-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dokuzetsu Kuudere Bishoujo Volume 5 Chapter 7

Chapter 7 - Anak Kecil Misterius yang Tersesat

Sebagai destinasi wisata dan terlebih lagi di hari libur, tentu saja jalanan utama di Kyoto dipenuhi dengan orang-orang. Banyak wisatawan yang mengenakan kimono atau yukata, menciptakan pemandangan di mana kehidupan sehari-hari dan hal-hal yang tidak biasa bersatu padu. Di sebuah sudut kota tersebut, terdapat sebuah taman kecil. Pohon-pohon ditanam di sepanjang jalan, dan tampaknya tempat itu menjadi tempat bersantai bagi para penduduk setempat. Di area permainan, anak-anak bermain dengan gembira, dan bangku-bangku hampir penuh dengan orang tua yang menjaga mereka.

Sambil duduk di salah satu bangku dan menunggu, Koyuki kembali dengan ekspresi sulit.

    “Tidak berhasil. Aku sudah ke pos polisi, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana.”

    “Oh oke, terima kasih sudah berusaha.”

    “Iya, aku sudah meninggalkan catatan di sana, jadi kalau ada petugas yang balik, seharusnya mereka dapat melihatnya.”

Sambil melaporkannya, Koyuki duduk di ujung bangku.

Sementara sungai kecil mengalir dengan tenang, Koyuki dengan lembut bertanya kepada gadis kecil yang berada di sebelahnya.

    “Umm...bolehkah aku memanggilmu Koharu-chan?”

    “...Mn.”

Dengan mata yang sembab, gadis kecil itu mengangguk kecil. Dia adalah anak yang tersesat yang mereka temui di kuil sebelumnya. Pada awalnya, dia menangis dengan keras, tetapi tampaknya dia sudah kehabisan tenaga untuk menangis.

Setelah itu, mereka berdua berkeliling sekitar kuil mencari orang tuanya. Namun, mereka tidak menemui orang-orang yang tampak seperti orang tua gadis tersebut, jadi mereka pun akhirnya pergi ke pos polisi.

Koyuki dengan lembut mengelus kepala gadis kecil yang sedang bersedih itu dan bertanya dengan penuh perhatian.

    “Pasti menakutkan ya rasanya ditinggal sendirian. Apa kamu tahu kemana papa dan mamamu pergi?”

    “...Ndak tahu.”

Dengan gerakan kecil, gadis kecil itu menggelengkan kepala. Kemudian, dengan suara yang terbata-bata, dia berusaha keras untuk menceritakannya.

    “Koharu datang ke kuil sama papa dan mama untuk berdoa. Tapi tiba-tiba, papa dan mama menghilang...huwaaaa...”

    “Aww..! Sudah, jangan menangis, Koharu-chan.”

Akhirnya kelenjar air matanya pecah, dan air mata mulai jatuh dari matanya yang besar. Koyuki dengan gelisah mencoba menghiburnya sambil berusaha membuatnya tenang. Sementara itu, Naoya memegang dagunya sambil berpikir dengan serius.

    “Jadi, umm...gadis kecil ini terpisah dari orangtuanya dan akhirnya sampai di kuil itu?”

    “Tempatnya terpencil, jadi tidak tidak mungkin sih...”

Keduanya menggelengkan kepala karena hanya bisa sampai pada kesimpulan tersebut. Tidak ada hal yang bisa menggambarkan kebingungan mereka melihat kemunculan seorang anak yang tersesat secara tiba-tiba.

Dan tetap aja, ada gadis kecil yang sedang menangis di depan mereka...Koyuki menghembuskan napas kecil dan memandang wajah gadis itu, tanpa lupa tersenyum untuk menenangkannya.

    “Jangan khawatir, kamu pasti akan segera bertemu dengan Papa dan Mama. Jadi jangan menangis ya.”

    “Hiks...iya.”

Gadis itu mengangguk pelan, bahunya gemetar.

Melihat pemandangan yang menyedihkan seperti itu, membuat naluri keibuan Koyuki muncul ke permukaan.

Koyuki, dengan wajah yang kian prihatin, mengelus-elus kepala gadis itu dengan lembut.

    “Cup, cup,  cup...anak baik. Nah, kamu mau coklat panas?”

    “Cokelat...?”

    “Iya. Kalau kita meminum sesuatu yang manis dan hangat, pasti rasanya akan lebih baik. Gimana?”

Gadis itu menatap wajah Koyuki untuk beberapa saat.

Tak lama kemudian, dia menghela napas dan berkata pelan.

    “...Minum.”

    “Bagus. Kalau begitu aku beli dulu ya.”

Meskipun dia baru saja kembali, Koyuki berdiri lagi.

Dan ia tidak lupa memperingati Naoya dengan tegas.

    “Naoya-kun, jaga dia di sini ya. Aku tidak akan mentolerir jika kamu membuatnya menangis, oke?”

    “Koyuki pikir aku ini siapa sih?”

