-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Dokuzetsu Kuudere Bishoujo Volume 5 Chapter 8

Chapter 8 - Akhir dari Persiapan yang Matang

Perjalanan sekolah berakhir dalam sekejap mata, dan musim dingin pun dengan segera tiba. Setelah acara terbesar di tahun ini selesai, semangat para siswa langsung mengendur, dan mereka langsung dihadapkan dengan ujian reguler. Naoya berhasil meningkatkan nilai-nilainya, mungkin karena ia belajar didampingi dengan Koyuki. Dan tentu saja Koyuki masih menjadi peringkat satu di kelasnya kali ini, dan dia merasa bangga.

Setelah itu, semuanya berkumpul untuk merayakan Natal. Koyuki merasa terharu karena bisa merayakan Natal bersama teman-temannya dan dia sangat bersemangat saat saling bertukar hadiah.

Sambil tersenyum padanya, Naoya sedang mempersiapkan sesuatu──dan tanpa disadari, hari yang dinantikan telah tiba.

    “Oh, sini, sini!”

Seperti biasa, mereka bertemu di gerbang stasiun tempat mereka bertemu saat hendak berangkat ke sekolah. Saat Naoya sedang bengong menunggunya, dia melihat Koyuki di sisi seberang gerbang. Koyuki mengenakan mantel yang tebal, dan dari bawah mantel itu terlihat kakinya yang ramping dibalut dengan stoking hitam. Ia terlihat sangat ceria, seolah-olah sedang bernyanyi riang. Namun, saat ia menyadari keberadaan Naoya, dia membeku.

Hari ini adalah hari libur, dan karena bertepatan juga dengan hari Natal, stasiun dipenuhi oleh orang-orang. Ada yang terlihat bersemangat, gelisah, tidak tenang, saat menunggu partner mereka datang. Koyuki melewati kerumunan orang-orang dengan kecepatan tinggi dan menghampiri Naoya.

    “Yo. Selamat pagi, Koyuki. Cepat sekali ya datangnya.”

    “K-Kenapa kamu sudah ada di sini...!”

Ketika Naoya mengangkat tangannya untuk menyambutnya, Koyuki menatapnya dengan wajah memerah. Kemudian ia menunjuk ke papan pengumuman berlampu neon yang tergantung dari langit-langit. Waktu yang tertera di sana menunjukkan pukul 10.30.

    “Janjiannya jam 11, kan? Makanya aku datang agak awal... Kapan kamu sampai di sini?”

    “Nn, sekitar tiga puluh menit yang lalu, kalau tidak salah ya.”

    “Jadi kamu datang satu jam lebih awal!? Bukannya itu terlalu cepat ya!?”

Koyuki memegangi kepalanya dan mengendus dengan jengkel.

    “Hmph, kamu seperti anjing yang tidak bisa 'menunggu'. Lucu sekali kamu begitu senang melihatku.”

    “Hahaha, aku tidak bisa membantahnya meskipun kau bilang begitu.”

Naoya tertawa dengan santai.

Naoya datang lebih awal karena persiapannya berjalan lebih lancar dari dugaannya...tapi mungkin terlalu dini untuk mengatakannya sekarang. Jadi, dia mencoba untuk menutupinya dengan mengatakan hal lain yang juga ingin ia katakan.

    “Soalnya hari ini kan ulang tahun Koyuki. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari ini buatku selain dengan merayakannya denganmu.”

    “...Oh, begitu.”

Koyuki menurunkan bahunya dan menghela napasnya dengan murung. Sepertinya ia sudah kehabisan tenaga untuk menyindir atau menggertaknya.

Hari ini adalah tanggal 25 Desember.

Hari Natal dan juga ulang tahun Koyuki.

Bagi Naoya, ini adalah tanggal yang paling istimewa di dunia.

Ini juga merupakan hari yang spesial bagi Koyuki. Tapi ia malah menggelengkan kepalanya dengan ekspresi putus asa di wajahnya, seolah ia sedang berada di pemakaman keluarganya.

    “Ini akan terus berlanjut sepanjang hari ini... Hei, aku sudah kenyang nih. Aku boleh pulang ya?”

    “Tentu, tapi tidak ada orang di rumahmu sekarang. Kau bakal kesepian kan kalau sendirian di hari ulang tahunmu?”

    “Ugh... Kenapa Naoya-kun bisa tahu jadwal keluargaku!?”

Dan mereka pun memulai kencan perayaan ulang tahun mereka.

Mereka berjalan beriringan di jalur kecil yang biasa mereka lewati dari stasiun. Langit tertutup oleh awan tebal, dan angin dingin mengangkat dedaunan kering dari tanah. Meskipun cuaca sangat dingin, keduanya sudah berpakaian cukup tebal sehingga mereka terlindungi dengan baik dari hawa dingin tersebut.

Koyuki menatap leher Naoya dengan ekspresi yang begitu kesal.

