Chapter 3 - Kencan Terakhir Kami, Hari Kedua
Hari ini adalah hari terakhir dari kencan terakhir kami sebelum perayaan satu bulan. Aku telah menunggu begitu lama untuk hari ini. Hatiku terasa seperti bernyanyi dan aku tidak bisa duduk diam. Meskipun begitu, aku tahu aku tidak bisa membiarkan diriku terbawa suasana.
Setelah tidur lebih awal dari biasanya pada malam hari, aku bangun lebih awal untuk memulai persiapanku untuk kencan hari itu. Ini bukan karena aku terlalu bersemangat untuk tetap tidur; aku hanya merencanakan hal-hal seperti ini.
Aku memasak sendiri, menyantap sarapan yang sudah kusiapkan, memilih pakaian dan mencari tas besar untuk memuat semua yang sudah aku siapkan. Aku meminjam tas kulit yang biasa digunakan Ayahku.
"Sepertinya ini cocok," kataku, sambil melihat kotak-kotak bento yang aku taruh di atas meja dapur untuk didinginkan.
Memang benar. Hari ini aku membuat bento sendirian. Semua yang ada di atas meja adalah makanan yang aku masak sendiri. Cukup untuk aku dan Nanami. Ini adalah bento buatanku. Fakta sederhana itu membuatku sangat emosional, aku gemetar. Aku tidak pernah menyangka bisa melakukan hal seperti ini dan aku berhutang semuanya pada Nanami. Aku harus mengambil foto untuk mengenang peristiwa itu.
Kebun binatang yang kami kunjungi hari itu mengizinkan pengunjung untuk membawa bento sendiri. Ketika aku melakukan riset untuk kencan kami, aku mendapatkan ide untuk mengajak Nanami makan bento yang aku buat sendiri.
Aku sudah memastikan untuk memberitahunya bahwa aku akan membawakan makan siang hari ini. Pada awalnya, aku mempertimbangkan untuk mengejutkannya dengan mengeluarkannya saat jam makan siang tiba, tetapi setelah memikirkannya, aku memutuskan untuk tidak melakukannya. Untuk satu hal, jika aku diam saja melakukan hal seperti itu, Nanami mungkin akan membuatkan sesuatu untuk kami dan itu akan menjadi hal yang cukup canggung.
Aku sudah menyesal karena tidak bisa makan makanan buatan Nanami kemarin. Kalau aku merahasiakan rencanaku, ada kemungkinan besar dia akan memasak untukku. Tentu saja, bahkan jika dia membuat bento dan kami berakhir dengan dua kali makan siang, aku pasti akan memakan semuanya, tetapi jika aku menjadi terlalu kenyang dan tidak bisa bergerak, itu akan merusak kencan kami.
Alasan lainnya, aku tidak ingin Nanami bersusah payah membuat bento untuk kencan yang seharusnya sudah aku rencanakan sendiri. Hal itu tampak seperti kebanggaan yang konyol dan maskulin, tetapi aku mengatakan kepadanya secara jujur apa yang kurasakan. Bahkan ketika aku mengatakan kepadanya, tampaknya tidak merusak kejutannya, karena Nanami terkejut dengan ide tersebut.
'Benarkah?! Kamu akan membuat bento sendiri? Itu luar biasa! Aku sudah tidak sabar menantikannya!'
Melihat betapa senang dan gembiranya dia, aku merasa bahwa semuanya berjalan dengan baik seperti halnya aku mengejutkannya. Aku sendiri juga cukup terkejut ketika mengetahui bahwa berbagi rencana dengan seseorang lebih awal, daripada merahasiakannya-dapat menjadi kejutan tersendiri.
"Ya, setidaknya ini cukup untuk 2 orang."
Ketika aku sedang menatap kotak-kotak bento, sambil berpikir keras, aku mendengar suara sedih dari sampingku. Ayahku sedang duduk di sana, dengan tangan memegangi kepala.
Tadi malam, orang tuaku pulang sangat larut. Aku terbangun di tengah malam dan melihat Ayahku bertingkah seperti anak kecil dan berpelukan dengan Ibuku. Ibuku selalu tersenyum, yang sama sekali tidak terbayangkan mengingat sikapnya yang dingin. Dia pasti sangat mencintai Ayahku yang ingin memanjakannya. Alkohol mungkin membantu.
Aku baru mengetahui hal ini baru-baru ini, tetapi tampaknya Ayahku adalah tipe orang yang kehilangan akal sehat saat mabuk. Sayangnya, dia juga tipe orang yang selalu mengingat semua hal yang dilakukannya saat mabuk, bahkan ketika dia bangun keesokan paginya
"Bagaimana kalau Ayah tidur lebih lama lagi? Ayah tidak perlu memaksakan diri," kataku padanya.
"Tidak, Ayah dengar Ibu mengantarmu pergi kemarin. Jadi, aku ingin menjadi orang yang melakukannya hari ini. Aku tidak mengharapkanmu untuk membuatkan sarapan," jawabnya.
"Apa kau bisa membuat sup miso? Aku baru saja membuatnya dengan sedikit bawang dan telur," kataku.
"Aku sebenarnya tidak merasa terlalu lapar. Apa kau pikir aku bisa menghabiskan seluruh shebang? Aku tidak pernah berpikir akan bisa makan masakan anakku di pagi hari."
Jika dia tidak merasa tidak enak, mengapa dia memegangi kepalanya? Yah, kupikir itu bukan urusanku.
Aku hanya perlu menyiapkan sarapan untuk Ayahku, seperti yang diminta. Nasi, sup miso, potongan telur dadar, salmon panggang, ayam goreng... Itu adalah makanan yang sama seperti yang aku kemas ke dalam bento - tidak ada yang mewah, hanya makanan standar.
"Siapa sangka kau bisa memasak dengan baik? Enak sekali," gumam ayah dengan penuh haru setelah menggigitnya. Dia kemudian melanjutkan menyantap hidangan demi hidangan. Dia pasti baik-baik saja, karena dia tidak terlihat memaksakan diri untuk makan.
"Kau tidak terlihat pusing. Kenapa kau memegangi kepalamu seperti itu tadi?" Aku bertanya.
"Oh, aku baru saja teringat kejadian semalam. Kau juga melihatnya, kan?"
Orang tuaku agak berisik, jadi aku akhirnya terbangun untuk melihat apa yang terjadi. Aku tidak menyadari bahwa mereka memperhatikanku. Rasanya aneh jika aku mengatakan bahwa aku tidak melihat mereka. Jadi, aku memutuskan untuk menjawab dengan jujur.
"Apa yang salah dengan hal itu? Itu hanya berarti bahwa Ayah dan ibu sudah dekat. Itu jauh lebih baik daripada berdebat saat kalian mabuk," kataku, menggodanya dengan seringai jahat. Ketika dia melihat wajahku, dia hanya tersenyum canggung.
"Yoshin, kau berbicara seolah-olah apa yang terjadi semalam bukan urusanmu, tapi itu bisa saja mempengaruhimu juga," katanya sambil meminta sup miso untuk kedua kalinya.
Aku hanya memiringkan kepalaku, tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Yah, itu juga tergantung pada siapa di antara kami yang kau ikuti, tetapi jika kau sepertiku dan kau tidak memiliki toleransi yang tinggi terhadap alkohol, menurutmu apa yang akan terjadi?"
"Jika aku sepertimu? Maksudmu...?!"
Saat aku memberikan sup kepadanya, aku teringat kembali pada malam sebelumnya. Ayah memasang senyum di wajahnya yang tidak seperti yang pernah kulihat sebelumnya, sambil memeluk ibuku seolah-olah dia sedang mabuk. Dia juga mencium ibu dan menggosokkan pipinya ke pipi ibu, mengatakan betapa dia mencintainya dan betapa menggemaskannya ibu.
Apa dia mengatakan kepadaku bahwa aku mungkin akan melakukan hal seperti itu suatu hari nanti?
"Yah, itu lebih baik daripada tidak akur," katanya. "Aku menantikan apa yang akan terjadi di masa depan."
Sekarang giliranku yang mendapatkan seringai kejam yang ditujukan kepadaku. Senyumnya benar-benar membuatnya tampak bersemangat tentang masa depan. Melihat senyuman itu, aku membayangkan diriku berakting seperti yang dia lakukan pada malam nya.
Ketika aku sudah cukup umur untuk minum dan ternyata aku seperti Ayahku, apakah aku akan melakukan hal yang sama pada Nanami juga?
Memikirkan hal itu saja sudah membuat pipiku panas. Aku harus merahasiakannya dari Nanami.
Setelah itu, aku dan Ayah terus mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting. Sementara itu, bento menjadi dingin, jadi aku akhirnya bisa menutup semua kotak.
Setelah semuanya beres, aku pun bersiap-siap. Karena ibu masih tidur, Ayah akan mengantarku pergi sendirian hari ini.
"Jaga dirimu baik-baik di luar sana. Dan sampaikan salam kami pada Nanami-san," kata ayah.
"Baiklah, aku pergi dulu. Oh, ya. Apa kalian berdua akan pergi kencan lagi saat ibu sudah bangun?"
"Tidak, kami akan kembali melakukan perjalanan bisnis hari ini. Jadi, kami tidak akan berkencan. Oh, tapi kita berdua akan kembali pada hari Rabu, jadi bagaimana kalau kita makan malam bersama, hanya kita bertiga?"
Ah, itu benar. Aku ingat mereka mengatakan bahwa perjalanan mereka akan berlangsung sekitar 1 bulan. Kenyataan bahwa hari kepulangan mereka adalah sehari setelah hari jadi 1 bulan hubunganku dan Nanami, tampak nyaman atau bahkan sedikit menentukan. Aku berharap bisa berbagi kabar baik.
Tidak, aku tidak bisa berharap untuk itu, aku harus mewujudkannya...
"Kedengarannya sangat menyenangkan. Tapi, bolehkah Nanami bergabung dengan kita? Aku dan Nanami yang memasak. Aku rasa kita akan membuat sesuatu untuk kalian." kataku.
"Apa menurutmu orang tuanya akan setuju dengan hal itu?" tanya Ayah.
"Aku akan memberitahumu setelah aku menanyakannya pada mereka. Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu."
"Baiklah, kedengarannya bagus. Selamat menikmati harimu," kata Ayah sambil melambaikan tangan sambil tersenyum. Setelah diantar oleh ibuku kemarin dan kemudian oleh Ayahku hari ini, aku pergi pada hari kedua kencan terakhir kami.
Hari ini, alih-alih bertemu di suatu tempat, aku menjemputnya di rumahnya. Hal ini bukan hanya untuk mencegah siapa pun yang mencoba merayunya dalam perjalanan ke sana, tetapi juga untuk menyelesaikan hal lain yang harus aku lakukan. Ketika aku mengirim pesan kepada Nanami untuk memberitahukan bahwa aku sudah meninggalkan rumah, pesan tersebut langsung ditandai sebagai sudah dibaca. Tak lama kemudian, sebuah jawaban datang, mengatakan bahwa dia sedang menungguku. Saat itu masih pagi, tapi mungkin dia sedang menungguku dengan penuh harap.
Tidak lama kemudian, aku tiba di rumahnya. Kami telah berkirim pesan bolak-balik bahkan ketika aku dalam perjalanan. Jadi, waktu berlalu dengan sangat cepat. Daripada membunyikan bel rumahnya, aku mengirim pesan singkat kepadanya untuk memberitahukan bahwa aku sudah tiba. Tidak lama kemudian aku mendengar langkah kaki menuju pintu depan, yang kemudian terbuka dan menampakkan Nanami-dan Tomoko-san.
"Selamat pagi, Yoshin," kata Nanami sambil tersenyum ke arahku.
Pakaiannya tidak terlalu terbuka seperti kemarin, mungkin karena kami akan pergi ke kebun binatang. Dia terlihat sudah siap, bahkan, dia terlihat sudah tidak sabar untuk segera pergi.
"Selamat pagi, Nanami, Tomoko-san."
"Selamat pagi, Yoshin-kun. Kamu baik sekali mau menjemput Nanami. Kalian akan pergi ke kebun binatang hari ini, kan? Bagus sekali. Kuharap kalian berdua bersenang-senang."
Tomoko-san sepertinya sudah terbiasa denganku yang memanggil Nanami tanpa gelar kehormatan. Dia tersenyum bahagia. Bahkan, sungguh luar biasa betapa bahagianya dia saat pertama kali mendengar aku mengatakannya. Dia dan Genichiro-san hampir saja menari-nari kegirangan.
"Ah, Tomoko-san, ini adalah hal yang aku janjikan padamu. Aku tidak yakin apakah ini enak, tapi akan sangat menyenangkan kalau kamu bisa mencobanya," kataku, mengeluarkan sebuah wadah besar dari tasku dan menyerahkannya kepada Tomoko-san. Wadah itu berisi beberapa makanan yang aku buat untuk bento hari ini.
Ketika aku dan Nanami mengobrol tentangku membuat bento untuk kencan kami, Nanami mengatakan kepadaku bahwa ibunya ingin mencicipi masakanku dan memintaku untuk membawakannya jika masih ada yang tersisa. Tentu saja aku mengiyakan.
"Ara. Makasih loh! Semua orang akan pulang hari ini. Jadi, kita semua akan menikmatinya untuk makan siang," katanya kepadaku.
"Muu, itu seharusnya untukku. Yoshin, kamu terlalu baik," kata Nanami, sangat jelas terlihat cemberut, membuatku ingin mencolek pipinya. Tapi aku menahan diri agar dia tidak marah.
Aku sempat berpikir untuk memasak hanya untuk Nanami, tapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan memiliki kesempatan lain untuk memasak untuk keluarganya. Mengingat betapa banyak yang telah dilakukan Tomoko-san dan yang lainnya untukku, aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku kepada mereka selagi aku masih memiliki kesempatan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berbagi makanan.
"Hanya kamu dan aku yang makan siang. Jadi, bisakah kamu memaafkanku," bisikku.
"Mm," jawabnya, mengganti cemberutnya dengan senyuman. Rupanya, dia hanya ingin aku melihatnya merajuk. Tomoko-san tersenyum kecut melihat pemandangan itu.
Saat aku berpikir kami sudah siap untuk pergi, Nanami menoleh padaku dan melemparkan seringai yang sedikit jahat. "Ngomong-ngomong, orang tuamu juga pergi berkencan tadi malam, kan? Shinobu-san bilang mereka minum-minum dan Akira-san akhirnya bermesraan dengannya."
"Oh, ya. Itu sih- Tunggu, bagaimana kamu bisa tahu?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nanami menunjukkan smartphone nya padaku. Di layar smartphone nya, ada foto Ayahku yang sedang memeluk Ibuku seperti anak kecil.
Serius, bu, foto macam apa yang kamu kirimkan padanya? Dan apa isi pesannya?! 'Jika Yoshin menjadi seperti ini di masa depan, tolong terimalah dia dengan tangan terbuka"? Apa yang kamu katakan pada pacarku, bu?!
Sepertinya keputusanku untuk merahasiakan kemungkinan mabuknya diriku dari Nanami menjadi sia-sia.
"Pasti akan sangat menyenangkan minum bersama saat kita sudah dewasa nanti!"
Nanami menyatakan.
"Uh, benar..."
Hanya itu yang bisa kukatakan, tapi Nanami sepertinya melupakan sesuatu yang penting: fakta bahwa kami masih berada di depan rumahnya dan Tomoko-san masih mendengarkan.
"Ara, Nanami. Mungkin kamu membayangkan bahwa Yoshin-kun ingin kamu memanjakannya, tapi kita tidak ingin berasumsi seperti itu sekarang, kan?" kata Tomoko-san.
"Huh? Tidak, tapi..."
Nanami dan aku menoleh mendengar pertanyaan Tomoko-san. Tomoko-san berdiri di sana sambil tersenyum, wadah makanan masih di tangannya. Wajah Nanami bergerak-gerak ketika melihat ekspresi Ibunya. Di sisi lain, Tomoko-san, terlihat sangat menikmati.
"Kamu mungkin hanya mengingat dirimu sendiri dari terakhir kali. Tapi ketika Ayahmu mabuk, dia mulai bertingkah seperti anak manja juga. Perilakumu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Ayahmu dan jika ternyata kamu seperti Ayahmu. Tidak ada yang tahu siapa yang akan di manja, kan?"
Menyadari apa yang dimaksud Ibunya, Nanami menoleh ke arahku dengan panik. Dia rupanya tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia akan bertingkah seperti bayi itu. Mungkin karena semua hal yang dibayangkannya pada saat itu, wajahnya menjadi sangat, sangat merah.
"Itu, err, berarti kita akan memiliki lebih banyak hal untuk dinanti-nantikan saat kita sudah cukup umur untuk minum," aku berhasil mengatakannya.
"I-Iya. Akan menyenangkan untuk melihat siapa yang akan bertingkah lebih manja. Aku tidak akan kalah!"
Sejak kapan ini berubah menjadi sebuah kompetisi?
Entah kenapa, rasa persaingan yang aneh kini seakan membara di hati Nanami. Aku pikir apa yang dikatakan Tomoko-san hanya terdengar seperti firasat yang tidak menyenangkan, terutama mengingat apa yang terjadi dengannya sebelumnya. Namun, jika Nanami benar-benar mengikuti jejak Ayahnya dan apa yang terjadi dengannya sebelumnya tidak ada apa-apanya, maka aku mungkin ingin mencari tahu apa yang sebenarnya akan terjadi.
Saat aku dan Nanami sedang berusaha menenangkan diri, Tomoko-san dengan ceria mengajukan lamaran. "Aku sendiri ingin sekali melihat kalian berdua menjadi mesra dan saling menyayangi satu sama lain! Saat kalian berdua berusia 20 tahun, mari kita adakan pesta keluarga dan minum-minum bersama!"
Jika Ayahku dan Genichiro-san menjadi sangat lengket, dan jika aku dan Nanami juga mulai bersikap seperti itu, pesta itu akan menjadi sangat kacau.
Ditambah lagi, Saya-chan akan merasa tersisih... atau mungkin saat itu Saya-chan sudah punya pacar. Apapun itu, dia tetap tidak akan bisa minum.
"Baiklah, cukup tentang masa depan. Nikmati kencan kalian hari ini, kalian berdua. Aku harap kalian bersenang-senang."
Meskipun dia yang membuka obrolan itu, Tomoko-san beralih dan mulai melambaikan tangan pada kami. Nanami dan aku tersenyum tipis melihat kemampuannya beralih dari satu mode ke mode berikutnya. Bagaimanapun, Nanami dan aku saling berpegangan tangan dan tersenyum pada Tomoko-san.
"Kalau begitu, kita berangkat, Ma," kata Nanami.
"Senang bertemu denganmu, Tomoko-san," kataku.
Dan begitulah kencan terakhir kami sebelum perayaan satu bulan kami dimulai.
♢♢♢
"Bukankah sebelumnya ada yang bilang kalau Genichiro-san mulai bertingkah seperti bayi saat dia mabuk?" Aku bertanya kepada Nanami dalam perjalanan menuju tempat tujuan kami.
"Kurasa di tempatmu juga begitu, ya?" jawabnya.
"Aku sendiri baru saja mengetahuinya. Ayahku benar-benar bertingkah seperti bayi tadi malam."
"Yah, sepertinya dia bertingkah jauh lebih buruk daripada aku, tapi aku ingin tahu seberapa buruk sebenarnya."
Sewaktu kami berbincang-bincang, wajah Nanami tampak membiru dan merah karena gugup dan malu. Aku masih cukup terkejut dengan tingkah lakunya saat mabuk wiski, tetapi setelah diberitahu bahwa itu bukan apa-apa, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Namun...
"Aku akan sangat senang kalau kamu ingin aku memanjakanmu," gumamku.
"Sama. Tapi jika kita berdua mabuk dan bertingkah seperti bayi..." Nanami mengacungkan jari telunjuknya lalu mengalihkan pandangannya ke sana seolah-olah dia sedang memproyeksikan gambar dengan ujung jarinya. Tentu saja, aku pun ikut tersedot ke dalam bayangan itu. Dalam benakku, aku melihat ilusi kekacauan, di mana aku dan Nanami, sebagai orang dewasa, menjadi begitu kacau dan akhirnya kami berdua ingin ditimang-timang oleh satu sama lain.
"Mari kita pastikan untuk tidak minum ketika kita pergi keluar," kataku.
"Iya... Mungkin ada baiknya juga untuk tidak minum saat kita tidak bersama satu sama lain," katanya, tampaknya telah membayangkan hal yang sama. Wajahnya sedikit berkedut saat dia mengatakannya.
Kami tidak menemukan masalah baru dalam perjalanan ke kebun binatang. Rasanya seperti waktu damai pertama yang kami habiskan bersama dalam perjalanan ke suatu tempat, mengingat bahwa kami telah menghadapi satu atau beberapa masalah akhir-akhir ini, sampai-sampai Nanami tertawa sebelumnya dan berkata, "Aku sangat berharap tidak ada yang terjadi hari ini!"
Setidaknya untuk hari ini, aku ingin kami bisa menikmati melihat hewan-hewan dengan tenang.
Bagaimanapun, kami segera tiba di kebun binatang dan berdiri diam untuk menikmati pemandangan.
"Kelihatannya jauh lebih bagus daripada dulu," gumamku.
Dibandingkan dengan kebun binatang yang aku ingat, eksteriornya sudah jauh lebih baik. Berdasarkan penelitianku pada malam sebelumnya, aku sudah tahu bahwa banyak bangunan yang telah direnovasi dan pameran-pamerannya telah diperbarui. Meskipun begitu, aku tidak menyangka bahwa taman ini akan terlihat sebagus ini.
Terakhir kali aku mengunjunginya, mungkin saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, bagian luarnya terlihat sangat kumuh-meskipun itu adalah kenangan yang cukup kabur. Nanami sepertinya juga merasakan hal yang sama, karena dia menatap kebun binatang itu dengan mata terbelalak.
"Wow, ini terlihat jauh lebih bagus dari sebelumnya!" serunya. "Aku belum pernah ke sini sejak SD. Ayo kita bersenang-senang hari ini, oke?"
Kami menuju ke loket tiket untuk membayar biaya masuk, sambil berpegangan tangan satu sama lain. Seperti yang sudah kulihat kemarin, tiket masuknya setengah harga untuk anak sekolah yang menunjukkan kartu pelajar. Nanami dan aku mengeluarkan kartu pelajar kami, tapi...
"Ara, kamu terlihat sangat berbeda di fotomu!" Nanami berseru. "Ohh, dulu ponimu panjang sekali!"
"Ah, ayolah. Kamu terlihat... Tunggu, kenapa kamu terlihat begitu serius?
Ini sama sekali tidak terlihat seperti dirimu. Ini bahkan bukan gyaru," kataku padanya.
"Aku pikir ini untuk sekolah, jadi akan lebih baik seperti itu. Aku hanya mencobanya, itu saja. Apa kamu lebih suka gaya ini, Yoshin?" tanyanya sambil menyeringai.
"Tidak, aku lebih suka dengan gaya kamu yang sekarang."
"Heh~... Kamu suka gyaru, ya. Dasar Youshin mesum~"
"Bagaimana kamu bisa sampai pada kesimpulan itu?!"
Resepsionis di depan kami tersenyum hangat dan sepertinya tidak keberatan dengan percakapan kami. Kami berdua terlihat sangat berbeda dari kami yang ada di foto sehingga aku khawatir apakah kami memenuhi syarat untuk mendapatkan diskon, tetapi resepsionis menyerahkan tiket kami tanpa mempertanyakan apa pun. Mungkin kartu identitas itu lebih merupakan formalitas daripada yang lainnya.