    “Yah mau bagaimana lagi, kamu kalau ngomong tidak pernah halus. Dan tolong perhatikan orang-orang di sekitar yang mungkin saja adalah orang tuanya, oke?”

    “Iya, iya, aku paham kok. Hati-hati ya.”

    “Y-Ya, hati-hati. Onee-chan.”

    “Yup! Aku akan segera kembali!”

Dengan diantarkan oleh Naoya dan gadis itu, Koyuki pergi dengan semangat tinggi.

Namun, melihat keramaian di sekitar, restoran dan kafe kemungkinan juga sedang penuh. Jadi bisa saja hanya untuk membeli minuman akan memakan waktu yang cukup lama.

Saat dirinya mempertimbangkan itu semua──.

    “Huuh...”

Di samping Naoya, gadis itu menghela napas.

Bagi seorang anak kecil yang sedang ketakutan, ekspresinya terlihat sangat tenang.

Dengan perlahan, ia menatap gadis itu dengan penuh kekhawatiran sementara gadis itu menatap lurus Naoya dan berkata,

    “Onii-chan, kamu papanya Koharu, kan? Dan Onee-chan tadi mamanya Koharu?”

    “Y-Ya...”

Naoya tidak bisa berbuat apa-apa selain terkejut. Bukan karena pertanyaannya yang apa adanya dan konyol. Dia sudah memperkirakan akan ditanya seperti itu, dan ternyata dugaannya benar. Dia sebenarnya tidak ingin hal tersebut menjadi kenyataan.

Naoya memegang pelipisnya sambil bertanya balik kepada gadis itu.

    “Aku hanya ingin tahu...kenapa kau bisa berpikir begitu?”

    “Onii-chan namanya 'Naoya', kan?”

Gadis itu mengatakannya dengan sangat jelas.

    “Dan Onee-chan namanya 'Koyuki', selain itu dia kelihatan mirip kayak Koharu, dan kalian terlihat sangat akrab. Jadinya aku pikir kalian itu Papa dan Mama. Benar, kan?”

    “Aku sendiri juga ingin tahu...apakah ini benar.”

Kehabisan kata-kata untuk menjawab, Naoya melihat ke arah langit.

Di atasnya terbentang langit biru yang cerah, dan udara hangat yang tidak sesuai dengan musimnya.

Mungkin saja ini hanyalah mimpi yang dia alami saat dia tertidur. Namun, dia merasakan sakit ketika mencubit pipinya dan tidak ada tanda-tanda dia akan terbangun dari tidurnya.

    Yah, aku sendiri yakin dia adalah anak perempuanku dan Koyuki...tapi apakah hal seperti ini benar-benar mungkin?

Meskipun agak kurang pantas untuk membicarakannya, hal terjauh yang pernah ia lakukan dengan Koyuki hanyalah sebatas ciuman. Mereka tidak pernah melakukan apapun yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan seorang anak.

Itu sebabnya seharusnya Naoya bisa dengan mudah menyangkalnya. Namun, dia tidak bisa melakukannya karena intuisinya memberitahunya kalau gadis itu benar-benar ‘anak perempuan’nya.

    “Ngomong-ngomong...seperti apa Papamu?”

    “Papa ya papa, kan?”

Gadis itu memiringkan kepalanya dengan bingung.

    “Papa itu ya...'peka' banget. Makanya dia sering membantu orang-orang di berbagai tempat. Ojii-chan juga gitu waktu masih muda. Dan Papa sangat mencintai Mama.”

    “Terus, Mama...?”

    “Mama juga sangat mencintai Papa. Tapi Mama ndak mau jujur, jadinya dia selalu sok kuat. Tapi Papa selalu bisa melihat perasaannya Mama, jadinya Mama kesal terus.”

    “Aku dan Koyuki...”

Itu adalah momen di mana intuisi Naoya berubah menjadi keyakinan. Gadis ini, secara harfiah, adalah putri yang ada di mimpinya. Namun, dia tidak bisa begitu saja mengakui hal tersebut. Dia menggelengkan kepalanya dengan tegas dan mencoba untuk berpikir rasional kembali.

    “Tidak, tidak. Ini tidak masuk akal. Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi? Apa mungkin di masa depan ada mesin waktu yang dikembangkan, sehingga anak kecil sepertimu bisa melakukan perjalanan waktu sendirian?”

    “Hmm, aku ndak tahu kalau ada mesin waktu...”

Gadis itu melipat lengannya dan berpikir dengan serius.

Akhirnya, dia mengacungkan jari telunjuknya dan mengatakan──.

    “Papa pergi ke kuil, kan? Pasti Papa menggunakan sihir.”

    “Jadi begitu ya...”

Naoya teringat akan artikel tentang kuil yang ditunjukkan oleh Koyuki, yang terasa sangat mistis baginya. Tapi mungkin itu semua adalah kisah nyata.