    “Akhir-akhir ini, kamu terus aja memakai syal itu... Apakah kamu tidak punya syal lain?”

    “Ada sih, tapi ini yang paling hangat buatku. Bagus, kan.”

    “Hmph...kamu ini emang benar-benar aneh, bukan?”

Koyuki mengangkat bahunya seolah tidak percaya. Jelas terlihat bagian hidungnya yang agak memerah bukan hanya dikarenakan hawa yang dingin.

    “Koyuki cantik sekali hari ini. Mantelnya sangat cocok denganmu.”

    “Oh, bahkan Naoya-kun yang tidak punya selera yang bagus bisa mengerti ya. Bagus kan? Ojii-chan yang membelikannya beberapa waktu lalu.”

Dengan bangga, Koyuki berputar dan memperagakan peragaan busana sederhana. Ketika dia bergerak, mantelnya terbentang dan memperlihatkan dress putih yang ia kenakan di dalamnya. Ditambah lagi dengan stoking hitam yang ia kenakan, kombinasi semua itu terlihat sangat cocok untuknya. Namun, Koyuki tiba-tiba memasang wajah cemberut.

    “Ojii-chan, Papa dan Mama katanya ada urusan dan tidak akan pulang sampai malam. Mereka meninggalkanku begitu saja, kemana sih memangnya mereka.”

    “Yah, ini hari Natal kan, jadi mau bagaimana lagi”

    “Yui-chan dan Emi-chan juga katanya ada acara... Huff.”

Koyuki terlihat tidak senang dan menjatuhkan bahunya. Padahal di hari Natal sebelumnya, semuanya merayakan ulang tahun Koyuki. Karena itu, ia jadi merasa sedih ditinggalkan oleh semuanya hari ini.

Koyuki lalu menempelkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Naoya dan menyatakan keinginannya dengan nada tinggi.

    “Jadi, hari ini, kamu harus merayakan ulang tahunku dengan sungguh-sungguh untuk mewakili yang lainnya. Kalau tidak, aku tidak akan memaafkanmu, oke?”

    “Iya, aku tahu kok. Btw, kalau memang aku gagal, apa yang akan terjadi?”

    “Eh, iya ya. Aku akan membatalkan kencan kita di tengah jalan...lalu aku akan memakan kue dan ayam sendirian di dalam rumah yang gelap. Gimana, itu pasti membuatmu merasa tidak enak, kan?”

    “Iya rasanya sampai mual mendengarnya...”

Meskipun Naoya telah mempersiapkan semuanya dengan matang, rasa cemas yang kuat menyerangnya. Namun, ia segera menepis kecemasan itu dan dengan tegas memukul dadanya.

    “Tenang saja. Aku sudah merencanakan semuanya dengan baik, tidak ada yang terlewatkan.”

    “Hmph. Yah, tapi aku tidak menaruh harapan yang tinggi sih.”

Sambil memberikan jawaban yang dingin, Koyuki dengan gelisah melihat ke sekelilingnya. Mereka berjalan di jalanan kecil yang biasa mereka lalui menuju distrik perbelanjaan.

    “Jadi, kita mau ke mana sebenarnya? Kamu bilang aku bisa mempercayaimu soal itu.”

    “Oh, kita hampir sampai.”

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di tujuan mereka, toko buku Antik Akaneya yang terletak di pinggiran distrik perbelanjaan. Biasanya, mereka dapat melihat rak-rak buku di dalam toko melalui dinding kaca, tetapi hari ini tirai toko ditutup.

    “Oh? Apakah Kirihiko-san tidak ada di rumah?”

    “Yah, dia kan juga seorang pekerja, jadi pasti punya acara juga.”

    “Soalnya hari Natal ya... Jadi, apakah ini tujuan kita?”

    “Iya. Ini titik awalnya.”

Naoya tersenyum pada Koyuki yang memiringkan kepalanya.

Namun, tujuannya bukanlah toko buku Akaneya itu sendiri, melainkan jalan di depannya. Di depan toko, terdapat CCTV palsu yang dipasang pada awal musim semi, yang menghadap ke arah Naoya dan Koyuki sekarang.

    “Kau tahu apa yang terjadi di tempat ini?”

    “...Ini tempat kita pertama kali bertemu, kan?”

Koyuki melihat sekeliling lagi. Pada musim semi tahun ini, tepat di tempat mereka berdiri sekarang, Koyuki sedang digoda oleh seorang pria. Saat itu, Naoya secara kebetulan datang dan membantu Koyuki. Begitulah cara mereka bertemu.

Karena membuatnya bernostalgia, Koyuki menghembuskan napas kecil dengan ringan.

    “Rasanya seperti sudah lama sekali ya...”

    “Yah, soalnya sejak saat itu, banyak sekali hal yang terjadi.”

