Jangan lupa untuk Tonton video diatas ini
Penerjemah: Ootman
Proffreader: Ootman
Chapter 2 - Kelas Memasak Bersama Shimizu-san
“Ayo kita bicara tentang cinta lagi kali ini.”
Tepat ketika aku baru duduk di kursiku pagi ini, Toshiya datang padaku dan berkata seperti itu padaku.
“Toshiya, bukankah kamu memiliki aktivitas klub sepak bola pagi ini?”
“Sudah selesai.”
“Apakah kita akan berbicara tentang cinta lagi?”
“Masih banyak yang ingin ku tanyakan padamu.”
“Tidak apa-apa, tapi apakah benar-benar masih banyak yang ingin kau tanyakan?”
“Tentu saja. Aku akan mengatakan sesuatu tentangku juga, ku mohon.”
Toshiya menutup kedua tangannya di depan wajahnya. Toshiya sudah mengatakan siapa yang dia sukai padaku, jadi aku tidak memiliki pertanyaan lain padanya. Aku melakukan kebiasaanku, melihat sekeliling. Kelihatannya tidak ada yang mendengarkan kami. Aku sedikit khawatir karena Shimizu-san duduk di sebelahku, tapi ku pikir dia tidak mendengarkanku karena dia menggunakan earphone di telinganya dan sibuk dengan handphone-nya.
“Yah, baiklah. Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Aku sudah tahu kalau Daiki menyukai perempuan yang rapi. Kali ini aku ingin bertanya apa yang kamu ingin dia lakukan untukmu?”
“Apa yang ingin dia lakukan untukku?”
“Iya, itu benar. Seorang pria pasti ingin perempuan yang dia sukai melakukan satu atau dua hal untuknya kan?”
“Benarkah begitu?”
Sejujurnya, hal ini tidak terlalu mengejutkan.
“Begitulah ada nya. Hari ini kita akan membiarkan Daiki mengungkapkan keinginannya.”
Wajah Toshiya tersenyum yang mungkin bisa di deskripsikan kalau dia menyeringai.
“Bagaimana mengatakannya ya, Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang kamu inginkan.”
“Jangan membuat wajah seperti itu. Yah, ku pikir kita tidak akan kemana-mana, jadi aku akan berbicara duluan. Apa yang ku inginkan darinya adalah dia mendukungku ketika bermain sepak bola! Bukankah itu adalah impian bagi laki-laki yang ada di klub ketika perempuan yang ia sukai mendukungnya?”
“Yah, aku bisa memahami nya sedikit.”
Aku paham betul ketika kamu di dukung oleh orang yang kamu sukai ketika kamu bekerja keras, meskipun aku tidak ikut klub olahraga.
“Aku senang kamu paham. Aku ingin kamu berpikir apa yang kamu inginkan dari perempuan yang kamu sukai.”
“Oke. Beri aku sedikit waktu.”
“Baiklah. Masih ada waktu untuk wali kelas masuk, santai saja.”
Orang yang ku sukai melakukan sesuatu untukku...aku sedang berpikir, tapi aku tidak bisa memikirkan apa pun.
“Hmm. Aku tidak bisa memikirkan apa pun.”
“Tanpa pamrih ya? Bukankah kamu memiliki sesuatu yang di inginkan dari perempuan yang kamu suka?”
Bukannya aku tidak memiliki keinginan tertentu, tapi aku tidak bisa memikirkan apa pun yang membuatku berusaha keras dan meminta seseorang yang ku sukai untuk melakukannya.
“Aku memiliki sesuatu yang ku inginkan dari Teruno.”
“Tidak ada gunanya mengatakan apa yang kamu inginkan dari adik perempuanmu. Wah, kau masih sama seperti sebelumnya dengan Teruno-chan.”
“Meskipun sedikit, aku ingin Teruno-chan membantuku melakukan pekerjaan rumah.”
“Kedengarannya kamu terlihat seperti seorang Ibu ketimbang Kakak...”
Aku memiliki adik perempuan bernama Teruno yang saat ini berada di kelas tiga SMP. Ketika kedua orang tua kami bekerja dan selalu pulang terlambat, aku yang melakukan pekerjaan rumah sekaligus memasak untuk makan malam ketika hari kerja, dan Teruno tidak bersedia untuk membantuku. Kami rukun sebagai saudara kandung karena kami selalu bermain bermain game dan menonton anime bersama, jadi ku pikir itu hanya karena dia terlalu malas untuk melakukan pekerjaan rumah.