Setelah itu, Naoya mencoba menggali lebih dalam dengan bertanya tentang keluarga gadis itu. Hobi, keahlian khusus, struktur keluarganya, dan sebagainya...

Hasilnya, tidak dapat dipungkiri bahwa yang diceritakan olehnya adalah Naoya dan Koyuki itu sendiri.

Naoya hanya bisa menutupi wajahnya dengan tangan dan mengeluh.

    “Dunia ini begitu luas...ternyata ada orang yang mirip dengan kita, ya.”

    “Papa itu ya Papanya Koharu. Terima aja deh.”

Gadis itu menegur Naoya dengan tegas.

    “Koharu juga awalnya bingung. Tiba-tiba ada di tempat asing, jadinya aku ketakutan. Tapi...pas tahu kalian itu Papa dan Mama, aku merasa aman!”

    “B-Begitu ya...”

Senyum yang terpancar di wajah gadis itu bahkan membuat matahari terlihat redup. Melihatnya, Naoya merasakan dorongan yang kuat untuk mengelus kepala gadis itu, namun ia mencoba menahan dorongan tersebut.

    Inikah naluri seorang ayah...

Naoya menelan ludahnya dan mengusir pikiran itu.

Fakta ini tidak akan membawa mereka kemana-mana. Dan untuk sekarang, ia tidak punya pilihan selain mengakui fenomena ini.

Sambil menghela napas, Naoya mengangkat jari telunjuknya.

    “Seandainya kau memang putri masa depan kami, maka kau harus kembali ke masa depan kan. Apa kau tahu caranya?”

    “Ndak. Tapi Papa pasti bisa menemukan caranya kan?”

    “Jangan bicara sembarangan. Aku belum pernah menghadapi fenomena supranatural seperti ini sebelumnya.”

    “Hee, Papa pernah melakukannya kok.”

    “Bentar. Masalah apa memang yang aku hadapi di masa depan...tidak, jangan kasih tahu aku. Kayaknya nanti aku malah menyesal.”

Naoya dengan cepat mengalihkan pandangannya dari gadis kecil yang tersenyum itu. Ia punya firasat bahwa dirinya akan melewati beberapa peristiwa luar biasa yang melebihi Housuke.

Naoya mencoba mengabaikannya, dan ia menatap ke langit.

    “Pada dasarnya, kenapa anak perempuanku di masa depan ini ada di sini...kalau memang Dewa pelakunya, apa yang mereka rencanakan?”

    “Nn, Koharu juga ndak tahu. Papa punya petunjuk?”

    “Aku tidak pernah meminta sesuatu yang konyol seperti itu kepada Dewa... Ah!”

Pada saat itu, Naoya tersadar. Ketika gadis itu muncul, angin kencang bertiup. Dan hal yang ia pikirkan sebelumnya adalah──.

    “Aku berharap Koyuki menerima lamaranku...”

    “Oh, jadi gitu...”

Gadis itu mengangguk dengan yakin. Lalu, ia memukul pelan dadanya sendiri.

    “Kalau gitu, Koharu harus jadi mak comblangnya Papa dan Mama kan! Serahkan saja padaku!” [TN: Mak comblang/cupid/wingman kali ya yg bisa kalian mengerti]

    “Tidak, aku tidak yakin...ya.”

Naoya hanya bisa menggerutu. Meskipun dia memiliki firasat akan hal itu, tapi dia tidak bisa memprediksi perkembangannya dengan pasti. Kedatangan seorang putri dari masa depan ke tokoh utama pria dan wanita yang hubungannya tidak berkembang──meskipun itu adalah plot yang klise, dia belum pernah membayangkan hal seperti itu akan benar-benar terjadi pada dirinya.

    Yah...perkara perannya dia, kita hanya bisa menunggu dan melihat dulu saja untuk saat ini.

Mungkin saja terjadi kesalahpahaman antara dirinya dan ‘anak perempuan dari masa depan’nya ini, bisa saja orang tua aslinya sedang mencarinya. Oleh karena itu, untuk saat ini, dia harus tetap diam dan mengamati.

    “Pokoknya...ini tetap jadi rahasia antara aku dan Koharu ya. Toh dia juga tidak akan percaya.”

    “Mn, oke deh.”

Dengan patuh, gadis kecil itu mengangguk lagi.

    “Tiap kali Koharu menebak isi pikirannya, Mama pasti kelihatan sedih terus bilang 'Kamu itu mirip ngeselinnya kayak dia ya...'. Makanya aku ndak akan bilang lagi!”

    “Oalah, ternyata menurun ya...”

Jika dia benar-benar anak perempuannya, Naoya menjadi takut bagaimana gennya diturunkan.

Sambil membicarakan hal itu, Koyuki sudah kembali dengan sebuah cangkir di tangannya. Meskipun dia seharusnya mengantri dalam antrean yang cukup panjang, dia terlihat ceria dan tidak terlihat lelah.

    “Maaf ya jadi menunggu! Nih minum mumpung masih panas.”

