NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 10 Chapter 2

 


Penerjemah: Ootman 

Proffreader: Ootman


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


25 Juli (Minggu) – Ayase Saki


Setelah merapikan rambutku, aku mengangguk pada bayanganku yang ada di cermin yang mana itu adalah tanda bahwa rambutku sudah rapi.

  Kemudian, aku pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.

Hari minggu, liburan musim panas, itu berarti aku punya waktu untuk membuat sarapan, dan itu bagus. Ditambah, Taichi-san, ayahku, yang mudah untuk bangun lebih awal.

Aku mengikat rambutku dan menggunakan apron. Baiklah.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memasak.

Asamura-kun lebih suka makanan yang ringan untuk sarapan, padahal dia ada pekerjaan nanti, mungkin aku akan membuat sesuatu yang sederhana untuknya.

Aku teringat, semalam sebelum tidur, dia berkata padaku, “Kamu tidak harus membuat sarapan untukku. Aku ingin menyelesaikan belajarku juga. Roti cukup untukku.”

Oh iya, dia tidak akan banyak makan, kalau begitu-

Aku menaruh roti (memotongnya menjadi delapan bagian) dan menaruhnya di meja agar mudah untuk di pegang. Setelah itu, aku menyiapkan rotinya untukku dan Taichi-san.

Saat aku ingin menghidangkan salad ke piring, aku mendengar Asamura-kun sudah bangun. Aku memutuskan untuk menyiapkan roti untuknya dan membuat kopi ketika dia sedang mandi.

Saat menyiapkan kopinya, aku menatap sepotong roti yang kesepian di atas piring.

Hidangan seperti ini mungkin tidak akan bisa mencukupi nutrisinya.

Aku segera berpikir dan membuka kulkas. Aku mengeluarkan daging babi tipis dan keju, lalu menaruhnya di atas roti. Aku ingin menambah sayuran juga, tapi mungkin itu akan membuatnya repot karena ia makan menggunakan satu tangan.

Sial, seharusnya aku membuat sandwich saja kalau begitu tadi.

Saat aku mengeluh tidak melakukan itu, Asamura-kun datang, dan seperti yang ia katakan semalam, dia hanya memegang roti dan kopi sebelum ia segera kembali ke kamarnya. Apakah dia membuat wajah seperti itu karena terkejut melihat daging babi tipis dan keju di atas rotinya?

Taichi-san terlihat khawatir karena sarapan seperti itu tidak cukup, dan Asamura-kun mengatakan itu tidak apa-apa. Dia sangat peduli, ya kan?

“Kamu yakin sepotong saja cukup? Apakah aku perlu mengantar yang lain untukmu?”

Tapi Asamura-kun mengatakan tidak masalah dan bahkan dia yang akan membersihkan sendiri piringnya. Sejujurnya, itu akan lebih mudah bagiku jika dia tidak banyak makan, karena hanya akan ada sedikit piring yang kubersihkan. Aku memberitahunya hal itu, dan ia kembali ke kamarnya.

“Aku senang jika dia rajin belajar, tapi aku khawatir jika itu justru membuat badannya kurang sehat,” Taichi-san berkata, dan aku menangguk setuju.

“Bukankah dia sangat termotivasi yang berarti dia menemukan sesuatu yang ingin ia tuju? Apakah dia mengatakannya padamu, Saki?”

Aku kehilangan kata-kata.

Apa yang Asamura-kun incar di masa depan? Aku tidak ingat dia pernah memberitahu hal itu... tapi, dia belajar dengan giat, jadi pasti ada sesuatu yang ingin dicapai.

“Dia tidak mengatakan apa-apa padaku.”

“Yah, itu bagus jika dia termotivasi”, Taichi-san mengulanginya lagi.

Aku penasaran apakah ada sesuatu yang membuatnya khawatir.

“Apakah ada sesuatu yang kamu khawatirkan?”

“Hm? Yahh...”

Taichi-san membuka sedikit kenangannya ketika kami sedang menyeruput teh.

Itu mengingatkannya pada ibu kandung Asamura-kun, dia adalah seorang ibu yang sangat terobsesi pada pendidikan [1]. Dia mendorong Asamura-kun untuk masuk ke SD swasta lewat jalur ujian, begitu juga saat SMP[2].

