-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dokuzetsu Kuudere Bishoujo Volume 5 Chapter 6

Chapter 6 - Hubungan yang Sudah Ditakdirkan

Kyoto adalah tujuan wisata yang terkenal dan populer baik di dalam maupun luar negeri. Di jalan raya yang dipenuhi bangunan bergaya Jepang tradisional, sinar matahari yang cerah terus terpancar hari ini. Di sana-sini terlihat para wanita berpakaian yukata berfoto secara berkelompok atau turis asing dengan ransel di punggung mereka, berlatih bahasa Jepang yang belum lancar dengan buku panduan di tangan. Kyoto seolah seperti taman hiburan di mana orang-orang dapat menikmati berbagai kebudayaan Jepang.

Namun, begitu memasuki lorong kecil, pemandangan yang berbeda terbentang di sepanjang jalan. Lorong-lorong sempit yang dikelilingi oleh rumah-rumah tua dan kuil kecil, dengan patung Jizo yang diam-diam mengawasi para pejalan kaki dari dalam kuil kecil. Di tengah-tengahnya, terdapat toko-toko dan ryokan (penginapan tradisional Jepang) berdiri berdampingan.

Kegiatan hiruk-pikuk di jalan utama tidak sampai di sini saja. Di salah satu sudut lorong tersebut, ada sebuah kedai kopi kecil. Meskipun jumlah tempat duduknya terbatas, interior kedainya didekorasi dengan sederhana dan terasa menenangkan, dengan pencahayaan lembut yang menerangi tiang-tiang besar. Di bagian belakang, ada irori (tempat api terbuka dalam rumah tradisional Jepang), menjadikannya seperti kafe dengan gaya tradisional.

Poster yang ditulis tangan yang menampilkan menu rekomendasi juga memberikan nuansa yang menenangkan. Menu di sana juga terkesan klasik. Ada pasta napolitan tradisional dan set kue dengan kopi sangrai. Dan yang paling direkomendasikan adalah──,

    “Maaf menunggu lama. Ini pesanan Anda, parfait matcha.”

    “Lucunya! Cantik sekali!”

Ketika hidangan yang dipesan olehnya tiba, Koyuki bersorak. Matanya berbinar-binar saat ia memandangi parfait tersebut. Hidangan tersebut terlihat seperti gunung yang subur dengan nuansa hijau yang kaya. Dalam wadah kaca segitiga, es krim matcha dan kacang merah dihidangkan dengan soft cream di atasnya. Selain itu terdapat mochi, dango, castella (bolu khas jepang), macaron, kastanye...dan masih banyak lagi. Pada dasarnya, ada banyak manisan yang ditumpuk di sana.

    “Wanita memang hebat, ya...”

Naoya yang duduk di depan hanya bisa tersenyum getir. Karena hanya melihatnya saja sudah membuat dirinya mual, jadi dia cukup puas hanya dengan memesan secangkir teh panas. Namun Koyuki terlihat sangat bahagia dan tersenyum lebar.

    “Fufufu, walaupun kamu terlihat menginginkannya, aku tidak akan memberikannya padamu. Ini adalah hadiah untuk diriku sendiri yang sudah bekerja keras!”

    “Oh iya. Kau sudah benar-benar bekerja keras ya.”

Karena itu, sepertinya dia memiliki uang saku yang cukup dan dia memutuskan untuk memanjakan dirinya. Sambil memperhatikan Koyuki yang dengan penuh antusias melahap parfaitnya, Naoya berkomentar.

    “Tapi kau makan banyak sekali. Ini hari ketiga, tapi kau terus-menerus makan sepanjang hari.”

Ini adalah hari ketiga dari perjalanan sekolah mereka. Meskipun pada hari pertama mereka hanya bertemu sebelum keberangkatan dan di hotel, mulai dari hari kedua mereka menghabiskan waktu bebas mereka dengan selalu bersama. Karena itu, Naoya sangat tahu betapa Koyuki menikmati berbagai macam kuliner di perjalanan ini.

Es krim lokal, mitarashi dango, manju dengan yuba (kulit tahu), Yatsuhashi... Hampir sepanjang waktu dia selalu memakan makanan yang manis. Meskipun Naoya berkomentar seperti itu, Koyuki dengan ekspresi cuek berkata,

    “Kita lho lagi perjalanan sekolah, wajar saja kan. Selain itu, kita kan banyak berjalan kaki, jadinya seimbang.”

    “Yah...aku mengerti kok. Toh kau sendiri pasti sudah sadar kalau berat badanmu terus bertambah. Setiap hari setelah mandi, kau melihat timbangan kan? Kemarin saja, sekitar satu kilo lebih──”

    “Eeiii, jangan disebutin dong angkanya!”