    “Ah, makasih, Ma... Onee-chan.”

Menerima minuman dari Koyuki, gadis kecil itu tersenyum canggung.

Tampaknya dia menjadi tegang karena takut membuat kesalahan setelah berjanji untuk merahasiakan hal ini.

Dia meniup cangkir yang masih beruap tersebut dan mengambil satu seruputan. Kemudian, matanya berbinar-binar dengan senang.

    “Enak sekali!”

    “Bagus deh. Oh, kalau kebanyakan, sisain saja sedikit. Pelan-pelan ya minumnya.”

    “Mn.”

Dengan wajah yang ceria, gadis kecil itu menyeruput cokelat panasnya dengan gembira. Ketegangannya segera melunak, dan Naoya juga ikut merasa lega.

Namun, tiba-tiba gadis kecil itu mengangkat wajahnya dan menawarkan minumannya kepada Koyuki.

    “Onee-chan juga nih.”

    “Ah, anak yang baik. Kamu mau membaginya dengan kami?”

Dengan senyuman lebar, Koyuki menerima cangkir tersebut dan menempelkan bibirnya.

    “Oke, Naoya-kun juga nih minum.”

    “Ah. T-Terima kasih.”

Naoya ikut meminumnya juga.

Melihat interaksi mereka, gadis kecil itu tertawa riang dengan polos.

    “Fufu... Ciuman tidak langsung ya!”

    “Haa...!?”

Koyuki terkejut mendengarnya, matanya terbelalak.

Ciuman tidak langsung seperti itu sudah menjadi hal yang biasa di kesehariannya. Jadi, itu bukanlah sesuatu yang menggetarkan hatinya lagi...tetapi Koyuki terkejut karena seorang gadis yang masih berusia belia mengetahui istilah tersebut.

Koyuki kemudian menatap gadis kecil itu.

    “Anak-anak jaman sekarang pintar sekali ya...Darimana kamu belajar kata-kata seperti itu?”

    “Karena Papa dan Mama selalu melakukannya. Mereka berciuman tiap kali Papa baru saja pulang ke rumah!”

    “Hee...sepertinya mereka pasangan yang sangat dekat, ya?”

    “I-Iya ya...”

Naoya dengan cepat mengalihkan pandangannya. Wajahnya hampir memerah. Ia membayangkan apa yang sudah mereka lakukan di hadapan anak perempuan mereka di masa depan.

    Tidak, belum bisa dipastikan kalau dia benar-benar anakku di masa depan...tapi jika dilihat secara objektif kemesraan itu rasanya agak sulit.

Meskipun hati Naoya tidak tenang, gadis kecil itu dengan senang bercerita tentang orangtuanya sambil tersenyum.

    “Papa seneng banget dicium, lho. Dan Mama selalu bilang 'Iya, iya, bagus deh' dengan kalem, padahal sebenarnya dia diam-diam tersenyum.”

    “Mama-san...entah kenapa rasanya agak sulit untuk mengabaikan cerita ini.”

Koyuki menggerutu dengan wajah serius. Sepertinya dia khawatir tentang masa depannya sendiri.

Dengan begitu, mereka bertiga menghabiskan minuman cokelat mereka. Minuman manis dan hangat membuat gadis kecil itu sepenuhnya pulih, wajahnya tampak lebih cerah.

    “Makasi ya minumannya!”

    “Iya sama-sama. Koharu-chan pintar sekali ya mengucapkan terima kasih.”

    “Ehehe, Mama yang ngajarin. Katanya kalau aku dikasi sesuatu, aku harus bilang terima kasih dengan benar.”

    “Benar itu, kamu punya orang tua yang baik ya.”

Koyuki tersenyum dan mengelus kepala gadis kecil itu.

Sepertinya apapun yang gadis kecil itu lakukan, Koyuki akan semakin menyukainya. Dia benar-benar sudah luluh dan sudah tidak ada lagi kecanggungan di ekspresi wajahnya. Biasanya, Naoya akan sedikit cemburu melihat hal ini, namun...

    Aku tidak boleh cemburu dengan anak perempuanku sendiri...

Jadi Naoya hanya bisa menerimanya.

Kemudian, gadis kecil itu turun dari bangku dengan cepat dan menarik tangan Koyuki dengan kuat. Dan dengan tangan satunya lagi, dia menunjuk ke berbagai permainan yang tersusun di taman.

    “Onee-chan, aku ingin main di sana!”

    “Eh...tapi orangtuamu pasti khawatir, lho. Ayo tunggu di sini saja ya.”

    “Yah! Bentar saja kok, boleh ya?”

    “Umm...tapi nanti repot lho kalau kita berpindah-pindah...”

Koyuki melirik sebentar ke arah pos polisi. Orang-orang yang lewat hanya melintas begitu saja, dan tidak ada tanda-tanda petugas polisi yang kembali. Ia juga khawatir karena belum melihat siapapun yang terlihat seperti gadis itu. Namun, di wajah Koyuki tergambar keinginan yang jelas, 'Aku ingin bermain dengannya!'.

