Chapter 3 - Cinta
══════════════════════════════════
Tidak ada AC di asrama murah dengan sewa 10.000 yen ini.
Meskipun ingin memasang peralatan pendingin, setiap lantai memiliki batasan daya listrik yang rendah, sehingga sekali bertambah beban sedikit saja, sirkuit daya pasti akan langsung mati.
Di setiap lantai, terdapat beberapa kamar berukuran sepuluh tatami yang berjejer, dan jika dua atau lebih orang memasak nasi secara bersamaan, sirkuit daya akan mati seketika. Di asrama ini, pertukaran informasi tentang 'kapan akan memasak nasi' sering dilakukan antara para penghuni.
Tentu saja, tidak ada kamar mandi atau toilet di dalam kamar. Hanya ada toilet umum dan fasilitas mandi besar dengan shower. Fasilitas mandi besar hanya dapat digunakan pada waktu tertentu di malam hari, sementara shower dapat digunakan kapan saja. Setiap kamar dilengkapi dengan tempat tidur tunggal, meja belajar, dan lemari es.
Di dalam kamar kami, Narumi telah memilih warna seprai tempat tidurku menggantikan ketidakpedulianku terhadap interior. Karpet cokelat tua, seprai berwarna arang, tirai abu-abu, semuanya terpadu dengan indah. Tanaman hias dan lampu sorot ditempatkan di dalamnya, meskipun bangunan ini mungkin terlihat seperti bangunan yang terbengkalai, tetapi di dalam kamar terasa seperti ruang yang sangat modis.
Pukul tujuh pagi.
Saat Narumi menyalakan saklar ricecooker, aku bangun dan bergegas pergi ke shower dengan handuk di tangan. Meskipun jendela terbuka lebar, tapi tadi malam tidak ada angin yang masuk dan rasanya sungguh panas. Mungkin ada yang mematikan sirkuit daya semalam, bahkan kipas angin pun mati.
"Ada apa?"
Kata-kata tajam itu membuatku tersentak.
"Ah, tidak."
"Maaf. Sorano, kau itu laki-laki, kan?"
"Kau mengejekku?"
"Aku benar-benar iri melihat betapa naifnya penampilanmu hanya dengan mandi sebelum bertemu seorang gadis.''
"Kau benar-benar mengejekku, kan?"
"Tidak, tidak," Narumi melambaikan tangan lalu melanjutkan, "Jadi, apa kau menaruh rasa suka padanya? Apa kau tertarik pada Fuyutsuki? Bagian mana dari dia yang membuatmu terpana?"
"Bukan suka atau apa..."
"Oh, ayolah jangan begitu, kau terlihat lucu."
"Kau benar-benar mengejekku!"
Narumi tertawa terbahak-bahak.
"Fuyutsuki, ingin aku menemaninya. Hanya itu saja..."
Setelah memberi pernyataan dan melakukan konfirmasi sekilas, aku bertanya, "Bagaimana, mau ikut?"
Narumi mengernyitkan kening dan menatapku.
"Bodoh, kau pengecut!"
"Diamlah, sialan!"
"Bodoh, pengecut, penakut."
"Diam, diam, diam! Kau menjengkelkan sekali!"
"Yah, aku ada kerja paruh waktu hari ini."
"Mulai malam, bukan?"
"Lagipula Sorano, kau memang benar-benar tertarik pada Fuyutsuki, kan? Begitulah yang aku pikirkan."
"Hah? Kami hanya sering mengobrol biasa, aku bahkan belum pernah berpikir tentang itu."
"Benarkah?"
"Aku juga masih belum tahu bagaimana seharusnya bersikap di depannya, atau bahkan tidak yakin apakah aku bisa sepertimu dalam memperlakukannya."
"Apa yang kau maksud dengan 'bersikap di depannya'?"
Narumi merespon dengan suara yang agak kesal, yang biasanya jarang terdengar darinya.
"Maaf, kata-kataku salah. Maksudku, aku bingung bagaimana harus berinteraksi dengannya secara normal."
"Bukankah kau sudah bisa berbicara dengannya secara normal selama ini?"
"Frasa 'normal' itu sendirilah yang belum aku mengerti sepenuhnya."
Apakah seharusnya aku berbicara tanpa menyentuh topik tentang penglihatannya, atau sebaiknya aku memilih jalur yang membuatnya merasa nyaman, atau apakah seharusnya aku menawarkan bantuan dengan tanganku, atau bahkan sebaiknya aku tanyakan semuanya dan minta konfirmasinya?
Aku bertanya-tanya pada Narumi semua hal yang telah mengganggu pikiranku, dan dia hanya menjawab dengan satu kalimat tegas, "Coba tanyakan saja padanya."
"Tapi itu hanya akan membuat suasana jadi aneh, kan?"
Narumi menggaruk kepala dan menjawab, "Aku punya pengalaman dalam hal ini. Asal kau tahu, semuanya justru akan menjadi lebih sulit saat seseorang menjaga jarak aman seperti itu."
🔸◆🔸
Membeli ayam goreng, aku pergi ke toko serba ada segera setelah meninggalkan asrama. Aku sudah ingin makan ayam sejak Narumi menyebutkannya.
Sambil makan ayam, aku berjalan menuju Tsukishima.
Langit biru dan awan bergerak perlahan. Saat aku melintasi Jembatan Aioi, aku melihat permukaan air yang luas. Itu adalah tempat di mana Sungai Sumida berubah menjadi laut. Sesekali, nampak ikan-ikan yang melompat-lompat dari sana. Permukaan air bergetar dan berkilauan seperti perak.
Di tempat asalku, Shimonoseki, laut yang mengalir deras di Selat Kanmon memiliki suasana yang segar dan seakan bisa menghapus segala sesuatu, entah itu yang baik maupun yang buruk.
Namun, ketika aku berada di Tokyo, aku merasa lautnya tenang dan seolah-olah mempertahankan segala sesuatu.
Aku merenung dalam hati, "Ah, inilah alasan mengapa orang-orang memilih untuk datang ke Tokyo," dalam pemikiran yang tidak berdasar.
Waktu pertemuan adalah pukul sembilan pagi. Aku berusaha tiba lima menit lebih awal.
Ketika aku mengatakan bahwa aku akan menjemput Fuyutsuki di depan apartemennya, dia merespon, "Jadi, ini akan terlihat seperti kencan, bukan?" Lalu saat aku menjelaskan bahwa kita hanya akan pergi berbelanja bersama, dia kembali berkata, "Itu juga bisa disebut kencan," sambil tertawa.
Pada akhirnya, Fuyutsuki menolak dan mengatakan bahwa kita akan bertemu di bawah Jembatan Aioi saja.
Saat aku menyeberangi Jembatan Aioi, aku melihat laut berkilauan dengan cahaya perak. Sinar matahari yang cerah memantul sangat kuat sehingga mataku terasa pedih.
Mengangkat sedikit pandangan kedepan, aku bisa melihatnya, Fuyutsuki sudah tiba lebih awal di bawah jembatan.
Di tempat itu, ada pohon-pohon yang menciptakan bayangan lembut. Sinar matahari yang cerah menerobos melalui celah-celah daun dan menerangi Fuyutsuki.
Dia mengenakan blus putih dengan rok tembus pandang, dan membawa tas kulit di bahunya.
Fuyutsuki, yang berdiri dalam diam, tampak begitu transparan, cocok dengan pemandangan yang sedikit kabur disekelilingnya.
Pemandangan ini membuatku kembali menyadari betapa cantik dirinya itu.
"Fuyutsuki, ini Sorano. Maaf sudah terlambat. Kamu, sudah lama menunggu?"
Ini adalah kalimat umum dalam skenario kencan, dengan peran gender yang terbalik tentunya.
"Aku sudah menunggu dua jam."
"Eh, itu salahmu sendiri kan, Fuyutsuki?"
"Bukan, ini sepenuhnya salahmu Kakeru-kun."
Dia tersenyum lalu berkata, "Aku hanya bercanda," dan mengajakku segera pergi.
"Baiklah, stasiun Tsukishima kearah sini."
"Di mana?"
"Maaf, maksudku kearah kanan."
Biasanya, dengan menunjuk 'kesana atau kesini', aku bisa menjelaskan pada seseorang. Namun, Fuyutsuki tidak bisa memahami petunjuk semacam itu.
Misalnya, bahkan jika aku memandanginya dengan seksama saat kami berjalan, Fuyutsuki tidak akan menyadarinya.
'Apa kau tertarik pada Fuyutsuki?'
Tiba-tiba, kata-kata Narumi muncul dalam benakku.
