-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tonari no Seki no Moto Idol Volume 2 Chapter 2

Chapter 2 - Jika Aku Bisa Menjadi “Anak yang Baik” di Bawah Langit Berbintang

Pukul 07.30 pagi, aku bangun di jam yang sama dengan alarmku, lalu bersiap-siap dan pergi ke tempat yang sudah kami janjikan. Aku menunggu Kotono sambil melakukan riset awal di ponselku, dan setelah lima atau enam menit, aku melihat seorang gadis cantik dengan T-shirt putih modis dan rok mini hitam, berpakaian rapi tapi sporty, di kejauhan.

Kotono, gadis cantik itu, akhirnya melihatku dan berlari ke arahku dengan ponytailnya yang berayunan.

“Selamat pagi. Aku juga baru sampai, jadi kau tidak perlu sampai lari begitu.”

“Iya, maaf sudah membuatmu menunggu.”

“Tidak, tidak, aku hanya datang sepuluh menit lebih awal kok. Tapi, aku tidak menyangka kalau aku akan pernah menunggu Kotono.”

Ajaibnya, aku datang lebih awal darinya hari ini, tapi biasanya posisi kami adalah sebaliknya. Aku adalah spesialis dalam hal buru-buru untuk pergi ke tempat yang sudah dijanjikan.

“…Aku sangat, sangat frustrasi.”

“Kau memang benci kalah ya.”

“Tidak, hanya saja aku suka menunggu. Aku suka ketika memiliki waktu untuk menenangkan diri, dan memikirkan bagaimana pakaian yang aku kenakan. Dengan begitu, aku akan bisa berbicara lebih baik dan tidak terlalu gugup saat bertemu dengan orangnya langsung.”

“Jadi begitu.”

“Aku sudah ketahuan lengah. Ini bukan karena aku ketiduran atau apa ya…hanya saja pakaian yang aku siapkan kemaren tidak terlihat bagus, jadi aku menggantinya hingga aku jadi telat begini, dan sudahlah, aku tidak mau membicarakan ini!”

Jadi begitu, dia tidak berbicara dengan baik sekarang. Atau lebih tepatnya, mungkin dia sedang gugup, dia jadi berbicara lebih cepat dari biasanya, dan merangkai kata-katanya dengan panik. Kotono selalu memiliki citra yang tenang saat berbicara, tetapi karena yang terjadi kali ini, aku jadi bertanya-tanya apakah dia bisa berbicara dengan tenang karena sudah melewati banyak simulasi.

“Ada apa?”

“…Ya. Ini tidak cocok denganku, bukan?”

“Tidak. Menurutku kau terlihat imut.”

“Ya!?”

“Iya cantik. Tapi topeng ketua kelasmu sepertinya mulai pudar.”

Saat aku mengatakan hal tersebut, Kotono menatapku seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Lalu dia meninju punggungku.

“Diam. Kashiwagi-kun, aku membencimu.”

“Loh tidak ada apa-apa kan.”

“Bukan begitu! Aku kesal denganmu!”

“Iya, iya.”

“Apanya yang iya?”

“Ayo berangkat. Kalau kita malah diam di sini dan berbicara terlalu lama, tidak ada gunanya kita ketemuan lebih awal.”

Setelah terlihat cemberut, Kotono mengeluarkan buku catatan dari tas bahunya yang stylish.

“Jangan khawatir. Gondola berikutnya belum akan datang selama 30 menit, jadi kita bisa mengejar bus berikutnya tepat waktu.”

“Terima kasih. Tapi…, apa itu?”

Aku melihat ke dalam buku catatannya, terlihat tulisan tangannya memang indah, dan terdapat jadwal yang tersusun rapi beserta dengan kegiatannya.

“Ini jadwalku untuk hari ini, seperti apa yang ingin aku lakukan dan sebagainya! Waktu untuk menaiki gondola dan juga menu makanan terbatas yang dijual di stand makanan di sekitar sana…Kashiwagi-kun, pasti kamu sekarang berpikir kalau aku kekanak-kanakkan ya?”

