NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sensei…… Kisu wa Jugyou no Hanigai desu V1 Chapter 1

 Penerjemah: Flykity

Proffreader: Flykity


Chapter 1

Pertemuan Itu Terjadi Begitu Tiba-tiba


Jumat malam, lewat pukul sembilan. Di bilik dart sebuah kafe internet dekat stasiun.


"Ya, aku menang!"


Begitu layar mesin dart menampilkan tulisan "FINISH!", aku berbalik, dan dua orang teman dari tempat kerjaku—seorang senior dan seorang junior—serentak memegangi kepala mereka.


"Eh, Atsuto-san! Normalnya nggak mungkin bisa menang dari handicap segitu!? Kau terlalu jago, sampai bikin takut, tahu!?"


"Jangan takutlah."


Aku menanggapi protes si junior perempuan itu, lalu si senior menggaruk kepala sambil tersenyum kecut.


"Padahal aku lumayan percaya diri, tapi ini sih kalah telak. Ada trik khususnya gak?"


"Trik sih... jujur aku nggak tahu juga. Awalnya cuma iseng main karena bosan, terus entah kenapa jadi makin jago sendiri."


Begitu aku menjawab, juniorku meregangkan tubuh sambil menghembuskan napas pelan.


"Sudah kebanyakan lempar, jadi capek~. Istirahat dulu yuk? Ayo makan es krim!"


"Oh, ide bagus! Es krim di sini enak, lho."


Aku menatap mereka berdua berjalan pergi, lalu meneguk sedikit cola yang sudah mulai hambar.


Kafe internet "Wagoose".


Hari ini aku ke sini karena diajak teman-teman kerja, tapi sebenarnya aku sering datang sendirian juga.


Bukan karena aku punya cita-cita jadi pemain dart profesional atau ingin menang kejuaraan—sama sekali tidak.


Biasanya aku datang ke sini sepulang sekolah atau kerja paruh waktu, cuma karena bosan. Main dart sebentar, lalu baca manga atau main game di ponsel kalau lelah.


Itulah aku—Yamazaki Atsuto dalam keseharianku.


"Hahaha! Senpai, sampai segitunya kamu lebihin toppingnya!?"


"Lebihin aja, sebanyak mungkin…!"


Melihat dua orang itu berisik di depan mesin es krim, aku cuma bisa berpikir dalam hati, dasar norak...


Tiba-tiba, terdengar suara dari arah lain.


"Hey, nona! Main bareng, yuk!"


"Lihat deh, di meja sini banyak minuman enak, ayo gabung!"


Aku menoleh karena penasaran.


Dua cowok yang sepertinya mahasiswa sedang menggoda seorang wanita yang sedang main dart sendirian.


Hal seperti itu sebenarnya sering terjadi di tempat begini, jadi biasanya aku tak peduli. Tapi entah kenapa kali ini mataku terpaku.


(…Orang asing?)


Wajahnya kecil dan putih dengan hidung mancung, rambut panjang berwarna perunggu sampai ke punggung.


Tubuhnya mungil seperti anak-anak, tapi karena dia memakai setelan jas, mungkin dia orang dewasa. Di mejanya juga ada banyak kaleng bir.


"Uh, um…"


Wanita itu tampak gelisah, bibirnya gemetar, matanya biru berkilau panik.


Apa dia sedang minta tolong...?


Jujur, aku malas terlibat, tapi berpura-pura tidak lihat juga terasa nggak enak.


"Anu, boleh ganggu sebentar?"


Akhirnya aku memberanikan diri mendekat di antara mereka.


"Kau mau apa?"


Salah satu cowok menatap sinis, jelas terganggu karena usahanya diganggu.


Ah sial… situasi begini memang nggak nyaman.


"Bukan mau apa-apa, cuma… kelihatannya dia agak kesulitan."


Aku melirik wanita itu, dan dia buru-buru mengangguk dengan wajah tegang.


"Tapi, kita cuma ngajak main bareng kok,"


Cowok satunya yang lebih tinggi bicara dengan nada tenang tapi menyimpan ancaman, sambil maju selangkah.


Kelihatannya kalau begini terus bakal jadi adu mulut. Tapi tiba-tiba, cowok tinggi itu memberi usul aneh.


"Kalau gitu, gimana kalau kita tentuin lewat dart aja?"


