Penerjemah: Amir
Proffreader: Amir
Chapter 2
Mengapa Para Heroine Berubah Menjadi Yandere?
“Ini, Satoshi-kun. A~an.”
Dengan senyum semekar bunga sakura, Satsuki mencoba menyuapiku potongan apel yang ia bawa. Aku refleks menggerakkan pipi menahan canggung.
“Mungkin sekarang kau tidak ingin makan apel ya? Kalau begitu, tidak apa-apa. Aku juga membawa banyak makanan lain. Jadi, kalau ada yang ingin kau makan, bilang saja, ya?”
Sifatnya yang alami dan langsung menyeruduk tanpa pikir panjang adalah salah satu daya tarik Saionji Satsuki. Tapi ketika benar-benar mengalaminya, rasa malu jauh lebih besar daripada rasa senang.
“U-umm, aku bisa makan sendiri kok…”
“Tidak boleh! Satoshi-kun itu pasien. Dokter juga bilang kamu harus benar-benar banyak istirahat, kan?”
“Eh, itu kan waktu aku baru sadar saja. Sekarang tubuhku sudah lumayan pulih. Kalau terus merepotkanmu, aku malah merasa bersalah…”
Memang tubuhku masih terasa sakit saat digerakkan, tapi sudah cukup bisa bergerak.
Jujur saja, aku sudah mulai bosan hanya berbaring di ranjang. Intinya, aku ingin bilang kalau untuk makan, aku sudah bisa melakukannya sendiri.
“Kalau begitu… aku sudah tidak dibutuhkan lagi ya…?”
“Eh, b-bukan begitu maksudku.”
“Jadi aku sudah tidak ada gunanya lagi…”
Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan bahwa tubuhku sudah cukup pulih, jadi tidak perlu lagi merepotkan Satsuki. Tapi mungkin maksudku tidak tersampaikan dengan baik.
“Lihat, tubuhku juga sudah lumayan bisa digerakkan, kan? Jadi—ah!”
Aku mencoba bergerak untuk menenangkannya, tapi bagian yang kupaksakan malah terasa sakit.
“Tuh kan. Padahal masih jauh dari kata pulih, tapi kau memaksakan diri. Lalu tetap mengatakan aku tidak diperlukan. Hehe… kalau bahkan orang yang kusematkan sebagai penyelamat hidupku pun tidak membutuhkanku, lalu untuk apa aku hidup…?”
Satsuki menunduk, menggenggam rok erat-erat.
“Maaf… maaf… maaf karena tidak berguna…”
Ia bergumam meminta maaf berkali-kali seperti mesin yang kehabisan emosi. Berat banget, oi!?
“S-Satsuki!”
“Ah, maaf ya. Dengan sifatku yang muram dan tidak berguna, kehadiranku hanya membuat suasana jadi buruk kan? Aku tidak akan datang lagi ke sini. Selamanya.”
Tidak, ini jelas tidak baik!?
Dengan mata yang kehilangan sorotan, Satsuki berdiri dari kursi. Aku buru-buru meraih lengannya dengan tangan kiriku. Ia menoleh ke arahku dengan gerakan kaku. Salah bicara di sini bisa jadi fatal.
“T-tidak! Bukan begitu! Aku selalu berterima kasih padamu, Satsuki.”
Ia tersentak. Syukurlah, setidaknya ia masih mau mendengarkan.
“Aku hanya ingin membuatmu sedikit tenang, jadi aku berpura-pura kuat.”
“…Benarkah?”
“Sebagai laki-laki, aku ingin terlihat tegar di depan gadis manis. Yah… ternyata tubuhku masih terlalu lemah untuk sekadar berpura-pura.”
Itu benar-benar isi hatiku. Tadi aku merasa terlalu bosan hingga ingin menggerakkan tubuh, tapi nyatanya aku masih belum sanggup.
“Makanya, aku masih butuh bantuanmu, Satsuki… maaf, ya.”
“…Bukan. Aku yang harus minta maaf. Aku salah paham. Iya, benar juga. Laki-laki pasti begitu.”
Syukurlah. Sorot mata Satsuki kembali bercahaya. Rasanya suasana ruang rawat ini juga sedikit lebih terang. Ia lalu membungkus lembut tanganku dengan kedua tangannya.
“Aku senang kau menyebutku sebagai orang yang berjasa. Tapi untukku, Satoshi-kun adalah penyelamatku. Membantu dan merawatmu saja tidak cukup untuk membalasnya. Jadi, aku akan membalasnya ‘seumur hidupku’. Selama kau tidak menganggapku sudah tidak berguna, biarkan aku tetap di sisimu, ya…?”
“Ah… i-iya. Tolong ya.”
“Ya! Hehe.”
Berat sekali, oi!? Apa-apaan itu ‘seumur hidup’!?
Satsuki tersenyum polos, tapi keringat dingin merayap di punggungku. Aku harus sangat hati-hati agar ia tidak menyadari kegelisahanku.
“Kalau begitu, biar aku yang menyuapkan apel ini, ya? A~an.”
Ia kembali menyodorkan apel yang ditusuk dengan tusuk gigi ke arahku. Tentu saja, aku tidak punya pilihan untuk menolak.
“A-a~an.”
Astaga, memalukan sekali!?
Berapa kali pun, aku tidak bisa terbiasa dengan ini.
“B-bagaimana? Enak?”
Satsuki menatapku cemas dengan pandangan sedikit menunduk. Itu curang sekali. Tatapan itu sama persis dengan adegan dalam game yang selalu menaklukkan hatiku.
“…Iya, enak.”
“Syukurlah! Hehe.”
Ya sudahlah, dia terlalu imut. Aku jadi tidak peduli lagi. Rasanya pun seribu kali lebih manis daripada biasanya.
Setelah itu, kami mengobrol ringan. Lebih tepatnya, aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan Satsuki yang bercerita penuh semangat. Tentang syuting, tentang harapannya di universitas,
tentang keseharian yang membuatnya tampak begitu bahagia.
Inilah yang kusukai dari memainkan 【LoD】. Melihat Satsuki yang ceria menceritakan hal-hal sepele dengan penuh semangat. Bukan karena ingin melihat sisi gelapnya yang jatuh dalam kegelapan.
“Tokoh utama itu curang sekali…”
“──”
Aku jadi iri pada posisi Sano, protagonis 【LoD】. Bayangkan saja, ada gadis semanis ini yang menyukainya. Bahkan ada empat gadis seperti itu. Rasanya makin ingin dia mati.
“Hey…”
“Hm? Ah, maaf. Aku tadi melamun.”
Kalau dia sedang bicara, aku sungguh tidak mendengarnya. Karena itu aku jujur meminta maaf.
“Tidak apa-apa. Jangan dipikirkan. Satoshi-kun, apa yang kau pikirkan tentang… Sano Yuuto?”
“Sano?”
Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya.
Aku dan Sano Yuuto hampir tidak ada kaitannya. Jadi aneh rasanya kalau kukatakan bahwa aku tahu banyak tentang dia. Aku hanya menjawab dengan obrolan ringan yang aman saja.
“Secara pribadi aku hampir tidak pernah berhubungan dengannya, jadi aku tidak terlalu tahu. Tapi dia cukup terkenal di sekolah. Kabarnya dia pernah menaklukkan semua anggota ‘【Empat Gadis Cantik】’ kita.”
“……”
Istilah 【Empat Gadis Cantik】 adalah sebutan untuk para heroine di 【LoD】. Karena nama keluarga mereka memuat kanji arah timur, barat, selatan, dan utara—seperti Saionji Satsuki—maka mereka disebut demikian.
Tapi kenapa tiba-tiba Satsuki mulai membicarakan Sano…?
Ah, mungkin begitu adanya. Aku pernah membaca di buku bahwa perempuan suka membicarakan kisah cinta. Itu kemungkinan tanda bahwa dia ingin mengobrol soal cinta. Meski sudah terjadi hal seperti itu, ternyata dia masih memikirkan Sano. Kalau begitu, sebagai seorang pria yang beradab aku harus bersikap pengertian agar obrolan berjalan lancar.
“Yah, aku hanya beberapa kali melihatnya di SMA, tapi kurasa Sano itu orang yang baik… lembut, orang yang baik.”
Aku sendiri sangat payah dalam memuji. Tolong maklumi itu. Dia adalah protagonis yang membuat kami berakhir di bad end, jadi wajar jika ada kebencian—tidak mungkin ada rasa terima kasih. Memuji orang yang dibenci itu sulit.
Bagaimanapun, kukira itu jawaban yang bagus. Dengan kepribadian Satsuki, dia pasti akan senang berbicara tentang orang yang disukainya. Aku bersiap mendengarkan dengan air mata tertahan—tapi tiba-tiba sikap Satsuki berubah aneh.
“Ada apa?”
“Eh. Kau benar-benar memikirkan ‘Sano Yuuto’ seperti itu…?”
Matanya menatapku seolah merangkul sesuatu untuk dipertahankan. Di sana terselip permintaan agar aku tidak berbohong padanya.
“Iya, begitu kurasa.”
Namun aku berbohong. Tidak ada gunanya bilang aku membencinya.
Tanpa sadar aku mengalihkan pandangan dari Satsuki, lalu buru-buru menimpali dengan kata-kata.
“Yah, aku hanya dengar dari kabar saja, tapi kurasa Sano menyukai Satsuki…”
“Hentikan.”
“……Eh?
Sebuah penolakan tajam seperti pisau dilemparkan padaku. Saat kutatap Satsuki, ia tersenyum tanpa ekspresi.
“Aku sama sekali tidak menyukai Sano Yuuto.”
“Eh… tidak.”
Itu terdengar sangat dipaksakan. Bukankah dia sampai mengaku cinta padanya?
Tiba-tiba Satsuki beralih ke posisiku, lalu menyentuh lengan kananku. Karena tanganku mati rasa, aku tidak merasakan apa-apa, tetapi tindakannya yang abnormal itu lebih menimbulkan kebingungan daripada gairah.