“Tidak sama sekali, kan? Jadwal itu terlihat menarik.”

Terutama di bagian di mana dia membuat coretan ganda di bagian menu makanan terbatas itu walaupun dia adalah seorang ojou-sama. Yap benar, makanlah yang banyak, pikirku. Saat aku mengangguk dengan pemikiran itu, Kotono menoleh dan membuka mulutnya sedikit.

“...Yah, aku hanya bertindak seperti ketua kelas.”

Sementara aku bertanya-tanya apa yang harus aku balas dari kata-kata itu, bus yang kita tunggu pun datang, jadi akhirnya aku hanya berpura-pura tidak mendengarnya dan membiarkannya berlalu.

 

***

 

Saat kami membicarakan rencana liburan musim panas kami, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di gondola, yang menyerupai bianglala yang besar.

“Bukankah gondola itu menyenangkan hanya dengan menaikinya saja?”

“Setuju. Tidak banyak kesempatan bagi kita untuk menaikinya, dan pemandangan dari jendelanya juga sangat bagus.”

“Benar kan! Fufufu〜〜 Eh, itu dia, stand makanan!”

Jadi itu tujuan utamamu ya, bukan langit berbintang, Kotono-san. Tapi yah, mari kita kesampingkan itu untuk saat ini. Melihat wajah Kotono yang polos seperti saat dia masih SMP sudah membuatku senang telah mengajaknya.

Ketika aku melihat secara bertahap gondola ini menjauh dari tanah, aku mendapati diriku sudah berada di puncak gunung. Dengan ini, perjalanan pulang akan lebih mudah nantinya.

“Saat pintu gondola terbuka nanti, mari kita menghirup udaranya. Pasti rasanya segar.”

“Wah benar, ayo kita lakukan!”

“Oh, itu sudah mulai dibuka. Kalau begitu, siap!”

Syuu, kita menarik napas sepanjang-panjangnya untuk menghirup udaranya.

“...Ternyata tidak begitu berbeda ya rasanya. Maksudku, aku masih bisa mencium bau saus barbekyu.”

“Hahaha. Memang. Aku jadi mulai lapar nih.”

Pengaruh stand makanan sih, kurasa.

Kami saling memandang dan langsung menuju stand makanan yang menjual sate barbekyu. Karena ini masih pagi, dan meskipun kami sedang liburan musim panas, ini adalah hari biasa, jadi tidak banyak orang yang datang ke sini. Berkat itu, kami tampaknya dapat menikmatinya sepenuh hati di sini hari ini.

Dengan terengah-engah dan sambil memakan sate barbekyu, kami pergi ke sebagian besar stand yang berada di sini, termasuk stand pembuatan lilin, stand tanaman, dan stand tembak-tembakan. Dan yang paling menyenangkan diantara semuanya adalah stand membuat aksesoris dengan manik-manik.

Kami mencoba membuat gelang manik-manik, dan meskipun kami membicarakannya sebelumnya, kami membuatnya dengan asumsi kalau kami akan saling memberikannya sebagai hadiah, dan kami tertawa ketika mengetahuinya.

Ngomong-ngomong, gelang yang aku buat memiliki warna dasar merah dengan manik-manik berwarna putih di antaranya, sedikit lebih jelek dari yang dijual di toko, dan keliatannya terlalu longgar di pergelangan tangan ramping Kotono. Sementara yang Kotono berikan padaku, di sisi lain, sangat pas di pergelangan tangan kananku. Gelang berwarna oranye dan putih itu terlihat sederhana, dan bentuknya berantakan sehingga aku mengerti mengapa air matanya berlinang saat membuatnya, tapi aku sangat menyukainya.

Namun, aku terkejut ketika asisten toko mengira kami adalah pasangan. Dan bagaimana Kotono yang dengan begitu saja menjawab “Ya, itu benar”, sudah melebihi kapasitas berpikirku. Ketika aku bertanya kepadanya tentang hal itu setelahnya, dia menjawab dengan santai, “Ya bagus kan kita jadi bisa menggunakan diskon pasangan, iya kan?”. Aku jadi ingin meminta maaf padanya atas kenaifanku yang membuatku begitu gugup sebelumnya. Sungguh.

