dan memancarkan niat membunuh.

"Dengar, dia merayumu demi aku. Jangan merasa kepedean."

"Haha, lah terus kenapa.."

Naoya menertawakannya dengan riang.

Meskipun pandangan dan niatnya terlihat sangat ganas. Tapi setelah Naoya mengetahui alasan dari sikapnya itu, dia merasa santai.

Kepada Arthur yang sedang resah, Naoya hanya berkata.

“Aku tidak punya selera untuk bermain-main dengan gadis yang disukai temanku.”

"Lho, aku kan tidak tahu apa seleramu... ehh?"

Kemudian Arthur menutup mulutnya.

Matanya melebar dan dia menatap Naoya.

"Hah, apa maksudmu...?"

"Ya...itu loh gadis yang disukai Arthur. Gadis yang disukaimu. Claire, kan?"

"... Apa!?"

Pada saat itu, Arthur mengeluarkan teriakan aneh dan melompat menjauh.

Dia menyandarkan punggungnya ke dinding ruangan untuk menjauhkan diri dari Naoya. Tapi, wajahnya semerah apel dan berada di ambang kehancuran. Dia berteriak dengan suara gemetar.

"Apa yang kau bicarakan!? Berhentilah bermain-main denganku!"

"Aku benar-benar serius tentang hal ini."

Naoya mengangkat bahunya dan meraih manga yang telah disusun Arthur di rak buku.

Manga tersebut adalah manga romcom yang umum dan Naoya sudah membacanya sebelumnya. Tema ceritanya adalah kisah cinta antara dua saudara tiri yang tidak memiliki hubungan darah dan heroinenya memiliki tipe kuudere.

Sembari membolak-balikkan halamannya, Naoya melanjutkan pembicaraannya.

"Adik ini sangat mirip dengan Claire, bukan? Itu sebabnya ini manga favoritmu, kan?"

"Oh, memang benar itu manga favoritku, tapi... Claire tidak ada hubungannya dengan itu!"

Arthur merebut manga itu darinya.

Dia meletakkannya kembali di rak buku dan kemudian berdeham dan batuk.

"Kuharap kau bisa menarik garis yang lebih tegas antara manga dan kenyataan. Aku dan Claire hanyalah Kakak-adik. Jangan salah paham."

"Aku tahu."

Naoya mengangguk setuju.

Meskipun dia terlihat menyesalinya, rona merah di wajah Arthur belum hilang sama sekali. Bahkan suaranya serak dan dia terus-menerus menggosok bagian belakang lehernya.

Bahkan Naoya tahu bahwa dia dalam keadaan shock.

Hanya saja...

"Tidak mungkin aku mencintai adikku... itu tidak bisa dan tidak seharusnya terjadi."

Kata-kata yang dia gumamkan dalam bisikan itu dipenuhi dengan segala macam perasaan.

Dan itu tidak salah lagi adalah perasaannya yang sebenarnya.

Ya inilah yang akan terjadi, bukan? Pertama-tama, aku harus membuatnya mengakui perasaannya...

Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, seorang adik perempuan tetaplah seorang adik perempuan.

Hanya dia yang akan mengerti betapa salahnya baginya untuk jatuh cinta dengan orang itu.

Yah, pilihan terakhir tetap ada di tangan mereka. Kurasa aku akan membantu mereka saat mereka membutuhkannya...

Karena itu, menunjukkan dengan tegas ‘kalian saling mencintai’ pada mereka hanya akan memperburuk keadaan.

Bahkan jika mereka akhirnya dapat bersama, akan lebih bijaksana untuk menghindari pergerakan paksa.

Naoya dan Arthur sama-sama terdiam dan keheningan menyelimuti ruangan itu. Yang terdengar hanyalah suara mobil di jalan. Lalu…

"Makan malam sudah siap! Ayo makan semuanya!"

Suara ceria Koyuki pun datang menghampiri mereka.

Suasana canggung di antara mereka berdua pun akhirnya memudar.

Mereka saling memandang dan bergerak menuju ruang makan dan dapur.

Ruangan itu cukup luas, dengan beberapa perabotan baru, termasuk meja.

Di sudut ruangan, sejumlah kantong plastik besar bertumpuk. Itu adalah kebutuhan sehari-hari yang dibeli di toserba dalam perjalanan ke sini.

Dapurnya juga merupakan dapur yang canggih dan mengkilap dengan kompor modern.

"Hum…Hum...Hum~"

Di sana berdiri Koyuki dengan celemeknya. Dia mengaduk isi panci, menyendoknya ke piring kecil dan mencicipinya.

Dibandingkan dengan hari-hari ketika dia berada di samping Naoya sebelumnya, perilakunya telah meningkat pesat.

"Aku ingin tahu apakah ini sudah pas. Apa kamu mau mencicipinya juga, Claire?"

"Nggak apa-apa nih?"

