NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shaberanai Kurusu-san Kokoro no Naka wa Suki de Ippai V1 Chapter 4 Part 1

Chapter 4 - Gadis yang Tidak Berbicara dan Perkembangan yang Klise

[Part 1]

 

Pengingat:

【】: kata-kata Kurusu di tabletnya

() : suara hati orang lain yang dibaca/didengar oleh MC (Kaburagi)

 

“Halo, kau datang lebih awal lagi hari ini.”

Saat aku memanggil Kurusu di kelas, dia bergegas berjalan ke arahku.

Dia menatapku, dan tampak matanya bersinar karena kegembiraan.

…Sepertinya, kami menjadi semakin dekat.

Yah, sekarang dia sudah tahu kalau aku sebenarnya tidak mempunyai pacar, jadi dia tidak perlu khawatir lagi, kan?

Aku meletakkan tasku di meja, sambil memikirkan hal itu.

(...Apa yang akan kita lakukan hari ini? Memasak? Atau berlatih berbicara? Aku akan melakukan yang terbaik. Aku benar-benar menantikannya...)

“Yah, kurasa kita akan belajar saja hari ini. Jika kau sudah belajar, mungkin akan ada kesempatan bagimu untuk mengajari siswa lainnya sebelum ujian.”

Oke(Aku ingin mengajar... Aku, sebagai guru...fufufu)

“I-Iya, kan?”

Aku akan melakukan yang terbaik(…Belajar dengan Kaburagi-kun. Ini juga momen yang menyenangkan untukku. Aku akan senang jika ini bisa berlangsung selamanya.)

Dia tampak sangat senang dari dalam lubuk hatinya...meskipun ekspresi wajahnya tidak berubah.

Aku pun tersenyum dan membelakanginya.

──Liburan musim semi telah tiba, dan aku bertemu dengan Kurusu seperti ini setiap hari.

Hubungan kami masih sama seperti sebelumnya, seperti guru dan murid.

Satu-satunya perbedaan adalah dia tidak terlalu memikirkan ini dan itu di balik layar dan waktu yang dibutuhkan untuk menulis di tabletnya pun telah berkurang secara signifikan.

Menurutku ini juga merupakan bukti bahwa dia telah memutuskan untuk mengandalkanku sepenuhnya tanpa rasa ragu.

Aku senang melihat perubahan itu, meskipun...

Suara yang menusuk hatiku terdengar semakin tajam, dan berbagai peristiwa yang memilukan hatiku terus terjadi selama beberapa hari terakhir.

Aku senang bisa bertemu denganmu, tapi apakah kamu tidak apa-apa?(Aku senang bisa melihatnya di sekolah setiap hari. Tetapi, apakah ini tidak apa-apa untuknya?)

“Senang, huh... Bagaimana bisa kau mengatakan itu tanpa rasa malu?”

Fakta (Aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku tanpa rasa ragu. Aku akan berhati-hati dalam berterus terang mengungkapkannya, karena akan lebih berbahaya jika aku mengungkapkannya secara tidak langsung.)

“Aku senang kau bisa mempraktekkan apa yang telah kau pelajari, tapi...”

Bahkan sekarang pun, dia selalu duduk di sampingku seperti ini, terkadang dengan jarak yang begitu dekat hingga bahu kami pun bersentuhan.

Dia selalu mendekatiku secara tiba-tiba dan itu membuatku merasa sedikit kebingungan...

Terkadang aku bertanya-tanya apakah dia mungkin jatuh cinta padaku?

Aku terkadang memikirkan kemungkinan tersebut...

(...Belajar. Aku ingin lebih baik dari Kaburagi-kun. Jadi ayo mendekat dan jangan lewatkan apa pun!)

Yah, aku tidak akan salah paham karena inilah yang dia rasakan di dalam hatinya.

Tapi sebaliknya, ini membuatku gelisah.

Jarak diantara kita bisa menjadi masalah jika aku tidak berhati-hati, dan ada banyak sekali celah yang membuatku khawatir.

Aku melihat ke arah Kurusu dari samping dan melihat bahwa dia sedang bersiap untuk membuka buku pelajarannya.

“Aku jadi kepikiran kalau sepertinya Kurusu sering belajar. Apakah kau menyukainya?”