Di sisi lain, Kotono melihat gelang yang ku inginkan dengan begitu senang seolah dia seperti mendapatkan harta karun yang selalu ia inginkan. “Aku akan menghargainya selamanya”, ucapnya. Tepat setelah pikiranku terhadap Kasumi telah berangsur membaik, Kotono berada di urutan berikutnya yang bersalah.

 

Kami selanjutnya bersenang-senang, membeli kari dari stand makanan untuk makan malam, lalu duduk di kursi dan mengobrol, dan langit berangsur-angsur menjadi lebih gelap. Sangat sepadan rasanya untuk datang ke puncak gunung karena bintang-bintang di sini tampak lebih indah dari biasanya. Bintang-bintang itu begitu cemerlang di langit dan menyilaukan dan entah kenapa jadi mengingatkanku pada Kasumi.

“Kashiwagi-kun! Bukankah itu Deneb dan Altair? Mereka terlihat sangat cantik!”

Kotono dengan senang hati menunjuk ke langit sambil memeriksa buku catatannya.

“Segitiga Musim Panas, kan? Sekarang yang kita butuhkan hanyalah menemukan Vega dan semuanya akan lengkap.”

“Kamu cukup ahli ya dalam hal ini. Hebatnya.”

“Standarmu sepertinya terlalu rendah. Nah, bukankah filmnya sudah akan dimulai?”

Layar besar di depanku mulai meredup, dan aku buru-buru menutup mulutku. Beberapa saat kemudian, film dimulai.  Film pendek yang dijadwalkan tayang hari ini adalah kisah cinta berdurasi 30 menit.

“Seorang kekasih adalah seseorang yang membiarkanmu mendengar detak jantungnya”

               Percakapan-percakapannya yang memorable terasa lucu dan sedikit cringe di sini. Di samping itu, camera work, pemotongan scene, dan pengembangan plotnya yang menghibur adalah hal yang bisa aku pelajari disini, dan sejak awal aku terus mencatatnya.

────Hingga setelah beberapa saat, aku kehilangan arah dalam cerita filmnya.

“......”

Aku kemudian bertanya-tanya apakah dia menikmatinya, dan seketika melihat Kotono yang duduk di sampingku. Kotono menangis, tanpa suara sedikitpun. Matanya terbuka lebar, dan air mata mengalir di pipinya yang putih. Aku memperhatikannya, tapi dia tidak menyadarinya. Sepertinya dia benar-benar terpaku dengan filmnya.

Saat itu layar sedang menunjukkan MC yang berlari melewati pelabuhan pemancingan, berusaha untuk tidak membiarkan heroinenya mati. Inilah klimaks dari filmnya. Namun yang bisa ku lihat hanyalah Kotono, yang sedang menatap layar dengan penuh antusias, dan diterangi warna-warna hangat dari pencahayaan tidak langsung. Bukan hanya sekedar cantik, aku pikir dia begitu indah. Aku sangat malu karena memikirkan bahwa teman sekelasku, teman yang sudah bersamaku selama lima tahun, terlihat begitu indah hingga aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata di otakku. Pada saat yang sama ketika aku tertarik dengan ekspresinya yang tak terlukiskan, aku berpikiran untuk membuat sebuah karya yang dapat memunculkan ekspresi semacam ini.

Aku harus membuatnya, pikirku.

 

***

 

“Filmnya menakjubkan, bukan?”

“Ya... Luar biasa.”

Setelah melihat sebuah karya yang membuat kami terdiam, kami jadi merasa enggan untuk segera pulang. Dan kami pun hanya menatap langit berbintang, berbagi sisa-sisa cahaya yang ada, dan saling membicarakan kesan kami.

“Bagian itu sangat bagus, bukan?”