"…Apa?"


"Kau main bareng wanita ini, jadi satu tim. Kita berdua satu tim juga. Main mode ‘01’. Yang menang boleh kasih satu perintah ke yang kalah. Gimana?"


"Eh, maksudnya apa, itu—"


"Kalau kami menang, perintahnya: jangan ganggu kami saat PDKT."


Mereka terus saja ngomong sesuka hati. Aku sebenarnya nggak niat ikut main, tapi mungkin aku harus agak tegas di sini.


"Kalau kalian maksa terus, aku bakal panggil pegawai toko—"


Baru saja aku mau menegaskan, tiba-tiba…


"Se-sepertinya seru! Ayo! Aku mau ikut!!"


Wanita asing itu yang tadi ketakutan malah berseru gembira. Cowok-cowok itu sampai melongo kaget.


"Eh… kamu serius?"


Aku bertanya, tapi dia malah bersinar semangat.


"Iya! Main dart pakai taruhan itu kelihatan keren dan dewasa banget! Dan aku memang pengen main sama orang lain juga!"


"Dewasa…?"


Aku menatapnya bingung, sementara matanya biru berkilau seperti anak kecil. Padahal kalau cuma mau main bareng, nggak perlu ikut taruhan segala.


"Lagipula, aku akhir-akhir ini latihan dart terus, tahu!"


Dia menyibakkan poni perunggunya dan tersenyum percaya diri.


…Ternyata dia bisa bahasa Jepang lancar juga, ya. Dengan sikap seyakinnya itu, jangan-jangan dia memang jago?


Aku melirik ke arah mejaku—senior dan juniorku sudah kembali, menatap penuh minat. Tampaknya mereka malah ingin menonton, bukan menghentikan.


"Kalau begitu, mulai saja! Dia juga semangat, kan!"


…Akhirnya, karena semua selain aku setuju, aku terpaksa ikut taruhan aneh ini.


Format permainannya adalah "701".


Masing-masing punya poin 701, lalu melempar dart sampai tepat jadi 0. Kami dapat giliran pertama setelah menang suit.


"Yeay! Aku duluan ya!?"


"Eh? Ya, silakan!"


Dengan penuh semangat, wanita itu berdiri di depan papan dart.


Dan lalu—


"Fueee…"


Ketiga lemparannya meleset total. Tidak satu pun menyentuh papan. Skor nol.


…Serius? Tadi percaya dirinya ke mana?


"E-eh, itu gimana ceritanya…"


"H-haha! I-itu cuma latihan! Latihan, tahu!"


Wajahnya memerah habis-habisan saat berusaha beralasan.


"Kayaknya susah nih menang…"


Namun kemudian, matanya sedikit berair, tampak khawatir. Mungkin merasa bersalah karena membuat situasi jadi berat sebelah. Tapi anehnya, aku malah merasa kami bisa menang.


"Kita pasti menang."


Aku menegaskan, dan dia menatapku kaget.


"Tapi… aku mungkin cuma bakal jadi beban…"


"Tenang saja. Aku yang akan menutupi kok."


"Wah… keren banget!"


Dia memandangku dengan mata berbinar, membuatku agak malu.


Ya sudah deh, terlanjur gaya—harus tampil keren sampai akhir.


Setelah saling kejar poin, tibalah di babak penentuan.


"Lumayan juga ya, jadi pertandingan bagus begini."


Aku berkata ringan dengan nada sedikit menyindir, dan dua cowok itu meringis kesal.


Mereka tinggal punya 20 poin.


Sementara tim kami masih 150.


Sekarang giliranku melempar.


Tengah papan—bull’s eye—nilainya 50. Artinya, kalau aku mau menang, tiga-tiganya harus tepat di bull.


Aku menarik napas pendek. Lemparan pertama—kena bull. 


Kedua—kena bull lagi.


Sekarang tinggal satu. Aku tarik tangan pelan-pelan, bidik… dan—


"Partner-kun! Semangat! Uooooo────!!"


"!?!"


Teriakan semangat dari si wanita membuat timing-ku kacau.


Anak panah terlepas sedikit meleset—


──Pakkyun!


Namun suara yang terdengar adalah suara khas bull.


"Eh!? Kena!? Se-seriusan!?!"