“Dulu aku memang menyukainya… sejak kecil kami seperti teman masa kecil.”
Ia mengucapkannya pelan, seolah melepaskan kata-kata itu tanpa sengaja.
“Aku mulai jadi gravure idol, belajar masak yang kupikir susah, sampai masuk sekolah yang sama—semua itu karena aku ingin selalu berada di dekat Yuuto.”
Karena aku pernah memainkan permainan itu, aku ingat pengaturan cerita itu dengan jelas. Satsuki berusaha menarik perhatian Sano dengan jadi terkenal karena ia kesulitan membuatnya terpikat. Cara yang canggung, tetapi ketulusan Satsuki membuatku mendukungnya.
“Tapi itu bukan keinginanku sendiri.”
“Eh?”
Apa aku salah dengar…? Saat aku hendak menuntut penjelasan, wajahnya berubah jadi penuh penghinaan—membuatku merinding.
Itu bukan ekspresi yandere yang selama ini kulihat; itu rasa jijik terhadap sesuatu yang pantas dikecam. Meski aku tak merasakan sentuhan, sepertinya lengan kananku yang digenggam ditarik dengan kuat. Sadar kalau kulihatinya, Satsuki segera tersenyum manis.
“Oh, maaf. Maksudku, dulu aku memang menyukainya, tapi sekarang aku hanya menganggap dia sampah busuk. Aku tidak ingin bicara lagi dengannya, bahkan membayangkannya saja membuatku mual.”
“Ah, begitu ya.”
Kalau dipikir-pikir, Sano memang mengajukan tawaran terburuk—menjadi ‘Sex Friend’ kepada mereka. Wajar jika kesabaran Satsuki habis.
“Maaf ya, aku tidak seharusnya membicarakan orang sampah macam itu.”
“Tidak apa-apa. Kadang bicara saja bisa bikin lega.”
“Kau baik, ya… Satoshi-kun.”
Satsuki mengangkat lengan kananku lalu menempelkannya ke pipinya. Wajahnya memancarkan kenikmatan ketika ia menggesekkan pipinya pada lenganku—ada sensualitas sedemikian rupa hingga aku merasa seolah-olah akan dijilat.
“…Aku sekarang hanya bisa melihatmu. Mari tetap bersama, ya?”
“Ah, iya.”
Wajah Satsuki memerah, tersenyum dengan sesuatu yang tak bisa kusebut. Aku hanya bisa menjawab sambil samar-samar.
◇
Rumah sakit tempatku dirawat termasuk yang terbesar di prefektur. Dari segi fasilitas, jumlah staf, dan kualitas dokter, ini kelas terbaik.
Aku tahu detail itu karena ada episode dalam cerita di mana Sano terluka dan dibawa ke rumah sakit yang sama. Halaman tengah rumah sakit cukup luas. Ada McDonald's dan minimarket, sehingga pasien yang bosan sering berkumpul di sana. Karena aku kurang suka kerumunan, aku memilih melihat taman kecil di bagian belakang.
Bunga-bunga di area itu mulai bermekaran seolah menyambut musim semi: setelah menahan dingin musim dingin, mereka akhirnya muncul dan tampak lega. Kupandangi pemandangan luar sambil didorong dengan kursi roda. Aku akhirnya mendapat izin keluar, jadi kegembiraan itu terasa nyata.
Orang yang mendorong kursi rodaku adalah Kitagawa Reine. Dia salah satu dari 【Empat Gadis Cantik】—salah satu heroine 【LoD】.
“Pemandangan yang bagus… entah kapan musim semi datang.”
“Iya… belum lama ini aku sibuk dengan ujian, jadi tak sempat menikmati pemandangan.”
“Iya.”
Soal ujian itu setengah bohong; aku hanya belajar sekitar satu jam sehari. Berkat pengetahuan dari kehidupan sebelumnya aku bisa mengatur semuanya. Namun memang aku sempat tertekan karena hari kematianku telah ditetapkan—itu membuatku gelisah.
Meski pemandangan biasa saja, saat ini segala hal yang biasa terasa mengharukan. Mungkin karena nyaris mati, kini aku bisa merasakan keajaiban hidup dengan lebih mendalam.
Aku melirik sekilas ke arah Reine yang mendorong kursi rodaku dari belakang.
“Ada apa?”
“Ah, tidak, tidak apa-apa……”
Seperti biasa, dia benar-benar cantik luar biasa...
Dengan mata biru tua bagaikan bekuan di tanah es abadi, rambut peraknya yang panjang dan indah seperti sutra ditata dengan gaya two-side up. Dari dirinya yang seolah menyiratkan "dingin," aku merasakan suatu keanehan, seakan ia tertinggal sendirian di musim semi yang sedang datang menggantikan musim dingin.
Yah, gambaran itu memang tidak salah. Segala sesuatu darinya
tampak setajam es yang menggantung, ia lebih sering beraktivitas seorang diri, dan karena kebiasaannya duduk di dekat jendela sambil membaca, para siswa menjulukinya sebagai Ojou-sama yang terasing. Dan yang berhasil mencairkan "putri es" itu tak lain adalah Sano Yuuto—sosok luar biasa. Memang benar, protagonis itu hebat sekali.
Tiba-tiba, Reine menatapku dengan senyum kemenangan.
"Aku tahu. Kau sedang terpesona padaku, kan?"
"Eh, t-tidak. Bukan begitu."
Mengakui bahwa aku memang terpesona terasa terlalu menyebalkan, jadi aku buru-buru membantah.
"Aku hanya melihat pohon hanamizuki di belakang Reine, dan kupikir itu indah, itu saja."
"Satoshi terlalu buruk berbohong. Aku lebih suka laki-laki yang jujur, tahu?"
"…Aku benar-benar terpesona sampai mati."
Aku terbawa hanya karena mendengar kata "suka." Inilah sifat dasar laki-laki. Memang gampang sekali terpancing…
"Benar sekali. Karena aku memang cantik," katanya penuh percaya diri, bahkan memuji dirinya sendiri.
Memang begitu kenyataannya, jadi aku tak bisa membantah. Dan seperti biasanya, dari sinilah rentetan hinaannya akan dimulai.
"Kalau laki-laki itu cuma sebatas ternak, yah tidak bisa disalahkan sih—"
Nah, datang juga! Inilah hinaan khas Reine yang sudah kutunggu.
Reine memang sudah lama disebut "putri yang terasing," tapi pada dasarnya dia hanya canggung bersosialisasi. Karena sifat itu pula, ia tak punya teman, terutama terhadap laki-laki, di mana ia membangun tembok yang jelas.
Saat pertama kali memainkan gamenya, aku sendiri sempat kesal: "Apa-apaan sih perempuan menyebalkan ini?" Tapi alasannya jelas ada di latar belakangnya.
Hinaan Reine adalah wujud balik dari ketakutannya pada manusia. Seiring meningkatnya kedekatan dengan protagonis, Reine perlahan menjadi lebih jujur. Proses perubahan itulah yang menarik. Maka, bagiku yang sudah mengetahui sisi terdalam Reine, hinaannya justru terasa seperti hadiah.
Bisa mengingat kembali masa ketika hubungannya dengan protagonis masih di tahap awal bahkan membuatku sedikit terharu. Hanya saja, kali ini kelanjutannya tidak muncul.
"Reine?"
Saat aku menoleh ke belakang, ada tetesan air yang membasahi wajahku.
"Maaf…"
"Eh?"
Permintaan maaf dari Reine adalah hal yang sangat jarang, bahkan di dalam 【LoD】. Itu biasanya hanya terjadi setelah menaikkan affection point sangat tinggi—sebuah rare event. Tapi, bukan itu masalahnya sekarang. Sikap Reine jelas tidak wajar.
"A-ada apa denganmu?"
Tanpa ekspresi, Reine membuka mulut.
"Aku ini perempuan yang buruk…"
Lalu ia mulai berbicara perlahan.
"Pada penyelamatku, Satoshi, aku malah mengucapkan hinaan serendah itu, menyebutmu dengan sebutan ternak. Itu benar-benar jahat. Maafkan aku."
"Eh, Reine…?"
"Aku punya sifat buruk. Bahkan pada penyelamatku, aku tetap melontarkan kata-kata jahat. Aku muak dengan diriku sendiri. Sampah seperti aku tidak pantas berada di sisi Satoshi-sama, orang yang paling baik di dunia…"
"Hei, tunggu sebentar—"
"Karena itu, aku akan menghilang dari hadapanmu. Sebenarnya aku berharap kau yang menghabisiku… tapi aku tak bisa merepotkanmu begitu. Jadi, aku akan mati diam-diam di tempat yang tak diketahui siapa pun. Mungkin Aokigahara cocok untukku. Seorang perempuan seburuk ini memang pantas mati dengan cara menyedihkan…"
Begitu ia berkata demikian, Reine menutupi wajahnya dengan tangan dan mulai menangis.
Tunggu dulu—apa-apaan dengan "bunuh aku" itu!? Jangan berpikir seberat itu!
Baik Satsuki maupun Reine, kenapa mereka begitu mudah tenggelam ke sisi gelap!? Kalau begini terus, mereka benar-benar bisa mati!
Karena itulah aku harus segera menenangkannya. Aku berusaha menggerakkan tangan kiriku untuk memutar arah kursi roda agar menghadap Reine.
"Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya, jadi tenanglah. Aku tahu, Reine itu orang yang baik."
"…Mana mungkin orang yang bisa dengan mudah melontarkan hinaan seperti itu disebut orang baik. Kau tak perlu menghiburku lagi."
Yah… ini cukup berat. Kalau aku sembarangan bicara, ia mungkin tidak akan percaya. Lebih buruk lagi, bisa membuatnya tambah terluka.
Tidak ada cara lain. Aku juga harus bersiap mengambil risiko. Aku akan sedikit curang kali ini.