Claire, yang sedang mengatur piring dan sumpit di atas meja, tiba-tiba menjadi bersemangat.

Dia meletakkan mulutnya di piring kecil yang dia terima dan menghela nafas kecil.

"Ini enak... rasanya sangat lembut."

"Aku membuatnya sedikit ringan. Jadi, kamu akan belajar menyukainya selama kamu tinggal di sini. Oke, Claire-san dan Arthur-kun, siapkan piringnya. Naoya-kun, bantu aku di bagian ini."

"Oke."

Naoya melakukan apa yang diperintahkan dan berdiri di sebelah Koyuki.

Kedua saudara itu pun saling berbicara saat mereka buru-buru mengatur piring.

"Jadi, kapan barang-barangmu akan tiba? Untungnya ruangannya besar..."

"Jadwalnya sih besok. Tapi jangan dibuka tanpa izin ya, ada pakaian dalamku di dalamnya."

"Ap...Siapa juga yang mau membukanya!?"

Percakapan itu benar-benar terdengar seperti kisah romcom tentang pasangan yang tinggal bersama.

Ketika mereka sedang sibuk dengan dunia mereka, Naoya ikut berbicara dengan nada pelan pada Koyuki

"(Oke, kalau begitu, seperti yang kita diskusikan, kan?)"

"(Aku tahu, tapi... Apa kamu yakin ini akan berhasil?)"

Koyuki mengerutkan kening saat dia menyajikan sup miso di mangkuk.

Dia memandang Arthur dan Claire sambil menghela nafas dan meletakkan tangannya di dagunya sambil berpikir.

"(Aku tidak berpikir kita hanya perlu bermesraan saja dan tanpa membicarakan masalah pertunangannya... Pasti ada cara yang lebih konstruktif untuk membicarakannya.)"

"(Tapi, ini cara yang tercepat.)"

Ada banyak cara untuk melakukannya, tetapi inilah cara terbaik untuk mengubah pikiran mereka bagi Naoya.

Naoya memang ingin bermesraan dengan Koyuki, tetapi cara inilah terbaik untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Naoya tersenyum dan menepuk dadanya.

"(Yah, baiklah. Aku akan mengurusnya. Pada saat kita selesai makan malam, aku yakin dia akan menyerah dengan gelar tunangannya.)"

"(Jika itu yang dikatakan oleh seorang profesional dalam seni membimbing pikiran orang sepertimu...Yah, kurasa aku akan berusaha menerimanya.)"

Koyuki mengangguk dengan ragu.

Sementara mereka mendiskusikan strategi seperti itu, Arthur berbicara kepada mereka dengan nada meminta maaf.

"Maaf, kalian berdua. Bukan hanya untuk belanjaannya, tapi untuk semua bantuan yang kalian berikan padaku."

"Oh, jangan khawatir tentang itu. Saat kau dalam masalah, serahkan saja pada kita berdua. Benar 'kan, Koyuki."

"Kurasa begitu. Aku yakin ada banyak hal yang tidak kamu mengerti karena kau baru saja datang ke Jepang."

Baik Naoya dan Koyuki saling tersenyum.

Naoya memang ingin menghapus gelar ‘tunangan’ itu darinya, tetapi dia tidak memiliki niat bermusuhan terhadap salah satu dari mereka.

Namun, Claire memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.

"Kakakku dan aku di sini sedang berusaha untuk menghancurkan hubungan kalian. Akan wajar bagi kalian untuk menganggap kami musuh. Aku tidak melihat adanya alasan bagi kalian untuk bersikap baik kepada kami..."

"Ohh, Arthur mengatakan sesuatu yang mirip padaku tadi."

Naoya tersenyum nakal.

"Jangan khawatir. Lihat saja kami."

"Hei?"

"Wah...!?"

Claire memutar matanya dengan takjub.

Seolah ingin menunjukkan kepada mereka, Naoya merangkul Koyuki dan menutup jarak di antara mereka.

Dia tersenyum pada Koyuki, yang bingung, dan menyatakan.

"Tidak peduli seberapa banyak kalian mencoba mengganggu kami, kami tetap akan saling mencintai. Benar, Koyuki?"

"Umm...kamu benar...fufufu.."

Koyuki tersenyum lembut.

Bersamaan dengan senyum lembutnya, Koyuki seolah sedang menunjukkan ketenangannya. Namun, dari jarak dekat, Naoya bisa melihat dengan jelas raut wajahnya. Dia terlihat berusaha keras untuk menahan rasa malunya.

‘Aku tahu kamu bilang kita akan mencoba bermesraan didepan mereka berdua, tapi…bukankah ini terlalu dekat!?’. Aku bisa membaca suara protes itu dari caranya menatapku...

Tapi, Naoya pura-pura tidak memperhatikan.

Dan kemudian, Arthur dan Claire, yang telah ditunjukkan deklarasi cinta yang mesra seperti itu, saling memandang.