“Aku tidak terlalu memikirkan tentang itu karena dulu aku sekolah di SD negeri. Tapi dia mengalami masa sulit saat itu dan menuntut lebih pada Yuuta.”

“Jadi begitu ya yang terjadi,” Aku membalas, dan tidak sepenuhnya paham cara berpikir ibu kandung Asamura-kun.

Aku masuk ke sekolah negeri sejak SD sampai SMP. Keluargaku tidak cukup kaya sehingga aku tidak bisa bersekolah di SD dan SMP yang swasta.

“Tapi, Yuuta tidak cukup berbakat dalam belajar. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapannya, tapi akhirnya gagal dan masuk sekolah negeri.”

Aku memiringkan kepalaku dengan bingung mendengar kata aneh “bakat dalam belajar.”

“Tapi menurutku Yuuta-niisan cukup pintar, ya kan?”

“Aku ingin berpikir begitu. Yah, mungkin itu hanya harapan orang tua.”

“Tidak, itu tidak benar.”

“Terima kasih. Tapi ya, nilainya selalu jelek di sekolah dasar.” 

Itu mengejutkanku. 

Taichi-san menjelaskan kegagalan ujian itu benar-benar membuat Asamura-kun terpukul dan dia marah. Khawatir dia akan membenci belajar, Taichi-san mencoba menghiburnya dengan mengajaknya berkeliling ke banyak tempat—kebun binatang, museum, perpustakaan, dan sebagainya. 

Dia tidak ingin menekan Asamura-kun; dia hanya berharap belajar bisa menjadi sesuatu yang lain ketimbang hal yang menyebalkan baginya.

Kebetulan saja salah satu dari tempat itu membuatnya tertarik—perpustakaan. Lebih tepatnya, Asamura-kun mulai tertarik pada novel.

Dia berubah menjadi anak yang tidak mau lepas dari buku.

Namun, ibu kandung Asamura-kun tidak begitu menyukainya.

“Apa? Kenapa? Menurutku, bisa menikmati membaca itu luar biasa.”

Aku sangat kesulitan untuk memahami novel. Jika dia sudah mulai membaca buku biasa dan bukan hanya buku gambar saat masih kecil, menurutku itu adalah alternatif yang cukup bagus untuk belajar.

“Ibu kandung Yuuta adalah tipe orang yang berpikir jika dia sedang membaca, itu harus buku pelajaran. Dia tidak senang ketika Yuuta membaca cerita tentang naga bergaris warna-warni, atau perempuan kuat yang memakai kaus kaki besar, atau penyihir laki-laki dengan bekas luka di dahinya. Dia bilang itu semua omong kosong.”

Meskipun Asamura-kun belajar membaca sejak kecil, nilainya saat SD naik turun. Itu membuatnya gagal dalam ujian masuk SMP.

Saat itu, hubungan ibu kandung Asamura-kun dan Taichi-san mulai renggang secara emosional, yang berujung pada perceraian. 

Ironisnya, kebiasaan membaca yang terus berlanjut hingga SMP justru meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya, dan nilai Asamura-kun mulai membaik secara signifikan. 

“Menurutku, memiliki lebih banyak pengetahuan dan mampu mengatur serta menerapkannya pada masalah yang di alaminya itu membuat perbedaan.”

“Apakah itu berarti dia menjadi lebih baik dalam belajar?”

“Aku tidak yakin apakah itu cara yang tepat untuk mengatakannya... Ah, mungkin lebih seperti dia belajar cara menggunakan otaknya.”

“Itu masuk akal jika kamu mengatakannya seperti itu.”

Jadi, Asamura-kun berhasil dalam ujian masuk SMA Suisei. 

“Tapi aku ingat ujian SD dan SMP-nya. Dia belajar begitu keras sehingga dia melewatkan makan, hingga memaksakan dirinya. Sekarang aku melihat bayangan dirinya yang seperti itu...”

Setelah menyeruput tehnya, Taichi-san menghela napas panjang.

“Aku heran kenapa dia mulai memaksakan dirinya. Jangan salah paham, sebagai orang tua aku senang anakku begitu rajin, tapi percuma saja kalau kesehatannya terganggu. Saki-chan, apa kamu tahu kenapa dia seperti itu?”

Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu.