Berpacaran dengan seseorang yang tidak bisa melihat...
Secara intuitif, aku merasa bahwa itu terlihat sulit.
Itulah sebabnya aku tidak pernah melihat Fuyutsuki sebagai objek cinta.
Aku tahu betul betapa kasarnya itu.
Tapi, kurasa perasaan yang kutunjukkan padanya sungguh tidak berharga.
Aku merasa sakit hati setelah membuat alasan seperti itu.
"Kamu tahu tempatnya?"
"Ah, iya."
"Aku benar-benar menantikannya!"
Mengatakan itu, tiba-tiba, Fuyutsuki melompat kecil sambil berjalan.
---Ya, dia melompat-lompat.
"Eh?"
"Hmm, ada apa?"
Fuyutsuki berbalik ke arah suaraku berasal.
"Kamu bisa melompat?"
"Kakeru-kun, bahkan kamu bisa melompat sambil menutup mata, bukan?"
Aku tidak bisa menahan tawa melihat kegembiraan Fuyutsuki yang mengejutkan.
"Haha, kamu benar."
"Apa yang lucu? Kenapa kamu tertawa?"
Melihat Fuyutsuki yang mengerutkan alisnya, aku berkata, "Maaf, maaf," dan kami pun melanjutkan perjalanan.
'Mari kita menyalakan kembang api bersama.'
Permintaannya terdengar sangat khusus untuk menebus kesalahanku sebelumnya.
Kami naik kereta bawah tanah jalur Oedo menuju toko khusus kembang api di Asakusabashi.
Kami naik kereta ke Daimon, lalu bertukar ke jalur Asakusa di sana. Aku memilih rute yang paling nyaman bagi Fuyutsuki, bahkan jika itu bukan rute tercepat.
Di dalam kereta, aku belajar bahwa tidak semua orang dengan tongkat putih akan mendapatkan kursi yang ditawarkan oleh orang lain.
Saat aku merenung tentang hal ini, seorang nenek bangun dan berkata, "Silakan duduk."
Fuyutsuki tersenyum dan berkata, "Tidak apa, saya selalu berdiri."
Membimbing Fuyutsuki ke celah di samping pintu kereta, kami berdiri berdampingan.
"Terima kasih sudah membimbingku."
"Ah, tidak perlu dipikirkan."
Fuyutsuki berpaling dan memandang kearahku dalam diam.
"Apa yang salah?"
"Aku merasa Kakeru-kun benar-benar seorang pria yang sopan."
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Kamu membantuku menuju tempat yang tidak terlalu ramai, kan?"
"Tidak, bukan begitu!" Aku ingin menyangkalnya, walaupun dalam beberapa hal, itu mungkin memang benar.
Saat aku tiba-tiba bersuara, Fuyutsuki tertawa pelan, dan aku melewatkan kesempatan untuk membantah.
Ketika berhadapan dengan Fuyutsuki, aku merasa malu.
Mungkin karena dia sangat cantik, atau mungkin karena dia memiliki kepribadian yang berbeda dariku, yang membuat aku sangat mengaguminya. Diatas semua itu, entah kenapa... ketika melihat Fuyutsuki, detak jantungku berdegup lebih cepat.
Kereta bawah tanah berdentang-dentang saat bergerak. Cahaya lampu-lampu kereta bawah tanah yang berjajar rapi dengan interval tetap melintas di luar jendela, menyinari wajah Fuyutsuki secara sekilas tapi terus-menerus.
Aku berbicara cukup keras agar terdengar di atas suara kereta.
"Aku sudah lama penasaran, tapi kenapa kamu ingin melihat kembang api?"
"Aku selalu menyukainya, bahkan sejak dulu."
"Tapi sekarang kamu tidak bisa melihatnya, bukan? Itulah yang membuatku penasaran."
"Kembang api itu tidak hanya tentang kesenangan dalam visualisasi nya saja, tahu?"
"Tentu, tapi..."
"Saat kembang api meledak dengan keras, saat bau mesiu yang khas bertebaran diudara, dan saat teriakan 'wah' semua orang bergema di segala arah... Itulah kesan-kesan yang membuatku menyukainya. Kakeru-kun, suatu saat nanti cobalah menikmati kembang api dengan menutup mata. Aku yakin kamu akan merasakannya dengan seluruh tubuhmu."
"Aku akan menahan diri dari cara yang begitu rumit untuk menikmatinya. Bagiku, menikmati kembang api bunga lilin dengan duduk bersila itu sudah cukup."
"Oh, kembang api bunga lilin juga bagus. Haruskah kita membelinya nanti?"
"Kamu suka sekali ya`"
Fuyutsuki menyipitkan matanya dan berbicara dengan suara lembut.
"Dulu, aku sering pergi melihat kembang api bersama keluarga."
"Kembang api yang ditembakkan ke atas langit?"
"Iya, waktu itu mataku masih bisa melihat. Aku pergi bersama dengan ayah dan ibu."
"Jadi, kamu selalu ingin melihat kembang api karena punya kenangan itu?"
Saat aku mulai sedikit mengerti, Fuyutsuki berkata, "Maaf, bukan itu maksudku," lalu melanjutkan, "Aku mulai sangat ingin melihat kembang api setelah kehilangan penglihatanku."
"Eh, apa maksudnya?"
"Yah, mungkin semacam... semangat untuk berusaha keras, kurasa."
"Apa yang kamu maksud?"
"Entahlah, aku merasa seperti itu, aku ingin mencoba untuk berusaha lebih keras lagi."
"Aku tak begitu mengerti..."
Saat aku mengutarakan ketidakpengertian, kereta berhenti di stasiun Shiodome. Orang-orang mulai berdesakan untuk keluar-masuk. Ruang dalam kereta mulai sempit, dan aku merasa tubuhku terdorong.
Jarak antara aku dan Fuyutsuki menjadi lebih dekat.
"Mungkinkah kereta sudah penuh?"
"Kenapa kamu tahu?" Aku heran bagaimana dia bisa tahu meskipun seharusnya dia tidak bisa melihat.
"Tidak, hanya saja suaramu terdengar lebih dekat."
Fuyutsuki sekarang berada sangat dekat dengan wajahku, matanya terbuka lebar. Aku mencoba menjawab dengan santai, "Tidak, tidak masalah."
"Terima kasih sudah melindungiku," ucapnya dengan jarak yang begitu dekat hingga aku merasa hampir tak bisa bernapas.
Sampai kereta tiba, aku mencoba menahan napas sebisa mungkin agar napasku tidak mengganggu Fuyutsuki.
.
Rutenya seharusnya hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit, tetapi karena Fuyutsuki tidak bisa berjalan terlalu cepat, kami sampai di Asakusabashi dalam waktu sekitar satu jam.
"Kamu capek?"
"Tidak. Aku baik-baik saja."
"...Aku capek."
"Ada yang salah?"
"Tidak, mari teruskan saja."
Fuyutsuki berjalan di atas trotoar, memukul-mukul tanah dengan tongkat putihnya, dan mengikuti jalur titik-titik braille berwarna kuning.
Aku mencoba membayangkan, apakah aku bisa berjalan dengan mata tertutup seperti itu.... Dan jawaban jelasnya sudah pastilah tidak bisa. Aku sampai pada kesimpulan itu dalam sekejap.
"Belok kiri."
Aku sudah memeriksa rute sebelumnya. Dengan ponsel di tangan, aku memandu Fuyutsuki.
Seorang pria berjalan ke arah kami dari depan, sambil fokus menatap layar ponselnya. Aku punya firasat buruk. Saat aku berpikir bahwa ini akan menjadi masalah, hal itu benarlah terjadi. Pria itu tiba-tiba menabrak Fuyutsuki.
Pria itu hanya melempar sekilas pandangan ke arah Fuyutsuki sebelum akhirnya pergi tanpa sepatah kata pun.
"Apa-apaan itu!?"
Darahku mendidih.
Aku merasa marah saat kejadian itu terjadi.
Bagaimana bisa dia hanya melempar pandangan singkat setelah menabrak Fuyutsuki? Apa dia tidak tahu kalau Fuyutsuki tidak bisa melihat?
Saat aku hampir berteriak, Fuyutsuki meraih lenganku dan menggelengkan kepala sambil berkata, "Tidak apa-apa."
"Tapi..."
"---Itu sesuatu yang sudah biasa terjadi."
Fuyutsuki melanjutkan. Sedangkan aku masih merasa kesal, "Tapi, tetap saja---"
"Dia sedang membawa ponsel, bukan? Mungkin saja dia sedang menerima pesan penting dari seseorang."