Nanami dan aku menerima peta kami dan masuk ke dalam taman. Saat kami melangkah masuk, kami diselimuti oleh aroma menyegarkan dari pepohonan di sekitar kami dan aroma satwa liar yang tak terlukiskan yang berasal dari hewan-hewan.
Seperti inikah aroma alam?
Sebagian orang mungkin menganggap bau hewan sebagai sesuatu yang menyinggung, tetapi aku tidak menyukai cara berbagai bau itu bercampur menjadi satu. Malahan, menurutku, ini cukup menenangkan.
"Kalau dipikir-pikir, apa kamu tidak masalah dengan bau binatang?" Aku bertanya pada Nanami.
Aku tahu sudah terlambat untuk menanyakannya, karena aku sudah membawanya ke kebun binatang saat kencan, tapi aku tiba-tiba merasa khawatir. Seharusnya aku memikirkan hal ini lebih awal. Meski begitu, Nanami tampaknya tidak keberatan dengan baunya. Sebaliknya, dia memiringkan kepalanya, agak bingung dengan pertanyaanku.
"Iya, tentu saja. Aku tahu kita akan ke kebun binatang hari ini. Jadi, aku memastikan untuk tidak memakai parfum atau apapun. Dengan begitu aku tidak akan mencium bau yang aneh-aneh di sekitar hewan-hewan."
"Aku juga tidak memakai cologne, tapi aku tidak menyadari kalau kamu tidak memakai apapun. Entah bagaimana, kamu masih wangi."
"Um, Yoshin... cukup memalukan ketika kamu menciumku seperti itu..."
Sial. Aku baru saja mulai mencium baunya tanpa memikirkan fakta bahwa kami sedang berada di tempat umum. Namun, mengapa para wanita bisa tercium begitu harum bahkan ketika mereka tidak mengenakan parfum? Itu adalah keajaiban umat manusia.
Sambil melirik sekilas ke arah Nanami, yang memerah karena tingkahku, aku melepaskan tangannya sejenak untuk membuka peta kebun binatang.
Nanami mendekatkan wajahnya, mengintip dari samping untuk melihat peta itu bersamaku.
"Oh, wow, mereka punya gajah juga. Haruskah kita melihat mereka terlebih dahulu?" tanyanya.
"Kebun binatangnya tidak terlalu besar. Mungkin kita bisa berjalan kaki dan melihat apa yang kita temui terlebih dahulu."
Dengan masing-masing membuka satu sisi peta agar tetap terbuka, kami melihat keseluruhan kebun binatang di atas kertas. Aku tidak bisa membandingkan peta kebun binatang saat ini dengan apa yang ada dalam ingatanku, tetapi aku cukup yakin dulu kebun binatang tidak memiliki banyak area yang berbeda. Aku ingat semuanya jauh lebih acak-atau, setidaknya, pembagian area terasa seperti itu. Namun sekarang, kebun binatang ini dibagi menjadi beberapa area dengan tema-tema tertentu.
Namun, kebun binatang ini tidak terlalu besar, jadi mungkin saja kita bisa mengunjungi semua area yang berbeda hanya dengan berjalan-jalan. Jika demikian, mungkin tidak perlu membuang-buang energi dengan berjalan bolak-balik. Selain itu, aku sudah memiliki tempat yang aku inginkan untuk dikunjungi terlebih dulu.
"Sebenarnya, apa kamu keberatan jika kita pergi ke sini dulu?" Aku bertanya sambil menunjuk peta ke area yang paling dekat dengan tempat kami berdiri. Letaknya tepat di dalam pintu masuk kebun binatang dan memiliki tanda terpisah bahkan di dalam kebun binatang utama.
"Apa itu kebun binatangnya?" Nanami bertanya dengan suara keras.
"Iya, aku dengar kamu bisa membelai hewan-hewan di sana. Aku pikir itu akan menyenangkan untuk dilakukan pertama kali. Dan juga..."
"Juga apa? Apa yang ada di sana?" tanya dia.
"Sepertinya kamu harus beruntung, jadi kita harus mencari tahu setelah sampai di sana."
Aku menuntun tangan Nanami dan memasuki kebun binatang. Tampaknya ada area berpagar di dalam sana juga, tetapi beberapa hewan berada di luar pagar. Pemandangan di depan kami sungguh damai. Kuda poni, ayam dan burung-burung dengan berbagai warna berkeliaran dengan bebas.
Anak kecil yang ditemani oleh orang tua mereka berlarian dengan penuh semangat. Aku tidak bisa menahan senyum atas apa yang aku lihat.
"Jarang-jarang kita bisa berjalan-jalan seperti ini dan melihat hewan-hewan," kataku.
"Benar. Tadi, kamu bilang kita bisa membelai mereka, kan? Oh, Yoshin, lihat! Ada domba di sana!"
Melihat ke arah yang ditunjuk Nanami, aku melihat sekawanan kecil domba berkeliaran keluar dari kandangnya dan berjalan dengan santai. Inilah hewan yang paling ingin aku lihat. Dari kejauhan, bulu domba mereka terlihat agak kaku, tetapi aku yakin bulu domba itu sangat lembut jika kau menyentuhnya. Aku sangat ingin merasakannya
.
"Oh ya, domba! Mereka sangat lucu, ya? Itu mengagumkan. Mungkin kita harus membelai mereka. Sepertinya kita diperbolehkan."
"Apa kamu suka domba, Yoshin?" Nanami bertanya, melihatku bertingkah aneh.
"Ya, aku suka. Bukankah mereka lucu? Sejujurnya, rubah adalah hewan favoritku, tapi tidak ada rubah di sini dan kamu tidak boleh menyentuhnya karena mungkin ada parasitnya."
"Rubah? Bukan anjing atau kucing? Kamu benar-benar memiliki selera yang lucu. Apa kamu ingin aku memakai telinga rubah suatu hari nanti?"
"Kamu yang mengatakan hal-hal lucu lagi... Tunggu, apa kamu benar-benar memiliki telinga rubah?"
"Aku punya teman yang membuat kafe hewan dengan kelasnya untuk festival budaya tahun lalu. Jadi, kupikir dia akan memberiku sepasang jika aku memintanya. Mungkin dia juga punya telinga domba," katanya.
Aku terdiam dan menjawab dengan anggukan sederhana. Tapi pertama-tama: domba.
Kami mendekati salah satu hewan berbulu halus yang berjalan pelan.
Kami juga memperhatikan kecepatan kami, berjalan dengan tenang agar tidak membuatnya takut. Bahkan ketika kami mendekat, domba itu-mungkin karena sudah terbiasa dengan manusia-tidak mencoba melarikan diri. Bahkan, domba itu tetap berdiri dan menyapa kami. Mungkin aku hanya membayangkannya, tetapi domba itu terlihat mengantuk atau hanya karena cuaca yang hangat yang membuatku berpikir demikian?
Ketika aku melihat ke sekeliling, aku melihat bahwa kuda-kuda poni pun berdiri diam di bawah naungan pohon. Satu-satunya yang bergerak secara aktif adalah burung-burung.
"Oke, aku akan melakukannya," kataku.
"Kamu tidak perlu terlalu gugup. Lihat, burung itu sangat berbulu dan lucu. Ditambah lagi, ia sangat lembut!"
Sementara aku berdiri di sana, ragu-ragu untuk mengelus domba itu, Nanami sudah mulai membelai bulunya dengan lembut. Domba itu memejamkan matanya seakan-akan tertidur dan dengan lembut menggoyangkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lainnya.
Karena Nanami sudah memimpin, aku mengambil keputusan dan mendekatkan tanganku ke domba. Tekstur bulu domba lebih kasar daripada yang kubayangkan. Aku mengira bahwa mungkin bulu domba ini akan lebih melenting, tetapi ketegasannya tampaknya menang. Perasaannya pun terasa nyaman secara misterius dan aku perlahan-lahan mulai mengelus punggung domba. Ketika aku melakukannya, aku merasakan sensasi hangat dan aneh pada telapak tanganku. Rasanya goyang dan kasar. Alih-alih berusaha menjauh dari kami, domba itu malah duduk di tanah tempat kami mengelusnya. Aku bertanya-tanya apakah domba itu memberitahu kami agar kami dapat mengelusnya lebih lama. Domba itu benar-benar domba yang tenang dan lembut.
"Sepertinya masing-masing domba ini memiliki nama. Mungkin yang satu ini perempuan. Mereka memberi akhiran '-chan' pada namanya," kataku.
"Iyakah? Ah, hewan-hewan itu hebat. Aku merasa sangat terhibur sekarang."
Nanami dan aku terus membelai domba-domba itu untuk beberapa saat lebih lama. Kami berusaha menjaga agar belaian kami tetap lembut agar tidak membuatnya stres. Setelah itu, kami beralih ke domba yang berbeda sehingga kami tidak menghabiskan terlalu banyak waktu dengan satu domba. Semua domba sangat lembut dan sangat manis. Aku tergoda untuk memeluk mereka dengan erat, tetapi aku pikir hewan ternak tidak akan terlalu menyukai hal itu.
"Wah, mereka sangat lucu. Aku bisa mengelus mereka sepanjang hari," gumamku.
"Wow, aku tidak pernah tahu kamu sangat menyukai domba, Yoshin. Tapi kamu benar, mereka benar-benar lucu." Nanami terus mengelus-elus domba-domba itu. Dengan mata tertutup sebagian, domba yang dibelai tampak seolah-olah sedang tersenyum.
Di kebun binatang itu juga ada hewan-hewan lain, tetapi kami hanya mengelus domba. Tiba-tiba, Nanami mengatakan sesuatu yang menakutkan. "Domba-domba ini kelihatannya enak, ya. Pernahkah kamu mendengar pepatah 'Semakin lucu penampilan benda hidup, membuatmu ingin memakannya '..."
Yah, daging kambing memang rasanya enak, pikirku.
Apa itu sesuatu yang harus kami sebutkan di sini?
Pada akhirnya, hal itu mungkin tidak dapat dihindari. Kami, manusia, bahkan makan domba kecil yang lucu, meskipun kami tidak berencana untuk makan domba dari kebun binatang.
"Aku merasa hal itu memiliki arti yang sedikit berbeda," kataku. "Jika kamu tidak memisahkan hal-hal tertentu, kamu akan berakhir dengan tidak bisa makan daging lagi."
"Hmm, aku bisa menjadi vegetarian," jawabnya. "Maksudku, ketika mereka begitu lucu, kamu tidak bisa menahan diri untuk tidak terikat dengan mereka."
"Asal tahu saja, aku bekerja keras untuk membuat ayam goreng hari ini."
Nanami menunduk untuk menyapa domba-domba yang masih ia belai. "Maafkan aku," katanya. "Kurasa aku tidak akan bisa berhenti makan daging. Paling tidak, aku akan menikmati setiap gigitannya dan sangat bersyukur."
Aku merasa dia seharusnya meminta maaf kepada salah satu ayam. Tapi daging kambing goreng, ya? Mungkin aku harus mencoba membuatnya lain kali.
Setelah itu, kami berhenti sejenak untuk mengelus-elus domba. Sebagian dari diriku tidak ingin melakukannya, tetapi jika aku tidak memutuskan untuk melakukannya, yang bisa kami lakukan hari itu hanyalah mengelus domba. Saatnya untuk melanjutkan dan melihat penawaran lain di dalam kebun binatang.
Ada hewan-hewan lain selain yang berjalan di sekelilingnya. Monyet dan marmut disimpan di dalam kandang kaca, jadi kami tidak bisa membelai mereka. Sayang sekali, tapi sepertinya mereka dikurung di dalam demi kesehatan mereka, jadi mau bagaimana lagi. Kami masih bisa melihat mereka melalui kaca dan mengambil banyak foto.
Hewan-hewan di luar kandang dan kandang tampak sangat terbiasa dengan manusia. Contohnya, ada seekor tupai yang bukannya melarikan diri, tetapi malah duduk di atas tunggul pohon, seakan-akan membiarkanku mengambil fotonya. Karena kami berhadapan dengan hewan yang bergerak, maka, sulit untuk mengambil fotoku dan Nanami secara bersamaan, tetapi kami dapat mengambil beberapa foto satu sama lain pada akhirnya.
"Nee, bukankah bebek itu bertingkah agak... aneh?" Nanami bertanya.
"Huh?"
Aku baru menyadari ketika dia mengatakannya, tetapi salah satu bebek itu meringkuk di dekatku. Pada saat yang sama, bebek yang lain mulai memegang tangan dan jari-jari Nanami di paruhnya seolah-olah berpura-pura menggigitnya dan sesekali menabrak tubuh Nanami seolah-olah bermain dengannya.
Kami tidak mungkin bersikap jahat terhadap kedua bebek itu, tetapi karena Nanami kesulitan melepaskan diri dari bebek yang menggigitnya, aku mencoba menariknya menjauh. Bebek itu kemudian mulai menyerangku dengan kekuatan yang tidak terduga, seakan-akan dia sedang menyerang saingannya yang romantis. Itu sebenarnya agak menyakitkan.
Ketika kami bingung harus berbuat apa, salah satu penjaga kebun binatang menyadari masalah ini dan dengan cepat menarik bebek itu dari Nanami. Itu adalah pekerjaan yang mengesankan.
"Saya minta maaf!" kata penjaga kebun binatang itu. "Sepertinya kedua bebek ini sangat menyukai kalian berdua. Beginilah cara bebek saling menyukai satu sama lain. Saya minta maaf jika mereka membuat kalian merasa tidak nyaman."
"Mereka menyukai kita?"
Aku bisa memahami bebek yang mendekatiku, tapi satu lagi yang mengincar Nanami tampak agak kasar. Yah, aku tidak masalah karena mereka binatang.
Kedua bebek yang dipegang oleh penjaga kebun binatang tampak sedikit bertingkah, tetapi aku menautkan lenganku dengan lengan Nanami dan berkata kepada bebek-bebek itu, "Maaf, tapi dia itu milikku. Jadi, dia tidak bisa membalas perasaanmu."
"Menurutmu mereka mengerti apa yang kamu katakan?" Nanami bertanya, malu. "Yah, bukan berarti yang kamu katakan tidak membuatku bahagia, tapi..."
Aku cukup yakin bebek-bebek itu tidak mengerti apa yang aku katakan, tapi ketika mereka melihatku dan Nanami berdiri berdekatan, mereka tiba-tiba berhenti meronta-ronta di pelukan penjaga kebun binatang. Penjaga kebun binatang tampak sedikit terkejut dengan perubahan perilaku bebek-bebek itu.
"Lihat tuh, mereka mengerti!" kataku, menoleh ke arah Nanami.
"Yah, kurasa itu keren, tapi sekarang penjaga kebun binatangnya malah aneh," gumam Nanami.
"Wah, bukankah kalian berdua sangat dekat? Aku iri padamu. Aku harap kalian berdua menikmati hari kalian di sini hari ini," kata penjaga kebun binatang kepada kami. Dengan tangan kami yang masih bertaut, kami melihat mereka berjalan pergi.
Setelah kami berkesempatan membelai banyak binatang dan memotret mereka, mungkin sudah waktunya untuk berjalan ke bagian lain kebun binatang. Namun, ketika aku berpikir demikian, kami mendengar seorang penjaga kebun binatang yang berbeda memanggil dari balik area domba yang dipagari. "Kami akan mencukur bulu domba kecil kami! Silakan datang jika Anda ingin menonton!"
Mataku berbinar mendengar pengumuman itu. Ini dia, hal yang harus kau lihat jika kau beruntung. Aku sudah menyerah, berpikir bahwa kami tidak akan melihatnya hari ini. Namun, begitu aku mendengar mereka akan mulai, tingkat kegembiraanku melonjak.
"Yoshin, apa ini yang kamu sebutkan tadi?" Nanami bertanya.
"Mencukur bulu domba, ya? Kurasa aku belum pernah melihatnya."
Saat tatapanku bertemu dengan Nanami, aku tersentak kembali ke dunia nyata.
Ups. Aku terlalu antusias, tapi mungkin ini membosankan baginya.
"Maaf, aku terbawa suasana. Apa kamu tidak keberatan untuk melihatnya? Aku selalu ingin melihatnya," kataku padanya.
"Tentu saja! Sangat menyenangkan melihat matamu berbinar-binar seperti anak kecil.
Dan selain itu, sangat jarang kamu mengatakan ingin melakukan sesuatu."
"Benarkah? Aku belum benar-benar memikirkannya, tapi mungkin kamu benar."
"Benar sekali! Itu sebabnya aku sangat senang dengan hari ini. Ayolah, kalau begitu. Aku juga ingin melihatnya, jadi ayo kita ke sana!"
Sambil bergandengan tangan, kami berjalan menuju ke tempat mencukur bulu domba. Ada beberapa keluarga dengan anak-anak kecil di sana, tetapi hanya Nanami dan aku yang menjadi satu-satunya pasangan. Di belakang domba-domba itu, seorang penjaga kebun binatang pria yang mengenakan seragam kerja sedang duduk dengan tenang, menunggu demonstrasi dimulai.
"Ayo kita mulai!" kata salah satu penjaga kebun binatang.
Ketika seorang anggota staf wanita menjelaskan proses pencukuran bulu domba, penjaga kebun binatang pria dengan cekatan melakukan pekerjaannya. Domba itu tetap tenang, terlihat seperti merasa rileks. Menurut penjelasan staf tersebut, domba jinak bisa terkena sengatan panas jika bulunya tidak dicukur. Itulah mengapa para penjaga kebun binatang harus mencukur bulu domba agar mereka tetap sejuk. Selama bulan-bulan yang lebih panas, terkadang mereka harus menyesuaikan jadwal pencukuran bulu. Itulah mengapa kami sangat beruntung bisa menyaksikannya.
Saat mereka memotong kuku domba dan mencukur bulunya, domba-domba itu perlahan-lahan menjadi terawat, seolah-olah mereka adalah seorang pendeta penting di suatu tempat. Tidak lama kemudian, pekerjaan selesai dan domba itu terlihat sangat segar, tetapi tiba-tiba saja ia kehilangan ketenangannya. Tanpa menghiraukan penjaga kebun binatang yang mencoba menghentikannya, domba itu mulai berjalan ke arah kami atau lebih tepatnya, ke arahku.
"Hah? Apa?!"
Aku begitu sibuk memperhatikan domba-domba itu tanpa sadar hingga akhirnya aku menanduknya dengan kekuatan penuh. Domba itu pun tampak terkejut dengan tabrakan itu. Ia berhenti di tempat dan terlihat bingung, terhuyung-huyung. Aku tidak merasa kesakitan atau apa pun, tetapi akhirnya aku terjatuh ke belakang akibat benturan itu. Domba-domba itu, di sisi lain, hanya berdiri di sana sambil menatapku.
Ketika aku berbaring di sana, menatap langit, aku mendengar suara-suara keprihatinan, tawa dan teriakan dari anak-anak kecil yang tampaknya ingin domba-domba itu datang ke arah mereka juga. Aku pun tidak bisa menahan tawa.
"Yoshin, apakah kamu baik-baik saja?! Bagaimana itu bisa terjadi?!" Nanami berteriak.
"Ah, aku baik-baik saja." jawabku. "Sebenarnya, Nanami, bisakah kamu mengambil foto ini? Ini terlalu lucu untuk dilewatkan."
Nanami, dengan panik, mengulurkan tangannya kepadaku, tapi bukannya mengambilnya, aku malah memintanya untuk memotret. Nanami menurutinya, meskipun dia tersenyum canggung saat mengambilnya.
Setelah itu, para penjaga kebun binatang meminta maaf berkali-kali atas kejadian tadi.
Aku mengerti bahwa mereka harus melakukannya, mengingat situasinya, tetapi aku tidak keberatan.
Tampaknya, cukup normal bagi domba untuk tiba-tiba berkeliaran, tetapi sangat jarang bagi mereka untuk menabrak orang seperti itu. Aku senang bisa mendapatkan pengalaman yang langka ini, tapi aku juga lega karena akulah yang tertabrak, bukan Nanami. Ditambah lagi, aku bahkan berhasil mendapatkan foto yang luar biasa, aki berbaring telentang dan seekor domba yang baru saja dicukur menatap ke arahku. Itu bukan foto yang bisa kau dapatkan setiap hari.
"Kami benar-benar minta maaf atas kejadian ini. Paling tidak, kami ingin Anda mengambil foto ini."
Ketika para penjaga kebun binatang terus meminta maaf, mereka memberikan kami sebungkus wol putih yang menurut mereka telah dicukur tahun lalu dan diputihkan.
Meskipun mereka biasanya memilih anak SMP atau yang lebih muda untuk menerimanya, mereka memberiku dan Nanami masing-masing dua bungkus sebagai permintaan maaf.
"Terima kasih," kataku. "Kami akan memanfaatkannya dengan baik."
Nanami tampak gembira mendengarnya. "Warnanya putih dan cantik sekali! Aku ingin tahu apakah kita bisa membuat sesuatu," katanya padaku.
"Memang tidak banyak, tapi mungkin kita bisa membuat sesuatu yang kecil."
"Iya." Nanami menatapku dengan rasa geli di matanya atau jengkel? "Tapi serius, selalu ada sesuatu yang terjadi saat aku berkencan denganmu."
"Ah, ya, itu memang benar. Biasanya tidak ada domba yang menabrakmu. Aku mengangkat bahu tak berdaya.
"Selama kamu bersenang-senang, aku senang."
Kekesalannya yang tadinya jengkel runtuh dan dia menatapku dengan senyuman di wajahnya. "Astaga, Yoshin, sampai kapan kamu akan berbaring di tanah seperti itu? Bangunlah dan ayo kita lihat sesuatu yang lain. Ini, berikan aku tanganmu."
"Ya, aku harus bangun, bukan? Tunggu, Nanami, kamu tidak berpikir untuk menarikku, kan? Aku cukup yakin itu tidak mungkin," gumamku menanggapi uluran tangannya. Nanami tidak menarik tangannya kembali. Ssebaliknya, ia mendekatkan tangannya ke arahku.
"Kita belum tahu sebelum mencobanya, kan?" tanyanya.
"Yakin ingin mencobanya?"
"Mm!" serunya.
Tampaknya, ini tidak akan berakhir sampai aku memegang tangannya. Jadi aku lakukan.
"Oke, ini dia... Whoa!" teriaknya.
Untuk sesaat, aku merasa seperti ditarik ke atas-tetapi hanya sesaat.
"Ugh... Oke, ya, kurasa tidak. Sekarang kamu ada di tanah bersamaku.
Tunggu, apa kamu terluka?" Aku bertanya.
"Sial, padahal aku pikir bisa melakukannya... Tapi, berbaring di atasmu tidak buruk jug- tidak, maksudku agak memalukan.."
"Kalau menurutmu begitu, akan lebih baik jika kamu bisa, um, pindah. Ada anak-anak yang melihat," gumamku.
Nanami segera duduk dan melirik ke arah anak-anak di sekitar kami. Mereka semua melihat kami dengan penuh semangat; beberapa bahkan duduk di atas satu sama lain, mencoba untuk menciptakan kembali adegan tersebut.
Aku benar-benar minta maaf, kepada para sepuh..
Kemudian Nanami dan aku berdiri dengan panik dan meninggalkan kebun binatang, sambil melambaikan tangan ke arah anak-anak dengan canggung. Mungkin ada insiden kecil, tetapi ditabrak domba adalah pengalaman yang tak ternilai harganya. Maksudku, hal itu tentu saja menjadi kenangan yang luar biasa. Meskipun aku terjatuh, itu lebih karena aku kehilangan keseimbangan. Jadi, itu bukan masalah besar. Jika kepalaku terbentur atau perutku terasa sangat sakit akibat benturan, mungkin ceritanya akan berbeda, tetapi aku tidak merasakan ketidaknyamanan seperti itu.