Naoya pun tidak punya pilihan selain memberikannya solusi.

    “Bukankah kau meninggalkan catatan di pos polisi? Kalau memang orang tuanya datang, mereka pasti akan menghubungi kita.”

    “Be-Benar juga ya. Kalau begitu...sebentar saja ya, oke?”

    “Yay!”

Gadis kecil itu melompat dengan gembira. Dia kemudian menarik Koyuki dengan sangat kuat sehingga sulit untuk mempercayainya kalau dia masih seorang anak-anak.

    “Ayo! Onee-chan!”

    “Uwaaa, sabar, sabar!”

Koyuki mengikutinya dengan bahagia meski terlihat sedikit panik. Di tengah-tengah momen tersebut, anak perempuan itu menoleh ke belakang ke arah Naoya dan berkedip.

    (Aku akan membuat Papa dan Mama lebih dekat lagi! Itu sebabnya Koharu ada di sini!)

    (Hmm…tapi, bukankah kita sudah cukup dekat...?)

Cara mereka untuk berkomunikasi dengan jelas hanya melalui pandangan mata tersebut menunjukkan kemampuan yang sudah mengalir di dalam darah mereka. Ketiganya lalu menikmati taman kecil tersebut dengan sepenuh hati, menaklukkan berbagai mainan seperti seluncuran dan permainan rintangan, serta melihat ikan koi di kolam kecil.

Setelah sekitar tiga puluh menit bermain.

    “Serunya!”

    “Fufu, bagus deh.”

Melihat gadis itu tertawa dengan riang, Koyuki tersenyum lebar. Meskipun keduanya bermain dengan semangat hingga napas mereka terengah-engah, mereka terlihat sangat puas. Naoya pun terkikik melihat interaksi mereka berdua.

    Pada akhirnya dia itu masih anak-anak. Dia benar-benar lupa dengan tujuan awalnya.

Meskipun awalnya dia menyatakan ingin menjadi mak comblang bagi Naoya dan Koyuki, gadis itu sudah melupakan tujuannya dan terlarut dalam permainannya. Meskipun dia adalah seorang anak perempuan yang sangat peka, dia masih tampak seperti seorang anak seusianya dalam hal ini.

Sambil tersenyum, Koyuki menunjuk ke permukaan air.

    “Ah, lihat! Baru saja ikan koi yang cantik itu melompat!”

    “Eh, kok Koharu ndak lihat ya...mana, mana?” tanya gadis itu bingung, sambil mencari-cari di sekitar kolam.

Naoya berjongkok di sampingnya dan menunjuk ke kolam.

    “Lihat, di sekitar sana. Coba lihat baik-baik.”

    “Waa, ketemu! Ikannya warna putih dan merah ya!”

    “Ya. Indah, bukan?”

    “Mn!”

Gadis itu dan Koyuki saling memandang dan tertawa.

Melihat mereka, hati Naoya menjadi semakin hangat.

    Aku masih tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi...tapi, ini menyenangkan, bukan?

Dia masih mengingat betapa menyenangkannya mimpi tentang kehidupan setelah pernikahannya yang baru-baru ini ia alami. Namun, interaksi bersama gadis kecil itu juga terasa manis dan hangat.

Naoya merasa begitu damai di hatinya, akan tetapi tiba-tiba ia ditarik kembali ke dunia nyata.

    “Haa...Haa...Hachim”

    “Ah.”

Gadis kecil itu tiba-tiba bersin.

Tanpa mereka sadari, awan mulai menutupi langit yang seharusnya cerah. Sinar matahari melemah dan angin mulai bertiup kencang, sehingga suhu udara pun menurun.

Koyuki menatap wajah gadis itu dengan khawatir.

    “Sudah semakin gelap, kamu kedinginan ya? Kamu baik-baik saja?”

    “I-Ini cuma angin sepoi-sepoi kok. Koharu itu kuat, tahu.” ucap gadis itu sambil menggosok hidungnya. Dia mencoba untuk bersikap kuat.

Namun, tubuhnya masih gemetar dan wajahnya mulai pucat.

Koyuki dengan tergesa-gesa mencoba melepas jas sekolahnya.

    “Bentar ya, aku akan melepaskan jasku─”

    “Tunggu, tunggu. Nanti Koyuki bisa masuk angin.” potong Naoya, sambil sibuk mencari-cari di dalam tasnya.

Barang yang dicarinya pun segera ditemukan, syal berbulu berwarna biru tua dengan ujung yang tampak kusut. Dia mengambil syal itu dan mengalungkannya di sekitar leher gadis kecil itu.

    “Ini, pasti akan lebih hangat rasanya.”

    “Ini kan...”

Gadis itu memegang syal tersebut dengan kedua tangannya dan terlihat sedikit terkejut. Tak lama kemudian, pipinya kembali memerah.

Naoya merasa lega, namun Koyuki menatapnya dengan pandangan tajam.