Aku jadi suka sekarang

“Ah. Apakah kau jadi suka karena akhirnya kau bisa memahami banyak hal. Misalnya, ketika kita bisa memecahkan teka-teki, kita jadi menikmatinya. Perasaan menjadi superior begitu, mungkin?”

Bukan itu

“Bukan, ya?”

Aku senang belajar denganmu (...Aku benar-benar ingin menunjukkan padamu kalau aku bisa menerapkan apa yang kamu ajarkan padaku. Aku ingin Kaburagi-kun lebih sering lagi memujiku, jadi aku akan selalu mencoba yang terbaik... Tapi aku tidak akan bisa memberitahukan hal itu padamu.)

“Be-Begitu ya. Kau punya ambisi yang luar biasa...Oke deh.”

Aku mencoba tersenyum sebaik mungkin, tapi perasaan jujurnya itu menyelimuti diriku dan aku pun menggigit bibirku untuk menyadarkan diri.

…Perasaannya itu jauh lebih murni dari yang ku bayangkan.

Aku malu pada diriku sendiri karena memikirkan hal seperti perasaan superior itu...

Maksudku, dia berusaha hanya karena ingin dipuji...ketulusannya itu terlalu manis.

Tidak harus setiap hari (Aku sangat senang berbicara denganmu, tapi...tidakkah kamu juga ingin bermain dengan teman-temanmu yang lain?)

“Ya, tidak masalah kok. Rumahku tidak jauh dari sekolah, dan walaupun aku tidak ada urusan bersama Kurusu, aku akan tetap datang ke sekolah.”

Benarkah? (...Hal yang harus dilakukan di sekolah. Ada urusan apa kamu?)

“Karena aku tidak bisa berkonsentrasi belajar di rumah. Aku hanya ingin berusaha mendapatkan nilai yang bagus untuk memperluas pilihanku di masa depan. Maka dari itu, berkomunikasi dengan guru di sekolah akan menguntungkanku.”

Jadi itu maksudmu(…Bagus kalau kamu terus berusaha. Aku akan belajar darimu...ya. Semangat~)

“…Yap. Begitulah.”

Kalau begitu, janganlah tiba-tiba membuat suara hati yang lucu seperti itu dan bersemangat.

Itu tidak baik bagi hatiku tiap kali dia melakukannya...

Aku pun menghela napas dan membuka buku pelajaran yang akan aku jadikan materi untuk hari ini.

"Baiklah, mari kita mulai. Aku akan melakukan yang terbaik untuk mengajarimu hingga orang-orang akan berpikir, ‘Kurusu-san, kamu hebat sekali!’, saat kita mulai menjadi siswa tahun kedua nanti.

Kurusu mengacungkan jempolnya dengan ekspresi puas di wajahnya, dan di dalam hatinya dia mengatakan, ‘Ei-o-ei-o’, dengan suara yang sangat konyol untuk menyemangati dirinya sendiri.

Interaksi kami pun terus berlanjut setelah ini.

Kami menghabiskan waktu seperti ini hingga sore hari.

 

 

“Syukurlah, aku selalu menyiapkannya.”

Aku mengambil payung lipatku dari tasku dan melihat ke langit dimana tetes air hujan telah berjatuhan.

Langit seharusnya gelap di malam hari, tetapi cahaya yang memantul dari tirai hujan membuat langit menjadi sedikit lebih cerah.

Aku hanya bisa menghela napas dan sedih membayangkan untuk pulang dalam situasi seperti ini.

Aku ingin pulang setelah hujan sedikit mereda, tetapi bunyi lonceng terakhir sekolah sepertinya berusaha mengeluarkanku dari sini secepat mungkin.

“Apakah Kurusu baik-baik saja di tengah hujan seperti ini?”

Kekhawatiranku terhadap orang yang telah bersamaku hingga beberapa saat lalu tiba-tiba muncul di dalam benakku.

Kurusu dan aku tidak pernah pulang bersama.

Kami selalu pulang secara terpisah setelah latihan.

Aku biasanya membiarkan Kurusu pulang duluan sementara aku mengembalikan kunci ruangan kelas.

Kurusu tidak mau pulang bersama denganku karena dia tidak ingin orang-orang menjadi salah paham padanya.

Aku sebenarnya tidak peduli dengan rumor apa pun, tapi Kurusu sudah bertekad untuk tidak menimbulkan masalah untukku, jadi dia selalu pergi begitu aku berterima kasih padanya.