“Yang mana? Tunggu, ayo kita katakan bersama-sama. 1…2…”

“Adegan di akhir ketika mereka melompat ke laut.”

“Adegan di tengah saat mereka pergi ke kota...eh, tidak sama ya.”

“Hahaha. Memang tidak pernah sama, kan? Kashiwagi-kun dan aku punya selera yang berlawanan, jadi aku heran kenapa kita bisa akrab hingga sekarang. Kita bahkan tidak menyukai hal yang sama.”

Memang, dan mungkin itu benar.

“Tapi, bukankah menyenangkan berbicara denganmu.”

“Hanya Kashiwagi-kun yang bilang kalau senang berbicara denganku.”, ucap Kotono sambil melihat ke atas sehingga aku bisa melihat bintang-bintang dari matanya.

“Sulit bagiku untuk mengatakannya, tapi aku menjalani kehidupan yang serius. Sampai sekarang, aku tidak pernah memiliki seseorang yang dapat ku ajak bergaul, meskipun aku merasa orang-orang menyukaiku. ‘Dia murid teladan dan dia hebat, tapi dia bukan temanku’, seolah ada garis semu yang memisahkan kita. Bahkan jika aku tidak sendirian dan berada di dalam sebuah kelompok, aku masih saja terasingkan selama ini.”

“Aku rasa bukan begitu.”

“Beneran, tahu. Tapi, Kashiwagi-kun adalah kebalikan dariku, kamu tidak menarik garis. Sebaliknya, kamu malah berusaha keras untuk melewati garis itu. Kamu masih punya banyak teman selain aku. Itu sebabnya aku sangat senang.”

Kotono mengatakannya sambil membentangkan tangannya, seolah berusaha meraih bintang-bintang.

“Aku merasa seolah-olah kamu mau repot-repot datang menghampiriku. Terlebih lagi, Kashiwagi-kun tidak pernah menyangkal cara hidupku yang terkekang ini, walaupun kamu hidup begitu bebas dan seolah akan mati jika tidak pergi kemanapun. Itu yang aku pikirkan tentang dirimu.”

Dan kemudian dia menurunkan tangannya.

“Aku benar-benar menyukainya.”

“…Baiklah terima kasih.”

“Kashiwagi-kun, kamu selalu begitu.”

“Eh?”

“Tidak apa-apa kok.”

Kemudian Kotono berdiri dengan anggun, memunggungiku dan menghadap ke gondola.

“Bagaimana kalau kita pulang sekarang?”

Saat ini, aku tidak bisa melihat ekspresi apa yang Kotono miliki di wajahnya saat dia mengatakannya.

 

***

 

Di gondola dalam perjalanan pulang, kami menatap langit berbintang tanpa saling berbicara satu sama lain. Aku pikir perjalanannya sudah terasa singkat, tapi perjalanan baliknya ternyata lebih singkat lagi. Kami pun sudah menemukan diri kami berada di stasiun tempat kami bertemu pagi ini.

“Kau yakin tidak ingin aku antar pulang?”

“Iya. Ayahku akan marah jika dia tahu. Aku pura-pura belajar di luar seharian ini.”

Kotono mengatakannya seolah-olah dia sudah menyerah untuk jujur, lalu dia membuka mulutnya sedikit.

“Um... Bolehkah aku menanyakan satu hal terakhir?”

“Apa?”

“Dalam film yang baru saja kita tonton, mari kita bahas kata-kata mana yang paling berkesan.”

“Oke, aku suka itu.”

Jadi, itulah yang akan kita lakukan. Aku pun menarik napas dan berkata, “Siap”.

“Seorang kekasih adalah seseorang yang membiarkanmu mendengar detak jantungnya...”

“Menyerahkan hidupmu untuk menyenangkan orang lain itu membosankan...eh, salah ya.”

“Bukan begitu, tidak ada yang salah atau benar kan. Hanya saja, aku tahu ini akan terjadi…”

“…Yah, begitulah. Kita memang berbeda, bukan?”

Kotono tertawa dan memunggungiku.