Koyuki menyumbatkan dango ke mulut Naoya untuk membuatnya terdiam, secara fisik. Lalu dia berbalik dengan sedikit kesal.

    “Iya aku tahu kok. Aku bakalan diet begitu pulang, jadi tidak masalah. Atau mungkin...huh?”

Sambil mengatakan itu, dia melirik ke arah Naoya. Meskipun dia memandangnya dengan tatapan serius, suaranya gemetar dengan kecemasan yang samar.

    “Jangan bilang Naoya-kun itu tipe pria yang akan jengkel hanya karena perubahan sedikit pada tubuh pacarnya? Apakah kamu pria yang begitu tidak bertanggung jawab?”

    “Engga, kan?”

Naoya dengan mudah menggelengkan kepalanya. Dia jauh lebih suka jika Koyuki agak berisi daripada terlalu kurus.

    “Aku justru lebih suka kalau kau sedikit lebih gemuk. Jauh lebih cocok dengan zona kesukaanku, lebih nyaman untuk disentuh juga kan...jadi, aku ingin kau makan lebih banyak lagi tidak hanya selama perjalanan ini, tetapi juga setiap hari.”

    “Tunggu dan lihat saja, aku pasti akan menurunkan berat badanku...!”

Koyuki dengan tekad yang kuat, mengunyah pretzel yang ditusukkan ke dalam parfaitnya. Saat mereka berdua sedang bermesra-mesraan seperti itu──.

    “Uwaaa...”

Terdengar sebuah desahan jengkal yang berasal dari meja belakang. Suara tersebut berasal dari Tatsumi. Saat ini, tidak hanya Naoya dan Koyuki yang sedang berkencan, tapi tentu saja teman-temannya juga ikut dengan mereka. Tatsumi memalingkan kepalanya dan dengan lembut berbisik.

    “Hey, Naoya. Selama tiga hari ini, kau dan dia terus bermesraan seperti itu bahkan di hadapan orang lain... Apakah kalian tidak merasa lelah, bosan, atau malu?”

    “Tentu saja tidak. Bukan hanya tiga hari, tapi sepanjang tahun kami akan tetap seperti ini.”

    “Ya, aku sudah mengira kau akan mengatakan itu.”

Sambil menekan pelipisnya, Tatsumi meneguk habis secangkir kopi hitam. Keningnya semakin berkerut, dan sepertinya itu tidak hanya karena pahitnya kopi yang ia minum.

    “Karena kalian, aku terus-terusan merasa kepanasan! Kalau aku pingsan, itu semua adalah kesalahan kalian!”

    'Kalian' maksudmu termasuk aku juga, kah!? Semuanya itu salah Naoya-kun, tahu!”

    “Maaf. Shirogane-san juga sama bersalahnya seperti Naoya.”

    “Ke-Kenapa kalian menyamakanku dengannya...!?”

Koyuki jelas terlihat terkejut dengan mata terbelalak. Karena mereka selalu seperti ini setiap hari, ia sepertinya menjadi tidak sadar dengan perlakuannya sendiri. Di sisi lain, Yui dan Emika dengan santai menyantap kuenya.

    “Mmm, enak sekali. Luar biasa memang hasil penelitianmu, Ketua. Darimana kamu mencari tahu tentang tempat-tempat ini?”

    “Majalah atau artikel di internet? Aku tidak mencari tahunya secara langsung, jadi tidak ada yang istimewa.”

    “Sudah jangan merendah begitu. Tempat ini benar-benar hidden gem, ya.”

Karena berada di gang yang tersembunyi, suasana di dalam toko sangat tenang dan nyaman. Parfait yang baru saja mereka nikmati sekarang juga tidak terlalu manis, sehingga sangat mudah untuk dinikmati. Naoya menyeruput tehnya sambil mengangguk ringan.

    “Benar. Selain itu, rencana lain yang telah Ketua susun juga sangat menyenangkan.”

    “Ini tidak hanya menyenangkan, Naoya!”

Suara itu berasal dari Arthur. Matanya berbinar-binar, dan dirinya kini penuh membawa oleh-oleh. Ada makanan ringan klasik, kaos dengan frasa aneh, dan bahkan baju pelindung yang dikenakan di atas seragam sekolah, seperti Haori Shinsengumi (semacam kimono yang digunakan sebagai baju rangkap). Penampilannya sekarang dengan jelas menunjukkan bahwa dia adalah orang yang paling menikmati momen ini.

Arthur menundukkan kepalanya ke Emika sambil berkata dengan penuh semangat.