Yah, aku tidak akan memaksanya untuk pulang bersamaku karena dia pergi ke sekolah dengan kereta api dan rumahnya jauh dari sini.

Jadi, kami juga berpisah seperti biasanya hari ini...

“…Sepertinya aku punya firasat buruk di hatiku. Yah, aku harap itu hanya perasaanku saja."

Aku bergumam pada diriku sendiri, lalu meninggalkan sekolah dan berjalan sendirian di malam hari.

Dalam perjalanan pulangku, aku melihat ada banyak siswa yang sedang dalam perjalanan pulang dari kegiatan klubnya, dan suara berisik mereka terdengar berkali-kali.

Tidak hanya suara orang yang berbicara, tetapi juga suara hati orang-orang yang bergema di telingaku seperti ‘Aku benci hujan~’.

…Semua suara ini membuat kepalaku terasa sakit.

Aku yang merasa terganggu dengan suara-suara seperti itu, memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak terlalu ramai untuk pulang.

Jalanan pedesaan yang gelap dengan lampu jalan yang hanya sedikit. Aku berjalan menyusuri jalanan itu...

“Biasanya aku tidak lewat sini karena jauh...tapi ternyata nuansanya beda ya dibanding saat siang hari, entah seperti ada pesonanya tersendiri. Hahaha...”

Suaraku tenggelam oleh suara hujan, dan angin dingin membelai wajahku.

Jalan yang gelap dan kosong sepertinya mulai membuatku takut.

Biasanya, aku tidak menganggapnya menakutkan...

Ini jelas merupakan tempat yang tidak ingin kalian lewati setelah menonton acara TV horor di hari sebelumnya...

Yah, aku tidak percaya dengan hantu, tapi sepertinya suasananya agak aneh hari ini.

Kupikir aku tidak akan takut, tetapi begitu memikirkannya, yang ada dipikiranku hanyalah cerita-cerita yang menakutkan.

Aku pun menutup mataku dan ketika aku membukanya…aku melihat,

“Hah. Apa sih yang aku pikirkan? Kalau itu memang benar ada, ya aku bakal percaya kalau misal, aku bisa melihat sosok dengan rambut panjang dan disinari oleh lampu jalan. Ya, kalau begitu baru aku akan percaya…Eh, apa itu?”

Berbicaralah tentang iblis dan dia akan muncul. Kata-kata yang diucapkan secara bercanda biasanya menjadi kenyataan.

Sesuai dengan takhayul itu, aku melihat sosok di bawah pohon willow besar di arah yang aku tuju.

Sosok itu terlihat samar, tetapi rambutnya yang panjang terlihat menyala, dan dia tampak semengerikan yang aku bayangkan...

(...Hujan sepertinya tidak akan berhenti. Aku akan membuat masalah kalau masuk ke dalam kereta basah kuyup begini... Apa yang harus aku lakukan?)

Ketakutan yang kurasakan menghilang dalam sekejap setelah mendengar suara yang familiar itu.

Mengapa…kau di sini?

Tidak kah kau membawa payung…

Aku pun bergegas menghampiri Kurusu dan melindunginya di bawah payungku.

Kurusu memutar matanya karena terkejut dan menatapku.

Dia tidak mengatakan sepatah kata pun padaku, mungkin karena hujan membuatnya sulit untuk mengeluarkan tabletnya.

“Tidak aman berada di sini saat hujan, kan?”

(Tidak apa-apa. Orang-orang hanya melewatiku. Mereka akan berkata, ‘Hantu! Hantu!’ dan berlari, jadi...)

Kurusu menggelengkan kepalanya, tapi dia terlihat lelah dan lemah.

“Apanya yang tidak apa-apa, huh…? Maksudku, seharusnya kau memberitahuku kalau kau lupa membawa payung. Hujannya deras begini dan tampak belum akan reda.”

(...Karena tidak sabar untuk bertemu denganmu, aku jadi lupa membawa payungku. Tapi begitu sampai di stasiun, aku bisa menunggu pakaianku kering.)

“...Astaga, aku tidak punya pilihan lain. Aku akan mengantarmu ke stasiun.”

Hanya itu yang bisa aku katakan saat mendengar suaranya itu.

Dia tampaknya tidak keberatan ketika aku mengatakannya dengan cara yang agak dingin untuk menyembunyikan rasa maluku. Dia bahkan berkata, ‘Kamu baik sekali’.