Aku mungkin cukup beruntung karena domba-domba itu baru saja lepas landas dan belum benar-benar menambah kecepatan. Bahkan, domba yang menabrakku mungkin terlihat lebih terkejut daripada diriku. Sebagai pelengkap, kami bahkan mendapatkan suvenir yang biasanya tidak akan kami dapatkan. Sepertinya kemalangan kecil kami telah berubah menjadi keberuntungan.
"Btw, wol ini mau kita apakan, ya?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
Di tangan kami masing-masing, kami membawa dua kantong wol bening. Dipotong dan diputihkan tahun lalu, wol itu berwarna putih yang indah. Aku bersyukur mereka memberikannya kepada kami, tetapi aku mengalami kesulitan untuk menemukan cara untuk menggunakannya.
"Karena kita masing-masing mendapat dua tas, bagaimana kalau kita menyimpan satu sebagai suvenir dan menggunakan yang lain untuk membuat aksesori atau semacam nya?"
Ketika Nanami menyarankan hal itu, aku terdiam sejenak. Aku sudah mengerjakan sebuah "aksesori" untuknya selama beberapa hari belakangan ini. Aku tidak memberitahu siapa pun dan karena aku menyembunyikannya saat Nanami mengunjungi rumahku, tidak mungkin dia mengetahuinya. Namun, aku merasa gugup saat mendengarnya.
"Aku ingin tahu aksesori apa yang bisa kamu buat dengan wol," kataku, mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahanku.
"Hmm... Dengan jumlah sebanyak ini, kurasa kita bisa membuat anting-anting pom-pom atau semacamnya. Anting-anting itu pasti akan sangat lucu."
"Oh benarkah? Apa kamu sudah pernah membuat beberapa sebelumnya?"
"Tidak. Aku hanya pernah melihatnya."
....Belum pernah, ya?
Dia terlihat imut saat menggelengkan kepalanya sebagai jawaban, tetapi aku merasa sedikit kecewa dengan jawabannya. Nanami tampak geli dengan reaksiku. Sambil tertawa, ia kembali bergandengan tangan denganku dan menempelkan tubuhnya ke tubuhku.
"Bagaimana kalau kita mencoba membuatnya bersama-sama? Kita bisa melakukannya lain kali saat kita jalan-jalan."
"Anting-anting, ya? Tapi aku tidak menindik telingaku," kataku.
"Oh, iya. Aku lupa, kamu tidak menindiknya, ya?"
Ketika Nanami berbicara, dia mencubit daun telingaku dengan lembut. Aku tidak pernah tertarik dengan fashion, jadi tidak mengherankan jika aku tidak akan menindik telingaku.
"Kadang-kadang dalam manga shojo, potongan rambut atau semacamnya memperlihatkan telinga seorang pria yang ditindik," kata Nanami, "Tapi, Youshin berbeda. Youshin tetaplah Youshin."
Tanpa menyadari bahwa aku terdiam karena terkejut atau lebih tepatnya, mengabaikan bahwa dia telah menyadarinya, Nanami terus memelintir daun telingaku. Mencubitnya, menekuknya, meremasnya dengan ujung jarinya... Setiap kali ia menggeserkan jari-jarinya, rasa menggigil yang aneh menjalar di tulang belakangku.
"Um, Nanami. Bisakah kamu berhenti melakukan itu atau aku bisa terluka dalam arti yang berbeda.." Aku memohon.
"Ara? Kamu lemah bila daun telingamu di sentuh, ya~?" tanyanya. Dia terus memainkan daun telingaku, menyeringai seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.
Aku tersenyum pasrah, membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan, sampai dia tiba-tiba melepaskan jari-jarinya.
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak menindik telingamu saja? Seperti milikku, lihat?"
Nanami melepas salah satu anting-antingnya, menggoyangkan daun telinganya padaku seolah-olah memamerkan tindikannya.
"Kamu tahu, jika kamu terus melakukan itu. Aku tanpa sadar akan menyentuh nya loh," kataku.
"Daun telingaku bukan kelemahanku, jadi aku akan baik-baik saja. Dan lihat, menindik telingamu bukan masalah besar, bukan?"
Di daun telinganya terdapat sebuah lubang kecil yang terlihat seperti selalu ada di sana. Sebelumnya, aku tidak punya alasan untuk menindik telingaku dan aku selalu membayangkan itu akan menyakitkan. Namun, bagi anak perempuan, hal itu tampak sangat normal.
Seperti yang sudah aku peringatkan, aku perlahan-lahan meraih telinganya. Ketegangan yang aneh menjalar ke seluruh tubuhku. Mungkin Nanami merasakan hal yang sama, karena meskipun dia tersenyum, senyumnya terlihat tegang. Ujung jariku dengan lembut menyentuh daun telinganya dan seperti yang dia lakukan padaku, aku mencubitnya dengan lembut. Orang sering mengatakan bahwa kau harus menguleni adonan roti hingga mendekati tekstur daun telingamu.
Karena aku belum pernah membuat roti sebelumnya, aku bertanya-tanya, apakah daun telinganya merupakan indikator yang baik untuk teksturnya.
"Nn..."
Ketika aku mencubit daun telinganya sedikit, Nanami merintih pelan. Kelembutan daun telinganya berbeda dengan milikku dan titik kecil tempat dia menindik telinganya terasa aneh di ujung jariku. Aku terus memainkan daun telinganya dengan jari-jariku.
Oh, begitu, jadi seperti inilah rasanya daun telinga yang ditindik. Kupikir mencubitnya akan terasa sakit, tetapi ternyata tidak seperti itu. Lubangnya juga tidak terlalu besar; sebenarnya cukup kecil dan lucu. Mungkin telinganya juga cukup kecil.
"Nn, Yoshin, tunggu..."
Nanami menempelkan lengannya di dadaku, seakan berusaha mendorongku menjauh.
Aku tersadar saat merasakan tekanan itu dan melihat sekilas wajah Nanami yang merah padam.
"Are, bukannya tadi kamu bilang 'daun telinga' bukan titik lemah mu?"
"Aku juga berpikir begitu, tapi... Maksudku, aku baik-baik saja saat Hatsumi dan Ayumi menyentuhnya, tapi kurasa aku salah."
Aku hanya menyentuhnya karena dia mengatakan padaku bahwa dia akan baik-baik saja, tapi melihat dia begitu malu, aku mulai merasa malu juga. Aku menjauhkan jari-jariku dari telinganya dan mencoba mengubah suasana hati.
"Oke, ayo kita lihat gajah!" Aku menyatakan. "Ngomongin telinga, maka gajah lebih tepat!"
"Ee? Bukankah gajah itu hanya belalainya saja?"
"Oh, ayolah, gajah paling terkenal di dunia terbang dengan telinganya. Jadi, jika kamu ingin berbicara dengan telinga, gajah adalah satu-satunya jawaban."
"Oooh, itu. Wow, Yoshin, aku terkesan kamu ingat film lama seperti itu."
Dengan itu, Nanami-dengan pipinya yang masih memerah dan aku menuju ke area yang menampilkan gajah dan berjalan ke dalam bersama-sama. Ada pola gajah di pintunya dan lorong panjang yang redup terasa seperti berada di tanjakan.
"Tempat ini cukup mewah, ya?"
"Iya, semua warna hijau membuatku merasa seperti sedang berjalan di hutan.
Oooh, pasti seru sekali kalau bisa melihat gajah!"
Nanami terlihat bersemangat saat berjalan. Dia menarik lenganku sedikit dan berjalan setengah langkah di depanku. Berjalan melalui koridor ini benar-benar tampak meningkatkan kegembiraan kami secara bertahap. Aneh rasanya berpikir bahwa kami akan bertemu dengan gajah-gajah yang hidup dan nyata.
Ketika kami akhirnya membuka pintu ganda yang berat, cahaya masuk seolah-olah menyambut kami. Kami tiba di tempat yang tampak seperti ruang pameran, dengan deskripsi berbagai gajah yang telah tinggal di kebun binatang selama bertahun-tahun, serta video tentang gajah secara umum. Ketika aku berdiri di sana sambil bertanya-tanya apakah kami bisa melihat gajah-gajah itu sendiri dari tempat yang berbeda, Nanami menoleh ke arah yang berlawanan dan mulai berteriak dengan penuh semangat.
"Yoshin, lihat! Gajah! Lihat, ada dua ekor! Ah, aku ingin tahu apakah mereka adalah ibu dan anak. Mereka sedang bermain bersama!"
Sisi yang berseberangan dengan sisi yang aku lihat terbungkus kaca dan pengunjung bisa melihat ke bawah untuk melihat gajah-gajah di bawahnya. Kandang mereka cukup luas, tetapi semua gajah tampak sangat aktif, saling menempel dan meletakkan belalai mereka di leher satu sama lain.
Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat seekor gajah kecil dan seekor gajah lainnya dengan bekas luka berbentuk bintang di punggungnya. Kedua gajah itu saling berdekatan dan terlihat seperti sedang bermain satu sama lain.
"Mereka lebih besar dari yang aku kira, meskipun mungkin itu normal, karena mereka gajah," kataku.
"Lucu sekali... Wajah mereka saling berdekatan satu sama lain."
Kami terus mengamati gajah-gajah itu saat mereka bermain-main di sisi lain kaca. Saat kami berdiri di sana, aku melihat sebuah tempat di bagian lain dari ruangan itu, di mana kau bisa duduk untuk menikmati pemandangan. Keluarga yang membawa anak-anak memanfaatkan tempat duduk tersebut untuk melihat gajah-gajah tersebut.
"Nanami, sepertinya ada tempat yang bisa kita gunakan untuk duduk dan menonton. Apa kamu mau memeriksanya?"
"Oh, benarkah? Aku sedang berpikir untuk beristirahat sejenak, jadi akan sangat menyenangkan jika bisa duduk."
Dia terdengar seperti sedang mencoba membiarkanku beristirahat sejenak dari berdiri dan itu bagus sekali, tetapi ketika kami tiba di area tempat duduk, akhirnya kami tidak jadi duduk. Area ini hanya memiliki kaca setinggi dada kami, yang memungkinkan kami untuk melihat ke arah gajah-gajah tanpa ada yang memisahkan kami dengan mereka.
Wow, ini luar biasa. Aku pikir mereka cukup mengagumkan bahkan melalui kaca, tetapi mereka benar-benar sesuatu yang lain saat kau melihat langsung ke arah mereka. Aku bahkan bisa mendengar mereka bermain satu sama lain. Jadi, rasanya seperti berdiri sangat dekat.
Pada akhirnya, daripada duduk, kami memilih untuk berdiri sedekat mungkin dengan gajah. Mereka akan saling mendekatkan wajah mereka dan mendorong satu sama lain dan ketika gajah yang kecil mulai lari, gajah yang lain akan mengejarnya.
Keluarga-keluarga di sekitar kami mengambil foto gajah-gajah itu dan tertawa saat melihat mereka bermain. Nanami tampak asyik menikmati kegembiraan itu.
"Yoshin, Yoshin, ayo kita berfoto! Kalau kita selfie bersama, kita mungkin bisa mengajak gajah-gajah itu masuk juga! Ayo, mendekatlah lebih dekat!"
Itu hanyalah puncak gunung es dari kegembiraannya, meskipun aku harus mengakui bahwa aku juga cukup bersemangat. Intensitas melihat gajah-gajah dari dekat, dikombinasikan dengan sifat mereka yang menggemaskan, sungguh tak terlukiskan. Dan kemudian, saat kami hendak mengambil foto selfie lainnya...
"Paaaaaarraaaaaaanh!"
Seekor gajah berteriak dengan keras. Aku sangat terkejut, aku hampir saja menjatuhkan smartphoneku. Anak-anak di sekitar kami juga tampak terkejut; mereka semua mulai berceloteh dengan keras dan menirukan teriakan gajah tersebut.
"Wah, itu membuatku takut..."
"Ya, tadi itu sangat keras."
Meskipun aku hampir menjatuhkan smartphoneku, sangat lucu melihat kedua gajah itu masih bermain bersama, bahkan tidak menyadari betapa mereka telah mengejutkan orang-orang. Aku bertanya-tanya apakah gajah mengeluarkan suara keras ketika mereka bersemangat atau semacamnya.
"Aku pikir gajah tidak benar-benar berkata, 'Toot,'" gumamku.
"Ahaha, ya, itu sama sekali tidak terdengar seperti 'toot', ya? Aku merasa mendengar mereka berbunyi 'toot' akan jauh lebih lucu, tetapi dalam kehidupan nyata mereka terdengar lebih keras," kata Nanami sambil tertawa.
Tangguh... Ya, itu benar-benar terdengar seperti tangisan yang keras. Aku bisa merasakan udara bergetar. Itu sangat mengesankan.
Kami melanjutkan untuk mengambil beberapa foto lagi di depan gajah. Aku sudah cukup terbiasa mengambil swafoto. Jadi, aku bisa mengambil bidikan bersama kami berdua serta gajah-gajah itu, semuanya dalam satu gambar.
Setelah mengamati mereka selama beberapa waktu, aku menyadari bahwa ada gajah lain di belakang. Gajah itu tidak mendekati dua gajah lainnya, melainkan sedang makan dari seikat jerami yang tergantung di langit-langit.
Mungkin saat itu sudah mendekati waktu makan siang mereka. Kalau dipikir-pikir, aku menyadari bahwa aku juga mulai lapar.
Saat itu, aku melihat dua gajah yang sedang bermain saling mendekat. Gajah yang lebih kecil menempelkan wajahnya ke perut gajah yang lebih besar.
Apa yang sedang dilakukannya?
"Oh, mereka adalah ibu dan anak!" Nanami berseru. "Lihat! Bayi gajah itu sedang minum susu induknya!"
Saat kami berdua melihat induk gajah menyusui bayi gajah, Nanami mulai memotret. Tentu saja ini bukan sesuatu yang bisa kau lihat setiap hari. Aku juga mengambil foto pemandangan langka ini, mengabadikan Nanami dalam foto saat dia tersenyum ke arah gajah-gajah itu.
"Aku ingin tahu apakah akan ada suatu hari nanti ketika aku bisa menyusui bayiku sendiri seperti itu," bisiknya.
Setelah selesai mengambil foto, Nanami menjauh dari kaca dan duduk. Aku diam-diam duduk di sebelahnya dan kami berdua terus mengamati mereka dari sana. Kemudian, entah dari mana, kami saling menaruh tangan di atas tangan yang lain. Aku sengaja menahan diri untuk tidak menanggapi komentarnya dan Nanami juga tidak mengatakan apa pun tentang hal itu. Kami hanya saling berpegangan tangan dan, tidak seperti sebelumnya, mengamati gajah-gajah itu dalam diam.
Orang-orang di sekitar kami, yang sangat antusias dengan gajah-gajah itu, terus mengeluarkan banyak suara, tetapi kami berdua tidak mendengarnya.
"Menurutku..."
"Iya?"
"Menurutku kamu akan menjadi Ibu yang hebat," kataku.
Nanami terdiam sejenak. "Terima kasih."
Jika aku yang berada di sampingnya saat itu terjadi, maka aku akan sangat bahagia. Namun, untuk saat ini, aku menahan diri untuk tidak mengatakannya. Aku sebenarnya telah mengatakan hal yang sama kepadanya sebelumnya, tetapi sekarang setelah 1 bulan berlalu, aku merasa bahwa maknanya telah berubah.
Setelah mereka selesai makan siang, gajah-gajah itu mulai bermain lagi. Dua gajah yang sebelumnya bermain di pasir bergabung bersama gajah yang sedang makan jerami dan menuju ke lubang air. Aku berdiri untuk mengikuti mereka.
"Serius? Wow, apa kamu melakukan banyak penelitian sebelum datang ke sini?" Nanami bertanya.
"Sedikit. Aku ingin menunjukkan banyak hal menarik hari ini. Aku tidak yakin apakah kita bisa melihat semuanya, tapi mari kita lakukan yang terbaik yang kita bisa."
Ketika aku mengulurkan tangan ke arahnya, dia menerimanya, tersenyum lembut dan membiarkanku membantunya berdiri. Kami kemudian turun ke lantai pertama, di mana kami disambut oleh sebuah patung gajah besar. Patung itu sangat mengesankan sehingga untuk sesaat kami berdua terkejut, mengira seekor gajah sungguhan telah muncul di depan kami.
Tampaknya para pengunjung diizinkan untuk menyentuh patung ini dan patung ini memiliki nuansa yang sama persis dengan gajah sungguhan. Kami tidak bisa menyentuh gajah sungguhan, jadi kami memutuskan untuk menyentuh patungnya saja. Patung ini terasa agak lembap saat disentuh dan juga memiliki tekstur kasar yang aneh, mungkin karena semua garis-garis halus pada kulitnya.
Ada juga banyak model gajah yang tertanam di langit-langit, serta layar sentuh yang mengendalikan pusat media, tetapi kami memutuskan untuk tidak menyentuhnya untuk saat ini. Kami memutuskan untuk bergegas ke tempat di mana kami bisa melihat gajah yang asli.
Kami tiba tepat pada waktunya untuk melihat gajah-gajah yang sedang mandi. Ada dua ekor gajah yang sedang mandi pada saat yang sama, terlihat seolah-olah mereka sedang duduk di dalam bak mandi bersama. Pemandangan ini mengingatkanku pada saat aku dan Nanami mengunjungi akuarium, tetapi melihat gajah di dalam air terasa sangat misterius. Mereka bahkan memiliki belalai di bawah air, terlihat seperti bagian alami dari kehidupan air.
"Aku tidak pernah tahu gajah menghabiskan banyak waktu di dalam air. Ibu dan bayi gajah mandi bersama... Itu sangat keren," gumam Nanami.
"Mereka terlihat sangat nyaman, bukan? Melihat mereka di sana membuatku ingin pergi ke pemandian air panas lagi."
"Kamu membicarakan pemandian air panas bahkan saat kita berada di kebun binatang? Astaga, Yoshin, apa ini berarti kamu ingin pergi bersamaku?" Nanami bertanya.
"Maukah kamu melakukannya?" Aku bertanya balik.
"Hmm, mungkin dengan pakaian renangku. Tunggu, serius nih?! Kamu sudah terlalu terbiasa dengan semua ini! Kamu bahkan tidak bereaksi! Ini sangat tidak adil karena hanya aku yang merasa malu!"
Aku sebenarnya mulai terbiasa dengan komentar-komentar menggoda Nanami. Aku mulai menyadari bahwa dia hanya mengatakan hal-hal seperti itu saat dia mencoba menggodaku. Itulah sebabnya aku lebih terbiasa atau lebih tepatnya, aku sekarang bisa berpura-pura terbiasa dan menanggapinya. Jantungku masih berdetak sangat cepat.
"Bagaimana kalau kita turun ke bawah?" Aku bertanya. "Gajah-gajah sudah turun ke air dan mereka bilang kalau kamu beruntung, kamu bisa melihat mereka di sana."
Mandi bersama, dalam arti apa pun, sama sekali tidak mungkin dilakukan. Dengan pakaian renang, bahkan? Gagasan untuk mandi bersama dengan seorang gadis saja sudah sangat luar biasa sehingga tidak peduli apa yang dia kenakan.
Saat kami mengobrol, salah satu gajah keluar dari air dan mulai menggunakan belalainya untuk menyemprot dirinya sendiri dengan pasir. Sayang sekali, pikirku, mengingat mereka baru saja dimandikan. Mungkin itu adalah kebiasaan mereka.
Kami terus mengamati gajah-gajah itu selama beberapa waktu, namun tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh yang lembut dan menggemaskan yang berbeda dengan suara gajah tadi. Itu adalah suara perut Nanami.
"Apa kamu mendengarnya?" tanyanya.
"Iya, aku dengar. Keras dan jelas," jawabku.
Sama seperti saat gajah-gajah itu makan, sekarang adalah waktu makan siang kami. Masuk akal jika kami juga merasa lapar. Meskipun tahu bahwa aku tidak boleh menertawakannya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa kecil saat dia memegangi perutnya dengan kedua tangannya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan siang dulu," saranku. "Kita sudah cukup menikmati melihat gajah-gajah itu."
"Muu, jangan ketawain aku dong! Harusnya kamu pura-pura tidak mendengarnya!" Nanami berteriak protes.
Setelah memutuskan hal itu, kami berjalan menuju pintu keluar. Di pintu terakhir, kami menemukan sebuah area di mana seekor gajah sedang meletakkan kaki dan telinganya untuk dimandikan oleh penjaga kebun binatang. Tampaknya itu adalah ruang yang didedikasikan untuk melatih gajah-gajah untuk beraktivitas.
"Nee, lihat di sana. Bukankah kedua gajah itu menjulurkan belalainya dan menggoyangkannya seperti melambaikan tangan?" Nanami bertanya.
Induk dan bayi gajah tadi menjulurkan belalai mereka keluar dari kandangnya, mengayunkannya dari satu sisi ke sisi lain. Anak-anak yang berdiri di sekitar pintu keluar melihat mereka dengan penuh semangat, melambaikan tangan dan meneriakkan selamat tinggal.
Agar lebih realistis, gajah-gajah itu sedang menjulurkan kaki mereka keluar dan dimandikan oleh penjaga kebun binatang. Belalai mereka mungkin berayun dari kiri ke kanan karena itu. Meskipun begitu, ini bukan waktu dan tempat yang tepat bagiku untuk mengatakannya dengan lantang. Jika ada, akan lebih baik bagiku untuk mengatakan sesuatu yang sesuai dengan kegembiraan dan fantasi yang kami alami di sana.
"Gajah-gajah itu benar-benar menawarkan layanan pelanggan yang hebat," kataku.
"Ahaha, lucu sekali! Kalau begitu, kita harus melambaikan tangan kepada mereka juga!"
Mengikuti langkah Nanami, aku melambaikan tangan ke arah gajah-gajah itu dan membisikkan salam perpisahan dengan lembut. Saat Nanami dan aku berpaling, salah satu dari mereka berteriak keras seolah-olah mengucapkan selamat tinggal kepada kami. Pasti karena ia merasa senang kakinya telah dicuci atau mungkin karena hal lain yang berhubungan dengan pemandian tersebut. Meskipun begitu, aku dan Nanami pergi dengan hati gembira, merasa seperti gajah telah mengucapkan selamat tinggal kepada kami.
♢♢♢
Setelah perut Nanami menggeram menggemaskan, aku membawanya ke tempat peristirahatan observatorium agar kami bisa menyantap makan siang di sana bersama-sama. Tempat itu disebut demikian karena letaknya berdekatan dengan area yang berisi monyet-monyet; pengunjung bisa melihat keluar jendela dan menyaksikan mereka bermain.
Begitu masuk ke dalam, aku mendapati diriku merosot di salah satu meja.
"Kamu tidak perlu merasa sedih, Yoshin."
Seseorang menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut, gerakannya penuh dengan kelembutan. Itu adalah Nanami, tentu saja. Tergerak oleh kebaikannya, aku menatapnya.
"Oh, ya. Terima kasih, Nanami. Aku tahu ini bukan hal yang perlu disesali, tapi aku tidak bisa melupakan kebodohanku sendiri," kataku.
Ada beberapa kursi yang disiapkan di dekat jendela, di mana kau bisa bersantai sambil melihat monyet-monyet. Ada juga meja-meja lain yang disiapkan, tetapi rumah peristirahatan itu relatif kecil.