“Ah!”
Berpikir tentang memiliki adik yang pemalas, aku memikirkan jawaban yang di tanyakan padaku sebelumnya.
“Ada apa?”
“Aku memiliki sesuatu yang ingin dia lakukan untukku.”
“Oh?! Apa itu?”
“...Aku ingin dia memasak bersama denganku.”
Ketika aku mengatakan itu, dari ujung mataku, entah mengapa terlihat bahwa jari Shimizu-san terhenti ketika sedang memainkan handphone-nya.
“Bukankah itu adalah hal yang kamu inginkan dari Teruno-chan?”
Toshiya melihatku dengan wajah bingungnya.
“Benar, aku ingin Teruno membantuku memasak karena biasanya aku melakukan itu sendiri, tapi ku pikir itu akan menyenangkan jika aku bisa memasak dengan perempuan yang ku suka.”
Semenjak aku memasak makan malam sendirian ketika hari kerja dan orang tua ku memasak ketika hari libur, langka bagiku untuk memasak dengan seseorang. Jadi, terkadang aku ingin memasak dengan seseorang.
“Aku paham. Aku ingat percakapan cinta kita sebelumnya, kamu mengatakan bahwa kamu ingin melakukan sesuatu bersama dengan gadis yang kamu sukai. Jadi, dari sudut pandang Daiki, kamu suka perempuan yang bisa memasak.”
“Yah, ku pikir seperti itu.”
Bahkan jika ia tidak terlalu pandai memasak, aku akan senang jika dia memasak bersamaku.
“Apakah ada makanan yang ingin kamu masak bersamanya?”
“Aku tidak berpikir sejauh itu, tapi jika kami memasak bersama, mungkin adalah masakan rumahan biasa.”
Jika ada orang yang memasak bersamaku, aku akan lebih senang ketika memasak, jadi ku pikir aku akan lebih suka memasak sesuatu yang biasa ku lakukan.
“Seperti kari atau steak hamburger?”
“Yeah, seperti itu.”
“Mm-hmm. Itu bagus. Fantasi yang bisa menjadi nyata.”
Untuk beberapa alasan, Toshiya terlihat senang dengan yang ku katakan barusan. Aku melihat ke arah Shimizu-san, yang tiba-tiba menekan handphone-nya dengan cepat. Aku penasaran apakah dia sedang memainkan game ritme di handphone-nya?
*
Aku melihat ke arah Shimizu-san, yang tiba-tiba menekan handphone-nya dengan cepat. Aku penasaran apakah dia sedang memainkan game ritme di handphone-nya?
“Daiki, kamu lihat ke mana?”
“Ah, maaf. Lanjutkan percakapan kita.”
“Yeah, oke. Tapi yang baru kamu katakan barusan adalah yang kamu inginkan bersama dengan orang yang kamu sukai, bukan apa yang ingin ia lakukan untukmu, dan itu berbeda dengan yang aku tanyakan. Apakah ada yang lain?”
“Keinginan lain apa yang aku inginkan darinya...Itu hal yang sulit.”
Aku mencoba berpikir apa yang aku ingin Teruno lakukan untukku, tapi tidak ada satu pun yang cocok dengan ini.
“Jika Daiki tidak bisa memikirkannya, mungkin aku harus memikirkan situasinya... oh iya, agar nyambung dengan yang kita bicarakan barusan. Bagaimana jika dia memasak untukmu?”
“Jika di situasi seperti itu, aku juga akan membantunya memasak.”
“Yah, Daiki akan melakukannya...”
Toshiya menutup matanya dan dia menggerutu. Setelah beberapa detik, dia membuka matanya dengan semangat.
“Tidak, tunggu. Bagaimana dengan bento buatan sendiri (kotak makan siang)?”
“Bento buatan sendiri?”
“Iya, itu benar. Daiki selalu membeli roti untuk makan siang, kan?”
“Itu benar.”
Kami sekeluarga adalah burung hantu dan sangat lemah pada pagi hari, jadi biasanya, kami tidak punya waktu untuk membuat makan siang. Itulah mengapa aku selalu membeli roti dari kantin untuk makan siang.
“Kalau begitu, Daiki mungkin akan tertarik dengan bento buatan sendiri yang dibuat oleh perempuan yang Daiki sukai, ya kan?”