    “Kinkaku-ji, Kiyomizu-dera, Maiko-san, Karesansui... Semua itu lebih indah dari yang aku lihat di buku! Terima kasih banyak telah mengajak kami berkeliling, Emika-san!” [TLN: Maaf aku terlalu mager buat nyari tau arti itu semua]

    “Ahaha. Kalau kau sampai bilang begitu, berarti usahaku tidak sia-sia.”

Mendengar ungkapan terima kasih yang tulus itu, Emika tersenyum malu-malu.

Membawa Arthur yang sangat menggemari Jepang (a.k.a wibu) untuk mengunjungi Kyoto──adalah salah satu tujuan dari perjalanan sekolah kali ini. Namun, Arthur mengernyitkan keningnya sedikit dan memandang ke sekelilingnya.

    “Aku sangat menikmatinya, tapi apa yang lainnya juga benar-benar senang? Bagi orang Jepang, tempat-tempat yang kita kunjungi ini sudah cukup biasa, bukan?”

    “Tidak kok. Kadang-kadang hal yang biasa begini justru terasa menyegarkan.”

    “Betul, betul. Jadi nikmati saja persembahan spesial untukmu ini.”

Setelah Yui membalasnya, Tatsumi juga ikut berbicara.

Sambil menepuk bahu Arthur, dengan senyum ceria ia mengatakan,

    “Sebagai gantinya, kenalkan aku dengan salah satu gadis. Walaupun kau sudah punya tunangan, tetapi kau pasti memiliki banyak pilihan, kan?”

    “Eh... Walaupun kau sudah memiliki Yui-kun sebagai tunanganmu? Tadi kan Tatsumi juga diam-diam membelikan dia aksesoris rambut sebagai hadiah untuknya──”

    “Goblok! Sudah ku bilang jangan diomongin kan!”

    “Tatsumi, itu...”

Yui mengalihkan pandangannya dengan canggung.

Setelah memperhatikan interaksi pasangan temannya itu, Koyuki miringkan kepala sambil memandang Emika.

    “Nee, Emika-chan. Mereka juga sedang bermesraan di sana. Apakah kamu tidak merasa senang?”

    “Hmm...ya enak juga sih, tapi mungkin interaksi Koyuki-chan lebih bernutrisi.”

    “Serius? Lihatlah, mereka yang biasanya kalem jadi malu-malu begitu. Bukankah pemandangan itu jauh lebih langka daripada kita?”

    “Benar juga sih, ini memang pemandangan langka... Setidaknya aku akan memfoto mereka.”

    “Oke, oke! Cukup sampai disini! Dilarang memfoto!”

Emika berusaha mengeluarkan kameranya, tetapi Yui dengan segera menghentikannya dengan panik.

Biasanya mereka berada di sisi penonton, jadi mereka sangat tidak terbiasa untuk menjadi pusat perhatian. Meskipun wajah mereka memerah dan terlihat gelisah, mereka mencoba membuka buklet perjalanan mereka untuk mengalihkan topik.

    “Sudah jangan hiraukan kami lagi. Mending kita lihat jadwal berikutnya, oke?”

    “Cih. Ya sudah, untuk selanjutnya rencananya kita ke tempat rekreasi. Tempat itu bertemakan rumah ninja.”

    “Ninja!? Apakah kita bisa bertemu dengan mereka secara langsung!?”

    “Hee, ada pertunjukannya juga ya.”

Kegembiraan Arthur terlihat jelas, dan Tatsumi juga sangat tertarik saat membuka buklet perjalanannya.

Terdapat atraksi pertunjukan ninja seperti permainan lempar shuriken, dan taman rintangan ninja. Arthur begitu terkesan sehingga ia hampir menangis.

    “Tidak ku duga ada tempat yang luar biasa seperti ini...! Jepang memang begitu menarik! Aku juga harus membawa Claire ke sini lain kali...!”

    “Aku penasaran...apakah Claire-chan akan senang atau tidak.”

Emika sambil tersenyum pahit, memandang langsung ke arah Naoya dan yang lainnya.

    “Koyuki-chan dan yang lainnya suka ninja juga, kah?”

    “Ah...e-ehm, itu...”

Saat dia ditanya, Koyuki tersentak dan bahunya terangkat.

Setelah beberapa saat melihat ke sana kemari, dia dengan pelan meletakkan sendoknya di atas meja, lalu dengan kepala tertunduk, dia berkata dengan lirih.

    “Aku kayaknya...ingin mengunjungi tempat lain...”

    “Oh, begitu.”

Emika mengangguk dengan tegas.

