-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dokuzetsu Kuudere Bishoujo Volume 5 Chapter 3

Chapter 3 - Konflik Sakuya

Sekitar setengah bulan telah berlalu sejak ujian menginap bersama yang penuh dengan kejutan. Akhir-akhir ini, Koyuki tampak sibuk dengan sesuatu dan seringkali langsung bergegas pulang sendirian, sementara Naoya lebih sering menghabiskan waktu bersama Yui dan Tatsumi. Karena itu, hari ini ia datang sendirian ke restoran keluarga yang berada di depan stasiun.

Selain karena harganya terjangkau, restoran itu juga dipenuhi oleh pelajar seperti Naoya. Restoran tersebut adalah tempat di mana ia pernah minum teh bersama Yui dan Emika yang berpura-pura menjadi gal. Ketika dia dipandu ke salah satu meja, seorang pelayan dengan seragam yang lucu datang untuk mengambil pesanan.

    “Selamat datang. Silakan pesanan...aghh”

Senyumannya yang canggung seketika berubah seolah-olah dia sedang menggigit serangga pahit.

Naoya lalu memberikan senyuman yang lebar padanya.

    “Halo~ Aku datang, Koyuki.”

    “Akhirnya datang juga...event 'invasi dari kerabat'.”

    “Mn, maaf membuatmu menunggu.”

    “Sama sekali tidak, aku tidak menunggumu.”

Ketika Naoya mengacungkan jempolnya padanya, ekspresi Koyuki semakin berubah. Dia menekan alisnya yang berkerut dan menghela napas.

    “Jadi, kenapa kamu datang?”

    “Yah, aku yakin kau sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barumu, jadi aku pikir sudah waktunya untuk mengunjungimu.”

    “Memang benar aku sudah mulai sedikit terbiasa dengan pekerjaanku...tapi bagaimana kamu bisa mengetahui tempat ini?”

Koyuki mendekatkan wajahnya ke Naoya dengan eskpresi yang menakutkan. Dia mulai bekerja setelah event menginap sebelumnya. Sejak itu, Koyuki telah menyembunyikan hal itu dari Naoya. Tentu saja dia memberi peringatan kepada Sakuya dan langsung pergi ke restoran keluarga tersebut sepulang sekolah.

Naoya tersenyum dan berkata dengan riang,

    “Ahaha, trik semacam itu tidak akan berhasil padaku. Aku bahkan sudah bisa menebaknya sebelum hari wawancaramu.”

    “Cih... sungguh, sulit sekali melakukannya.”

Sambil menggerutu, Koyuki menatap tajam Naoya.

    “Asal kamu tahu ya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan”

    “Maksudnya?”

    “Tentu saja, motivasiku mulai bekerja di sini”

Koyuki mengatakannya dengan suara pelan sambil mengetuk-ngetukkan meja.

    “Aku mulai bekerja di sini untuk tambahan uang saku perjalanan sekolah bulan depan. Uang yang ku miliki sekarang tidak cukup untuk membuat banyak kenangan bersama Yui-chan dan Emika-chan. Jadi, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ulang tahun Naoya-kun.”

    “Hmmm...jadi tidak ada hubungannya ya?”

    “Ya, tentu saja. Ma-ka-nya...”

Pada saat itu, Koyuki menarik kerah baju Naoya dengan tegas dan menariknya mendekat.

Matanya, yang memandang tajam Naoya dari dekat, berkaca-kaca dipenuhi air mata karena rasa malu yang tidak terbendung lagi.

    “Kamu...berhentilah tersenyum seperti itu! Sudah ku bilang ini tidak ada hubungannya, kan!”

    “Ahaha, begitu ya. Iya, tidak ada hubungannya. Aku mengerti.”

Meskipun Koyuki berteriak marah, Naoya tetap tersenyum lebar.

Sejak mengetahui tanggal ulang tahun Naoya di acara menginap sebelumnya, Koyuki telah bertekad untuk merayakannya.

Itulah mengapa, meskipun ia tidak pandai dalam pekerjaan layanan pelanggan, ia dengan berani melompat ke dalamnya dan berusaha sebaik mungkin. Naoya bisa merasakan hal itu dengan jelas sehingga senyumnya tidak bisa berhenti. Naoya, dengan aura kebahagiaan yang bermekaran, tersenyum pada Koyuki.

    “Terima kasih, Koyuki. Aku menantikan hari ulang tahunku.”

    “Ka-Kamu tidak mengerti bahasa jepang, ya...!”

Dengan wajah yang merah membara, Koyuki gemetar. Bisa dibilang ada rasa malu dan keinginan membunuh dengan perbandingan sekitar tujuh banding tiga pada dirinya saat ini. Namun, kemudian dirinya tersenyum, berdeham, dan melirik Naoya.

    “Tapi, yah...kamu selalu melayaniku dengan baik, bukan? Jadi ya kalau memang ada sisa gajiku nanti, tidak ada salahnya kan aku menyiapkan sesuatu untukmu juga. Makanya...umm...”

Koyuki menatap wajah Naoya dengan tajam dan bertanya secara langsung.

    “Apa yang kamu inginkan...apa kamu punya suatu permintaan?”

    “Tidak kok, aku tidak punya permintaan khusus.”, ujar Naoya sambil menggelengkan kepalanya.

Kemudian, ia mengeluarkan saputangan yang pernah diberikan oleh Koyuki. Karena dia merawatnya dengan baik, tidak ada sehelai pun benang yang terurai. Dia memeluknya dengan kedua tangannya dan tersenyum lebar.

    “Meskipun bukan barang yang mahal, aku akan senang mendapatkannya darimu, Koyuki. Aku akan menjadikannya harta berharga seperti saputangan ini.”

    “Sungguh, kamu bisa mengucapkan kata-kata memalukan seperti itu dengan serius...”

Meskipun Koyuki terkejut dengan wajah yang memerah, dia berbisik dengan suara kecil.

Namun, seketika dia menghela napas panjang dan memerosotkan bahunya.

    “Ya Tuhan… Naoya-kun, meskipun sulit berurusan denganmu yang seperti ini, aku berharap dia bisa mendengarkan dirimu yang jujur begini.”

    “Ah, tentang sisa hidup James-san ya.”

Setelah berbicara dengan Naoya di bawah langit dingin kala itu, James mengumpulkan semua anggota keluarga Shirogane dan mengungkapkan tentang sisa hidupnya. Dalam pengakuan yang menyedihkan itu, keluarga itu terdiam tanpa kata-kata, dan Koyuki bahkan meneteskan air mata. Pertemuan keluarga Shirogane berakhir dalam suasana yang penuh duka, dan ketika James kembali ke kamarnya - saat itulah Naoya secara diam-diam mengungkapkannya.

