-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Inkya no Boku ni Batsu Game V4 Interlude 2

Interlude 2 - Setelah Hari Pertama Berakhir


Kencan hari ini telah berakhir tanpa hambatan.

Sebenarnya, apakah pantas untuk mengatakan itu?

Meskipun banyak hal yang telah terjadi, dengan kencan yang kini telah berlalu, aku mendapati diriku berbaring di tempat tidur sendirian.

Aku mengulurkan tangan dan menatap kelingkingkingku.

Bukankah ini adalah kedua kalinya aku melakukan janji dengan jari kelingking dengan Yoshin?

Aku sangat senang bisa membuat janji dengannya tentang masa depan kami. Memikirkannya saja sudah membuatku tersenyum tanpa aku sadari.

Meskipun aku sudah mengacaukan banyak hal selama kencan kami, Yoshin berusaha membuatku merasa lebih baik tentang hal itu dan bahkan menawarkan beberapa harapan untuk masa depan kami bersama.

Itu tidak lama lagi. Tidak lama lagi sampai hari jadi kami. Aku merasa sedikit tertusuk di hatiku ketika memikirkan hal itu, tetapi aku ingin melakukan apa pun yang aku bisa untuk menepati janji yang sudah kubuat dengan Yoshin.

"Sangat menyenangkan," gumamku sambil memejamkan mata. Perasaan lelah yang sangat nyaman merasuki tubuhku.

Apakah ini yang mereka katakan sebagai rasa puas?

Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya tertidur seperti itu, tetapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan keinginan itu.

Saat aku berkubang dalam rasa puas itu, aku mengingat peristiwa hari itu, tetapi rasa kesepian yang tidak terlukiskan, bertentangan dengan kepuasanku. Mungkin karena aku mendapati diriku tiba-tiba sendirian. Aku sama sekali tidak merasakannya dalam perjalanan pulang setelah kencan kami.

"Kalau begitu...!" Aku berkata dengan lantang, duduk di tempat tidur dengan penuh semangat dan mengambil smartphonku. Aku kemudian dengan cepat menghubungi nomor yang sering aku hubungi sebelumnya. Panggilanku segera diangkat.

'Halo?'

Itu adalah suara ceria dari orang yang baru saja bersamaku beberapa saat sebelumnya. Setidaknya, aku pikir dia terdengar ceria. Berharap memang demikian, aku mengambil waktu sejenak untuk menjawab, lalu mendengarnya berbicara lagi di ujung telepon.

'Halo? Nanami? Ada apa?' Yoshin bertanya.

Mendengar suaranya, aku merasa kesepianku perlahan-lahan hilang.

"Ah, maaf, maaf. Hanya saja saat mendengar suaramu, aku merasa sangat lega."

'Lega? Ada apa? Apa terjadi sesuatu?'

"Yoshin... kencan hari ini benar-benar menyenangkan, bukan? Hal-hal yang kita lakukan, hal-hal yang tidak sempat kita lakukan... semuanya sangat menyenangkan. Aku merasa sangat bahagia, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya apakah ini hanya mimpi," kataku.

Itu bukan hanya untuk meyakinkannya, aku benar-benar merasa seperti itu dari lubuk hatiku yang terdalam. Aku tahu dia menghela napas lega saat mendengar jawabanku.

Sejenak, aku merasakan getaran di tulang belakangku seolah-olah dia menghela napas langsung ke telingaku. Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengatakan apa pun dengan suara keras.

'Iya, aku juga bersenang-senang,' jawabnya.

"Apa menurutmu itu sebabnya? Maksudku, apa menurutmu karena aku bersenang-senang hari ini sehingga aku tiba-tiba merasa sangat kesepian saat kembali ke kamarku? Dan aku benar-benar ingin mendengar suaramu." Aku berbaring kembali di tempat tidurku. "Maafkan aku karena tiba-tiba menelepon."

'Nggak kok, aku juga merasa kesepian saat pulang ke rumah, jadi ini sempurna.
Aku sangat senang kamu menelepon. Terima kasih.'

