NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Shaberanai Kurusu-san Kokoro no Naka wa Suki de Ippai V1 Chapter 5

Chapter 5 - Jeritan Hati yang Hanya Aku yang Bisa Mendengarnya


Pengingat:

【】: kata-kata Kurusu di tabletnya

() : suara hati orang lain yang dibaca/didengar oleh MC (Kaburagi)

 

Hari terakhir di bulan Maret menandai hari pertama sekolah.

Hari ini adalah upacara tahunan sekolah, di mana guru yang pensiun dan guru baru diperkenalkan.

Yah, upacara ini mengambil satu hari berharga dari liburan musim semi, jadi banyak siswa yang mengkritiknya dan banyak yang berpikiran untuk tidak menghadirinya.

Namun, hari ini juga merupakan hari terakhir untuk menghabiskan waktu bersama teman sekelas saat ini, jadi mereka yang memiliki rasa keterikatan dengan kelasnya akan datang ke sekolah dengan sukarela.

Dari sudut pandangku, yang datang ke sekolah hampir setiap hari di masa liburan, hari khusus seperti ini tidak akan ada bedanya dengan hari-hari biasanya.

Kemudian sebuah cerita menyenangkan sampai di telingaku.

“Kurusu-san, bukankah dia berubah akhir-akhir ini?”

“Iya, iya! Ku rasa dia lebih mudah untuk diajak berinteraksi dibanding sebelumnya.”

“Yah, walaupun seperti biasa, masih ada banyak hal yang menjadi misteri bagiku.”

“Hahaha. Itu benar, itu benar~.”

Beberapa siswi perempuan membicarakan hal itu sambil tertawa.

Seperti yang bisa dilihat dari kejadian ini, sepertinya teman-teman sekelasnya sudah tidak menghindarinya lagi seperti sebelumnya.

Sudah sekitar dua bulan sejak pertama kali aku mulai berinteraksi dengannya, jadi aku pikir itu adalah hasil dari usahanya untuk mengambil tindakan secara sedikit demi sedikit.

Ketika aku melewati kelasnya, aku menatapnya tanpa dia sadari. Ekspresi wajahnya masih kosong seperti biasanya, tapi dia seolah sudah tidak menunjukkan aura yang negatif.

Beberapa siswa sedang saling berbicara, dan Kurusu mendatangi mereka.

Kumpulkan tugas kalian, sepertinya dia sedang melakukan apa yang diperintahkan oleh sensei.

…Dia memang sangat serius.

Melihatnya berusaha sangat keras, aku merasakan sesuatu muncul dari dalam diriku, tetapi aku tidak mencoba untuk berbicara dengannya dan hanya berjalan melewati kelasnya.

Aku akan mengiriminya pesan dengan ponselku nanti.

Saat aku memikirkannya, Kirisaki datang dan menepuk punggungku.

“Ritsu, kamu terlihat sedikit senang.”

“Iya kah?”

“Mungkin kamu tidak menyadarinya, tapi...ekspresimu terlihat kendur dan santai.”

“Eh, seriusan?”

Aku mengusap wajahku, mencubit pipiku.

Dia pikir aku terlihat senang dan ekspresiku kendur, tapi…huh?

Aku merasa biasa saja, tidak ada yang kendur atau apa pun.

Atau aku tidak menyadarinya? Tidak, entahlah aku juga tidak tahu.

“Hei, apa aku terlihat se aneh itu?”

“Umm, tidak juga sih.”

“…Mn?”

“Setelah apa yang terjadi sebelumnya, aku kira kamu akan merasa kesepian.”

“Kau menyadarinya ya…astaga.”

“Maaf, maaf. Karena dari reaksimu, sepertinya tebakanku tepat.”

Dia mengacak-acak rambutku dan tersenyum riang padaku.

Aku memalingkan wajahku dari Kirisaki, merasa frustrasi karena perasaanku begitu mudah ditebak.

“Fufu. Ritsu ternyata agak sedikit feminim ya.”

“…Apakah itu buruk?”