"Ini bukan sekadar hiburan. Reine berbicara kasar itu bukan karena sifat aslimu, tapi karena trauma hubungan dengan orang lain—khususnya rasa takut terhadap laki-laki, kan?"
"Eh, i-itu… ya, benar juga."
Ia jelas terlihat panik.
Wajar saja, siapa pula yang akan bisa berkata seperti itu padanya? Itu menunjukkan betapa jauhnya ia selalu menjaga jarak dengan orang lain.
Kenyataannya, ibu Reine adalah seorang ibu tunggal yang terus berganti-ganti pasangan pria, bahkan sering melakukan kekerasan padanya di rumah.
Dengan kecantikannya, Reine bahkan sempat menjadi sasaran rayuan dari pria-pria yang dibawa ibunya. Dari situlah rasa takut pada laki-laki terbentuk. Lebih parah lagi, ketika Reine jatuh cinta, ibunya yang cemburu justru semakin kasar dan melakukan kekerasan.
Maka, tak heran jika ia buruk dalam bersosialisasi, selalu menolak orang lain dengan keras. Dan hampir tak ada orang yang menyadari bahwa sikap itu berasal dari trauma.
"Kalau begitu, kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Aku tahu siapa dirimu sebenarnya, Reine."
"T-tapi… aku ini benar-benar punya sifat buruk. Jadi…"
"Reine."
Aku sengaja memotong ucapannya.
"Jangan suruh aku mengulanginya terus. Aku sudah bilang, aku mengerti perasaanmu."
Kata-kata keras yang keluar dari Reine sebenarnya hanyalah bentuk kewaspadaan—dan satu lagi, bentuk rasa malu yang ia sembunyikan.
Dalam permainan, saat ia mulai dekat dengan Sano, setiap kali dipuji ia justru refleks melontarkan kata-kata kasar. Aku selalu tersenyum kecil setiap kali melihat adegan itu.
Kali ini pun sama. Ia hanya malu karena aku sampai terpesona padanya. Lagipula, siapa sih yang tidak senang dipuji? Bahkan kalau itu hanya datang dari seorang mob character sekali pun. Lalu, Reine berlutut dan menggenggam tangan kananku. Dengan mata berkaca-kaca, ia menatapku layaknya seekor kucing terlantar yang menengadah.
"Maafkan aku. Aku akan perlahan-lahan memperbaiki sifat ini, jadi jangan tinggalkan aku. Tolong, jangan membenciku."
"Aku bilang, aku tidak akan membencimu. Lagipula, meski Reine sering berkata keras, itu juga bagian dari pesonamu. Tidak ada yang perlu diubah."
Mendengar ucapanku, Reine sempat tertegun, lalu menenggelamkan wajahnya ke pangkuanku.
"Yang bisa berkata begitu hanya engkau, Satoshi-sama. Terima kasih."
"Begitu, ya…"
Kakiku memang masih terasa sakit, tapi kalau aku menunjukkannya sekarang, ia bisa kembali terjerumus dalam kegelapan. Aku menahan diri sekuat tenaga. Termasuk soal panggilannya “Satoshi-sama” itu.
Tak lama kemudian, orang-orang mulai berkumpul. Kehidupan bunga memang memberi semangat pada kami yang sedang terluka.
Bagi para pasien lain, itu mungkin menjadi oase hati untuk melawan penyakit dan perawatan yang menyakitkan sehari-hari. Namun, semua orang yang memandang kami menyorotkan tatapan hangat yang aneh. Tatapan itu terasa membuatku tidak nyaman. Aku ingin segera membangunkan Reine, tapi ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan berdiri.
"Hei, aku punya permintaan," ucapnya pelan.
"Apa?"
Suara itu keluar dari mana?
Masih menunduk di pangkuanku, ia berkata begitu. Sejujurnya, aku ingin segera pergi dari sini…
"Aku ingin kau mengelus kepalaku. Boleh…?"
"Apa?"
Apakah aku pantas melakukan hal seperti seorang tokoh utama…?
Saat aku ragu, Reine menengadah dengan tatapan cemas. Wajahnya… kecil sekali!?
"Tidak boleh…?"
"Baiklah… hanya sebentar, ya?"
"Ya, kumohon."
Astaga, imut sekali!
Tatapan hangat orang-orang di sekitar semakin menusuk. Reine sendiri seolah tidak menyadarinya. Dengan menyingkirkan rasa malu, aku mengelus rambut Reine. Rasanya seperti kain sutra berkualitas tinggi—bukan hanya lembut, tapi juga seakan menempel pada tanganku, membuatku betah berlama-lama.
"A-aku jadi geli."
"Ah, maaf."
Karena terlalu nyaman, aku sempat terbawa suasana. Begitu sadar, penonton di sekitar sudah banyak sekali. Situasi ini sudah tidak bisa kutahan lebih lama.
"Reine, ayo kita kembali ke kamar."
"Ah, y-ya."
Setelah menyadari keadaan, Reine ikut tersipu malu. Imut sekali dia ini.
Akhirnya, kami buru-buru meninggalkan tempat itu. Begitu masuk ke dalam rumah sakit, akhirnya kami bisa terbebas dari tatapan orang-orang. Lebih baik aku kembali ke ruang rawat dan beristirahat dengan tenang.
"──Hei,"
"Hm?"
Reine memanggilku dari belakang.
"Satoshi-sama… maksudku, Satoshi. Bagaimana bisa kau tahu kalau keluargaku bermasalah?"
Sambil mendorong kursi rodaku, ia bertanya.
"Eh? Memangnya aku pernah bilang kalau keluargamu bermasalah?"
"Ya, dengan jelas."
Sial… aku melakukan kesalahan besar.
Reine memang menyembunyikan masalah keluarganya. Hanya sedikit orang yang tahu. Jadi wajar kalau aku mengetahuinya tampak janggal.
"Aku dengar Sano membicarakanmu."
Alasan yang sempurna. Aku juga tidak peduli kalau Sano akan kena akibatnya.
"Begitu…"
Ketika kamar rawatku sudah terlihat, lampu neon di lorong berkedip-kedip. Kadang redup, kadang terang. Suasana itu terasa menegangkan, membuatku ingin segera memecah keheningan.
"Sano bilang dia pasti akan membantumu menyelesaikannya. Dia orang baik, kan? Aku sendiri tak bisa melakukan banyak hal untuk orang lain, jadi aku kagum pada Sano."
"Begitu…"
Eh… apa-apaan reaksinya ini?
Selain Satsuki, seingatku para heroine masih menyukai Sano. Tapi mengapa reaksinya sedingin ini?
Tiba-tiba, kursi rodaku berhenti. Rupanya Reine tidak lagi mendorongnya.
"Ada apa, Reine—ugh!?"
Saat aku menoleh ke belakang, kedua pipiku digenggam erat. Dengan pupil melebar, Reine mendekatkan wajahnya begitu dekat ke arahku.
"Satoshi-sama. Engkau adalah orang yang rela bertindak demi menyelamatkan nyawa kami. Itu bukti bahwa engkau manusia luar biasa, jauh lebih dari siapa pun. Jadi jangan pernah merendahkan dirimu lagi."
Kepalaku terpegang erat, membuatku tak bisa mengalihkan pandangan dari sorot matanya yang begitu lurus.
"Terima kasih. Aku senang mendengarnya…"
"Anak baik. Aku menyukai Satoshi-sama yang jujur seperti ini."
Ia tersenyum manis sambil menatapku. T-tapi, wajahnya terlalu dekat!?
"Tapi, tahu tidak──"
Lampu neon berkedip beberapa kali, lalu akhirnya padam. Sekeliling kami seketika gelap gulita, hanya menyisakan cahaya biru dalam dari mata Reine.
"Jangan lagi sebut nama sampah itu, Sano Yuuto. Terutama dari mulutmu, aku tidak ingin mendengarnya lagi."
"Apa…?"
"Dia itu kanker dunia ini. Lebih baik kau dilumuri kotoran sekalipun daripada dibandingkan dengannya. Tidak pantas sekali."
"S-sampai segitunya? Tapi, bukankah dulu kau suka dia… ah."
Sial, aku salah bicara!
"Ya, dulu aku menyukainya. Atau lebih tepatnya──aku dipaksa untuk menyukainya."
“Dipaksa untuk menyukai…?”
Aku ingin menanyakan apa maksudnya, tetapi sebelum sempat, Reine melepaskanku. Namun, sesaat kemudian, ia langsung merangkul leherku dari belakang.
“Tapi sekarang aku sudah sadar. Semua ini berkat Sang Penyelamat. Mulai sekarang, aku yang akan mendukungmu, Satoshi-sama… tidak, Satoshi. ‘Seumur hidup’.”
“A-ah… kumohon begitu, ya.”
“Ya, serahkan saja padaku.”
Terlalu berat, sumpah!?
Meski sedang dipeluk, yang kurasakan bukan kebahagiaan, melainkan rasa takut dan kecemasan yang makin menumpuk. Aku benar-benar bertekad: harus cepat-cepat keluar dari rumah sakit ini, supaya tidak membebani para heroine lagi.
◇
“Bosannya…”
Satsuki dan Reine sama-sama ada urusan hari ini, jadi mereka tidak datang. Karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan, aku terus membaca buku referensi yang bahkan sebenarnya tidak ingin kubaca.
Aku ingin punya ponsel cepat-cepat…tapi sebentar lagi aku boleh pulang. Meski masih mustahil untuk berolahraga berat, bahkan berjalan pun masih menyulitkan, tetap saja bisa keluar dari rumah sakit adalah hal yang menggembirakan.
Dokter sempat menyarankan agar aku dirawat lebih lama, tapi aku menolak dengan sopan. Selain biaya rumah sakit yang mahal, aku merasa jauh lebih tenang kalau berada di rumah. Atmosfer rumah sakit sama sekali tidak cocok denganku.