"Kupikir di bandara... keduanya sudah sangat dekat."

"Ehh... Kudengar orang Jepang itu pendiam. Ternyata beda dengan image yang ada dipikiranku."

"Yah, biasanya kita tidak akan sedekat ini."

Naoya pun mengangkat bahunya.

Sejak dia membuka layanan konsultasi hubungan, dia memperhatikan bahwa orang Jepang memang tidak pandai dalam mengungkapkan isi hati mereka. Ada banyak pasangan yang saling mencintai, tetapi di luar terlihat seolah tidak dekat.

"Kami itu spesial. Lagipula, kami baru saja mulai berpacaran dan kami saling mencintai 'kan, Koyuki..?"

"M-Mn, itu benar... fufufu..."

Koyuki memberikan senyum lembutnya kembali.

Dia mengatakan kalimat yang sama persis seperti sebelumnya, tetapi dengan suara yang jauh lebih tegang.

Dia dengan lembut melepaskan rangkulan Naoya dan berkata dengan sedikit canggung

"Muu, Naoya-kun. Kamu bisa melakukannya kapan saja kamu mau nanti. Untuk saat ini, ayo makan sebelum makanannya dingin."

"Oke. Yah, aku akan tetap memakannya meskipun dingin. Oh iya, kalian berdua bisa duduk di sana, oke? Kursi di sebelah Koyuki disediakan hanya untukku."

"Huft..."

Dan, kami pun mulai menyantap makan malam yang telah dihidangkan.

Meja makan dipenuhi dengan nasi putih, sup miso, hidangan rebus dan kroket yang dibeli di supermarket.

Menunya sedikit polos atau sederhana untuk menjamu tamu asing dari luar negeri. Kemudian Naoya tersenyum sambil duduk.

"Jika kita punya waktu persiapan lebih, kita bisa membuatkan hidangan yang lebih rumit. Ini mungkin kurang baik untuk menyambut hari pertama kalian di Jepang."

"Maaf, aku hanya bisa membuat sup miso untuk kali ini..."

"Tidak, tidak, tidak apa-apa kok."

Bahu Koyuki merosot, tetapi Arthur menggelengkan kepalanya dengan kuat.

Sembari memegang tehnya sendiri dengan kedua tangannya seolah-olah itu hal berharga baginya, matanya berbinar.

"Ini adalah meja makan Jepang seperti yang terlihat di anime dan manga. Aku sangat senang!" [TN: Dasar wibu.]

"Aku senang mendengarmu mengatakannya. Tapi karena kalian ada di sini, aku akan memamerkan keahlianku lain kali. Aku akan mencoba membuatkan apa saja yang kalian inginkan."

"Kalau begitu, aku ingin mencoba tamagoyaki dan sosis wiener...! Kau selalu memasukkannya di dalam bentomu, kan?"

"Oh, aku juga ingin mencoba puding Jepang! Manisan legendaris yang selalu ada di lemari es orang Jepang yang kalau kita tidak menuliskan nama kita di atasnya, anggota keluarga yang lain akan memakannya...!"

“Oh, tapi kau benar-benar bisa membuatnya kan? Aku yakin kau bisa membuatnya dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk memasaknya.”

Itu adalah permintaan berdasarkan pengetahuan wibunya yang sangat bias.

Sementara Naoya sedang dikerumuni oleh keduanya, Koyuki yang berada di sebelahnya membusungkan dadanya seolah-olah dialah yang sedang dipuji.

Dia sedikit bingung dengan desakan Naoya tadi, tetapi rona merah di wajahnya sudah hilang.

"Fufufu, tapi memasak adalah salah satu dari sedikit keahlian Naoya-kun. Aku harap kalian akan terkejut saat mencobanya nanti."

"Jadi kau seorang koki dan detektif dengan keterampilan yang hebat... Apakah orang-orang di Jepang memiliki kepribadian yang OP seperti karakter-karakter di anime isekai?"

"Tidak, hanya dia saja yang spesial. Aku juga kerepotan karena kepribadiannya itu..."

Koyuki mendesah kecil melihat tatapan penasaran Arthur.

Mereka seharusnya menunjukkan cinta mereka satu sama lain, tetapi ada rasa lelah yang nyata melayang di udara sekitar Koyuki.

Mengabaikan hal ini, Naoya bertepuk tangan dan mendesak.

"Baiklah, ayo makan sebelum dingin. Kalian berdua bisa menggunakan sumpit, kan?"

"Tentu saja. ‘Saat di Roma, bersikaplah seperti orang Roman’. Aku sudah melatihnya dengan baik."

Claire mengatupkan kedua tangannya sebelum meraih mangkuk yang berisi sayuran rebus.

Sayurannya bulat dan tebal. Akan sedikit sulit untuk meletakkannya di antara sumpit. Namun, Claire mengambil wortel dan memasukkannya ke dalam mulutnya tanpa kesulitan dengan sumpitnya yang dipegang dengan indah.