Dari musim semi hingga musim dingin, ada banyak sekali acara dan serangkaian peristiwa. Bahkan sulit rasanya untuk mengingat bagaimana semuanya dimulai. Namun, jika mereka memikirkannya kembali, semuanya terekam jelas di ingatan mereka.

Sama halnya dengan Naoya, Koyuki juga seolah sedang memandang ke suatu tempat yang jauh, dengan mata setengah terpejam dan pandangan yang kosong.

    “Oh iya, btw, pria nakal itu mengambil cuti kuliah dan kembali ke kampung halamannya sekarang. Katanya, dia mengubah pikirannya dan membantu toko keluarganya.”

    “Dari mana kamu bisa tahu itu?”

    “Oh, kau tertarik mendengarnya? Kalau begitu, mulai dari saat aku berhasil menemukan di mana dia kuliah──”

    “Oke, sudah cukup.”

Koyuki menggelengkan kepalanya dengan jengkel.

Ternyata pria itu sudah sering menggoda orang-orang, dan hanya dengan sedikit penelusuran, banyak kasus buruk lainnya yang terungkap. Meskipun Naoya berhasil menyingkirkannya dua kali, kemungkinan dia muncul kembali di hadapan Koyuki tidaklah nol──jadi Naoya dengan hati-hati mengamati pergerakannya.

    Yah, berhasil tidak ya kalau ku buat seolah-olah aku kebetulan bertemu dengannya beberapa kali.

Pria itu pun akhirnya kena mental sehingga ia berlari kembali ke rumah orang tuanya.

Namun, mengesampingkan hal tersebut,

    “Ini kesempatan yang bagus, kan? Menurutku kita bisa mengunjungi tempat-tempat yang  berkenang buat kita.”

    “Hmph, bukan ide yang buruk untukmu. Tapi, untuk sebuah ulang tahun, bukankah ini terlalu sederhana?”

    “Anggap aja ini hidangan pembukanya. Hadiah utamanya sudah disiapkan terpisah kok.”

    “Hidangan pembuka ya... Oke deh, aku akan menantikan hidangan utamanya.”

Dengan demikian, mereka mulai mengunjungi berbagai tempat.

Kedai crepes yang mereka kunjungi bersama Yui dan Tatsumi, mall tempat mereka berkencan untuk pertama kalinya, kolam renang, sekolah, taman...dan sebagainya. Meskipun tujuan mereka terbatas hanya di lingkungan sekitar, mereka tetap mengunjungi banyak sekali tempat.

Koyuki menghela napas saat duduk di bangku taman.

Di danau yang terbentang di depan mereka, mereka baru saja naik perahu bersama beberapa waktu yang lalu.

    “Entah kenapa, di mana pun rasanya penuh dengan kenangan bersama Naoya-kun.”

    “Iya ya. Aku sendiri terkejut waktu memikirkan rute ini.”

Naoya mengangguk setuju.

Di daerah yang tidak begitu kecil ini, ada banyak tempat yang menjadi kenangan bagi Koyuki. Sejak mereka bertemu, musim belum berlalu dalam satu putaran penuh. Namun, kota ini sudah dipenuhi dengan kenangan mereka. Itu adalah bukti dari waktu yang sudah mereka habiskan bersama.

Naoya merasakan suatu kehangatan di hatinya, tetapi Koyuki menatapnya dengan pandangan tajam.

    “Bagus sih mengunjungi tempat-tempat yang berisi kenangan begini... Tapi apakah kamu benar-benar sudah menyiapkan hadiah? Kamu tidak sedang mengulur-ulur waktu karena belum memikirkannya, kan?”

    “Tidak mungkin. Aku sudah mempersiapkannya dengan matang.”

Naoya mengulurkan tangan kanannya kepada Koyuki, seolah-olah ia adalah ksatria yang akan mengawal seorang putri. Dengan senyuman lembut, ia mengajaknya ke medan pertempuran.

    “Selanjutnya adalah tujuan terakhir kita. Hanya beberapa menit berjalan dari sini kok. Jadi, maukah kau mengikutiku?”

    “Muu...Tidak ada pilihan lain kan. Aku akan menemanimu lebih lama lagi.”

Koyuki yang dengan enggan──walaupun di dalam hatinya berdebar-debar──menggenggam tangan Naoya.

Kemudian mereka berjalan dengan saling berpegangan tangan.

Sesuai dengan yang dikatakan Naoya, dalam beberapa menit, atap segi tiga yang mencolok mulai terlihat.

    “Kita sudah sampai. Ini tempatnya.”

    “Eh...gereja?”

Mereka disambut oleh sebuah gereja kecil.

Tiga atap segitiga yang saling terhubung, dengan sebuah kubah setengah lingkaran di bagian belakang. Rerumputan di sekililingnya dan sinar matahari yang menyelinap dari celah awan membuat warna putih bangunan itu semakin menonjol.

Meskipun gerbangnya terbuka, tidak ada orang lain selain Naoya dan Koyuki di sana.