Memang, rumahku hanya untuk hidup sendiri. Karena dulu aku seenaknya menggunakan pengetahuan dari kehidupanku yang lalu, hubunganku dengan orang tua jadi retak.
Sejak masuk SMA, aku memutuskan hubungan dengan mereka. Aku bahkan sempat berpikir untuk melapor ke polisi agar orang tuaku dilarang mencariku, tapi ternyata itu tidak perlu. Nomor mereka memang masih ada di ponselku, tapi tidak pernah ada kabar sama sekali. Aku yakin bagi mereka, hidup tanpaku lebih baik.
Awalnya aku masih menyimpan sedikit perasaan tak rela, tapi akhirnya aku sadar kalau memang tidak pernah benar-benar dicintai, jadi aku sudah tidak peduli lagi. Daripada memikirkan keluarga yang sudah putus hubungan, lebih baik memikirkan hal-hal produktif setelah pulang nanti.
“Untuk sementara, kurasa aku harus mengandalkan Amazon dan Uber.”
Itu berarti hal pertama yang harus kulakukan adalah membeli ponsel baru. Tanpa itu, aku bahkan tidak bisa memesan apa-apa. Begitu keluar dari rumah sakit, aku harus langsung ke toko ponsel.
“Hm?”
Dari balik pintu, terdengar langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan kamarku. Dari kaca buram, terlihat ada bayangan berdiri. Lalu terdengar ketukan pelan.
“Silakan masuk.”
“Permisi~.”
Suara lembut yang terdengar santai memenuhi ruangan.
“Halo, Satoshi-kun. Bagaimana kabarmu~?”
“Ya, lumayan. Nanjou masih seperti biasanya, ya.”
“Tidak juga~. Padahal aku ini khawatir sekali setiap hari, tahu? Lagipula, jangan hanya panggil aku dengan nama keluarga. Panggil namaku, ya~?”
“Ah, maaf. Shuna.”
“Ehehe~ aku senang sekali.”
Dia benar-benar lembut sekali… entah kenapa, rasanya lukaku ikut lebih cepat sembuh.
Nanjou Shuna. Salah satu heroine di 【LoD】.
Rambutnya semi-long berwarna cokelat lembut, agak bergelombang. Dari kesan pertama, dia mudah didekati, dan sepertinya siapa pun lawan bicaranya, sifat santainya tidak pernah berubah.
Dia adalah ketua OSIS di angkatanku, dijuluki [Seijou] karena kebaikannya. Dia tidak bisa membiarkan orang yang sedang kesusahan. Dan yang patut diperhatikan tentu saja… bentuk tubuhnya. Tidak perlu kusebut apa, tapi dibanding heroine lain yang juga “besar”, dia salah satu yang paling menonjol. Pasti banyak laki-laki yang terbantu karenanya.
“Terima kasih sudah menjengukku. Aku benar-benar terbantu.”
“Tidak apa-apa~. Jangan dipikirkan. Aku melakukannya karena ‘suka’, tahu~?”
Dia duduk di kursi di sebelah kiriku, lalu buru-buru merendah.
“Tiba-tiba saja, tapi Satoshi-kun. Kamu pasti bosan sekali hanya bisa berbaring, kan~?”
“Eh, ya… bisa dibilang begitu.”
Kenapa terdengar seperti kuis yang setengah hati begini…
Suara datarnya bikin aku hampir jatuh dari kursi.
“Untuk itu, aku bawa hadiah, lho~. Jajaa~n, aku belikan game untukmu~!”
Yang ia sodorkan adalah sebuah Game Bo〇. Dan kasetnya adalah Pokémon jadul, yang rilis lebih dari dua puluh tahun lalu.
Apa!? Tua sekali!
Saat aku terkejut, Shuna tersenyum malu.
“Maaf ya, aku tidak punya uang untuk beli game terbaru~. Jadi terpaksa cuma bisa membelikan barang bekas ini.”
“Oh, begitu.”
Malah aku kagum dia bisa menemukan barang seperti ini.
“Padahal aku ingin sekali membelikanmu yang terbaru… tapi bagaimanapun aku atur, uangnya tidak pernah cukup. Aku benar-benar payah, ya~? Bahkan untuk penyelamat nyawaku saja, aku hanya bisa memberikan barang bekas… hiks.”
Apa!? Shuna mulai menangis, sambil terisak meminta maaf.
Karena kejadian yang begitu mendadak, aku hanya bisa panik dan gelagapan.
“Maaf ya… maaf. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri yang hanya mampu memberikan game bekas, entah pernah dipakai siapa, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawaku…”
Keluarga Shuna memang sangat miskin. Padahal, orang tuanya dulunya adalah pengusaha sukses yang membangun kekayaan dari nol, dan Shuna tumbuh sebagai anak seorang presiden direktur. Namun, seorang bawahan yang dipercaya ternyata menggelapkan uang perusahaan. Semua dana itu habis dipakai untuk berjudi, dan ketika ketahuan, perusahaan sudah benar-benar kosong. Tidak mungkin bisa menagih dari orang yang sudah tidak punya apa-apa.
Sejak itu, kinerja perusahaan menurun drastis. Kini mereka bertahan dengan terus berhutang meski selalu merugi.
Shuna pun bekerja paruh waktu sejak masuk SMA untuk membantu perekonomian keluarga. Katanya, moto keluarga mereka adalah “Meski miskin harta, hati jangan ikut miskin.” Itulah dasar yang membuatnya rela membantu orang lain dan akhirnya menjadi ketua OSIS. Sungguh mengharukan.
Dalam 【LoD】, sebenarnya ada skenario di mana tokoh utama membantu menyelamatkan perusahaan Shuna, tapi… yah, dengan bad end yang kualami, kau pasti bisa menebak sendiri bagaimana hasilnya.
“Shuna, tolong angkat wajahmu. Terima kasih banyak untuk hadiahnya, ya?”
“…Tidak, ini sama saja seperti memberimu sampah. Maafkan aku.”
"Enggak kok. Shuna tahu aku bosan di rumah sakit, jadi sengaja memilihkan ini kan? Perhatian itu saja sudah bikin aku senang."
"Tapi..."
"Nggak ada tapinya. Lagian, kesempatan buat main game lama itu jarang banget, jadi jujur aku malah excited. Game terbaru memang bagus, tapi yang retro juga punya daya tarik tersendiri."
"…Beneran~?"
Cahaya kembali ke mata Shuna. Sepertinya perasaanku tersampaikan. Tinggal sedikit dorongan lagi.
"Aku nggak bohong kok. Nih, Shuna sini, main bareng yuk."
"Iya... makasih ya~"
"Harusnya aku yang bilang terima kasih..."
Padahal dia hidup pas-pasan, tapi masih bisa rela mengeluarkan uang buat orang lain. Rasanya pengen nyumpahin kru produksi dan si tokoh utama yang bikin anak ini menderita. Tapi memang ya, game lama ini susah banget dijalankan. Wajar juga sih, soalnya udah ada sejak sebelum aku lahir di kehidupan sebelumnya. Ya mungkin memang begini cara menikmati retro game.
"Woah~ patah-patah banget ya~"
Shuna dengan mata berbinar-binar mengintip permainanku. Ya wajar aja, dia bahkan nggak punya smartphone. Tapi... terlalu dekat, hei?
Ada aroma manis seperti kelopak bunga bercampur dengan hangatnya kelembutan. Shuna, yang sibuk bersorak kecil sambil tenggelam dalam game di sebelahku, nggak sadar kalau jarak tubuh kami sudah nol. Kayaknya game ini benar-benar langka baginya. Buat remaja laki-laki normal, ini stimulasi yang agak berlebihan.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memaksa fokus lagi ke game. Meski begitu, lebih susah dari yang kuduga. D-pad di kiri sih gampang ditekan, tapi karena tangan kananku nggak bisa dipakai, tombol A dan B di kanan terasa menyiksa. Main dengan satu tangan saja bikin capek.
"Eh~ Satoshi-kun kenapa?"
"Hm? Ah, aku cuma mikir agak susah aja, soalnya tangan kanan nggak bisa dipakai."
"Ah iya ya, aku lupa. Maaf ya nggak peka~"
Begitu dia bilang begitu, beban di sisi kiriku hilang. Bersamaan dengan itu, rasa kehilangan yang aneh merayapi hatiku.
Memang benar, baru sadar pentingnya sesuatu kalau udah hilang...
Tapi kemudian, Shuna pindah ke sisi kanan tempat tidurku. Lalu, dia bersandar dari sisi kananku yang lumpuh, dan menjulurkan tangannya ke arah konsol.
"Aku yang pencet tombol di kanan ya~. Kalau begini kita bisa main bareng~"
Rasa bahagia dari sisi kanan itu... sayangnya, nggak terasa. Karena lenganku mati rasa, kebahagiaannya pun setengah hilang.
Sial!
"Fufu, jadi ini yang disebut kerja sama dalam game ya~"
"Kayaknya bukan deh."
Kalau kerja sama macam gini beneran ada di game, pasti penjualannya lebih laris. Tapi kenyataannya, aku emang kesulitan main sendirian, jadi bantuan Shuna jelas bikin segalanya jadi lebih mudah. Dalam hati, aku sampai nunduk sujud buat berterima kasih.
"Kenapa~?"
"Nggak, nggak apa-apa. Bagian kanan aku serahkan ke kamu."
"Iya! Ini jadi 'kerja sama pertama' kita ya~"
"Iya juga sih."
Memang benar begitu, tapi kata "pertama" itu ditekan banget tadi... ah, ya sudahlah.
Setelah itu, kami terus main sambil deg-degan dengan berbagai makna, tapi waktu terasa berjalan cepat sekali. Di rumah sakit ini memang nggak ada hiburan, jadi aku benar-benar haus akan keseruan. Sayangnya, waktu kunjungan pun habis.
"Aaah, udah selesai aja~"
"Sayang sekali. Nanti lagi ya."
Aku mematikan konsol. Baru belakangan aku menyesali keputusan gegabah itu. Petunjuknya: "laporan."