Dia dengan elegan menyembunyikan mulutnya dan mengunyah wortel dengan sedikit tegukan.

"Rasanya sangat enak. Seperti yang kamu lihat, cara memegang sumpitku sempurna, kan?"

"Oh, kau cukup pandai dalam hal itu, bukan?"

"Tentu saja. Adikku adalah seorang wanita dengan sopan santun yang sempurna."

Arthur dengan bangga memuji Claire.

Untuk mengatasi ini, Naoya melirik Koyuki.

"Koyuki-ku juga tidak kalah. Benar kan, Koyuki.."

"Ehh...tidak kalah...oh, tentu saja, sumpit!"

Pada awalnya, Koyuki terkejut dan melamun, tetapi dengan segera dia sepertinya sudah mengetahui maksud sebenarnya dari kata-kata Naoya.

Wajahnya memerah dan matanya terlihat gelisah.

"Apa kita benar-benar akan melakukannya...?"

"Tentu saja. Ayo!"

"Ahh, muuu... Oke, aku mengerti. Ini, ahhhn..."

Dengan putus asa, dia mengambil sepasang sumpit, mengambil talas dan menyuapkannya ke Naoya.

"Ayo, Naoya-kun.. 'Ahn' ...."

Tanpa ragu, Naoya langsung melahap suapan pertama dari Koyuki.

Sementara itu, Claire yang melihat ini hanya menatap menatap, kagum.

"Oh, bukankah itu yang disebut ciuman tidak langsung? Aku dengar itu adalah hal yang sangat penting bagi pria dan wanita di Jepang..."

"Ini hanyalah hal sehari-hari bagi kita."

Claire meletakkan tangannya di atas mulutnya dan mendesah.

Naoya mengangguk dan mengangkat jari telunjuknya.

Dengan suara yang terdengar menghasut, dia mengatakan.

"Btw, menerima ciuman tidak langsung di Jepang sama dengan menjanjikan cinta abadi antara satu sama lain."

"Oh... aku juga melihatnya di manga! Budaya negara ini sangatlah dalam..."

"Itu tidak mungkin benar. Arthur-kun, apa semua pengetahuanmu tentang Jepang berasal dari sumber 2D...?"

Koyuki memberinya tatapan tajam.

Dia penasaran. Makanya, dia mengalihkan perhatiannya ke percakapan itu sambil mengunyah semangkuk sayuran rebus.

"Claire-san, apa kamu juga menyukai Jepang karena pengaruh Kakakmu?"

"Ya, benar. Dari dulu, kami sering menonton Anime Jepang bersama.."

Claire mengangguk setuju.

Dia menatap Koyuki dengan pandangan jauh seakan sedang bernostalgia dengan masa lalu, tetapi ada sedikit bayangan di senyumnya.

"Itu adalah anime tentang seorang gadis penyihir, tapi... itu berhenti disiarkan di negara kita di tengah jalan."

Oleh karena itu, mereka meminta orang tua mereka untuk memesan Blu-ray Disk dari Jepang.

Tapi, BD tersebut hanya tersedia dalam bahasa Jepang.

"Aku sangat kecewa. Tapi, Nii-sama pernah berkata kepadaku..."

"'Aku akan mempelajarinya dan menerjemahkannya untuk Claire. Jadi, kita bisa menontonnya bersama suatu hari nanti', seperti itu kan?"

"Ya, benar. Naoya-sama sangatlah peka."

Dan sejak saat itu, Arthur mulai belajar bahasa Jepang dengan sangat antusias.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menguasainya dan kemudian dia, dan Claire menonton anime bersama.

Mendengar cerita ini, mata Koyuki berbinar senang.

"Yup... itu cerita yang sangat mengharukan. Kalian adalah saudara yang luar biasa."

"Yah, itu bukan masalah besar. Aku selalu tertarik pada bahasa." kata Arthur.

Dia memalingkan wajahnya sedikit, tetapi terlihat ada sedikit rona merah di wajahnya yang sulit disembunyikan.

Claire, entah bagaimana, berdiri dari tempat duduknya dan mulai berbicara.

"Ya, Nii-sama adalah pria yang sangat baik. Dia sempurna dalam studi dan olahraganya, dan bahkan telah beberapa kali penghargaan sebagai siswa teladan di sekolahnya di negara asalnya. Dan tentu saja, dia adalah yang paling sopan di antara yang lainnya."

Setelah mengatakan semua itu, dia tiba-tiba mulai panik.

"Eh, tapi dibalik itu semua. Meskipun dia sudah mencoba yang terbaik untuk menyembunyikannya, aku menemukan kalau ternyata dia punya beberapa game dan manga yang tersembunyi di bawah tempat tidurnya dan di balik rak bukunya! Dia benar-benar tidak layak untukmu, Koyuki-sama...!"