Jika melihat buklet perjalanan Koyuki, ada bagian yang mengulas tentang kuil perjodohan yang ditandai. Emika kemudian menunjuk ke bagian tersebut dan tersenyum lebar.

    “Oh kuil pernikahan, ya. Oke, oke. Pergilah dan perkuat hubungan kalian.”

    “T-Tidak, bukan begitu...! Aku cuma lebih tertarik dengan bangunan bersejarah...”

    “Oh begitu, Koyuki-chan dan Naoya bakal makin mesra lagi ya nanti. Ya sudah, kita berjalan terpisah saja, oke?”

    “Yup, yup. Yang terbaik buat kalian ya.”

    “Kami akan menikmati pertunjukkan ninjanya, jadi kalian berdua bersenang-senanglah!”

    “Sudah ku bilang bukan begitu...!”

    “Menyerahlah, Koyuki. Semuanya sudah jelas.”

Naoya menepuk bahu Koyuki ketika semua orang menatapnya dengan pandangan hangat dan menyemangatinya.

Dengan begitu, mereka berdua sekarang terpisah dari anggota lainnya. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang lorong belakang yang mengarah keluar dari kafe. Jumlah toko di sekitar jalan tersebut kian berkurang dan pemandangan kampung halaman dengan deretan rumah tua terus berlanjut.

Tidak ada orang yang mereka temui, dan hiruk pikuk di jalanan utama sama sekali tidak terdengar.

Di lorong di mana waktu seakan berhenti, hanya langkah kedua pasangan itu yang terdengar.

Sambil menginjak batu paving dengan kesal, Koyuki berbicara.

    “Astaga...kenapa sih yang lainnya seenaknya begitu. Apakah mereka mengira aku mau membuat permintaan seenaknya seperti itu?”

    “Mn, mn, iya betul.”

    “Hanya karena aku tertarik dengan suasana kuil yang tua, bukan berarti aku tertarik dengan mitos itu. Prasangka itu memang menyebalkan.”

    “Iya, iya, aku mengerti.”

    “Apakah responmu selama ini tidak konsisten?”

Koyuki menatap Naoya dengan tatapan tajam yang menusuk. Dia tidak berteriak karena ada banyak rumah di sekitarnya dan dia ingin menjaga ketenangan.

Melihat reaksinya itu, Naoya tersenyum kecil.

    “Tapi, sepertinya memang ada manfaatnya lho. Baru saja aku coba browsing, kuil itu benar-benar bersejarah dan terkenal.”

    “Hmph, aku juga sudah mencari tahu sebanyak itu kok.”

Koyuki tersenyum tipis dengan ekspresi tenang. Meskipun berusaha terlihat kalem, suaranya penuh dengan antusiasme.

    “Katanya, kuil itu dapat memutuskan hubungan yang buruk dan mempererat hubungan yang baik. Kalau saat ini kita sudah berhubungan dengan baik, itu akan memperkuatnya... Banyak peziarah yang datang dari seluruh negeri. Coba lihat, artikel ini.”

    “Sini, sini.”

Layar ponsel yang ditunjukkan oleh Koyuki menampilkan artikel tentang kuil tersebut. Ada banyak komentar dari para peziarah yang terlihat bahagia di dalam artikel itu.

Cerita-cerita umum seperti mendapatkan jodoh atau mendapatkan pekerjaan yang diinginkan terlihat di awal artikel. Namun, seiring berjalannya artikel, arah ceritanya menjadi semakin janggal. Cerita aneh seperti bertemu nenek yang sudah meninggal atau melihat diri sendiri yang berasal dari masa depan muncul berulang kali.

Naoya pun sedikit tertawa melihat komentar-komentar itu.

    “Sudah ku duga, makin ke belakang makin mistis ya.”

    “Aku juga berpikir begitu. Tapi yah, di samping itu kayaknya benar-benar efektif.”

    “Baiklah, kita harus memohon dengan sungguh-sungguh pada Dewa hari ini.”

    “K-Kebetulan aja sih. Yah, tujuan utama kita adalah untuk mengunjungi kuil ini.”

Meski pipinya sedikit merah, Koyuki masih berusaha mempertahankan sikap kalemnya.

Kemudian, Koyuki tiba-tiba mengerutkan keningnya dan menatap wajah Naoya.

    “Oh ya... Naoya-kun, kamu percaya pada dewa atau semacamnya?”

    “Yah, setidaknya seperti kebanyakan orang Jepang pada umumnya. Setiap tahun kami pergi berdoa bersama keluarga saat Tahun Baru.”

Mereka melemparkan koin persembahan, berdoa, dan mengambil ramalan nasib.

Ini adalah tradisi tahunan keluarga Sasahara.