    “Astaga. Kamu membawa syal itu ya. Padahal masih belum pantas untuk digunakan.”

    “Tapi, buktinya berguna kan sekarang?”

    “Iya sih, tapi...setelah aku lihat lagi, aku benar-benar tidak puas dengan hasilnya.”

Koyuki mengerutkan keningnya sambil memegang ujung syalnya dengan serius. Meskipun sudah satu minggu berlalu sejak ulang tahun Naoya, sepertinya dia masih belum sepenuhnya menerimanya.

Melihat sikap Koyuki, gadis itu menatap lurus ke arahnya.

    “Ini Onee-chan yang buat ya?”

    “Eh, iya...tapi aku belum begitu mahir, jadinya aku malu sama hasilnya...”

    “Ndak apa kok! Ini hangat sekali.”

Koyuki memalingkan wajahnya ketika menjawab sementara gadis itu berusaha meyakinkannya.

Gadis itu memeluk syalnya dengan bangga dan melanjutkan kata-katanya──.

    “Papa Koharu juga punya syal seperti ini. Mama yang buat dulu.”

    “Ah, itu sangat menggemaskan.”

    “Tapi, Mama sangat marah kalau Papa menggunakannya. Mama bilang, 'Aku kan sudah memberikanmu yang lebih bagus! Jadi buang saja hasil percobaanku yang gagal itu!', gitu.”

    “...Entah kenapa semakin aku mendengarkan tentang orang tersebut, rasanya semakin tidak asing.”

Koyuki menekan dahi yang berkerut dan menggerutu. Sepertinya dia mulai menyadari gambaran dirinya di masa depan.

Melihat Koyuki seperti itu, Naoya mengacungkan jempolnya dan membuat pernyataan.

    “Tentu saja, aku juga akan menjaganya dengan baik seumur hidupku.”

    “Tidak usah. Aku akan mengumpulkan yang lama tiap kali aku memberikanmu yang baru”, balas Koyuki dengan tatapan tajam.

Melihat reaksi Koyuki, gadis kecil itu terkikik.

    “Onee-chan mengatakan hal yang sama kayak Mama. Mama juga bilang begitu tapi sebenarnya dia sangat senang karena Papa menghargainya. Begitulah Mama.”

    “Bagaimana kamu tahu kalau Mama-san benar-benar senang...?”

    “Soalnya, Mama mencuci syal papa dengan sangat hati-hati. Ketika sendirian, Mama akan memeluknya dengan erat sambil tersenyum.”

    “Anak-anak memang jeli sekali, ya.”

    “Uhug... A-Aku sih tidak akan melakukan hal seperti itu!”

Meskipun Koyuki menyangkalnya dengan malu-malu, suaranya terdengar lemah, mungkin karena ia sendiri tidak begitu yakin dengan yang ia katakan. Sambil bergumam, pandangannya terlihat jauh.

Gadis itu hanya tersenyum saat melihat reaksi Koyuki.

Lalu ia menatap Naoya dan sedikit miringkan kepalanya.

    “Kalau gini, Koharu kayaknya tidak perlu datang ya? Soalnya kalian berdua sudah sangat dekat sejak awal.”

    “Benar kan yang ku bilang tadi.”

    “Apa yang kalian bicarakan?”

Koyuki terlihat bingung. Namun, sepertinya dia tiba-tiba tertarik pada hal lain. Dengan wajah bersemangat, dia bertanya secara diam-diam kepada gadis itu.

    “Oh iya... Papa dan Mama Koharu-chan itu mesra banget ya?”

    “Mn! Semua orang bilang kalau mereka terlihat mesra sekali.”

    “Aku harap itu adalah pujian...”

Koyuki tertawa kecil sambil berpikir, 'Kami juga sering mendengar hal yang sama...'.

Lalu gadis itu terus berbicara dengan gembira.

    “Papa itu sayang banget sama Mama, dan Mama juga sayang banget sama Papa. Jadi, Koharu juga sayang banget sama mereka!”

    “Fufu, bagus deh. Jadi, mereka berdua juga pasti sayang dengan Koharu-chan kan.”

    “Mn! Koharu tahu itu kok.”

Gadis itu tersenyum tanpa beban. Lalu dia memandang wajah Koyuki dan dengan polosnya dia bertanya──.

    “Onee-chan sayang ndak sama Onii-chan?”

    “...Eh?”

Koyuki pun terlihat bingung, pertanyaan tersebut sangat tidak diduga olehnya. Namun, dengan segera dia berusaha mengembalikan ketenangannya dan menyisir rambutnya sambil tersenyum dingin.

    “Apa maksudnya itu... Tentu saja tidak mungkin aku suka dengan orang yang membosankan sepertinya. Hari ini kebetulan saja kita lagi berdua──”

    “Benarkah...? Padahal aku ingin Onee-chan bisa akrab sama...hiks”

    “Eeeh!? Ma-Maafin aku, Koharu-chan, jangan menangis, ya!?”