Kami naik ke lantai dua, di mana kami cukup beruntung untuk menemukan dua kursi dekat jendela yang berdampingan. Melalui jendela yang bersih, kami dapat melihat monyet-monyet yang bermain-main di bawah.
Jika hanya itu yang terjadi, aku pasti senang dengan kencan kami dan tidak ada yang perlu disedihkan. Namun, penyebab kesedihanku adalah kotak bento yang aku bawa, yang berada tepat di depanku. Meskipun bento yang kubawa tidak seenak masakan Nanami, setidaknya aku sedikit percaya diri dengan hasilnya. Namun...
"Tentu saja ini akan terjadi kalau kamu diseruduk domba," gumamku sambil menatap bento yang terhampar di depanku.
Itu benar, aku ditabrak domba yang kabur dan jatuh atau lebih tepatnya, benar-benar terjungkal. Tentu saja, itu berarti tas tempatku menyimpan kotak bento juga terbalik.
"Astaga, aku sudah berusaha keras untuk membuatnya terlihat bagus. Ini menyebalkan," seruku.
Setelah kami mendapatkan dua tempat kosong di dekat jendela, aku membuka kotak bento untuk memberi kejutan kepada Nanami dengan makan siang yang telah aku siapkan-hanya untuk menemukan bahwa hal ini telah terjadi. Makanan yang sudah aku susun dengan sangat baik telah tercampur aduk, dengan sayuran yang kini berada di atas makanan utama dan banyak makanan yang tercecer di salah satu sisi kotak. Meskipun makanan itu tidak sepenuhnya diacak, namun jelas tidak terlihat menggugah selera.
"Seperti, lihat ini. Tamagoyaki tadinya bagus sekali," kataku, sambil menatap potongan telur dadar yang tadinya terlihat cukup bagus. Sekarang semuanya rusak dan hancur. Saat pertama kali aku membalik telur dadar dari wajan, telur dadar itu terlihat cukup mengesankan.
Sementara itu, Nanami mencoba menghiburku ketika aku menatap bencana yang kualami. "Tapi rasanya tetap sama!" katanya sambil mengambil sepotong telur dadar dan memasukkannya ke dalam mulutnya. "Mmm... Wow, Yoshin, ini benar-benar enak."
Hatiku, yang sudah mulai merasa lebih baik, semakin membaik setelah mendengar penilaiannya. "Kalau menurutmu begitu, aku senang. Tapi, aku sudah bangun pagi-pagi untuk membuatnya dan mengemasnya dan semuanya. Aku merasa tidak bisa melakukan apa-apa."
"Jam berapa kamu bangun untuk membuat semua ini?" tanyanya.
"Ini pertama kalinya aku membuatnya dan aku tidak yakin bagaimana hasilnya. Jadi, aku bangun jam 5 pagi untuk berjaga-jaga," jawabku. "Aku juga mengalami masa-masa sulit. Aku tidak tahu mengapa aku selalu merasa tidak tenang."
"Kedengarannya memang kasar, tapi jika ini pertama kalinya, mau bagaimana lagi.
Selain itu, fakta bahwa kamu adalah tipe pacar yang membuatkan bento untukku membuatmu sangat keren! Ditambah lagi, ayam gorengnya enak sekali!"
Nanami tersenyum sambil menggigit ayam gorengnya, meskipun kulitnya sudah terkelupas. Mendengarnya mengatakan hal itu membuatku sangat senang. Aku tidak bisa duduk di sini dalam keadaan tertekan, memaksanya untuk mencoba membuatku merasa lebih baik. Aku harus sedikit ceria.
Setelah mentalku agak pulih, aku bertanya kepada Nanami tentang sesuatu yang terlintas di benakku sebelumnya.
"Ini agak aneh, tapi apa kamu tidak masalah makan sambil melihat binatang? Aku tahu, kita sudah mendapatkan tempat duduk di dekat jendela. Jadi sangat bodoh jika aku menanyakan hal ini sekarang, tapi aku ingin memastikannya."
"Hm? Dari mana ini tiba-tiba muncul? Apa kamu tipe orang yang mudah merasa tidak nyaman? Makan sambil melihat binatang, maksudku."
"Tidak, aku baik-baik saja," jawabku cepat. "Aku baru ingat bahwa orang tuaku adalah tipe orang yang tidak menikmatinya. Makanya aku nanya dulu."
Ketika aku makan dengan orang tuaku, kadang-kadang acara TV yang menampilkan binatang akan diputar. Ketika itu terjadi, orang tuaku biasanya mengganti salurannya. Aku tidak benar-benar ingin menonton acara tentang binatang atau tidak terlalu tertarik dengan TV, jadi aku biasanya hanya menonton apa pun yang sedang ditayangkan tanpa mengeluh.
Namun, suatu kali, aku memutuskan untuk bertanya kepada orang tuaku mengapa mereka mengganti saluran TV dan mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka tidak suka melihat binatang selama waktu makan. Selain itu, mungkin ada adegan yang agak mengejutkan dalam acara seperti itu dan mereka merasa tidak nyaman dengan gagasan bahwa ada sesuatu yang muncul saat mereka sedang makan.
"Aku tidak menyangka orang tuamu seperti itu," jawab Nanami. "Aku pikir mereka tidak mempermasalahkan hal semacam itu. Oh, dan sebagai catatan, aku tidak keberatan dengan hal itu."
"Oke, bagus. Ya, jika kamu mengatakan padaku sekarang bahwa hal seperti itu membuatmu tidak nyaman, aku harus mencari cara untuk meminta maaf."
"Kamu sangat dramatis," gumam Nanami, menatapku dengan raut wajah jengkel yang langka. Namun, aku tidak bercanda. Dia sepertinya merasakan keseriusanku, karena dia tersenyum canggung dan meletakkan tasnya sendiri di atas meja.
"Kalau begitu, mungkin aku juga harus minta maaf. Kita bisa menyebutnya impas," katanya. Ia kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah wadah kecil berwarna putih.
Melalui sisi tembus pandang dari wadah yang sangat kecil itu, aku melihat sesuatu yang berwarna kuning di dalamnya.
"Apa itu...?" Aku bergumam tidak percaya.
Dia membuka tutup wadah itu dan memperlihatkan apa yang ada di benakku - potongan-potongan telur dadar berwarna keemasan yang dibuat oleh Nanami. Itu adalah makanan favoritku dan terlihat sama sempurnanya seperti saat pertama kali aku melihatnya.
"Maafkan aku. Aku tahu kamu akan membuatkan kita makan siang hari ini, tapi aku juga membuatkannya karena aku benar-benar ingin kamu memakannya." Dia menjulurkan lidahnya dan tersenyum padaku tanpa sedikit pun penyesalan. Sama sekali tidak perlu baginya untuk menyesal, sikapnya membuatku merasa bahagia.
"Kamu tidak perlu meminta maaf," kataku dengan tulus. "Malah, itu membuatku bahagia. Aku suka omelet yang kamu buat. Makasih sudah membuatkan nya untukku."
"Jika Youshin mengatakan itu, maka baiklah. Daripada itu, ini.. Biarkan aku menyuapimu~ .. Ini terasa seperti nostalgia, bukan? Pertama kali aku menyuapimu itu dengan ayam goreng, ya."
Nanami mengambil sepotong telur dadar dan membawanya ke arahku.
Kedua ujung telur dadar yang lembut, tidak mampu menahan gaya gravitasi, terkulai ke bawah membentuk lengkungan. Bagian luarnya tampak kokoh dan berwarna keemasan yang indah, tetapi terlihat jelas hanya dengan melihatnya, bahwa bagian dalamnya mengembang dan sebagian berair. Melihatnya seperti ini, aku menyadari betapa cantiknya makanan yang dimasak Nanami.
Tentu saja ada banyak orang di sekitar kami, jadi kami tidak sendirian. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk mendekatkan sumpitnya. Aku bisa mendengar anak-anak berceloteh dengan penuh semangat di sekitar kami. Salah satu dari mereka membuat orang tua mereka malu dengan berkata, 'Ibu, ayah, lihat! Ada Onee-chan dan Onii-chan yang sedang bermesraan, sama seperti kalian!' Untuk saat ini, mungkin yang terbaik adalah menerima kebaikan Nanami dengan memakan telur dadar yang ia tawarkan, sebelum lebih banyak orang yang merasakan efek riak dari apa yang kami lakukan.
Ketika aku membiarkan makanan di ujung sumpitnya masuk ke dalam mulutku, seperti yang kulakukan pada hari itu hampir sebulan yang lalu-cita rasa telur dadar buatan Nanami yang sudah kukenal menyebar ke seluruh lidahku. Lapisan telur meleleh di dalam mulutku, mengisinya dengan rasa manis. Tidak peduli berapa kali aku mengalaminya, itu memberiku rasa bahagia.
"Sial, kamu benar-benar jauh lebih pandai memasak daripada aku," kataku. "Aku sudah berusaha belajar membuatnya seperti ini, tapi aku belum bisa."
Nanami terkikik. "Yah, mengingat berapa lama aku memasak, aku akan sangat kecewa jika kamu menjadi sehebat aku dengan cepat. Dan telur dadarmu juga. Ayo sekarang," katanya, membuka mulutnya dan menunjuk ke dalam. Dia sepertinya mengungkapkan bahwa dia ingin aku menyuapinya juga.
Seperti seekor bayi burung yang menantikan makanan, ia memejamkan matanya dan menungguku.
Aku tidak tahu apa itu, tapi melihat bagian dalam mulut seorang gadis membuatku sangat gugup.
Tidak, tunggu. Dia tidak melakukannya untuk membuatku merasa seperti ini. Aku harus cepat-cepat menyuapi nya juga...
Mengambil sepotong yang bentuknya relatif lebih baik dibandingkan dengan yang lain, aku memasukkannya dengan hati-hati ke dalam mulutnya, seolah-olah aku sedang memegang sepotong barang pecah belah yang halus. Ketika dia menyadari bahwa aku memberikannya, dia menutup mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan. Dia terlihat begitu bahagia, aku merasa lega.
"Mm, telur dadarmu juga enak. Tapi sungguh, luar biasa bahwa kamu sudah bisa memasak dalam waktu kurang dari sebulan. Kamu sudah berusaha sangat keras," katanya.
"Yah, itu karena aku punya guru yang hebat."
"Hee hee~! Aku sangat bangga dengan betapa kelas memasakku telah membantu meningkatkan kemampuan memasak murid-muridku!"
"Mereka mengatakan bahwa makanan adalah cinta. Jadi, Nanami-sensei, aku bisa mengatakan dengan yakin bahwa aku menaruh banyak cinta pada makanan ini." Aku hanya mengatakannya sambil bercanda, dengan asumsi bahwa Nanami akan segera membalasnya dengan candaannya sendiri, tapi ternyata dia tetap diam.
"Eh?" Aku menatapnya, bertanya-tanya apa yang salah, hanya untuk menemukan bahwa wajahnya telah berubah menjadi merah padam.
Ugh, jika kau akan merasa malu seperti itu, kau akan membuatku merasa seperti itu juga...
"Kamu mengemasnya dengan penuh cinta, ya? Heh heh, itu benar-benar membuatku sangat senang mendengarnya."
Dia tersenyum dan menyatukan ujung-ujung jarinya, membuatku tersipu malu. Keheningan kembali menyelimuti kami, tetapi segera dipecahkan oleh pekikan binatang di dekat kami.
"Ohh!" Nanami berteriak. "Ya ampun, lihat! Ada seekor monyet datang ke kaca!"
"Mungkin ini waktunya makan. Aku tidak menyangka bisa melihat mereka sedekat ini."
"Hei, Monyet-san! Apa kamu menikmati makan siangmu? Aku juga menikmati makan siangku!"
Tidak lama kemudian, lebih banyak monyet yang memakan makanan mereka sendiri di sisi lain kaca. Yang satu menjerit-jerit dan dengan satu pikiran membawa makanan ke mulutnya, sementara yang lain memegang apel dan melenggang ke sana kemari.
Ada berbagai macam monyet yang melakukan berbagai macam hal.
Nanami memiringkan kepalanya dan menyodorkan onigiri kepada seekor monyet. Mungkin terpikat oleh aksinya, monyet itu pun memiringkan kepalanya dan mendekatkan apel yang dipegangnya ke mulutnya.
Anak-anak yang duduk di dekat jendela juga menjadi gembira dengan kemunculan monyet-monyet itu. Monyet-monyet itu tampaknya sudah terbiasa dengan manusia atau mungkin mereka sudah terlatih-karena mereka terus saja memakan makanan mereka di sisi kaca.
Dikalahkan oleh ilusi bahwa kami sedang makan siang bersama binatang, aku mulai merasa lebih damai. Keheningan yang terjadi di antara aku dan Nanami kini benar-benar hilang. Kami kembali mengobrol dan memandangi kelompok monyet sambil melanjutkan makan siang.
"Kalau dipikir-pikir, apa kamu yang merencanakan makan siang hari ini, Yoshin?" Nanami bertanya ketika kami sedang melihat monyet-monyet itu bermain.
"Eh? Apa maksudmu?"
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Jadi, aku membalas pertanyaannya dengan pertanyaanku sendiri.
Apa aku merencanakannya? Aku tidak terlalu sadar dengan apa yang telah kubuat, tapi... Aku memiringkan kepalaku, tidak yakin apa yang dia tanyakan. Nanami, di sisi lain, menunjuk ke bento yang telah kusiapkan.
"Ayam goreng, tamagoyaki, tiga jenis onigiri, selada, tomat... Ada lebih banyak di sini daripada yang kubuat, tapi isinya sama persis dengan bento pertama yang kubuatkan untukmu, bukan?" tanyanya.
"Ah..."
Saat itulah aku menyadari apa yang dia maksud. Itu adalah pilihan makanan yang muncul di pikiranku secara alami, tanpa aku memikirkan bento Nanami.
Namun...
"Sekarang setelah kamu menyebutkannya, kamu benar sekali. Bento pertama yang kamu buatkan untukku berisi semua makanan ini, bukan?"
"Kamu tidak melakukannya dengan sengaja?"
"Tidak sama sekali. Kurasa aku melakukannya tanpa berpikir panjang."
Dia tertawa. "Oh, begitu. Itu bagus juga."
Bukan berarti Ayah dan Ibuku tidak pernah membuatkanku bento. Aku juga memiliki kenangan indah tentang kejadian-kejadian itu dan aku benar-benar bersyukur untuk itu, tetapi jika kau bertanya kepadaki bento apa yang paling berkesan yang pernah aku makan, aku mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah bento pertama yang dibuat oleh Nanami untukku. Itu bukan berarti aku melupakannya, itu lebih banyak berada di alam bawah sadarku dan sekarang setelah kami membicarakannya, aku mungkin tidak akan melupakannya.
"Tapi bentomi saat itu rasanya jauh lebih enak. Aku ingin tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan agar aku bisa membuat sesuatu yang rasanya seenak itu," kataku.
"Menurutmu begitu? Tapi aku suka makanan yang kamu buat. Dan selain itu, bukankah menurutmu kita akan bisa menikmati lebih banyak hal jika kita berdua memasak dengan cara yang berbeda, bukannya kita berdua membuat makanan yang rasanya sama persis?"
"Kamu selalu berpikir positif... Bagaimanapun juga, aku harus terus belajar darimu, jadi aku akan berterima kasih sebelumnya atas waktu dan tenagamu."
"Iya! Aku tidak sabar untuk memasak denganmu lagi."
Itu adalah janji lain di antara kami. Aku bertanya-tanya berapa banyak lagi janji yang akan kami buat di penghujung hari. Kami sudah membuat janji tentang anting-anting dan sekarang janji tentang memasak bersama. Aku yakin kami akan membuat lebih banyak janji lagi dan aku harus melakukan yang terbaik untuk menepati semuanya.
Ketika kami terus makan dan mengobrol tentang apa saja, kotak bento kami segera menjadi kosong. Meskipun makanannya tidak terlalu menarik untuk dilihat, namun rasanya tidak terlalu buruk. Berkat kebaikan dan pengertian Nanami, aku bisa menikmati makan siang kami bersama tanpa perlu mengkhawatirkan bagaimana rasanya.
Setelah aku menyimpan kotak bento, Nanami mengeluarkan wadah yang berbeda - dengan kemasan yang cantik. Aku sempat bingung dengan kotak tambahan itu sampai aku menyadari aroma manis dan panggang yang berasal dari dalamnya.
"Ini dessert!" Nanami memberitahuku. "Aku membuat brownies cokelat. Mari kita makan ini sambil melihat monyet-monyet itu."
Nanami benar-benar pacar yang penuh perhatian.. Aku harus menjadi pacar yang layak untuknya..
"Oh, sebelum itu. Aku ingin pergi membeli minum. Kamu mau minum apa? Teh hitam?"
"Hmm, karena browniesnya agak manis, bisakah kamu mengambilkanku yang tanpa gula?" tanyanya.
"Baiklah. Tunggu sebentar, ya?"
Saat Nanami menyiapkan brownies, aku pergi ke mesin penjual otomatis di dekat tempat peristirahatan dan membeli teh hitam tanpa gula. Ketika aku kembali, aku memberikannya kepada Nanami dan kami menikmati brownies sambil menghabiskan waktu menonton monyet-monyet bermain.
Berdasarkan ingatanku di masa lalu, aku mengira kebun binatang ini relatif kecil. Kupikir kami akan dapat melihat semua binatang dengan cukup cepat dan kami akan segera menuju ke tujuan kedua hari itu. Sebagian dari diriku bahkan berpikir bahwa aku harus mencari tempat lain untuk dikunjungi agar kami dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama, namun ternyata, tidak demikian. Kebun binatang itu sangat menyenangkan.
Malam sebelumnya, aku sudah mencaritahu banyak hal, menandai dua tempat yang ingin aku kunjungi. Jika aku menyertakan monyet-monyet yang kami lihat saat makan siang, maka jumlahnya menjadi 3 tempat.
Kami menghabiskan setengah hari untuk mengunjungi 3 tempat saja!
Dan masih banyak lagi yang ingin aku lihat.
Meskipun aku terkejut dengan banyaknya hal yang bisa dilakukan dan betapa santai kami bisa menikmati melihat binatang, kau juga terkejut dengan kemegahan tempat ini. Aku tahu aku mengatakan semua ini secara bertele-tele, tapi sebenarnya sederhana saja: kebun binatang itu menyenangkan karena aku bersama Nanami. Jika aku sendirian, aku tidak akan punya siapa-siapa untuk berbagi kegembiraanku tentang binatang-binatang itu dan aku akan selesai melihat-lihat dalam waktu singkat.
Bahkan, meskipun tempat ini tidak lebih dari sekadar padang rumput yang kosong, aku tetap akan bersenang-senang jika bersama Nanami. Kami bisa bersantai bersama, berjalan-jalan atau bermalas-malasan dan tidur siang di padang rumput itu. Jadi, jika kita akan berbicara tentang penemuan kembali, itu haruslah tentangku menemukan kembali betapa menyenangkannya menghabiskan waktu bersama Nanami. Aku, seorang penyendiri dan orang rumahan, telah banyak berubah dalam waktu 1 bulan. Aku tidak tahu apakah aku telah diubah oleh sesuatu atau apakah aku telah mengubah diriku sendiri. Yang jelas, perubahan itu sendiri sama sekali tidak menyenangkan.
Kembali ke topik, kami masih melihat monyet-monyet dari rumah peristirahatan.
"Lihat di sana! Monyet-monyet itu sedang saling berdandan! Lucu sekali. Aku ingin tahu apakah mereka sepasang kekasih. Atau mungkin mereka berteman!" Nanami berseru.
"Yah, mereka monyet. Jadi, mungkin mereka melihat satu sama lain sebagai anggota kelompok yang sama. Aku ingin tahu apakah monyet memiliki konsep kekasih. Dan bagaimana kamu membedakan jantan dan betina? Dari belakang, aku tidak bisa membedakannya sama sekali."
"Hmm, mungkin mereka bisa membedakannya dari bentuk tubuhnya. Seperti, mungkin yang gemuk di sebelah sana adalah laki-laki dan yang bulat di sebelah sana adalah perempuan."
"Eh, aku tidak bisa membedakannya. Tunggu, kamu bisa membedakannya? Aku akan mencari tahu bagaimana cara membedakannya."
Kami akhirnya menghabiskan banyak waktu hanya untuk melihat monyet-monyet itu.
Mungkin setelah aku mencari tahu, kami harus mulai berjalan ke tempat berikutnya. Saat aku mengutak-atik smartphoneku, aku menemukan sebuah metode untuk membedakan mereka, tetapi itu adalah metode yang agak sulit untuk aku sampaikan kepada Nanami.
Ya, aku tidak bisa memberitahukannya. Itu adalah cara yang mudah untuk membedakan mereka, tetapi aku ragu-ragu untuk mengatakannya dengan lantang.
"Nah, karena kita sudah makan dan istirahat cukup. Bagaimana kalau kita melanjutkan melihat-lihat?"
Aku menyarankan.
"Nee, ada apa? Ooh, aku tahu. Kamu pasti sedang mencari sesuatu yang menarik, kan?"
Nanami tersenyum padaku dan memiringkan kepalanya untuk melihat smartphoneku. Dalam kepanikanku, aku membiarkan artikel yang kubaca tetap terbuka dan Nanami akhirnya bisa melihatnya dengan baik. Itu adalah halaman tentang cara termudah untuk mengetahui jenis kelamin monyet. Begitu melihat penjelasannya, wajah Nanami memerah.
"A-Ahaha ... b-benar, itu akan menjadi cara termudah untuk membedakan mereka. Mm, eeeh, Kenapa kamu mencarinya di halaman itu?!" teriaknya.
"Tunggu, biar aku jelaskan!" Aku menangis, mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Aku tidak berniat melakukan pelecehan seksual! Dan, maksudku, ini adalah cara yang paling jitu untuk mengatakannya. Oke, err, maaf."
Aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut, karena memang mudah untuk membedakan pria dan wanita jika mereka sudah dewasa. Yang harus kau lakukan adalah melihat pada satu titik yang sangat spesifik. Itulah yang dikatakan oleh artikel yang aku temukan. Hanya itu saja. Itu bukan salahku atau apa pun... atau begitulah yang aku pikirkan.
Tapi ketika Nanami melihat artikel itu, dia sangat tersipu, aku merasa sangat bersalah.
Seharusnya aku setidaknya menutup halaman tersebut sebelum menyarankan kami untuk melanjutkan. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengungkit sesuatu yang mungkin membuatnya tidak nyaman.
Meskipun aku tidak bermaksud demikian, aku tetap khawatir. Namun, saat ia berdiri dari kursinya. Nanami, sambil menggembungkan pipinya sedikit bergumam, "Kurasa, kalau kamu adalah tipe orang yang memaksaku untuk melihat hal-hal seperti itu, aku tidak akan menyukaimu sejak awal."
Mendengar itu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersipu malu. Sepertinya dia mengira bahwa gesekan kursi di lantai saat dia berdiri akan meredam kata-katanya, tetapi sayangnya, aku mendengar semuanya dengan jelas.
Bukankah pada saat-saat seperti inilah, tokoh protagonis yang kesulitan mendengar, memanfaatkan karakteristik unik mereka?
Aku bertanya-tanya, apa yang diperlukan agar aku bisa seperti itu.
Namun, untuk saat ini, aku senang bisa mendengar apa yang dikatakannya.
Setelah dia berdiri, Nanami menatapku dengan bingung karena aku masih duduk. Aku menggelengkan kepalaku sedikit agar dia tidak melihat rona merah di pipiku, lalu berdiri juga.