“Tidak, tidak sama sekali. Malah aku merasa lega.”

“Lega?”

“Yah, bukankah Ritsu itu terlihat sangat bijak? Kamu sangat tenang dan dewasa, seolah tidak seumuran denganku. Kamu seakan selalu memancarkan aura, 'Aku tidak akan menunjukkan kelemahanku.”

“...”

“Tapi Ritsu ternyata juga punya sisi yang imut. Aku jadi merasa lebih dekat denganmu.”

Kirisaki pun tersenyum senang padaku, dan aku hanya menjawab, ‘Diam’, dengan kesal.

Aku bertingkah seperti anak kecil yang sedang merajuk.

Dan seolah seperti menunjukkan kalau apa yang dia katakan semuanya benar.

“Yah, tapi ya, kamu dan Rurina kan tidak berpisah untuk seumur hidup begitu, kenapa tidak mencoba untuk berbicara lagi saja dengannya?”

“...Aku tidak akan melakukannya sekarang. Kunjungan mendadak seseorang dari kelas lain akan menciptakan suasana yang rumit, bukan?”

“Ah, benar juga ya. Itu mungkin akan menarik perhatian orang-orang.”

“Ya kan? Sekarang adalah momen yang penting baginya untuk membuat kesan yang baik, jadi aku tidak ingin membuat masalah yang tidak perlu.”

“Jadi begitu toh. Tapi kan kita juga bisa ikut mengakrabkan diri dengannya ya.”

Aku mengerti apa yang dia maksud.

Hanya saja jika kita terlalu terlibat, dunianya akan menjadi lebih sempit.

Kerja kerasnya harus dihargai.

…Huh? Jadi, bagaimana hubungan Kirisaki dan Kurusu sejak hari itu?

Aku penasaran dengan hal tersebut dan memutuskan untuk bertanya padanya.

“Hei, apakah Kirisaki belum pernah berbicara lagi dengan Kurusu sejak saat itu? Soalnya kalian berdua terlihat sangat akrab sebelumnya.”

“Sudah kok. Rurina itu orangnya ramah dan dia selalu berlari ke arahku ketika dia melihatku.”

“Haha. Seperti anjing kecil saja.”

“Kamu benar. Dia imut sekali.”

Syukurlah. Ternyata mereka tetap saling berkomunikasi.

Kalau mereka tidak hanya akrab saat itu saja dan bisa terus berkomunikasi, maka seharusnya akan baik-baik saja kedepannya.

Oke, oke. Semua berjalan dengan baik. Aku menantikan apa yang akan terjadi kedepannya.

“Jadi kau dan Kurusu sudah berteman, kan?”

“Umm. Mungkin?”

“Loh, kenapa kau malah bertanya balik…jadi belum kah?”

Dia mengatakannya dengan nada kasar dan aku memiringkan kepalaku.

Aku tidak bermaksud menginterogasinya, tetapi ketika Kirisaki terlihat tidak yakin, dia membuat wajah seolah dia mengalami kesulitan untuk mengatakan sesuatu. Namun kemudian berkata,

“Aku tidak bisa mengatakannya, tapi setidaknya aku tahu kita sudah akrab.”

“Ada maksud dari perkataanmu itu...”

“Yah bagaimanapun juga, bukan aku sendiri yang bisa mengatakan kalau aku dan Rurina memang sudah berteman.”

“Hmm... Jadi ada banyak hal yang terjadi ya...?”

“Ya, ya. Hati seorang gadis itu lebih dalam dari lautan, asal kamu tahu.”

Aku menatap wajahnya saat dia membuat gertakan aneh ini.

Aku yakin dia tidak mau membicarakannya.

Dia tidak merasa tertekan dengan tatapanku dan entah kenapa dia balik mengedipkan mata padaku dengan nakal.

Tapi dia pasti sudah malu setelah melakukannya sendiri.

Karena wajahnya menjadi sedikit merah dan dia mencubit pinggangku.

“…Sakit, oi?”

Kataku, dan dia terbatuk dengan sengaja lalu melihat ke luar jendela.