Koyuki dengan mudah tertipu oleh air mata buaya dari gadis kecil tersebut, dan topeng kuuderenya pun terlepas dengan seketika.

Melihat Koyuki yang bingung, Naoya mencoba memberikan saran padanya.

    “Koyuki, bukankah sebaiknya kau jujur saja?”

    “K-Kamu kira ini tidak ada hubungannya denganmu...?!”

Wajahnya memerah dan dia gemetar, tapi sepertinya dia menyadari bahwa tidak ada jalan lain.

Dia mengambil napas dalam-dalam, mengeluarkannya, dan dengan tegas, dia menyatakannya dengan suara yang pelan.

    “Aku...suka...tidak, aku mencintainya!”

    “Begitu ya...”

Gadis itu pun berhenti pura-pura menangis dan tersenyum.

    “Kalau gitu, baik-baik sama Onii-chan ya seterusnya.”

    “E-Eh...kenapa memangnya?”

    “Kenapa ya. Pokoknya janji ya?”

    “...Tidak.”

Setelah ragu sejenak, Koyuki menggelengkan kepalanya dengan perlahan.

Dia menatap mata gadis itu dan mengungkapkannya dengan tulus.

    “Tidak perlu janji. Soalnya kita akan selalu dekat kok.”

    “Mn. Koharu juga tahu itu kok.”

Gadis itu menganggukkan kepalanya dengan puas.

    “Tapi, sejujurnya, aku ingin kalian berdua lebih dekat lagi.”

    “Eh, le-lebih dekat lagi...? Aku harus apa...”

    “Nah, itu...Ah!?”

Sambil tersenyum nakal, gadis itu mencoba melanjutkan, tetapi tiba-tiba dia membuka matanya lebar dan berteriak.

Dia menunjuk lurus ke arah keramaian.

    “Itu Papa dan Mama!”

    “Eh!? D-Dimana mereka?”

    “Di situ!”

    “Kok aku tidak bisa melihatnya ya...?”

Bukan hanya Koyuki, Naoya pun juga sampai menyipitkan matanya dan mencoba melihat ke arah tersebut, tetapi tetap saja mereka tidak dapat melihat sosok yang ia maksud.

    Tidak...mungkinkah?

Di seberang kerumunan orang-orang yang berlalu lalang tersebut, ada dua orang yang berhenti. Meskipun sosok mereka tidak jelas, mereka terlihat seperti pasangan pria dan wanita dewasa yang sedang menatap ke arah mereka.

Gadis itu melepas syal di lehernya dan memberikannya kepada Koyuki.

    “Nah, kalau gitu, Koharu pergi dulu ya! Makasi cokelat panas dan syalnya!”

    “Eh, iya. Berhati-hatilah, oke?”

Lalu gadis itu tersenyum pada Naoya.

    “Semoga berhasil, Papa!”

    “Ah, iya aku pasti akan berusaha keras kok.”

Naoya melambaikan tangannya, dan gadis itu berlari dengan cepat.

Dalam sekejap, dia menghilang di balik kerumunan orang-orang.

Tidak lama kemudian, di balik kerumunan orang-orang itu, Naoya melihat gadis itu sedang bercanda sambil digendong di pundak orang dewasa tersebut.

Saat sosok mereka kian menjauh, Naoya hanya melihatnya dengan tatapan kosong──.

    “Halo, halo, apakah kalian berdua baik-baik saja?”

Seseorang menggoyang bahu mereka dan membangunkan mereka.

    “...Ya?”

    “Muu, lima menit lagi...eh?”

Di samping Naoya, Koyuki juga membuka matanya.

Seorang pria paruh baya membangunkan mereka berdua. Ia mengenakan kimono yang rapi, tampak seperti seorang pendeta kuil. Pria itu melihat Naoya dan Koyuki yang terkejut, dan merasa lega.

    “Baguslah, kalian sudah bangun. Aku khawatir soalnya kalian berdua cukup lama tertidur di bangku ini. Karena takutnya kalian nanti sakit, jadinya aku membangunkan kalian.”

    “B-Begitu ya... Terima kasih banyak.”

Naoya hanya bisa membungkuk dengan ragu.

Dia melihat sekeliling lagi. Dan ternyata mereka masih berada di dalam lingkungan kuil, dengan Naoya dan Koyuki duduk berdampingan di bangku di sudut kuil. Kuil itu dipenuhi dengan pengunjung dari berbagai usia, baik pria maupun wanita. Ada yang sedang khusyuk berdoa, ada yang berebut menarik undian keberuntungan, ada yang menulis permohonan di ema, dan lainnya. Meskipun tidak langsung menyadarinya karena suasananya yang begitu ramai, jelas mereka berada di kuil pernikahan tempat Naoya dan Koyuki berdoa sebelumnya.

    “Umm...apakah benar ini kuil pernikahan...?”

    “Iya, benar. Kuil ini akan ditutup pada malam hari, jadi sebaiknya kalian segera berdoa.”