"Oke, lupakan tentang mengapa kau tiba-tiba mulai menjatuhkanku... tapi bagaimana kau bisa tahu?"

Darah Arthur mendidih ketika rahasia itu tiba-tiba diungkapkan olehnya. Faktanya, itu adalah kesalahan total.

Di tengah semua ini, Koyuki diam-diam menatap Naoya dan membisikan sesuatu padanya.

“(Apa dia melakukan itu agar aku tidak tertarik dengan Arthur-kun? Dia pasti sangat menyukainya...)"

“(Aku juga berpikir begitu. Mereka benar-benar sehati dan sepemikiran.)"

Sementara mereka berdua berbicara diam-diam, Arthur berdeham.

Dia kemudian mengalihkan pandangan ragu ke arah saudara perempuannya.

"Tunggu sebentar. Bukankah Claire datang ke Jepang untuk membantuku agar dekat dengan Koyuki?"

"I-itu benar. Apa yang salah dengan itu?"

"Jadi, bukankah hal yang kau katakan baru saja malah berakibat buruk bagiku...?"

"Eh...?"

Wajah Claire berkerut seolah-olah dia baru saja menyadarinya dan dia kehilangan kata-kata.

Arthur, yang tidak tahu niat sebenarnya dari adiknya, meletakkan tangannya di dagunya seolah ingin mengerang.

"Tapi, kenapa kau menekan Naoya di bandara. Bukankah ada kontradiksi antara apa yang kau katakan dan apa yang kau lakukan?"

"Yah, itulah yang sebenarnya ingin aku lakukan, tapi ..."

Claire dengan cepat membuang muka. Dia mengalihkan pandangannya ke meja makan, menatap Naoya dan Koyuki yang duduk tepat di depannya dan terengah-engah sambil meneriakkan alasannya.

"Itu benar! Aku sudah memikirkannya dua kali setelah melihat kedekatan Koyuki-sama dan Naoya-sama!" [TN: Berpikir dua kali itu maksudnya jadi ragu dan enggan melakukan hal yang sebenarnya akan dilakukan.]

"Berpikir dua kali...?"

"Tepat sekali."

Claire mengangguk kuat, lalu menatap Naoya dan Koyuki dengan senyum berkilau.

"Ikatan antara keduanya itu nyata. Tidak ada ruang bagimu untuk masuk ke dalamnya. Aku minta maaf karena sudah meragukanmu sebelumnya, Naoya-sama.."

"Ah, santai saja."

Naoya dengan ringan mengangkat satu tangannya sebagai balasan.

Selain itu, dia melihat ke arah Koyuki di sebelahnya.

“(Lihat, Claire sudah masuk ke dalam perangkap kita. Tinggal satu dorongan lagi.)"

“(Tunggu, bukankah ini terlalu cepat?…)”

Koyuki juga setengah tersenyum menanggapi Claire.

Arthur memutar matanya dengan takjub pada pernyataan seperti itu.

Setelah beberapa saat, dia tiba-tiba menyadari bahwa dia juga telah memikirkannya sebelumnya dan kemudian dia menatap Claire.

"Dengan kata lain... kau tidak akan menekan Naoya lagi, kan?"

"Eh? Ya jelas lah, itu tidak masuk akal."

"Begitu... aku mengerti..."

Arthur meluangkan waktu untuk mencerna kata-kata adik perempuannya.

Naoya adalah saksi kuat dari aksi bahagianya yang dilakukan diam-diam di bawah meja.

Mungkin karena ini, ekspresinya menjadi sangat cerah. Dia kemudian menatap Koyuki.

"Yah, itu benar, James-san...maksudku, Kakek Koyuki. Ini sangat berbeda dari apa yang aku dengar darinya. ‘Meski Koyuki itu tampak tenang, tetapi dia memiliki titik kelemahan jika di paksa. Jadi, kurasa dia berpacaran dengannya karena dia mungkin kehilangan kesabarannya setelah serangan bertubi-tubi dari pria itu...’ itulah yang beliau katakan."

"Apa...sungguh tidak sopan! Ojii-san, menurutmu apa yang sedang kau lakukan dengan cucumu!"

"Koyuki, tenanglah. Itu hal yang wajar bagi seorang Kakek yang mengkhawatirkan cucunya.."

"Apa maksudnya itu! Ojii-san... Kau tidak akan lolos begitu saja jika datang ke Jepang!"

Sembari mengguncang bahunya, terlihat kemarahan Koyuki pada Kakeknya semakin membesar.

Dia akhirnya mengendus dan berbalik.

"Memang benar bahwa Naoya-kun menyerangku bertubi-tubi... Tapi aku memilih pria ini atas kemauanku sendiri. Kalau tidak, aku tidak akan mau berpacaran dengannya. Tolong jangan permainkan aku seperti ini."

"Aku ikut meminta maaf untuk kekacauan ini. Sungguh. Tapi, kalau boleh tahu..."

