Sejauh ini, liburan musim panas kami cukup sibuk, tetapi kami berhasil bersenang-senang.
Di kelas musim panas, kami secara bertahap berhasil mengatasi tatapan yang dikirim ke arah kami. Karena kami mengabaikan mereka sepenuhnya dan mungkin karena mereka bosan bergosip tentang kami, kami berhenti mendengar bisikan mereka dan berhasil berkonsentrasi pada pelajaran kami.
Secara keseluruhan, aku memiliki kesan yang baik tentang kelas musim panas ini. Namun, kupikir itu akan menjadi waktu yang cukup lama sebelum aku menghadiri sekolah menjejalkan ini secara nyata.
"Nee, Maki. Bukankah apinya terlalu kecil untuk kinpira? Mau di besarin nggak?" [TN: Kinpira adalah masakan yang ditumis dan direbus]
"Tidak, itu sudah cukup. Tunggu saja, nanti akan mendesis. Saat airnya menguap, matikan apinya, dinginkan bentar, lalu pindahkan ke mangkuk."
"Mkay~"
Minggu berikutnya setelah kelas musim panas berakhir. Umi dan aku membuat makanan bersama di rumahku. Aku tidak perlu membuatkan makan siang untuk dua lainnya, tetapi Umi berkata ...
'Aku ingin belajar memasak.'
Karena dia memintanya dengan sungguh-sungguh, aku tidak punya pilihan selain ikut dengannya. Jadi, kami bekerja bersama di dapur.
Tentu saja, Amami-san dan Nitta-san tidak ada di sini.
"Itu saja kurasa... Aku akan mengirimkan resepnya nanti sehingga kau bisa membuatnya sendiri di rumah. Ah, tapi... Hubungi aku kalau kau tidak mengerti sesuatu, oke?"
"Siap~. Ehehe, makasih Maki. Maaf mengganggumu pagi-pagi begini. Beberapa hari yang lalu ketika kita membuat makan siang bersama, aku memberikan sedikit kepada Ibuku dan dia langsung menyuruhku untuk memintamu mengajariku memasak..."
Keadaan menjadi sibuk pada hari itu ketika kami memasak bersama, tetapi secara keseluruhan, anak-anak perempuan itu mengatakan bahwa hasil akhirnya enak.
Aku menyiapkan berbagai makanan untuk mereka, mulai dari sayuran hingga tamagoyaki. Tugas yang cukup berat untuk membuat semuanya. Tapi berkat ketiganya yang membantuku, akhirnya tidak terlalu melelahkan.
Tanggapan mereka membuat semua upayaku belajar memasak menjadi sepadan. Bahkan jika aku mulai memasak karena kebutuhan lebih dari apapun.
"Mm~ Umay~! Meski ukuran sayurannya tidak rata, tetapi rasanya masih enak. Ini, Maki, ah~"
"Ah... Mm... Yup, ini enak sekali. Kurasa jika Ibuku mencoba ini, dia tidak akan menyadari bahwa kaulah yang membuatnya, Umi. Enak sekali."
Kinpira akar teratai yang dibuatnya adalah reproduksi yang baik dari milikku. Yah, aku ada di sana untuk mengawasinya, tapi itu seharusnya tidak menjadi alasan untuk mendiskreditkannya. Bagaimanapun, kinpira yang dibuatnya dibumbui dengan baik dan rasa asam manisnya sangat cocok dengan nasi.
Umi memang tidak pandai memasak. Tapi, setidaknya dia tidak separah Amami-san. Jadi, selama dia mencobanya.. dia pasti bisa melakukannya.
"Fufu, kurasa inilah yang mereka sebut chara development~? Bagaimanapun, aku ingat hal yang kamu ajarkan padaku. Panas sedang dan hanya membiarkan ujung api menyentuh penggorengan!"
"Yah, kau bisa menyebutnya begitu.."