Pria itu menganggukkan kepalanya dengan ringan.

    “Baiklah, aku harus pergi sekarang. Hari ini lebih ramai dari biasanya, jadi sibuk sekali rasanya sejak pagi.”

    “Ah...iya, terima kasih atas kerja kerasnya.”

Naoya tersenyum canggung dan melihat pria itu pergi. Kemudian dia melihat sekeliling lagi dan menghela napas panjang.

    “Entah kenapa...rasanya aku bermimpi aneh.”

    “...Aku juga.”

Koyuki menggosokan matanya sambil menggelengkan kepalanya dengan ekspresi bingung.

Tampaknya dia juga memimpikan hal yang sama dengan Naoya.

    Sudah berakhir ya mimpinya...aku benar-benar tidak bisa menebaknya.

Naoya bahkan tidak tahu sejak kapan mimpi itu dimulai. Mimpi tentang anak perempuannya di masa depan yang datang kepada mereka adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dimengerti.

    Yah, setidaknya itu adalah mimpi yang indah.

Meskipun semua itu hanya mimpi, kehangatan yang tersisa di hatinya terasa begitu nyata.

Setelah menghayatinya sejenak, Naoya meregangkan tubuhnya.

    “Yah, ya sudahlah. Ayo kita berdoa sekarang.”

    “Ah...tu-tunggu!”

Ketika Naoya hendak bangkit, Koyuki dengan cepat menarik lengan bajunya. Dalam posisi duduk di bangku, dia membungkuk dengan malu-malu.

    “Umm, Naoya-kun...itu...ada yang ingin kutanyakan padamu──”

    “Aku juga sangat mencintai Koyuki, iya kan?”

    “...Haaa!?”

Naoya menjawabnya begitu saja, dan setelah beberapa saat Koyuki menjerit. Dalam sekejap, wajahnya memerah seperti buah yang matang. Uap keluar dari kepalanya dan dia mengangkat kepalanya untuk memandang Naoya.

    “Aku bahkan belum bertanya padamu! Menunggu seseorang menyelesaikan pertanyaannya itu etika, tahu!”

    “Maaf, maaf. Tiba-tiba rasanya aku ingin mengatakannya.”

    “Astaga, kamu ini lho...”

Koyuki cemberut dan memalingkan wajahnya. Meskipun dia terlihat kesal, uap yang tadi keluar dari kepalanya sudah menghilang sepenuhnya, dan dia memancarkan aura kebahagiaan yang samar.

    Karena dia sudah mengatakannya sendiri, aku jadi ingin mengatakannya juga. Meskipun itu hanya di dalam mimpi.

Naoya merasakan hangat di dalam hatinya.

Sementara itu Koyuki, dengan masih memalingkan wajahnya, berbicara.

    “Bulan depan itu...hari ulang tahunku, kan?”

    “Hee?”

    “Di hari ulang tahunku, kalau kamu bisa membuatku bahagia...aku akan mempertimbangkan soal itu.”

Suara Koyuki begitu pelan hingga hampir tenggelam di antara suara pengunjung lainnya. Namun, Naoya dapat mendengarnya dengan jelas. Setelah beberapa detik mencoba memahaminya, wajah keduanya pun memerah.

    “Tiba-tiba banget ya...padahal sebelumnya kau terus menentangnya.”

    “Ya maaf!? Aku baru saja berubah pikiran.”

Koyuki lalu berdiri dari bangku. Dia berjalan ke arah Naoya dengan wajah tertunduk, dan kemudian──.

    “Rasanya aku sudah berjanji agar kita bisa lebih dekat lagi...”

Koyuki menggumamkannya saat ia melewati Naoya.

Naoya pun seketika terdiam, dan ia berdiri di tempat untuk beberapa saat. Namun, dengan segera ia sadar akan hal yang harus ia lakukan selanjutnya. Tidak peduli jika itu hanyalah mimpi──.

    Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang dia berikan padaku!

Naoya segera mengejar Koyuki dengan tergesa-gesa dan dengan tegas menyatakan,

    “Baiklah. Kalau begitu, aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku akan merayakan ulang tahun Koyuki dengan sungguh-sungguh dan membuktikan kalau diriku pantas sebagai calon pengantinmu.”

    “J-Jangan terlalu bersemangat gitu...sewajarnya saja ya, oke?”

    “Mn. Ayo membangun keluarga yang hangat bersamaku, Koyuki.”

    “Hii! Serius banget sih kamu...! Kenapa kita tidak berdoa dulu saja sekarang!?”

    “Oke.”

Dengan begitu, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kuil dan berdoa sekali lagi. Saat membuka dompet di depan kotak sumbangan, Koyuki terkejut.

    “Ah? Memangnya aku minum coklat panas hari ini?”

    “...Haa?”

Naoya dengan hati-hati memalingkan wajahnya dan memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter ||  

Post a Comment

Post a Comment

close