Naoya menarik tangan Koyuki yang menatap ke arahnya.

    “Ayo, kita masuk. Dari luar memang terlihat indah, tapi bagian dalamnya juga luar biasa.”

    “Eh!? A-Apa boleh kita masuk begitu saja...?”

    “Boleh kok. Aku sudah dapat izinnya, jadi jangan khawatir.”

    “Benarkah...?”

Mereka menaiki tangga putih dan membuka pintu depan yang tinggi.

Kemudian, Koyuki menghela napas panjang.

    “Wah...indah sekali.”

Di sebelah kanan dan kiri, terdapat bangku panjang yang tersusun rapi, dan di tengah terdapat karpet merah menyala. Di belakangnya terdapat mimbar gereja dan pipe organ (semacam piano yang ada di gereja). Di belakang salib yang besar terdapat jendela kaca patri yang berkilauan, memancarkan bayangan berwarna-warni ke lantai.

    “Eh, apa benar kita boleh melihat-lihat? Sepertinya upacara pernikahan akan dimulai di sini...”

Koyuki bertanya dengan ragu dan suara pelan.

Bunga putih menghiasi setiap bangku panjang, dan tempat ini dipenuhi dengan bunga-bunga. Lampu-lampunya juga menyala, sehingga tidak mengherankan jika suara musik yang agung akan segera terdengar.

Namun, Naoya dengan santai berkata,

    “Aku sudah bilang kalau sudah dapat izinnya kan. Kau boleh melihat-lihat lebih dalam lagi kok.”

    “Oke deh, kalau kamu bilang begitu...”

Dengan penuh antusias, Koyuki berjalan ke bagian dalam gereja.

Naoya mengikutinya dengan perlahan. Dia diam-diam mengambil sesuatu yang dia sembunyikan di belakang kursi, menyimpannya di belakang punggungnya──ia sudah siap sekarang.

Di dalam gereja yang sunyi, hanya langkah kaki kedua pasangan tersebut yang terdengar.

Berdiri di depan salib, Koyuki menatapnya dengan tatapan kosong.

Dengan nada ringan, Naoya memulai berbicara.

    “Koyuki, kau sudah mengatakannya saat perjalanan sekolah beberapa waktu lalu. Kalau kau puas di hari ulang tahunmu, kau akan mempertimbangkan lamaranku kan.”

    “I-Iya...”

Koyuki dengan perlahan memalingkan wajahnya ke arah Naoya.

Ekspresinya agak tegang. Seolah perasaan gugup, harapan, dan kecemasan bercampur di hatinya.

Di hadapannya, Naoya langsung berlutut tanpa ragu.

    “Itu sebabnya aku telah berpikir dengan keras, tentang hadiah ulang tahun terbaik yang bisa aku berikan padamu. Aku merenunginya, merenunginya, dan terus merenunginya... dan akhirnya, aku menemukan satu-satunya pilihan.”

Dia mengulurkan sesuatu yang telah ia sembunyikan di balik punggungnya, dan mata Koyuki pun terbuka lebar. Sebuah buket bunga besar, dipenuhi dengan bunga berwarna putih bersih yang mekar dengan indahnya.

Dalam situasi seperti ini, hanya ada satu hal yang bisa diucapkan.

    “Koyuki! Aku akan menghabiskan sisa hidupku untukmu! Jadi, menikahlah denganku!”

    “Dasar bodoh!!”

Suara berderak dengan volume tinggi bergema di dalam gedung. Suaranya begitu keras hingga khawatirnya jendela kaca patrinya akan retak. Karena mendengar suara itu dari jarak dekat, Naoya menutup telinganya dan menekan dahinya secara tidak sengaja.

Namun, kerusakan yang dialami Naoya tidak terlalu parah. Sementara Koyuki, wajahnya memerah jauh dari yang pernah terlihat sebelumnya karena menerima kata-kata tersebut secara langsung. Semua darah di dalam tubuhnya sepertinya sudah mendidih. Koyuki mengangkat wajahnya dengan mata terbelalak dan mulai berteriak.

    “Jangan konyol, apa maksudnya hadiah ulang tahunmu itu seluruh hidupmu...kok bisa kamu sampai berpikiran begitu!? Yang aku berikan kepadamu, Naoya-kun, hanya sebuah syal yang jelek! Itu sama sekali tidak sebanding! Apa kamu mengerti istilah 'pertukaran yang setara'!?”

    “Itu adalah hadiah yang sudah Koyuki buat dengan sepenuh hati. Pantas untuk dipertaruhkan dengan hidupku, kan?”

    “Aku benar-benar butuh obat untuk menyembuhkan kebodohanmu...!”

    “Lebih penting lagi, bagaimana dengan jawabanmu? Pose ini cukup melelahkan untuk tanganku, lho.”

    “M-Mana aku tahu...”