    Bagaimana ya, mungkin itu kesalahan diagnosis.”

    “Ha...?”

Pada saat itu, air mata Koyuki seketika mereda. Howard dan yang lainnya mencoba untuk mempercayainya dan sekarang mereka sedang berusaha untuk secara tidak langsung meminta James melakukan pemeriksaan ulang dengan dukungan seluruh keluarga. Namun, tampaknya hal itu tidak berjalan dengan lancar.

    “Ojii-chan bilang, 'Tidak ada waktu untuk itu! Aku sibuk mengatur bisnisku dan membuat kenangan dengan cucu-cucuku!' Dia sama sekali tidak mendengarkanku.”

    “Yah, pasti merepotkan baginya kalau disuruh secara tiba-tiba begitu”

James telah sepenuhnya pasrah. Meskipun ia diberitahu bahwa itu adalah sebuah kesalahan, pasti sulit baginya untuk menerimanya. Koyuki merasa kecewa dan menundukkan kepalanya.

    “Benar-benar keras kepala... Frustasi sekali rasanya, tapi aku sendiri sadar kalau kita memang sedarah.” [TN: Disini maksudnya Koyuki sadar kalau sifat keras kepalanya itu menurun padanya]

    “Sudah, sudah...jangan terlalu dipikirkan lagi. Lagipula, nanti juga akan terungkap kalau itu adalah kesalahan diagnosis pada akhir tahun.”

    “Itu... Kenapa kamu bisa berpikir begitu?”

    “Hmm, gimana ya”

Setelah beberapa saat berpikir, Naoya dengan santai menjawab.

    “Yah, firasatku saja sih.”

    “Firasat ya... Kalau orang biasa pasti akan ditertawakan, tapi ini firasatmu, Naoya-kun.”

Koyuki mengangguk dalam diam sambil merenung. Jika James juga bisa mengerti seperti ini, semuanya akan berjalan lebih mudah. Namun, tidak ada gunanya berharap pada sesuatu yang tidak ada. Yang penting sekarang adalah bagaimana mereka merawat James kedepannya.

    “Setidaknya, sampai kesalahan diagnosis itu terungkap, kita harus membuat Ojii-san merasa tenang. Ada pepatah yang mengatakan bahwa penyakit berasal dari pikiran, dan mungkin saja kalau dibiarkan ia bisa jatuh sakit dengan penyakit lain.”

    “Iya, benar kan... Meskipun dia bilang sudah menerimanya, dia terlihat sedih dari waktu ke waktu.”

Meskipun sudah setengah bulan sejak James datang ke Jepang, dia masih tinggal di rumah Koyuki. Tampaknya dia telah memilih negara ini sebagai tempat terakhirnya bersama dengan cucu-cucunya yang menggemaskan. Meskipun dia menjalani hari-harinya dengan tenang, seperti pergi berbelanja dengan cucunya, minum teh dengan Naoya, atau pergi berwisata dengan keluarga, terkadang dia terlihat larut dalam kesedihan dan menghela napas dalam-dalam.

Dalam hal ini, Koyuki dan yang lainnya benar-benar khawatir. Naoya lalu menghela napas dan menggaruk pipinya.

    “Aku juga khawatir dengan Ojii-san. Dia selalu baik padaku dan dia adalah Ojii-chan yang begitu penting bagi Koyuki.”

    “Naoya-kun...”

    “Karena itu, Koyuki. Untuk membuat Ojii-san merasa tenang.”

Dengan lembut, Naoya menggenggam tangan Koyuki dan menatap matanya dengan tulus. Lalu ia mengeluarkan kata-kata rayuan terbaiknya.

    “Koyuki, bertunanganlah denganku!”

    “Kenapa tiba-tiba kamu mengatakan itu!?”

Koyuki terdiam sejenak, lalu melepaskan tangan Naoya dengan tegas. Dia lalu menjauh dengan wajah memerah dan gemetar.

Melihat reaksi Koyuki, Naoya dengan santai berkata,

    “Karena aku telah berjanji pada Ojii-san untuk membuatmu bahagia. Tapi tentu saja kita tidak bisa menikah sekarang, kan? Kita masih sekolah dan belum menentukan masa depan. Jadi, setidaknya kita bisa bertunangan dulu, kan.”

    “Jangan seenaknya mengatakan omong kosong seperti itu, ya!”

Koyuki meraih kerah baju Naoya dan mengancam dengan suara rendah.

    “Jadi, kamu ingin bertunangan denganku hanya karena Ojii-chan menyuruhmu...? Jangan konyol, ya. Kamu membuat keputusan sepenting itu berdasarkan pendapat orang lain!?”

    “Mn. Aku tahu Koyuki pasti akan berpikir begitu.”

Apa yang baru saja diucapkan oleh Naoya tadi adalah sebuah lamaran. Jika alasan di balik momen sepenting itu adalah “untuk Ojii-san”, tentu saja hal tersebut menjadi tidak menarik. Namun── permasalah James hanyalah semacam alasan tambahan.

Naoya lalu menggaruk pipinya sambil tersenyum getir.

    “Sejujurnya...bahkan jika bukan karena Ojii-san, aku sudah memikirkan hal tersebut.”

    “Huh?”

Ketika Koyuki terkejut dengan mata terbelalak, Naoya melanjutkan.

    “Aku akan menceritakan hal yang sedikit memalukan, tapi...apakah kau mau mendengarkannya?”

    “Hal yang membuat Naoya-kun, yang memiliki mental baja, bisa merasa malu...?”

Mata Koyuki berkilauan dengan cahaya saat mendengarnya. Tampaknya rasa ingin tahunya telah mengalahkan rasa frustrasinya.

Naoya tidaklah bermental baja karena dirinya selalu berdebar-debar dengan Koyuki entah saat siang maupun malam. Namun di luar itu, dirinya memang hampir tidak pernah terguncang, maka dari itu penilaiannya dalam segala situasi hampir selalu benar.

Koyuki berdeham dan dengan antusias bertanya,

    “Oke deh. Aku dengarin. Jadi, apa itu?”

    “Sebenarnya, beberapa hari yang lalu, aku bermimpi tentang kehidupan baruku sebagai pasangan suami istri dengan Koyuki,”

    “Ternyata benar-benar memalukan ya!?”

Naoya menceritakan tentang mimpi yang dia lihat baru-baru ini kepada Koyuki. Karena ini pertama kalinya ia menceritakannya pada orang lain, ia jadi merasa bersemangat. Wajah Koyuki memerah hingga hampir pingsan, tetapi Naoya merasa lega karena akhirnya bisa membagikan ceritanya.