Aku tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu. Keluargaku ada di rumah, jadi aku baru mulai merasa kesepian setelah kembali ke kamarku, tapi sepertinya Yoshin sudah merasa seperti itu sejak dia menginjakkan kakinya di pintu. Seharusnya aku menelepon lebih cepat.

"Aku berharap kamu mengatakan padaku bahwa kamu merindukanku," kataku dengan ringan, berharap aku bisa membuatnya sedikit melupakan kesepian.

'Tentu saja aku merindukanmu. Aku hanya terlalu malu untuk mengatakannya.'

"Hehee, baguslah kalau begitu! Tapi, aku tidak tahu kalau kamu sendirian di rumah. Di mana orang tuamu?" Aku bertanya.

'Mereka meninggalkan pesan bahwa mereka pergi berkencan.'

"Orang tuamu pasti sangat dekat. Aku ingin tahu apa yang orang dewasa lakukan ketika mereka pergi berkencan."

'Entahlah. Aku yakin mereka pergi minum-minum bersama.'

.....Kencan, ya?

Sebenarnya, orang tuaku juga kadang-kadang pergi bersama. Aku tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, tapi aku pikir perjalanan itu adalah kencan juga.

Cukup keren untuk berpikir bahwa mereka masih pergi berkencan meskipun mereka sudah menikah.

Namun, aku merasa seperti Ayah dan Ibuku tidak pergi keluar, hanya mereka berdua di malam hari. Mungkin akan menyenangkan bagiku dan Saya untuk membuat beberapa rencana untuk mereka.

"Minum-minum, ya? Aku juga terkadang melihat Ayahku minum. Apa seenak itu rasanya?" katanya

'Nah, tentang itu. Bagaimana rasanya saat kamu minum wiski bonbon itu?'

"Lupakan saja itu pernah terjadi! Tapi saat itu, aku merasa lebih menikmati cokelatnya daripada alkoholnya tau!"

Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak bisa mengingat seperti apa rasanya, meskipun aku ingat cokelatnya dan juga fakta bahwa aku merasa sangat mual keesokan paginya.

Seperti apa sih rasa alkohol itu?

'Yah, karena itu membuatmu merasa sangat buruk terakhir kali, kupikir kita tidak boleh minum, tapi mungkin saat kita berusia 20 tahun, kita bisa mencoba minum bersama,' saran Yoshin.

Setelah aku minum wiski bonbon, aku bersumpah pada diri sendiri bahwa aku tidak akan pernah minum alkohol. Namun, aku merasa lebih optimis lagi-seperti kata pepatah, yang lalu biarlah berlalu.

"Mm, ayo kita minum bersama," kataku. "Mari kita tetap bersama sampai kita cukup umur untuk minum."

Aku tidak melakukannya secara sadar, tetapi aku menambahkan penekanan ekstra pada bagian "tetap bersama", mengatakannya seperti sebuah harapan, hampir seperti doa. Kemudian aku menunggu dengan napas tertahan, tidak sabar untuk mendengar tanggapan Yoshin.

'Tentu saja. Tentu saja kita akan tetap bersama,' jawabnya.

"Yay!"

Tanggapannya membuatku sangat senang. Aku juga merasa lega dan akhirnya membalas dengan lebih keras dari sebelumnya. Aku bertanya-tanya apakah dia pikir aneh jika aku tiba-tiba berbicara begitu keras.

"Btw, kamu lagi ngapain 'Youshin?"

'Enggak ngapa-ngapain sih. Aku hanya berpikir untuk mandi. Kamu pasti lelah juga Nanami. Apa kamu sudah mandi?'

"Tidak, belum. Aku pikir aku akan meneleponmu dulu. Oh, begitu, jadi kamu juga belum mandi..."

Mengetahui bahwa kami berbicara di telepon sebelum mandi membuatku merasa agak gugup. Yoshin, hendak mandi... Mungkin karena aku pernah melihatnya baru saja selesai mandi saat kami melakukan perjalanan bersama minggu lalu, sangat mudah bagiku untuk membayangkannya. Karena itu, aku mengajukan pertanyaan sebelum aku menyadari apa yang sedang aku lakukan.

"Apa kamu ingin mandi bersama?"