“Baiklah, sampai jumpa.”

Di saat itu, bunga putih yang ada di gelang yang ku buat untuknya bergoyang, berkelap-kelip seperti bintang kecil yang bersinar di langit.

 

***

 

Side: Kotono Kuon

──────Menyerahkan hidupmu untuk menyenangkan orang lain itu membosankan.

Aku tahu. Aku benar-benar tahu kalau aku menjalani kehidupan yang membosankan, dan tidak dapat berubah.

 

“…Aku pulang.”

Aku melewati pintu gerbang dan berjalan ke pintu masuk rumah. Karena taman di rumahku sangat besar, letak pintu masuk jadinya sangat jauh dari gerbang depan, dan sejujurnya, itu sungguh merepotkan. Setelah berjalan sekitar 30 detik, akhirnya aku melewati pintu masuk.

Melihat sepatu kulit hitam ayahku yang berjejer di pintu masuk marmer yang berwarna putih bersih, aku menghela napasku. Pintu menuju ruang tamu terbuka. Dia biasanya begitu cuek, tapi dia akan khawatir ketika aku pulang selarut ini.

“Kau terlambat. Apakah ada problem yang sangat berat bagimu di tahun kedua sekolahmu?”

“Tidak. Aku hanya butuh beberapa saat untuk bisa menyelesaikannya.”

“Oh, begitu. Akhir-akhir ini kau sering pulang terlambat. Hanya satu tahun lagi yang tersisa sampai ujian akhir nanti. Kau tidak bergaul dengan teman yang salah, bukan? Atau ada yang lain…”

“Tidak, tidak ada. Sungguh. Aku hanya lelah sehabis belajar. Ya sudah, kalau begitu.”

Aku mengatakannya dalam satu tarikan napas, seolah ingin melarikan diri, dan berlari ke kamarku.

Kemudian, seolah-olah untuk memastikannya sendiri, aku menggumamkannya dengan mulutku.

“...Ah. Beberapa saat yang lalu, Kashiwagi-kun berada dalam jangkauanku.”

Mencoba mengisi kesenjangan yang ada di dalam kenyataan hidupku, aku membiarkannya meresap ke dalam tubuhku.

Ayah dan ibuku tidak pernah peduli dengan ‘aku’, tetapi ketika menyangkut ‘anak perempuan mereka’, mereka tiba-tiba menjadi khawatir. Apakah mereka pikir anak perempuan mereka pintar, pendiam, hanya berteman dengan yang bermanfaat baginya, dan mendengarkan semua yang mereka katakan?

...Yah, mereka pasti berpikir begitu. Karena agar tidak mengecewakan, agar merasa dibutuhkan, begitulah caraku menjalani seluruh hidupku.

Aku tidak pandai mengekspresikan diri sejak aku masih kecil. Sementara aku diam, semua orang di sekitarku akan saling berbicara dan setuju, dan tanpa aku sadari, sudah tidak ada tempat bagiku.

“Kamu juga tidak apa-apa begitu, kan, Kotono-chan?”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku hanya bisa mengangguk setuju. Karena didikan orang tuaku yang seperti ini, aku jadi cukup pintar, dan orang-orang menilaiku sebagai pribadi yang ‘dewasa dan baik’.

Itu tidak benar. Aku hanya tidak bisa mengungkapkannya dengan baik. Aku tidak hanya ingin terus-menerus tersenyum. Aku bukan orang yang tenang dan pendiam, aku bukan hanya gadis yang majenun, aku tidak terlalu baik, aku cukup egois, ada hal-hal yang aku suka yang tidak bisa dikompromikan untukku, dan aku…suka idol.

Jadi aku, sama seperti yang lainnya────.

“Syukurlah Kotono sangat bisa diandalkan.”

“Seperti yang ku harapkan dari anak kita. Di masa depan nanti, biarkan dia yang mengambil alih.”

“Kotono luar biasa, bukan? Kamu bisa belajar enam hari dalam seminggu? Aku tidak akan pernah bisa melakukan itu!”