Dengan tersenyum malu, Naoya melanjutkan ceritanya pada Koyuki,

    “Aku jadi sering memimpikan itu akhir-akhir ini...bahkan semalam. Karena itu, aku sangat ingin menikahi Koyuki. Itu sebabnya aku melamarmu.”

    “Oh, alasan itu bahkan lebih bodoh dari yang ku bayangkan... Memangnya semenyenangkan itu ya?”

    “Mn. Situasi di mana Koyuki menyambutku dengan ucapan 'selamat datang kembali' dan menciumku sangatlah menyentuh bagiku. Kalau aku bisa merasakan itu di kehidupan nyata, aku akan melakukan apa saja.”

    “Jangan terlalu bersemangat begitu! Sungguh memalukan melihatmu membicarakan mimpi itu dengan wajah serius...!”, protes Koyuki.

    “Oh ya, meskipun aku belum pernah melihatnya di mimpi, sepertinya anak kita nanti seorang perempuan.”

    “Sudah...cukup...! Jangan katakan apapun lagi!”

Koyuki akhirnya menutupi wajahnya dan mengerang. Sepertinya hal tersebut terlalu berlebihan baginya. Setelah menghela napas berat yang terdengar seolah datang dari dasar bumi, ia menatap tajam Naoya.

    “Aku benar-benar mengerti perasaanmu. Tapi, itu tidak berarti aku akan menerimanya. Kita masih pelajar, kan?” kata Koyuki dengan tegas.

    “Tapi ya, kita juga pasti akan berbicara tentang pernikahan di masa depan. Kalau memang kita bertunangan sekarang, itu tidak akan mengubah apapun nantinya, kan?”

    “Jangan seenaknya mengatur hidupku ya! Ini tuh masih masa percobaan, tahu!”

Koyuki menolaknya mentah-mentah. Karena sudah merasa muak dari lubuk hatinya yang sangat dalam, ia beralih ke mode bekerjanya dan mengeluarkan perangkatnya. [TN: Perangkat untuk memasukkan menu yang dipesan]

    “Pokoknya, cerita ini selesai sampai di sini. Papa yang akan mengurusnya, jadi jika kamu terus bicara, aku akan marah, oke.”

    “Tch. Yah, tapi aku tidak akan menyerah.”

    “Ya, iya. Sungguh, kamu itu sangat keras kepala seperti hama.”

Koyuki mendecakkan lidahnya dengan wajahnya yang masih merah. Sikapnya tidak terlihat seperti seseorang yang baru saja menerima lamaran dari pacarnya.

    Hmm... Memang terlalu berlebihan kali ya kalau aku melamarnya.

Bahkan untuk menerima pernyataan cintanya saja, harus melewati banyak tahapan. Agar dia bisa menerima lamarannya, mungkin membutuhkan tahapan yang sama atau momen yang sangat khusus.

    Baiklah, setidaknya perang telah dinyatakan. Untuk saat ini, mungkin itu sudah cukup.

Wajah Koyuki tetap merah, menunjukkan bahwa dia masih memikirkannya. Jadi hasilnya sudah cukup baik sebagai serangan pertama.

Saat Naoya berpikir seperti itu, Koyuki menatap tajam ke arahnya lagi.

    “Kenapa kamu tersenyum-senyum begitu? Cepat pesan kalau tidak mau diusir.”

    “Yah, untuk saat ini... Minuman refill dan es krim cokelat.”

Naoya membuka menu dan memesan hidangan yang normal. Lalu, dia menunjuk suatu menu di bagian dessert.

    “Dan satu lagi, Parfait ala Mode Deluxe ukuran jumbo ini.”

    “Eh, tumben sekali kamu memesan menu seperti itu, Naoya-kun”

    “Bukan aku yang akan memakannya”

Sambil mengatakannya, Naoya dengan cepat menunjuk ke arah jendela kaca yang menghadap jalan. Dan terlihat di balik semak-semak di depan toko, Sakuya dengan kamera besarnya mengarahkannya ke arah mereka.

    “Ada baiknya aku mentraktir fotografer yang ada di sana”

    “Jadi kerabat selanjutnya sudah datang ya...”

Koyuki menutupi wajahnya sambil menginputkan pesanan untuk mereka berdua ke perangkatnya. Ketika Koyuki kembali ke dapur, Sakuya masuk ke toko dan mendekati Naoya.

    “Hi, Nii-sama. Maaf sudah mengganggu.”

    “Tidak apa-apa. Mesra-mesraannya sudah selesai kok. Skuya-chan juga mau melihat Koyuki bekerja, kan?”

    “Tentu saja. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja.”

Setelah melihat Koyuki lanjut bekerja kembali, Sakuya menghela napas dengan emosional.

    “Sungguh, Onee-chan bekerja paruh waktu. Aku benar-benar terkejut.”

    “Mn. Sepertinya dia sedang berusaha semaksimal mungkin.”

Naoya juga menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Meskipun Koyuki baru saja kembali ke dapur, dia langsung keluar lagi dan membersihkan meja yang kosong. Dengan terampil, dia mengumpulkan piring, membersihkannya dengan kain, dan meletakkan kembali tisu kertas yang tersedia ke tempat semula.

    “Ah, pelayan! Tolong pesanannya!”

    “I-Iya, aku segera ke sana!”

Dia bahkan bisa berlari dengan lincah ketika dipanggil oleh pelanggan lain.

Melihatnya bekerja dengan cekatan, baik Naoya maupun Sakuya mengernyitkan mata mereka dengan senyum yang lembut. Mereka benar-benar seperti sedang berada di kunjungan kelas. [TN: Kunjungan kelas di sekolah Jepang, yang dimana para orang tua melihat langsung anak-anaknya belajar di kelas]

    “Bagus deh...”

    “Mn, iya.”

Mereka masing-masing mengambil minumannya dan memulai sesi diskusi. Sakuya meneguk cola dengan cepat dan mengelap mulutnya dengan puas.

    “Dengan ini, makanan akan terasa lebih enak. Mungkin lebih baik kalau memesan nasi juga.”

    “Benar juga... Koyuki yang memang sudah menggemaskan sekarang terlihat lebih menggemaskan lagi dengan mengenakan seragam yang imut dan melihatnya berusaha keras...sungguh memanjakan mata.”

    “Ayo menikmatinya dengan santai, Nii-sama. Agar tidak mengganggu pelanggan lain.”