“Ah, tapi, pasti akan sulit mulai sekarang.”

“Sulit? Ya, kau benar.”

“Ritsu pasti juga berpikiran sama kan. Dia sangat imut, aku yakin para lelaki tidak akan meninggalkannya sendirian. Hingga saat ini mereka menjauhinya hanya karena rumor buruk itu, tapi sekarang setelah dia semakin terlihat mudah untuk didekati.”

“Yah mau tak mau. Semakin banyak orang yang akan terlibat, semakin banyak juga masalah yang akan dihadapi.”

“Yap, benar...”

Setelah membicarakannya, Kirisaki dan aku kembali ke kelas kami.

...Jika dia tidak terlibat dengan siapapun, dia tidak akan menghadapi masalah.

Itu wajar, karena tidak akan ada kemungkinan hal itu akan terjadi.

Di sisi lain, semakin banyak teman yang kita miliki, semakin besar juga kemungkinan kita untuk terlibat dalam masalah.

Tapi itu memang tak dapat dihindari.

Dan dengan mengatasi hal-hal itulah kita bisa tumbuh dewasa.

Cepat atau lambat, sesuatu pasti akan terjadi.

Dan kemudian...hal tersebut datang secara tiba-tiba dan tanpa tanda-tanda apapun.

“Kamu tahu? Kaburagi-san. Kudengar Kurusu-san terlibat dalam sebuah masalah.”

Kita harus lebih waspada ketika semua terlihat berjalan baik-baik saja.

Begitulah hukum yang berlaku di dunia dan realita kehidupan ini.

Dan sepertinya firasat burukku benar-benar tepat.

“Kurusu terlibat dalam masalah...?”

Saat aku bersama Hinamori menyiapkan bunga untuk guru yang akan pensiun, aku bertanya balik tentang hal yang tiba-tiba dia katakan padaku.

‘Bukankah ini terlalu cepat?’, aku terkejut dan khawatir secara bersamaan.

Apakah dia…baik baik saja?

Ketika aku hendak segera meninggalkan kelas dan menghampirinya, Hinamori menghentikanku dan mengatakan, ‘Jangan khawatir, kita sudah menyelesaikan masalahnya.’.

“Oh, sudah selesai ya…jangan mengejutkanku.”

…Syukurlah, Tuhan.

Aku khawatir dengan kondisi mental Kurusu jika dia mendapatkan masalah secepat ini.

Bahkan walaupun tidak nampak dari ekspresi wajahnya, Kurusu adalah orang yang sangat peduli dengan sekitarnya jauh di lubuk hatinya.

Aku menghela napasku dan dengan lembut membelai dadaku.

“Huh? Kenapa Kaburagi-san tampak begitu khawatir?” (Sungguh mengecewakan! Tampaknya Kaburagi-san dan Kurusu-san memiliki hubungan yang tidak biasa! Sepertinya mereka berkencan di kelas selama liburan musim semi! Ugh~! Aku iri~!)

“...”

Aku hanya diam dan menatap Hinamori.

Seperti biasa, aku hanya bisa menghela napasku tiap kali pikirannya berdengung.

“Yah, kita bukan teman yang buruk. Jadi tentu saja aku penasaran.”

“Kamu memiliki hubungan yang spesial dengannya kan?”

“Sudah lupakan saja. Jadi, apa yang terjadi?”

Saat aku tidak menghiraukannya begitu saja, Hinamori berkata, ‘Idiot!’, dan menggembungkan pipinya.

Kemudian dia mulai berbicara tentang apa yang terjadi pagi ini.

“Kurusu-san entah bagaimana menghentikan pertengkaran antara dua orang teman sekelasnya. Dua orang itu adalah teman baik.”

“Bukankah itu kerja bagus untuknya?”

“Tentu saja! Kurusu-san segera turun tangan setelah pertengkaran mereka dimulai dan menghentikannya. Kudengar pertengkarannya cukup kasar, jadi dia sangatlah berani~.”

“Jadi begitu...iya, berani sekali sih itu.”