“Apa, hari ini Kuon-san juga ingin ikut bermain sepulang sekolah!? Ah, tapi kurasa itu akan membosankan. Semua orang sangat kasar, dan aku tidak bisa bertanggung jawab jika kamu terluka nanti.”

“Itu benar. Kotono-chan tidak harus melakukannya. Kotono-chan itu seorang ojou-sama! Mou…dia pasti memaksamu untuk ikut kan. Dia membuatmu merasa tidak enak, bukan?”

Saat aku menyadarinya, semuanya sudah berada di luar kendali. Hanya aku satu-satunya yang memikirkan perasaanku yang sebenarnya. Orang tuaku tidak pernah marah padaku karena aku sudah melakukan kewajibanku. Teman-temanku tidak membelaku, karena lebih nyaman bagi mereka untuk menjadi ‘teman dari ojou-sama dan siswa teladan’.

Aku tidak perlu melakukan apa pun yang tidak cocok untukku. Itulah yang mereka katakan padaku.

Jika apa yang ingin aku lakukan sebenarnya bukan untuk diriku sendiri, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?

Apa yang tepat untukku?

“Kotono adalah siswa teladan. Dan dia memiliki jiwa pemimpin.”

Pada saat itu, di dalam hatiku, aku mendengar sesuatu yang rapuh telah retak.

“...Iya.”

Aku baik-baik saja dengan itu. Aku akan melakukan peran yang telah diberikan semua orang kepadaku. Jadi, aku tidak ingin dibenci. Aku tidak ingin sendirian. Jangan kecewa. Jangan bilang kalian tidak menginginkanku. Jangan berpaling dariku.

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk menjadi ‘ketua kelas’ yang baik.

“Karena Kotono adalah gadis yang baik.”

Kata-kata itu seperti kutukan, tertancap jauh di lubuk hatiku, meleleh ke dalam darahku dan beredar di seluruh tubuhku.

              

               Itu terjadi setelah aku bertemu Kashiwagi-kun, dimana kehidupan sehari-hariku, yang seperti sebuah film favoritku yang diputar berulang-ulang kali, mulai berubah.

Aku mulai makan makanan cepat saji untuk pertama kalinya. Aku mengeluh tentang guruku untuk pertama kalinya. Aku melanggar jam malam untuk pertama kalinya. Aku menemukan seseorang yang bisa aku ajak bicara dengan jujur. Dia sepertinya senang mendengarkanku berbicara tentang hobiku. Bahkan ketika aku mengundurkan diri dari 'ketua kelas', dia menertawakanku dengan tatapan yang seolah mengatakan apa ada yang salah dengan itu.

Karena Kashiwagi-kun, aku kembali menggali diriku lagi, padahal seharusnya itu semua sudah terkubur jauh di dalam tanah. Berbicara dengannya membuatku sadar bahwa aku benar-benar berpikir seperti ini. Menyakitkan, ketika aku teringat siapa diriku sebenarnya.

“Kuharap Kasumi-san tidak pernah datang ke sekolah ini...”

Aku sama sekali bukan gadis yang baik.

Sembari memikirkannya, aku duduk di meja belajarku, menyeret tubuhku yang lelah. Kemudian aku membuka laci meja dan membolak-balik halaman buku harian yang aku tulis seminggu sebelum festival dimulai.

────Aku benci. Kasumi-san adalah tipe gadis yang memiliki semua yang tidak kumiliki, tipe gadis yang aku dambakan. Aku tidak bisa melihat kita sebagai manusia yang setara. Berbicara dengannya semakin membuatku terasa makin dan makin menyedihkan. Kamu sudah memiliki segalanya. Jangan inginkan Kashiwagi-kun juga. Tolong, jangan bawa dia pergi.

Bagaimana bisa Mirufy menjadi teman sekelasku.

Dia menjadi Kasumi yang berada di kelas yang sama denganku.