"Bagaimana kalau kita pergi? Apa yang ingin kamu lihat selanjutnya, Nanami?"
"Hmm, kita lihat saja nanti. Mungkin sulit untuk melihat semuanya dalam waktu yang kita miliki, kan? Bukankah kita harus mengunjungi kuil setelah ini?"
Aku sudah menyarankan agar kami mengunjungi kuil setelah selesai di kebun binatang. Meskipun jaraknya cukup dekat, namun, mencoba melihat semuanya sebelum ke sana, sepertinya terlalu terburu-buru. Biasanya, aku menyarankan untuk mengunjungi kuil pada hari yang berbeda dan hanya berkonsentrasi pada kebun binatang. Tapi hari ini, aku benar-benar ingin singgah di kuil.
"Kalau begitu, mungkin kita harus melihat beberapa hewan yang menjadi sorotan.
Bagaimana pendapatmu tentang beruang kutub?" Aku bertanya sambil menunjuk ke tempat di ujung kebun binatang.
"Oh, boleh juga tuh! Beruang kutub! Dengan begitu kita juga bisa melihat hewan-hewan lain di sepanjang jalan. Ayo kita lakukan," kata Nanami setuju.
Fasilitas beruang kutub tampak seperti kandang terbesar yang dimiliki kebun binatang ini dan kami bisa melihat beberapa hewan lain dalam perjalanan ke sana.
Karena kandang itu berada di ujung kebun binatang, jika kami mengambil jalur yang berbeda dalam perjalanan pulang, kami akan dapat melihat lebih banyak hewan lagi.
"Bagaimana kalau kita ke sana?"
"Iya! Ayo kita pergi!"
Kami bergandengan tangan saat keluar dari rumah peristirahatan dan langsung menuju ke bangunan tempat beruang kutub dipelihara. Di sepanjang jalan, kami melihat papan petunjuk untuk tur berpemandu dan acara-acara lain yang membuat kami mempertimbangkan untuk ikut serta.
Namun, sepertinya kami telah mengacaukan waktu kami, karena tidak ada acara yang diadakan pada hari itu. Tampaknya beberapa tempat di kebun binatang hanya bisa dikunjungi pada beberapa tur tersebut.
"Tur dengan pemandu, ya? Aku ingin tahu apa saja yang bisa dilihat," kataku.
"Kamu mungkin bisa melihat binatang di habitat aslinya. Jika kamu diserang di hutan, aku akan melindungimu!" Kata Nanami, sambil mengangkat tangan kanannya untuk menunjukkan tekadnya.
"Tunggu, bukankah seharusnya sebaliknya? Seharusnya aku yang melindungimu, Nanami. Aku tidak bisa mundur untuk hal itu." Ditambah lagi, aku cukup yakin tur di kebun binatang tidak akan sebegitu berbahayanya.
"Hee hee... begitu ya. Kamu akan melindungiku, ya? Itu sangat keren."
Sambil memeluk lenganku erat-erat, Nanami melemparkan senyumnya padaku. Tentu saja-jika itu berarti melindungi senyuman ini, aku akan melakukan apapun. Aku merasa aku bisa melakukan apa saja. Aku bertanya-tanya apakah dia mengatakan apa yang dia katakan hanya untuk membuatku mengatakan itu.
Namun, untuk hari ini, sepertinya kami tidak akan mengalami kejadian seperti itu. Ini benar-benar menjadi kencan yang damai. Di antara rumah peristirahatan dan kandang beruang kutub, kami akhirnya melihat berbagai macam hewan lainnya.
Aku mengira bahwa monyet hanya tinggal di daerah yang berdekatan dengan rumah peristirahatan, tetapi kami melihat lebih banyak monyet di sepanjang jalan. Beberapa memiliki bulu hitam-putih yang indah yang membuatku berpikir bahwa mereka mungkin penguin dan yang lainnya memiliki bulu yang sangat berkilau sehingga terlihat seperti keemasan.
Kami juga melihat rusa Yezo sika yang saling menggosokkan tubuh mereka satu sama lain, serta serigala, yang tidak bisa kau lihat setiap hari yang menatap tajam ke arah kami. Habitat rusa dan serigala berada tepat di sebelah satu sama lain dan kontras antara keduanya cukup mencengangkan. Aku pernah mendengar bahwa serigala Jepang telah punah di alam liar. Jadi, serigala di kebun binatang ini pasti merupakan varian dari luar negeri. Mereka tampak begitu berwibawa saat melihat kami memperhatikan mereka.
Di sebelah tempat yang kami tuju ada kandang yang lebih kecil di mana beruang-beruang coklat dipelihara. Ingin tahu apakah kedua spesies beruang itu sengaja hidup berdampingan, aku mengamati beruang-beruang coklat yang sedang tidur siang. Saat itu hari sudah sore, jadi mungkin mereka sudah selesai makan dan memutuskan untuk tidur.
"Aku pikir beruang itu menakutkan, tapi aslinya mereka lucu," kata Nanami.
"Mungkin semua binatang buas akan terlihat lucu saat berada di kebun binatang. Namun, jika mereka berada di tengah kota, kita semua mungkin akan panik."
"Itu benar. Tapi dia sangat lucu. Coba lihat, dia sedang tidur."
Saat kami berjalan, Nanami dan aku berhenti di depan berbagai binatang, mengobrol, mengambil foto satu sama lain dan meminta orang lain untuk mengambil foto untuk kami juga. Kami bahkan meminta seseorang untuk mengambil foto kami dengan beruang coklat sebagai background. Kami berterima kasih kepada orang yang telah mengambil foto untuk kami dan mengambil foto kelompok mereka juga. Kami melakukan hal itu beberapa kali saat kami berjalan ke tepi kebun binatang.
Setelah berjalan-jalan, akhirnya kami tiba di fasilitas yang menampung beruang kutub.
"Oooh, besar sekali! Bukankah ini terlihat lebih besar dari tempat gajah-gajah itu?" Nanami bertanya.
"Ya, mungkin. Seharusnya ada beruang kutub dan anjing laut di sini," jawabku.
"Oh, iyakah? Bukannya itu agak aneh, anjing lautnya pasti menjadi makanan empuk mereka tau."
"Aku pernah membaca bahwa sumber makanan utama beruang kutub adalah anjing laut."
Mendengar itu, mata Nanami terbelalak. Ya, itu adalah hal yang cukup mengejutkan untuk didengar. Aku juga sangat terkejut ketika pertama kali mencarinya. Rasanya tidak terpikirkan bahwa ada dua hewan yang memiliki hubungan predator dipajang di ruang yang sama.
"Kalau begitu, ini seharusnya tidak boleh dibiarkan, kan? Apalagi banyak anak kecil yang melihatnya. Bisa saja membuat mereka trauma."
"Ah, tenang saja. Bukan seperti itu. Kamu akan tahu apa yang aku maksud setelah kita masuk ke dalam."
Aku menggandeng tangan Nanami yang cemas dan memasuki fasilitas beruang kutub. Itu adalah sebuah bangunan putih dengan dua lantai dan aku terus menuntunnya saat kami menaiki tangga ke lantai atas. Ketika kami sampai di sana, kami melihat seekor beruang kutub berjalan-jalan perlahan di bawah. Bagian dalam kandang juga memiliki tangga dan ada kolam besar berisi air di lantai bawah. Tidak ada satu pun anjing laut yang terlihat.
"Oh, anjing laut tidak ada di sini bersama mereka," kata Nanami sambil menghela napas.
"Jika ada, mereka akan berakhir menjadi santapan makan siang beruang kutub. Kurasa agak sulit bagi musuh alami untuk akur seperti yang kita lihat di buku-buku cerita."
"Lalu di mana anjing lautnya?" Nanami bertanya dengan ragu-ragu.
"Kita akan mengetahuinya saat kita kembali ke bawah. Karena beruang kutub juga akan turun, ayo kita ikuti dia."
Aku tersenyum pada Nanami saat dia menatapku dengan ekspresi bingung. Kemudian kami berjalan perlahan menuruni tangga dan tiba di lantai bawah. Di dalam ruangan itu gelap, tetapi pencahayaan di sepanjang dinding dan cahaya biru yang indah yang menyaring air menerangi ruangan. Nanami memandangi pemandangan di hadapannya.
"Ini..."
Kata itu saja sudah cukup bagiku untuk memahami apa yang ingin disampaikannya. Memang benar, tempat ini sangat mirip dengan terowongan bawah laut yang kami lalui pada kencan pertama kami.
"Bukankah keren kalau kita bisa melihat sesuatu seperti terowongan di akuarium di sini juga? Ayolah. Ayo kita coba masuk ke dalamnya," kataku.
"Iya! Waktu itu ada ikan, tapi hari ini ada terowongan beruang kutub. Oh, tunggu. Apa itu anjing lautnya?"
Saat itulah Nanami melihat anjing laut berenang di atas terowongan. Ada sekitar empat ekor, berenang dengan bebas di dalam air. Mereka benar-benar menggemaskan.
Saat Nanami melihat anjing laut itu, kami mendengar suara gemercik keras dari suatu tempat di dekatnya. Ketika kami menoleh ke arah sumber suara, kami melihat seekor beruang kutub menenggelamkan tubuhnya yang besar ke dalam air. Beruang kutub itu bergerak dengan kecepatan luar biasa yang tak terduga dari tubuhnya yang besar dan berenang langsung ke arah anjing laut.
"Tunggu, dia sangat cepat. Anjing lautnya dalam bahaya!" Nanami berteriak panik melihat beruang kutub raksasa melintas di atas kepalanya. Dia melihat dengan gugup saat adegan itu berlangsung, tetapi beruang kutub itu tidak berhasil mencapai anjing laut. Sebaliknya, beruang itu berbalik dengan anggun, mengetuk-ngetukkan kakinya ke kaca dan berenang kembali ke tempat asalnya.
"Haa. Aku senang anjing lautnya baik-baik saja, tapi kenapa?" Nanami bergumam.
"Kolam itu dipisahkan oleh kaca yang dibentengi. Tidak mungkin beruang kutub itu bisa mencapai anjing laut," aku menjelaskan.
"Apa kamu tahu tentang itu?" tanyanya.
"Aku mengetahuinya ketika aku mencarinya kemarin. Aku rasa mereka tidak mungkin menyatukan keduanya tanpa melakukan tindakan pencegahan."
Nanami yang sangat terkejut, menggembungkan pipinya dan mulai memukulku dengan tinjunya. Dia tidak terlalu keras dalam pukulannya, jadi aku merasa cukup nyaman.
"Muu, Youshin bodoh! Kamu seharusnya memberitahuku tentang hal itu!" teriaknya.
"Tidak, kupikir akan lebih menarik jika aku tidak memberitahumu. Bukankah itu sedikit mendebarkan?"
Sebagai jawaban, Nanami terus memukulku dan berteriak, "Serius?!"
Sepanjang percakapan kami, beruang kutub itu terus berenang dengan santai di dalam terowongan, memberi kami pertunjukan. Ketika beruang kutub itu berenang di atas kami, kami bisa melihat perut beruang kutub itu dan ketika beruang kutub itu berada di sisi kami, kami bisa melihat bantalan di cakarnya yang besar, yang hampir terlalu imut untuk tubuhnya yang besar.
Beruang kutub itu berenang kesana kemari, tetapi tidak bisa menyentuh anjing laut.
Di sisi lain kaca, anjing laut terus berenang menjauhi beruang kutub seolah-olah mereka tidak mengetahuinya. Kami merasa seperti sedang menyaksikan hewan liar yang sedang memainkan permainan kejar-kejaran yang paling aman di dunia.
Pemandangan ini sangat mengesankan dan kami juga dapat dengan tenang menikmati pemandangan beruang kutub yang berenang-renang. Keluarga-keluarga di sekitar kami juga tampak menikmati dan kami berdiri di sana menikmati pengalaman itu bersama mereka.
Tiba-tiba, Nanami berbisik, "Aku tahu ini terdengar agak aneh. Tapi, aku ingin tahu bagaimana rasanya dipisahkan oleh kaca dan tidak pernah bisa menyentuh orang yang kamu sukai." Ucapannya terdengar agak sedih dan kesepian, tetapi ia segera menenangkan diri dan menyunggingkan senyuman di wajahnya.
Dia mungkin mengatakannya secara tidak sadar. Bahkan dia tampak terkejut pada dirinya sendiri.
"Tempat ini mengingatkanku pada kencan di akuarium kita," kataku. "Saat itu kita bertemu Yuki-chan, bukan? Aku merasa seperti mengulang kembali langkah kita."
Senyum di wajah Nanami menunjukkan bahwa dia telah mendapatkan kembali ketenangannya, tetapi aku masih khawatir dengan apa yang dia katakan. Itulah yang membuatku mengucapkan kata-kata yang tidak bisa aku ucapkan sebelumnya. Kemudian aku melanjutkan.
"Jika kita dipisahkan oleh sepotong kaca, aku akan melakukan apa saja untuk menembusnya. Jadi, jangan khawatir. Aku akan memastikan kita bisa saling bersentuhan lagi."
Nanami membuka matanya lebar-lebar karena terkejut. Wajahku memerah, menyadari betapa klise pernyataan itu. Namun, aku tidak berani memalingkan muka darinya. Pipiku terasa panas dan aku bisa merasakan dahiku mulai berkeringat. Meskipun begitu, aku terus menatap mata Nanami.
Akhirnya, Nanami membalas senyumanku, menunjukkan senyuman yang tampak penuh kegembiraan. "Jika itu terjadi, aku akan mencoba memecahkan kaca itu juga agar kita bisa saling bersentuhan lebih cepat lagi." Dia mendekatkan bahunya ke pundakku hingga kedua bahu kami bersentuhan dan aku tidak bisa menahan senyum.
"Aku ingin tahu ruangan seperti apa yang memiliki kaca di tengah-tengahnya," gumamnya sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Mungkin akan seperti tangki ini, ya?"
Itu hanya hipotesis, jadi aku tidak benar-benar membayangkan secara spesifik dan aku tentu saja tidak menyangka dia akan bertanya-tanya seperti itu.
Haruskah kita benar-benar membayangkan situasi semacam itu?
"Hmm, aku rasa hal seperti itu hanya terjadi di film horor," kataku.
"Seperti, kalian bisa melihat satu sama lain, tetapi kalian tidak bisa saling menyentuh dan kalian tidak bisa menolong orang lain meskipun kalian menginginkannya."
"Sepertinya aku sama sekai tidak menyukainya. Kaca, ya? Kita harus mulai memikirkan bagaimana cara memecahkannya."
"Eh, hal semacam itu mungkin tidak akan terjadi dalam kehidupan nyata. Ruangan di mana kamu tidak bisa keluar sampai kamu melakukan sesuatu cukup umum di internet, tapi... Sudahlah, lupakan saja apa yang aku katakan."
Aku sadar diri sebelum aku berbicara terlalu banyak. Aku tahu aku harus berhenti di tengah-tengah, tetapi mengingat kesalahan yang kubuat di rumah peristirahatan, aku ragu-ragu untuk mengatakan lebih banyak. Sayangnya, aku tidak akan lolos begitu saja. Selalu waspada akan hal-hal seperti itu, Nanami mendesakku untuk melanjutkan.
"Ruangan di mana kamu tidak bisa keluar sampai kamu melakukan sesuatu? Sesuatu seperti apa? Nee, Youshin?" tanyanya terburu-buru.
"Kamu tidak perlu khawatir tentang hal itu. Lupakan saja kalau aku pernah mengatakan sesuatu. Dan kamu juga tidak perlu mencari tahu apa pun. Sama sekali tidak perlu. Oke, kita sudahi saja pembicaraan ini."
"Apa itu sesuatu yang mesum?"
Aku sudah mencoba untuk memotong pembicaraan, tapi strategiku menjadi bumerang. Nanami sepertinya sudah mengetahui apa yang kubicarakan.
Sialan...
"Ah, ya. Mereka cenderung seperti itu. Tapi, jangan mencari tahunya, oke?"
Dengan kecurigaannya yang terkonfirmasi, kami berdua terdiam. Mata kami sempat bertemu dan kami melihat satu sama lain sedikit tersipu. Kemudian Nanami menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Ayo kita pergi menonton film. Bukan film horor, tapi film yang menyenangkan."
"Kedengarannya menyenangkan. Baiklah, lain kali kita akan menonton film bersama."
Dengan kami berdua secara terang-terangan mengubah topik pembicaraan, kami kembali mengamati beruang kutub. Terowongan itu jauh lebih panjang dari yang kami perkirakan.
Ketika kami berjalan melewatinya, kami melihat beruang-beruang itu berenang-renang. Sepertinya mereka sedang melakukan pertunjukan untuk manusia di bawahnya. Manusia sendiri berseru-seru kegirangan dan kekaguman. Ketika dua beruang kutub berenang pada saat yang sama, pemandangannya sungguh menakjubkan.
"Ini luar biasa," bisik Nanami. "Melihat mereka seperti ini sangat menegangkan, tetapi bantalan di kaki mereka terlihat sangat lucu. Sepertinya mereka mencoba menunjukkannya kepada kita. Mereka benar-benar mempraktikkan layanan pelanggan yang baik."
"Tapi cakar mereka itu menakutkan jika dilihat dari dekat. Yah, mereka beruang. Gila rasanya jika berpikir mereka menggunakannya untuk membunuh anjing laut. Itu benar-benar membuatmu berpikir," jawabku.
"Hmm, menarik sekali kita memperhatikan hal-hal yang berbeda. Aku melihat bantalannya dan kamu melihat cakarnya. Kurasa anak laki-laki suka melihat hal-hal berbahaya seperti itu, ya?"
"Ah, mungkin kamu benar. Bantalan kaki... Aku ingin tahu apakah bantalan kaki beruang kutub juga licin. Aku selalu memikirkan kucing ketika membayangkannya. Tunggu, apa beruang adalah bagian dari keluarga kucing?"
"Aku senang dengan apa pun selama itu lucu. Meskipun mereka adalah sejenis kucing, kita tidak bisa seenaknya menyentuh bantalan kaki beruang kutub. Ini mungkin sedekat ini yang akan kita dapatkan."
Nanami mendekati terowongan itu dengan hati-hati dan meletakkan jari-jarinya di atas kaca, berlawanan dengan tempat beruang kutub yang sedang menempelkan cakarnya ke kaca. Tentu saja, ia tidak bisa merasakan apa pun melalui kaca, tetapi dari jauh, beruang kutub itu tampak seakan-akan sedang menyentuh bantalannya. Meskipun pertemuan antara Nanami dan beruang itu berlangsung singkat, namun aku dapat mengabadikan momen itu dengan sempurna dalam video.
"Mari kita kesampingkan tentang beruangnya. Kira-kira pintu keluar nya di mana, ya? Terowongan ini cukup panjang," kataku.
"Benar, aku juga ingin tahu seberapa panjang terowongan ini. Oh, ada cahaya putih di depan."
Cahaya putih dari pintu keluar tampak menonjol di tengah cahaya biru terowongan.
Begitu kami akhirnya keluar, seolah-olah kami telah melangkah keluar dari air dan ke tanah. Kami berdua menarik dan menghembuskan napas secara perlahan dan dalam. Tampaknya Nanami juga merasa seperti muncul ke permukaan. Kami berdua saling bertukar senyuman.
Karena bagian dalam terowongan terasa dingin, kehangatan matahari di luar mungkin berkontribusi pada ilusi itu. Perasaan tubuh kami yang perlahan-lahan menghangat kembali, sungguh menyenangkan.
"Tadi sangat menyenangkan!" Nanami berseru. "Beruang kutub itu sangat lucu."
"Ya, memang benar. Haruskah kita melanjutkan perjalanan lagi? Kita bisa mengambil rute yang berbeda untuk kembali ke pintu keluar dan melihat beberapa hewan lain di sepanjang jalan," saranku.
"Iya, ayo kita lakukan. Dengan begitu kita bisa melihat lebih banyak hewan sebelum kita pulang."
Kami melihat kembali ke arah bangunan yang menampung beruang kutub, lalu memeriksa peta kami untuk mencari rute yang berbeda dari yang kami ambil sebelumnya. Karena kami telah mengambil jalur di bagian atas peta, kami memutuskan bahwa dalam perjalanan pulang, kami akan mengambil jalur di bagian bawah peta. Dengan rencana yang sudah tersusun, kami mulai berjalan.
Ada banyak sekali hewan di rute baru ini. Meskipun kami tidak sempat berhenti dan melihat semuanya, kami menemukan beberapa penguin dan burung tropis, serta fasilitas yang menampung reptil.
"Bagaimana dengan reptil, Nanami?" Aku bertanya.
"Aku tidak terlalu suka dengan ular dan seje. Aku lebih suka binatang yang lucu dan lembut. Atau mungkin aku hanya belum punya kesempatan untuk belajar menghargai mereka."
"Aku pernah mendengar bahwa reptil pun tampak lucu setelah kamu terbiasa dengan mereka. Mungkin kita bisa melihatnya lain kali."
"Mm, mari kita melihatnya lain kali."
Dengan itu, kami menambahkan satu janji lagi ke dalam daftar. Tidak peduli berapa banyak janji yang kami buat, kami mungkin tidak akan pernah merasa seperti tercekik. Namun untuk menepati janji-janji itu, kami-tidak, aku harus memastikan bahwa kami sampai di tujuan kedua kencan kami hari ini.
Sambil berjalan-jalan, masih bergandengan tangan, kami menikmati pemandangan kebun binatang dengan berbagai macam binatang. Di area yang menampung berbagai burung air, kami melihat bebek yang meluncur dengan anggun di permukaan air, serta burung-burung berwarna merah cerah yang bertengger di cabang-cabang pohon di dekatnya. Kami juga melihat seekor penguin yang berlenggak-lenggok, tubuhnya bergoyang-goyang dari satu sisi ke sisi lain.
"Apa itu jenis penguin yang berbeda dengan yang kita lihat di akuarium? Sepertinya lebih santai," kata Nanami.
"Mungkin karena ini di darat. Mereka sangat cepat ketika berenang."
Kalau dipikir-pikir, kami pernah melihat penguin di akuarium. Senang sekali rasanya tiba-tiba teringat akan kencan sebelumnya dan bisa mengenangnya kembali. Penguin di sini berjalan perlahan, membuat suara tepuk, tepuk, tepuk yang lembut dengan kakinya. Sambil mengingat kembali kenangan kencan yang baru saja terjadi, kami terus berjalan menyusuri kebun binatang.
Kami tiba di sebuah area yang berisi hewan-hewan dari Asia, seperti beruang madu dan harimau. Area dengan hewan-hewan dari Afrika, seperti kuda nil dan singa; dan bahkan area dengan jerapah dan burung unta. Sungguh luar biasa melihat semua hewan yang biasanya tidak bisa kami lihat.
"Aku tidak tahu kalau harimau itu hewan dari Asia. Aku pikir mereka berasal dari Afrika, seperti singa."
"Oh, aku juga memikirkan hal yang sama. Mungkin karena hal-hal yang kulihat di TV. Atau mungkin karena mereka berdua seperti kucing besar."
"Ah, itu mungkin saja. Mungkin karena mereka berdua kucing, kita berasumsi bahwa mereka pasti tinggal di tempat yang sama."
"Jika kita menjadikan ini sebagai kenangan kencan kita, kita mungkin tidak akan pernah melupakannya!"
Sambil terus memperbarui pengetahuan kami tentang hewan, kami mengalihkan pandangan kami ke lebih banyak pameran. Namun demikian, bagaimanapun kami mencoba untuk terus bergerak, kami akhirnya mengambil beberapa jalan memutar, karena ingin memuaskan rasa ingin tahu kami mengenai hewan-hewan yang sedang kami pelajari.