Dia tidak pernah terlibat dalam hal semacam itu sebelumnya, tapi dia pasti memikirkan sesuatu tentang kedua teman baik itu. Wajar saja jika dia sangat peduli dengan hubungan dekat mereka dan ingin mencegah hubungan itu berantakan.

“Apa alasan pertengkarannya? Nah, tapi kalau sampai bertengkar begitu, pasti itu masalah cinta.”

“Oh! Seperti yang diharapkan dari Kaburagi-san. Aku tidak tahu detailnya tapi sepertinya mereka berdebat tentang siapa yang telah berselingkuh dengan pacarnya. Yah, pada akhirnya pria yang mendua itu lah yang bersalah dan mereka akhirnya menampar pria itu di wajahnya. Begitulah akhirnya.”

“...Jadi begitu.”

“Pria yang berselingkuh dari pasangannya memang harus dihukum dengan kejami! Yah, setidaknya masalah tersebut berakhir dengan baik. Jadi jangan pernah selingkuhi pasanganmu, Kaburagi-san.”

“Tidak akan.”

Aku menggaruk kepalaku dan menghela napas.

Hinamori ingin memperingatkanku tentang perselingkuhan ya?

Mungkin itu sebabnya dia menyinggung masalah ini.

Yah, seperti biasa dia pasti akan mencari tahu.

Dan juga, Kurusu benar-benar hebat... Dia menghentikan pertengkarannya meskipun itu bukan masalahnya.

Ini tentu akan mengubah pandangan orang lain terhadap dirinya.

“Hei. Lalu kenapa kau bilang Kurusu mendapatkan masalah? Dari ceritamu akhirnya semuanya diselesaikan antara kedua belah pihak, kan?”

Peran Kurusu disini lebih seperti seorang pahlawan yang menghentikan pertengkarannya dibanding menyelesaikan akar permasalahannya.

Kalau benar begitu, berarti Hinamori hanya melebih-lebihkan.

“Itulah masalahnya. Awalnya gadis-gadis itu mungkin sudah akan saling memukul...”

Kata ‘mungkin’ disini berarti hal tersebut belum benar-benar terjadi kan.

“Dan Kurusu menerima beberapa kekerasan verbal dari pihak yang bertengkar, tapi ekspresi dingin Kurusu-san sepertinya yang akhirnya mencegah mereka untuk saling memukul…”

“...”

“Ekspresinya benar-benar dingin. Dan tindakan Kurusu-san tersebut dipuji oleh semua orang. Apalagi dia menanggapi kata-kata teman sekelasnya yang khawatir dengan dingin dan menjawab, ‘Tidak masalah. Aku tidak peduli’. Dia benar-benar memiliki mentalitas yang kuat.”

Sembari bertepuk tangan untuk memujinya, Hinamori mengatakannya dengan kagum.

Aku yakin orang-orang di sekitar yang menonton kejadian tersebut pasti memikirkan hal yang sama.

Karena tidak sepertiku, mereka hanya melihat semuanya dari permukaan.

“Tidak peduli, huh. Kau benar...pasti begitu kelihatannya.”

“Eh, ada yang salah?”

“Tidak, tidak apa-apa...Mari kita segera menyelesaikan ini.”

“Kaburagi-san! Jangan terburu-buru.”

Aku pun memutuskan untuk bergegas dan menyelesaikan tugas membantu OSIS.

 

 

◇◆ Aku Ingin Bersabar ◆◇

 

“JANGAN IKUT CAMPUR YA, KAMU TIDAK TAHU APA-APA! Biasanya juga kamu diam dan sulit sekali mengetahui apa yang kamu pikirkan! Kamu benar-benar seperti boneka yang tidak memiliki perasaan!”

Aku masih ingat apa yang dia katakan kepadaku sebelumnya dan cengkeraman tanganku pada sapu pun mengencang.

Hari ini adalah hari terakhir kami di kelas itu, namun kami bahkan tidak sempat mengadakan perpisahan...