    “Tapi, aku tidak yang sebegitu percayanya. Menurutku lebih praktis mengandalkan manusia yang hidup daripada entitas dewa yang tak terlihat.”

    “Kamu memang realistis, ya...”

Sambil membicarakan hal tersebut, keduanya terus melangkah di lorong itu. Rumah-rumah kosong dan tanah kosong terlihat semakin banyak, dan kehadiran manusia semakin berkurang. Mereka mulai merasa khawatir dan memeriksa peta, namun sepertinya mereka berada di jalan yang benar. Mereka berbelok di banyak sudut dan berjalan di jalanan yang sempit tanpa bertemu orang lain.

Akhirnya, Koyuki berhenti dan wajahnya bersinar dengan sukacita.

    “Yatta! Itu tempatnya!”

    “Hee...kecil juga ya.”

Di tengah-tengah lorong yang sunyi, ada sebuah gerbang kecil yang berdiri dengan tegak.

Tidak seperti biasanya yang dicat dengan warna merah, gerbang tersebut terbuat dari batu kasar. Di belakangnya terdapat deretan pepohonan yang berdesir dengan suara dedaunan. Seperti halnya lorong tersebut, tempat ini juga nampak sepi, tetapi ada hawa misterius yang terasa di sana──seolah-olah ada kehadiran yang lain.

    Suasananya... Mungkin benar kalau ada berkah di tempat ini.

Meskipun Naoya tidak memiliki keyakinan yang kuat, suasana misterius di tempat itu cukup kuat untuk dirasakan olehnya.

Koyuki juga tampak sedikit tertegun dan memandangi gerbang tersebut dengan pandangan kosong. Meskipun mereka berdiri di sana dalam keheningan selama beberapa saat, mereka hampir bersamaan mengangkat wajah mereka.

    “Yosh...ayo masuk, Naoya-kun.”

    “I-Iya.”

Naoya menganggukkan kepalanya dengan ragu.

Dengan demikian, keduanya memasuki kuil tersebut.

Pada saat mereka melewati gerbang, angin kencang berhembus dengan keras. Daun-daunan berjatuhan dengan gemuruh, menciptakan suara ketika menyentuh batu paving. Tempat ini begitu sunyi.

Setelah melewati jalan setapak di antara pohon-pohon dan patung anjing penjaga, mereka menemukan sebuah tempat persembahan kecil. Kotak persembahan dan loncengnya terlihat usang, menunjukkan tanda-tanda waktu yang telah berlalu.

Bangunan kuil yang berada di sebelahnya terlihat tertutup, sementara omikuji (ramalan nasib) dan ema (plat kayu untuk menuliskan permohonan) dengan label harga diletakkan dengan secara berserakan. Tampaknya tidak ada pendeta yang tinggal di sana secara menetap.

Meski begitu, kuil itu terlihat terawat dengan baik dan setiap sudutnya terlihat sudah disapu bersih. Omikuji dan ema ditempelkan di pohon-pohon sekitar, menciptakan pemandangan yang mengagumkan.

Di tengah suasana yang tenang dan damai itu, bunyi tangan bertepuk terdengar beresonansi di antara mereka berdua.

Saat Naoya sekilas melirik ke sebelahnya, terlihat Koyuki sedang melipat tangannya dan berdoa dengan serius.

Setelah melihatnya, Naoya juga ikut berdoa dengan sepenuh hati.

    ...Semoga aku bisa selalu bersama Koyuki.

Setelah selesai berdoa dengan sungguh-sungguh, mereka memutuskan untuk mengambil omikuji.

Karena ada bangku di dekat tempat pembasuhan tangan, mereka duduk di sana dan membuka omikuji mereka secara bersamaan.

Tepat pada saat itu, wajah Koyuki terlihat berbinar-binar dengan ceria.

    “Aku mendapatkan 'Daikichi' (keberuntungan besar)!”

    “Oh, kebetulan sekali. Aku juga.”

Naoya juga membuka omikuji yang bertuliskan 'Daikichi'. Meskipun dia tidak terlalu percaya dengan ramalan nasib sama halnya dengan Dewa, dia senang bahwa mereka mendapatkan hasil yang sama.

Sementara Naoya merasakan hangat di hatinya, Koyuki membaca dengan serius isi omikujinya. Kemudian, dia menggelengkan kepala dengan ekspresi bingung.

    'Seseorang yang ditunggu-tunggu akan datang'... Apa maksudnya ya?”

    “Entah, aku juga tidak tahu.”

    “Hmm... Ojii-chan ada di Jepang sekarang... Oh, mungkin item langka dari Nyanjiro yang aku coba dapatkan baru-baru ini, apakah berarti aku menang!?”