Dia kemudian melanjutkan dengan tertawa.
"Suaramu terdengar cukup tajam. Tidak perlu begitu marah."
Bagaimana bisa Fuyutsuki begitu kuat?
Aku masih merasa marah, tetapi ketika aku mencoba berbicara, aku hanya bisa berkata, "Aku mengerti," dan itu adalah akhir dari pembicaraan kami
Aku mulai merasa kemarahanku mereda. Tapi pada saat yang sama, aku merasakan sesak di dada karena hampir saja meneriakkan kalimat, 'Dia tidak bisa melihat!'
Aku menyadari betapa buruk tindakanku yang sembrono dan semakin tidak sensitif hanya karena darah yang mengalir deras ke kepalaku
Melihat wajah Fuyutsuki yang sedikit lelah, aku mengusulkan, "Mau mampir ke kafe?"
Kami memasuki jaringan kafe asal Prefektur Aichi yang terletak di dekat sana, dan seorang pelayan dengan senyum lebar menyambut ke meja kami.
Setelah memilih tempat duduk, seorang pelayan dengan senyum lebar lainnya datang mengambil pesanan.
Saat mata kami bertemu, aku membeku.
"Hayase?"
Pelayan itu adalah Yuko Hayase yang mengenakan apron dengan kerudung melilit di kepalanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Hayase terkejut dan mengedipkan mata beberapa kali.
"Eh, Koharu-chan!"
"Oh, ini Yuko-chan. Selamat pagi."
Fuyutsuki tersenyum hangan mendengar suara yang cukup tinggi itu.
"Sorano-kun dan Koharu-chan..."
Hayase bertanya-tanya dengan sikap penuh keingintahuan.
"Aku memesan Americano, dan juga paket C."
"Kamu tidak perlu terburu-buru seperti itu, tahu."
"Kamu sedang bekerja, bukan?"
Saat aku mengatakan itu, Fuyutsuki terkikik.
"Baiklah, baiklah," sahut Hayase sambil menulis pesanan.
"Apa yang kalian lakukan hari ini?"
"Dia ingin bermain kembang api."
"Kembang api?"
"Ya, begitulah."
"Apa Yuko-chan juga ingin ikut dalam pertunjukan kembang api kita?"
"Oh, aku juga ingin melakukannya! Kapan itu dimulai?"
"Kapan kita melakukannya?" Entah kenapa, tiba-tiba dia melemparkan pertanyaan kepadaku.
"Eh. Apa kamu bertanya padaku?"
Fuyutsuki tersenyum lembut sambil menepuk pipinya dengan tangannya yang kecil. Senyumnya membuat hatiku berdebar.
"Hari ini kita pergi membeli kembang api yang paling besar!"
Fuyutsuki dengan semangat mengatakan itu, dan aku menimpali, "Anggaran dia satu juta yen, katanya."
"Fufu~, tolong jangan meremehkan kekayaan keluarga Fuyutsuki." "
" "Eh, serius?" "
Saat suara kagetku dan Hayase tumpang tindih, Fuyutsuki tertawa, "Ahaha."
Dalam percakapan yang biasa itu, Hayase terkejut dengan mata terbelalaknya.
"Tapi serius, sejak kapan kalian terlihat seakrab ini?"
"Terlihat akrab? Kakeru-kun biasanya selalu cemberut, kan?"
"Tidak, sekarang dia bahkan senyam-senyum sendiri..."
Hayase menjawab, mengubah fakta.
"Oh, benarkah?! Boleh aku menyentuh wajahmu?"
"Tidak boleh! Lebih baik pesan makanan dulu, ayo lihat menunya!"
Aku tidak benar-benar mengerti maksudnya yang mencoba untuk menyentuh wajahku. Tetapi, apa yang lebih penting adalah untuk tidak membiarkan Hayase terus berada disini.
"Maaf, tapi aku tidak bisa melihat menunya..."
Sambil aku memeriksa menu untuk menggantikannya, Hayase menyarankan satu minuman, yaitu Milk Tea Ice. Ini adalah Milk Tea yang 'penuh semangat,' dengan ukuran hampir dua kali lipat dari biasanya---mungkin semacam bentuk semangat layanan khas dari prefektur Aichi.
"Memangnya kita bisa minum ukuran yang sebesar ini?!"
Aku menunjuk gambar di menu dengan jari, tapi Fuyutsuki hanya menatap bingung.
"Ah, maaf..."
Bahkan permintaan maaf itu disambut dengan ekspresi kebingungan.
Hal-hal seperti ini...
Kesalahan dalam menangani situasi membuat semuanya terasa canggung. Aku tidak suka itu.
"Kalau Teh Susu Panas, ukurannya normal."
Perkataan Hayase disambut dengan penuh senyuman dari Fuyutsuki yang berkata, "Baiklah, aku pesan itu saja."
Setelah itu, Hayase membawa pesanan kami. Mungkin ini adalah bagian dari pelayanan khusus dari Hayase, ada telur rebus gratis yang disertakan. Di atas meja, ada juga kopi, teh susu, roti tebal, mentega untuk roti, dan kacang merah.
Ketika kami mengucapkan "terima kasih," Hayase melambaikan tangan seraya berkata, "Selamat menikmati."
Meraih gelas dengan perlahan; Fuyutsuki menjulurkan tangannya ke meja.
"Teh Susunya tepat di depanmu," kataku sambil mengoles mentega di roti.
"Tidak apa."
Fuyutsuki dengan hati-hati mengambil piring cangkir. Dia meletakkan jari di pegangan cangkir, lalu mengangkatnya dengan kedua tangan.
Setelah menyesap sedikit, dia menggelengkan kepala sambil menjulurkan lidah, "Ini panas."
"Hati-hati."
"Tapi, rasanya enak."
Fuyutsuki tertawa kecil, seperti biasanya. Namun, entah kenapa... aku merasa itu sedikit curang.
Apa ini? Meskipun tidak pernah ada 'kontak mata' dengan Fuyutsuki, kadang-kadang aku merasa seolah-olah mata kami saling bertatapan.
Dan setiap kali itu terjadi, aku merasa merasa gugup, dadaku terasa sesak.
Tenggelam dalam lamunan sambil sibuk mengoleskan kacang merah ke roti yang sudah diolesi mentega, aku baru tersadar bahwa tanpa sengaja telah mengoleskan terlalu banyak kacang merah.
"Fuyutsuki, kamu tidak ikutan makan?"
"Aku? Oh, tidak apa. Jangan khawatirkan aku."
"Mau coba satu gigitan?"
"Eh, kamu mau menyuapi aku?"
"Tidak akan."
"Uhh, pelit."
"Jadi, bagaimana dengan makan siang hari ini?"
"Sebenarnya, aku tidak suka dilihat saat makan."
"Oh? Kudengar memang banyak wanita yang merasa seperti itu."
"Tidak, bukan itu yang kumaksud..."
Sampai di sini, dia tersenyum lalu melanjutkan, "Tapi, menganggapku sebagai wanita seperti itu membuatku senang."
Melihat senyum Fuyutsuki membuatku merasa malu, jadi aku menggigit roti panggang untuk mengalihkan perhatian.
Bahkan sampai aku selesai makan, Fuyutsuki terus tersenyum. Ini adalah salah satu ciri khas dari Fuyutsuki. Senyumannya yang seperti itu... sungguh curang.
"Hei."
Aku memutuskan untuk berbicara.
Aku sudah lama ingin mengutarakannya, kupikir mungkin sekarang adalah waktu yang tepat.
"Jika kamu tidak ingin membicarakannya, maka tidak masalah. Kamu tidak perlu melakukannya."
Meninggalkan kafe, kami berdua pergi mengunjungi toko khusus kembang api bersama.
Di toko tersebut, terdapat berbagai macam kembang api genggam dan kembang api besar dengan tinggi mencapai lima puluh sentimeter, yang cukup besar untuk penggunaan rumahan. Seperti yang bisa diharapkan dari toko khusus, koleksinya benar-benar mengesankan.
Kami juga mengunjungi toko kembang api lainnya, melihat beberapa jenis kembang api, mendengar penjelasannya, dan membeli apa saja yang diinginkan Fuyutsuki. Jumlahnya cukup banyak, sampai-sampai kantong plastiknya terasa berat.
"Benar-benar boleh kubawa pulang?"
"Tentu saja. Mungkin bisa kita nyalakan di kampus nantinya, dan itu lebih dekat dengan asramaku juga."
"Terima kasih banyak."