Tapi melihat wajah khawatir Taichi-san membuatku merasa harus mengatakan sesuatu.

“Oh, tapi dia bilang mau pergi berkemah denganku bersama teman kerja kami.”

Taichi-san menatapku sambil berkata, “Hmm?”

“Kami belum menentukan tanggalnya. Um, tapi aku berencana untuk meminta izin nanti. Oh, ini hanya perjalanan sehari. Kami akan pergi, memanggang, lalu kembali.”

“Kedengarannya bagus. Ya. Itu sangat bagus.”

“Aku akan memberitahumu setelah semuanya sudah siap. Um... jadi, bolehkah kami pergi?”

Kupikir aku seharusnya membicarakannya dengan Asamura-kun terlebih dahulu sebelum membicarakannya dengan Taichi-san, tapi aku sangat ingin menghilangkan ekspresi muram Taichi-san. Tapi, bagaimana jika dia justru menolaknya?

“Tentu saja boleh. Penting untuk sesekali mengistirahatkan pikiranmu.”

Aku merasa lega.

Aku berjanji untuk membagikan rencana yang rinci dan lokasinya nanti. Aku perlu memberi tahu Asamura-kun bahwa aku akan membicarakan perjalanan berkemah secepatnya.

“Andai saja dia bisa belajar untuk lebih santai.”

“Aku akan mengawasinya.”

Taichi-san menoleh ke arahku yang sedang membawa cangkir tehnya ke wastafel.

“Dan kamu juga tidak boleh berlebihan, Saki-chan. Pastikan untuk beristirahat juga,” katanya, serius.

Aku sudah lupa berapa kali aku memikirkannya, tapi Ibuku benar-benar menemukan pasangan yang baik. Kehangatannya menyebar di dadaku.

“Aku akan berusaha untuk tidak terlalu memaksakan diri, Ayah,” jawabku sambil mengangguk.

Mata Taichi-san menyipit dan dia tersenyum senang.

***

Aku menutup pintu kamarku, tempat yang sudah sangat familiar sekarang.

Saat suara kenop pintu menghilang, aku mendesah pelan.

Aku duduk di mejaku dan menyiapkan bahan belajarku, mengingat kembali percakapanku sebelumnya dengan Taichi-san.

Mungkin aku terlalu memaksakan diri. Dan mungkin aku harus sedikit santai.

Kata-kata yang diucapkannya seolah seperti karena khawatir pada Asamura-kun dan ditujukan kepada diriku tahun lalu. Aku benar-benar berlebihan saat itu.

Bertemu Yuuta Asamura karena orang tua kami menikah lagi membuatku tidak mungkin kembali menjalani hidup seperti dulu. Kehadirannya menjadi bagian yang sangat besar dalam hidupku.

Namun, Asamura-kun juga yang menyelamatkanku dari keadaan saat itu.

Dulu, aku tidak bisa melakukan hal sederhana seperti pergi ke kolam renang bersama teman-teman—sesuatu yang bisa dilakukan siapa pun. Aku tidak bisa membayangkan mengajak orang lain ke acaraku sendiri, dan satu-satunya teman yang mau mengajakku adalah Maaya. Dan  bahkan aku keras kepala karena mencoba menolak ajakannya.

Asamura-kun menghubungiku dengan sabar saat itu. Dan pada suatu hari musim panas, aku bermain di air bersama Maaya, Asamura-kun, dan beberapa teman Maaya yang baru pertama kali kutemui. Meskipun ada banyak orang asing di sana, aku berhasil bersenang-senang dan merasa lebih santai.

Jika Asamura-kun berada di bawah tekanan yang sama seperti yang kurasakan saat itu, aku ingin menjadi orang yang membantunya untuk santai.

Sebuah pikiran tiba-tiba muncul. Mungkin Yomiuri-senpai merasakan betapa stresnya Asamura-kun dan itulah sebabnya dia bersikap seperti anak manja yang ingin pergi berkemah. Jika demikian, bukankah seharusnya aku yang pertama menyadarinya? Lagipula, aku adalah pacarnya.

Pikiran itu membuatku merasa sedikit sedih, tetapi jika perkemahan bisa memberinya waktu istirahat, tidak masalah siapa pun yang mengajaknya.