"Shuna, habis ini kerja paruh waktu kan?"
"Iya. Lumayan dapat makan gratis juga~. Jadi harus semangat sampai tutup toko~"
"Keren banget."
Dia bilang begitu sambil membusungkan dada. Tapi entah benar-benar menambah semangat atau justru malah bikin kelihatan santai.
Shuna mengenakan mantel yang lusuh dan bolong di beberapa tempat. Anehnya, itu sama sekali nggak membuatnya terlihat menyedihkan. Malah justru makin menonjolkan pesonanya.
"Jangan terlalu maksa ya. Kalau sampai jatuh sakit, semua usahamu sia-sia."
"Makasih~, tapi nggak apa-apa kok. Energi itu keunggulanku satu-satunya~"
Dia mengangkat dua jari membentuk tanda peace di samping wajahnya. Sepertinya itu tanda khas "aku baik-baik saja" versi dia.
"Kalau gitu syukurlah. Tapi kalau ada masalah, bilang aja ya? Aku pasti akan bantu."
"──Eh?"
Eh? Kenapa ekspresinya kayak gitu?
Shuna menatapku kosong. Dari wajahnya, aku nggak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Tapi matanya terus terkunci padaku.
"Shuna?"
Aku nggak terbiasa ditatap lama begitu. Dengan hati-hati, aku bertanya agar nggak salah bicara.
"Hm? Ah, nggak, nggak ada apa-apa kok~"
"Kalau begitu syukurlah."
Dia tersenyum tipis dan melambaikan tangan, seolah mengusir kegelisahanku. Tapi aku bisa lihat ada sesuatu yang dia sembunyikan. Namun kalau dia nggak mau dibicarakan, aku juga nggak akan memaksa. Tiba-tiba, dia membuka mulut.
"...Belakangan ini kan~, perusahaan ayahku mulai lancar lagi. Jadi, akhirnya aku bisa kuliah loh~"
"Serius? Wah, bagus banget itu."
"Iya. Ada yang pesan dalam jumlah besar, jadi akhirnya bisa nutup biaya kuliahku. Kayak berkah dari langit~"
Syukurlah. Kalau begitu, ada baiknya dia tahu siapa orang yang berjasa di balik itu. Seperti biasa, namanya sama.
"Itu pasti ulah Sano, kan? Aku sempat dengar dia bilang, 'Aku harus masuk universitas yang sama dengan Shuna!'"
Memang benar, perusahaan orang tua Shuna sempat benar-benar kritis tahun ini. Saat berada di ambang kebangkrutan, tiba-tiba masuk pesanan besar. Itu semua ulah Sano-kun. Dia bahkan menghabiskan tabungannya sendiri, dan sisanya ditutup dengan kerja kerasnya.
"Hei, Satoshi-sama."
"Hm?"
Saat aku menoleh pada Shuna, ia tersenyum seperti biasa, tetapi senyumnya itu tidak memiliki kehangatan. Senyum yang tanpa ekspresi, seolah mengandung dua hal yang saling bertentangan. Lalu, ia berjalan menghampiriku.
"Tolong, pinjamkan telingamu sebentar, ya~"
"Hm? Yah, baiklah."
Padahal di ruang rawat ini tidak ada orang lain, jadi aku tidak mengerti apa arti dari tindakannya itu. Namun tanpa sadar, aku benar-benar mendekatkan telinga. Lalu—
"──Pembohong."
"Apa?"
Sebuah bisikan lembut dan geli menyusup ke telingaku. Ketika aku hendak menanyakan maksudnya, ia hanya menatapku sambil menampilkan senyum biasanya.
"Lalu, Satoshi-kun. Aku sebenarnya sudah tidak tertarik dengan dia lagi, jadi aku harap kamu tidak perlu repot-repot memikirkannya~."
"Eh? Ah, iya…"
Sama seperti Satsuki dan Reine, Shuna juga sepertinya sudah tidak tertarik pada Sano.
Ya, terserah saja. Tapi dengan ucapan kasarnya itu, gadis-gadis yang dulu menyukainya terus berbalik meninggalkannya. Bagiku itu terasa cukup menyenangkan.
"Aku hanya akan mengabdikan diriku pada Satoshi-kun seorang—sampai mati, ya."
"Ah, iya…"
Itu terlalu berat bagiku!?
Padahal gaya bicaranya yang panjang dan santai itu adalah ciri khasnya, tetapi kalimat terakhir ia ucapkan dengan tegas. Justru karena terasa sungguh-sungguh, hal itu semakin membuatku takut.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, ya~. Nanti kita main game bersama lagi~."
"Ah, iya. Sampai ketemu lagi."
Sambil melambaikan tangannya, Shuna keluar dari ruang rawat.
Aku benar-benar ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit ini…
◇
Setelah Shuna pulang, aku berniat melanjutkan permainan, tapi semua data sudah kembali ke awal. Rupanya game lama memang tidak memiliki fitur simpan otomatis. Semua waktu yang kuhabiskan bersama Shuna barusan menjadi sia-sia. Namun aku mencoba menenangkan diri dengan berpikir: mungkin inilah salah satu cara menikmati retro game.
Lagipula, aku ini masih dalam masa perawatan. Hal seperti ini hanyalah masalah kecil saja. Malah bisa dibilang aku mendapat tambahan hiburan untuk mengisi waktu luang. Pola pikir positif memang penting. Tinggal sedikit lagi sampai aku bisa keluar dari rumah sakit, jadi aku harus semangat.
"Ngomong-ngomong, Sano itu akhir-akhir ini benar-benar dibenci, ya."
Itu akibat perbuatannya sendiri, jadi aku tidak merasa perlu bersimpati. Rasain, pantas saja!
Dulu, demi membuatnya dan para heroine mencapai akhir yang bahagia, aku rela berusaha mati-matian. Kalau masalah bisa selesai dengan uang, itu benar-benar terlalu mudah. Yang sulit justru ketika aku harus berpura-pura menjadi Sano untuk meraih hasil, atau diam-diam membantu para heroine agar terlihat seperti prestasinya.
Semua itu sangat berat bagiku. Karena apa pun yang kulakukan, hasilnya tetap akan dianggap sebagai pencapaian Sano, sedangkan imbalan untukku hanyalah sedikit kemungkinan bisa tetap hidup.
Entah berapa kali aku dilanda rasa hampa karenanya…aku mencoba menghibur diri dengan menganggap senyum heroine sebagai hadiah, tapi setelah berakhir dengan bad end seperti ini, aku merasa akan membencinya seumur hidup.
Ya, memang banyak hal yang berat. Yang paling menyulitkan adalah kekuatan paksa dunia. Jika tindakanku terlalu jauh menyimpang dari skenario LoD, aku akan langsung dihalangi. Itu benar-benar membuat segalanya menjadi sulit.
"Serius deh, kalau saja tidak ada hal itu, betapa mudahnya semua ini…"
"Hal itu maksudnya apa?"
"Ah, soal kekuatan dunia… uoah!? Sejak kapan kau ada di sini?"
Aku tersentak ketika melihat wajah seindah patung tepat di sampingku.
"Fufu, baru saja. Karena kamu terlihat sedang berpikir serius, aku tidak ingin mengganggu, jadi aku masuk dengan tanpa suara."
"Tolong jangan begitu, jantungku hampir copot… Panggil saja aku dengan biasa, ya."
"Baiklah, Satoshi-sama."
"…Kumohon, jangan panggil aku seperti itu. Kalau putri keluarga Shinonome memanggilku dengan ‘-sama’, itu bisa menimbulkan banyak masalah, kan?"
"Fufu, benar juga. Kalau begitu, Satoshi-san saja."
Ia tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Sama seperti Satsuki, Reine, dan Shuna, kenapa mereka semua memanggilku dengan ‘Satoshi-sama’? Memang benar aku pernah menyelamatkan nyawa mereka, tapi menurutku panggilan itu terlalu berlebihan.
Tidak perlu sampai sedemikian hormat hanya karena aku menolong mereka. Lagipula, gadis yang ada di hadapanku ini justru lebih pantas dipanggil dengan ‘-sama’. Aku yang dipanggil begitu rasanya tidak pantas.
"Kalau begitu, panggil saja aku Shino. Jangan terlalu menjaga jarak. Bukankah kita sudah cukup dekat, Satoshi-san?"
"Ah, maaf. Baiklah, Shino."
Entah seperti apa sebenarnya hubungan ini…
Tapi dari pengalaman dengan ketiga heroine sebelumnya, aku sudah belajar bahwa jangan pernah memanggil mereka dengan nama keluarga. Kalau seorang gadis meminta dipanggil dengan nama depan, maka itulah yang harus dilakukan. Aku sudah belajar bahwa perempuan memang seperti itu.
Shinonome Shino. Ia adalah heroine terakhir dari 【LoD】. Gadis cantik nan anggun, dengan rambut hitam pekat yang berkilau seakan menyimpan rahasia malam. Ia tidak hanya menjadi peringkat teratas di sekolah, tetapi juga salah satu siswi paling cerdas di seluruh negeri. Seorang jenius sejati yang mampu dalam akademik maupun olahraga. Istilah Yamato Nadeshiko rasanya diciptakan untuk gadis ini. Putri keluarga besar Shinonome, berdiri di sisi berlawanan dari Shuna yang hidup miskin. Tak jarang keduanya dibandingkan sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tapi bagiku, aku menyukai keduanya. Mustahil memberi peringkat siapa yang lebih baik.
"Jadi, apa yang sedang Anda pikirkan tadi?"
"Ah, ehm…"
Tentu saja aku tidak bisa berbicara soal kekuatan paksa dunia.
"Uang, sebenarnya. Aku rasa perusahaan yang sedang kutanam modal ini sudah mencapai batasnya, jadi aku berpikir untuk memindahkan investasiku ke perusahaan lain."