Saat kami berbicara di depan toko kembang api Asakusabashi, kami menghalangi pelanggan lain yang hendak masuk, jadi kami pindah ke bawah pohon di pinggir jalan.
"Hei, kapan kira-kira kita menyalakannya?" Fuyutsuki bertanya, tampak sangat senang.
"Aku tidak yakin, tapi... apa kita perlu izin untuk menyalakannya di kampus?"
"Haruskah kita tanya Yuko-chan?"
Fuyutsuki berbicara dengan suara antusias di sampingku. Aku ingin memintanya agar lebih tenang, tapi saat melihat Fuyutsuki memandang langit dengan mata yang bersinar, aku menelan kembali kata-kataku.
"Kita sudah membeli kembang api. Sekarang kita mau ke mana?"
"Eh, kamu masih ingin melanjutkan kencan kita?"
"Sudah kubilang, ini bukan kencan..."
"Hanya bercanda. Lagipula, kembang api ini berat, kan? Barang-barang ini cukup banyak, jadi bagaimana kalau kita langsung pulang saja hari ini?"
Tanganku penuh dengan kembang api yang kami beli. Mungkin dia menyadari hal itu.
"Memang, membawa kembang api sebanyak ini juga bisa membuat kita dihentikan polisi karena membawa barang berbahaya."
"Apa itu berarti kita satu komplotan dalam kejahatan?"
"Dalam hal ini, Fuyutsuki pelaku utamanya, bukan?"
"Kamu selalu saja membuat lelucon begitu."
Fuyutsuki tertawa dengan suara yang merdu. Aku merasa senang bisa membuatya tertawa.
"Bagaimana kalau kita pulang naik water bus?"
"Water Bus?"
Di kota kelahiranku, ada ferry yang menghubungkan ke pelabuhan seberang. Aku agak terkejut mendengar bahwa Tokyo juga memiliki transportasi air semacam itu.
Menurut Fuyutsuki, ada semacam kapal water bus yang beroperasi dari Asakusa melalui Sungai Sumida hingga ke Odaiba di Teluk Tokyo.
Dia pernah naik beberapa kali dan ingin sekali kembali menggunakan water bus dari daerah ini ke Tsukishima.
Apakah dia bisa menaikinya? Aku hampir bertanya pada saat itu juga, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.
Meskipun dia tidak bisa melihat, dia pasti bisa menikmati perjalanan di atas kapal, merasakan suara kapal membelah air, merasakan angin, dan menikmati sensasi semacam itu.
"Tunggu sebentar, aku akan mencarinya."
Aku mengeluarkan ponsel dan mencari tempat pemberhentian water bus.
"Oh, Ternyata ada di dekat Kuramae Bridge dan Ryogoku. Sepertinya kita bisa sampai di dekat kampus."
"Terima kasih," ucap Fuyutsuki dengan pipi yang mengendur.
"Ada apa?"
"Kamu baik sekali, sampai mau repot-repot mencarinyakannya untukku."
Dia berkata demikian sambil tersenyum, yang membuatku seakan tidak bisa melihat wajahnya lagi karena malu.
"Yah, ini normal bukan?"
"Menyebut ini normal berarti kamu memiliki lisensi kebaikan tingkat dua."
"Lisensi apa itu?"
Fuyutsuki tertawa dengan lembut, dan aku membawanya menuju tempat pemberhentian water bus.
Saat kami berjalan dan bercanda, kami segera tiba di tempat pemberhentian water bus. Kami mendapatkan tiket di loket dan naik ke dalam kapal di dermaga belakang bangunan.
Water bus memiliki pintu masuk di bagian belakang kapal, dengan satu rampa turun untuk masuk ke dalam kapal dan tangga untuk naik.
Di dalam kapal, ada barisan kursi, dan di atas, di dek atap, kami bisa melihat pemandangan Sungai Sumida.
"Naik yang mana?" aku bertanya, dan Fuyutsuki tanpa ragu menjawab,
"Ayo naik ke dek atap!"
Untuk menaiki tangga di kapal yang sempit, aku harus pergi lebih dulu dan menggandeng tangan Fuyutsuki.
"Tangan Kakeru selalu terasa hangat, bukan?"
"Sudahlah, jangan perhatikan, fokus saja pada tangga kalau tidak nanti kakimu terkilir."
Fuyutsuki terkekeh.
Di dek atas, tidak ada kursi. Hanya dikelilingi oleh pagar berbentuk persegi.
Sepertinya penumpang lain telah pergi ke dalam kapal, dan untungnya, kami adalah satu-satunya yang berada di dek atap.
"Lihat, ada pagar setinggi pinggang di depan, kurasa kamu bisa memegangnya."
Mesin kapal berbunyi dengan lembut, dan kami merasa sedikit bergoyang bersamaan dengan gerakan air.
Aku membimbing Fuyutsuki ke posisi di depan kapal, menggenggamkan tangannya pada pagar setinggi pinggang.
"Terima kasih. Aku selalu menantikannya hal ini."
"Kamu benar-benar terlihat senang ya."
"Benar-benar menyenangkan. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa melakukan sesuatu seperti ini lagi."
"Yah, jika kamu---"
Aku hampir mengatakan itu, lalu berhenti.
'Jika kamu tak keberatan bersamaku, aku akan pergi menemanimu kapan saja.'
Tanpa sadar, aku hampir mengucapkan kata-kata itu dan merasa bingung. Apa secara tidak sadar, aku berpikir untuk bertemu dengannya di luar kampus lagi? Apa secara tidak sadar, aku ingin terlibat lebih dalam dengan Fuyutsuki?
Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu.
Tiba-tiba, saat melihat sekeliling, aku melihat permukaan Sungai Sumida. Bau airnya seperti bau hujan musim panas yang baru saja berhenti, dan ada juga bau bensin dari kapal disana.
Meskipun sedikit berbau, air Sungai Sumida memantulkan langit biru.
Itu begitu sederhana namun sangat indah.
"Pemandangannya pasti indah, bukan?"
Suara Fuyutsuki membuatku sadar bahwa aku terdiam. Aku merasa sedih memikirkan bahwa Fuyutsuki yang tidak bisa melihat tidak akan bisa menyaksikan permukaan air yang memantulkan langit biru yang indah ini.
"Kamu tahu? Kamu tidak bisa melihat pemandangannya, kan?"
"Aku tidak bisa melihat pemandangan ini, tapi aku masih menikmatinya. Dulu, sewaktu masih bisa melihat, aku mungkin pernah melihat pemandangan yang sama. Jadi, aku sedang mengingat-ingatnya sekarang."
"Seperti apa pemandangannya saat itu?"
"Mnnn, saat itu mendung... kurasa?"
"Hari ini sangat cerah, langitnya begitu biru. Warna biru itu tercermin di permukaan air, sungguh indah."
Fuyutsuki berbalik menghadapku.
"Kamu baik sekali, mau menjabarkan hal seperti itu kepada seseorang yang tidak bisa melihat."
"Aku baru saja mendapatkan lisensi kebaikan tingkat dua hari ini, tahu?"
Mendengar itu, Fuyutsuki tertawa, "ahaha."
Tepat pada saat itu, pengumuman keberangkatan dari dalam kapal terdengar.
"Pegangan yang erat ya."
"Serahkan padaku!"
Ketika Fuyutsuki melepaskan satu tangannya dari pegangan dan mengepalkan tinjunya dengan kuat, aku pun menimpali, "Hei, hei, pegangan yang erat," lalu Fuyutsuki tertawa lagi.
Water bus melaju cepat saat melintasi Sungai Sumida, lebih cepat dari yang kukira. Angin kencang bertiup dari depan, dan suara mesin yang besar terdengar. Badan kapal bergoyang perlahan ke kiri dan kanan, mengikuti gelombang yang dibuat oleh kapal. Sesekali, percikan air kecil mengenai pipi, dan rasanya menyegarkan.
"Anginnya menyenangkan, ya."
"Iya, terima kasih sudah membawaku. Ini sangat menyenangkan."
Water bus terus melaju di Sungai Sumida yang luas. Di kedua sisi sungai terdapat gedung pencakar langit, dan terkadang taman yang hijau terlihat di tepian sungai. Hari ini sangat cerah. Kami melintasi bawah jembatan, di bawah jalan tol berlapis tinggi.
Aku menceritakan semua pemandangan yang berlalu di depan mataku kepada Fuyutsuki. Menjelaskan setiap detail yang aku lihat dan yang aku rasakan, agar Fuyutsuki juga dapat merasakannya.
"Wow!"
"Ada apa?"