Akhirnya, Asamura-kun setuju untuk pergi berkemah karena Yomiuri-senpai memintanya. Dan kemudian, Kozono-san, anak baru di kantor, berkata dia ingin ikut, jadi akhirnya aku tidak punya pilihan selain ikut juga.

Maksudku, yah, kamu tahu—hanya memikirkan orang lain untuk meredakan stresnya sedikit menggangguku.

Aku benci kecemburuan yang jelek ini, tapi mengetahui hal itu tidak membuat perasaan itu hilang.

Mengundang seseorang untuk nongkrong, ya?

Ponselku mengeluarkan suara yang konyol. Sebuah pesan dari Maaya.

Aku meliriknya sekilas. Itu adalah ajakan ke festival kembang api yang akan dilakukan sekitar dua minggu lagi. Dia menyarankan agar kami berdua mengundang beberapa teman dan pergi melihatnya bersama.

“Dia benar-benar orang yang sangat suka bersosialisasi…”

Waktu pesannya sangat tepat, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku.

Aku menggelengkan kepala, aku berharap akan menemukan kamera pengintai, meskipun aku tahu itu tidak benar.

Bup.

Hm?

Maaya: [Tentu saja, kamu juga harus mengajak Asamura-kun!]

Tidak mungkin dia benar-benar memata-mataiku, kan?

“Oke, oke,” gerutuku saat menjawab, lalu aku berhenti, berpikir.

Pergi bersama. Tentu, itu juga bagus. Seperti acara berenang tahun lalu, dan perjalanan berkemah mendatang dengan teman kerja kami. Kami juga pergi menonton pertandingan Maru-kun bersama.

Tapi, itu tidak akan hanya ada kami berdua—Asamura-kun dan aku.

Dengan sedikit waktu tersisa dari tahun-tahun SMA kami, musim panas lalu, aku ingin membuat kenangan yang hanya untuk kami berdua.

Karena itu, bukankah aku harus menunda untuk bermain dengan Maaya dan yang lainnya?

Hanya kami berdua. Pikiran itu membuat jantungku berdebar kencang. Tapi...

Saki:【Beri aku waktu untuk menjawab.】

Aku mengirim pesan singkat itu.

Mengajaknya jalan-jalan. Alasan aku menghindarinya adalah karena aku takut ditolak.

...Tidak, bukan itu maksudnya.

Rasanya seperti kenyataan bahwa aku tidak cukup baik. Tapi sejujurnya, seseorang yang menolak ajakan bukanlah masalah besar (meskipun bisa jadi). Setiap orang punya kegiatannya sendiri, mungkin punya rencana dengan orang lain, atau butuh waktu sendiri.

Itulah aku. Menolak ajakan Maaya sudah menjadi rutinitas, dan jika semuanya berjalan baik, aku menerima satu dari sepuluh ajakan...

Tiba-tiba aku merasa sangat tidak peduli. Maaya mengajakku berulang kali, dia tidak pernah menyerah. Mungkin dia orang baik yang bereinkarnasi atau semacamnya.

Mungkin aku harus lebih sering menerima ajakannya... Tidak, tunggu, aku mulai teralihkan. Maksudku ya, ditolak bukan berarti aku sendiri yang ditolak. 

Aku benci rasa kurang percaya diri ini. 

Mengapa rasa takutku akan penolakan selalu datang lebih awal? Ini seperti kaset yang rusak. 

Aku ingin mengumpulkan keberanianku dan mengajak Asamura-kun ke festival kembang api. Mengatakan sesuatu seperti, “Ada pertunjukan kembang api... Kamu mau pergi berdua saja?”

Jika dia berkata iya, aku akan minta maaf dan menolak ajakan Maaya.

Aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke pintu Asamura-kun.

Berdiri di sana, aku menarik napas dalam-dalam dan berlatih apa yang akan kukatakan dalam benakku beberapa kali—“Mau nonton kembang api berdua saja?”

Semangatku berapi-api, aku hendak mengetuk pintu ketika aku membeku, tanganku masih terangkat.

Oh benar, Asamura-kun sedang belajar.

Dia mengurung diri di kamarnya sebelum bekerja. Dia juga akan mengikuti perkemahan belajar, dan perjalanan berkemah yang telah ia setujui—dengan syarat itu bukan perjalanan yang harus dilakukan dalam semalam.