Meskipun aku tahu bahwa kuil ini tidak akan pergi ke mana-mana, kami tidak dapat menghabiskan terlalu banyak waktu di kebun binatang-pengunjung hanya dapat mengakses aula pemujaan kuil pada jam-jam tertentu dalam sehari. Kupikir aku telah melakukan riset dan persiapan yang baik untuk acara ini. Jadi, kami menghabiskan waktu begitu lama di sana benar-benar di luar dugaan. Meskipun sebagian dari diriku memahami bahwa ini adalah kesenjangan antara idealisme dan kenyataan, aku mendapati diriku benar-benar menikmati perubahan rencana.
Namun, jika kami melewatkan waktu untuk berdoa, hal itu akan menggagalkan tujuan kami untuk mengunjungi kuil.
Diam-diam aku mengecek waktu di smartphonku.
Ya, kami masih punya waktu lebih dari satu jam, pikirku.
Jadi, seharusnya kami baik-baik saja. Saat itulah kami menemukan sebuah toko suvenir.
"Karena kita sudah di sini, haruskah kita memilih sesuatu?" Aku bertanya. "Kita punya gantungan hp yang sama di akuarium, ingat?"
"Oh, ya! Kira-kira di sini ada yang jual gantungan beruang kutub tidak, ya. Jika ada, ayo kita beli satu!"
"Eh, kamu mau beli lagi? Nggak kebanyakan tuh?"
"Nggaklah. Sebaliknya, melihat banyak aksesoris lucu sangat menyenangkan."
Kami mencari gantungan beruang kutub di toko suvenir, tetapi sayangnya tidak ada. Nanami langsung memasang ekspresi kecewa. Melihatnya seperti itu, aku mencari lebih keras lagi dan di salah satu sudut toko, aku menemukan beberapa gantungan kunci dari berbagai boneka binatang yang mengenakan kaus. Salah satu yang menarik perhatianku adalah seekor beruang kutub kecil yang mengenakan kaus dengan ilustrasi wajah beruang kutub. Beberapa makhluk menggemaskan lainnya juga digantung di sudut toko.
"Coba lihat ini, Nanami. Bagaimana kalau kita membeli gantungan kunci yang serasi?"
Selain beruang kutub, ada juga gorila, singa, gajah dan buaya, semuanya mengenakan kaos yang serupa.
Ya, salah satu dari mereka pasti sangat lucu, pikirku.
Aku memilih salah satu beruang kutub. Tampaknya dibuat dengan sangat baik.
Bahkan jika aku menaruhnya di tas sekolahku, sepertinya tidak akan mengganggu.
Mungkin juga tidak akan mudah robek.
Saat aku berdiri di sana memeriksa gantungan kunci, Nanami memilih satu juga.
"Bagaimana kalau kamu pilih yang beruang kutub, Yoshin?" tanyanya. "Aku ambil yang ini, lalu kita bisa bertukar."
Gantungan kunci di tangannya adalah seekor domba kecil. Ia tersenyum malu-malu sambil mengulurkan gantungan kunci hewan favoritku.
"Kamu tidak keberatan dengan beruang kutub? Kita tidak akan cocok," kataku.
"Mencocokkan itu bagus, tapi kupikir saling memberikan hewan yang kita sukai juga akan menyenangkan."
Oh, begitu. Itu sangat masuk akal.
"Kalau begitu, aku mau."
"Oke, kalau begitu mari kita lakukan."
Kami berdua menuju ke kasir dan kemudian menukar gantungan kunci kami. Aku mendapatkan domba dan Nanami mendapatkan beruang kutub. Kami memegang gantungan kunci kami di ujung jari dan saling tersenyum.
"Aku merasa hewan-hewan kita bertolak belakang dengan apa yang kamu harapkan mengingat jenis kelamin kita. Domba yang kamu dapatkan terlihat jauh lebih lucu daripada beruang kutub," katanya.
"Menurutmu begitu? Kurasa itu bukan hal yang buruk. Dan beruang kutubmu cukup lucu."
Kami berdua menyimpan gantungan kunci kami di tempat yang aman. Kami bisa saja mengikatkannya ke tas kami saat ini juga, tapi rasanya lebih baik menyimpan kesenangan itu untuk nanti.
Masih ada waktu sebelum kami harus pergi. Jadi, aku mulai mencari-cari barang lain yang bisa dibeli. Saat itulah aku menyadari bahwa mereka juga menjual makanan ringan. Roti berlapis kaca tampaknya menjadi spesialisasi mereka.
Kami sudah makan siang, tapi aku pasti lapar setelah berjalan-jalan. Dan jika mereka mengatakan itu adalah makanan khas mereka, itu berarti aku harus membelinya, bukan?
"Hei, Nanami, mereka punya roti berlapis kaca di sana. Apa kamu mau mencobanya?"
"Roti berlapis kaca? Aku rasa aku belum pernah memakannya sejak SD. Kelihatannya enak, tapi wow, ukurannya besar! Satu saja sepanjang lenganku! Apa kamu akan memakannya sendirian?" tanyanya.
"Eh, itu mungkin terlalu banyak. Bagaimana kalau kita bagi dua?"
"Yah, tidak baik makan itu semua sebelum makan malam. Jadi, ayo kita beli satu dan bagi dua."
Nanami tersenyum kecut seperti seorang ibu. Mungkin hanya aku, tapi aku merasa seperti pernah mendengar Ibuku mengatakan hal yang sama padaku, dulu sekali. Aku merasa sedikit malu, seolah-olah aku telah ditegur oleh Ibuku sendiri.
Kami membeli satu roti berlapis kaca untuk dibagi di antara kami berdua, menerima sepotong roti yang terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam bungkusnya. Tiga puluh sentimeter roti berlapis kaca itu cukup besar dan apa yang dikatakannya benar: jika aku mencoba memakannya sendirian, aku pasti tidak akan bisa menyelesaikan makan malam.
Dengan roti berlapis kaca di tangan, kami meninggalkan toko suvenir dan menggigit roti kami. Namun, saat kami berjalan, aku teringat sesuatu yang aneh yang dikatakan oleh penjual kepada kami.
"Tolong perhatikan sekitar Anda, selagi menikmati roti nya."
Aku bertanya-tanya apakah kami tidak diperbolehkan makan sambil berjalan-jalan di kebun binatang, tapi sepertinya tidak.
Apa lagi yang mereka bicarakan?
Roti berlapis kaca itu masih sangat panas. Kami masing-masing menggigitnya dari sisi yang berbeda dan merobek-robeknya untuk di makan. Kami berhasil memakan lebih dari sepertiga roti sebelum kami sampai di pintu keluar. Jadi, aku mulai berpikir bahwa kami akan dapat menghabiskannya sebelum kami tiba di kuil. Namun, ketika aku lengah, aku akhirnya mengetahui apa yang dimaksud oleh si penjual. Ketika kami sedang makan, aku melihat sebuah benda hitam terbang ke arah Nanami. Tentu saja, Nanami tidak menyadari benda terbang itu datang dari arah belakang. Aku tidak tahu benda apa itu-benda yang mendekatinya dengan kecepatan luar biasa, tetapi aku tahu benda itu akan menabraknya kecuali aku melakukan sesuatu.
"Nanami, awas!" seruku, menggunakan kedua tangan untuk menariknya ke arahku. Aku telah memegang roti itu, tapi karena memegangi Nanami, roti itu jatuh perlahan ke tanah.
"Yoshin?!"
Tidak tahu apa yang terjadi, Nanami menjerit tapi membiarkanku menariknya ke arahku. Benda hitam yang kukira mengarah langsung ke Nanami berbelok tajam, melesat ke arah sanggul kaca yang kulepaskan.
Lebih banyak lagi massa hitam yang terbang dari langit dan mengerumuni roti yang aku jatuhkan ke tanah. Setelah diamati lebih dekat, benda hitam itu adalah burung gagak.
Barulah aku menyadari bahwa ada peringatan "Awas: Burung Gagak" yang dipasang di berbagai titik di kebun binatang.
Kita memang dibolehkan makan sambil jalan, tapi tampaknya perlu kewaspadaan yang tinggi. Ini kesalahanku. Aku seharusnya lebih berhati-hati.
Tapi, bukankah seharusnya penjualnya lebih spesifik dan memberitahu kami untuk berhati-hati terhadap burung gagak? Tidak, ini kesalahanku. Mereka mungkin mengira kami sudah tahu.
Roti yang baru saja kami beli sekarang menjadi makanan burung gagak.
Tunggu, bahkan bungkusnya pun sudah hilang! Apa burung gagak juga makan kertas lilin?
Aku rasa tidak ada batasan seberapa omnivora mereka. Kesampingkan rotinya, aku senang Nanami baik-baik saja. Saat itu, aku mendengar suara dari dalam pelukanku.
"Um, Youshin? Aku senang, tapi ini agak memalukan tau."
Oh, ya. Nanami masih dalam pelukanku..
Saat aku merasakan panas dari tubuhnya merambat ke tubuhku, aku menyadari kehangatan dan kelembutan yang kupeluk erat-erat. Nanami berdiri di pelukanku, pipinya merah padam dan matanya terbuka lebar.
Dia tampak masih bingung, tidak mengerti apa yang terjadi di sekeliling kami. Aku pasti hanya membayangkannya, tetapi matanya tampak berputar-putar seperti dalam film kartun.
"Ah, m-maaf. Tadi ada burung gagak yang mengincar mu. Jadi, secara refleks aku menarikmu dalam pelukanku. Apa kamu terluka?"
"Ah, tidak. Aku takut, tapi aku tidak terluka. Aku merasa nyaman dan aman, seperti biasa," katanya.
"Astaga, burung-burung gagak itu mengambil roti kita. Aku tidak menyangka mereka akan menukik ke arah kita seperti itu."
"Iya, kita benar-benar lengah. Sungguh memalukan. Tapi, kurasa aku cukup senang karena kamu memelukku untuk melindungiku."
Aku merasa agak canggung karena memeluknya seperti itu di depan umum.
Orang-orang di sekitar kami tampak memandang kami dengan tatapan yang tidak perlu, tetapi aku akan berpura-pura bahwa itu hanya imajinasiku. Aku melangkah perlahan-lahan menjauh darinya, memastikan untuk melakukannya dengan lembut. Kemudian aku meraih tangannya sekali lagi.
"Nah, sekarang setelah semua itu berlalu, haruskah kita pergi ke kuil?" Aku bertanya, tetapi Nanami menatapku dengan senyum bergigi.
"Wajahmu memerah," katanya.
"Begitu juga denganmu," jawabku.
"Mustahil untuk tidak memerah saat kamu memelukku dengan erat dan lembut seperti itu!"
Erat dan lembut? Bukankah itu sebuah oksimoron?
Nanami bahkan tidak repot-repot menyembunyikan kemerahan di pipinya. Sebaliknya, dia tersenyum padaku dan tiba-tiba memelukku. Giliranku yang membuka mata lebar-lebar karena terkejut.
"Nanami?"
"Ini untuk ucapan terima kasih. Karena telah melindungiku. Makasih, Yoshin!"
Saat dia melonggarkan pelukannya yang singkat, dia mencium pipiku dengan lembut, sangat singkat sehingga tidak ada seorang pun di sekitar kami yang bisa menyadarinya.
Meskipun hanya berlangsung sesaat, pipiku secara jelas mencatat bahwa pipiku telah bersentuhan dengan bibirnya. Seolah-olah ingin mencegah agar sensasi itu tidak hilang, tanpa sadar aku menempelkan telapak tangan ke pipiku.
"Baiklah, ayo kita pergi ke tempat berikutnya dalam daftar!" Nanami berkata sambil mengulurkan tangannya padaku dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya. Aku membalas senyumnya dengan canggung dan meraih tangannya. Meskipun kami mengalami sedikit masalah di akhir, kami meninggalkan kebun binatang sambil berpegangan tangan erat.
Kami terus berjalan dan akhirnya sampai di sebuah taman. Kuil yang kami tuju berjarak sekitar 15 menit dengan berjalan kaki dan berada di tempat yang sama dengan taman. Taman itu sendiri dipenuhi dengan banyak sekali pepohonan yang tumbuh secara alami. Hanya dengan berjalan melaluinya, kami dapat menikmati berjalan-jalan di ruang yang dipenuhi dengan alam dalam bentuk yang paling murni. Ketika angin sepoi-sepoi bertiup, gemerisik dedaunan menggelitik telinga kami. Aku pernah mendengar bahwa pepohonan mengeluarkan zat phytoncidal yang sangat baik untuk tubuh manusia. Aroma hutan itu sendiri seharusnya membantu manusia menjadi rileks.
"Ini mengingatkanku pada taman tempat kita berjalan-jalan untuk menikmati bunga sakura," kata Nanami. "Meskipun kurasa saat ini tempat ini jauh lebih hijau. Ada begitu banyak jenis pohon yang berbeda."
"Benar, ada begitu banyak variasi, beberapa tumbuh secara diagonal yang lain tumbuh lurus. Aku ingin tahu apakah semua daun berubah menjadi keemasan di musim gugur atau apakah di musim dingin semuanya berubah menjadi putih seluruhnya."
"Pasti sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan di sana," bisiknya.
Kami terus berjalan, tangan kami saling bergandengan, dikelilingi oleh pohon-pohon cokelat yang tumbuh secara diagonal, pohon birch seputih salju dan pohon-pohon dengan dahan-dahan yang meliuk-liuk seperti lengan makhluk hidup. Aku hanya memikirkan taman ini sebagai jalan untuk mencapai kuil, tetapi taman itu sendiri layak untuk dikunjungi. Aku harus mengakui bahwa aku sudah meremehkannya. Dilihat dari peta, tampaknya kami akan tiba di kuil hanya dengan berjalan lurus.
Namun...
"Haruskah kita mengambil jalan memutar di sepanjang jalan? Sepertinya ada kolam di sana," kataku.
Karena ingin melihat lebih banyak pemandangan, kami berjalan ke tepi kolam. Di sana, kami melihat apa yang tampak seperti beberapa pohon yang tumbuh sangat berdekatan. Namun sebenarnya, itu adalah satu batang pohon yang sangat tebal dengan banyak cabang yang tumbuh, menjulang tinggi ke langit.
Pohon apaan tuh? Ada pohon-pohon serupa yang tumbuh di dekatnya.
Ketebalannya dan cara cabang-cabangnya yang tidak beraturan, sungguh mencengangkan. Pohon-pohon itu tampak seperti sesuatu yang keluar dari novel fantasi. Aku bertanya-tanya berapa umurnya, karena aku bisa menebak bahwa pohon-pohon ini tidak akan menjadi semegah ini hanya dalam beberapa tahun.
Malahan, pohon-pohon itu tampak begitu kuat dan nyaris menakutkan.
"Pohon-pohon ini akan terlihat sangat menakutkan di malam hari. Hampir seperti mereka akan mulai berdesir dan bergerak-gerak. Jika ada di film horor, dahan-dahan itu pasti akan mencoba merobek lenganmu," kata Nanami.
"Apa ada film horor yang seperti itu? Aku belum pernah menontonnya."
"Aku juga tidak begitu suka dengan film horor. Bagaimana kalau kita menontonnya bersama-sama? Kita bisa lihat siapa di antara kita yang akan lebih dulu menempel pada yang lain."
"Tantangan macam apa itu? Aku tidak tahu. Aku sangat tidak suka dengan film horor. Aku mungkin akan berpegangan padamu. Apa tidak apa-apa?"
"Kamu sudah memelukku tadi, jadi untuk apa kamu tiba-tiba meminta izin?" Dia tertawa kecil, membuatku teringat akan kehangatan tubuhnya. Saat itu, aku memeluknya tanpa berpikir panjang, tetapi jika aku melakukannya di rumah... yah, kami hanya berdua saja. Hanya ada kami berdua, saling berpelukan, menonton film yang menakutkan.
"Aku tidak yakin apakah aku bisa tetap rasional," gumamku dengan suara selembut mungkin. Nanami sepertinya masih bisa mendengarku. Tersipu sedikit mendengar perkataanku, dia tersenyum menggoda. Kemudian, sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, dia menatap mataku.
"Aku ingin tahu seperti apa dirimu saat kamu tidak lagi rasional."
Aku terkejut-bahkan tidak bisa berkata-kata dengan komentarnya.
Ketika aku tidak lagi rasional, ya?
Dia bukan satu-satunya orang yang bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Aku tidak memiliki ingatan untuk bertindak hanya berdasarkan emosiku.
Apa aku akan tergoda untuk mendorong Nanami ke lantai atau apakah aku akan mampu mempertahankan akal sehat?
"Aku belum bisa mengatakannya sampai hal itu terjadi. Lalu? Kamu ingin aku menjadi apa, Nanami?" Aku bertanya.
Dia menarik napas dengan tajam untuk sesaat, tetapi dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya dan tersenyum lebih lebar. "Kurasa aku akan menyerahkannya pada imajinasimu," jawabnya.
Dia tersenyum seolah-olah dia sama sekali tidak bingung, tetapi sepertinya dia tidak mengharapkan tanggapan seperti itu dariku. Dia tidak dapat menatap mataku. Meskipun aku bertanya-tanya mengapa dia mengatakan hal seperti itu jika itu membuatnya malu, aku juga merasakan kedamaian, mengetahui bahwa memang beginilah Nanami.
Sambil mengobrol tentang hal yang tidak penting, kami segera sampai di tepi kolam. Pemandangan di sana begitu menakjubkan, membuat kami terengah-engah. Cuaca hari itu sangat cerah dan karena hanya ada sedikit awan di langit, sinar matahari menyinari tanah dan mengubah kolam menjadi sebuah cermin. Tidak ada sampah atau dedaunan yang mengambang di permukaan air dan tidak ada burung yang berenang, sehingga permukaan kolam tampak tenang.
Dengan demikian, pemandangan simetri yang indah terhampar di hadapan kami, dengan kolam yang memantulkan pepohonan di sekelilingnya.
Bahkan, aku dan Nanami pun menjadi bagian dari pemandangan simetris itu. Seakan-akan kami yang terbalik, yang terpantul di dalam air, sedang menatap balik ke arah kami yang asli yang ada di darat.
"Wow, cantik sekali."
Hanya itu yang bisa dikatakan Nanami. Aku pun tidak bisa berkata-kata, sambil menatap dengan kagum pemandangan itu. Air yang memantulkan pepohonan dan dedaunan di sekeliling kami, terlihat seperti diwarnai hijau. Aku tidak bisa tidak bertanya-tanya, apakah air itu juga memantulkan pepohonan yang berubah warna menjadi merah dan kuning di musim gugur.
Aku menatap bayangan kita berdua di permukaan air. Sungguh fantastis, kupikir jika aku menyentuhnya, kami akan tersedot ke dalam dunia cermin seperti yang kau lihat di film-film.
"Yoshin, hati-hati!"
Ketika aku mendengar kata-kata itu, aku kembali sadar. Sebenarnya, tidak. Itu bukan hanya kata-kata itu. Nanami memegangiku karena aku melangkah terlalu dekat dengan air. Aku bisa merasakan sentuhan lembutnya di punggungku. Kesadaran itu membuatku merasa sedikit malu.
"Ah. Maaf, maaf, itu sangat indah. Jadi, aku tidak bisa menahannya. Sangat menakjubkan, bukan?"
"Memang benar itu indah. Tapi, tolong jangan bertingkah aneh-aneh. Nggak masalah kalau kamu hanya terjatuh dan basah. Tapi, kita tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Jangan membuatku khawatir," pinta Nanami.
"Mau bagaimana lagi. Bayanganmu terlihat sangat cantik dan mempesona terpantul di air, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu."
"Kalau begitu, kamu harus melihat diriku yang asil! Muu, kamu sangat pandai mengatakan hal-hal seperti itu sekarang. Aku khawatir kamu akan berubah menjadi playboy sejati."
"Oh, kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Kamu adalah satu-satunya orang yang mengatakan hal seperti itu padaku."
Lagipula, kalaupun aku mengatakan hal seperti itu pada orang lain selain Nanami, mereka akan menatapku dengan bingung atau menuduhku melakukan pelecehan seksual. Aku mungkin berpacaran dengan Nanami, tetapi aku tidak terlalu tampan.
Selain itu, satu-satunya alasan Nanami sendiri berpacaran denganku adalah karena.
Tidak, ini bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Sudah agak terlambat untuk itu sekarang...
Alih-alih terlalu memikirkan banyak hal, aku mengarahkan kamera smartphoneku ke permukaan air. Aku melangkah lebih dekat ke arah Nanami, merangkul bahunya dan menariknya ke arahku, sehingga aku bisa menangkap pantulan kami berdua. Dalam foto itu, kami berdua tersenyum.
"Semoga saja kita bisa datang ke sini lagi pada musim gugur dan musim dingin. Pasti akan menyenangkan, benar? Kita mungkin bisa menikmati bunga-bunga di sini dan mungkin akan menyenangkan untuk datang bersama keluarga kita juga. Kita akan memiliki banyak hal yang bisa dinantikan," kataku.
"Nee, jangan cuma ambil foto dengan smartphonemu saja! Aku juga ingin mengambil beberapa foto. Jadi, ke sini mendekat kepadaku!"
Aku sudah puas dengan satu foto kami yang bagus dalam posisi terbalik, tetapi tentu saja Nanami ingin mengambilnya juga. Aku beringsut mendekatinya lagi, khawatir kalau-kalau aku kurang perhatian. Namun...
"Uh..."
"Ada apa, Yoshin?"
"Apa yang aku ucapkan tadi sangat memalukan."
"Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?!"
Namun, meskipun aku merasa tidak nyaman dan Nanami memprotesnya, aku berhasil menariknya ke arahku. Dengan begitu, ia pun berhasil mengabadikan foto kami berdua.
Sungguh, sangat penting untuk menjaga agar semuanya tetap berjalan. Aku menjadi semakin malu ketika otakku mengasah fakta bahwa aku memeluk bahunya, sehingga wajahku lebih merah dalam foto ini daripada foto sebelumnya.
"Sekarang kita sudah mendapatkan beberapa foto yang bagus, haruskah kita pergi ke kuil?" tanyaku.
"Kedengarannya bagus! Tapi taman ini membuatku merasa ada banyak hal yang bisa dilihat di sini."
Ternyata, dia benar sekali. Dalam perjalanan menuju kuil, kami tidak hanya melihat lebih banyak pepohonan, tetapi juga berbagai macam hewan.
"Oh, ada tupai! Wow, dia menjulurkan kepalanya dari lubang di pohon itu. Lucu sekali! Oh, dan ada satu lagi. Ada di sana, sedang memakan sesuatu di atas tunggul pohon!"
"Tupai juga lucu, ya? Dan ada burung yang sangat berwarna-warni di sana. Burung itu sedang berkumpul dengan burung yang terlihat lebih polos. Aku ingin tahu apakah mereka sepasang kekasih," kataku.
"Oh, kamu benar. Wow, burung itu benar-benar berwarna-warni! Tapi burung yang sedang berjalan bersamanya terlihat biasa saja. Aku ingin tahu yang mana yang jantan."
Saat kami melihat dengan takjub pada burung-burung yang tidak kami kenal, kami mendengar seseorang memanggil kami dari dekat.
"Oh, itu pasti sepasang bebek mandarin. Yang berwarna-warni itu jantan dan yang polos itu betina."