“Itu bisa jadi benar...”
Aku biasanya makan roti karena aku tidak pilih-pilih saat makan siang sendirian, tapi kadang-kadang aku juga iri dengan bento teman-temanku. Ku pikir akan menyenangkan jika aku mendapat bento dari orang yang ku suka.
“Benar! Kamu rindu dengan bento buatan sendiri kan? Terlebih jika itu dari gadis yang kamu sukai, ya kan?”
“Uh-huh.”
Ketegangan Toshiya nampaknya meningkat.
“Bento buatan Seto-san...jika ada makanan favoritku di sana, itu pasti berbahaya untukku...”
Toshiya terlihat sangat seru sampai-sampai setengah tenggelam dalam dunia fantasi miliknya. Mungkin dia sama sekali tidak sadar, tapi barusan di menyebut nama Seto-san dengan santai. Untungnya, orang-orang di sekitar kami tidak mendengar percakapan kami.
“Apa yang Daiki suka dari isi bento-nya?”
“Aku memikirkan daging babi jahe.”
“Kedengarannya enak. Fantasi kita meluas dengan bagus. Aku menyukai Seto-san tidak peduli apakah dia bisa memasak atau tidak, tapi aku akan menangis bahagia jika ia memberiku bento buatan sendiri.”
Rupanya, cinta Toshiya pada Seto-san benar-benar dalam. Aku tidak memiliki pengalaman untuk menyukai orang sebanyak itu, jadi aku mengagumi dan respek padanya. Meskipun aku tidak akan mengatakannya, karena ia pasti akan menangis nanti.
“Itu akan bagus jika dia membuat makan siang untukku.”
“Yeah, itu adalah impian yang aku inginkan.”
Toshiya selalu serius saat membicarakan impiannya, jadi ku pikir dia bermaksud untuk mewujudkan impiannya semaksimal mungkin. Ketika aku berpikir seperti ini, bel pintu berbunyi yang menandakan lima menit lagi sebelum wali kelas masuk.
“Hei, apakah kita memang se telat itu?”
“Ku pikir kita sudah kehabisan waktu.”
“Itu buruk, karena aku masih memiliki banyak hal untuk di bicarakan. Ku pikir sebaiknya aku kembali.”
Toshiya terlihat malas untuk kembali ke tempat duduknya. Aku melihat sekitar dan melihat Shimizu-san bersemangat menekan handphone nya. Apakah dia masih memainkan game ritme? Wali kelas sedikit lagi masuk, sebaiknya dia menyimpan handphone nya. Saat aku bertanya-tanya apakah aku harus mengatakannya pada Shimizu-san atau tidak, Toshiya kembali ke tempat dudukku.
“Aku baru ingat bahwa keinginan Daiki untuk memasak bersama dengan orang lain akan terjadi besok!”
“Ada apa dengan besok? Oh...”
Awalnya, aku tidak paham apa yang dia katakan, namun ketika aku melihat jadwal aku mengingatnya.
“Benar. Kelas memasak!”
Dia benar, besok adalah waktunya kelas memasak. Salah satu waktu yang mana aku bisa memasak dengan teman sekelasku.
***
“Sial. Aku bisa merasakan masakan buatan Seto-san jika aku satu grup dengannya.”
“Pekerjaan kelas memasak di bagi sesuai kelompok, jadi aku tidak tahu apakah kamu bisa menyebutnya masakan buatan Seto-san. Atau lebih tepatnya, Toshiya, kenapa kamu tidak bergabung dengan grupmu?”
Hari di mana kelas memasak di mulai, Toshiya duduk di sampingku, menggunakan celemeknya dan meratapi kemalangannya. Dia terlihat sangat kecewa.
“Daiki, bukankah kamu terlalu dingin? Hiburlah temanmu yang berduka ini.”
Aku bisa dengan mudah menyerang Toshiya dengan kalimatku jika aku tidak menjaga ucapanku. Aku mengenakan celemekku dan membiarkan otakku bekerja sampai batas.
“Toshiya, kamu ingin Seto-san memasak untukmu kan? Kalau begitu, masakan kelas memasak hari ini akan sedikit berbeda. Bahkan jika kau tidak bisa memakannya sekarang, ku pikir makanan yang dia buat nanti akan lebih berarti untukmu Toshiya.”
“Da-Daiki!”