Pikir-pikir lagi, mungkin Asamura-kun tidak ingin membuang waktu belajarnya untuk jalan-jalan lagi?

Keraguanku muncul. Namun, tidak baik juga untuk memaksakan diri terlalu keras... ini bisa jadi demi kebaikan Asamura-kun.

Namun, sekali lagi, mungkin aku berasumsi Asamura-kun terlalu memaksakan diri.

Mungkin aku hanya mencoba untuk menutupi kesepianku sendiri dengan membuat ajakan ini? Bukankah itu egois? Aku tidak ingin mencuri waktunya yang berharga hanya karena aku merasa seperti itu. Namun, pikiran untuk tidak memiliki kenangan musim panas bersamanya sungguh tak tertahankan.

Saat itu, aku mendengar suara kursi bergerak dan seseorang berdiri, diikuti oleh langkah kaki menuju pintu.

Kepanikan dalam diriku muncul. Aku belum memutuskan untuk bertanya padanya. Aku menurunkan tanganku dan diam-diam pergi, berdoa agar dia tidak mendengar langkah kakiku. Aku berlari kembali ke kamarku, yang pintunya terbuka, meraih kenop pintu, dan dengan hati-hati menutupnya perlahan tanpa mengeluarkan suara. Aku perlahan melepaskan kenop pintu, dan pintu kembali ke posisi semula dengan bunyi klik samar.

Aku mendengar langkah kaki Asamura-kun berderap di lorong. Fiuh. Dia mungkin menuju dapur.

“Dia tidak menyadari kehadiranku, kan?”

Aku meletakkan tanganku di jantungku yang berdebar kencang. Saat aku duduk di kursiku, detak jantungku perlahan kembali normal, aku menyadari bahwa aku tidak perlu melarikan diri.

Hal berikutnya yang kusadari, sudah hampir waktunya untuk bekerja, jadi aku bergegas bersiap-siap. 

“Yuuta-niisan, aku sudah siap berangkat, bagaimana denganmu?” 

Aku meninggalkan kamarku dengan wajah polos dan memanggil Asamura-kun di dapur. Lalu kami meninggalkan apartemen pada waktu yang sama seperti kemarin.


***


Di tengah-tengah giliranku, Shiori Yomiuri dan Kozono-san, yang telah selesai lebih awal, menuju ruang ganti. 

Hanya Kozono-san yang kembali, meminta bantuan untuk memilih perlengkapan berkemah. Rasanya seperti dia secara khusus mencari Asamura-kun, meskipun aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa itu semua hanya pikiranku. 

Sadar diri? Berpikir berlebihan? Mungkin. 

Atau mungkin karena aku sedikit kesal dengan Kozono-san, dan dia merasakannya, memilih untuk mengandalkan Asamura-kun sebagai gantinya. 

Jika begitu, aku merasa tidak enak. Aku seharusnya menjadi senpai yang paling bisa diandalkan baginya, mengingat aku juga seorang perempuan dan usianya hampir sama, tetapi ternyata tidak. 

Namun, pada saat yang sama, sebagian dari diriku merasa kesal karena dia membuatnya begitu jelas... Tidak, tunggu. Mungkin hanya cara pandangku yang berbeda yang membuatku merasa seperti itu. Hanya saja, kamu tahu, Asamura-kun kebetulan selangkah lebih dekat dengannya daripada aku...

Ketika Kozono-san meminta bantuan, Asamura-kun melirik ke arahku untuk melihat reaksiku. Aku mengatakan alasanku untuk ikut. 

“Asamura-kun. Aku juga mencari informasi yang sama, bisakah kamu membantuku?”

  Aku memposisikan diriku di sisi yang berlawanan dari Kozono-san saat kami keluar. 

Kozono-san dan Asamura-kun berjalan begitu dekat sehingga bahu mereka hampir bersentuhan, dan aku hampir menarik Asamura-kun ke sisi lain tanpa berpikir. Melihat Kozono-san begitu dekat dengan Asamura-kun membangkitkan kecemburuan dalam diriku.

Ketika dia menyerahkan buku dan majalah yang direkomendasikannya kepada Asamura-kun, aku juga mengambilnya.