    “Kalau begitu, berarti kau harus datang lagi untuk berterima kasih nanti.”

Mereka berdua selama beberapa saat mencoba memahami arti dari kata-kata yang tertulis di omikuji tersebut. Meskipun sebagian besar hanya berisi kata-kata abstrak, pada omikuji Naoya tertulis 'Mulutmu, harimaumu', sedangkan pada omikuji Koyuki tertulis 'Jadilah dirimu sendiri', dan seterusnya. Sejauh ini kata-katanya terlihat relevan.

Sementara itu, tidak ada pengunjung lain yang datang untuk berdoa. Koyuki memandangi halaman kuil yang sepi dengan rasa penasaran.

    “Meskipun katanya orang-orang datang dari seluruh penjuru negeri ke sini, tempat ini cukup sepi ya...”

    “Yah, bisa saja kan terjadi kadang-kadang. Tempat ini terpencil, mungkin banyak orang yang tidak bisa sampai ke sini.”

    “Kalau begitu, kita beruntung ya.”

Koyuki mendengus dengan bangga.

Melihatnya begitu, Naoya tersenyum lembut.

    “Oh ya... Koyuki, apa permintaanmu kepada Dewa tadi?”

    “...Kamu pasti sudah tahu tanpa harus bertanya.”

Dengan suara rendah yang sedikit kesal, Koyuki memalingkan wajahnya. Jelas terlihat dia sedang merasa malu.

Melihat reaksinya, Naoya semakin ceria dan melanjutkan,

    “Aku juga sama seperti Koyuki. Aku berdoa 'Semoga kita bisa selalu bersama'.”

    “Hmph... Permintaan yang tidak pantas ya.”

Koyuki mengerutkan alisnya dan menatap Naoya.

Meskipun nada bicaranya sedikit menusuk...senyum di wajahnya sangat jelas terlihat.

Dia menempelkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Naoya dan mengatakan dengan tegas,

    “Jadi, sebaiknya kamu bekerja keras agar selalu terlihat pantas berdiri di sampingku. Kalau tidak, aku akan segera membuangmu.”

    “Tentu saja. Aku akan berusaha lebih keras lagi dari sekarang.”

Naoya menyatakannya dengan mantap.

Sambil melakukannya, dia mengangkat kembali topik yang sering muncul baru-baru ini.

    “Kalau begitu, apakah kau akan menerima lamaranku?”

    “Hee, la-lamaran...?”

Koyuki terkejut dan membulatkan matanya. Mungkin karena pembicaraannya begitu tiba-tiba. Meskipun begitu, dia segera mengernyitkan bahunya dengan ekspresi kesal.

    “Perkara itu lagi, huh? Kamu benar-benar memaksa ya...”

    “Soalnya James-san selalu mengatakan hal yang sama setiap kali aku bertemu dengannya. Dia ingin Koyuki bahagia secepatnya.”

    “Bahkan Ojii-chan pun...”

Tidak mengherankan jika Koyuki merasa kewalahan. James telah berada di Jepang selama lebih dari sebulan. Namun, tidak ada kabar tentang kesalahan diagnosisnya, dan dia masih terus berusaha merencanakan akhir hidupnya. Bahkan, situasinya semakin memburuk dari hari ke hari.

    Tolong, Naoya-kun. Jadikan Koyuki sebagai istrimu. Aku tidak akan bisa mati dengan tenang sampai aku melihat Koyuki dalam gaun pengantin...!”

    “Kenapa harus aku duluan...? Bagaimana dengan Sakuya? Sepertinya dia memiliki seseorang yang disukainya.”

    “Sakuya adalah anak yang cerdas, dia pasti akan menemukan pasangan yang baik. Tapi, aku khawatir dengan Koyuki yang ceroboh! Lebih baik Koyuki segera bersama Naoya-kun daripada jatuh ke tangan pria yang buruk!”

    “Apa maksudnya itu!?”

    “Tidak apa-apa, Koyuki.”

Bukan sekali atau dua kali saja mereka berdua berdebat seperti itu. Koyuki mengomel dengan wajah seperti sedang mengunyah buah persimmon yang masam.

    “Bukankah paman Housuke juga sedang menyelidiki masalah Ojii-chan? Jadi, solusinya sudah di depan mata, kan?”

    “Mungkin iya. Aku pikir akan ada hasilnya sebelum akhir tahun.”

Housuke pun dengan lugas mengakui, ‘Ah, itu adalah kesalahan diagnosis.’. Karena itu, sepertinya dia sedang mencari informasi tentang rumah sakit tempat James menjalani pemeriksaan. Tapi itu adalah masalah yang berbeda.