Nggak bisa dipercaya, tapi lemparan ngawur itu justru masuk tepat ke tengah.


"Bo-bohong…!" 


"Ka-kalah…!?"


"Ya ampun, hebat banget!! Kita menang!!"


Dua cowok itu terdiam melongo, sementara wanita itu melompat kegirangan dengan tangan di udara.


Nggak keren sih, tapi menang tetap menang.


Aku mendekat untuk menegaskan hasil taruhan.


"Tadi aturannya, yang kalah harus menurut perintah pemenang, kan?"


"……"


"Berarti kalian jangan ganggu cewek lain lagi malam ini. Main berdua saja."


"O-oh… iya…" 


"Nggak asik banget. Ayo cabut."


Dengan sedikit tekanan nada, mereka pun pergi dengan lesu. Masalah selesai—begitu pikirku.


Tapi kemudian…


"Hei, partner-kun!"


Saat aku menoleh, waktu seperti berhenti. Tanpa ragu, wanita itu memajukan tubuhnya dan… menciumku. Aroma manis parfumnya menyeruak, bibirnya lembut menyentuh punyaku. Aku terpaku.


"Pwah…!"


Dia melepasnya, tersenyum cerah seperti matahari.


…Apa barusan benar-benar terjadi!? Dia… menciumku!? Lembut banget… tapi bukan itu masalahnya!!


Aku menatap senior dan juniorku—keduanya sama-sama ternganga seperti patung.


"Hebat! Keren banget! Aku kaget banget!!"


"E-eh!? Justru aku yang kaget di sini…!!"


Berusaha sebisa mungkin tetap tenang, aku menjawab begitu.


Mungkin ini yang namanya perbedaan budaya—di negaranya, hal seperti mencium seseorang bisa dilakukan dengan santai seperti teman.


…Ya, mungkin begitu. Kalau tidak, mana mungkin seseorang mencium orang yang baru saja ditemuinya.


"Hei, hey, partner-kun! Kasih tahu aku namamu!"


"Y-Yamazaki. Yamazaki Atsuto."


"Atsuto, ya! Aku Charlotte Flores! Panggil aku Charl, ya!"


Charl menatapku sambil tersenyum cerah seperti anak kecil, dan wajahku langsung memanas. Senyum itu polos sekali, seolah tadi tidak terjadi apa pun.


"E-ehm... bahasa Jepangmu bagus, ya?"


"B-beneran!?"


Aku hanya asal bertanya karena bingung mau ngomong apa, tapi Charl malah tampak senang dan mendekatkan wajahnya padaku.


"Aku belajar bahasa Jepang banyak banget, tahu! Sampai beberapa waktu lalu aku masih tinggal di Amerika!"


"H-heh, Amerika, ya..."


"Iya! Di Florida! Tempat ini keren banget, ya! Banyak banget tempat buat main! Soalnya di dekat rumahku dulu tuh bener-bener nggak ada apa-apa, tahu? Ah, iya!"


Aku sempat berpikir mungkin dia mahasiswa pertukaran pelajar, lalu Charl mengulurkan kaleng bir dari meja ke arahku.


"Ayo minum bareng! Sebagai tanda pertemanan!"


Dia menawarkannya dengan senyum secerah bintang iklan bir, tapi sayangnya aku nggak bisa melawan hukum.


"Maaf, aku masih SMA...!"


"Eh, gitu ya. Sayang banget..."


Charl tampak lesu, tapi kemudian wajahnya langsung bersinar lagi seperti teringat sesuatu.


"Ah, kalau gitu, darts! Ajarin aku main darts!"


"Eh! M-mau ngajarin? Tapi aku nggak jago sampai bisa ngajarin orang..."


"Jadi nggak mau ngajarin? Darts..."


Wajah Charl mendadak tampak sedih, dan... susah banget buat nolak ekspresi itu.


"…Kalau gitu, cuma sedikit aja."


"Yeay! Makasih ya! Ajarin aku, ya!"


Akhirnya aku menyerah pada tekanannya dan setuju untuk mengajarinya bermain darts. Dia menukar kaleng birnya dengan anak panah dan berdiri di depan papan dart.


"Posisi berdirinya… ya, kayak gitu udah bagus. Cuma titik berat tubuhnya agak ke depan sedikit, ya."


"Titik beratnya agak ke depan!"