Ketika aku hendak membayar buku itu, aku melihat Yomiuri-senpai—yang seharusnya sudah menyelesaikan shift-nya—kembali ke meja kasir, mengingatkanku bahwa aku masih bekerja.

Meskipun secara teknis aku sedang istirahat, mengambil bukuku sendiri bukanlah hal yang baik, bukan? Terutama di depan seorang junior. Merasa sedikit sedih, aku pergi untuk mengembalikan buku itu ke rak. Lagipula, aku sudah menghafal semua judulnya. Kupikir aku bisa mengambilnya setelah shift-ku selesai; itu bukan jenis buku yang akan habis terjual.

Kozono-san pergi, dan Yomiuri-senpai, yang lupa menyelesaikan sesuatu, melakukan hal yang sama tidak lama kemudian. Shift kami berakhir beberapa jam kemudian.

Saat berjalan pulang bersama Asamura-kun, aku memutar ulang kejadian hari ini dalam pikiranku. 

Kozono-san, yang menunjukkan gerakan imutnya seperti binatang kecil ke sana kemari, jelas terlihat seperti tipe orang yang “dicintai hanya dengan bernapas,” seperti yang dikatakan Yomiuri-senpai. 

Aku tidak bisa membayangkan diriku seperti itu. Menjadi orang yang dicintai. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku pernah memiliki kualitas itu. Atau bahwa aku entah bagaimana berhasil mendapatkannya. Bahkan dalam hal fashion, aku bertujuan untuk memiliki semacam aura yang menjaga jarak, bukan sebaliknya. 

Bagiku, fashion dan riasan adalah bentuk persenjataan [3], bukan daya tarik. Seperti ketika kuku milikku dipoles dengan sempurna, dan kilaunya membuatku merasa lebih kuat. Atau ketika pakaianku pas, dan aku bisa melangkah ke tempat-tempat yang biasanya aku takuti, merasa seperti ada tulang yang menopangku.

Ini tentang merasa kuat dan berdiri sendiri.

Itulah “senjata”-ku.

Aku memang ingin dihargai atas keterampilan fashion-ku, tetapi aku tidak melihatnya sebagai sesuatu untuk menjadi orang yang dicintai.

Aku belajar tata rias dan fashion dari Ibu-ku, tapi pada akhirnya, ia kehilangan cintanya dari ayah kandungku.

Semuanya saling memberi dan menerima. Menurutku, dunia ini bekerja berdasarkan pertukaran. Untuk mendapatkan cinta, kamu harus memberikan sesuatu sebagai balasannya.

Tapi... Bagaimana mungkin ibuku kehilangan cintanya bahkan setelah mendedikasikan kesuksesannya untuknya—menjadi pencari nafkah utama dengan menjadi bartender dan menghidupi kami setelah bisnis ayahku bangkrut, kehilangan pekerjaan dan penghasilannya? Sepertinya dia kehilangannya karena dia terlalu banyak memberikan.

Jadi... apa yang harus kamu berikan untuk mendapatkan cinta? Atau itu hanya sesuatu yang kamu miliki sejak lahir, seperti Kozono-san, yang terjadi begitu saja tanpa kamu usahakan?

Apa yang harus kuberikan agar Asamura-kun mencintaiku? Kalau dipikir-pikir, seharusnya aku langsung bertanya padanya daripada memikirkannya terus. Itu benar-benar harus diklarifikasi di antara kami.

Namun, saat itu, aku tidak bisa mundur dan melihat dari luar.

Cinta itu buta, seperti kata pepatah.

Setelah sampai di rumah dan makan malam, aku menjatuhkan diri di tempat tidurku. Aku sudah mandi, menyelesaikan belajar ujianku, dan sekarang yang tersisa hanyalah tidur.

〖Membuat laki-laki untuk mencintaimu〗

Sambil berjuang melawan kelopak mataku yang berat, aku mendapati diriku mencari sesuatu di Google yang seharusnya tidak kulakukan di ponselku.

Sejumlah hasil pencarian muncul.

...Ada banyak sekali. “Cara dicintai laki-laki” dan “Hal-hal penting untuk dicintai,” jenis pencarian yang menarik perhatianmu tetapi juga bisa menjadi penipuan.

Kalau saja aku tidak ingin tidur, atau kalau otakku tidak lembek karena kelelahan, aku mungkin akan berakhir terjerumus ke dalam lubang kelinci itu. Hal seperti itu biasanya akan membuatku merasa malu.