Wajah Toshiya berseri-seri.
“Kamu benar! Akan lebih berarti jika ia memasak sendiri untukku! Aku merasa lebih baik! Terima kasih Daiki!”
“Aku bersyukur dirimu membaik.”
Tepat ketika ku pikir masalahnya sudah selesai, pintu dapur terbuka dengan keras. Ternyata Shimizu-san.
“Apa yang Shimizu-san lakukan di sini?”
“Bodoh, Shimizu-san akan mendengarmu!”
Teman sekelasku yang berada di dapur benar-benar ricuh. Mengapa mereka terkejut? Itu karena Shimizu-san jarang masuk kelas memasak. Dia tidak pernah terlihat di kelas ketika dia seharusnya bekerja sama dengan yang lain, terlebih saat kelas memasak. Bahkan di antara orang-orang yang memiliki banyak informasi, tampaknya ada perbedaan pendapat tentang Shimizu-san yang bisa naik ke kelas.
“Daiki, aku akan kembali ke kelompokku.”
Ketika aku menoleh ke samping, Toshiya sudah menghilang. Sebagai gantinya, Shimizu-san berdiri di dekatku. Seperti teman kelasku yang lain, Toshiya sepertinya takut dengan Shimizu-san, jadi dia berlari ke kelompoknya.
Posisi tempat duduk di kelas memasak sama dengan posisi duduk di ruang kelas. Oleh karena itu, aku dan Shimizu-san satu kelompok, tapi aku sudah lupa karena Shimizu-san tidak pernah datang ke kelas memasak.
Aku menatap Shimizu-san, yang berdiri di depanku.
“Shimizu-san.”
“A-ada apa?”
Shimizu-san, yang sudah selesai mengenakan celemeknya, berbalik ke arahku dan menatapku.
“Kita berada di grup yang sama, jadi mari kita berusaha dengan keras. Juga, celemek itu sangat cocok saat kau mengenakannya.”
“Ugghh...”
Aku sedikit terkejut melihat Shimizu-san, tetapi itu adalah Shimizu-san seperti biasanya.
Saat aku merasa lega, guru ekonomi memasuki dapur. Dia tampak sedikit terkejut dengan kehadiran Shimizu-san, tetapi ekspresinya segera kembali normal.
“Baiklah, aku lihat semua orang sudah rapi dan menungguku. Hari ini, seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, kalian akan memasak tumis daging dan sayuran. Tolong bagi peran dengan adil pada setiap anggota kelompok dan masaklah dengan aman.”
[Baik-] Suara para siswa bergema di dapur. Maka kami pun mengikuti instruksi sensei dan mulai siap-siap untuk memasak.
*
Sekarang sudah beberapa menit sejak kelas memasak di mulai, dan kelompokku sudah memulai memotong bahan-bahan masakan.
“Siapa yang bertanggung jawab memotong bahan-bahan?”
“Aku sendiri.”
Aku menjawab pertanyaan Kon’no, orang yang posisi duduknya di depanku di kelas.
“Uhh, bukankah seharusnya dua orang yang bertanggung jawab memotong bahan-bahan?”
“Kita tidak memiliki banyak orang di grup, jadi hanya aku yang memotong bahan-bahannya.”
“Ah, di piki-pikir, benar juga.”
Lebih tepatnya, jumlah orang di grup kami sebetulnya sama dengan grup lainnya. Namun, kami selalu berasumsi bahwa Shimizu-san biasanya tidak hadir kelas memasak.
“Oi.”
“S-Shimizu-san? Apakah ada masalah?”
Shimizu-san tiba-tiba berbicara yang membuat Kon’no kaget dan panik.
“A-ada apa?”
“Aku akan melakukannya juga.”
“Iya...?”
Kon’no terlihat tidak percaya apa yang barusan ia dengar.
“Aku bilang aku akan memotong bahan-bahannya juga. Jika itu pekerjaan untuk dua orang, kenapa aku tidak ikut membantu? Di samping itu, jika aku tidak melakukan apa pun, aku akan di anggap pemalas...”
Dia berbicara agak cepat, tapi ku pikir maksudnya adalah Shimizu-san akan membantuku untuk memotong bahan-bahan. Namun, ada satu hal yang membuatku ragu.
“Aku senang kamu akan membantuku Shimizu-san, tapi apakah kamu pernah menggunakan pisau, Shimizu-san?”