"Ada tulisan 'Eitai Bridge' di sisi jembatan di depan sana. Jadi, itu jembatan Eitai, ya? Tapi, sepertinya jembatan itu lebih rendah dari jembatan lainnya. Kepala kita bisa saja terbentur, jadi ayo berjongkok!"
Fuyutsuki berjongkok sambil masih memegangi pagar. Aku juga berjongkok. Lalu, jembatan Eitai melintas di atas kepala kami.
"Maaf, sepertinya tidak serendah yang kukira. Dan tidak mungkin kepala kita bisa terbentur disana."
Ketika aku berjongkok dan berhadapan dengan Fuyutsuki, wajahnya lebih dekat dari yang aku duga
"Apa maksudnya itu?"
Fuyutsuki tersenyum lebar. Melihat dia begitu menikmati seperti ini membuat berpikir, 'Aku ingin melihatnya lagi lain kali.'
Ah, jadi ini rasanya, pikirku. Orang yang selalu tersenyum dan tertawa seperti Fuyutsuki benar-benar menarik perhatian orang lain.
Sungguh mengagumkan bagaimana dia bisa tertawa seceria ini dalam situasi di mana dia tidak bisa melihat.
Entah kenapa, Fuyutsuki terlihat semakin bersinar di mataku.
Wajahnya yang tersenyum begitu dekat. Suara keras water bus membelah air, dan suara itu membuat detak jantungku semakin kencang.
Permukaan air di belakang Fuyutsuki berkilauan terkena sinar matahari. Rasa malu meluap di dalam diriku, jadi aku mengalihkan pandangan dan berdiri.
"Apa kita sudah sampai di Teluk Tokyo?"
Di depan mata kami terbentang lautan yang luas, sedikit aroma laut mulai bercampur dengan udara.
"Apa kita sudah hampir sampai?"
"Yah, meskipun dari sudut ini aku masih belum bisa melihat kampus kita."
Kapal berbelok ke kiri. Kami mungkin akan segera tiba di Tsukishima.
Lalu pada saat itu, secara tiba-tiba kapal berguncang menghantam ombak. Aku segera menopang bahu Fuyutsuki dengan satu tangan saat dia hampir kehilangan keseimbangan.
Bahunya terasa lembut, seperti merangkul kapas.
"Kyaa!"
"Maaf, ma-maafkan aku."
Karena panik, aku dengan cepat meminta maaf karena telah menyentuhnya.
"Tidak apa-apa, kok," kata Fuyutsuki sambil tersenyum, "Ini sangat menyenangkan."
Melihat Fuyutsuki tersenyum seperti itu di pelukanku, jantungku berdetak lebih cepat tanpa kusadari.
🔸◆ Fuyutsuki Koharu ◆🔸
"Aku pulang!"
Aku kembali pulang ke apartemen di lantai 46 apartemen Tsukishima, dan berkata, "Hari ini sangat menyenangkan!"
Aku mengikuti pegangan tangga dan menghitung pintu yang kedua dari atas sebagai pintu masuk ke ruang apartemenku sendiri.
Setelah meninggalkan kafe, aku dan Kakeru-kun mengunjungi beberapa toko kembang api di Asakusabashi. Kami berjalan hingga lelah dan bahkan menaiki water bus bersama. Kakeru-kun juga membuatku banyak tertawa sepanjang hari.
Aku meraba dinding untuk mencari sakelar, lalu menyalakan lampu. Meskipun lampu di kamar sudah menyala, tapi tentu saja aku tidak bisa melihatnya. Ini hanya kebiasaan. Ketika aku merasa lampu ruangan menyala, aku merasa seperti sudah pulang.
"Selamat datang~ Kamu belum makan, kan?"
Aku mendengar suara ibu.
"Aku pulang~ Hari ini, apa makan malamnya?"
"Ibu akan membuat tempura."
"Yay!"
Aku sangat lapar setelah berjalan sepanjang hari.
Aku juga merasakan lapar seperti kebanyakan orang. Meski begitu, aku kesulitan makan di depan orang lain.
Tentu saja, di rumah, aku bisa makan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Ibu mengajariku di mana tempat makan berada, aku meraih piring dengan sentuhan tangan, dan membawa makanan ke mulutku.
Meskipun sudah terbiasa, aku tetap khawatir kalau-kalau mulutku kotor.
Lebih-lebih lagi di depan Kakeru-kun, aku jadi semakin khawatir.
"Apa kencannya berhasil?"
"Eh?! Bagaimana ibu tahu itu kencan?"
"Kamu berdandan lebih rapi dari biasanya, dan berkali-kali mengganti pakaian."
Aku merias wajahku sendiri berdasarkan dengan perasaan dan ingatan yang kumiliki. Mengandalkan tekstur yang kurasakan dari kain dengan ujung jari-jari dan warna yang diajarkan ibu, aku juga memilih pakaian sendiri.
Meskipun pada akhirnya aku meminta ibu untuk memeriksa, tapi aku benar-benar berusaha keras untuk merias diriku sendiri.
Hari ini, aku lebih bersemangat daripada biasanya.
Aku ingin terlihat baik di mata Kakeru-kun, jadi aku bangun lebih awal dari biasanya---tidak, lebih tepatnya, aku terjaga karena aku tidak bisa tidur.
Aku mandi dan bersiap-siap dengan penuh perhatian. Aku tidak merasa itu sulit. Sebaliknya, hanya dengan berpikir untuk terlihat baik didepannya saja, aku sudah merasa sangat senang.
Jika persiapannya saja sudah sangat menyenangkan, bagaimana jadinya jika aku bertemu Kakeru-kun nanti?
Aku benar-benar merasakan hal itu.
"Ibu bisa melihatmu senyumanmu tahu~"
Suara tawa ibuku terdengar. Aku tersenyum saat mengingat-ingat lagi tentang kencan dengan Kakeru-kun hari ini.
Rasa malu tumbuh dalam diriku, dan aku berkata, "Aku tidak tersenyum begitu kok." sambil mencoba menyembunyikan wajahku.
Kakeru-kun menjelaskan semuanya, mulai dari kembang api yang belum pernah aku lihat sebelumnya hingga deskripsi dan catatan yang tertulis di sana. Pada akhirnya, dia berbicara terlalu banyak hingga suaranya menjadi serak.
Itulah salah satu sisi baik yang aku suka darinya.
Meskipun ini hanyalah kencan singkat yang hanya berlangsung setengah hari atau bahkan kurang... tapi, aku sangat senang karena dia mau meluangkan waktu untukku, dan aku merasa senang bisa bersamanya.
Kadang-kadang, Kakeru-kun berbicara dengan suara yang sangat lembut, untuk tidak menyakiti perasaanku, 'Jika kamu tidak mau membicarakannya, maka tidak masalah.'
Kata-katanya membuatku merasa bahwa dia peduli padaku.
'Sulit, ya, tidak bisa melihat.'
'Apa aman saja kalau keluar rumah?'
Ada orang-orang di dunia ini yang berkata seperti itu. Dan sayangnya, memang ada banyak dari mereka.
Kurasa karena tidak bisa melihat itu adalah hal yang langka. Mereka semua mungkin belum terbiasa.
Kepada semua orang yang seperti itu, aku ingin sekali mengatakan, "Ini biasa saja kok."
Memang benar, saat pertama kali tahu bahwa aku akan kehilangan penglihatan, itu adalah hal yang mengejutkan.
Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa dan menerimanya.
Aku masih bisa makan dan mandi.
Aku bisa menggunakan ponsel dan membaca buku dengan audiobook.
Aku juga bisa merias wajah dan berpakaian modis, bahkan memakai rok.
Karena blok braille di trotoar sulit dilalui, aku tidak bisa memilih sepatu dengan tumit yang tipis. Namun, aku tetap memakai sepatu bot dan sandal.
Aku hidup dengan cukup normal.
Meskipun ada banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri, aku tetap bisa mengatasinya.
Ketika aku tidak bisa melakukannya, aku belajar untuk meminta bantuan orang lain dengan jujur. Ada orang-orang yang menjadi dekat denganku melalui proses itu.
Jadi, aku berharap mereka tidak terlalu khawatir.
Meskipun aku tidak bisa melihat, aku masih memiliki banyak hal yang ingin aku lakukan.
Namun begitu, seringkali aku dilihat sebagai seseorang yang memiliki banyak kesulitan.
Dilihat sebagai seseorang yang seperti itu, membuat orang-orang berpikir akan sulit jika dekat denganku, dan kebanyakan dari mereka memilih untuk menjaga jarak. Itu sangat menyedihkan.