Arthur pun menundukkan kepalanya dan seolah sedang berpikir.

Setelah beberapa saat, dia bertanya pada Koyuki dengan ketakutan

"Apa yang kau suka dari dia...?"

"Eeh...?"

Koyuki membeku pada pertanyaan tak terduga tersebut.

Naoya, yang sudah menebak perkembangan ini, menyesap sup miso-nya tanpa memperhatikannya.

Di tengah suara air mengalir, Arthur melanjutkan dengan bingung.

"T-Tidak, maksudku, kalian sedang menjalin hubungan, kan? Aku ingin tahu apa yang menurut wanita dari generasiku menarik pada seorang pria, ini akan berguna sebagai referensiku di masa depan."

"Oh, aku juga penasaran!"

Claire juga mengangkat pinggulnya dengan suara gemerincing dan mengarahkan matanya yang bersinar ke arah Koyuki dan terlihat dirinya juga ikut penasaran.

"Ciuman tidak langsung adalah budaya yang sangat tertutup di Jepang. Rintangan untuk memulai suatu hubungan pasti cukup tinggi. Kamu sudah mengatasi rintangan itu 'kan, Koyuki-sama?"

"Umm... iya."

Mata Koyuki mengembara dari segala sisi dan akhirnya dia melirik Naoya.

Ketika Naoya menoleh untuk melihatnya, dia langsung berbalik.

Namun, Koyuki segera menyisir rambutnya ke belakang dan tersenyum.

"Memang benar bahwa banyak hal sudah terjadi, tetapi jelas bahwa orang ini tergila-gila padaku. Aku tidak melakukan terlalu banyak hal."

"...Itu tidak mungkin."

Claire menggelengkan kepalanya dengan perlahan.

Terlihat ada keraguan dari dirinya. Dia pasti sedang membandingkannya dengan kehidupan cintanya sendiri.

Claire pun melanjutkan pembicaraannya, sambil menggigit lidahnya.

"Tidak peduli cinta seperti apa itu, pasti dibutuhkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanmu kepada seseorang. Itu sebabnya menurutku itu adalah hal yang sangat indah."

"Fufufu. Claire-san, kamu terlalu berlebihan."

Koyuki tersenyum dengan wajah penuh kebanggaan.

Dia mungkin mencoba untuk menunjukkan bahwa dia memiliki ketenangan seperti orang dewasa dan hendak bertindak sebagai Senpai baginya dalam hal percintaan, tetapi kroket yang dia ambil dari piring kecil hancur berkeping-keping karena dia menusuknya dengan sumpit yang goyah.

Selain itu, Naoya bisa melihat keringat dingin yang mengalir di dahinya saat ini.

Mencoba untuk terlihat kuat disaat yang tidak perlu adalah sumber dari kehancuran…

Sambil memikirkan hal tersebut, Naoya pun menggantikan kroket yang sudah hancur itu dengan miliknya.

Sementara Naoya lanjut menyantap makanannya, Koyuki tersenyum kecut padanya.

"Lagipula, orang ini berguna dalam banyak hal, bukan? Dia memperhatikan hal-hal yang tidak perlu dan dia sangat cekatan. Dia sempurna sebagai hewan peliharaan untuk berada di sisimu." [TN: Ugh, Koyuki emang mulutnya gabisa manis dikit.] [ED: Yakali cewe Kuudere mulutnya manis wkwkwk]

"Oh, begitu. Dengan kata lain, jika dimisalkan dalam hal hubungan tuan-budak, Koyuki-sama adalah tuannya ya."

"Benar. Pria ini benar-benar patuh padaku karena kelemahan dan cintanya padaku."

"Hmmm, begitu toh. Jadi, pria yang sangat mengabdi dengan pasangannya itu populer ya...?"

Claire menatap Koyuki dengan penuh rasa kagum, sementara Arthur berpikir dan berusaha mencerna perkataan Koyuki. Sandiwara Koyuki tampaknya benar-benar tidak terdeteksi.

Di tengah semua ini, Claire menoleh ke Naoya dan berkata

"Lalu, bagaimana dengan Naoya-sama? Apa yang membuatmu tertarik pada Koyuki-sama?"

"Yah, aku tidak tahu. Tapi jika aku harus mengatakannya..."

"A…Apa!?"

Ketika Naoya melihat Koyuki, dia mengangkat matanya dan memelototi Naoya.

Namun, ancamannya itu mengingatkannya pada anak kucing yang telah dipisahkan dari induknya. Naoya pikir, seolah dia sedang melihat sebuah ekor yang besar, bengkak dan berbulu berkibas untuk mengancamnya. Dan itu malah membuat Naoya ingin mengerjainya.

Dengan senyum licik, Naoya mengungkapkan jawabannya.

"Yah, aku menyukai semua tentang Koyuki.."

"Ap...!?"

"Wow, itu sangat luar biasa..."