    “Oh, aku ingin mengambil fotonya dan mencetaknya dalam ukuran asli, lalu memajangnya di kamar... Tapi aku harus menahan diri.”

    “Mungkin jika membayar biaya tambahan, kita bisa melakukan sesi pemotretan. Mungkin saja hal itu tersembunyi di menu.”

    “Memang cerdas Sakuya-chan. Menurutku, mungkin ada di salah satu halaman di menu ini...”

    “Tentu saja tidak ada.”

Tiba-tiba, es krim dan parfaitnya datang dengan agak kasar.

Koyuki menatap mereka dengan tatapan dingin sambil memegang nampan perak.

    “Ini pesanan kalian. Setelah makan, harap segera pulang.”

    “Naifnya, Koyuki. Para siswa yang memesan menu seperti ini biasanya akan bertahan di sini selama yang mereka bisa.”

    “Papa dan yang lainnya akan datang juga nanti... Jadi berikanlah pelayanan yang baik, Onee-chan.”

    “Ahh... Event invasi kerabat ini ternyata lebih sulit dari dugaanku.”

Koyuki menggerutu sambil menutupi wajahnya dengan satu tangannya, dan kemudian kembali bekerja. Saat itu, Sakuya menatap kakaknya dengan seksama sambil menghela napas kecil.

    “Onee-chan benar-benar berubah. Dulu, dia pasti tidak akan bisa melakukan pekerjaan seperti ini,”

    “Iya, walaupun sepertinya dia masih terlihat cukup gugup.”

Bagi Koyuki yang pemalu, untuk terjun ke pekerjaan layanan pelanggan adalah sesuatu yang membutuhkan keberanian yang besar. Nyatanya, ekspresi Koyuki saat melayani pelanggan masih sedikit lebih kaku dibandingkan biasanya. Namun, itu masih dalam batas wajar. Rasa antusiasme terhadap dunia yang tidak diketahuinya sepertinya sedikit menutupi rasa takutnya.

    “Kalau memang begini, tidak masalah. Sepertinya dia menikmatinya.”

    “Aku juga lega. Awalnya aku khawatir dia akan terlalu memaksakan diri.”

Sambil mengatakannya, Sakuya mengambil sendoknya. Dia menyendok parfait ukuran jumbonya dan membawanya ke mulutnya dengan ekspresi yang sangat datar. Meski begitu, kecepatan makannya lebih cepat dari biasanya. Tampaknya Sakuya merasa lega setelah melihat keadaan Koyuki.

Naoya tersenyum sambil meraih es krimnya.

    “Sakuya-chan benar-benar menyukai Koyuki, ya?”

    “Tentu saja.”, Sakuya mengangguk kecil.

    “Hobiku adalah memperhatikan idol favoritku. Semakin sehat jiwa dan raganya, maka semakin puas rasanya.”

    “Benar-benar berdedikasi ya. Kau terlihat seperti seorang fans sejati.”

Sembari mengganggukkan kepalanya, Naoya terus menjaga pandangannya ke Koyuki.

Ia tersenyum canggung pada pelanggan lainnya dan terlihat malu-malu ketika rekan kerjanya berbicara dengannya. Melihat Koyuki yang berusaha keras untuk bisa bekerja dengan baik, membuat Naoya merasa hangat di dalam dadanya walaupun ia sedang memakan es krim.

Dengan perasaan hangat itu, Naoya kemudian menoleh ke arah Sakuya.

    “Nah, bagaimana dengan Kirihiko-san?”

    “Sensei?” tiba-tiba kerutan muncul di antara alis Sakuya saat nama itu disebutkan. Bahkan tangannya yang sedang menyendok parfait juga berhenti.

Kemudian Naoya melanjutkannya pertanyaannya tanpa peduli reaksi yang diperlihatkan Sakuya.

    “Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kau mungkin tidak mengerti dengan perasaanmu terhadap Kirihiko-san. Kalau hobi Sakuya-chan itu memperhatikan idol-mu, apakah dia juga bisa dianggap sebagai idol?”

    “...Aku tidak yakin.”

Setelah sedikit merenung, Sakuya meletakkan sendoknya di atas meja. Dia menatap erat tangan yang dia genggam di atas pangkuannya dan diam beberapa saat. Naoya diam-diam menunggu kata-kata selanjutnya.

Di meja sebelah, para gadis sekolah menengah sedang bersemangat berbicara tentang percintaan. Mereka malu-malu, tertawa bersama, dan bersinar dalam kilau masa mudanya. Keseruan seperti itu, bagi Naoya dan Sakuya, terasa seperti peristiwa yang jauh di sana.

Sakuya yang terlihat sedikit kaku, menarik napas panjang lalu membuka mulutnya.

    “Duniaku selalu berpusat pada Onee-chan. Dia yang bisa melakukan segalanya walaupun dirinya kikuk, tidak tahu situasi, dan mudah menangis. Melihat Onee-chan adalah saat yang paling menyenangkan bagiku.”

Ungkapan tersebut pasti akan membuat Koyuki marah jika dia berada di sini. Namun, Sakuya tersenyum tipis. Perasaan cinta yang tidak bisa dia kendalikan terhadap kakaknya terlihat jelas dari wajahnya. Namun tiba-tiba ekspresinya memudar.

    “Tapi, Sensei berbeda... Aku tidak tahu persis apa bedanya. Tapi, perasaanku terhadap Onee-chan dan perasaanku terhadap Sensei. Mereka adalah hal yang berbeda... Aku bisa merasakannya, meskipun hanya sedikit.”

Sakuya mengatakannya sambil menggigit bibirnya. Sepertinya dia sedang mencoba menemukan jawaban dari dalam dirinya dan mengungkapkannya dalam kata-kata. Bagi Sakuya yang sebelumnya tidak pernah mengalami hal seperti itu, tindakan tersebut sama sulitnya dengan mencari permata di tengah padang pasir.

Akhirnya, Sakuya dengan suara tertahan mengatakan,

    “Aku tidak yakin apakah ini bisa disebut sebagai perasan cinta. Karena hanya itu yang aku tahu sejauh ini.”

    “Oh, begitu. Sampai situ saja sudah cukup kok.”, ujar Naoya dengan tegas sembari menganggukkan kepalanya.

Jawaban tersebut sudah sesuai dengan dugaannya, jadi dia tidak memberikan komentar khusus padanya.

Sakuya kemudian menatapnya dengan kesal.

    “Nii-sama, kamu tidak perlu membuatku berbicara, kan? Bukankah kamu sudah bisa langsung memahami perasaanku?”

    “Tentu saja. Namun, terkadang ada hal-hal yang hanya bisa terlihat ketika orang itu mengungkapkannya dengan kata-kata mereka sendiri.”