    “Bagaimana kalau kita bertunangan saja? Kita tidak harus segera menikah, dan tidak ada yang berubah dari sebelumnya.”

    “Tidak mungkin. Nanti pasti akan semakin mencolok di sekolah, itu sudah pasti.”

Koyuki menggembungkan pipinya dengan marah.

    “Setelah festival budaya itu, setiap orang yang kita temui di koridor mengatakan sesuatu seperti 'Wah itu salah satu baka-couplenya' atau 'Itu dia pemilik si anjing gila'. Dan entah kenapa, sampai-sampai kakak kelas yang terlihat kasar membungkuk rendah saat berpapasan denganku... Kamu ngapain aja sih di belakangku!?”

    “Yah... Mereka dari klub gulat meminta sedikit bantuan padaku.”

Tempo hari saat festival budaya, Naoya dengan mudah mengalahkan anggota klub gulat. Mereka yang terlihat seperti preman mengubah sikap mereka setelah kejadian itu dan memutuskan untuk serius dalam mengejar kejuaraan. Mereka pun mencoba untuk kembali berlatih dengan sungguh-sungguh, tetapi anggota klub lainnya yang berprilaku buruk terlihat tidak senang dengan hal itu. Orang-orang tersebut terus datang ke ruang klub, mengganggu latihan mereka, dan terus memprovokasi mereka.

Dan itu sebabnya mereka menundukkan kepala dan meminta bantuan pada Naoya... Begitulah yang terjadi.

    “Dan akhirnya... Aku akhirnya berhasil menjatuhkan kelompok tersebut satu per satu. Aku tahu rahasia sebagian besar preman yang ada di daerah itu.”

    “Jadi tanpa sadar, kamu benar-benar mengendalikan lingkungan di daerah tersebut!?”

Koyuki terkejut dan memegangi kepalanya dengan kebingungan.

    “Jadi semua orang memperlakukanku seperti istri dari Raja Iblis atau semacamnya... Masuk akal kalau begitu.”

    “Ya begitulah. Kenapa tidak kita anggap saja kalau Koyuki mendapatkan lebih banyak penggemar?”

    “Aku tidak tahan memiliki penggemar yang gemetar dengan tatapan kosong begitu!”

Sepertinya mereka benar-benar ketakutan.

Koyuki menghela nafas seolah-olah dia sudah tidak tahan lagi.

    “Astaga. Saat ku pikir masalah dengan Ojii-chan sudah terselesaikan, Naoya malah mengatakan hal-hal yang aneh. Apakah pertunangan begitu penting bagimu?”

    “Ya, begitulah.”

Tentu saja, James juga menjadi faktor penyebabnya.

Namun lebih dari itu, Naoya sangat menginginkan posisi tersebut.

    “Karena meskipun Koyuki tidak menyetujuinya dan hanya sesaat... sudah ada pria lain yang pernah mengaku sebagai calon tunangan Koyuki. Tidak mungkin aku bisa mentolerir itu, kan? Itulah kenapa aku ingin segera bisa menyatakan diriku sebagai tunanganmu.”

    “...Jadi, pada dasarnya, kamu hanya ingin menjadi ekslusif?”

    “Ya, sederhananya begitu.”

    “Jangan seenaknya menjawab begitu...”

Menghadapi jawaban sederhana dari Naoya, Koyuki pun bergumam. Pipinya yang sedikit merah membuktikan bahwa dia tidak sepenuhnya kesal──tapi sepertinya ia masih kurang satu dorongan lagi.

Dengan wajah serius, Koyuki dengan tegas menyatakan,

    “Kalau memang begitu, aku akan mempertimbangkannya... Tunggu setidaknya sampai kita lulus. Hanya itu yang bisa aku katakan, oke!”

    “Setelah lulus, ya...baiklah, kalau memang Koyuki maunya begitu.”

Jadi tidak ada masalah dengan pertunangan tersebut. Namun, mereka harus menunggu sebentar lagi. Dan menunggu itu sendiri bukanlah sebuah penderitaan, bahkan hal itu sudah terbukti menjadi sesuatu yang menyenangkan seperti dalam proses yang mereka lalui untuk bisa saling menyatakan cinta mereka sebelumnya.

Setelah mencapai kesimpulan tersebut, Koyuki menatap wajah Naoya.

    “Oh, btw... Apakah kamu masih bermimpi tentang apa yang kamu katakan sebelumnya?”

    “Ah, belakangan ini aku sudah tidak memimpikannya lagi.”

