[Bagian 2]
PoV Riku
"Ini kelihatannya buruk..."
Saat itu musim dingin di tahun terakhirku di SMA.
Aku menggumamkan kata-kata itu setelah melihat hasil ujian ulangan yang kuikuti beberapa waktu yang lalu.
Dengan nilai tersebut, tidak mungkin aku bisa masuk ke universitas yang ingin aku tuju. Hal itu membuatku agak tertekan, terutama ketika ujian masuk akan datang.
Tentu saja, itu bukan karena aku sering bersenang-senang seperti orang bodoh. Aku memang introvert. Jadi, aku tidak bergaul dengan siapa pun dan lebih berfokus pada peningkatan nilai-nilaiku.
...Tapi, sepertinya usahaku tidak cukup
Bahkan tidak ada seorang pun di sekolah yang bisa kuajak bicara untuk melampiaskan perasaan terpendamku, karena aku tidak berteman dengan siapa pun.
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah menelan pil pahit ini, melanjutkan hidup dan berusaha lebih keras dalam ujian masuk yang akan datang.
Saat aku melihat lembar jawabanku, mencoba untuk mencari tahu kesalahanku, tiba-tiba aku merasakan benjolan di belakang kepalaku.
"Ups, maaf, Asanagi, aku bermaksud membuangnya ke tempat sampah. Bidikanku melenceng."
"Matsuda..."
Ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat seorang anak laki-laki datang ke arahku dengan raut wajah sombong di wajahnya. Dia adalah Matsuda, anak laki-laki paling populer di kelasku. Dia sering berbicara dengan orang introvert sepertiku dengan cara yang agak ramah.
Aku menunduk dan melihat sebuah pesawat kertas. Itu dibuat dari hasil ujian tiruannya.
Karena itu hanya hasil ujian tiruan, terserah dia apakah akan menghargainya atau membuangnya seperti sampah, tetapi membuat pesawat kertas dan melemparkannya.
Bukankah ini terlalu kekanak-kanakan? ...Yah, aku tidak terlalu dekat dengannya. Jadi, aku tidak akan mengatakan itu dengan keras.
"Matsuda, kenapa kau membuang ini?"
"Hm? Yah, aku tidak membutuhkannya. Maksudku, aku tidak akan masuk ke universitas manapun. Jadi, hasilnya tidak masalah bagiku. Namun, jangan beritahu siapa pun tentang nilaiku."
Ada huruf 'E' di sekeliling pesawat kertas yang dilipat. Sebagian besar nilainya hanya satu digit.
Dia sama sekali tidak mengikuti ujian dengan serius, ya?
SMA kami bukan sekolah persiapan. Jadi, ada sekitar setengah dari siswa yang memilih untuk mencari pekerjaan daripada pergi ke universitas. Jumlah siswa/i yang mencoba masuk ke universitas terkemuka sepertiku sangat sedikit.
Itu sebabnya suasana kelas menjadi gaduh. Mayoritas teman sekelasku tidak peduli tentang ujian masuk. Sebaliknya, mereka semua bersemangat tentang liburan musim dingin yang akan datang.
"Wajahmu tidak terlihat baik, Asanagi. Kami merencanakan pesta sepulang sekolah hari ini, apa kau ingin bergabung?"
"....Maaf, aku harus menolak. Aku harus belajar, kau tahu."
"Begitu. Tapi, menurutku kau perlu sedikit bersantai atau kau akan kehabisan bensin pada hari-H. Yah, bukan berarti aku akan tahu. Maksudku, aku tidak akan mengikuti ujian."
"....Bung, aku berharap aku bisa sebebas itu."
"Jika aku terlihat riang bagimu, itu berarti metodeku untuk menjaga segala sesuatu secukupnya adalah sukses."
Sebelumnya, dia bercerita bahwa seorang kerabat menawarinya pekerjaan sebagai teknisi listrik. Alih-alih mengikuti ujian masuk, dia lebih fokus untuk mendapatkan sertifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu.
Selain itu, dia sudah memulai pekerjaan paruh waktu di toko, membuat kata-katanya terdengar lebih kredibel.
"Baiklah, aku harus pulang sekarang. Nikmati hidupmu, kawan. Semoga kau akan mendapatkan sertifikasi itu."
"Suwun ngab. Kau juga, semoga sukses dengan studimu."
"Yaul."
Aku bisa menghitung berapa kali aku mengobrol dengannya dengan jariku, tetapi sepertinya wajahku terlihat sangat buruk sehingga dia memutuskan untuk menghiburku meskipun kami tidak begitu dekat. Aku berterima kasih lagi kepadanya dalam hati saat aku berjalan keluar kelas.
Dia benar, aku perlu beristirahat sejenak. Aku tidak ingin pergi ke pesta.
Lagipula, gadis yang dekat denganku tidak akan berada di pesta semacam itu.
* * *
Shimizu Shizuku, gadis yang dekat denganku sejak TK. Sejak sekolah dasar, ketika Adik perempuanku lahir, aku harus pindah dari rumahku sebelumnya dan meninggalkannya. Kami tetap berhubungan melalui surat-surat dan akhirnya, panggilan telepon dan email.