Momentum awal sudah lenyap, pada saat itu, Koyuki tampak benar-benar kewalahan. Ekspresinya terlihat seperti binatang kecil yang terpojok dan sudah mengerti bahwa ini adalah akhir dari hidupnya. Matanya berkaca-kaca, dan bahkan ujung hidungnya memerah. Naoya merasa sangat puas bahwa dia lah yang telah menjadi penyebabnya. Perasaan euforia yang mendebarkan menjalar di punggungnya.

Koyuki menjatuhkan bahunya.

    “Sungguh, kamu ini benar-benar bodoh dan tidak bisa diatur...”

Kemudian, dia menghentikan kata-katanya dan menghela napas panjang seolah-olah ingin mengeluarkan semua udara dari paru-parunya. Suara napas tersebut mengisi keheningan di gereja.

Kemudian dia mengambil napas kecil dan berbicara dengan nada pasrah.

    “Tapi...sudah nasibku untuk jatuh cinta dengan orang sebodoh ini.”

    “Jadi, Koyuki...!”

    “Ah, mou, iya aku mengerti.”

Koyuki, yang merasa putus asa, mengambil buket bunga dari tangan Naoya. Dia memikulnya di bahunya dengan pose gagah berani dan dengan nada yang dingin ia mengatakan──.

    “Kalau kamu sudah mengatakannya sebanyak itu, maka ayo kita menikah. Aku akan menerima hidupmu.”

    “Koyuki...!”

Naoya bangkit dengan semangat dan meraih tangan Koyuki. Air matanya secara alami mengalir di matanya, suaranya menjadi serak dan gemetar, tetapi dia berhasil mengucapkan kata-kata terima kasihnya.

    “Terima kasih! Koyuki! Aku merasa sangat bahagia hari ini, ini adalah momen paling bahagia di dalam hidupku...!”

    “Kamu ini berlebihan sekali, tahu... Itu hanya sebuah janji.”

Koyuki tersenyum keheranan. Rona merah di wajahnya sudah mulai mereda. Lalu dia menggembungkan pipinya yang berubah menjadi warna pink samar dan berbicara dengan nada marah.

    “Aku hanya merasa sedih karena kamu sudah mengatakannya sejauh itu. Kamu mengerti, kan?”

    “Mn, tentu saja. Aku sangat bahagia karena Koyuki sudah mau berjanji untuk menikah denganku.”

    “Ya ampun... Sekarang aku bingung, sebenarnya ini hadiah untuk siapa.”

Koyuki tersenyum kecil sambil memeluk buket bunga yang besar tersebut dengan lembut. Setelah sejenak menikmati aromanya, dia tiba-tiba seperti mengingat sesuatu dan mengangkat kepalanya.

    “Oh, Naoya-kun. Jangan bilang siapa-siapa kalau aku sudah setuju ya?”

    “Eh, tidak dengan siapa pun? Termasuk keluarga dan teman-temanmu?”

    “Tentu saja. Aku benar-benar ingin menghindari rumor di sekolah. Kalau Yui-chan dan yang lainnya tahu, aku tidak tahu apa yang akan mereka katakan.”

    “Begitu ya...”, jawab Naoya dengan serius.

Dia tahu bahwa Koyuki akan mengatakan itu, dan jelas dia menerima lamarannya karena tidak ada orang lain di tempat ini kecuali mereka berdua. Jadi──Naoya sedikit menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

    “Maaf. Tapi sudah terlambat.”

    “Hee...?”

Koyuki mengedipkan matanya pada saat itu. Dan tiba-tiba...

    Bumm!

    Selamat, kalian berdua!”

    “Kyaa!?”

Pintu di sebelah kiri dan kanan terbuka, dan kembang api meledak dengan meriah. Koyuki terkejut dan berjongkok, tapi segera menyadari identitas pengunjung tak terduga itu dan tersentak.

    “...Yui-chan, Emi-chan!? Dan bahkan Yuna-chan juga!?”

    “Selamat ulang tahun dan selamat bertunangan, Koyuki-chan.”

    “Selamat! Terima kasih sudah mengundang kami ke upacara ini!”

    “Uuu... Syukurlah... Ah, sebagai teman masa kecilmu, aku ikut merasa senang...”

Yui tersenyum lebar, sementara Emika menangis tersedu-sedu. Ketiganya memegang kembang api di tangan mereka dan mengenakan gaun pesta. Dan seolah menjadi aba-abanya, orang-orang mulai memasuki gereja satu per satu.

    “Selamat atas pertunangannya, Koyuki-sama! Aku telah menyaksikan keberanianmu!”

    “Tidak ku sangka Koyuki akan menemukan kebahagiaannya saat aku masih hidup... Aku benar-benar masih hidup, kan?”

    “Nyann.”

    “Maaf sudah membuatmu terkejut, Koyuki-chan. Naoya kami memang keras kepala kalau dia sudah membuat keputusan.”