Tapi, setidaknya kita bisa lebih banyak berbicara dibanding sebelumnya.

Dibandingkan dengan awalnya, bisa dibilang akhirnya kita bisa berinteraksi secara normal.

Aku senang akan hal itu, tapi...tetap saja semuanya berakhir buruk.

Dan aku tidak menyalahkannya karena mengatakan hal tersebut.

Aku memang tidak bisa melakukan apa-apa, aku buruk dalam segala hal, dan aku tidak bisa mengekspresikan diriku sendiri.

Butuh keberanian untuk menghentikan sebuah pertengkaran. Tapi ketika aku memikirkan Kaburagi-kun yang sudah mengajariku begitu banyak hal...anehnya tubuhku tergerak dengan sendirinya.

Aku memang tidak bisa berbuat banyak, tapi aku memikirkan cara agar bisa sedikit membantu.

Walaupun mereka tidak pernah berbicara denganku…tapi mereka berteman…seharusnya mereka tidak berkelahi seperti itu.

Aku melihat ke langit dan menyipitkan mataku.

Langit terasa lebih terang dari biasanya, dan aku merasakan sesuatu naik dari dalam tubuhku ke wajahku.

Tidak...sama sekali tidak boleh.

Aku tidak boleh sedih hanya karena hal ini…aku harus kuat…

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri.

Jika aku mudah depresi hanya karena hal-hal seperti ini, aku tidak akan pernah menjadi orang yang kuat.

Aku tidak akan pernah bisa menyamai Kaburagi-kun.

Jadi jangan pernah menangis.

Berusaha lah lebih keras...karena aku harus memberitahunya.

Tapi dia sepertinya tidak akan datang. Dia tidak akan datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menemuiku.

Jadi sekarang...bersabarlah. Aku harus sabar.

Aku harus lebih dewasa lagi...

“...Kurusu. Kau begitu serius dan hebat hari ini.”

Tiba-tiba aku mendengar suara itu...dan hatiku, yang sedang aku coba untuk tenangkan, langsung terusik lagi.

 

 

Sepulang sekolah, aku meninggalkan kelas lebih awal dari biasanya dan bergegas ke kelas Kurusu.

Aku bisa merasakan suasana tegang di kelasnya, meskipun aku berasal dari kelas yang berbeda.

Tapi sepertinya semuanya sudah beres.

Anak laki-laki yang berada sisi kiri kelas sedang bersungguh-sungguh meminta maaf dengan wajah yang merah cerah, dan para gadis terlihat memalingkan wajah mereka.

Tampaknya pihak-pihak yang terkait akan menyelesaikan sisanya.

Tapi Kurusu tidak terlihat dan aku berjalan di sekitar sekolah untuk mencarinya.

Dan kemudian aku menemukannya di belakang gedung sekolah, di dekat tempat kami bersama-sama melakukan kerja bakti kala itu,

(...Bersabarlah. Aku harus sabar)

Aku mendengar suara hatinya.

“...Kurusu. Kau begitu serius dan hebat hari ini.”

Kurusu memperhatikan kedatanganku, menunjukkan sapu bambunya kepadaku dan berpikir, ‘Aku sedang bersih-bersih. Bukankah ini bagus?’.

Aku menggigit bibirku saat melihat ekspresi wajahnya, yang ku lihat bukan lagi ekspresi kosong yang biasanya ia tampilkan, tetapi ekspresi yang sudah dia latih bersamaku.

“Aku juga mau ikut bersih-bersih. Boleh kan aku bergabung denganmu?”

Aku bisa melakukannya sendiri kok. Tidak masalah (Tidak... Jika aku menunjukkannya pada Kaburagi-kun sekarang, aku hanya akan merepotkannya...)

“...”

(Aku ingin menangis, ini sangat sulit, dan aku tidak bisa mengatur emosiku)

Aku terus mendengar suara hatinya itu yang sedang berusaha mati-matian untuk tidak menangis.

...Dia memang seorang pekerja keras. Dia berusaha keras dengan sekuat hati.