Saat aku melihat ke arah Kurusu dengan khawatir, mata kami bertemu dan dia menundukkan kepalanya seolah merasa bersalah.

“Sudah, tidak apa-apa. Jangan ragu untuk meneleponku jika kau dalam kesulitan. Yah, untungnya aku kebetulan lewat sekarang. Oiya, di sini itu pedesaan jadi kereta akan habis jika kita terlambat sedikit saja. Jangan coba untuk menunggu pakaianmu kering di sana, atau kau akan masuk angin.”

(...Tidak masalah kalau aku pulang terlambat. Tidak ada seorang pun di sana. Dan bahkan jika aku masuk angin...aku akan baik-baik saja jika sudah tidur.)

“…Hmm?”

(Apakah ada yang salah dengan jawabanku?)

Kurusu memiringkan kepalanya ketika aku mengerutkan keningku.

Bukankah dia baru saja mengatakan tidak ada seorang pun di sana?

Mungkin saja aku salah dengar...

Aku pun menatap wajahnya dengan ragu.

(...Apakah ada sesuatu di wajahku? Aku malu kalau kamu terus menatapku seperti itu...)

Bahkan di saat seperti ini, suara itu masih mencoba untuk mengguncang hatiku.

Seperti biasa, tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya, tapi...ada yang tidak beres.

Yah, mau bagaimanapun juga, kita tetap harus pergi ke stasiun.

“Di sini dingin, jadi ayo kita segera pergi. Jadi, ke stasiun kan ya...?”

Tangannya begitu dingin hingga aku tanpa sadar menatap wajah Kurusu.

Dia menjatuhkan pandangannya ke tanah tanpa mengatakan apa pun.

…Aku bahkan bisa tahu tanpa harus mendengar suaranya. Jika dia menunjukkan sikap seperti ini...

Ketika aku melihat wajahnya dengan cermat, dia terlihat pucat dan lelah, meskipun aku tidak menyadarinya sebelumnya karena kondisi lingkungan yang gelap.

Aku segera memeriksa waktu di ponselku, karena kekhawatiranku sepertinya tampak mulai jelas.

“...21:00, huh? Masih ada kereta yang bisa dikejar sih.”

Tetapi mengingat kepribadiannya, aku tidak yakin dia akan naik kereta dengan kondisi basah kuyup seperti ini.

Ada kemungkinan besar dia memiliki ide bodoh untuk menunggu sampai pakaiannya mengering dan tinggal hingga keesokan hari karena kehabisan kereta.

Aku yakin pikirannya akan mengarah ke skenario yang paling buruk karena dia selalu lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri.

Selain itu...jika aku tidak salah dengar sebelumnya kalau tidak ada seorang pun di rumahnya, maka kemungkinannya untuk mengambil pilihan itu akan semakin besar lagi. Aku tidak suka meninggalkannya tanpa melakukan apa pun dalam situasi seperti ini.

…Aku tidak bisa menutup mata begitu saja ketika aku menyadari semua ini.

Aku masih berharap prediksiku itu tidak akan menjadi kenyataan. Tapi, mungkin lebih baik bagi Kurusu jika aku menaruh kekhawatiran lebih padanya.

Aku pun menelepon kakak perempuanku dengan ponselku dan mengatakan kepadanya kalau aku akan membawa seseorang ke rumah.

“Kurusu. Kau akan sakit jika aku membiarkanmu, jadi ayo ikut denganku. Aku tidak akan berdebat denganmu.”

(...Pergi ke stasiun?)

Tanpa menunggu jawaban Kurusu, aku berjalan sambil memegang tangannya.

Dia tampaknya sangat lelah hingga aku dapat merasakan kalau tidak ada kekuatan sama sekali di tangannya.

Dia hanya menggenggam tanganku kembali dengan ringan.

…Kau benar-benar membuatku khawatir sepanjang waktu.

Aku menggumamkannya di dalam hatiku sembari berjalan di tengah hujan.

Bahu kiriku yang tidak terlindungi payung basah kuyup, dan aku merasa tidak nyaman dengan itu, tetapi aku harus terus berjalan.

Saat aku mulai berjalan ke arah yang berbeda dari stasiun, dia bertanya-tanya, ‘...Mau kemana kita? Apakah Kaburagi-kun punya urusan lain denganku?’, dia sepertinya mulai merasa sedikit cemas.

