NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 2

 


Penerjemah: Kazehana 

Proffreader: Kazehana 


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Juni, Enam Tahun Lalu. Hanya Seorang Yang Selamat.


 "Masih merajuk, Ai?" tanya ibuku yang duduk di sebelahku dengan nada sedikit jengkel.

 Aku tak menjawab, hanya memeluk erat boneka hiu paus yang dibelikan sebagai oleh-oleh dari akuarium sambil memandang keluar jendela. Dari jendela yang bergetar, terhampar pemandangan hambar; gunung-gunung hijau yang rimbun dan di sela-sela puncaknya sesekali terlihat langit biru yang jernih.

 ———Kami berada di dalam kereta shinkansen.

 Dalam perjalanan pulang setelah mengikuti kejuaraan renang junior nasional di Osaka. Kami sekeluarga tengah melaju dalam shinkansen menuju Shin-Yokohama.

 Aku mulai berenang sejak usia empat tahun. Awalnya hanya main-main karena diajak teman TK, tapi rupanya aku berbakat. Dua-tiga tahun belakangan, orang-orang di sekitarku mulai ribut membicarakannya. Aku tidak tahu detailnya, tapi katanya aku perenang muda yang menjanjikan, bahkan diharapkan bisa tampil di kejuaraan internasional kelak.

 Tapi, ayah dan ibuku santai saja. "Kalau tidak suka, boleh berhenti. Tapi kalau mau terus, berjuanglah," begitu pendirian mereka. Karenanya, aku bisa berlatih keras tanpa merasa tertekan, malah menikmatinya.

 Mungkin karena aku anak tunggal, ayah dan ibu selalu hadir memberi dukungan penuh di setiap lomba yang kuikuti. Tentu saja, mereka juga menemaniku ke kejuaraan di Osaka kali ini. Tapi, meski jadwal pertandingan hanya sehari, kami menginap empat malam lima hari. Rasanya, tanpa sadar ini jadi seperti liburan keluarga.

 Bermain di kolam renang hotel, mengunjungi akuarium, pergi ke taman hiburan terpopuler kedua di Jepang, makan takoyaki. Kemudian, kami ikut kelas pembuatan kaca di sebuah studio di kota Fujiidera dan membuat gelang manik-manik tonbo-dama. Hasilnya cantik, aku sangat menyukainya.

 ———Tapi, mengapa.

 "Jatuh di mana, ya?" tanya ayahku, dia tengah duduk di belakang ibu, mencoba menenangkanku.

 Benar, aku telah menghilangkan gelang yang susah payah kubuat itu. Saat tiba di stasiun Shin-Osaka, gelang itu masih melingkar di tanganku. Tapi setelah naik kereta dan shinkansen berangkat, aku baru sadar gelang itu lenyap dari tanganku.

 "———Tidak tahu," gumamku pelan sambil menunduk.

 Ibu menghela napas.

 "Pasti jatuh di stasiun. Mau bagaimana lagi."

 "———Tapi, 'kan cantik."

 "Jangan terlalu sedih begitu. Kau meraih juara di nomor gaya renang kupu-kupu. Ai kelas lima bisa jadi juara dua di antara anak-anak kelas enam, itu hebat sekali, lho?"

 Aku tahu ibu berusaha menghiburku, tapi tetap saja perasaan kecewa karena kehilangan gelang itu tak bisa hilang begitu saja.

 "Baiklah, bagaimana kalau begini," ujar ayah dengan nada ceria, seakan-akan baru mendapat ide bagus. "Kalau sudah sampai Yokohama, ayah belikan apa saja yang kamu mau, ya?"

 "Eh ... ayah tidak bohong!?"

 Hatiku yang sedang muram langsung cerah mendengar kata-kata ayah.

 "Iya. Anggap saja hadiah kemenanganmu," kata ayah sambil tersenyum lebar.

 Aku pun membalas dengan senyuman lebar.

 Ibu meletakkan tangan di dahinya, menghela napas dengan berlebihan.

 "Aduh! Ayah selalu saja terlalu memanjakan Ai!"

 "Tidak apa-apa 'kan? Ai sudah berjuang keras dalam renangnya."

 "Iya! Ibu juga harus merayakan keberhasilanku!"

 "Kalian berdua ini! Dasar, ya sudahlah!"

 Kami tertawa bersama sambil mengobrol begitu. Meski Osaka menyenangkan dan aku ingin tinggal lebih lama, tapi aku juga mulai rindu rumah. Makan masakan lezat buatan ibu, main game bersama ayah. Menonton TV bertiga dan tertawa ke hal-hal sepele. Aku menyukai saat-saat seperti itu. Bagiku, itulah yang paling berharga dan membuatku bahagia.

 ———Tapi, mengapa.

 Gerbong kereta terguncang keras. Sedetik kemudian, tubuhku terasa melayang, diikuti sensasi jatuh bebas seperti roller coaster. Terdengar jeritan dari segala arah.

 ———Ingatanku di dalam shinkansen hanya sampai sini. Apa yang terjadi setelah itu, aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. Memoriku seolah terhapus begitu saja. Saat tersadar, aku sudah berada di atas ranjang rumah sakit. Dan di dunia ini, ayah dan ibu sudah tak ada lagi.

 Koran Pagi, 12 Juni

 Shinkansen Tergelincir, 700 Orang Tewas

 Pada 11 Juni, shinkansen "Kaede 165" jurusan Shin-Osaka tergelincir di antara Shizuoka dan Hamamatsu, jatuh dari jembatan layang. Dari 701 penumpang dan awak, 700 orang meninggal dunia. Penyebabnya masih diselidiki, tetapi kemungkinan besar karena keusangan. Meski awalnya diduga ada beberapa yang selamat, hingga dini hari tanggal 12, hanya satu orang yang bertahan hidup, seorang gadis berusia (10) sepuluh tahun dari Prefektur Kanagawa.

 ———Hanya seorang yang selamat.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close