Seketika itu juga, aku mendengar bunyi gedebuk yang keras dan teredam di ujung telepon, seakan-akan ada sesuatu yang membentur benda padat. Aku merasakan sensasi kesemutan di telingaku, seolah-olah udara bergetar.

"Yoshin, apa yang terjadi? Aku mendengar suara yang sangat keras!"

'Apa yang terjadi, katamu? Justru sebaliknya! Darimana kamu belajar kata-kata itu!?'

Hanya setelah dia menunjukkannya, aku baru menyadari implikasi dari apa yang baru saja aku katakan. Aku telah mengkhawatirkannya karena suara keras yang kudengar, tetapi aku pikir masuk akal jika dia mengkhawatirkanku dan komentar bodohku. Merasa bingung, aku mulai membuat berbagai alasan.

"Tidak, aku tidak bermaksud yang aneh-aneh. Um, kamu tahu.. karena mandi bisa menghilangkan rasa lelah dan menenangkan. Juga, aku pernah mendengar dari seorang teman bahwa dia pernah mandi sambil mengobrol lewat telepon. Jadi, aku kepikiran.. jika kita bisa melakukan itu, mungkin itu bisa membuat kita bersantai."

Sebenarnya, aku sama sekali tidak memikirkan hal itu, tetapi aku terus membuat daftar alasan yang masuk akal yang bisa aku pikirkan. Memang benar bahwa aku pernah mendengar bahwa salah satu temanku pernah melakukan hal seperti itu, tetapi hal itu tidak ada dalam pikiranku ketika aku mengajukan saranku. Yoshin sepertinya mengerti alasanku, karena aku mendengar dia mendesah pelan.

'Nanami, dulu kamu sangat tidak suka jika para pria menatapmu seperti itu, kan? Kamu seharusnya tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang akan membuatku terpacu seperti itu. Aku juga seorang pria. Jika kamu mengatakan hal seperti itu padaku, aku mungkin tidak akan bisa menahan diri,' jelasnya pelan.

Dia memarahiku dengan sangat masuk akal, jenis omelan yang membuatku tidak bisa membalas.

"Um, tapi jika kita hanya mengobrol, maka kamu tidak bisa melihatku dan karena hanya kamu, aku tidak apa-apa," gumamku.

'Aku tahu tidak masalah jika hanya panggilan suara, tapi bagaimana jika aku terbawa suasana dan meminta untuk beralih ke panggilan video?'

Aku tersentak mendengar sarannya, serangkaian pikiran liar melintas di benakku. Setelah beberapa saat terdiam, aku berhasil mengajukan satu pertanyaan.

"Apa kamu mau... video call, maksudnya."

Setelah aku terdiam sejenak, Yoshin pun terdiam. Aku merasa sedikit gugup, tetapi aku juga penasaran, apa yang akan terjadi kalau dia benar-benar melakukannya. Debar jantungku yang keras bergema di telingaku. Pipiku terasa pana dan aku mulai merasa pusing seolah-olah sedang masuk angin. Keringat mulai membasahi dahiku. Kemudian jawabannya memecah keheningan yang berat.

"Maaf. Ternyata aku tidak punya nyali. Memikirkannya saja sudah membuatku merasa seperti mau pingsan.

Dengan itu, kami berdua mulai terkikik pelan.

"Aku berharap aku bisa mengatakan itu memalukan, tapi membayangkannya saja sudah membuat wajahku memerah," aku mengakui.

'Ya. Bahkan jika kita hanya mengobrol, orang di balik video call akan telanjang bulat. Aku merasa aku tidak akan bisa tetap tenang.'

"Jangan bilang begitu! Muu, sekarang aku memikirkannya. Agh, wajahku terasa sangat panas!"

'Aku juga,' jawab Yoshin.

Saat itulah kami tertawa terbahak-bahak, seolah-olah masing-masing dari kami berusaha menghilangkan rasa malu yang kami rasakan. Tentu saja, saat kami melakukan perjalanan, kami berdua pergi ke pemandian air panas dan kemudian menghabiskan waktu bersama setelahnya, tetapi aku merasa enggan atau lebih tepatnya, malu-malu untuk mandi bersama, meskipun hanya berpura-pura.

Apakah ini sesuatu yang bisa aku lakukan suatu hari nanti?