Sial, cara mengalihkan pembicaraan ini terlalu buruk. Percakapan seperti ini pasti hanya akan berakhir dengan, “Oh, begitu ya~.” Paling tidak, ini jelas bukan topik yang cocok dibicarakan dengan gadis SMA. Kalau pada umumnya begitu.Tapi Shino tidak bisa disamakan dengan gadis kebanyakan.
"Begitukah? Kalau begitu, bagaimana dengan Hoshinet? Perusahaan baru yang tengah berkembang pesat. Mereka mengembangkan bisnis layanan penyedia tenaga kerja, model usaha yang masih tergolong baru. Menurut para analis ekonomi, dalam setahun penjualannya akan meningkat dua kali lipat, bahkan mungkin tiga kali lipat."
Begitu rupanya…
"Tidak, Hoshinet tidak bagus. Aku tidak merasa mereka akan terus berkembang."
"Mengapa begitu? Bisnis layanan tenaga kerja itu kan model baru, dan bagi investor, bukankah perusahaan semacam itu sangat menguntungkan?"
"Ada beberapa alasan. Yang pertama, bisnis layanan tenaga kerja mudah ditiru. Jika perusahaan besar dengan modal besar—contohnya saja keluarga Shinonome—menyalin mentah-mentah model bisnis itu, dalam sekejap keuntungan mereka bisa lenyap, bukan?"
Bagaimana dengan jawaban itu?
"Fufu, memang benar, pandanganmu sungguh tajam. Luar biasa."
Ia berkata begitu sambil bertepuk tangan dengan gembira.
Dasar, padahal jelas ia sedang mengujiku. Memang begitu biasanya cara perusahaan besar beroperasi. Kalau ada model bisnis atau produk bagus, mereka menirunya dengan menggelontorkan modal dalam jumlah besar. Aku tidak menganggap itu cara kotor, tapi bagi perusahaan kecil, itu jelas bencana.
"Seperti yang Anda katakan, keluarga Shinonome memang berencana mendirikan perusahaan dengan bidang usaha yang sama dengan Hoshinet. Modal dan tenaga kerja yang kami investasikan jumlahnya berlipat-lipat lebih besar daripada Hoshinet."
"Kejam sekali… yah, tapi memang pihak yang ditiru itu yang salah, ya."
"Benar. Dunia ini memang hukum rimba. Yang menunjukkan kelemahan dan keuntunganlah yang bersalah."
Cara ia mengatakannya benar-benar berbeda dari manusia biasa. Ia tahu betul jika Hoshinet tumbang, banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Tapi tetap saja ia mengucapkannya dengan tenang.
"Aku benar-benar kagum dengan ketajaman pikiran Satoshi-san. Tak pernah terpikir ada seseorang dengan kecerdasan yang melebihiku, apalagi berada di tingkat kelas yang sama."
"Kamu terlalu melebih-lebihkan. Nyatanya saja, aku tidak pernah bisa mengalahkanmu dalam ujian. Dalam hal itu saja, Sano masih hebat."
"Fufu, tolong jangan sebut nama itu. Membuatku ingin membunuhnya."
"Ah, iya…"
Sepertinya Sano sudah dibenci oleh semua heroine. Benar-benar contoh nyata pepatah: mengejar dua kelinci, akhirnya tak mendapat satu pun. Bahkan dia mencoba mengejar empat, tapi tak satupun ia dapatkan. Kasihan sekali.
Shino masuk ke sekolah biasa seperti kami hanya untuk mencari teman. Di kalangan kelas atas, katanya tak ada seorang pun yang bisa sebanding dengannya. Padahal ia selalu berada di peringkat nasional atas meski tanpa belajar sekalipun.
Itulah sebabnya ia sengaja masuk sekolah biasa, dengan harapan akan bertemu orang-orang menarik. Dan yang ditemukannya adalah Sano. Baguslah, bukan?
Shino punya kebiasaan menguji orang. Sama seperti obrolan soal perusahaan barusan, itu caranya menilai apakah seseorang pantas diajak bicara dengannya. Itu semacam hobinya.
Tampaknya aku berhasil lolos dari penyaringannya. Berkat itu, aku bisa menikmati percakapan dengannya.
"Mungkin motifnya tidak jelas, tapi kurasa Sano sengaja menahan diri dalam ujian. Ada pepatah: elang berbakat menyembunyikan cakarnya. Untuk hidup panjang dan tenang, tidak menonjol memang pilihan yang bijak."
Ia tersenyum penuh arti, seakan berkata: Aku tahu kebenarannya. Padahal aku sungguh-sungguh berusaha meraih peringkat pertama. Namun karena adanya kekuatan paksa dunia, nilai-nilaiku selalu dipaksa rata-rata.
Baiklah, biar kujelaskan sedikit soal kekuatan paksa dunia. Dunia ini adalah dunia galgame bernama 【LoD】. Artinya, ada skenario yang harus diikuti. Kalau aku melakukan sesuatu yang menyimpang dari alur cerita, dunia akan langsung melakukan perbaikan agar ceritanya tetap selaras.
Contohnya, aku tahu Shino menginginkan seseorang yang bisa menyaingi kecerdasannya. Karena itu, meski aku hanya karakter sampingan, aku mencoba mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajaran. Tapi nilai yang kembali justru mengenaskan. Bahkan jawaban yang benar diberi tanda salah, membuat nilainya anjlok. Berkali-kali aku protes, tapi jawabannya selalu sama: salah tetap salah. Ketika kulihat jawaban teman di sebelahku yang sama persis, anehnya diberi tanda benar.
Awalnya aku tak paham, tapi tak butuh waktu lama untuk menyadari ini adalah koreksi dari 【LoD】. Shino punya latar belakang cerita sebagai gadis jenius yang selalu peringkat pertama, sampai ia jatuh cinta pada Sano. Karena aku melanggar itu, dunia memperbaikinya dengan menjatuhkanku. Rasanya seperti jawaban Nobita yang benar tapi tetap diberi nol. Mengalaminya langsung benar-benar membuat frustasi.
Aku mencoba mengubah alur cerita dengan serius di bidang olahraga atau ujian simulasi, tapi selalu terhalang oleh kekuatan paksa dunia. Misalnya, saat lomba lari 50 meter, aku tiba-tiba jatuh. Atau saat ujian simulasi, lembar jawabanku diberi nilai nol hanya karena namaku dianggap tidak ditulis.
Di titik itu, aku sadar akan batasanku. Seberapa pun keras aku berusaha, aku tetaplah karakter sampingan. Skenario adalah mutlak, dan aku hanya bisa mengikutinya. Kalau saja skenario bisa diubah, aku tidak akan berpikir untuk mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan heroine.
"Satoshi-san, andai saja kecerdasanmu itu bisa kau gunakan untuk keluarga Shinonome."
"Tolong jangan bercanda…"
Soal Hoshinet tadi, sebenarnya aku hanya memanfaatkan pengetahuan dari kehidupanku sebelumnya. Dunia ini sangat mirip dengan dunia asliku, hanya saja waktunya sedikit lebih mundur.
Tentu tidak sepenuhnya sama, tapi sebagian besar hal memang serupa. Aku sudah tahu bagaimana akhir dari Hoshinet di dunia sebelumnya. Dari situ kutambahkan logika yang kupelajari di dunia ini agar terlihat seperti analisis masuk akal.
Sebagai tambahan, aku tahu banyak soal saham dan forex karena pengalamanku di kehidupan lalu. Saat itu, aku hanyalah seorang NEET yang merasa bersalah pada keluargaku. Aku mencari cara untuk membalikkan keadaan, dan pilihannya jatuh pada saham dan forex.
Aku belajar mati-matian demi menggandakan modal yang sedikit itu. Hasilnya, semua uangku habis dan yang tersisa hanya rasa bersalah.
Itulah sebabnya, aku bertekad untuk menghasilkan uang sebelum usiaku melewati masa hidupku di dunia sebelumnya—karena setelah itu, pengetahuanku tak lagi berguna.
Sayangnya, gara-gara si brengsek itu, hampir semua uangku sudah lenyap…kalau terus begini, aku benar-benar dalam masalah.
"Yang penting… aku sungguh bersyukur Satoshi-san tidak mati…!"
"Eh?"
Saat aku sedang memikirkan masa depanku, Shino tiba-tiba memelukku. Dari dadaku terdengar suara lirih bercampur isakan.
"Kalau kamu mati di sana demi melindungiku, hanya membayangkannya saja sudah menakutkan bagiku… Hari-hari ketika Satoshi-sama tidak juga membuka mata, aku sama sekali tak bisa tidur. Kalau terjadi sesuatu yang lebih buruk, aku sudah berniat untuk ikut menyusul…"
Ehh!? Berat banget!?
Syukurlah, aku benar-benar lega dari lubuk hati terdalam karena tidak berakhir dengan pertemuan kembali di neraka, meski aku sudah
berusaha menyelamatkannya.
"Shino, aku masih hidup. Jadi tidak perlu lagi memikirkan hal seperti itu."
"Tapi, gara-gara aku…"
Shino melepaskan diri dari dadaku lalu melirik ke arah lengan kananku.
"Cedera di lengan kanan ini adalah tanda kehormatan. Aku yang hampa ini bisa menjadi penyelamat bagi gadis secantik dirimu. Hanya itu saja sudah cukup untuk kubanggakan seumur hidup. Jadi jangan lagi berkata sesuatu yang merendahkan dirimu sendiri."
Sejak hidupku yang lalu sekalipun, aku tak pernah bisa benar-benar berguna bagi siapa pun. Namun kini, aku bisa mengorbankan diriku demi menyelamatkan seseorang. Dan kalau orang itu adalah heroine dari 【LoD】, maka itu lebih berarti lagi.
"…Cara bicaramu itu curang sekali."