Ketika dia masih menjadi seorang idol, aku sangat mengaguminya dan bisa mengatakan dia cantik tanpa berpikir panjang, tapi sekarang bahkan sulit rasanya untuk mengatakan kalau dia cantik.”

“Aku tidak ingin mencemarinya lagi.”

Tetesan air jatuh lagi di permukaan buku catatanku, yang telah dikeringkan berkali-kali dari basahnya air mata, hingga akhirnya halamannya menjadi kaku.

Aku tahu bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ditolong hanya dengan usaha. Karena meskipun aku berlagak menjadi korban seperti ini, tetap saja aku lah yang harus disalahkan karena tidak bisa menjadi gadis yang baik dari dalam lubuk hatiku.

Aku tidak berteman dengan yang lainnya karena aku orang yang membosankan, orang tuaku tidak akur karena aku tidak berhubungan dengan baik dengan mereka, dan aku hidup tanpa bisa menawarkan banyak hal karena aku terlahir tidak cocok dengan apapun.

Jadi aku harus lebih baik lagi. Dan setidaknya aku harus bisa memakai topeng ‘gadis baik’ ku ini dengan baik.

 

Senin, 15 April

Aku tidak bisa meringkas dengan baik hasil pertemuan yang menentukan tujuan kelas. Aku masih gugup ketika aku berbicara di depan semua orang. Aku tidak berguna jika aku tidak bisa menjadi ketua kelas yang baik.

 

Rabu, 3 Juli

Teman-teman sekelasku mengajakku untuk bermain dengan mereka sepulang sekolah, tetapi aku menolak karena aku tidak yakin dapat melakukan percakapan yang baik di luar kelas. Ketika aku memberi tahu mereka kalau aku sibuk dengan bimbelku, mereka bersimpati. Jika aku sudah pernah menolaknya sekali, aku tidak akan merasa buruk bahkan jika mereka berhenti mengajakku lagi. Dengan berpikir begitu, mungkin menolaknya adalah keputusan yang baik. Untuk pertama kalinya, aku berpikir bahwa aku senang telah menghadiri bimbel.

 

Kamis 26 September

Aku dipuji atas nilaiku. Dan karena aku tidak tahu cara yang tepat untuk menjawab, aku merasa gagal lagi. Ketika menerima pujian, jangan merendah dan bersikap senang lah. Katakan terima kasih. Aku dengar akan tidak begitu terkesan menyindir jika aku melakukannya seperti itu. Aku ingin menghilang.

 

Buku harianku penuh dengan hal-hal yang telah aku koreksi sehingga aku bisa lebih baik lagi kedepannya. Tentu saja, aku sadar aku tidak akan bisa menjadi orang yang istimewa dari sudut pandang yang begitu luas seperti itu. Tapi bahkan Kashiwagi-kun, yang telah terus berjuang untuk berubah, tetap merasa kosong kan. Dia selalu berkilau, tapi sama denganku, dia masih merasa kosong.

 

Jumat, 8 November

Kashiwagi-kun telah menyerah ketika dia awalnya merasa sudah berkembang di paduan suara. Dia datang kepadaku dengan mata dingin untuk melaporkannya. Tapi pasti dia akan melakukan sesuatu yang lain lagi nanti. Entah ini sudah yang keberapa kalinya ya. Aku tidak pernah lelah melihatnya.

 

“...Lihat.”

Kashiwagi-kun luar biasa karena bisa terus melangkah ke depan. Padahal jika kita tidak bisa melakukannya, tidak ada salahnya untuk tidak mengambil langkah pertama. Walaupun aku berpikir begitu, akhirnya Kashiwagi-kun menemukan film. Dan itu juga berkat Kasumi-san.

Aku tidak tahu harus memasang wajah yang seperti apa atau bagaimana caranya bernapas. Aku perpura-pura tidak apa-apa, tertawa di sekolah dan melewati banyak malam dengan menangis di kamar. Aku menyukai Mirufy, yang memiliki segalanya, dan karena aku menyukainya, aku iri padanya. Itulah mengapa aku tidak bisa menerimanya.