Tapi, sepertinya dia tidak begitu mencurigaiku untuk khawatir atau panik.

──Setelah sekitar 40 menit berjalan, kami pun tiba di tempat tujuan.

(...Di mana ini? Rumah Kaburagi-kun? Tapi papan namanya bertuliskan ‘Mochizuki’...)

Kurusu menatap rumah di depannya dengan ekspresi aneh di wajahnya.

Rumah itu terlihat seperti rumah kuno yang biasa ada di pedesaan, tapi sebenarnya bangunannya cukup terlihat baru karena bagian dalamnya sudah direnovasi.

Namun, eksterior rumahnya tidak dirubah, dan hujan membuatnya suasananya terlihat lebih gelap.

Dia pasti tidak biasa melihat rumah pedesaan seperti ini. Kurusu pun mengamati rumah itu dengan seksama.

“Ya sudah, ayo kita masuk. Aku sudah memberi tahunya.”

(Jangan lakukan itu tiba-tiba. Aku akan membuatmu dalam masalah. Jika aku tidak bisa pulang, aku bisa kok menunggu di luar karena ini adalah liburan sekolah)

Kurusu menggelengkan kepalanya dan menolak untuk masuk.

Tapi aku tidak bisa mengabaikannya karena aku tahu apa yang ada di pikirannya.

“Tidak masalah. Lagi pula, jika aku meninggalkanmu begitu saja, kemungkinan besar kau pasti akan menginap di luar kan. Aku tidak ingin kau sakit... atau mungkin kau memang sudah sedikit masuk angin.”

(...Kamu menyadarinya ya)

“Aku bisa mengetahuinya dari wajahmu. Yah, aku tau kau khawatir untuk masuk begitu saja ke rumah seorang pira.”

Dia menggelengkan kepalanya saat aku mengatakan itu.

Kemudian dia menatap pintu masuk rumah.

(Aku tidak khawatir, karena ini adalah rumah Kaburagi-kun. Tapi aku takut...bagaimana aku harus menyapa mereka?)

“Tidak, kau pasti sedikit meragukanku, kan?”

(Aku tidak perlu meragukanmu)

“Ehー… yah, kau terus menggelengkan kepala sih dari tadi.”

Mau tak mau aku hanya bisa menertawakan sikapnya yang begitu percaya padaku.

Kepercayaan itu berat...Maksudku, jika dipikir-pikir lagi dengan tenang, ini pertama kalinya aku membawa pulang seorang gadis.

Hanya dengan memikirkannya, tiba-tiba aku merasa malu...

Sambil menekan rasa maluku, aku membuka pintu rumah dan mencoba masuk…────Aduh!

“Hei, playboy. Ke mana saja kamu berkeliaran, huh... Apakah kamu sudah siap untuk mati? Maksudku, apa maksud dari panggilan teleponmu tadi? Sejak kapan kamu menjadi nakal seperti ini, oi.” (Aku akan membunuhmu... Kamu sudah membuatku khawatir, tahu)

“Wahー...Kau sangat menyeramkanー

Sebuah lengan terulur keluar dari pintu, meraih kepalaku, dan meneriakkan suara yang begitu keras padaku.

Kakak perempuanku memasang ekspresi muram dan mengeluarkan suara yang berisik, tapi di dalam hatinya dia mengkhawatirkanku.

Kurusu, yang berdiri di belakangnya, membeku di tempat ketika dia melihat sebuah interaksi keluarga begitu dia memasuki rumah. Dia mengedipkan matanya yang besar beberapa kali dan mengusap matanya berulang kali seolah-olah dia tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.

Reaksinya sedikit berlebihan untuk orang yang baru saja melihat sebuah interaksi antar keluarga.

Yah, tapi wajar saja jika dia terkejut...

Karena yang menyambutku itu────adalah Sayaka-sensei.

(Yang benar saja...Kaburagi-kun dan Sensei berpacaran? …Dan mereka tinggal bersama. Apa aku jatuh ke dalam sarang cinta mereka?)

Yah, kurasa aku membuat kesalahan besar dan membuatnya kebingungan.

Aku harus memperbaiki kesalahpahaman ini nanti.

Kalau kepala sedang pusing, pasti akan cenderung memikirkan hal-hal yang aneh.