Teman-teman, keluarga Shirogane (termasuk kucing peliharaan mereka, Sunagimo, di dalam kandang peliharaannya), dan keluarga Sasahara silih berganti datang. Hampir semua orang yang bisa disebut sebagai 'kerabat' mereka berkumpul.

Selain itu, semuanya mengenakan pakaian formal.

    “N-na, na, na, na...!?”

Melihat pemandangan yang luar biasa itu, Koyuki gemetar tanpa terkendali. Hanya kebisingan seperti radio rusak yang keluar dari mulutnya yang setengah terbuka. Namun, saat amarah dan rasa malunya sudah mencapai batasnya, dia berteriak layaknya iblis.

    “Naoya-kun!? Semua ini adalah rencanamu, bukan!?”

    “Iya. Tentu saja, aku yang mengatur semuanya.”

Naoya dengan mudah mengakui perbuatannya. Dia kemudian menepuk bahu Koyuki dan dengan riang berkata,

    “Nah, itu sebabnya. Koyuki, ayo cepat kita siap-siap.”

    “Haa!? A-A-Apa maksudmu 'siap-siap'!? Apa lagi yang akan terjadi sekarang!?”

    “Onee-chan, kamu kan sudah setuju, jadi bersiaplah.”

    “Koyuki, tidak baik membuat semua orang menunggu. Jadi ayo kita segera ke ruang ganti.”

    “Hei, jadi...apa sih yang kita siapkannnnnn!?”

Dengan didampingi oleh adik dan ibunya di sisinya, Koyuki dengan segera dibawa pergi. Sekitar satu jam kemudian, Koyuki yang telah selesai mempersiapkan diri kembali dengan wajah cemberut.

    “Apa sih ini?”

    “Apa? Ya gaun pengantin, kan.”

    “Ya kalau itu aku tahu!!”

Koyuki yang berbicara dengan nada kasar sembari mengenakan gaun putih bersih. Desainnya yang berani memperlihatkan bagian bahunya, dan dari pinggang sampai ke kaki dihiasi dengan sulaman bunga mawar. Sementara roknya mengembang lembut menyerupai kue.

Dia memakai tiara berkilauan di kepalanya dan dari sana tergantung sebuah kerudung. Penampilannya begitu cantik bahkan mengalahkan putri di dalam dongeng.

    “Cantiknya. Cocok sekali denganmu, Koyuki.”

    “Aku tidak peduli, jawab pertanyaanku!”

Pujian langsung itu tidak memiliki efek apa pun pada Koyuki yang kebingungan. Naoya, yang juga telah mengganti pakaiannya menjadi setelan jas putih, tidak ragu-ragu untuk meraih kerahnya dan menggoyang-goyangkannya.

    “Kenapa aku memakai gaun pengantin!? Kenapa ukurannya sangat pas di badanku!? Dan anehnya...kenapa ini sangat sesuai dengan selera ku!”

    “Tentu saja, karena aku yang memilihnya dengan hati-hati.”

Jika dilihat dari tiga ukurannya saja, sudah bisa dipahami. Selain itu, Naoya sepenuhnya memahami selera Koyuki. Bagi Naoya, memilih gaun yang pas baginya adalah perkara yang mudah.

Ketika dia mengatakan hal itu dengan santai, Koyuki dengan wajah pucat bertanya lagi.

    “Eh...Sungguh, apa-apaan ini? Apakah ini...mimpi buruk?”

    “Loh, ya karena kita sudah bertunangan kan.”

Naoya mengatakannya tanpa rasa bersalah. Dia memikirkan rencana untuk mendapatkan persetujuan dari lamarannya di hari ulang tahunnya dan ia sudah yakin akan berhasil. Jadi dia sudah mempersiapkan agar semua orang bisa merayakannya di tempat.

    “Banyak yang bilang, 'Hal yang baik itu harus segera dilaksanakan'. Jadi menurutku ada baiknya kita mengadakan upacara untuk menandai kesempatan ini.”

    “Tapi ini bukan sesuatu yang bisa dilaksanakan seenaknya, kan? Pernikahan itu hanya terjadi sekali seumur hidup!”

    “Oh, tenang saja. Kalau sudah saatnya nanti, kita akan melaksanakan pernikahan yang sebenarnya. Jadi ini hanya uji coba kecil-kecilan.”

    “Menyewa gereja, mengundang seluruh keluarga dan teman, dan kamu masih menganggap ini acara kecil-kecilan?! Apa yang akan kamu lakukan saat pernikahan sebenarnya nanti?!”

Koyuki berteriak dengan suara melengking. Dia terlihat seolah-olah akan melemparkan sarung tangan pengantinnya dan bahkan menantangnya untuk duel.

Melihat Koyuki seperti itu, ibu Naoya, Airi, menyapanya dengan perasaan menyesal.

    “Maaf ya, Koyuki-chan. Baik Housuke-san maupun Naoya, pria di keluarga kami memang sangat keras kepala.”