    “Seperti konseling, ya? Seperti yang diharapkan dari seorang detektif cinta. Apakah kamu akan mengikuti jalur itu di masa depan?”

    “Aku tidak yakin. Banyak yang menyarankanku untuk menjadi detektif atau polisi.”

Naoya menggerutu sambil mengangkat wajahnya ke langit-langit. Di sana, ada kipas besar yang sedang berputar-putar.

Melihat gerakan monoton itu, ia merenungkan tentang kehidupannya. Naoya juga akan menjadi siswa kelas tiga SMA pada musim semi mendatang. Sudah waktunya baginya untuk serius memikirkan jalur karirnya. “Ada banyak tempat dimana aku bisa memanfaatkan bakatku ini” ── ujar Naoya samar sambil terus menatap langit-langit dengan berpikir.

    “Ini tentang ayahku. Sepertinya dia bekerja sebagai detektif sebelum bergabung dengan perusahaannya sekarang. Tapi, katanya dia tidak bertahan selama lebih dari dua minggu.”

    “Kenapa? Jika itu paman, seharusnya di bidang tersebut ia tidak terkalahkan.”

    “Katanya dia dilaporkan berkali-kali oleh kliennya. Karena dirinya terus menerka hal-hal yang belum pernah diketahui oleh kliennya, jadinya mereka salah paham dan berpikir ia adalah pelaku sebenarnya.”

    “Ah, aku mengerti. Masuk akal. Protagonis yang memiliki kemampuan curang biasanya dipersekusi.”

    “Meskipun begitu, dia berhasil mengungkapkan semua tuduhan palsunya dan menemukan pelaku sebenarnya. Itulah sebabnya dia berhenti dari profesi khusus itu. Karena terlalu mencolok.”

Entah apakah Housuke bisa disebut sebagai pegawai perusahaan yang baik atau tidak, namun ada kemungkinan besar Naoya akan mengikuti jejak ayahnya.

    “Jadi, ya, aku berpikir untuk tidak memilih profesi semacam itu... tapi aku belum memutuskan yang lainnya.”

    “Ya, semoga kamu menemukan tujuan yang baik.”

    “Terima kasih, Sakuya-chan. Bagimu untuk mengatakan hal seperti itu...huh?”

Tiba-tiba, mulut Naoya tertutup dan ia memalingkan pandangannya. Di sudut kanan dari meja mereka, ada seorang pemuda duduk di sana. Rambutnya dicat pirang, dan dia memiliki banyak anting-anting di telinganya. Sosoknya sangat mudah untuk ditebak.

Sambil tersenyum nakal, pemuda itu memanggil salah satu pelayan.

    “Hey, pelayan, kau terlihat cantik. Bisakah kau memberikan nomor kontakmu?”

    “Eh, itu...mengganggu.”

    “Jangan jutek begitu dong.”

Pelayan tersebut pun tampak pucat dan gelisah.

Pelanggan lainnya semua menatap ke arah mereka, saling berpandangan dengan tegang.

Meja di sebelah Naoya yang sebelumnya sedang ramai dengan percakapan asmara, sekarang menjadi hening dan mereka melihat dengan tatapan tegang. Udara yang tidak menyenangkan mengisi ruangan restoran.

Sakuya melihat ke arah sana dan memberikan isyarat mata kepada Naoya.

    “Nii-sama, apakah kamu akan membantunya?”

    “Kurasa begitu. Menurutku akan baik-baik saja...tapi ya sudah untuk jaga-jaga saja.”

    “Baik-baik saja? Benarkah?”

    “Lihat saja sendiri.”

Dengan perlahan, Naoya menunjuk ke arah itu sambil menatap Sakuya yang sedikit cemas.

Ada seseorang yang berjalan dengan lurus menuju meja yang ditempati oleh pelanggan yang membuat masalah itu. Sosok tersebut adalah seorang wanita berpakaian rapi dalam setelan jas hitam. Ia mengenakan setelan celana panjang, rambutnya pendek, dan wajahnya menarik. Sehingga, penampilannya bisa dikatakan seperti seorang aktor laki-laki di suatu teater musikal.

    “Permisi.”

    “Ah...?”

Dengan suara serak, wanita itu menyela dan menatap tajam pria tersebut dengan eskpresi yang tegas.

    “Tolong jangan berlebihan menggoda staf kami. Jika Anda masih ingin melakukannya, silakan segera meninggalkan tempat ini. Anda tidak perlu membayar.”

    “Hah? Jadi begitu sikapmu kepada pelanggan?”

Pria itu mengerutkan wajahnya dan menjauhkan dirinya.

Situasi hampir memanas. Seketika, percikan tak terlihat terbang di antara mereka, dan ruangan menjadi panas hingga membuat orang-orang berkeringat.

Pada saat itu, Naoyuki dengan nada ringan memanggilnya. Dan sontak wanita itu pun sedikit terkejut.

    “Hei, apakah kau Taichi Yamamoto?”

    “Ah...? Mengapa kau tahu namaku... Hiii!?”

Pria tersebut menengok dengan eskpresi ragu di wajahnya, lalu seketika membeku.

Wajahnya mendadak pucat, seolah terlihat seperti mayat di sebuah kamar mayat. Sambil gemetar, pria itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah Naoya.

    “Ka-Kau...yang dulu itu!?”

    “Aku merasa terhormat kau ingat padaku. Aku hanyalah karakter yang tidak mencolok, jadi aku takut kau melupakanku.” ujar Naoya sambil tersenyum lebar.

Ia menepuk bahu pria itu dengan lembut. Dan kemudian, ia berbisik di telinganya,

    “Tampaknya kau ingin direbus lagi, ya? Apakah kau tidak belajar dari pengalaman sebelumnya?”

    “Ah...! A-Aku tidak akan pernah datang ke restoran ini lagi!”

Pria itu melempar uang sepuluh ribu yen ke meja dan melarikan diri dengan tergesa-gesa.

Restoran sejenak menjadi hening, lalu terdengar tepuk tangan dengan ritme yang pelan. Dari sana-sini terdengar bisikan-bisikan seperti “Ternyata itu Sasahara” atau “Itu dia yang diceritakan dalam rumor...”. Tampaknya kabar tentang dirinya sudah mulai menyebar ke siswa dari sekolah lain juga.

Pelayan yang tadinya terpana segera membungkuk dengan cepat.

    “Ah, terima kasih banyak, pelanggan. Terima kasih atas bantuannya.”

    “Jangan khawatir. Itu hanya perkara kecil.”

Naoya mengangkat tangannya dengan santai dan kembali ke mejanya.