Koyuki terdiam, tetapi Claire meletakkan tangannya di pipinya dengan ekspresi terkejut. Dan di sisi lain, Arthur mendesah kagum.

Terlepas dari ketiga reaksi yang berbeda ini, Naoya mengabaikan semuanya dan melanjutkan pembicaraannya.

"Aku suka sifatnya yang pekerja keras, kekanak-kanakannya dan kemampuannya dalam menjaga orang lain. Lagipula, aku juga suka dirinya yang terkadang jujur."

"Mouu sudah cukup, Naoya-kun!! Ini dia, ayo makan lagi!"

"Ahhhn.."

Koyuki memasukkan sayur rebus itu ke dalam mulut Naoya sebagai upaya menutup mulutnya secara fisik. Dia juga meraih dadanya dan berbisik dengan suara pelan.

“(Memang kita akan menggoda mereka, tapi godaanmu itu terlalu berlebihan! Aku punya caraku sendiri, tau...!?)”

“(Bukan begitu, kalau aku membiarkan Koyuki yang memimpin, itu jelas tidak akan berakhir baik. Kau pasti akan menggali lubang kuburanmu sendiri nanti.)"

“(Tidak akan! Aku akan mencoba dengan caraku sendiri mulai sekarang! Mengerti!?)"

“(Ya, iya. Aku mengerti.)”

Begitu Koyuki mengatakan itu, Naoya tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya.

Kemudian, Claire yang ada didepannya kembali menatap mereka dengan rasa ingin tahu yang besar.

Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menginterupsi Koyuki.

"Btw, di mana kamu bertemu dengannya?"

"Ehh? Soal itu..."

Koyuki berpikir sejenak, lalu membuat ekspresi tegas dan berkata.

"Orang ini mendekatiku saat dia sedang bekerja paruh waktu. Ya, itu adalah awal dari segalanya.."

"Hooo...! Jadi, Naoya-sama yang tertarik dengan Koyuki-sama pada pandangan pertama?"

"Iya, kurasa begitu."

“Waktu itu aku melihatnya sedang dalam masalah. Jadi, aku membantunya. Ya, bisa dibilang akulah yang duluan mendekatinya.”

Saat Naoya mengangguk dan menjawabnya dengan mudah, Claire menyilangkan sepuluh jarinya seolah sedang takjub dan melanjutkan.

"Jadi siapa di antara kalian yang mengajak kencan pertama?"

"Ehh? Yah... sudah jelas Naoya-kun, kayaknya sih."

"Dan siapa yang pertama kali menyatakan perasaannya?"

"...Naoya-kun juga yang melakukannya dan dia menyatakan perasaannya padaku sebanyak tiga kali."

"Eh, kok bisa berkali-kali? Tolong beri tahu aku detailnya!"

"Claire-san...?"

Tampaknya gadis-gadis di seluruh dunia memang suka berbicara tentang kehidupan percintaan seseorang.

Mata Claire berbinar dan dia menggali lebih dalam dan lebih dalam.

Koyuki kewalahan dengan gempuran pertanyaan Claire. Dia pun mengatakan kepadanya secara rinci tentang peristiwa yang mengarah ke hubungan mereka.

Setelah mendengarkan keseluruhan ceritanya, Claire berdeham dan berteriak seolah sedang menyimpulkan sesuatu.

“Jadi, kamu membuatnya menyatakan perasaannya padamu pertama kali hanya selang beberapa hari setelah pertemuan pertama kalian dan kemudian kamu menunda jawabannya dan membuatnya menyatakan kembali perasaannya padamu untuk kedua kalinya?”

"Ughh..."

Ringkasan situasi yang dibuatnya menyengat hati Koyuki. Dia diingatkan langsung dengan sesuatu yang masih dia pikirkan hingga sekarang, yang menyebabkan Koyuki menyusut kembali dengan wajah merah padam.

Lalu, Naoya dengan lembut menambahkan.

"Koyuki, aku tidak peduli dengan itu, oke?"

“Wow, kamu benar-benar sabar!”

Claire menatap Naoya dengan serius dan kemudian mengangkat jari telunjuknya.

Dengan tatapan serius, yang seolah seperti sedang mendiskusikan nasib dunia, dia menanyakan.

"Btw, apa kalian pernah berciuman sebelumnya...?"

"Tentu saja, kami sering melakukan itu di belakang layar----"

"Kami tidak melakukannya sesering itu!"

Koyuki memukul bahu Naoya dan berteriak. Sepertinya Naoya sedikit merasakan kesakitan karena itu.

Kemudian wajah Koyuki berpaling dan mengatakan dengan sikap angkuh,

"Orang ini sangat cepat terbawa suasana. Itu sebabnya aku tidak mengizinkannya menyentuh bibirku kecuali pada saat-saat khusus. Bisa dibilang, sebagai hadiah untuknya."