Saat aku memikirkan hal itu, Kakeru-kun adalah pengecualian.
"Uh, tentang itu... bagaimana rasanya saat tidak bisa melihat? Apakah itu seperti berada dalam kegelapan?"
Dia benar-benar mencoba untuk memahamiku.
Ketika aku menjawab "Hmm," suaranya terdengar ragu, "Jika kamu tidak ingin memberitahunya, tidak apa-apa."
Itu membuatku tertawa.
"Orang-orang cenderung berpikir bahwa pandanganku mungkin seperti gelap gulita, tapi dalam kasusku, itu sebaliknya."
"Sebaliknya?"
"Iya, seperti berada di dalam kabut putih yang transparan, begitulah."
TL/N:
Orang yang buta total sejak lahir nggak punya konsep visual. Sedangkan orang-orang yang kehilangan penglihatannya setelah bisa melihat, pengalaman 'melihat' bisa berbeda. Beberapa mungkin melihat bayangan, cahaya, atau bahkan kegelapan tergantung pada kondisi atau kerusakan yang terjadi pada mata atau saraf penglihatan mereka.
"Oh, begitu..."
Dia mengeluarkan suara 'Oh' lagi. Lucu sekali. Mungkin itu kebiasaannya.
Aku suka bagaimana dia benar-benar memikirkan apa yang harus dikatakan sampai akhirnya mengeluarkan suara itu.
TL/N:
Disini Kakeru ngomong「へー」(hee), sebuah ungkapan atau ekspresi yang sering digunakan buat menunjukkan rasa terkejut, ketertarikan, atau kekaguman. Kadang juga punya artian yang bisa sedikit berbeda tergantung konteks dan cara bicaranya. Mirip-mirip sama "Oh, begitu!" atau "Wah!" dalam bahasa Indonesia, yang kadang digunakan dalam situasi serupa.
"Aku ingin bertanya lagi, tapi tidak perlu memaksakan diri untuk menjawabnya."
"Tidak apa, tanyakan saja."
"Ehmn... Sejak kapan kamu kehilangan penglihatan?"
Aku didiagnosis mengalami kanker ketika berada di kelas enam SD.
Mereka mengatakan ada tumor seukuran kuku jari kecil di otakku. Operasi pertama berjalan lancar, terasa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku bahkan bertanya, "Apakah sudah selesai?"
Tapi kemudian, saat aku kelas tiga SMP, mereka menemukan penyebaran kankernya. Itu ada didalam retina kedua mataku.
Aku dihadapkan pada pilihan untuk mengangkat kedua mataku, atau mempertahankan bola mata dan melakukan operasi serta kemoterapi.
Aku memilih untuk mempertahankan bola mata, menjalani operasi, dan melakukan kemoterapi.
Pada saat itu aku dirawat di rumah sakit untuk waktu yang cukup lama kali ini, hingga aku bahkan tidak bisa menghadiri upacara kelulusan.
"Kemoterapi benar-benar menyiksa. Rambutku rontok, aku merasa linglung, dan ingatanku menjadi kabur."
Entah bagaimana, aku ingin Kakeru-kun mendengar semuanya. Jadi aku menceritakan semuanya.
"Setelah itu, penglihatanku hilang. Aku belajar membaca braille, belajar dengan giat, dan membutuhkan empat tahun untuk mendapatkan sertifikat kelulusan SMA. Sebenarnya, aku satu tahun lebih tua darimu, Kakeru-kun. Jadi, hormatilah aku dengan baik~"
Aku menceritakan semuanya dan di akhir, aku mengatakan sesuatu dengan nada bercanda, merasa tidak tahan dengan cerita berat itu.
Itu adalah pengakuan yang membutuhkan keberanian. Aku menyesal mengatakan bahwa aku satu tahun lebih tua. Namun, Kakeru-kun merespons dengan 'Oh' yang biasa, dan melanjutkan dengan suara lembut.
"Kapan tanggal ulang tahunmu, Fuyutsuki?"
"28 Maret."
"Ah, aku 2 April. Tidak terlalu berbeda, kan?"
Hanya lima hari lebih tua, cukup dianggap sebaya.
Begitulah yang dikatakan Kakeru-kun.
'Aku tahu itu sulit.'
'Kamu sudah berjuang keras ya.'
Aku tidak ingin dikasihani dengan kata-kata semacam itu.
Aku tidak ingin dipandang sebagai seseorang yang patut disayangkan.
Aku hanya ingin didengar secara normal.
Aku merasa Kakeru-kun benar-benar memahami itu.
Inilah yang kusuka. Inilah yang aku maksud.
Kebaikan ini, sungguh tak terlukiskan.
"Kakeru-kun."
"Ya?"
"Kamu benar-benar baik, ya."
Ketika aku berkata demikian, Kakeru-kun dengan canggung menyangkalnya.
Suaranya yang panik itu begitu menggemaskan.
Aku suka bagian itu.
Aku suka bagaimana dia dengan lembut memperhatikanku seperti biasa.
Aku suka tangan hangatnya.
Aku suka suaranya yang tinggi.
Aku suka bagaimana dia membuatku tertawa.
Aku suka sisi baik hatinya.
Aku merindukan wajahnya yang tak pernah kulihat, tetapi entah mengapa, aku berpikir bahwa bahkan jika aku bisa melihatnya, aku pasti akan tetap menyukainya.
Aku... suka. Aku menyukai Kakeru-kun.
Namun, aku tiba-tiba merasa ragu.
Mengungkapkan perasaan itu menakutkan.
Apakah dia akan merasa keberatan bersama seorang penyandang disabilitas? Aku memikirkannya.
Aku tahu bahwa Kakeru-kun bukanlah orang yang seperti itu.
Tapi, aku masih merasa sangat cemas... aku takut.
Lalu... Bagaimana jika seandainya aku bisa melihat? Bagaimana jika aku bukan penyandang disabilitas?
Aku rasa, meskipun begitu, aku tetap akan merasa takut. Itu sama saja, entah aku bisa melihat atau tidak.
Pada dasarnya, pengakuan cinta memang sesuatu yang sangat menakutkan.
Tanpa sadar, pipiku mengendur karena senang. Mengetahui hal seperti itu membuatku bahagia.
Aku merasa bahagia karena dapat mengenal cinta, bahkan dalam keadaan seperti ini.
Apa yang dipikirkan oleh Kakeru-kun? Aku ingin dia juga membalas perasaanku.
Haruskah aku yang mengungkapkannya lebih dulu? Tapi, bagaimana jika dia menolaknya?
Meskipun kami telah bertukar kontak LINE, dia bahkan tidak pernah menghubungiku.
Haha... Aku tertawa.
Rasanya sangat menyenangkan, menyenangkan sekali, sampai terasa menyakitkan.
"Kakeru-kun..."
Hatiku seperti akan meledak. Aku tidak bisa mengontrol perasaan campur aduk ini.
🔸◆ Sorano Kakeru ◆🔸
Sebenarnya, ada satu hal yang membuatku ingin segera pindah dari asrama murah seharga sepuluh ribu yen ini.
Masalahnya bukan soal kamar berdua, sirkuit listrik yang sering mati, atau kamar mandi yang terpisah. Kami telah mengatasi masalah-masalah kecil itu.
Jadi, apa masalahnya?
.
.
.
Itu adalah pelatihan Cutter.
Ini adalah latihan yang diwajibkan untuk semua penghuni asrama, sebuah tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun atau lebih, yang dimulai sejak kedatangan kapal hitam pertama ke Jepang, dimana mengharuskan semua penghuni asrama naik ke perahu dayung kecil yang disebut Cutter.
Mereka harus berkumpul di Dermaga Harumi sebelum jam lima pagi, naik ke Cutter, dan terus-menerus mendayung sambil meneriakkan seruan dengan penuh semangat hingga matahari terbit.
Beberapa orang sampai mendapatkan lecet di tangan, dan yang lainnya mendapati kulit yang terkelupas di pantat. Ini adalah tradisi yang sangat ketinggalan zaman.
Semua ini dilakukan untuk acara 'Pengalaman Naik Cutter' yang diselenggarakan oleh penghuni asrama pada awal Juni saat festival berlangsung.
Pengalaman naik kapal cutter adalah salah satu acara paling populer dalam festival tersebut.
Pada saat itu, kami harus mengurangi jumlah pendayung dari dua baris enam orang menjadi hanya dua baris tiga orang saja, sehingga ada lebih banyak tempat duduk untuk pengunjung festival.