“...Bukan masalah.”
Ada apa dengan jeda sebelum jawabannya? Aku merasa cemas yang tidak bisa ku ungkapkan.
“Aku akan bertanya lagi, Shimizu-san, apakah kamu bisa menggunakan pisau dengan benar?”
“...Itu bukan masalah.”
Aku bertanya lagi, namun jeda sebelum jawabannya tidak hilang. Aku berniat ingin melakukan kontak dengan matanya, namun dia memalingkan pandangannya dariku. Itu membuatku gugup, tapi aku ingin menghormati keinginannya untuk melakukan apa yang dia mau.
“Baiklah. Apakah tidak apa-apa teman-teman?”
Aku melihat teman sekelompokku yang lain, dan mereka setuju dengan menganggukkan kepala mereka. Beberapa mereka terlihat lega. Karena mereka tidak ingin melakukan pekerjaan yang sama dengan Shimizu-san.
“Sudah di putuskan. Mari bekerja keras bersama, Shimizu-san.”
“I-iya.”
Dengan begitu, Shimizu-san membantuku memotong bahan-bahan masakan, yang mana sebelumnya aku mengerjakannya sendirian.
“Shimizu-san, pertama-tama, bisakah kamu memotong kubis ke dalam ukuran yang tepat?”
“Oke.”
Apa empat bahan yang akan di potong: kubis, bawang, wortel, dan iga babi. Aku punya sedikit masalah untuk memutuskan yang mana yang akan di potong pertama oleh Shimizu-san, akhirnya aku memutuskan Shimizu-san untuk memotong kubis.
Apa yang harus ku potong pertama? Aku harus memotong iga babi terakhir dan mulai dengan wortel, yang mana itu sulit. Saat memikirkan ini, aku menoleh ke Shimizu-san, yang menatap kubis dengan pisau di tangannya.
“Shimizu-san? Bisakah kamu menurunkan pisaunya sebentar?”
“...Uh? Oke.”
Shimizu-san mengikuti perintahku dengan banyak pertanyaan di kepalanya. Aku melihat sekitar. Untungnya, teman sekelas kami tampaknya terlalu asyik dengan pekerjaan atau percakapan mereka. Yang barusan itu bahaya, jika seseorang melihat Shimizu-san menggenggam pisau, mungkin dia akan berteriak.
“Aku ingin bertanya pada Shimizu-san, apa yang barusan kamu ingin lakukan?”
“Bukankah kamu bilang untuk memotong kubis?”
Shimizu-san menatapku merasa aneh.
“Aku memang mengatakan itu, tapi mengapa kamu memegang pisau seperti itu?”
“Caraku memegang pisau?”
“Iya. Biasanya saat kamu memotong kubis atau yang lain, kamu memegangnya seperti ini.”
Aku memegang pisau secara normal dan menunjukkannya pada Shimizu-san. Shimizu-san memperhatikannya saat aku memegang pisau, di waktu yang bersamaan, mukanya berubah menjadi merah.
“A-aku tadi gugup. Aku biasanya memegang sama seperti itu.”
“Itu benar memasak di depan orang lain akan membuatmu gugup.”
Aku kembali menaruh pisauku di meja. Aku belum pernah melihat orang memegang pisau secara terbalik ketika mereka gugup, tapi sekarang aku tahu kalau ada orang yang seperti itu di dunia ini.
“Ah, aku hanya sedikit gugup. Sekarang aku tahu bagaimana harus memegangnya, bisakah aku memotong kubisnya?”
“Oke. Jika kamu memiliki pertanyaan, tanyakan padaku.”
“Baik.”
Kali ini, Shimizu-san memegang pisaunya dengan normal dan tangan lainnya memegang kubis. Kemudian dia mendekatkan mata pisaunya ke tepi kubis.
“Shimizu-san berhenti! Tunggu sebentar.”
“Sekarang apa lagi?”
Shimizu-san menurunkan pisaunya dan memiliki banyak pertanyaan di wajahnya.
“Aku ingin mengatakan banyak hal, pertama-tama, bagaimana kamu akan memotong kubis?”
“Kubis biasanya di parut kan?”
Matanya terlihat jujur, aku tahu dia sedang tidak bercanda.
“Kata-katamu barusan tidak salah, tapi kali ini kita tidak akan memarutnya karena itu di buat untuk tumis daging dan sayuran.”
“Begitukah?”