Shino kembali menyembunyikan wajahnya di pangkuanku, suaranya terdengar agak manja. Seperti yang kuduga, Shino memang begitu. Jika ia terus menyalahkan dirinya sendiri, itu sama saja menghina pengorbananku. Gadis yang menjunjung tinggi prinsip seperti Shino jelas tak akan melakukannya. Karena itu, aku makin yakin Shino memang gadis yang luar biasa.
…Yah, tapi ini agak lama juga.
"Shino?"
"Maaf. Boleh biarkan aku seperti ini sepuluh menit lagi… haa… haa…"
"Oh, baiklah."
"Terima kasih… maaf, air mataku belum juga berhenti… haa… haa…"
Bohong, kan!? Aku sama sekali tidak mendengar suara isakan. Malah, Shino tampak semakin bersemangat.
Kalau boleh jujur, ada hal lain soal Shino. Dari antara para 【Empat Gadis Cantik】, dialah yang paling erotis. Katanya, perempuan yang rasa penasarannya tinggi cenderung begitu, dan Shino benar-benar contoh yang jelas.
Hanya saja, agak mengejutkan juga…kupikir Shino hanya akan menunjukkannya pada orang yang ia sukai. Tapi, ternyata orang biasa sepertiku pun bisa membuatnya bergairah. Kalau masuk kuliah nanti, aku sampai khawatir dia akan terseret masuk ke klub pesta liar.
Ketika aku masih tenggelam dalam kekhawatiran itu, Shino mengangkat wajahnya dengan tenang seakan tak terjadi apa-apa.
"Maaf, aku sampai kehilangan kendali… tapi sudah cukup. Aku sudah lega."
"Kalau begitu, syukurlah."
Shino mengibaskan rambut hitam legamnya untuk menutupi keadaan tadi. Aku memilih pura-pura tidak peka. Namun, jika diamati baik-baik, wajahnya kini tampak lebih segar dibanding saat ia pertama kali datang. Rupanya, ia memang benar-benar khawatir.
"Haa… sepertinya waktu menyenangkan ini harus berakhir di sini. Aku ada jamuan makan setelah ini…"
"Benar-benar putri konglomerat, ya. Sibuk sekali."
"Ya. Memang merepotkan, tapi demi keluarga, aku tak bisa menghindar. Aku akan datang lagi lain kali."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Shino berdiri dari kursinya, meletakkan tangan pada gagang pintu kamar. Namun, ia berhenti sejenak.
"Satoshi-san…"
Ia tetap membelakangiku, tapi suaranya memanggilku.
"Hm? Ada yang ketinggalan?"
"Tidak. Hanya ada satu hal yang ingin kutanyakan."
"Satu hal?"
"Ya. Apakah Satoshi-sama benar-benar tidak menyimpan dendam mendalam pada siapa pun…?"
"Apa?"
Shino melepaskan tangannya dari pintu, lalu berbalik menatapku dengan pandangan yang lurus.
"Misalnya, pada orang yang menabrakmu dengan mobil itu. Apa yang Satoshi-sama rasakan terhadapnya?"
Ah, jadi itu maksudnya. Baginya, sopir truk yang menabrakku adalah penyebab aku jadi begini.
"Tidak sama sekali. Dendam? Itu tidak terpikirkan. Malah aku merasa kasihan padanya."
"Apa…?"
Faktanya, aku pernah bicara langsung dengan orang itu. Ucapannya benar-benar tidak nyambung, sama seperti orang-orang yang kupikir sudah dipengaruhi oleh ‘kekuatan paksa dunia’. Karena itu, aku merasa simpati padanya. Bahkan aku tidak menuntut biaya pengobatan darinya.
"Satoshi-san terlalu baik hati…"
Shino tersenyum kecil, seolah bingung sendiri.
"Ah, tidak juga. Aku pun punya orang yang sangat kubenci. Misalnya, Tuhan yang ingin membunuh kalian semua heroine itu."
"──Eh?"
Keheningan langsung menyelimuti kami.
Sial… aku kebablasan. Terlalu gaya dengan ucapan yang penuh makna. Tapi, faktanya aku memang menyimpan dendam pada para pembuat dunia ini. Juga pada Sano. Semoga saja mereka benar-benar menjalani hari-hari penuh penderitaan.
"Satoshi-sama… tidak, maaf. Lupakan saja. Lebih baik… Satoshi-san, bolehkah aku memegang tangan kananmu sebentar?"
"Kalau bisa sih iya, tapi maaf. Aku belum bisa menggerakkannya sama sekali."
Yang bisa kulakukan hanya membuatnya sedikit bergetar.
"Benar juga. Kalau begitu…"
Shino lalu berbalik, mendekat ke sisi kananku, mengangkat telapak
tanganku dengan lembut, lalu menempelkan bibirnya pada punggung tanganku seperti seorang ksatria.
"A-apa yang kau lakukan!?"
Aku terkejut setengah mati, sementara Shino menatapku dengan pipi yang memerah.
"Satoshi-sama. Aku tidak akan pernah melupakan jasa penyelamatanmu."
"Ah… ya…"
"Apa pun bahaya yang menimpamu, aku akan menyingkirkannya ──seperti yang telah kau lakukan untukku."
"Hah?"
Sebelum aku sempat bertanya apa maksudnya, Shino sudah berdiri dan melangkah keluar menuju pintu.
"…Kalau begitu, sampai jumpa. Aku mendoakan kesembuhanmu secepatnya."
"Ah… iya…"
Pintu ditutup tanpa menimbulkan suara.
Rupanya itulah alasan mengapa Shino juga masuk tanpa suara tadi. Bahkan untuk hal sepele seperti membuka dan menutup pintu pun, ada keterampilannya. Namun, yang lebih mengusikku adalah rasa ganjil di hati. Bukan hanya dari Shino, tapi juga dari ketiga orang lainnya.
Hanya saja, aku tidak bisa merangkumnya ke dalam kata-kata.
"Ya sudahlah… mungkin hanya perasaanku saja."
Tak lama lagi aku akan keluar dari rumah sakit. Kalau sudah begitu, sepertinya aku tidak akan punya alasan lagi untuk berhubungan dengan para heroine 【LoD】.
Memikirkannya sedikit membuatku merasa rugi juga. Tapi, bulan April nanti, aku akan menjalani kehidupan kampus untuk pertama kalinya—bahkan jika menghitung kehidupanku sebelumnya. Kalau kupikir-pikir, masa depan tampak cerah.
Bersikap positif memang penting. Yah.
◇
Hari kepulangan dari rumah sakit akhirnya tiba. Aku memang harus dirawat sampai tiga minggu, tapi setidaknya masih sempat untuk menghadiri upacara masuk kuliah.
Barang-barangku hanyalah tas yang kupakai saat kecelakaan, ditambah seragam sekolah. Memang agak aneh mengenakan seragam lagi setelah lulus, tapi tidak ada pakaian lain yang pantas kupakai ke luar, jadi apa boleh buat. Darahku yang membasahi seragam saat itu sudah dibersihkan dengan rapi, tanpa ada bau amis tersisa. Aku benar-benar berterima kasih kepada para staf rumah sakit.
"Terima kasih banyak atas bantuan selama ini."
Aku mengucapkan salam di bagian resepsionis, lalu dengan perasaan yang penuh, melangkah keluar rumah sakit. Begitu keluar, rasa bebas yang tak terlukiskan menguasai hatiku.
Di luar, cahaya matahari terasa hangat, dan tunas bunga sakura mulai bermunculan. Belakangan ini, sering kali bunga sakura sudah berguguran sebelum upacara masuk, tapi kalau begini, sepertinya tahun ini akan pas mekar penuh saat upacara.
"Baiklah, uh…"
Karena lukaku belum benar-benar sembuh, rasa sakit masih sering muncul. Dari luar, mungkin hanya lengan kananku yang terlihat berbeda, tapi sebenarnya tubuhku masih penuh perban di balik pakaian. Bahkan untuk berjalan pun, rasanya cukup berat.
"Haa… hanya beberapa langkah saja bisa terasa seberat ini…"
Aku sedikit menyesal, mungkin seharusnya aku lebih lama dirawat dan tidak memaksakan diri keluar.
"Satoshi-kuuuuun! Tunggu aku!"
"Hm?"
Aku menoleh, dan melihat Satsuki mendorong kursi roda sambil berlari mengejarku.
"Lukamu belum sembuh total, jadi jangan jalan sendirian! Ayo, cepat duduk."
"Ah, e-ehm… terima kasih."
Aku menuruti ucapannya dan duduk di kursi roda. Satsuki lalu mengembungkan pipinya sambil meletakkan tangan di pinggang.
"Satoshi-kun, kau ini dingin sekali. Masak di hari keluar rumah sakit, kau pulang sendirian begitu."
"Yah, aku tidak menyangka kau akan datang, jadi…"
"Mana mungkin aku tidak datang? Aku tidak akan membiarkan Satoshi-kun yang belum sembuh total sendirian!"
"Satsuki…"
Gadis ini terlalu baik…sikap heroine Satsuki begitu menyilaukan.
Aku benar-benar tidak menyangka ia akan menemaniku bahkan setelah keluar rumah sakit. Itu membuatku senang.
"Kalau begitu, sebelum ada yang datang mengganggu—"
"Apa yang kalian lakukan!?"
“Tsk.”
Hah? Barusan ada suara klik lidah?
Aku yang duduk di kursi roda hanya bisa mendengar suara Satsuki dari belakang. Mungkin hanya salah dengar. Tapi suara yang barusan kudengar jelas familiar.
Dari belakang, langkah kaki yang keras terdengar mendekat. Saat aku menoleh, kulihat Reine dengan rambut peraknya berayun, berlari ke arah kami dengan wajah penuh amarah. Ia berhenti di depan Satsuki dan menatapnya tajam.
"Kita sudah berjanji untuk tidak mencuri start saat menjemput Satoshi-sama, kan!?"
"Itu salah paham, Reine. Kebetulan saja Satoshi-kun keluar lebih awal, jadi aku hanya berniat menemaninya sebentar."
"…Banyak alasan."
"Aku tidak mengerti maksudmu~."