Sakuya yang menyambutnya terlihat bingung. Sepertinya dia terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

    “Apa itu tadi?”

    “Kami sudah pernah sedikit berbincang sebelumnya. Aku rasa, setelah kedua kalinya, dia akan merenungkan perbuatannya.”

    “Nii-sama, apakah kamu seorang raja iblis yang menguasai wilayah ini atau apa?”

Saat mereka sedang membicarakan hal tersebut, wanita tadi mendekat. Sepertinya dia telah selesai membantu pelayannya.

Ekspresi tegasnya sebelumnya sekarang terlihat lebih lembut. Dengan senyuman kecil, dia membungkuk kepada Naoya.

    “Terima kasih, Sasahara-kun. Berkatmu, semuanya bisa diselesaikan dengan damai.”

    “Oh, tidak apa-apa. Aku senang bisa membantumu, Risa-san.”

    “Fufu... Seperti biasa ya.”

Wanita itu sedikit menyipitkan matanya, lalu melirik ke arah Sakuya.

    “Jarang-jarang kamu bersama orang lain selain Tatsumi-kun dan Yui-chan. Hari ini, aku akan memberikan layanan tambahan untuk temanmu juga. Silakan santai saja.”

    “Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak.”

Wanita itu pergi dengan membawa nota pembayaran dan menghilang ke dalam ruangan belakang.

Setelah melihatnya pergi, Sakuya memiringkan kepalanya.

    “Apakah kalian saling mengenal?”

    “Iya, dia Risa Harukawa, manajer restoran ini,”, jawab Naoya dengan santai.

Dia tahu bahwa kata-kata yang akan diucapkan selanjutnya akan membawa konsekuensi yang tak bisa diperbaiki, tapi tentu saja dia tetap melanjutkannya.

    “Dia adalah mantan pacar Kirihiko-san.”

    “...Hah?”

Pada saat itu, retakan halus muncul di gelas yang dipegang oleh Sakuya.

 

***

 

Meskipun ada sedikit kejadian kecil selama shift kerja paruh waktunya, semuanya berakhir dengan damai.

Kabar bahwa Naoya mengusir pelanggan yang merepotkan menyebar di antara staf restoran, dan sepertinya kabar itu juga sampai ke telinga Koyuki, yang bekerja di belakang panggung. Dia kemudian segera menghampiri meja mereka.

    Jangan buat masalah di tempat kerjaku. Makan saja ini dan diamlah.” katanya sambil memberikan hidangan yang disajikan.

    “Wow! Steaknya terlihat enak!”

Sepertinya rekan-rekan kerjanya memuji pacarnya, dan hal itu membuatnya senang.

Naoyuki lalu menunggu sampai waktu shiftnya berakhir dan mengantarnya pulang ke rumah, dan sepanjang perjalanan itu, Koyuki dalam suasana hati yang baik.

Dan beberapa hari setelah itu, Koyuki mengunjungi toko buku Akaneya yang terletak di sudut kota.

Ia duduk di ruang tatami seperti biasanya, dan Koyuki bersimpuh menghadap Kirihiko, sang pemilik toko.

    “...Jadi, aku ingin meminta nasihatmu, Kirihiko-san.”

Wajah Koyuki sangat serius saat dia memulai pembicaraannya. Seolah seperti sedang menyusun rencana besar yang mempertaruhkan nasib dunia ini, dia melanjutkannya.

    “Sebentar lagi Naoya-kun ulang tahun, tapi aku tidak tahu harus memberinya hadiah apa. Kirihiko-san, apa yang membuatmu senang? Tolong beri tahu aku sebagai referensi.”

    “Bagus sekali kau mau berusaha mencari tahu, Koyuki-chan.”

Tapi segera, dia meletakkan tangannya di pipinya dan menghela napas.

    “Aku ingin memuji sikapmu itu, tapi kenapa kau harus bertanya padaku di hadapan pacarmu?”

    “Karena tidak ada gunanya menyembunyikannya.”

    “Yah mau bagimana lagi. Kamu pasti sudah tahu, kan?”

Sambil diberi tatapan tajam oleh Koyuki, Naoya memberikan penjelasan dari dapur sebelah.

Hari ini adalah shift kerja Naoya. Dia bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah di toko ini, jadi setelah selesai bersih-bersih dan mencuci, dia sekarang sedang sibuk mempersiapkan lauk pauk untuk disimpan. Biasanya Koyuki membantunya, tapi hari ini tampaknya survei tersebut menjadi prioritasnya.

Sambil menyembunyikan ketidakpuasannya, Koyuki memalingkan wajahnya.

    “Aku juga bertanya secara diam-diam pada Yui-chan dan yang lainnya, tapi di hari yang sama Naoya-kun bilang, “Seperti yang diharapkan dari Koyuki, selalu berusaha keras dalam segala hal” sambil tersenyum. Padahal aku yakin sudah memberi tahu mereka untuk merahasiakan ini, tapi tetap saja dia langsung tahu.”

    “Sasahara-kun ya tetaplah Sasahara-kun. Kenapa juga kau bilang begitu? Kalau kau tetap diam, kan dia juga tidak akan tahu.”

    “Itu karena Koyuki sangat lucu, pergi ke sana-sini hanya untukku...”

    “Bisa tidak sih kamu pura-pura tidak melihatnya!? Itu etika dasar sebagai manusia, kan!?”

    “Yah anggap saja ini kesalahpahaman, oke?”

Kirihiko tersenyum masam sambil melipat tangannya, lalu berpikir.

    “Sulit memikirkan hadiah yang akan membuatku senang... Bagaimana dengan waktu?”

    “Jika memungkinkan, sesuatu yang bisa dibeli dengan uang, tolong...”

    “Barang yang bisa dibeli dengan uang... Oh, tinta printerku hampir habis, dan aku ingin mengganti komputer kerja yang belakangan ini mulai terasa lambat.”

    “Lebih seperti perlengkapan kantor ya dibanding hadiah ulang tahun...”

Meskipun Koyuki memasang wajah cemberut, dia tetap mencatat semuanya. Dia benar-benar serius.

Di catatannya, tertulis hadiah-hadiah seperti ring basket yang digunakan di luar ruangan, atau set lengkap buku komik. Karena catatan tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan ke berbagai orang, daftarnya pun jadi berantakan. Namun, Koyuki masih belum bisa menemukan hadiah yang tepat.

Naoya lalu menggoda Koyuki yang terus merasa bingung.

    “Kan aku sudah bilang, aku akan senang dengan apa pun yang kau berikan, Koyuki. Kau tidak mendengarkannya, ya?”