Kemudian, kami harus membawa pengunjung melintasi Teluk Tokyo yang terdiri dari tiga pulau, yaitu Echujima, Tsukishima, dan Toyosu, melewati Jembatan Harumi, dan mengelilingi area tersebut sebelum kembali ke Dermaga Harumi.
Sejak awal, ketika jumlah pendayung berkurang setengahnya, beban yang diberikan sangat luar biasa. Ketika penumpang masuk, kapal menjadi sangat berat seperti berlayar di dalam laut timah.
Selama dua hari akhir pekan festival, meskipun ada istirahat tengah hari, kapal harus terus berlayar dari pukul sebelas pagi hingga empat sore. Semuanya berlangsung empat kali dalam sehari.
Ini sudah melewati batas penyiksaan. Rasa sakit melanda di lengan, bahu, dan pinggang, belum lagi nyeri-nyeri otot yang sudah pasti akan melanda. Jika kamu berhasil bertahan melalui seluruh siksaan ini, maka tubuhmu akan mengalami perubahan signifikan.
Bagiku yang tidak tertarik untuk mendapatkan tubuh berotot, itu adalah situasi yang cukup serius sampai-sampai aku benar-benar memikirkan untuk pulang ke rumah daripada tinggal di asrama.
Dengan semua itu, tibalah hari terakhir festival.
Saat ini hanya tinggal satu putaran lagi yang harus aku lalui. Sangat luar biasa saat memikirkan aku telah bertahan hingga saat ini.
Akhirnya... aku akan terbebas dari neraka ini!
Begitulah perasanku saat menaiki Cutter untuk terakhir kalinya.
Di sebelahku, ada Narumi yang terlihat semakin kekar karena latihan yang terus berulang. Sedangkan di kursi depan, ada dua wanita dengan jaket pelampung dan senyum di wajah mereka.
"Kakeru-kun, semangat!" kata Fuyutsuki.
"Eh, kenapa kita belok ke kanan?" teriak Hayase.
Mengapa dua orang ini ada disana?
"Sorano, ayo semangat!"
"Narumi kau terlalu dayungan-mu terlalu cepat!"
"Kyaa!" Fuyutsuki terkejut kecil.
"Fuyutsuki, kamu baik-baik saja? Tidak takut?"
Aku khawatir, apakah dia akan baik-baik saja dengan penglihatannya yang hilang.
Tapi dia sendiri, dia... "Sangat menyenangkan!"
Aku sedikit terkejut, Fuyutsuki terlihat sangat bersemangat, begitu bahagia. Dia bahkan terus meneriakkan, 'Semangat, semangat, Kakeru-kun! Semangat, semangat, Kakeru-kun!'
"Kenapa kamu kelihatan senang?"
"Bau air laut, anginnya, semuanya begitu menyenangkan! Apa yang bisa lebih menyenangkan daripada ini?"
Cipratan air naik. Aku merasakan sensasi dingin di pipi dan mencium bau air laut yang kuat.
Cahaya menembus tetesan air kecil, berkilauan cemerlang.
Di sana, Fuyutsuki tersenyum. Fuyutsuki dengan senyuman cerahnya berada di sana.
Kenapa ya? Senyuman itu selalu menarik perhatianku.
"Benar, benar! Laut adalah romansa bagi para pria! Ini menggetarkan hati kita, jangan melepaskan perasaan untuk merasakannya!"
Narumi berteriak "Eisa" lalu mendorong dayungnya ke atas permukaan air. Aku juga mengikuti posisinya. Berteriak, "Hoisaa" lalu menarik erat dayung dengan seluruh tubuhku.
Dayung yang mengenai air dengan keras menghasilkan dorongan yang kuat. Perahu terus meluncur maju.
Dengan inersia yang diciptakan oleh perahu, Fuyutsuki tertawa, bergoyang ke depan dan ke belakang sambil berkata, "Keren!"
Narumi yang punya 100% semangat berteriak, "Eisa!" dengan keras. Aku agak kesal, tapi aku juga ikut berteriak, "Eisa"
"Setelah ini selesai, aku akan berhenti kuliah dan mulai menanam sayuran di rumah..."
Aku mengatakannya seperti menggantungkan bendera putih. Tapi kemudian, gadis polos di depanku berseru, "Eh, apa kamu benar-benar mau berhenti kuliah?"
Dengan cepat, dia menggigit umpanku.
"Koharu-chan, itu tidak benar. Jangan pernah ikut dalam lelucon bodohnya."
Sejak tadi, Hayase terus menggenggam erat tangan Fuyutsuki dengan wajah pucat.
"Eh, Hayase *HOISAA!*, kamu baik-baik saja?"
"Hah? Apa *EISAA!* yang kamu katakan!?"
Upaya untuk memastikan Hayase baik-baik saja seolah tenggelam oleh suara ribut dari Narumi, yang terus berteriak-teriak tak jelas.
"Hayase! Kamu baik-baik *EISAA!* saja?" suara Narumi menimpali lagi.
"Apa yang *HOISAA!* kamu katakan!?" Hayase berteriak kesal.
"Kamu, baik *HOISAA!!!* baik saja?" Narumi masih terus berisik.
"Tidak, aku *EISAA!!!* tidak baik-baik saja sekarang," lagi-lagi suaranya muncul bersamaan.
Teriakan Narumi terus terngiang-ngiang sejak tadi. Terus-menerus tumpang tindih dalam percakapan semua orang.
Aku memutuskan untuk memberikan saran kepada sesama kru senior yang duduk di buritan untuk menjaga perahu sejajar dengan permukaan laut.
"Ada yang mabuk laut, mari kita pelan-pelan."
Semua orang mengangkat dayung mereka dan berhenti mendayung.
"Terima kasih," kata Hayase.
"Kamu baik sekali," kata Fuyutsuki.
"Maaf ya, aku terlalu bersemangat tadi," timpal Narumi.
Perahu bergerak perlahan. Dari permukaan laut, gedung-gedung di Tsukishima terlihat lebih tinggi. Matahari bersinar di atas laut, yang berkilau seperti cermin.
Angin sepoi-sepoi bertiup, dan Fuyutsuki tampak menikmati angin sembari menahan rambutnya.
Tanpa sadar, aku terpana melihat Fuyutsuki seperti itu. Saat menyadarinya, aku merasa malu, dan berpikir bahwa aku tidak sadar membuat wajahku terasa panas.
"Apakah kalian tahu?" Fuyutsuki tersenyum lembut sambil mengerutkan matanya.
"Di akhir festival, selalu ada pertunjukan kembang api, bagaimana kalau kita melihatnya bersama-sama?"
"Aku harus menjadi anggota panitia festival, jadi aku tidak bisa menemanimu, Koharu-chan..."
"Aku ada shift kerja malam mulai pukul 19.00," sahut Narumi.
Setelah neraka ini, dia masih harus bekerja paruh waktu? Apa sistem sarafnya yang merasakan lelah sudah mati?
"Baiklah, aku akan menemanimu. Mari kita bertemu setelah ini di teras biasa. Tunggu aku di sana."
"Baik!"
Apa hanya perasaanku? Wajah Fuyutsuki tampak sangat bahagia.
"Ngomong-ngomong, kita belum menggunakan kembang api yang sudah kita beli."
"Benar sekali. Kalau tahu akan ada kembang api selama festival, kita tidak perlu membelinya sebanyak itu."
"Haha, memang apa-apaan itu?"
Saat aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, Hayase mulai mengolok-olokku, "Tidak apa-apa, kan kamu sudah mendapatkan waktu kencan dengan Koharu-chan."
Tapi kemudian, Narumi menambahkan informasi yang tidak diperlukan, "Dia sudah mandi sebelum berangkat, tahu."
"Seriusan, Koharu-chan... hati-hati ya," kata Hayase dengan mata tajam.
"Hati-hati bagaimana?" Fuyutsuki bertanya dengan ekspresi bingung.
"Serius, hentikan itu," kataku dengan nada marah, mencoba menutupi rasa maluku.
Dan tiba-tiba saja, perahu terguncang.
"Hyaa!" Hayase berteriak kaget.
Di dalam perahu, tawa tersenyum muncul saat mendengar teriakan Hayase.
"Hentikan, jangan tertawa semuanya!"
Karena Hayase berkata dengan malu, itu justru membuat kami tertawa lebih keras.
Dengan cahaya matahari yang mulai tenggelam, kapal kami mengarah kembali ke kampus. Semakin dekat ke sana, terdengar suara band yang mungkin band peniru, lagu yang liriknya tidak bisa ku mengerti, suara gitar dan drum, serta sorakan orang-orang yang tidak terlalu jelas.