Mimpi Naoya tentang kehidupan barunya bersama Koyuki telah semakin jarang terjadi. Jika pun dia bermimpi, dia lupa dengan isinya begitu ia terbangun, hanya meninggalkan perasaan bahagia yang samar di dalam hatinya.

    “Pada akhirnya, aku masih belum melihat wajah anak perempuan kita... Sialan, sia-sia sekali rasanya.”

    “Tidak usah menyesal begitu ya. Kita lho tidak punya anak perempuan.”

Koyuki mengomentarinya dengan wajah cemberut. Namun, segera setelah itu dia tersenyum dengan bangga sambil menepuk dadanya.

    “Aku baru-baru ini habis bermimpi indah. Aku menjadikanmu budakku dan mengajakmu ke sana ke mari.”

    “Oh, jadi karena mendengar ceritaku, kau bermimpi tentang kehidupan pernikahan kita yang penuh cinta. Bagus dong.”

    “Bu-Bukan begitu! Aku menyuruhmu membawa banyak barang dan membiarkanmu memijat pundakku setelah pulang... Jadi bukan pernikahan ya, kamu menjadi budakku!”

    “Iya deh iya kalau begitu. Tapi, saat aku pulang, kau memberikan salam 'selamat datang' dengan sebuah ciuman, kan?”

    “Ugh... So-Soalnya Naoya-kun terlihat seperti menginginkannya...!”

Sambil sedikit panik, Koyuki menceritakan isi mimpinya. Ketika melihat reaksinya dari samping, perasaan Naoya semakin tumbuh di dalam dirinya.

    Aku benar-benar mencintainya...

Aku ingin menyatakan kepada seluruh dunia bahwa hanya aku yang bisa berada di sisi gadis ini. Namun, Koyuki tetap menolak untuk menerima lamarannya. Jadi Naoya tidak ingin memaksanya dan saat ini ia sendiri telah kehabisan ide. Mungkin ia harus benar-benar menunggu untuk sementara waktu, pikirnya.

Saat Naoya memikirkannya, tiba-tiba ia melihat kuil yang kosong.

Naoya diam-diam menyatukan kedua tangannya dan berdoa di dalam hati.

    ...Semoga Koyuki mau menerima lamaranku.

Segera setelah ia membuat permohonan konyol itu──.

    “Jadi, di dalam mimpiku Naoya-kun terlihat──Kyaa!?”

    “Uwaa...!?”

Tiba-tiba, angin kencang bertiup dari arah kuil. Angin itu begitu kuat sehingga mereka tidak bisa membuka mata, dan suara menderu-deru bergerak melewati kepala mereka yang tertunduk. Namun, kejadian itu hanya berlangsung sekejap.

Segera setelah itu, ketenangan kembali mengisi halaman kuil, dan mereka merasa lega──.

    “Uu, uuu...”

    “Eh”

    “Hee?”

Suara tangisan terdengar tiba-tiba. Mereka berdua lalu membuka mata mereka secara bersamaan. Dan di sana, ada seorang gadis kecil berdiri di hadapan mereka. Dilihat dari penampilannya, dia mungkin berusia sekitar lima tahun. Dia memiliki rambut perak dengan panjang sebahu, mengenakan gaun putih sederhana yang sangat menggemaskan.

Anak kecil itu, dengan mata biru yang jernih seperti langit, menahan air matanya dan mengguncangkan bahunya.

    Eh... Darimana datangnya anak ini?

Seolah angin tadi yang membawanya, Naoya sama sekali tidak merasakan kehadiran anak itu. Koyuki juga hanya memandangi gadis kecil itu dengan tatapan kosong.

Ketika dirinya melihat Koyuki, pertanyaan baru muncul dalam pikiran Naoya.

    Bukankah anak ini mirip dengan Koyuki...?

Rambut perak dan mata biru. Wajah yang seperti boneka. Penampilan fisiknya itu sangat mirip dengan foto masa kecil Koyuki yang pernah dia lihat beberapa waktu lalu.

Suara tangis gadis kecil itu terdengar di halaman kuil──dan akhirnya, dia berbicara dengan tersedu-sedu.

    “Uuu... Papa dan Mama Koharu, di mana mereka...”

    “Eh, dia tersesat di tempat seperti ini!? T-Tidak apa, tidak apa, semuanya akan baik-baik saja kok!”

Koyuki dengan tergesa-gesa mendekati gadis kecil itu dan berusaha menenangkannya dengan canggung.

Pemandangan itu seharusnya menjadi hal yang menggemaskan, namun──,

    Oh, anak ini...dia anak perempuanku dan Koyuki.

Naoya hanya bisa membeku setelah merasakan firasat aneh tersebut.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter || 

Post a Comment

Post a Comment

close