    “Tentu saja aku mendengarnya. Tapi ini adalah pertempuran harga diri seorang wanita.”

Koyuki menutup catatannya dan mengarahkan jari telunjuknya ke arah Naoya dengan tegas.

Dengan demikian, ia telah menyatakan perang yang sebenarnya.

    “Untuk kali ini, aku akan membaca pikiranmu dengan sempurna dan memberikan hadiah yang cocok untukmu. Ini kesempatanku untuk membalaskan dendamku!”

    “Membalas dendam melalui hadiah ulang tahun, huh. Konsep macam apa ini.”

Sambil memotong lobak, Naoya mengangkat bahunya.

Namun, ini juga membuatnya senang. Ia merasa terkesan.

    “Yah, tidak apa-apa. Kalau kau begitu mengkhawatirkannya, berarti pikiran Koyuki penuh dengan diriku. Yah, aku benar-benar dicintai, bukan?”

    “Hhhhhh! Lihat saja, aku akan membuatmu melolong nanti!”

    “Pertengkaran kekasih ini ada di level yang berbeda, ya.”

Koyuki berteriak kesal dengan wajah yang merah padam, sementara Kirihiko terlihat benar-benar tercengang. Ia tampaknya lelah mengikuti pasangan bodoh itu, dan akhirnya mulai menikmati kue yang tersusun di atas meja.

Namun, karena Kirihiko ditanya dengan serius, dia pun berencana untuk menjawab dengan serius juga. Jadi dia mulai merenung lagi.

    “Hmm... pada akhirnya, aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang aku inginkan secara tiba-tiba. Hei, Sakuya-chan, apa yang kau ingin...Sakuya-chan?”

    “...Ya?”

Sakuya, yang tiba-tiba diajak bicara, mengangkat kepalanya secara perlahan.

Meskipun ia sudah duduk di sekitar meja bersama Kirihiko sejak awal, dia tidak menyentuh teh atau pun makanan ringannya, dan terus menunduk tanpa bergerak.

Meskipun dia memang pendiam, kali ini dia benar-benar terlihat kosong. Seolah jika dia seorang pembunuh bayaran, dia pasti sangat ahli.

Sakuya sedikit berkedip sebelum berbicara dengan tenang.

    “Ada yang bisa dibantu, Sensei?”

    “Aku tidak tahu harus menentukan apa, tapi... Ada apa, Sakuya-chan? Kau terlihat linglung. Apakah kau merasa mual melihat tingkah kakakmu dan pacarnya itu?”

    “Menurutmu kita ini sedang apa memangnya...”

Koyuki menatap Kirihiko dengan cemas. Namun, sepertinya dia lebih khawatir dengan perubahan sikap adiknya, jadi dia merapatkan alisnya dan menatap wajah Sakuya.

    “Tapi benar, Sakuya, belakangan ini kamu terlihat aneh sejak kamu datang ke tempat kerjaku. Apa ada yang salah?”

    “Oh? Menurutku, aku masih seperti biasanya, Onee-chan.”

    “Benarkah...? Apa kamu tahu apa yang aku dan Naoya-kun bicarakan tadi?”

    “...Maaf. Aku tidak mendengarnya.”

    “Nah kan! Biasanya Sakuya akan mendengarkan dengan cermat sambil tersenyum-senyum!”

Koyuki terkejut dan mulai memeriksa pipi dan dahi adiknya dengan menyentuhnya.

    “Sakuya, apakah kamu baik-baik saja? Kamu sedang demam?”

    “Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang kepikiran sesuatu saja.”

    “Hmm, jadi apa itu masalahnya?”

    “...”

Saat Kirihiko bertanya, wajah Sakuya menjadi sedikit tegang. Sepertinya Kirihiko tahu bahwa dia tepat sasaran. Kirihiko lalu tersenyum dan menempatkan tangannya di dadanya.

    “Jika kau mau, aku bisa mendengarkanmu. Meskipun aku bukan ahli dalam hal hadiah ulang tahun untuk pacar...tapi mungkin aku bisa memberikan beberapa saran.”

    “Saran...?”

    “Ya. Aku sudah lebih tua, jadi kau bisa mengandalkanku.”

Kirihiko mengatakannya dengan ceria dan santai, tetapi wajah Sakuya malah menjadi semakin serius.

Naoya meliriknya dari samping dan diam-diam tersenyum.

    Oho, sudah kuduga.

Untung atau tidak, gumaman dirinya di dapur tidak terdengar oleh siapa pun.

Dan pada saat itu, pintu depan toko buku berderak dan terbuka.

    “Ah, ya, silakan masuk.”

Ketika Naoya memanggilnya, pengunjung itu langsung masuk ke ruang tamu.

Seorang wanita cantik dengan setelan celana panjang muncul saat pintu geser dibuka.

    “Permisi... Oh, Shirogane-san?”

    “Manajer!?”

Koyuki terkejut dan sedikit terangkat dari kursinya. Jika dia bertemu dengan manajernya di tempat seperti ini, tentu saja reaksi tersebut wajar.

Dia membuka lebar matanya dan memperhatikan Risa dengan seksama.

    “Eh, mengapa manajer ada di sini...?”

    “Seharusnya itu pertanyaanku.”

Risa mengernyitkan alisnya dengan kebingungan. Namun, tampaknya tas yang dia bawa mengganggu, jadi dia memutuskan untuk menyelesaikan urusan itu terlebih dahulu. Dia memberikan tas itu ke Kirihiko dengan santai.

    “Ini nih, pesananmu. Seperti biasa, aku membuat ayam goreng yang banyak.”

    “Aku sudah menunggunya. Aku bayar dengan kartu kredit seperti biasanya ya.”

Kirihiko menerima tas itu dan membukanya dengan antusias. Di dalamnya ada wadah plastik bulat berisi ayam goreng, kentang goreng, sosis, dan udang goreng. Makanan-makanan tersebut terlihat cocok sebagai hidangan pembuka untuk pesta.

    “Kadang-kadang aku ingin makan sesuatu yang enak seperti ini. Bagaimana jika kita makan malam bersama, Sakuya-chan?”

    “Eh, ehm...itu...”

Sakuya, yang diajak bicara, tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Ekspresinya sangat tegang, dan tetesan keringat kecil mengalir dari dahinya. Melihat Sakuya seperti itu, Risa miringkan kepalanya.

    “Oh, apakah kamu yang bersama Naoya-kun kemarin...?”

    “...!”

Sakuya terkejut. Detak jantungnya yang keras bahkan bisa didengar dari jauh.

    “Bukan begitu, Risa-san.”