🔸◆🔸
Apabila otot digunakan secara berlebihan, apakah akan menjadi nyeri otot pada hari yang sama?
Lenganku bergetar, dan pinggangku terasa sangat sakit seolah mau patah.
Aku bahkan tidak bisa membuka tutup botol air karena kekuatan genggamanku hilang.
Kaki serta pinggangku tidak bisa lagi menahan beban. Tubuhku benar-benar hancur.
Mungkin karena kita berada di atas air begitu lama, sekarang aku merasa tanah bergoyang saat aku berjalan. Sangat sulit untuk berjalan.
Sambil menarik kaki yang berat, aku menuju ke tempat duduk kami yang biasa di teras.
Entah, kenapa... Saat aku mulai menyadari bahwa kami akan bertemu 'berdua saja', aku menjadi gugup.
'Aku harus menjadi anggota panitia festival.'
'Aku ada shift kerja malam mulai pukul 19.00.'
Ketika aku mendengar kata-kata ini dari Hayase dan Narumi, aku merasa seperti kepalaku berdenyut.
Aku merasa sangat senang. Aku tidak tahu, tapi mungkin memang itulah yang sedang terjadi.
Aku bertanya-tanya, sejak kapankah itu terjadi? Apa sejak aku melihat Fuyutsuki yang begitu ceria tadi?
Ataukah mungkin ini terjadi lebih jauh sebelumnya?
Aku merasa begitu bersemangat tentang 'bertemu berdua' dengan Fuyutsuki.
Di depan gedung koperasi, tempat teras kami biasanya berada, hanya sedikit orang.
Festival universitas berlangsung di lapangan rumput besar di dekat gerbang utama.
Saat ini, sedang ada kontes yukata yang merupakan acara terakhir. Suara keras Hayase terdengar melalui pengeras suara.
Mungkin dia menjadi pembawa acara atau sesuatu.
Dia benar-benar terlibat dalam panitia festival sekolah. Ini membuatku mulai mengaguminya, meskipun kita sangat berbeda.
Fuyutsuki duduk di tempat biasanya, menikmati secangkir teh susu.
Di tengah dunia yang perlahan-lahan terlukis dengan warna oranye, dia duduk menungguku.
Saat aku melihat Fuyutsuki, detak jantungku berdegup seolah melompat-lompat. Aku menahan dadaku, kemudian menyapanya.
"Maaf, apa aku membuatmu menunggu?"
"Ngg... Tidak apa-apa. Aku tidak menunggu terlalu lama."
"Apa teh susu-nya sudah dingin?"
"Karena di cangkir kertas, jadi memang cepat dingin."
Meskipun musim panas telah dimulai, angin yang sejuk masih terus bertiup.
Di kejauhan, ada sorak sorai dari kontes yukata. Aku bisa mendengar suara Hayase yang bersemangat bergema di bawah matahari terbenam.
"Kakeru-kun?"
"Ya?"
"Aku pikir kamu pergi..."
"Karena aku mencoba menyembunyikan keberadaanku lagi."
"Kamu nakal."
Kami tertawa bersama saat berinteraksi seperti biasanya.
Aku suka atmosfer ini.
Dengan suara pelan, Fuyutsuki berkata, "Aku juga ingin mengenakan yukata..."
"Yukata dari keluarga Fuyutsuki pastilah mahal."
"Dulu, ibuku memiliki yukata dengan pola naga legendaris, dan ada obi yang serasi. Aku selalu ingin mencobanya."
"Kenapa tidak ikut kontes yukata?"
"Aku?"
"Kalau Fuyutsuki ikut, pastilah juara satu."
"Kalau aku ikut kontes yukata, kamu akan memberikan suaramu untukku?"
"Tentu saja."
"Jawab dengan serius."
Suara Fuyutsuki mendadak serius, membuatku sedikit tegang.
"Tentu saja, aku akan memilih Fuyutsuki."
"Dalam keadaanku yang seperti sekarang ini, apakah kamu tetap akan memilihku sebagai yang pertama, bahkan jika mataku tidak bisa melihat?"
Suara Fuyutsuki bergetar sangat lemah, hampir seperti suara yang akan segera menghilang.
Dalam suaranya yang penuh keraguan, Fuyutsuki mempertanyakan hal itu.
Begitu jelas, aku bisa melihat kekhawatiran yang terpancar dari wajahnya.
Ini kali pertama aku melihat dia seperti ini.
"Memangnya, apakah ada hubungannya antara kontes yukata dan disabilitas?"
Mungkin dia tidak ingin mendengar argumen yang sederhana ini.
Setelah mengatakannya, aku tiba-tiba merasa cemas.
Tentu saja ada hubungannya. Siapa pun akan berpikir begitu dalam hati mereka.
Tidak mungkin semuanya bisa dipandang secara netral.
Namun begitu---
"Tapi tetap saja, tanpa mempertimbangkan apapun, aku akan tetap memilih Fuyutsuki."
Wajah Fuyutsuki terlihat merah. Apakah itu karena matahari terbenam?
Fuyutsuki berkata sambil sedikit ragu-ragu, "Itu seperti..."
"---Seperti pengakuan cinta."
Fuyutsuki memang pintar dalam bercanda seperti ini. Cara dia menggodaku begitu licik.
"Tidak, tidak," aku dengan cepat menjawab, "Aku hanya berarti bahwa kamu sepertinya sangat cocok dengan yukata karena penampilanmu."
"Penampilan?"
Aku merasa canggung saat dia kebingungan memandangi wajahku.
"Bukan, bukan, bukan begitu. Aku hanya mengartikan bahwa seorang gadis dari keluarga kaya sepertimu pasti terlihat cantik mengenakan yukata."
"Apakah begitu?"
Fuyutsuki tertawa.
Sinar matahari terbenam membuatnya tampak bersinar.
Tiba-tiba, tanpa sadar aku mengucapkannya...
Perasaan yang menjadi sumber keraguanku selama ini...
"Aku menyukaimu."
Seakan waktu telah berhenti, Fuyutsuki diam membeku, sebelum akhirnya tampak khawatir.
"U-uh, a-apa?" dia terkejut.
Merasa panik, aku mencoba menyembunyikan maksudku sebenarnya, "Ah, aku hanya berbicara tentang betapa kamu sangat suka dengan kembang api. Haha... Kamu selalu mengatakan bahwa kamu menyukainya.. bukan?"
Fuyutsuki dengan ringan tertawa dan memandang kearah langit.
"Aku pikir akan bagus jika kita bisa menyalakan kembang api sendiri suatu saat nanti. Itu akan menjadi momen spesial, sesuatu yang akan kita kenang seumur hidup."
Aku merasa, saat ini Fuyutsuki sedang membayangkan kembang api di atas langit. Langit yang tidak akan pernah dapat dia lihat lagi...
"Kembang api yang kita beli beberapa waktu lalu... Itu benar-benar berat, bukan?"
"Saat ini, mereka ada di sudut kamar, duduk diam dalam penyesalan."
"Aku ingin tahu, bagaimana kalau kita bilang akan mengadakan acara kembang api di festival?"
"Kapan?"
"Hmm... mungkin saat upacara penerimaan mahasiswa baru?"
"'Selamat datang, semuanya. Walaupun masih lama, di festival masa mendatang kita akan mengadakan acara kembang api', bagaimana dengan itu?"
Sambil tertawa, aku menggoda Fuyutsuki.
Ketika kami melihat ke langit, awan hitam mulai muncul. Angin dingin mulai bertiup.
[Dan sekarang, kami akan mengumumkan pemenang kontes yukata!]
Suara Hayase terdengar jauh, diikuti dengan sorak-sorai meriah.
Kami mendengarkannya bersama-sama.
Menghabiskan waktu bersama dalam suasana yang tenang, kami saling berbicara dalam percakapan yang tidak benar-benar penting, seperti "Yuko-chan pasti kehilangan suaranya besok," atau "Semua orang selalu melakukan hal seperti itu, ya kan?"
Kemudian, sesuatu sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Titik-titik hujan mulai jatuh. Dalam sekejap, aroma hujan mulai terasa, dan suara hujan tiba-tiba menjadi lebih keras.
Acara kembang api dibatalkan, jadi kami terpaksa harus pulang bersama-sama di bawah satu payung menuju apartemen Fuyutsuki.
Saat kami harus berpisah di depan apartemen, hal yang tidak pernah diduga terjadi...
Pada hari ini, tersembunyi di bawah payung berwarna gelap, dan juga irama hujan rintik-rintik...
Untuk pertama kalinya... bibir kami bersatu dalam ciuman manis...
Post a Comment