    “Tante...”

Koyuki menoleh ke Airi dengan wajah cemberut.

    “Tapi apakah Tante bisa memilih antara minta maaf atau mengambil foto...?”

    “Ya soalnya ini hari besar untuk menantu perempuanku yang cantik. Sayang kalau tidak diabadikan, kan? Misora-san, sini, Ayo kita berfoto bersama Koyuki-chan!”

    “Oh, terima kasih, Airi-san. Kalau begitu, Koyuki. Peace

    Peace...”

Otot-otot wajah Koyuki benar-benar mati saat dia berfoto bersama para ibu yang sedang bergembira. Tamu undangan lainnya juga bersemangat dan penuh dalam suasana perayaan.

Mungkin karena terpengaruh suasana, Koyuki duduk dengan santai di kursi panjang dan menatap langit-langit.

    “Aku lelah berkomentar lagi...jadi, ya sudahlah...”

    “Mn. Selamat ulang tahun, Koyuki.”

    “Iya iya, terima kasih.”

Koyuki mengayunkan tangannya dengan cuek, dan ia mengucapkannya dengan nada seadanya.

Namun, seolah-olah dia menyadari sesuatu, Koyuki menoleh ke Naoya dengan wajah pucat.

    “Tunggu, ini pasti menghabiskan banyak uang, kan? Berapa banyak yang kamu keluarkan untuk lelucon ini?!”

    “Tidak, hampir gratis malah. Betul kan, Ayah?”

    “Iya, benar kok. Jadi jangan khawatir, Koyuki-san.”

Housuke tersenyum lembut.

Menyewa gereja, meminjam gaun dan pakaian, bahkan mengatur bunga hias, hal tersebut seharusnya membutuhkan biaya yang tidak terjangkau bagi seorang pelajar SMA. Dan alasan mengapa hal ini bisa terjadi sangatlah sederhana.

    “Sebenarnya, gereja ini dimiliki oleh kenalan saya. Ketika saya menjelaskan situasinya, dia dengan senang hati mau membantu.”

    “Biaya sewa kostumnya pun bisa didapatkan dengan harga murah. Koneksi Ayah memang yang terbaik.”

    “Hahaha. Banyak yang bilang, belas kasihan tidaklah menguntungkan bagi diri sendiri, tapi membantu orang lain akan membantumu di saat-saat seperti ini. Ingatlah itu, Naoya.”

    “Iya. Baru-baru ini aku membantu pemiliki gereja dengan wawancara kerja di perusahaannya. Dia senang dengan bantuan itu.”

    “P-Pasangan ayah dan anak ini memang benar-benar curang...!”

Kali ini, Koyuki bahkan mengarahkan rasa kesalnya kepada Housuke.

Jadi, karena semua itu, biaya acara pernikahan ini menjadi terjangkau bagi seorang pelajar SMA.

Karena Naoya dapat mengidentifikasi kemampuan para pencari kerja saat wawancara masuk, pemilik gereja menyukai Naoya dan ia setuju untuk membiarkannya membayar sisa biayanya dengan bekerja paruh waktu selama liburan musim dingin dan musim semi.

    “Makanya, nikmati saja acara ini, Koyuki.”

    “Jangan konyol... Bagaimana mungkin aku bisa menerima pernikahan yang mendadak begini?”

    “Tapi semua ini sesuai dengan selera Koyuki, kan? Gereja kecil yang dikelilingi oleh padang rumput, jendela kaca patri yang berkilauan dan banyak bunga. Di bawah langit biru, dengan semua orang yang merayakannya.”

    “Iya, ini benar-benar sesuai dengan seleraku hingga rasanya sangat menjengkelkan!”

Koyuki menggeretakkan giginya dan menghentakkan kakinya di tempat. Sikapnya tersebut bertolak belakang dengan seorang pengantin yang harusnya sedang berbahagia.

Namun, para tamu undangan tampaknya sedang riang gembira. Para ibu sedang asyik berbincang-bincang, dan para ayah juga tidak kalah semangat.

    “Aku sudah siap untuk menjadi besanmu...tapi sekarang...perutku semakin terasa mual.”

    “Hahaha, jangan bilang begitu. Ngomong-ngomong, James-san, saya telah menyelidiki rumah sakit tempat Anda menjalani pemeriksaan...tampaknya itu perangkap yang dirancang oleh organisasi tertentu untuk mengambil alih perusahaan James-san. Tapi semuanya sudah kami bereskan, jadi jangan khawatir.”

    “A-Apa...?”

Sementara itu, Kirihiko dan Sakuya sedang bersemangat dan berteriak-teriak.

    “Waaa! Koyuki-chan, kau cantik sekali. Lihat ke sini!”

    “Sensei, bagaimana kalau cerita selanjutnya, tokoh utamanya dipaksa menikah dengan seorang npc?”