Dan kemudian, di malam ketiga atau lebih, aku menyadarinya.

────Aku ingin tahu, apakah aku bisa menjadi seperti mereka.

Sepertinya aku bisa pergi ke sisi yang lain juga, karena Kashiwagi-kun bisa berubah. Kalau saja aku punya kesempatan, aku bisa seperti mereka berdua yang telah melangkah begitu jauh.

Sejak aku memikirkannya, aku telah mempelajari dan terus mempelajari tentang penulisan naskah, dan aku telah menulis sekitar lima naskah cerita. Tentu, rasanya menyenangkan ketika aku menulisnya, dan jantungku berdebar-debar.

“...Film hari ini, bagus kan.”

Seberapa besar antusiasmeku yang datang dari lubuk hatiku?

Saat aku bersama mereka berdua, dalam suatu momen. Di suatu tempat yang dalam di lubuk hatiku, beberapa pertanyaan terus menghantuiku.

────Apakah aku hanya berpura-pura terobsesi seperti mereka agar aku bisa terus bersama dua orang yang aku kagumi itu?

────Bukankah aku hanya berpura-pura terobsesi dengan itu untuk menjauh dari apa yang seharusnya aku lakukan?

────Apakah aku benar-benar berpikir sudah menjadi salah satu dari mereka, dengan level mimikri itu?

Dan, semakin semakin banyak karya bagus yang aku lihat, semakin aku merasa cemas.

Mengapa hidupku tidak berakhir di tempat yang nyaman?

Bagian terakhir dari hidupku seharusnya ditempatkan di saat Kashiwagi-kun memanggilku cantik hari ini. Jika hidupku adalah sebuah film, aku pasti, pasti akan mengakhiri filmku di bagian itu. Karena tidak ada hal yang lebih baik lagi yang akan terjadi di dalam hidupku.

Aku berbaring di tempat tidurku. Lalu mengambil foto Fuyu-chan, alias Fuyuka Shirakaba dari grup cider×cider, yang aku sembunyikan di dalam bukuku sebagai sebuah bookmark. Dan aku menghela napas.

“Fuyu-chan, luar biasa...”

Aku bertanya-tanya ke mana Fuyu-chan mencari, ke mana dia membidik, dan untuk siapa dia bekerja keras. Apakah itu untuk dirinya sendiri, karena Fuyu-chan selalu terlihat putus asa, seolah-olah dia hanya berpikir untuk sukses sebagai seorang idol.

“Aku tidak bisa bekerja keras untuk diriku sendiri.”

Karena aku tahu batasku sendiri lebih baik dari siapapun.

Aku suka idol, karena aku tidak merasa kosong walaupun aku tidak bisa menjangkau mereka. Tapi Fuyu-chan terkadang menatap penonton dan tersenyum pasrah dengan ekspresi seperti yang sudah sangat aku ketahui.

Namun di atas panggung, dia tampil tanpa kepura-puraan, sambil tetap memperhatikan penonton. Mau tak mau, aku jadi merasa bahwa dia sepertinya tidak menari untuk dirinya sendiri, dan saat aku melihatnya, aku jatuh cinta padanya.

“Jika ada sesuatu yang Fuyu-chan tidak bisa dapatkan meskipun dia telah melakukan begitu banyak hal, apa gunanya aku mati-matian berusaha berada di sisi itu...”

Tidak, bukankah itu lancang untuk merasa ingin dihargai.

Otakku mengalami korsleting dan aku tidak bisa melihat apa pun kecuali apa yang ada di depanku. Kashiwagi-kun dan Kasumi-san terlihat seperti itu, jadi mau tak mau aku memikirkan hal tersebut.

Seolah ingin berpaling dari segalanya, aku mematikan lampu kamarku dengan sekejap dan menenggelamkan diriku ke kasurku. Kemudian, dalam kegelapan, aku menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di pergelangan tanganku, dan memejamkan mataku.

Seseorang, tolong buktikan padaku bahwa kehangatan ini nyata.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter ||    

Post a Comment

Post a Comment

close