Kemudian sensei menepuk pundakku dengan senyum pahit di wajahnya dan berkata kepadaku,

“Oi, Ritsu. Aku tidak masalah dengan ini...tapi, apakah tidak apa?”

“Tidak apa-apa, jika aku membiarkannya, dia pasti akan sakit nanti...”

“Hmm. Yah, sepertinya itu pilihan yang benar. Kamu memang pria yang terhormat.”

“Diamlah... Urus saja itu.”

Aku menggaruk kepalaku dan menoleh ke arah Kurusu.

“Kalau begitu, kau bisa meminjam pakaian dan handuk sesuka hatimu.”

Kurusu yang terlihat terkejut pun terburu-buru mengeluarkan tabletnya dan mulai menulis.

Selamat atas pernikahanmu(Kaburagi-kun bilang dia tidak punya pacar, itu berarti dia memiliki tunangan...dan dia adalah Mochizuki-sensei...aku harus mengucapkan selamat kepadanya)

…Yap, dia sudah salah paham dengan banyak hal.

Aku menghela napas dan membawa masuk Kurusu ke rumahku untuk saat ini.

 

 

Aku mendengar suara shower dari kamar mandi.

Aku pun mencoba untuk tidak memperhatikan suara itu dengan menonton TV.

(...Hangatnya. Enak sekali)

Namun, suara hatinya seperti yang kudengar barusan membuatku kembali memperhatikannya, dan aku terus mencubit pipiku setiap kali mendengarnya. Ini adalah reaksi yang dilakukan oleh seorang anak laki-laki sehat yang mau tidak mau harus menguji pengendalian dirinya di depan kakak perempuannya.

...Rasanya lebih mendebarkan dari yang kuduga ketika seorang gadis cantik berada di bak mandiku.

Aku menghela napas dan terlihat jengkel.

Kurasa, aku tidak berhasil mengecohnya.

Orang di depanku memasang ekspresi yang sangat jahat di wajahnya.

“Oh tidak~ Kamu sangat cepat membawanya ke rumah. Aku terkesan~.”

“Bukan begitu ya. Kalau melihat seseorang dalam kesulitan di tengah hujan seperti itu, pasti kita ingin membantunya kan...biasanya.”

“Hahaha! Iya, iya aku tahu! Kamu punya alasan yang bagus untuk tidak meninggalkannya, bukan? Yah, setidaknya kamu beruntung punya kakak yang pengertian.”

“Hah. Jangan ejek aku jika kau benar-benar mengerti...”

Kakak perempuan yang berada di depanku mengeluarkan tawa yang tidak feminim sama sekali sambil memegang perutnya.

…Jangan tertawa terlalu keras hingga menangis begitu.

Aku hanya bisa mengeluh di dalam hatiku.

──Sayaka Mochizuki, seorang perawat di sekolah, adalah kakak perempuan kandungku, walaupun kami memiliki nama keluarga yang berbeda karena perceraian orang tua kami.

Jadi, dia mengerti dan tahu tentang kondisiku.

Itu mungkin salah satu alasanku bersekolah di tempat dia bekerja.

Dia sudah sangat baik mau mengurusku dan memberiku tumpangan ke sekolah…tapi sebagai gantinya, aku membantunya dalam pekerjaannya di sekolah.

“Sepertinya semuanya berjalan dengan baik sejak hari itu.”

“Begitukah?”

“Ah. Kupikir Kurusu lebih ceria dari sebelumnya. Dan komunikasinya juga sudah lebih lancar.”

“Yah, senang mendengarnya. Itu hasil dari kerja kerasnya.”

“Jangan merendah begitu. Skill interpersonal seperti itu tidak akan berkembang tanpa bantuan orang lain. Terlebih lagi jika dari awal dia tidak pandai dalam hal itu, akan ada batasannya jika dia melakukannya sendiri."

‘Kamu pasti mengerti kan dengan maksudku.’, Sayaka melanjutkannya.

“Tapi tetap saja dia juga sudah berusaha dengan sangat keras. Karena apa pun hal yang kau katakan pada seseorang yang tidak mau mendengarkanmu, itu tidak akan tersampaikan.”

“Hmm, begitu ya. Apakah ini imajinasiku saja atau itu memang bumerang bagimu?”

“Diamlahー

Aku tahu itu.

Tapi aku telah meninggalkan kejujuranku di masa lalu.