Meski ini bukan seberapa, tetapi ini cukup penting baginya. Terlebih lagi, dia adalah calon Ibu...
"Btw, Maki..."
"Hm?"
"Mana yang lebih kamu sukai?"
"Apa maksudmu?"
Mungkin dia bertanya tentang preferensi sarapanku atau sesuatu?
Dia tidak memberiku pilihan untuk dipilih. Jadi, aku tidak yakin bagaimana menjawabnya.
Ketika aku bertanya balik, dia dengan malu-malu memalingkan wajahnya. Aku bisa melihat wajahnya mulai memerah.
Dia mungkin ingin aku menebak apa maksud dari pertanyaannya. Entah itu, atau dia terlalu malu untuk menanyakannya dengan lantang. Atau mungkin keduanya.
"Itu loh, K-Kamu tahu. Hubungan kita berjalan dengan baik, kan? K-Kita mulai sebagai teman dan menjadi sepasang kekasih, kemudian keluarga kita menyetujui hubungan kita... Kita melakukan perjalanan bersama dan kita memiliki... m-momen-momen... M-Muu, kamu tahu apa yang aku bicarakan, kan?!"
"Ya... Hubungan kita memang berjalan dengan baik..."
"Benar? O-Oleh karena itu, aku sudah memikirkannya... Err, kita akan terus bersama, kan? Baik itu di kuliah atau setelah lulus... D-Dengan kata lain, suatu hari nanti kita akhirnya akan menikah, kan? Aku bertanya-tanya mana yang kamu sukai?... U-Um..."
"Ah, begitu ya..."
"I-Ini hanya pertanyaan hipotetis..."
Masih terlalu dini untuk membicarakan hal semacam ini ketika kami masih sangat muda. Tetapi, melihat bagaimana hubungan kita berjalan, percakapan ini akan muncul dalam waktu dekat. Maksudku, kita berdua saling mengabdi satu sama lain. Selama tidak ada hal lain yang terjadi, kita akan bersama-sama pada akhirnya.
Peran gender dalam rumah tangga sudah mulai kabur. Pria tidak selalu harus menjadi pencari nafkah dan wanita tidak selalu harus menjadi Ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut dapat dipertukarkan di antara kedua gender. Orang tua kami juga tidak akan mencampuri keputusan kami. Jadi, kami bebas melakukan apa pun yang kami sukai.
"Hm... Yah, aku tidak keberatan menjadi seorang suami rumah tangga. Sejujurnya, aku menikmati melakukan pekerjaan rumah tangga akhir-akhir ini. Juga, melihat Ibuku membuatku berpikir bahwa menjadi pencari nafkah itu agak menakutkan..."
"Begitu. Nina juga kadang-kadang mengeluh tentang pekerjaan paruh waktunya kepadaku. Dari kata-katanya, bekerja kedengarannya sangat merepotkan."
Aku mengerti bahwa tempat kerja Ibu adalah pengecualian dan bukan aturan dan aku tahu bahwa ada pekerjaan yang layak di luar sana. Tapi, aku masih seorang pelajar. Aku hanya bisa membuat penilaian berdasarkan apa yang kulihat dan kudengar dari orang-orang di sekitarku, dengan kata lain, ibuku, Daichi-san dan Riku-san. Mereka semua membuat pekerjaan tampak memberatkan. Jadi, aku menjadi ragu-ragu untuk bekerja.
Inilah sebabnya mengapa aku tidak berusaha untuk mencari pekerjaan paruh waktu meskipun aku telah memikirkannya. Tentu saja aku juga sibuk dengan studiku dan hal-hal lainnya, tetapi itu hanya sebagian dari alasannya.
"Tapi, yah... Jika kita sudah menikah nanti. Aku akan bekerja keras untuk dirimu, Umi.."
"B-Begitu.. Jadi, aku yang akan mengurus pekerjaan rumah, ya?"
"Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan, sungguh... Jujur saja, aku hanya ingin melakukan yang terbaik agar kita bisa hidup bahagia sebagai sebuah keluarga. Itu sebabnya, aku lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah..."
Tentu saja itu bukan berarti aku akan mengabaikan segala sesuatu selain pekerjaanku. Aku akan mencoba menyeimbangkan antara pekerjaanku dan segala sesuatu yang lain. Itu adalah sesuatu yang Ayahku gagal lakukan, tapi Daichi-san berhasil melakukannya dengan sukses.
"Begitu.. Jadi, kamu tidak ingin aku menyambutmu ketika kamu kembali ke rumah, hm? Yaudah~"
"Tunggu, Umi. Aku tidak pernah mengatakan itu, oke? Juga, itu bukan apa yang aku maksud.."
Aku tidak bisa menyerah dengan mudah. Aku ingin dia menyambutku ketika aku pulang nanti. Aku tahu betapa kesepiannya tanpa dia di sisiku. Jadi, jika memungkinkan aku ingin dia melakukan itu setiap hari.
Sungguh dilema...
"Itu pertanyaan yang kejam, Umi ..."
"Ehehe, maaf~ Tapi sekarang aku berpikir tentang hal itu, kita selalu menyapa satu sama lain ketika kita mengunjungi rumah masing-masing, tapi kita tidak pernah melakukan hal itu, bukan? Mengatakan 'Aku pulang' dan orang lain akan membalas 'Selamat datang kembali'. Oh ya, bagaimana kalau kita mencobanya? Aku akan tinggal di dalam dan kamu masuk dari pintu depan."
"Kita bahkan belum memiliki pekerjaan paruh waktu dan kau sudah berpikir untuk melakukan hal seperti ini."
"Aku ingin mengatakannya sekali ini saja. Sekali saja. Ayo, keluarlah, cepat!"
"Ini adalah rumahku... Perannya harus dibalik..."
Pada akhirnya, aku menyerah pada tuntutannya. Aku memakai sepatu dan pergi keluar.
Kemudian, aku mendengar suara pintu terkunci.
Ah, sial. Aku tidak membawa kunci rumah bersamaku.
[Umi: Biarkan aku mempersiapkan diri dulu.]
[Maki: Baiklah.]
Aku bisa mendengar suara jangkrik di kejauhan dan merasakan angin hangat membelai pipiku.
Apa ini rasanya jika kami menikah dan Umi mengusirku dari rumah?
Saat aku membayangkan hal itu, smartphoneku bergetar.
[Umi: Baiklah, bunyikan interkom]
[Maki: 'Kay.]
Seperti yang diinstruksikan, aku membunyikan interkom dan mendengar suara langkah kaki mendekati pintu, diikuti oleh suara pintu yang terbuka.
"Hehe, selamat datang kembali, Maki."
"Ah..."
Penampilannya tidak banyak berubah dari sebelum dia mengusirku keluar rumah tadi. Dia masih mengenakan one piece biru muda, gaun yang sama yang dia kenakan selama perjalanan.
Namun, ekspresi malu-malu dan kata-katanya mendaratkan pukulan kritis ke hatiku. Kehangatan yang dibawa oleh tindakan itu lebih dari yang bisa aku tangani.
"Muu, katakan sesuatu dong!"
"Ah, baik... Aku pulang, Umi."
"Yup. Selamat datang kembali, Maki~"
Dia terkikik sebelum meraih tanganku.
Aku tahu ini hanya permainan peran, tapi rasanya begitu nyata bagiku.
"Umi, bolehkah aku menanyakan satu hal?"
"Emm, apa?"
"Bolehkah aku memelukmu?"
"Tentu saja. Silakan~"
"Aku tidak akan menahannya."
Dia membuka tangannya lebar-lebar untuk menyambutku dan aku tidak ragu-ragu untuk mengambil langkah maju dan memeluknya.
Mungkin ketika kami tumbuh dewasa, kami masih akan melakukan hal yang sama.
Post a Comment