Ketika kami menoleh ke arah sumber suara, kami menemukan sepasang orang tua yang sedang duduk di bangku yang terbuat dari tunggul pohon. Mereka berdua membawa teropong di tangan mereka, yang menunjukkan bahwa mereka sedang mengamati burung.
"Ah, maaf," kata pria tua itu. "Aku memang tidak berniat untuk ikut campur. Aku sering datang ke sini bersama istriku untuk mengamati burung. Kalian berdua pasti sedang berkencan, ya."
"Senang sekali melihat kalian berdua bergandengan tangan," tambah istrinya. "Ini membuat kami bernostalgia dan kami tidak bisa menahan diri untuk tidak menyapa. Maaf jika kami mengganggu kencan kalian."
Pasangan itu membungkuk kepada kami untuk meminta maaf, tetapi karena kami tidak merasakan apa-apa selain rasa syukur, kami mengucapkan terima kasih. Jadi itu adalah bebek mandarin. Aku belum pernah melihatnya.
Nanami mendekati pasangan itu dan duduk di samping mereka di atas tunggul pohon. Sambil mengayunkan kakinya sedikit, ia tampak mengumpulkan keberanian untuk menanyakan sesuatu kepada mereka.
Ada perihal apakah, pacarku?
Setelah mengambil waktu sejenak untuk mengambil keputusan, Nanami akhirnya mendongak dengan tekad yang kuat dan mengajukan satu pertanyaan sederhana kepada pasangan itu:
"Bolehkah saya bertanya sudah berapa lama kalian berdua menikah?"
"Hmm... Sudah lebih dari 50 tahun. Juga, berapa lama kalian berpacaran?" tanya pria tua itu.
"Hampir sebulan," jawabku sambil duduk bersama Nanami.
Pasangan itu memandang kami seolah terkejut.
"Wah, benarkah begitu?" kata wanita tua itu. "Kalian berdua terlihat seperti sudah bersama selama bertahun-tahun, jadi kami hanya menduga-duga saja."
"Itu benar! Kalian berdua terlihat sangat dekat satu sama lain seperti suami istri. Aha ha ha!"
Wanita tua itu menatap kami dengan rasa ingin tahu dengan tangan di pipinya sementara pria tua itu tertawa terbahak-bahak.
Apa kami benar-benar terlihat seperti sudah berpacaran selama itu?
Mendengarnya membuatku cukup senang, mengingat kami baru saja mulai berpacaran.
"Wow, 50 tahun," gumam Nanami. "Itu waktu yang sangat lama. Kalian sudah bersama lebih dari dua kali lipat dari jumlah waktu Ayah dan Ibuku bersama. Sungguh indah."
Nanami tampak senang dengan komentar mereka, tetapi lebih dari itu, dia tampak terharu dengan betapa lamanya pasangan lansia itu telah bersama. Dia menyatukan kedua telapak tangannya dengan penuh kekaguman, membuat pasangan itu tertawa malu-malu.
Setelah itu, kami mengucapkan terima kasih sekali lagi kepada pasangan itu dan kemudian mulai berjalan menuju kuil lagi. Namun, sebelum kami pergi, pasangan itu memberi kami nasihat.
"Jika kalian, anak-anak muda yang cantik ini berencana untuk tinggal bersama untuk waktu yang lama, ingatlah untuk selalu menghormati satu sama lain," kata wanita tua itu.
"Di dunia ini, kita memberi dan menerima," tambah pria tua itu.
"Hal ini juga berlaku untuk pasangan yang sudah menikah. Jangan pernah menganggap remeh cinta dan selalu anggap satu sama lain berharga di dalam hati kalian. Aku harap kalian mau menerima nasihat dari sepasang kakek-nenek yang suka ikut campur ini."
Nanami dan aku membungkuk lagi dan tersenyum pada pasangan itu. Mereka membalas senyuman kami dengan penuh kasih sayang dan kemudian kembali mengamati burung-burung.
Berasal dari dua orang yang telah bersama untuk waktu yang lama, kata-kata itu memiliki kekuatan persuasif yang membuatnya lebih meyakinkan daripada hal-hal yang dikatakan oleh orang tua kami sendiri. Terlebih lagi, itu mungkin juga ada hubungannya dengan fakta bahwa aku tidak pernah berbicara dengan orang tuakuu tentang hal-hal seperti itu. Nanami tampak bersemangat dengan pertemuan kami dan mengayunkan tangan kami yang tergenggam erat membentuk setengah lingkaran besar.
"Sungguh pasangan yang serasi," katanya.
"Kamu benar. Bisa menua bersama dan tetap bahagia bersama seperti itu sungguh luar biasa."
"Aku ingin tahu apakah itu jenis pasangan yang mereka sebut 'sepasang bebek mandarin'. Mereka adalah orang-orang yang memberitahu kita tentang bebek mandarin dalam kehidupan nyata yang kita lihat, rasanya seperti takdir."
"Aku rasa pernah mendengarnya sebelumnya. Sepasang bebek mandarin... 50 tahun, ya?"
Bahkan saat aku mengatakannya dengan lantang, aku tidak bisa memahami bobot angka itu. Meskipun begitu, secara naluri, aku mengerti-begitu banyak kata-kata mereka yang bergema di hatiku bahwa suami dan istri itu adalah pasangan yang serasi.
Aku berharap kami juga bisa seperti mereka, pikirku.
Aku berharap kami bisa bersama untuk waktu yang lama. Sekarang dan selalu. Aku tidak mengucapkan kata-kata itu dengan lantang, tapi...
"Yoshin... aku berharap kita bisa bersama selamanya, seperti pasangan itu?"
Seolah-olah Nanami bisa melihat ke dalam pikiranku.
Tunggu, aku tidak mengatakannya dengan keras, kan?
Dia benar-benar memiliki waktu yang tepat.
"Aku baru saja memikirkan hal itu. Aku juga ingin bersamamu, Nanami," kataku dengan tulus.
"Begitu. Senang mendengarnya."
Nanami tampak lega, meskipun ia menoleh ke arahku dengan senyum yang agak mendung di wajahnya. Itu adalah jenis senyuman sedih yang menunjukkan bahwa dia bahagia namun sangat prihatin. Dengan tangan kami yang masih tertaut, aku diliputi oleh sensasi bahwa emosinya mengalir ke dalam tubuhku.
"Nee, Yoshin... Um, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu."
Saat Nanami mulai mengatakan sesuatu, gerbang torii yang menandai pintu masuk ke kuil mulai terlihat. Gerbang megah itu disinari oleh cahaya merah matahari, berdiri tegak seolah-olah melindungi jalan menuju aula utama tempat para dewa diabadikan. Melihat keindahan gerbang yang bermandikan cahaya, aku dan Nanami tidak bisa berkata-kata. Nanami sudah hampir mengatakan sesuatu, tetapi dia sekarang kehilangan kata-kata. Ekspresinya segera berubah menjadi cerah.
"Wow, gerbang torii yang luar biasa. Aku merasa kita mengambil jalan memutar yang cukup bagus, tapi akhirnya kita sampai di kuil sebelum kita menyadarinya, ya? Kalau begitu, haruskah kita berjalan melewatinya bersama-sama, Yoshin?"
Nanami yang berdiri di sana adalah Nanami yang sama seperti biasanya.
Apa yang ingin dia katakan?
Aku melewatkan waktu untuk menanyakan hal itu, tapi aku buru-buru menghentikannya saat dia hendak menarik tanganku dan berjalan melewati gerbang.
"Tunggu, Nanami. Mari kita jalan sendiri-sendiri," kataku padanya.
Dia berhenti dan memiringkan kepalanya dengan bingung. "Kenapa? Apa tidak ada untungnya jika kita berjalan bersama?"
"Ada, ada, tapi sebenarnya itu hanya untuk jika kita tidak melewatinya bersama-sama," aku menjelaskan.
"Tapi apa bagusnya itu? Apa manfaatnya?" tanyanya.
Dengan sedikit berpura-pura misterius, aku dengan sungguh-sungguh menjelaskan apa yang telah aku pelajari saat meneliti kuil tersebut.
"Gerbang torii ini sebenarnya disebut 'torii untuk memutuskan hubungan'. Itulah mengapa kamu dan aku tidak boleh melewatinya bersama-sama," kataku.
Torii untuk memutuskan hubungan. Itulah sebutan untuk gerbang indah yang berdiri di depan kami. Kuil ini memiliki beberapa gerbang torii, tetapi gerbang yang satu ini secara khusus merupakan gerbang kedua di jalan menuju aula utama. Gerbang ini juga merupakan satu-satunya gerbang yang terkait dengan tindakan pemutusan hubungan.
Siapa pun yang melihat gerbang yang diterangi dengan indah ini akan merasa sulit untuk percaya bahwa gerbang ini ada hubungannya dengan pemutusan hubungan. Bahkan, jika dipikir-pikir, memutuskan hubungan terasa lebih seperti hukuman ilahi daripada manfaatnya. Aku harus mengakui bahwa aku juga sudah salah paham ketika pertama kali mencarinya. Dan saat ini, di depan mataku, Nanami mengalami kesalahpahaman yang sama.
"M-Memutus hubungan? Yoshin, apa kamu tidak menyukaiku lagi? Apa kamu membawaku ke sini hari ini karena kamu ingin putus denganku? Jika itu benar, maka..."
Senyumnya kini telah hilang sepenuhnya dan wajahnya dipenuhi dengan kesedihan. Sementara itu, dia gelisah seperti ingin mengatakan sesuatu. Aku harus mengakui bahwa aku sama sekali tidak mempertimbangkannya. Aku tidak berniat membuatnya terlihat begitu sedih.
"Tidak, tidak, bukan itu. Maaf, seharusnya aku mengatakannya lebih jelas. Tentu saja kamu salah paham. Bukan itu yang aku maksud."
Aku bermaksud mengatakan padanya bahwa alasan kami tidak bisa berjalan bersama adalah karena itu berarti kami memutuskan hubungan satu sama lain. Namun, bagi Nanami, tampaknya bagian "memutuskan hubungan" memiliki dampak yang terlalu besar, menyebabkan dia lupa bahwa aku telah memberitahunya bahwa kami tidak boleh berjalan bersama.
"Eh? Bukan itu yang kamu maksudkan?" tanyanya dengan hati-hati.
Ketika aku mengatakan kepadanya bahwa itu sama sekali bukan, kegelisahan di wajahnya berganti dengan kelegaan. Namun, ekspresinya tampak tidak sepenuhnya terangkat, jadi aku terus menjelaskan untuk meyakinkannya.
"Kalau aku bermaksud memutuskan hubungan denganmu, aku akan membiarkan kita berjalan melewati gerbang bersama tanpa mengatakan apa pun kepadamu. Alasanku tidak melakukan itu adalah karena aku tidak ingin memutuskan hubungan denganmu."
"Oh, ya. Itu masuk akal, kurasa." Nanami mengangguk beberapa kali seolah-olah puas dengan jawabanku. Semoga saja, dia merasa sedikit lebih tenang.
"Tapi, kenapa kamu repot-repot membawaku ke gerbang ini? Aku sangat gugup selama 1 menit di sana. Jika ada gerbang lain, bukankah kita bisa masuk melalui salah satunya?" tanyanya sambil menggembungkan pipinya.
Dia punya hak untuk bertanya seperti itu. Ada beberapa pintu masuk lain ke kuil dan ketika aku mencarinya, aku bahkan menemukan satu torii yang seharusnya membawa keberuntungan secara finansial. Namun, ada alasan mengapa aku memilih gerbang ini secara khusus.
"Aku tidak membawa kita ke sini hanya karena ini adalah pintu masuk terdekat ke aula utama. Aku memilihnya karena memutuskan hubungan terkadang bisa menguntungkan."
"Menurutmu itu menguntungkan?"
Itu benar-aku memilih kita masuk lewat sini karena memutuskan hubungan tidak selalu berarti buruk. Memiringkan kepalanya, Nanami menungguku melanjutkan penjelasanku.
"Torii ini agak misterius karena di sini 'memutuskan hubungan' memiliki dua arti: memutuskan hubungan yang baik dan memutuskan hubungan yang buruk. Itulah mengapa aku pikir penting bagi kita untuk melewati gerbang khusus ini, satu per satu, sehingga masing-masing dari kita dapat menyingkirkan ikatan buruk kita."
"Jadi kita di sini bukan untuk memutuskan hubungan satu sama lain, tetapi dengan ikatan buruk yang kita berdua miliki."
"Tepat sekali. Jadi, seperti, memutuskan hubungan dengan penyakit, memutuskan hubungan dengan nasib buruk atau memutuskan hubungan dengan orang-orang yang mungkin mencoba memisahkan kita di masa depan. Kupikir jika kita berjalan melewati gerbang satu per satu, kita akan dapat melindungi diri kita dari hal-hal buruk seperti itu."
"Aku mengira bahwa 'memutuskan hubungan' hanya menyiratkan sesuatu yang buruk, tapi aku rasa kamu benar bahwa itu juga bisa ditafsirkan seperti itu."
Aku sebenarnya juga pernah membaca bahwa pasangan yang ingin putus akan datang ke sini, tetapi aku memastikan untuk menyimpannya untuk diriku sendiri. Sekarang, setelah dia tampak yakin, tidak perlu lagi berbagi detail yang tidak perlu.
"Itu benar. Aku ingin kita berjalan melewati gerbang ini agar kita bisa tetap bersama lebih lama lagi."
"Kalau memang begitu, seharusnya kamu mengatakannya lebih dulu! Aku benar-benar mulai panik, kau tahu!"
"Maaf, maaf. Kupikir aku sudah menjelaskannya saat aku mengatakan bahwa kita tidak boleh melewatinya bersama. Maukah kamu memaafkanku?"
"Yah, mungkin aku akan memaafkanmu jika kamu mentraktir aku es krim dalam perjalanan pulang."
Kekhawatiran itu sekarang benar-benar hilang dari wajahnya, Nanami kembali berseri-seri. Bahkan, dia tampak sangat lega karena dia sekarang bisa mulai menekan tombolku lagi.
Jujur saja, membelikannya es krim adalah harga yang pantas untuk dibayar karena sudah membuatnya terlihat begitu khawatir. Bahkan, aku bersedia membawanya ke kedai es krim yang bagus untuk mentraktirnya parfait yang mewah.
Untuk lebih jelasnya, penjelasan yang kuberikan kepada Nanami hanyalah salah satu alasanku ingin berjalan melewati gerbang torii. Ada alasan penting lainnya-yang sulit untuk aku ceritakan kepadanya.
Itu adalah tentang hubungan kami.
Aku tahu ini sudah menjadi berita lama sekarang, tapi hubungan kami berdua dimulai dengan kebohongan. Namun, meskipun kami mulai berpacaran karena sebuah pengakuan palsu. Aku percaya, dari lubuk hati yang paling dalam, bahwa dia dan aku sekarang memiliki ikatan yang kuat dan sehat. Aku percaya itu bahkan ketika aku berdiri di sana, tetapi aku masih tidak bisa menghilangkan fakta bahwa hubungan kami didasarkan pada ketidakbenaran.
Itulah sebabnya, dengan menjalani torii, aku ingin menghilangkan aspek negatif dari pengakuan palsu.
Jika aku adalah tokoh utama dalam suatu cerita, aku yakin aku akan berjalan dengan berani melewati torii bersamanya dan berkata, 'Aku tidak percaya pada hal-hal seperti itu dan kalaupun itu benar, aku tahu kita akan bisa melewati badai bersama.'
Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian seperti itu. Lebih tepatnya, aku tidak sepenuhnya percaya pada cerita tentang torii. Tapi meskipun begitu, aku mencoba untuk mendapatkan keberuntungan sebanyak mungkin.
Setelah kencan ini, pada hari jadi kami yang ke satu bulan, aku akan menyatakan perasaanku kepadanya. Tidak ada alasan bagiku untuk menambah kecemasanku.
Malahan, aku ingin dengan sengaja melakukan hal-hal yang tampaknya membantu. Hanya itulah yang bisa kulakukan untuk diriki sendiri pada saat itu. Namun, jika aku mengatakan hal ini kepada Nanami, itu berarti mengakui bahwa aku tahu bahwa pengakuannya salah. Karena itu, aku akan menyimpan hal ini untuk diriku sendiri untuk saat ini.
"Lalu siapa yang harus pergi duluan, Yoshin? Kamu apa aku dulu?"
Ketika aku berdiri di sana sambil berpikir, Nanami menarik ujung kemejaku dengan lembut. Tindakan itu seperti anak kecil dan menunjukkan betapa cemasnya dia.
Meskipun berada di tempat yang begitu sakral, aku dibanjiri oleh keinginan untuk memeluknya erat-erat, tetapi aku nyaris tidak bisa menahan diri.
"Tidak, aku akan pergi dulu. Setelah aku berjalan di bawahnya, tunggu sebentar, lalu berjalanlah sendiri, oke? Dengan begitu, ikatan yang buruk akan terputus."
"Oke, aku akan menonton. Semoga berhasil!"
Dia mengepalkan tangannya di depan dadanya seolah-olah menyemangatiku.
Um, aku cukup yakin kamu tidak perlu pergi sejauh itu. Lagipula, aku hanya berjalan melewati gerbang.
Itulah yang kupikirkan pada awalnya, tetapi aku mulai merasa sedikit gugup. Kami tidak akan berjalan di bawah gerbang torii bersama-sama.
Jadi, tidak mungkin hubungan baik kami akan terputus juga, bukan? Tolonglah, para dewa, biarkan aku percaya padamu, meskipun hanya untuk saat ini...
Sambil berdoa pada diri sendiri, aku perlahan-lahan mendekati gerbang dan berjalan melewatinya, ditemani oleh kegelisahanku. Tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang terjadi sama sekali.
Tidak ada burung gagak yang marah seperti sebelumnya. Tidak ada. Aku hanya melangkah melewati torii, tidak ada masalah sama sekali.
"Lihat? Tidak ada apa-apa," kataku.
"Yoshin, kamu terlihat agak pucat. Tapi, ya, baiklah. Kurasa sekarang giliranku."
Setelah berbalik ke sisi lain gerbang, aku memperhatikan Nanami yang mulai mengikutiku. Maksudku, aku berhasil melewatinya dengan baik, jadi kecuali ada sesuatu yang berubah, Nanami akan baik-baik saja.
Namun, melihat Nanami membuatku merasa sangat gugup.
Tidak ada yang akan terjadi, kan?
Nanami juga terlihat gugup, karena dia berjalan dengan sangat lambat saat melewati gerbang. Itu hanya hitungan detik, bahkan tidak sampai beberapa menit, namun ada ketegangan yang aneh di sekeliling kami berdua.
Akhirnya, setelah Nanami menyelesaikan perjalanannya melewati gerbang torii, semua kejadian itu berakhir tanpa insiden apa pun. Kami berdua menghela napas lega, lalu saling berpandangan, tersenyum lebar.
"Tidak terjadi apa-apa, ya? Kamu bilang kalau kita melakukannya secara terpisah, seharusnya tidak ada masalah, kan? Tapi aku masih sangat gugup!"
Nanami menghela nafas lagi dan kemudian berbalik untuk berlari ke arahku. Dia sudah melewati gerbang dan kami berdua sudah berada di dalam halaman kuil. Hubungan buruk kami pasti sudah terputus. Setidaknya, aku yakin itu sudah terjadi. Kupikir, mungkin...
Aku benar-benar melamun.
"Eeek!"
"Nanami?!"
Nanami, yang sedang berlari ke arahku, berteriak saat dia tampak tersandung dan jatuh ke arahku. Dia benar-benar terbang ke arahku, dengan kedua kakinya meninggalkan tanah.
Karena panik, aku melangkah ke arahnya dan menangkapnya saat dia jatuh. Aku hanya bergerak untuk mendukungnya, tetapi kami akhirnya berpegangan satu sama lain secara langsung.
"Nanami, apakah kamu baik-baik saja?" Aku bertanya. "Dari mana asalnya itu? Apa kamu tersandung sesuatu? Apa itu salah satu anak tangga?"
"Tidak, anak tangga itu ada di depan gerbang, jadi bukan itu. Aku hanya merasa kakiku membentur sesuatu dan aku tersandung."
"Kamu tersandung di tanah?"
"Tidak, rasanya seperti ada sesuatu yang keras di sana tiba-tiba dan aku menabraknya."
Karena kami berencana mengunjungi kebun binatang pada hari itu dan akan banyak berjalan kaki, Nanami mengenakan sepatu kets. Pakaiannya juga mudah digerakkan, jadi sulit dipercaya bahwa dia tersandung di tanah yang datar. Selain itu, dia mengatakan bahwa dia menabrak sesuatu.
Masih saling berpegangan, kami berdua berbalik untuk melihat ke tempat di mana Nanami mengatakan bahwa ia tersandung, tetapi yang ada di sana hanyalah tanah datar.
Tidak ada benda padat yang kami lihat seperti yang Nanami ceritakan saat ia menabrak.
Sambil tetap terkunci dalam pelukan kami, kami saling menatap satu sama lain. Kami berdiri begitu dekat, ujung hidung kami hampir bersentuhan. Tanpa bisa menahannya, kami tertawa terbahak-bahak.
"Mungkin para dewa sedang mencoba memberitahu kita bahwa petualangan memutuskan hubungan buruk kita sukses dan kita bisa santai sekarang," Nanami menyarankan.
"Jadi mereka menyandungmu dan membuatmu jatuh ke dalam pelukanku?" Aku menjawab sambil tertawa.
"Bukankah lebih menyenangkan berpikir bahwa para dewa mendukung kita? Aku akan percaya bahwa mereka mendukung hubungan kita."
Gerbang torii ini mungkin disebut "torii untuk memutuskan hubungan," tetapi ada juga dewa-dewa yang diabadikan di sini yang membantu menciptakan dan memelihara hubungan. Nanami tidak tahu tentang hal itu, tetapi dia berseri-seri kepadaku dengan gembira saat dia menyampaikan sarannya. Berpikir seperti itu tentu saja jauh lebih menyenangkan.
"Kalau begitu, kita harus berterima kasih kepada para dewa juga. Bagaimana kalau kita pergi ke kuil utama untuk berkunjung?" Aku menyarankan.
"Iya! Kita harus banyak berterima kasih kepada mereka."
Dengan tubuh yang masih melekat, kami berbalik menuju aula utama. Saat itulah kami akhirnya menyadari bahwa, di sisi gerbang torii ini, jalan setapak yang membentang di depan kami dipenuhi dengan beberapa jenis pohon sakura yang sedang mekar. Dengan demikian, kami disambut dengan jalan setapak penuh bunga yang sama indahnya dengan jalan setapak yang kami lalui saat melihat bunga sakura dalam perjalanan bersama keluarga. Seolah-olah merayakan kedatangan kami, kelopak bunga berwarna merah muda itu menari-nari seperti butiran salju yang tertiup angin.
"Indah sekali," bisikku. "Kencan hari ini adalah cara yang bagus untuk menghidupkan kembali kenangan kita akan kencan-kencan kita di masa lalu, sekaligus memberikan banyak kenangan baru yang bisa kita kenang. Aku sangat senang kita datang."
"Yoshin, kamu bicara seolah-olah kencan kita hampir berakhir. Kita masih di sini, kamu tahu? Ayo, mari kita berdoa di aula utama."
"Kurasa kamu benar. Bagaimana kalau kita pergi?"
Aku mengambil satu langkah menjauh dari Nanami dan kemudian mengulurkan tanganku ke arahnya. Dia tampak sedikit terkejut dengan gerakanku, tetapi dia tetap menerimanya dan tersenyum.