Seketika, Naoya ikut bersuara.

Meskipun dia juga khawatir dengan Sakuya, yang terpenting sekarang adalah menghilangkan kesalahpahamannya. Ia lalu menepuk kepala Koyuki dan menunjuknya.

    “Ini pacarku. Dan dia adalah adik perempuannya.”

    “Oh, begitu ya. Jadi, Shirogane-san, kamu sangat bersemangat kemarin karena pacarmu datang, kan?”

    “Bu-Bukan karena itu ya!”

Koyuki pun panik. Dia lalu menepis tangan Naoya untuk mencoba menyembunyikan rasa malunya, dan dengan wajah yang memerah, dia mendekatinya.

    “Naoya-kun, apa hubunganmu dengan manajer?”

    “Kami hanya sebatas kenalan melalui Kirihiko-san. Kau tidak perlu khawatir dengan hal-hal semacam itu, Koyuki.”

    “Yang benar...? Manajer itu cantik, jadi bisa saja kamu tertarik padanya, kan?”

    “Tidak, tidak. Karena wanita itu adalah mantan pacar Kirihiko-san.”

    “Tapi bukan berarti kamu tidak akan suka padanya kan... Heee?”

Koyuki yang awalnya terlihat canggung tiba-tiba terkejut. Setelah menatap Kirihiko dan Risa sejenak, ia lalu berteriak.

    “M-M-Mereka...berpacaran!? Mereka berdua!?”

    “Reaksimu itu menyakitkan, tahu...”

    “Tolong jangan menggali masa lalu kelam kita, Sasahara-kun.”

Baik Kirihiko maupun Risa, keduanya menunjukkan ekspresi yang terlihat seperti sedang mengunyah pil pahit. Meskipun mereka tampak tenang, sepertinya mereka sedikit terganggu dengan hal itu.

Risa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan tangannya.

    “Kami berpacaran hanya sebentar saat masa sekolah, dan kami berpisah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang, kami hanyalah kenalan biasa.”

    “Sudah bersama sejak sekolah dasar sampai kuliah dan hanya sebagai kenalan biasa... Bukankah kau terlalu tsundere, Risa?”

    “I-Iya sih. Dunia ini benar-benar kecil.”

Koyuki berkedip-kedip dipenuhi rasa ingin tahu. Meskipun ada beberapa pasangan di sekitarnya yang masih berhubungan, ini adalah kali pertamanya ia melihat contoh pasangan yang telah putus.

    “Menakjubkan memang kita bisa tetap berhubungan baik setelah putus. Awalnya ku pikir akan canggung, tapi...”

    “Yah, bukan berarti kita putus karena tidak saling menyukai.”

Risa mengangkat bahunya sambil tersenyum, kemudian dia menatap Kirihiko.

    “Pokoknya, Kirihiko, datanglah ke restoranku sesekali. Kalau kamu terus menghabiskan waktu di rumah, kamu akan cepat menua.”

    “Oh iya. Apakah kau mau minum teh?”

    “Tidak, aku hanya mampir saja sambil mengurus kerjaanku.”

    “Kau pasti sibuk ya. Oh iya, Haruka bilang dia ingin minum bersama lagi. Bagaimana menurutmu?”

    “Orang itu...kenapa tidak menanyakannya langsung padaku. Yah kalau sudah tidak terlalu sibuk ya.”

Kirihiko dan Risa mengobrol santai tentang hal-hal sepele. Meskipun isi pembicaraan itu tidak terlalu penting, percakapan mereka dengan jelas menunjukkan betapa akrabnya mereka berdua.

    “...”

Sakuya yang mendengarkan percakapan itu dengan tatapan kosong terlihat sangat gelap dan murung. Mungkin hanya Naoya yang menyadarinya.

    “Oke deh, aku pergi dulu ya. Shirogane-san masuk kerja kan besok, semangat ya.”

    “I-Iya. Ah, Manajer!”

Saat Risa hampir berpaling, Koyuki mengangkat tangannya dengan semangat.

Yang akan dia tanyakan dengan tatapan serius adalah masalah yang selama ini telah membuatnya pusing.

    “Ketika merayakan ulang tahun pacarmu, apa yang akan kamu berikan sebagai hadiah, Manajer?”

    “Kenapa kamu menanyakannya langsung di depan pacarmu...? Yah, aku mengerti alasannya sih.”

Risa melirik Naoya sekilas, lalu mengerutkan keningnya dengan ekspresi iba.

Setelah saling mengenal selama sepuluh tahun, dia mungkin mengerti betapa uniknya Naoya.

Setelah beberapa saat berpikir, Risa mengacungkan jarinya dengan mantap.

    “Hmm, mungkin, meskipun klise, hadiah buatan sendiri?”

    “Oh, benar juga! Itu ide yang bagus...!”

Mata Koyuki pun berbinar-binar dan mencatatnya dengan penuh semangat.

Sepertinya ide yang begitu mendasar ini tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.

Koyuki sangat senang dengan ide tersebut, kemudian ia menatap wajah Naoya dengan tatapan nakal.

    “Aku tahu kalau kejutan tidak berhasil padamu... tapi aku harap kamu akan berdebar-debar saat menyadari aku diam-diam membuatkan sendiri hadiah untukmu. Itu menarik, bukan?”

    “Ahahaha, Koyuki, kau semakin pandai ya menghadapiku.”

    “Kalian benar-benar pasangan yang serasi, ya...”

Risa melihat Naoya dan Koyuki dengan ekspresi heran. Namun, setelah sekilas melihat jam tangannya, dia melambaikan tangannya dengan santai dan menuju pintu depan.

    “Oke deh, sampai jumpa, Kirihiko.”

    “Oke, oke. Terima kasih ya.”

Kirihiko melihat Risa pergi dengan senyuman. Suara pintu yang dibuka dan ditutup terdengar seperti saat dia datang, dan segera suara langkahnya terdengar menjauh.

Ia lalu memasukkan kembali makanan-makanannya ke dalam tas, dan bertanya lagi ke Sakuya.

    “Oh ya, kembali ke topik sebelumnya, apa masalahmu, Sakuya-chan? Seberapa serius itu?”

    “...”

Sakuya memegang erat tangannya yang berkeringat. Dia menatap lututnya tanpa bergerak dan dengan susah payah mengeluarkan suaranya seolah seperti memuntahkan darah.

    “...Baru saja, masalahku menjadi lebih serius.”

    “A-Apa maksudnya...?”

Kirihiko yang berkedip sama sekali tidak menyadari bahwa dia lah penyebabnya.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter || 

 

Post a Comment

Post a Comment

close