Charl menirukan kata-kataku, lalu memiringkan tubuhnya ke depan.


"Eh? Huh? Apa nih?"


Dengan suara kebingungan, tubuhnya tiba-tiba miring ke depan.


"H-hati-hati!"


Aku buru-buru melangkah maju—


──Dooon!


Aku langsung tertimpa dan jadi alas tubuhnya.


Nggak kelihatan apa-apa! Susah napas! Ada "sesuatu" yang nutupin mulutku…!


"Buhaa! Haa, haa…!"


Aku mendorong "sesuatu" itu dengan tanganku dan menarik napas dalam-dalam. Tapi... rasa lembut yang hampir jatuh dari tanganku ini apa, ya...?


Perlahan aku membuka mata—dan di sana kulihat Charl dengan pipi merah dan bibir bergetar.


Dan di tanganku… tangan kananku sedang menggenggam dada kanan Charl dengan mantap.


Artinya, yang barusan menutupi mulutku adalah… dada Charl.


"Uwaaa! Maaf, maaf, maaf banget!!"


Aku langsung berlutut dan menunduk dalam-dalam, kepala membentur lantai berkali-kali.


Tapi—


"…Eh, h-hah?"


Dia… nggak marah?


Bahkan tampak bingung, matanya bergerak ke sana kemari, dan bibirnya bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu.


"A-aku nggak nyangka, kamu cukup berani juga ya… Atsuto…"


Charl melirik ke arahku dengan pandangan yang panas. Mungkin karena alkohol, tatapan matanya yang agak sayu itu terasa luar biasa menggoda.


"U-umm..."


Begitu aku memanggilnya, Charl terkejut, menelan ludah, lalu berdehem.


"M-maaf ya!? Nggak berat, kan?"


"N-nggak kok, nggak berat, cuma..."


"Syukurlah! Maaf ya, aku agak kebanyakan minum jadi kepala rasanya melayang-layang… Oke! Sekarang kita lanjut main darts, yuk!"


Charl tersenyum cerah seperti matahari. Tapi mana bisa aku berpura-pura seolah nggak terjadi apa-apa setelah ini!?


"Maaf! Aku ada urusan setelah ini!"


"Eh!? Ajarin aku dulu dong! Ajarin darts, ayo! Darts! Daaarts!"


"Nggak bisa, waktunya udah mepet banget!"


Sementara Charl merengek seperti anak kecil, aku menoleh ke arah senior dan junior yang dari tadi menonton dari jauh.


"Ayo pulang sekarang!"


"Eh!? Nggak tukeran kontak dulu!? Dia udah cium kamu, terus kamu megang dadanya dan dia nggak marah, itu udah jelas banget tanda suka, tahu!?"


"Suaramu keras banget!"


"Eh tapi, itu ciuman pertama senpai, kan!? Gimana rasanya!? Ciuman pertamanya gimana!?"


"A-aku nggak tahu!!"


Aku menepuk kepala junior yang terlalu bersemangat dan menyuruhnya diam.


Ciumannya dia yang mulai, dan insiden dada itu kecelakaan murni, tapi tolong jangan teriak sekencang itu di tempat umum!


"Pokoknya kita pulang sekarang! Ayo, bubar!"


Aku menepuk kedua tanganku dan mulai berkemas.


…Tapi,


"Atsuto, tunguuu!"


Aku merasakan tarikan kuat di lengan bajuku dan nyaris terhuyung. Begitu aku menoleh, wajah cantik Charl sudah sangat dekat denganku.


"Kamu bakal main bareng aku lagi… kan?"


Mata birunya yang bulat bergetar lembut saat menatapku dari bawah. Seperti anak anjing yang sedang memohon dengan manja, dan jantungku langsung berdebar kencang.


"Eh, itu… ya…"


Setelah semua yang terjadi, rasanya canggung banget buat ketemu lagi. Tapi melihat wajah manja itu, mana bisa aku bilang "tidak" secara langsung.


"Kalau gitu, kapan-kapan aja, kalau kita ketemu lagi…"


"Benar!? Janji, ya!"


Wajahnya yang tadi tampak sedih langsung berubah jadi senyum cerah seperti bunga mekar.


──Waktu itu aku belum tahu.


Kalau aku bakal bertemu lagi dengan Charl… jauh lebih cepat dari yang kubayangkan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close