"Sepertinya masih terlalu dini bagi kita untuk mandi bersama, meskipun hanya melalui panggilan suara," kataku akhirnya. "Kurasa itu berarti kita harus mandi sendiri-sendiri untuk saat ini, ya?"

'Ya. Lagipula, smartphoneku tidak tahan air, jadi mungkin akan rusak jika aku membawanya. Sebenarnya, aku cukup yakin kamu tidak boleh membawa smartphone ke dalam bak mandi meskipun itu tahan air," katanya sambil tertawa.

"Kalau dipikir-pikir, smartphone juga tidak anti air. Aku tidak ingin merusak smartphoneku. Aku memiliki terlalu banyak kenangan yang tersimpan di dalamnya. Aku rasa kita harus menunggu sampai lain waktu."

Ternyata, usaha kami tidak akan mungkin berhasil.

Aku merasa, bahwa kami baru saja bekerja dengan sia-sia. Namun, berkat itu, rasa kesepian yang kami rasakan, seakan-akan hilang sama sekali.

'Yah, rasanya berat untuk mengakhiri panggilan ini,' kata Yoshin, 'Tapi kurasa aku akan mandi dan kemudian tidur.'

"Iya, aku juga akan melakukan hal yang sama. Selamat malam, Yoshin. Aku tak sabar menantikan kencan kita besok."

'Selamat malam, Nanami. Aku senang kita bisa mengobrol di telepon. Aku sangat bersemangat untuk kencan kita besok. Sampai jumpa.'

"Iya~! Sampai jumpa besok!"

Bahkan setelah kami mengatakan hal itu, kami berdua menghabiskan waktu lama untuk mencari waktu yang tepat untuk menutup panggilan dan akhirnya mengobrol lebih lama lagi. Pada akhirnya, kami berdua menutup panggilan pada hitungan ketiga.

Aku pergi mandi seperti yang kukatakan, tetapi begitu aku masuk ke dalam bak mandi dan menenangkan diri, aku mendapati diriku berteriak.

"Apa yang aku katakan tadi?! Serius, apa yang kupikirkan?!"

Yoshin pasti sangat terkejut ketika aku mengatakan hal itu. Hanya saja, dia menyebutkan tentang mandi dan aku tidak berhenti untuk memikirkan apa yang aku katakan.

Bagaimanapun, aku sedang mandi sekarang. Mengingat percakapan kami, Yoshin mungkin juga sedang mandi di rumahnya. Seandainya kami sedang menelepon dalam situasi saat ini.

Baiklah, mari kita bayangkan saja, bolehkah kan?


'Nanami, aku mau mandi sekarang.'

'Benarkah? Aku hanya bersantai di bak mandi.'

'Bagian mana dulu yang biasanya kamu basuh, Nanami? Aku cenderung...'

'Oh, itu kamar mandimu, ya? Aku, um...'

Yoshin yang kubayangkan mulai memberikan komentar langsung pada setiap gerakannya.

Tidak, tidak, tidak.....

Membayangkannya saja sudah terlalu berlebihan bagiku. Aku naif dan mengira kami akan melakukan percakapan biasa. Meskipun melalui telepon, berbicara seperti itu akan membuatnya terasa seperti kami benar-benar mandi bersama. Aku menenggelamkan diri ke dalam bak mandi dan menenggelamkan bibirku ke dalam air, meniupkan gelembung-gelembung dari mulutku. Namun, pada akhirnya...

"Nanami, bagaimana kamu bisa pusing? Apa yang kamu lakukan di dalam sana?"

Setelah aku membiarkan semua panas dari pemandianku yang lama sampai ke kepalaku, aku akhirnya diselamatkan oleh ibu, yang datang untuk memeriksaku karena khawatir. Sekarang aku berada di lantai, hanya berbalut handuk sambil berusaha mendinginkan diri.

"Mungkin aku akan mengirimkan fotomu yang seperti ini ke Yoshin-kun," saran ibu.

"Tidak, tolong jangan lakukan itu"

Dengan kencan besok yang hampir tiba, aku akhirnya menutup hari itu dengan cara yang agak mengkhawatirkan.






|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close