Jika aku tidak memperhatikan Shimizu-san, kelompokku akan berakhir dengan [Tumis daging dan sayuran dengan irisan kubis].
“Lalu, seberapa besar aku harus memotongnya?”
“Aku akan memotong kubisnya dan menunjukkan padamu seberapa besar kamu harus memotongnya nanti. Pertama, kamu harus memotongnya menjadi dua bagian karena jika kamu langsung memotongnya, akan menjadi bulat, tidak rata, dan itu bahaya.”
“...Aku paham.”
Menurutku, dia juga tidak tahu soal itu. Aku sangat senang aku melihatnya sebelum dia terluka.
“Aku tahu bagaimana cara memotongnya. Bisakah aku memotong kubisnya sekarang?”
“Iya. Hati-hati saat melakukannya.”
Shimizu-san memegang pisau untuk yang ketiga kalinya. Aku sedikit gugup saat melihatnya. Shimizu-san memegang kubisnya dengan kuat di tangan kirinya, meletakkan pisau di tengah kubis, dan memotongnya menjadi dua bagian tanpa kesulitan.
“Apakah seperti ini?”
Shimizu-san tampak sedikit gelisah. Mungkin karena aku menemukan kesalahannya dua kali.
“Iya, itu tidak apa. Itu potongan yang bagus.”
“Baiklah... Itu bagus.”
Shimizu-san tampaknya lega. Wajahnya terlihat sedikit memerah.
“Baiklah. Mari kita lanjutkan seperti ini!”
“O-oke.”
Aku memberinya beberapa saran lagi, dan kemudian Shimizu-san berhasil menyelesaikan potongan kubisnya.
*
“Selanjutnya, bawang...”
Ekspresi Shimizu-san gelisah.
“Kubis sudah selesai, bawang juga tidak akan ada masalah.”
Aku sudah memotong wortel dan iga babi terlebih dahulu, jadi pekerjaan kami akan selesai saat bawang sudah di potong.
“Kalau begitu aku yang akan memotongnya.”
Oh iya, aku tidak memberitahu apa-apa sebelumnya, tapi aku harus mengajari bagaimana cara menyesuaikan tangannya ketika ia menggunakan pisau.
“Shimizu-san, apakah kamu tahu kaki kucing?”
“Kaki kucing?”
“Ketika kamu menggunakan pisau, tanganmu yang memegang bahan masakan harus membentuk seperti kaki kucing, agar tanganmu tidak terluka saat memotongnya.”
“Seperti apa memangnya kaki kucing itu?”
Tentu saja, jari-jari di tangan harus sedikit terlipat, tapi ku pikir itu akan sulit jika hanya berdasarkan ucapan ku padanya. Aku membuat tanganku berbentuk seperti kaki kucing dan menunjukkannya pada Shimizu-san.
“Seperti ini bentuknya. Shimizu-san, kamu bisa mencobanya.”
Shimizu-san melihat ke arah tanganku, dengan gerakan yang kaku, dia membuat tangan kirinya menjadi berbentuk kaki kucing.
“Seperti ini?”
(Tl: Alamak, imutnya istriku.)
Melihat bentuk tangannya, Shimizu-san justru lebih terlihat berpose seperti seekor kucing, karena dia meletakkan tanganny di samping wajahnya. Ku pikir dia sama sekali tidak menyadarinya, tetapi aku tidak ingin mengatakan apa-apa tentang hal itu karena dia mungkin akan marah jika aku mengatakannya.
“Hei, apakah ini salah?”
“Uh, tidak, itu tidak apa-apa.”
Dengan cepat aku menjawab pertanyannya. Aku harap dia tidak mengetahui isi pikiranku.
“Hati-hati saat kamu memotong, dan lupakan soal kaki kucing.”
“Baik!”
Shimizu-san menurunkan pisaunya ke bawang yang sudah dibelah dua.
“Aku akan memotongnya, tidak masalah kan?”
“Yeah, itu tidak masalah. Tapi kamu mungkin harus mengubah posisi tangan kucingmu agar lebih aman.”
“Di mana aku seharusnya menaruh tanganku?”
Aku rasa, dia tidak paham jika aku menyuruhnya meletakkan ujung jari tengah dan telunjuk tangan kirinya yang terlipat pada bagian perut pisau. Aku tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya. Mungkin akan lebih cepat jika aku menunjukkannya secara langsung.