Satsuki menanggapi kemarahan Reine dengan santai, seakan angin lalu.
"Reine juga datang rupanya."
"Y-ya. Meskipun sudah keluar rumah sakit, kau pasti masih kesulitan. Apa aku merepotkanmu…?"
Dengan wajah cemas, Reine menatapku.
"Tidak sama sekali. Aku justru senang kalian datang. Terima kasih banyak, kalian berdua."
"B-bukan begitu…"
"Ehehe, sama-sama~."
Reine pura-pura cuek sambil memutar-mutarkan rambutnya, tapi wajahnya memerah. Sedangkan Satsuki menerima ucapanku dengan senyum lebar penuh kebahagiaan.
"…Apa yang sedang kalian lakukan, hm~?"
"Begitu rupanya. Jadi kalian memilih cara itu."
Sebuah suara lembut penuh kedamaian, dan suara dingin dengan bahasa sopan. Aku langsung menoleh ke depan. Di sana, Shuna tersenyum bak seorang bunda, sementara Shino memperlihatkan senyum datar tanpa ekspresi. Namun, pandangan keduanya bukan tertuju padaku, melainkan pada Satsuki dan Reine di belakang.
"Oh, bukankah itu Shuna dan Shino? Ada apa?"
"Fufu, pura-pura tidak tahu ya, Reine-san?"
"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, tahu?"
Tatapan Reine dan Shino saling bertemu. Keduanya tersenyum, tapi suasananya sedingin musim dingin.
"Hentikan, kalian berdua. Tidak baik bertengkar. Apa kalian sudah lupa dengan 【Perjanjian Empat Arah】?"
Mendengar itu, Reine dan Shino langsung melirik Satsuki dengan mata tajam.
"Kau yang mengatakannya, Satsuki…?"
"Yang pertama melanggar justru dirimu sendiri, Satsuki-san. Mataku melihatnya jelas."
"…Aku tidak tahu yang kau maksud."
"Kalau begitu, kenapa kau mengalihkan pandangan saat menjawab?"
Sepertinya Satsuki menganggap itu hanya alasan yang lemah. Reine dan Shino perlahan mendesaknya hingga ke dinding. Lalu, kursi rodaku bergerak. Sepertinya Shuna mendorongnya dari belakang.
"Shuna?"
"Sst~"
Shuna meletakkan jarinya di bibir.
"Biarkan saja tiga orang yang sedang bertengkar itu, ayo kita pergi~"
"Eh? Ah, tapi—"
"Sudah, nggak apa-apa~"
Dengan begitu, aku pun menjauh dari Reine dan yang lain, yang sedang melakukan semacam pengadilan terhadap Satsuki.
"Hei, Satoshi-kun. Aku mau minta tolong sama kamu, boleh kan~?"
"Permintaan? Boleh saja."
"Makasih~. Sebenarnya, berhubung aku masuk universitas, aku berencana membeli ponsel baru. Aku nggak tahu apa-apa, jadi aku ingin kamu menemaniku."
"Oh, cuma itu toh. Kebetulan ponselku rusak karena kecelakaan, jadi aku juga memang mau beli baru. Ya sudah, kita pergi bareng."
"Ya! Makasih—"
"Tunggu sebentar…"
“Tsk.”
Hah? Barusan aku merasa mendengar suara klik lidah dari Shuna yang biasanya kalem…
"Sungguh, kau memang tidak pernah lengah."
"Aku tidak tahu apa maksudmu~"
Reine menuduh Shuna, tapi dia sama sekali tidak terpengaruh. Ekspresi poker face-nya mungkin yang paling kuat di antara semuanya.
"Satoshi-san."
"Shino? Ada apa?"
Dia berlutut di hadapanku, lalu meraih tanganku.
"Bukan apa-apa, hanya ingin mengucapkan selamat karena sudah keluar dari rumah sakit. Aku benar-benar lega."
"Ah, iya… terima kasih."
Senyuman Shino, yang biasanya berwajah datar, sangat memikat! Aku jadi kikuk, memalingkan pandangan—dan di sanalah aku melihat Satsuki dengan sorot mata redup.
"Curang…"
"Hm? Maksudmu apa?"
"Padahal kamu juga tahu…"
Satsuki dan Shino, Shuna dan Reine, semuanya saling menatap tajam. Aku tidak punya cara untuk menghentikan pertengkaran mereka, dan karena duduk di kursi roda, aku pun tidak bisa kabur. Jadi, aku memilih untuk melarikan diri ke dalam pikiran.
Ngomong-ngomong, nama Perjanjian Empat Arah itu terasa nostalgis… Itu dibuat setelah mencapai akhir harem dengan Sano, agar para heroine tidak bertengkar memperebutkan dirinya. Kata itu tidak pernah muncul di jalur individu atau bad end.
Ya, pada akhirnya semuanya melanggar perjanjian itu dan tetap saja terus bermesraan…tapi memang ada hal yang menggangguku. Syarat untuk mencapai akhir harem adalah para heroine bisa akur. Untuk itu, masalah pribadi yang mereka pendam masing-masing harus diselesaikan. Tapi Sano tidak bisa melakukan itu.
Artinya, karena mereka tetap saling bertentangan, pengakuan cinta yang paling menjijikkan itu pun tidak diterima. Kalau sekarang, bagaimana ya? Ah, sepele mungkin.
"Satoshi-kun, ada apa?"
Satsuki menyapaku. Sepertinya aku sempat melamun. Para heroine pun berhenti bertengkar dan menatapku.
"Kalian semua masih hidup… aku benar-benar bersyukur…"
"──"
Aneh ya. Langit sedang cerah, tapi pandanganku malah buram.
Yang ingin kulindungi adalah masa depan mereka yang pernah dihancurkan demi kepentingan pembuat cerita.
Untuk itu aku rela mempertaruhkan nyawa. Dan kini, setelah melewati akhir kematian seketika, mereka hidup di saat ini. Hanya itu saja sudah membuat hidupku terasa berarti. Tidak ada lagi skenario yang tertulis setelah ini. Para heroine akhirnya bebas.
Saat itu, tatapanku bertemu dengan mereka yang menatapku penuh perhatian. Wajahku langsung panas.
"Maaf, aku jadi terlihat payah. Tolong beri aku sedikit waktu."
Rasa malu menyerbu, aku menggosok-gosok mataku yang basah, tapi semakin aku berusaha terlihat normal, semakin aku mempermalukan diri sendiri.
"Itu tidak payah sama sekali. Kamu selalu menolong kami, kan?"
"…Eh?"
Tangan-tangan mulai meraihku, ke pundak, ke punggung, ke lenganku. Butuh waktu sebentar untuk sadar bahwa itu tangan keempatnya.
"Apa… maksud kalian?"
"Bagi kami, kamu adalah penyelamat. Mana mungkin kami menganggapmu payah~?"
"Kalau bukan karena kamu, aku tidak akan bisa hidup."
"Tolong jangan bilang kamu payah. Satoshi-san adalah orang yang paling keren."
Kata-kata hangat itu masuk ke telingaku, lalu entah bagaimana menetap di dalam dadaku.
Ah… akhirnya semua usahaku terbalaskan…
Ketika aku sedang larut dalam perasaan itu, mereka perlahan menjauh, lalu menatapku dengan mata lembut.
"Ayo, rayakan kepulanganmu dari rumah sakit! Kami sudah pesan restoran yakiniku untukmu!"
"Eh!? Serius?"
Aku spontan menanggapi ucapan Satsuki. Setelah sekian lama hanya makan makanan rumah sakit, aku sangat ingin makan daging. Perutku pun ikut bersuara.
"Haa… jangan sok jadi pahlawan, Satsuki-san. Itu restoran yakiniku mewah milik konglomerat Shinonome."
"Jangan-jangan… mahal sekali?"
Wajahku langsung pucat. Karena ulah Sano, uangku banyak terbuang, sekarang hampir tidak tersisa…
"Ini pesta untukmu, Satoshi-san. Kamu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Malam ini semuanya gratis."
"Oooh… terima kasih banyak…"
Astaga. Shino terlihat seperti dewi di mataku sekarang.
"Sudah lama sekali aku tidak makan yakiniku~"
"Bahkan ini pertama kalinya bagiku. Aku tidak pernah makan di luar dengan keluarga… juga tidak punya teman…"
"Kalian berdua harus makan sepuasnya."
Aku harus memperlakukan Shuna dan Reine dengan lembut.
Setidaknya biarkan mereka berbahagia setelah semua penderitaan.
"Baiklah, kalau begitu, ayo berangkat!"
Suara penuh semangat Satsuki menggema.
Satoshi-kun memang benar-benar baik hati. Aku sangat menyukai dirimu yang seperti itu.
Mendadak saja, maaf ya?
Sebenarnya, ada dua hal yang kami sembunyikan darimu.
Pada hari itu, kamu sudah tahu kalau kami akan mati, bukan? Kamu rela mengorbankan dirimu demi menyelamatkan kami. Itu adalah jasa yang tidak akan pernah bisa kami balas sepenuhnya.
Terima kasih. Tidak, bukan hanya itu.
Kamu sebenarnya selalu menolong kami sejak dulu, kan?
Apa namanya… “Kekuatan Pemaksa Dunia,” ya?
Memang karena itu kami tidak bisa mengingat semuanya, tapi akhirnya kami tahu juga. Karena itulah, aku sudah memutuskan untuk mendukungmu seumur hidup. Kamu yang selalu membantu kami dari balik bayangan, memang pantas menerima balasan sebesar itu. Aku yakin ketiga orang lainnya pun berpikiran sama. Dan satu rahasia lagi.
Itu adalah tekad kami untuk membunuh sumber dari segala keburukan—“Kekuatan Pemaksa Dunia” yang mempermainkan hati dan nyawa kami, sekaligus melukai Satoshi-kun… serta orang yang mewakili kehendak itu, Sano Yuuto.
Post a Comment