    “Ide yang bagus! Kalau begitu, nanti aku akan mewawancarai Koyuki-chan!”

    “Baiklah. Karena aku juga sudah membawa perekam suara, untuk jaga-jaga.”

Para teman yang berkumpul di tempat yang agak jauh, juga sedang berbincang-bincang dan bercanda.

    “Nee, nee, Onii-sama, aku juga ingin mengadakan acara pernikahan yang hangat seperti ini suatu saat nanti.”

    “Ya, mungkin sebaiknya aku kembali ke rumah dan melaporkannya ke mereka dengan benar.”

    “Dengar, Tatsumi. Aku masih mau menunggu kok, jadi jangan terlalu terburu-buru.”

    “Tentu saja. Aku tahu kok, kau tidak perlu memberitahuku.”

    “Ah... Koyuki-chan terlihat begitu cantik... Bisakah aku melihatnya secara gratis?”

    “Emika Onee-chan, apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu butuh tisu?”

Di dalam gereja, suasana hangat dan ceria terasa. Bahkan langit yang awalnya mendung, sekarang sudah berubah menjadi langit biru cerah. Sinar matahari yang terik membelai pipi mereka melalui jendela kaca patri. Semuanya sudah siap. Naoya tersenyum lembut sambil memegang tangan Koyuki yang lemas.

    “Nah, Koyuki. Waktunya untuk acara utama.”

    “Acara utama... Tunggu, apa maksudmu!?”

Koyuki awalnya terkejut, tapi segera menyadari apa yang akan terjadi. Wajahnya tiba-tiba memucat, dan dalam sekejap, pipinya memerah.

    “Tidak mungkin, tidak mungkin! Itu benar-benar mustahil!”

    “Begitu ya...”

Melihat penolakan Koyuki yang dramatis, Naoya merasa kecewa.

    “Aku hanya ingin menyatakan bahwa aku akan membuat Koyuki bahagia. Ah, sayang sekali. Aku sudah menyiapkan semuanya sampai kurang tidur demi hari ini.”

    “Kamu ini ya...! Suatu saat nanti aku akan menusukmu, tahu!?”

Koyuki, meskipun gemetar, berusaha untuk berdiri. Dia berjalan lurus ke arah depan sampai tepat di depan mimbar.

Biasanya ada prosesi bagi pengantin untuk menyusuri lorong sembari menyanyikan lagu pujian, tetapi hari ini semuanya sedikit dipangkas. Jika mereka melakukannya dari awal, Koyuki pasti tidak akan tahan.

Naoya mengikutinya setelah itu, dan para tamu undangan terdiam secara serentak. Semua orang sudah menyiapkan kamera mereka dan menatap dengan antusias.

Naoya berdiri di depan Koyuki, dan setelah berdeham, dia mulai berbicara.

    “Baiklah, Koyuki. Di saat sehat maupun sakit... Aku berjanji akan mencintaimu. Bagaimana denganmu, Koyuki?”

    “Iya, iya, aku berjanji! Jadi, ayo langsung saja!”

Koyuki berbicara dengan emosi yang sedikit memuncak. Meskipun dia berada dalam balutan gaun pengantin, ada semacam aura samurai yang keluar dari tubuhnya.

Namun, ia sudah mencoba untuk menerima semua ini. Dan dengan sedikit rasa gugup dan kegembiraan, Naoya meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Koyuki. Meskipun Koyuki sedikit gemetar, dia menutup matanya dan dengan rela menyerahkan dirinya.

Cahaya dari jendela kaca patri menerangi wajah Koyuki, membuatnya terlihat lebih berkilauan dari biasanya──.

    “...Sungguh, kamu benar-benar akan mencintaiku selamanya, kan?”

    “Tentu saja.”

Pertanyaan yang diujarkan oleh Koyuki dengan sangat pelan tersebut, hanya terdengar oleh Naoya. Lalu Naoya menjawabnya, sebelum akhirnya ia menempelkan bibirnya ke bibir Koyuki dengan lembut. Sorakan dan bunyi shutter berkali-kali terdengar, membuat seisi gereja menjadi ramai.

Setelah menghitung sampai tiga secara perlahan, mereka melepaskan bibir mereka. Meskipun Naoya sangat ingin melanjutkannya, ini adalah waktu yang tepat untuk berhenti.

Naoya tersenyum lembut pada Koyuki yang tampak gugup seperti gurita yang direbus.

    “Aku mengandalkanmu mulai sekarang, Koyuki... Tidak, istriku di masa depanku.”

    “Akhirnya, aku akan menghentikan semuanya di sini!”

Pada saat itu, sang pengantin wanita, yang menatapnya dengan penuh amarah, menyerangnya dengan sepenuh tenaga.

Tidak perlu dikatakan lagi, para tamu undangan pun menjadi sangat bersemangat.

 

|| Previous || ToC || Next Chapter ||

Post a Comment

Post a Comment

close