Dia bodoh, sangat polos, dan selalu bersungguh-sungguh.

Tapi itu hanya karena dia memiliki kemauan yang kuat untuk melakukannya...bukan hanya karena dukungan dari hatinya yang kuat. Tidak ada seorangpun yang tidak terluka, hanya karena mereka tidak menunjukkan perasaannya dengan jelas.

Aku bisa mendengarnya, jadi aku mendapati diriku ingin berbicara dengannya.

“Tahukah kau, Kurusu? Ada budaya khas Jepang yang mengatakan kesabaran adalah kebajikan, tapi itu adalah sebuah kebohongan.”

(Kebohongan…?)

“Ketika kau merasa sakit, tidak apa-apa untuk menangis atau berteriak.”

Setelah mendengarkan kata-kataku, Kurusu menghentikan gerakan tangannya dan melihat ke bawah. Aku meletakkan tanganku di kepalanya dan mengelusnya dengan lembut.

“Tidak apa-apa untuk melemaskan bahumu dan menangis sesekali. Menangis lah, dan lepaskan stres yang ada di pikiranmu. Tidak apa-apa. Kau pasti akan merasa lebih baik nanti.”

(Jangan menangis...itu hanya akan membuatku terlihat lemah)

Kurusu menggelengkan kepalanya dan menatapku dengan mata yang penuh dengan semangat.

Matanya merah. Dan seolah air mata telah banyak terkumpul di sana.

Kau tidak dapat menyembunyikannya lagi kalau kau sedang menahan diri.

Aku tahu kau kesulitan mengungkapkan perasaanmu...jadi satu-satunya yang bisa kulakukan adalah──

“Yah, mungkin sudah waktunya bagimu untuk beristirahat.”

(...Beristirahat?)

“Sepertinya kau belum mengerti ya. Dengar, kau sudah melakukan banyak pekerjaan seperti bersih-bersih, dan kau mungkin sudah lelah karena sudah banyak belajar sebelumnya. Jadi beristirahatlah. Kau kan sedang lelah, jadi kau bisa meregangkan tubuhmu, kau bisa menangis…yah, pokoknya seperti itu.”

Aku tersenyum dan menawarkan hal itu padanya.

Jadi dia tidak perlu berpikir kalau dirinya sengaja menangis. Dia hanya akan beristirahat dan meninggalkan perasaan negatifnya sebagai prosesnya...aku ingin dia bisa menganggapnya seperti itu.

Kurusu tetap diam, tapi kupikir dia akhirnya mengerti dengan maksudku.

Kepalan tangannya tampak mengencang.

(Apakah itu tidak apa-apa...?)

“Oh, btw, aku cukup besar, jadi aku bisa menyembunyikanmu, dan aku juga bisa melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang akan datang. Jadi, anggap saja aku tidak tahu apa yang terjadi, dan tidak akan ada orang lain yang tahu.”

(...Baiklah sebentar saja)

Kurusu terdiam dan membenamkan wajahnya di dadaku.

Dia tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan aku tidak mendengarnya menangis.

Tapi hatinya dipenuhi dengan emosi, dan tetesan besar air mata tumpah dari matanya.

Dia masih tidak berbicara. Dia hanya menangis dengan pelan, dan air mata mengalir di wajahnya.

Dan akhirnya aku mendengarnya menangis dan tersedu.

“Kau susdah melakukan pekerjaan dengan baik, Kurusu. Kau benar-benar baik dan hebat. Aku bangga padamu. Tapi disaat yang sama, jangan lupa kalau ada orang yang bisa kau datangi dan kau tunjukkan kelemahanmu. Aku tidak masalah untuk apapun itu.”

Aku mengelus-elus kepalanya.

Kata-kata itu pasti sudah mampu meluapkan segala hal yang sudah ia simpan selama bertahun-tahun di hatinya.

(Terima kasih. Kaburagi-kun.)

Bahunya bergetar dan dia terus menangis, tapi aku dengan lembut memeluknya.


 || Previous || ToC || Next Chapter ||   

 

0

Post a Comment



close