Satu-satunya masa dimana aku masih polos, berpikir positif terhadap hal yang aku lakukan dan tidak bersikap sinis adalah ketika aku masih kecil.

...Itu bukan pilihanku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap hal tersebut.

Ketika aku mulai menggerutu, Sayaka mengusap-usap kepalaku dengan kasar.

Rambutku yang dilapisi dengan wax pun berdiri dengan spektakuler.

“Apa sih yang kau lakukan...”

“Tidak tidak, aku hanya mencoba menghiburmu.”

"Sudahlah, tidak usah... Aku ingin kau memikirkan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.”

“Ya??”

“Sepertinya aku akan meminta tolong padamu untuk mengantar Kurusu pulang, dan mungkin ada hal-hal lain yang hanya bisa dibicarakan oleh wanita saja, kan?”

“Umm...”

Sayaka pun memiringkan kepalanya sambil mengintip ke arahku dari samping.

Ketika aku memasang ekspresi cemberut di wajahku, sudut mulutku akan sedikit terangkat dan seolah menunjukkan bahwa aku sedang memikirkan sesuatu secara tidak langsung.

“Bukankah ada yang berubah dari dalam hatimu?? Sepertinya kamu begitu peduli padanya.”

“Loh, wajar saja kan kalau aku khawatir.”

“Oke deh, aku lega ternyata kamu masih sehat. Yah, kurasa bahkan pria sinis sepertimu tidak bisa akan bisa menolak gadis cantik sepertinya.”

“Kau begitu cepat mengambil kesimpulan. Aku bukannya dikalahkan oleh daya tariknya atau semacamnya ya.”

“Ehh… Kamu anak SMA, tapi kamu begitu layu... Kenapa tidak kamu lampiaskan saja hasrat berlebihmu itu?"

“Kau seharusnya tidak berbicara seperti itu, sensei...”

Ketika aku mengatakannya, Sayaka menjawabnya dengan, ‘Tentu saja!’ sambil tersenyum bahagia.

Dia tampak sangat senang daritadi, terlihat dari bagaimana dirinya menggerakkan tubuhnya dari sisi ke sisi sambil memegang bantal.

Entah apa yang membuatnya begitu senang...

Di dalam pikirannya aku hanya bisa mendengar, ‘Dasar anak muda.’ dan ‘Senangnya kalau masih muda.’.

Apa sih hubungannya menjadi muda dengan semua ini?

Bagiku, ini juga sama seperti biasanya.

Aku bergerak karena aku peduli. Itu saja.

Aku hanya melakukannya sedikit lebih dari biasanya. Aku hanya tidak bisa meninggalkannya sendiri sedikit lebih dari biasanya.

Tapi jika dipikir-pikir lagi,

“...Mungkin benar…kalau ada yang berubah dari dalam hatiku...”

“Fufufu…”

“Apaan sih? Kau tertawa dengan aneh.”

"Tidak juga~ Kalau kamu merasa terganggu, baca saja pikiranku. Mungkin kamu akan mendengar kalau aku sedang mengatakan hal-hal yang baik padamu, kan??”

“Iya, iya. Karena Kurusu akan pulang nanti, aku akan membuat makan malam dulu.”

Aku mengatakannya lalu bangkit dan berjalan menuju dapur.

Aku mendengar suara dari kamar mandi yang mengatakan, ‘Ah, handuk’, jadi ini waktu yang tepat.

Aku harus pergi dari sini sekarang...karena aku tidak ingin berpapasan dengannya atau apa pun itu.

“Yup, itulah adikku. Kamu begitu cekatan.”

“Ya kan memang aku yang mengurus masalah makanan. Tidak ada yang berbeda dengan satu orang tambahan.”

“Fufufu! Begitu ya~”

“Sebagai gantinya, tolong jelaskan kesalahpahaman tadi. Dia selalu membuat asumsi yang aneh…dan tolong segera berikan handuk padanya.”

“Ya? Oke deh, aku akan urus semuanya…”

“Bener ya…aku serius minta tolong padamu.”

Aku berbalik dan mengangkat tanganku.

(Aku senang kalian jadi bisa akrab begitu. Aku lega memilikimu sebagai kakak perempuanmu)

Aku mendengarkan suara itu dari belakangku, tapi aku berpura-pura tidak mendengarnya dan pergi menuju dapur.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter ||  

0

Post a Comment



close