“Aku akan memotong beberapa bawang, jadi bisakah kamu memperhatikannya?”
“Iya.”
***
Lalu aku menunjukkan cara memotong beberapa kali pada Shimizu-san, tapi dia tidak paham sepenuhnya.
“Yang harus di lakukan adalah----”
“Aku tahu aku salah, tapi aku tidak tahu bagaimana melakukannya dengan benar...”
Menggunakan kata-kata sangat sulit. Menurutku dia tidak akan paham jika hanya melihatku. Satu-satunya cara adalah dia harus melakukannya langsung.
“Shimizu-san, biarkan aku memegang tanganmu sebentar...”
Sebelum ucapanku selesai, dengan cepat Shimizu-san menurunkan pisaunya dan menarik tangannya menjauh.
“K-kamu, apa yang kamu ingin lakukan padaku?”
“Aku ingin memegang tangan Shimizu-san untuk menunjukkan di mana kamu meletakkan kaki kucing itu. Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu marah.”
Aku tidak bermaksud untuk menyentuh yang lain, tapi ku pikir banyak orang yang tidak suka jika dia di sentuh orang lain. Shimizu-san, maafkan aku.
“Bukannya aku tidak suka...”
Shimizu-san terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun aku tidak bisa mendengar suaranya karena terlalu pelan.
“...Tidak apa-apa.”
“Shimizu-san?”
“Aku bilang tidak apa-apa. Jadi sentuh tanganku dan ajari aku.”
“Kamu yakin?”
“Aku tidak akan mengulanginya. Tunjukkan padaku bagaimana caranya.”
Shimizu-san jauh lebih polos dari yang ku kira. Jika kamu bilang tidak apa-apa, aku tidak akan ragu.
“Aku paham. Jika Shimizu-san tidak masalah, aku akan melakukannya.”
Aku berdiri di belakang Shimizu-san dengan cepat.
“Shimizu-san, aku akan menyentuhmu.”
“Ayo mulai!”
Aku perlahan-lahan menaruh tanganku di atas tangan Shimizu-san.
“Hyaaah----”
Aku mendengar teriakan tak terduga, dan mata teman sekelompok kami tertuju pada kami.
“...Aku bukan sebuah pertunjukkan.”
Shimizu-san menatap anggota kelompok lain di sekeliling kami. Dengan nada bicaranya, pandangan semua orang langsung beralih. Tampaknya mereka akan berpura-pura tidak mendengar teriakan tadi.
“Kamu tidak apa-apa Shimizu-san? Apakah kamu benar-benar tidak memaksakan dirimu?”
“Tidak masalah. Aku hanya sedikit lengah barusan. Aku tidak akan lengah kali ini.”
“Baiklah. Aku akan mengulanginya.”
Aku pikir aku tidak bisa membuat Shimizu-san lengah jika aku menyentuhnya setelah aku mengatakan akan menyentuhnya, tetapi jika dia bilang begitu, begitulah. Aku kembali menyentuh tangan Shimizu-san, kali ini tidak ada teriakan.
“...Jadi apa yang kamu ingin aku lakukan.”
Untuk beberapa alasan, suara Shimizu-san lebih pelan dari sebelumnya. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya karena aku berada di belakangnya, tapi aku penasaran apakah itu hanya imajinasiku bahwa telinganya tampak sedikit berwarna merah.
“Ambil pisaunya. Lalu taruh pisau itu di bagian bawang yang ingin kamu potong.”
“Oke.”
Seperti yang aku instruksikan, Shimizu-san menaruh pisaunya di bagian yang ingin di potong.
“Lalu, taruh tanganmu di sini.”
Aku menggerakkan tangan kiri Shimizu-san ke bawangnya.
“Oke. Mari kita potong.”
“Jika tanganku menghalangi, apakah aku harus menyingkirkannya?”
“...Tetap seperti ini.”
Dengan begitu, Shimizu-san menurunkan pisaunya dan berhasil memotong bawangnya.
“Itu bagus. Apakah kamu tahu apa yang di lakukan selanjutnya?”
“Pisaunya di sana. Jadi tangan kiriku di sini?”
Shimizu-san menggerakkan tangan kirinya bersamaan denganku.
“Iya, ku pikir itu bagus. Kamu sudah paham, ku pikir kamu bisa melanjutkannya.”
“...Itu bukan halangan...”