Tadi pagi, dia mengirim SMS kepadaku bahwa dia ingin meneleponku malam ini. Aku sangat menantikan untuk mengobrol dengannya, tetapi setelah melihat hasil ujian ulanganku, suasana hatiku menjadi sangat buruk dan aku tidak bersemangat lagi.
"Halo?"
'Rikkun, lama tidak bertemu! Bagaimana kabarmu?'
"Apa maksudmu, sudah lama? Kita baru saja saling menelepon beberapa hari yang lalu."
'Ini bukan 'hanya beberapa hari yang lalu', Rikkun! Sudah seminggu penuh sejak kita melakukan itu! Jadi, bagaimana kabarmu?'
"Sama seperti biasanya."
'Rikkun, kamu berbicara seperti itu lagi.'
Dia mulai cekikikan.
Sudah lama sejak aku melihatnya. Tapi mendengar suaranya, dia tampaknya telah tumbuh dewasa. Sebelum ini, aku menerima email dengan foto-fotonya terlampir dan dia telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
Aku ingin tahu apakah dia populer di sekolahnya?
Tentu saja, aku tidak akan menanyakan hal itu padanya, itu akan menjadi hal yang payah bagiku.
'Bentar lagi liburan musim dingin tiba, kamu akan berkunjung, kan?'
"Mungkin... Yah, akan sulit untuk berkunjung tahun depan. Jadi, aku akan mencoba untuk..."
'Kurasa begitu, ya? Universitas yang ingin kuhadiri cukup jauh...'
Seperti aku, dia juga akan melanjutkan pendidikannya di universitas. Tapi, tidak sepertiku, nilainya bagus. Dia meremehkan hal itu dengan mengatakan bahwa aku tidak boleh melebih-lebihkannya karena SMA-nya berada di pedesaan, tetapi menurut Ibunya, setidaknya cukup baik sehingga dia bisa memilih universitas negeri mana pun yang ingin dia hadiri.
Kami hidup di dunia yang sama sekali berbeda.
'Btw, ujian masuk akan dimulai dalam sebulan. Bagaimana dengan studimu?'
"...Sama saja, kurasa. Jangan khawatir."
'Benarkah? Aku senang mendengarnya. Kamu terdengar begitu sedih, kupikir sesuatu terjadi...'
"Tidak banyak yang terjadi. Aku belajar terlalu keras akhir-akhir ini dan tidak cukup tidur. Aku berencana untuk tidur lebih awal hari ini."
Aku tidak memberitahunya atau Ibuku tentang hasil ujian tiruanku. Tetapi dia mengetahui bahwa aku merasa tidak enak badan, seperti yang diharapkan darinya
Sejujurnya, aku senang bahwa dia sangat peduli padaku.
Sebaliknya, aku harus senang bahwa dia melakukannya, tapi ...
"Bagaimana denganmu, Shi-chan? Apa semuanya berjalan dengan lancar?"
'Yah, studiku berjalan dengan baik. Tapi, orang tuaku menyuruhku untuk sedikit bersantai. Jadi, aku melakukan itu. Itulah kenapa aku ingin bersenang-senang denganmu selama liburan musim dingin! ...aj-Juga, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu '
"Kau bisa mengatakannya lewat telepon, kau tahu?"
'Aku tahu. Tapi, lebih tepat jika aku melakukannya secara langsung. Aku ingin melihat wajahmu saat membicarakannya... Kalau kamu tidak keberatan, itu...'
"Aku tidak keberatan..."
Apa lagi yang bisa kujawab? Menolaknya tanpa alasan bukanlah sebuah pilihan.
Selain itu, aku tidak bisa menolaknya bahkan jika aku ingin. Aku semakin menyukai gadis ini. Saat itu, dia selalu datang kepadaku, memegang tanganku dan memintaku untuk memujinya. Setiap kali aku melakukannya, dia akan menunjukkan senyum bahagia dan aku ingin melihat senyumnya lagi.
'Hehe, terima kasih, Rikkun. Kamu imut juga~'
"I-Ini hal yang biasa, kau tahu.. Pokoknya aku mau tidur dulu. Sudah dulu, ya?"
'Eehh~ padahal baru 10 menit loh. Satu jam lagi, oke~?'
"Gunakan waktu itu untuk belajar. Baiklah, aku tutup teleponnya."
'Muu, baiklah. Tapi, janji padaku! Bahwa kita akan sering mengobrol, oke?'
Setelah berjanji dengannya, aku menutup telepon.
Aku tidak keberatan mengobrol dengannya dan kami biasanya menghabiskan setidaknya setengah jam berbicara tentang apa pun yang terlintas dalam pikiran.
Namun, mendengar suaranya yang santai membuatku jengkel untuk beberapa alasan.
"Lupakan saja, aku harus belajar..."
Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi Ibunya mengatakan bahwa dia mendapat nilai A pada ujian tiruannya. Dengan kata lain, dia dijamin masuk ke universitas pilihannya selama dia mempertahankan nilai tersebut.
A dan D. Kesenjangan di antara kami terlalu besar.
Betapa tidak bergunanya diriku.
Aku meremas hasil ujian tiruan itu dan melemparkannya ke tempat sampah sebelum menuju mejaku lagi.
Post a Comment