Tapi Erina Kozono-san pasti ada di perkemahan, seseorang yang menurut Yomiuri-senpai secara alamiah menyenangkan. Dan hari ini, dia sangat dekat dengan Asamura-kun.

Tidak, mencoba mengecilkan situasi dengan mengatakan itu hanya Kozono-san atau semacamnya itu tidak masuk akal.

Bahkan jika Kozono-san tidak ada, dan perempuan cantik lain muncul di samping Asamura-kun, aku akan kembali merasakan hal yang sama. Secara logika, tidak ada cara untuk menghindarinya.

Secara rasional, aku paham, tapi...

Saat itu, satu artikel di hasil pencarian menarik perhatianku.

『Kesalahpahaman umum antara laki-laki dan perempuan』

Jantungku berdebar kencang. Aku mulai membacanya.


『Saat kamu ingin berkomunikasi, meminta pendapat seolah-olah kamu menginginkan solusi, membuat orang lain berpikir bahwa mereka dimintai solusi dan mencoba mencarinya sendiri. Jika tujuannya adalah komunikasi, meminta pendapat bisa menjadi hal yang negatif.』

Awalnya agak bertele-tele dan sulit dipahami. Butuh beberapa kali membaca, tetapi akhirnya aku paham.

Pada dasarnya, maksudnya adalah jangan mencari pemikiran yang logis saat kamu mencoba untuk memahami perasaan yang emosional.

Saat aku ingin menenangkan pikiran, yang aku inginkan adalah berbagi perasaan, bukan mencari mengapa atau bagaimana.

Misalnya aku mendatangi Asamura-kun dan berkata, “Aku merasa tidak enak melihat gadis lain di sampingmu!” Jika dia membalas dengan, “Baiklah, kalau begitu aku tidak akan bekerja di tempat yang ada perempuannya,” itu tidak akan berhasil.

Itu akan memberiku kedamaian dalam arti yang logis, tetapi tidak akan menyelesaikan perasaan tidak enak yang kurasakan. 

Karena aku sudah tahu itu adalah perasaan yang tidak rasional. Perasaan seperti itu tidak adil, dan tidak masuk akal untuk pekerja paruh waktu baru tidak bergantung pada senpai mereka. 

Namun, perasaan itu tidak mendengarkan yang namanya logika. 

Tanpa menyadarinya, itulah sebabnya banyak pasangan berakhir dengan pertengkaran dan putus. 

Aku mengerti maksudnya, tapi juga, kekacauan itu tampaknya terjadi karena siapa pun yang memulai percakapan, tidak menjelaskan apa yang sebenarnya mereka inginkan. 

Tapi, maksudku, bagaimana aku bisa berbagi perasaan ini dengannya yang berada di luar pikiranku. 

Kesalahpahaman, ya... 

Jika sepertinya kami menuju ke arah itu, aku akan berhati-hati—kurasa. Itulah kesimpulanku saat kelopak mataku terasa berat dan pelukan lembut tidur membawaku pergi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter


[1] Saki menggunakan ungkapan Kyouiku mama (教育ママ) di sini, yang secara harfiah berarti “ibu pendidikan”, istilah yang digunakan di Jepang untuk menggambarkan seorang ibu yang sangat fokus pada pendidikan anak-anaknya. Hal ini biasanya mengakibatkan anak tersebut mengalami banyak tekanan sejak usia dini.

[2] Biasanya anak-anak Jepang bersekolah di sekolah negeri yang tidak memiliki ujian masuk, tetapi ibu Yuuta ingin dia bersekolah di sekolah dasar dan menengah pertama swasta, yang mensyaratkan ujian masuk.

[3] Saki menggunakan 武装 (busou) secara metaforis di sini. Busou dapat mencakup perlengkapan pertahanan, seperti baju zirah, atau senjata ofensif. Dalam volume sebelumnya (termasuk terjemahan berlisensi) tidak jelas apa yang dimaksudnya dengan ini. Intinya, ane pikir dia mempersenjatai dirinya (seolah-olah untuk berperang), untuk membela diri dan melakukan serangan seperti yang ditentukan oleh setiap situasi sosial.

0

Post a Comment



close