Sambil bergandengan tangan, kami mulai menyusuri jalan setapak yang dipenuhi kelopak bunga sakura yang beterbangan dan menuju ke aula utama. Saat kami berjalan, kami bisa melihat kuil di depan. Cuacanya cerah, angin sepoi-sepoi bertiup lembut dan suhunya terasa hangat. Dengan gadis yang paling aku cintai di sisiku, aku berjalan santai bersamanya, menggandeng tangannya, menyusuri jalan setapak di mana kelopak bunga sakura menari-nari di sekeliling kami. Aku tidak bisa membayangkan momen yang lebih membahagiakan daripada ini.
Semakin dekat kami ke aula utama, semakin aku merasa gugup.
Meskipun kuil ini memiliki torii yang mengganggu, aku pernah membaca bahwa tempat ini sangat terkenal untuk memenuhi keinginan tentang hubungan romantis. Sepertinya itulah tujuan utama banyak orang mengunjungi kuil ini. Namun, sebagian besar pasangan biasanya memasuki area kuil dengan melewati gerbang selain torii untuk memutuskan hubungan.
Meskipun mengetahui hal itu, aku tetap memilih untuk berjalan melalui torii khusus itu. Dengan terputusnya hubungan buruk kami, yang harus kulakukan hanyalah berdoa agar perasaanku terbalas...dan agar pengakuanku berjalan dengan baik.
Mengingat bahwa kami sudah berpacaran, mungkin tampak aneh untuk berharap dia membalas perasaanku. Namun, dengan hubungan kami yang seperti ini, aku merasa wajar jika aku merasa seperti ini. Itulah sebabnya aku siap melakukan apa pun untuk mewujudkan keinginanku. Aku bahkan bersedia untuk percaya pada takhayul yang biasanya tidak akan kupercayai. Aku bersedia melakukan apa pun yang aku bisa untuk membawa keberuntungan.
Sekarang, bangunan utama kuil berdiri di hadapan kami, memantulkan cahaya matahari yang lembut. Cahaya yang memenuhi pandangan kami, seakan-akan merayakan kedatangan kami.
Apa aku membaca terlalu banyak tentang hal ini? Aku bertanya-tanya.
Apapun itu, para dewa, meskipun semua ini tidak ada artinya, aku berdoa kepada-Mu dari lubuk hatiku yang terdalam. Tolong biarkan hubungan antara aku dan Nanami terus berlanjut, dan tolong biarkan semuanya berjalan dengan baik. Aku tidak bisa meminta ini lagi.
Masih bergandengan tangan, aku dan Nanami berjalan menyusuri jalan setapak dengan kelopak bunga yang menari-nari di sekeliling kami. Kami mengobrol santai tentang hal yang tidak penting dan saling tersenyum sambil berjalan. Yang kami lakukan hanyalah berjalan kaki, namun rasanya seperti saat-saat yang paling membahagiakan.
Kami tidak sendirian, tentu saja - ada banyak orang yang berjalan di sekitar kami.
Beberapa orang menuju ke aula utama seperti kami, sementara yang lain berjalan ke arah yang berlawanan, mungkin akan pulang ke rumah setelah mengunjungi kuil. Mereka juga tersenyum dan setiap senyuman mereka adalah senyuman bahagia. Aku merasa bahwa ekspresi wajah kami juga sama bahagianya.
"Bukankah itu membuat penasaran?" Nanami bertanya secara tiba-tiba. "Ini hanya jalan biasa dengan bunga sakura, tapi karena kita berada di kuil, rasanya sangat ajaib."
"Benar? Terutama karena kita bisa melihat aula utama dari sini. Aku membaca bahwa kuil ini memiliki banyak kekuatan yang terkait dengannya. Mungkin itu alasan lain mengapa kuil ini terasa begitu ajaib."
"Oh, wow. Aku tidak menyangka kamu percaya pada hal-hal seperti itu. Aku selalu berpikir bahwa pria lebih... realistis, aku kira atau mereka tidak benar-benar percaya pada hal-hal seperti itu."
"Aku mulai sedikit lebih percaya akhir-akhir ini. Itulah mengapa aku mencoba untuk mengikuti etiket yang tepat saat kita berjalan."
"Etiket? Tapi kita hanya berjalan biasa saja. Bagaimana kita melakukan sesuatu sesuai dengan etiket?"
Nanami bertanya sambil memiringkan kepalanya. Pada saat itu, aku sedang berjalan di sepanjang tepi jalan setapak sambil bergandengan tangan dengan Nanami. Ini adalah cara melakukan sesuatu sesuai dengan etika kuil. Setidaknya, aku cukup yakin begitu.
"Ya, bagian tengah jalan seharusnya diperuntukkan bagi para dewa.
Manusia seharusnya berjalan di pinggir jalan agar tidak menghalangi mereka," kataku.
"Oh, aku tahu. Apa itu sebabnya kamu berjalan di sepanjang tepi jalan ketika kamu melewati gerbang juga? Aku baru saja mengikutimu tadi."
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Nanami. Sebelumnya, ketika aku berjalan di bawah gerbang torii, aku membungkuk sekali sebelum berjalan di sepanjang sisi jalan setapak di bawahnya. Nanami mengikutinya, membungkuk sebelum melangkah masuk ke halaman kuil.
"Aku tidak bisa melihat semuanya," kataku. "Aku hanya berpikir akan lebih baik untuk mengikuti aturan jika aku akan berdoa untuk sesuatu. Jika yang penting adalah pikiran, maka gerakan kecil juga harus penting."
"Aku yakin itu benar, tapi kamu benar-benar menyukai semua ini, ya? Aku ingin tahu apa yang kamu rencanakan untuk berdoa kepada para dewa."
Untuk sesaat, aku merasa kehilangan kata-kata. Aku ingin Nanami membalas perasaanku, tentu saja-tetapi karena kami sudah berpacaran, akan terasa aneh jika aku mengatakannya dengan lantang. Namun, aku bertanya-tanya apakah aku harus mengatakannya dengan jujur.
"Aku berdoa untuk masa depan kita, kurasa. Aku mencari tahu banyak hal sehingga aku bisa berdoa dengan benar agar kita tetap bersama," akhirnya aku menjawab. Itu sebagian bohong, tetapi keinginan untuk tetap bersamanya adalah kebenaran. Meskipun begitu, mengungkapkan perasaan itu dengan kata-kata lebih memalukan daripada yang aku kira. Aku merasakan pipiku memerah karena ditelan rasa malu.
Aku memalingkan muka dari Nanami, menggaruk pipiku dengan jariku, tapi dia menatapku dan menatapku.
"Kalau begitu," katanya, sambil mendekat, "Ceritakan padaku semua hal yang kamu pelajari tentang etika yang benar. Jika kita berdua melakukannya bersama-sama, itu akan berhasil dua kali lipat."
Meskipun aku adalah orang yang membawanya ke kuil, aku tidak pernah bertanya kepadanya apa yang akan dia doakan. Sebagian dari diriku takut untuk mengetahuinya. Namun, melihat senyumnya, aku merasa agak lega.
"Kamu benar. Jika kita melakukannya bersama-sama, hasilnya akan dua kali lipat lebih baik," kataku.
Mungkin dia hanya mencoba bersikap baik, tetapi, dengan perasaan berterima kasih atas pertimbangannya, aku mulai menceritakan semua yang sudah aku pelajari tentang memberikan penyembahan dan doa di kuil. Nanami mendengarkan dengan saksama sampai aku menyelesaikan penjelasanku.
"Wow, ada begitu banyak hal yang tidak aku ketahui," katanya. "Aku terkesan kamu bisa mengingat semua itu."
"Yah, karena aku ingin kita tetap bersama, kau tahu?"
Dia tersipu mendengar jawabanku dan kemudian melepaskan tanganku untuk menautkan lengannya dengan lenganku.
"Mari kita tetap bersama mulai sekarang. Aku juga ingin tetap bersamamu, Yoshin," bisik Nanami sambil melingkarkan lengannya di lenganku - seolah-olah dia memohon padaku. Mendengar itu, aku merasa sangat senang dengan pemikiran bahwa dia benar-benar mengatakan yang sebenarnya, bahwa dia dan aku merasakan hal yang sama.
Sambil terus berjalan dan mengobrol seperti itu, kami akhirnya tiba di gedung utama. Karena saat itu adalah akhir pekan, kami dikelilingi oleh orang-orang lain yang juga mengunjungi kuil, masing-masing berdoa kepada para dewa dengan cara mereka sendiri.
Setelah menyelesaikan ritual penyucian yang diperlukan untuk memasuki aula pemujaan, Nanami dan aku-meskipun agak gugup, mulai mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memanjatkan doa. Sambil melakukan yang terbaik yang kami bisa untuk mengingat etiket, kami memastikan untuk mencurahkan hati dan jiwa kami ke dalam setiap langkah.
Kami dengan tenang memasukkan koin ke dalam kotak persembahan, memastikan untuk tidak melemparkannya dengan keras. Kemudian kami masing-masing membunyikan lonceng yang tergantung di atas. Di setiap kesempatan, kami mengingatkan diri kami sendiri bahwa kami datang untuk berdoa kepada para dewa.
Kami membungkuk dua kali, lalu bertepuk tangan dua kali. Ini adalah momen ketika kami seharusnya menyampaikan permintaan kami.
Meskipun hal ini mungkin tampak kontradiktif. Namun pada saat itu yang penting adalah untuk tidak membuat permintaan secara egois, tetapi menunjukkan bahwa kau sebenarnya membuat janji kepada para dewa. Kau juga harus membayangkan keinginanmu terpenuhi. Setelah itu, kau harus bersumpah bahwa kau akan melakukan segalanya dengan kekuatanmu untuk membuat gambaran itu menjadi kenyataan.
Kau tidak hanya diharapkan untuk meminta para dewa untuk mewujudkannya. Jika kau hanya meminta, tidak mungkin mereka akan mengabulkannya. Yah, itu masuk akal. Jika aku adalah salah satu dewa, aku tidak akan mau melakukan apa pun untuk seseorang yang meminta sesuatu jika mereka tidak mau berusaha keras untuk itu. Meskipun begitu, jika Nanami yang meminta, aku akan mengabulkan semua keinginannya.
.... Tunggu, tidak. Bukan itu intinya.
Membawa pikiranku kembali ke tempat yang seharusnya, aku memperkuat doaku.
Pada hari jadi kami yang ke satu bulan, aku akan mengatakan pada Nanami bagaimana perasaanku padanya. Aku tidak tahu apakah dia akan menerimaku atau menolakku, tapi aku telah mencoba yang terbaik sampai sekarang untuk membuatnya mencintaiku. Jika pengakuanku berjalan dengan baik, aku pasti akan membuatnya bahagia atau jika tidak, aku akan terus berusaha untuk memastikan bahwa dia dan aku akan bahagia bersama.
Jika pengakuanku tidak berjalan dengan baik... maka aku rasa aku hanya akan mendoakan kebahagiaannya dan dengan sukarela melangkah pergi tanpa membuat keributan. Aku yakin aku akan terkejut dan memiliki perasaan yang tersisa jika dia menolakku. Tapi meskipun begitu, aku akan menempatkan kebahagiaannya di atas segalanya.
Oleh karena itu, para dewa, aku akan sangat menghargai jika kau bisa memberikan sedikit dorongan. Aku tahu bahwa usahaku sendirilah yang akan mewujudkan keinginanku, tetapi jika kau bisa mengawasiku untuk melihat bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik, itu akan sangat berarti bagiku. Aku berjanji kepadamu bahwa aku juga akan melakukan semua yang kubisa.
Dalam benakku, aku membayangkan keinginanku menjadi kenyataan dan kemudian aku membungkuk untuk terakhir kalinya. Ketika aku mengangkat kepala, aku melihat bahwa Nanami telah selesai berdoa pada saat yang hampir bersamaan. Aku mencuri pandang ke arahnya dan mendapati bahwa dia sedang menatap kuil dengan serius.
Aku ingin tahu apa yang dia harapkan.
Wajahnya, saat ia menatap dengan saksama, disinari oleh cahaya matahari yang lembut. Meskipun ini mungkin ekspresi terindah yang pernah kulihat, namun aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan smartphoneku untuk mengambil foto.
Lagi pula, kami sedang berada di hadapan para dewa dan aku ingin menyimpan gambarnya yang indah dalam ingatanku.
Pada saat itu, Nanami tampaknya menyadari bahwa aku sedang menatapnya, karena ekspresi seriusnya berubah menjadi senyuman yang cerah. Aku pun membalas senyumnya, kemudian mengulurkan tanganku ke arahnya.
Saat senyumnya semakin merekah, aku meraih tangannya dan kami melangkah pergi dari kuil bersama-sama. Aku menoleh untuk melihat wajahnya sebentar, tetapi aku tidak bisa menebak dari ekspresinya apa yang dia harapkan.
Apa permintaanku, apakah permintaan kita sampai ke tangan para dewa?
"Apa yang kamu harapkan, Yoshin?" Nanami bertanya, seolah-olah ingin memastikan sesuatu. Ia masih tersenyum, tapi keseriusan yang ada di wajahnya tadi kini menutupi ekspresinya.
"Hal yang kukatakan padamu, aku berharap kamu dan aku akan selalu bersama. Aku bilang pada para dewa bahwa aku akan bekerja keras dan meminta mereka untuk mengawasi kita."
"Begitu, ya..."
"Bagaimana denganmu? Apa yang kamu harapkan, Nanami?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
Masih tersenyum, Nanami mengerutkan alisnya. "Sama sepertimu. Aku meminta para dewa untuk menjaga kita agar bisa tetap bersama."
Bagiku, senyum di wajahnya terlihat sedikit kesepian. Aku meremas tangannya untuk membuatnya tenang. Kemudian, sambil menariknya, aku mulai menuntun kami meninggalkan aula.
"Nee, kita mau ke mana? Oh, apa kamu akan menggambar omikuji keberuntungan atau sesuatu?" Nanami bertanya.
"Itu bukan ide yang buruk, tapi ada tempat yang ingin aku perlihatkan padamu dulu," jawabku sambil terus berjalan ke arah yang berlawanan dengan tempat penjualan kertas ramalan. Meskipun terlihat sedikit bingung, Nanami tetap mengikutiku.
Aku membawanya ke jalan kecil yang membentang di sepanjang sisi bangunan. Tidak ada orang lain di sana. Bahkan, mungkin lebih banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan jalan itu daripada yang tahu.
"Apa yang kamu lakukan, membawaku ke suatu tempat tanpa ada orang di sekitar? Apa kamu akan mencoba melakukan sesuatu yang nakal?" Nanami berkata dengan nada menggoda, menunjukkan bahwa dia sudah kembali ke dirinya yang biasanya.
Namun, bagiku, suaranya masih terdengar seperti diwarnai kesedihan. Jadi, aku memilih untuk mengatakan apa yang harus kukatakan dengan nada yang meyakinkan. Dan, tidak, aku tidak punya nyali untuk melakukan sesuatu yang nakal.
Kita sedang berada di luar ruangan loh!
Untuk saat ini, aku hanya melakukan yang terbaik untuk memastikan tidak ada di antara kami yang menjadi terlalu bersemangat.
"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu. Ada di sebelah sana," kataku padanya.
"Sesuatu yang ingin kamu tunjukkan padaku?"
Kami terus menyusuri jalan setapak yang kosong. Nanami tampak sedikit cemas dengan apa yang ada di depan, tetapi mungkin karena percaya padaku, dia mengikutiku dalam diam. Ketika kami tiba di ujung jalan setapak, kami menemukan diri kami berada di sebuah ruang terbuka dengan sebuah gerbang yang melarang kami melangkah lebih jauh. Ditumbuhi pepohonan, tempat itu kosong di samping kami. Tempat itu terpencil dan agak sepi.
"Tidak ada apa-apa di sini. Kamu benar-benar sedang mencoba sesuatu," canda Nanami sambil memutar tubuhnya dengan menggoda.
"Tidak, tidak, aku benar-benar tidak!" Aku berseru, menatapnya dengan tatapan jengkel. "Lihatlah di sana. Ini yang ingin aku tunjukkan padamu." Aku menunjuk ke sebuah tempat di depan kami. Di sana, tersembunyi di bawah bayangan pohon, ada patung singa-anjing.
"Mereka menyebutnya patung singa-anjing ilusi. Tidak banyak orang yang tahu tentang hal ini, karena letaknya cukup jauh dari bangunan utama. Namun, jika kamu bisa melihatnya, patung ini akan membawa keberuntungan," jelasku.
Aku menuntun tangan Nanami ke arah patung singa-anjing dan menyuruhnya menyentuhnya.
"Semoga beruntung... Sekarang aku bisa mendapatkan keberuntungan, ya? Kurasa kita benar-benar beruntung bisa menemukan anjing singa di tempat yang aneh. Bagaimana kamu bisa tahu tentang hal itu, Yoshin?"
"Aku baru saja mengetahuinya saat aku sedang mencari-cari sesuatu. Apa kamu merasa lebih baik?"
"Merasa lebih baik? Aku baik-baik saja. Apa aku tidak terlihat baik-baik saja? Jika tidak, itu pasti karena aku telah berdoa dengan keras. Kurasa aku sedikit khawatir untuk bisa tinggal bersamamu."
"Oh, begitu. Kalau begitu..."
Melihatnya seperti itu-masih terlihat kesepian, namun melakukan yang terbaik untuk tersenyum dan menampilkan wajah yang berani, aku membuat resolusi: untuk melakukan apa yang belum pernah kulakukan secara sukarela sampai saat itu. Aku meletakkan tanganku di pipi Nanami saat dia terus menyentuh patung itu. Kemudian, mendekatkan wajahku perlahan-lahan ke wajahnya... aku mencium pipinya.
Ini bukan kecelakaan seperti sebelumnya. Itu tidak terjadi saat dia sedang tidur. Aku melakukannya atas kehendakku sendiri. Perlahan-lahan, dengan tanganku di wajahnya, aku menyentuhkan bibirku ke pipinya.
Itu adalah ciuman yang kutunda karena aku tidak bisa mengumpulkan keberanian. Dan meskipun aku masih belum bisa memberanikan diri untuk menciumnya di bibir, aku merasakan jantungku berdegup lebih cepat dan lebih cepat karena melakukan sesuatu untuk pertama kalinya.
Ketika aku menarik bibirku, Nanami memegang pipinya dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Yoshin..."
Tiba-tiba gelombang rasa malu menyelimutiku, aku mulai berbicara terlalu cepat. "Aku tahu kita berdoa pada para dewa, tapi kita ... kamu dan aku akan selalu bersama. Jadi, kamu tidak perlu khawatir apakah kita bisa tetap bersama seperti ini. Aku juga akan berusaha keras. Aku akan menjadi lebih berani."
Nanami tetap berdiri di sana, memegangi tempat di mana aku menciumnya, seperti yang pernah kulakukan di masa lalu. Dia tampaknya tidak menyukai apa yang telah kulakukan, yang merupakan satu-satunya anugerah yang menyelamatkan dari situasi ini. Namun, aku tidak tahu dari ekspresinya apakah dia senang akan hal itu. Sekarang giliranku yang merasa khawatir.
"Nanami?"
Dia menunduk ke tanah, tangannya masih menempel di pipinya.
Ketika aku menatapnya lebih dekat, aku melihat dia bergetar dan aku menjadi lebih gugup.
Bagaimana jika dia tidak menyukainya? Aku mulai bertanya-tanya.
Saat aku akan menyesali keputusanku yang terburu-buru, sebuah kejutan menjalar ke seluruh tubuhku.
Nanami melompat ke dalam pelukanku untuk memelukku.
Aku tidak terjatuh karena kekuatannya atau apa pun, tetapi aku terkejut oleh benturan yang tiba-tiba. Dan, selain benturan itu, aku juga merasakan sensasi yang berbeda dari bibir Nanami di pipiku. Dia menciumku sambil memelukku, berseri-seri.
"Yoshin... Akhirnya kamu menciumku! Aku tahu itu hanya di pipiku, tapi aku sangat, sangat senang!"
Senyumnya secemerlang matahari, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kesepian atau kecemasan yang ditunjukkan sebelumnya. Dia mencium pipiku sekali lagi.
Dengan sensasi kedua yang tidak dapat disangkal itu, aku merasa pipiku mulai memerah.
"Aku belum cukup berani untuk menciummu di bibir, tapi aku telah memutuskan untuk setidaknya menciummu di pipi hari ini. Apa itu membuatmu bahagia?" Aku bertanya.
"Apa karena itu kamu membawaku ke suatu tempat di mana tidak ada orang lain? Muu, Yoshin, kamu benar-benar pemalu. Ara, apa kamu ingin melakukan sesuatu yang nakal juga saat kita melakukannya?"
"Tidak mungkin! Bagaimana kamu bisa berubah dari nol menjadi enam puluh seperti itu?!"
"Tapi kamu yang menciumku! Tentu saja aku akan senang!"
"Yah, kupikir aku bisa saja menciummu dalam perjalanan pulang, tapi kamu terlihat sangat sedih sehingga kupikir itu harus dilakukan di sini dan saat ini juga. Apa kamu merasa lebih baik?"
"Tentu saja! Aku merasa jauh lebih baik! Aku akan merasa lebih baik lagi kalau kamu menciumku di bibir, tapi aku mungkin akan pingsan kalau kamu melakukannya. Untuk saat ini, ini sudah lebih dari cukup." Nanami akhirnya melepaskanku, membalikkan pipinya padaku sekali lagi, dan kemudian menambahkan, "Aku sudah menciummu dua kali, tapi kamu hanya menciumku sekali. Hmm, bukankah itu tampak sedikit tidak adil?"
Reaksi macam apa ini?!
Jujur saja, jika aku bisa membuatnya merasa lebih baik hanya dengan melakukan hal ini, maka itu adalah harga yang murah yang harus kubayar-selain rasa malu. Tersenyum pahit karena kalah, aku mencondongkan tubuh dan mencium pipinya sekali lagi.
Nanami terus menjerit kegirangan setelah itu. Melihatnya, aku tidak bisa menahan senyum dari semua kegembiraan yang menggelegak di dalam diriku.
"Kalau begitu, haruskah kita selesaikan di sini juga?" Aku bertanya. "Kita bahkan bisa mengambil beberapa slip keberuntungan sebelum kita pergi. Kudengar ramalan yang berhubungan dengan percintaan di sini sangat akurat."
"Tunggu, serius?! Aku ingin melakukannya! Jika kita melakukannya sekarang, kita akan mendapatkan keberuntungan yang luar biasa!"
"Sepertinya mereka tidak menjual jimat cinta di sini. Sepertinya, mereka ada di bagian lain dari kuil ini."
"Kalau begitu, ayo kita mampir ke sana juga sebelum pulang. Bahkan, mari kita mampir ke semua tempat dalam perjalanan pulang hari ini!"
Setelah Nanami dengan penuh semangat mengaitkan lengannya dengan lenganku, kami perlahan-lahan berjalan kembali ke gedung utama untuk membaca ramalan nasib kami. Sudah hampir waktunya untuk mengakhiri kencan kami dan pulang, tetapi Nanami dan aku sibuk mengobrol tentang apa yang akan kami lakukan setelah meninggalkan kuil, melakukan yang terbaik untuk menikmati kencan kami hari ini sampai akhir.
Melihatnya begitu bahagia karena aku menciumnya dan bahkan hanya di pipinya, membuatku sangat senang karena aku telah mengumpulkan keberanian sejak awal.
Saat hari kedua kencan terakhir kami sebelum hari jadi satu bulan kami berakhir dengan akhir yang cukup memuaskan bagi kami berdua, tirai ditutup pada hari yang mungkin menjadi kencan terakhir kami.
Post a Comment