“Apa?”
“Aku bilang itu bukan halangan, jadi tetap lanjutkan.”
“Uh, oke? Aku paham.”
Aku tidak yakin dengan perasaan Shimizu-san, tetapi dia mungkin masih memiliki kecemasan bagaimana menggunakan pisau. Aku memutuskan untuk terus membantunya sampai Shimizu-san berkata bahwa ia tidak lagi memerlukannya.
“Ku pikir, aku akan tetap melakukannya.”
“Baik, aku mulai.”
Terdengar dari suaranya bahwa ia senang. Dengan rasa senangnya, pisaunya kembali bergerak.
“Apakah ini tidak masalah?”
“Iya, itu tidak masalah.”
Shimizu-san memastikannya padaku, saat ia melanjutkannya sedikit demi sedikit. Beberapa kali dia menghentikan pisaunya, tiba-tiba aku melihat telinga Shimizu-san, yang memerah seperti tomat.
“Shimizu-san, kamu tidak apa-apa? Telinga mu memerah.”
“Huh? Itu tidak berwarna merah.”
“Tidak, itu memerah. Aku tidak memiliki cermin jadi aku tidak bisa menunjukkannya padamu.”
“Uh, itu karena...”
Meskipun jaraknya begitu dekat, bisikan Shimizu-san tidak terdengar olehku.
“Pokoknya, aku tidak apa-apa! Ayo, kita terlambat, jadi ayo lakukan dengan cepat.”
“Jika Shimizu-san tidak apa-apa. Ayo lanjutkan pekerjaan kita.”
Pada akhirnya, tanganku tidak pergi dari tangan Shimizu-san sampai tugas memotong bawang kami selesai.
***
“Shimizu-san, aku senang tumis daging dan sayuran kita terasa enak.”
Saat istirahat makan siang setelah kelas memasak, kami menyantap tumis daging dan sayuran yang telah kami masak. Setelah Shimizu-san dan aku memotong bahan-bahannya, anggota kelompok yang lain menumis dan membumbui daging dan sayurannya, dan hasil tumisnya pun enak.
“Yah, menurutku itu enak.”
Shimizu-san, makan di sebelahku, terlihat puas dengan kualitas dari tumis daging dan sayurannya.
“Aku senang mendengarnya.”
“...Hondo, bolehkah aku bertanya padamu?”
Shimizu-san yang sudah menghabiskan tumisnya, menoleh ke arahku.
“Apa itu?”
“Bagaimana rasanya memasak denganku?”
Aku penasaran apa maksud dari pertanyaannya, lalu aku menoleh ke wajah Shimizu-san lagi, lalu ada rasa cemas yang halus di wajahnya. Apakah Shimizu-san merasa ia tidak membantu apa pun? Bagaimana aku harus menjawabnya dan menyingkirkan rasa cemas di wajahnya?
“Jujur saja, aku sedikit takut awalnya. Aku takut Shimizu-san akan menyakiti dirinya sendiri.”
“Ughh.”
Shimizu-san mengalihkan pandangannya dariku seolah-olah ada sesuatu yang dipikirkan olehnya.
“Tapi aku senang Shimizu-san memasak bersamaku sampai selesai.”
Shimizu-san memutar kepalanya ke arahku, dan mata kami bertemu.
“Shimizu-san bekerja dengan keras, dan memasak denganmu benar-benar menyenangkan. Jika kamu tidak masalah, apakah kamu ingin memasak bersama denganku lagi di kelas memasak selanjutnya?”
Aku akhirnya mengatakan dengan jelas semua yang ku pikirkan. Aku ingin tahu apa yang Shimizu-san pikirkan soal itu. Setelah menunggu sekitar 10 detik, Shimizu-san membuka mulutnya.
“Jika...”
“Jika?”
“Jika kamu memang bersikeras seperti itu, kita bisa melakukannya lagi di lain waktu.”
“Fufu-ahaha.”
“K-kenapa kamu tertawa?!”
Ya Tuhan. Aku tidak bisa menahan tawaku.
“Bukan, aku takut jika kamu berkata tidak. Baiklah, aku benar-benar menantikan selanjutnya, Shimizu-san.”
“O-oke. Ini tidak bisa di hindari.”
Shimizu-san menjawab sambil menyilangkan tangannya. Aku menantikan kelas memasak berikutnya, lebih dari biasanya.
Post a Comment