“Hoo begitu toh…seolah seperti menggunakan cambuk dan memberi upah pada budak… ini adalah permainan cinta…”

Claire mengangguk sembari menggigit bibirnya.

Dia menghela nafas dan mengalihkan perhatiannya ke Arthur di sebelahnya.

“Mereka berdua sungguh luar biasa. Bukankah begitu, Nii-sama?”

"Umm, iya... kurasa aku tidak akan pernah bisa menirunya."

Wajah Arthur benar-benar pucat.

Dia menatap wajah Naoya dan memberikan seruan kekaguman yang jujur.

"Naoya luar biasa, jika itu aku, aku mungkin tidak dapat pulih untuk sementara waktu setelah pernyataan pertamaku ditunda..."

"Haha. Yah, itu karena aku tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Koyuki."

Walaupun Koyuki menahan jawabannya, tetapi Naoya dapat mengetahui perasaan Koyuki yang sebenarnya.

Itu sebabnya, Naoya hanya tersenyum mendengar pujian dari Arthur. Tapi, rasa hormat di mata kakak beradik itu malah semakin kuat.

Dari sudut pandang mereka, dia pasti tampak seperti pria yang sangat kuat dan fokus pada tujuannya.

Claire menatap wajah Arthur dengan prihatin.

"Sekarang aku sadar Nii-sama tidak akan punya kesempatan. Butuh seseorang dengan mentalitas yang kuat untuk menjadi partner Koyuki-sama, bukankah begitu?"

"Kurasa begitu...tapi...tapi..."

Arthur menghela nafas dengan ekspresi sedih di wajahnya.

Kemudian, dengan tampak sangat menyesal, dia mengucapkan beberapa patah kata.

"Kakek Koyuki mau membantuku untuk bisa belajar di luar negeri karena aku telah menerima tawaran menjadi tunangan tersebut. Kalau aku menyerah begitu saja di hari pertama... itu akan menyebabkan masalah tidak hanya untuk kakek Koyuki, tetapi juga untuk orang tua kami. "

"Kalau begitu, mari kita bahas lagi setelah Ojii-san datang ke Jepang!"

Koyuki, yang merasakan bahwa hati dari Arthur sudah berada di tempat yang tepat, bergegas keluar dari tempat duduknya.

Sembari mengepalkan tinjunya, dia mendesak mereka untuk menyerah.

"Tidak apa-apa, dia tidak akan pernah melakukan hal buruk padamu. Jadi, jangan khawatir... Aku akan memintamu untuk mundur dari posisimu sebagai tunanganku."

"Koyuki-san...terima kasih! Kalau begitu, tidak akan ada pembicaraan tentang pertunangan ini lagi! Kau terlalu berlebihan untukku!"

"Apa maksudmu!?"

Koyuki meneriakkan protes yang kuat pada Arthur, yang tertawa seolah-olah ada sesuatu yang jatuh dari langit.

"Fyuhh..."

Desahan lega Claire ditenggelamkan oleh keributan tersebut.

Dan Naoya adalah satu-satunya orang yang dapat mendengarnya.

Akhirnya, masalah pertunangan tersebut dapat diselesaikan dengan cepat. Koyuki pun berada dalam suasana hati yang baik, menyenandungkan nada dan kemudian menyatakan.

"Btw, semuanya sudah beres sekarang! Ayo segera habiskan makanannya. Setelah itu, ayo pergi ke minimarket dan beli es krim!"

"Minimarket? Jangan bilang itu ada di dekat sini!?"

"Aku sudah pernah melihatnya di manga! Itu tempat impian dengan banyak puding dan es krim!"

"Iya ada. Tapi, setelah kita selesai bersih-bersih, oke?"

Naoya tersenyum tipis dan ikut senang melihat mereka semua bersemangat.

* * *

Dengan demikian, saudara tersebut dipindahkan dengan aman ke sekolah Naoya.

Keduanya, sama-sama fasih berbahasa Jepang, dan dengan cepat menjadi populer di sana.

Naoya dan Koyuki pun akhirnya merasa damai, tetapi kemudian datang sebuah momen.

"Um, Claire-san...? Ada apa?"

"Aku minta maaf untuk beberapa hari yang lalu. Aku ingin meminta bantuan sebagai bentuk penghormatanku pada Koyuki-sama."

Suatu hari, Claire memanggil kami untuk menemuinya di sebuah restoran keluarga.

Segera setelah parfait raksasa diantarkan ke meja, Claire memulai percakapan dengan ekspresi serius di wajahnya.

Dia menatap Koyuki dan menundukkan kepalanya.

"Sebenarnya, aku... aku mencintai Nii-sama! Aku ingin meminta nasihatmu, Koyuki-sama, yang sudah terbukti ahli dalam melewati seratus medan pertempuran!"

"Ehhhhhhhh? Aku...?"

"Sudah kuduga ini akan terjadi."



TL: Retallia
 
ED: Sipoi


|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close