NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tatoe Mou Aenakutemo, Kimi no Ita Kiseki wo Wasurarenai V1 Chapter 3

 

Penerjemah: Kazehana 

Proffreader: Kazehana


Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.


Kini, bulan Juni. Satu Hentakan dan Dalam Satu Perasaan


 Miyu menatap cermin, merapikan poninya, dan memeriksa apakah riasannya tidak berantakan. Ini ritual rutin di waktu istirahat. Aku hanya bisa kagum betapa ia tetap tidak melalaikan penampilannya.

 "Kukira aku akan punya pacar saat SMA. Tapi lihat sekarang, sudah kelas dua SMA bulan Juni, astaga," ujar Miyu sambil mengibas-ngibaskan bulu mata palsunya.

 Riasan Miyu memang tebal, tapi tidak terkesan norak. Setiap hari ia berhasil memoles wajahnya dengan sangat manis. Sungguh menakjubkan. Aku merasa mungkin riasan yang lebih tipis akan lebih disukai anak laki-laki, tapi Miyu bukan tipe yang berdandan untuk menyenangkan pria. Ia melakukannya karena keinginannya sendiri. Ketulusan sikapnya itulah yang membuat Miyu mudah didekati. Ia akrab dengan semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang memanggilnya "Miyu-chan". Dan ia populer.

 "Standarmu pasti tinggi, Miyu. Padahal kamu sering ditembak, ‘kan? Kenapa tidak pilih salah satu dari mereka saja?" Tanyaku malas, sambil menyandarkan kepala di meja dan hanya menoleh ke arah Miyu yang duduk di depanku.

 "Tidak mungkin. Aku juga tidak bisa pacaran kalau bukan dengan orang yang kusukai."

 "Wah, ternyata kamu polos juga ya. Ngomong-ngomong, apa ada orang yang kamu sukai sekarang?"

 "Tidak ada!"

 "Kalau begitu mana mungkin kamu bisa dapat pacar."

 Mendengar itu, Miyu mengerucutkan bibirnya. "Apa tidak ada pria tampan yang lembut, dewasa, dan penuh pengertian di luar sana?! Percuma saja ditembak oleh orang selain itu!"

 " ... Hahh." Aku tersenyum masam mendengar Miyu menyerukan syarat yang cukup mustahil untuk anak SMA.

 "Apa ini sindiran untuk saya yang jarang ditembak, Nona Miyu?"

 "Ehh, tapi bukannya kapan itu kamu dikasih nomor telepon sama cowok asing? Itu lho, di toko keluargamu," Miyu mengingatkan.

 "Hmm ...? Oh iya, benar juga."

 Saat ini aku tinggal di rumah bibiku yang menjalankan toko roti di lantai satu. Nama bibiku Natsumi, tapi aku biasa memanggilnya Nacchan. Aku ingat, saat sedang membantu Nacchan di toko, ada pelanggan yang sepertinya mahasiswa memberiku secarik kertas berisi kontak. Rasanya aku pernah menceritakan hal ini pada Miyu. Aku bahkan lupa kejadian itu sampai Miyu mengingatkanku.

 "Aahh, benar juga. Memang benar tidak ada gunanya didekati orang yang tidak kita sukai. Aku mengerti maksudmu, Miyu."

 "Tuh kan! Kamu juga sama saja!"

 "Haha ...," aku tertawa hambar menanggapi ucapan Miyu.

 Bukannya punya standar tinggi .... Aku hanya merasa tidak cocok dengan urusan cinta. ——Kurasa, aku tidak akan pernah bisa mencurahkan seluruh jiwa ragaku untuk cinta. Ah tidak, bukan hanya cinta, tapi untuk segala hal.

 "Oh iya, Ai."

 "Hm?"

 "Soal study tour ... bagaimana?" tanya Miyu dengan wajah sedikit cemas.

 Tujuan study tour yang direncanakan bulan Juli adalah ... Osaka. Dan perjalanan pulang-pergi akan menggunakan shinkansen.

 Miyu sahabatku sejak SD. Tentu saja ia tahu masa lalu yang kupikul. Ah tidak, mungkin tidak ada seorang pun di sekolah ini yang tidak tahu keadaanku. Ada beberapa teman sekelas dari SD selain Miyu dan namaku sedikit lebih terkenal dibanding siswi SMA pada umumnya. Saat kecelakaan itu terjadi, media berlomba-lomba memberitakan keberadaanku dengan sebutan "satu-satunya yang selamat" dan "gadis ajaib". Tentu saja aku tidak menginginkan hal seperti itu, tapi sebagai anak kecil saat itu, aku tidak bisa menolak dengan tegas. Satu-satunya yang selamat adalah gadis kelas 5 SD. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, tapi gadis itu tetap berjuang untuk hidup. Orang-orang sangat menyukai kisah mengharukan seperti itu. Yah, belakangan ini sudah jarang ada orang media yang berkeliaran di sekitarku. Kalaupun ada yang datang, Nacchan selalu mengusir mereka. Jadi, fakta bahwa aku adalah "gadis ajaib" mungkin sudah diketahui seluruh sekolah.

 Aku bisa membayangkan dengan mudah bagaimana teman-teman SD dan SMP-ku membicarakanku, "Yoshizaki-san itu gadis ajaib yang diceritakan itu, ‘kan?" Aku sering melihat orang-orang berbisik-bisik sambil melirikku, "Itu lho, anak yang mengalami kecelakaan itu." Banyak juga yang menatapku dengan pandangan iba saat berbicara denganku.

 Sampai SMP, aku pernah mendapat sindiran seperti, "Sok-sokan jadi heroine tragis." Saat SD dan awal SMP, aku masih terpukul oleh kecelakaan itu dan tidak bisa berbicara dengan riang bersama teman-teman seperti dulu. Mungkin sikapku itu terlihat menyebalkan bagi anak-anak lain. Tapi sejak SMA, sepertinya semua orang sudah tidak peduli lagi. Mereka berhenti mengatakan hal-hal seperti itu. Aku juga tidak ingin lagi mendapat sindiran, jadi sejak masuk SMA aku bersikap seakan kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Mungkin itu juga alasan besarnya. Ya, setidaknya kelihatannya begitu.

 "Hmm ... masih kupikirkan."

 "Begitu, ya."

 "Guru bilang aku boleh memikirkannya sampai batas waktu terakhir. Nacchan juga bilang tidak perlu memikirkan soal uang, jadi aku bisa memutuskan sampai mendekati hari keberangkatan."

 Sejak kecelakaan itu, aku tak pernah ke Osaka atau naik shinkansen lagi. Sudah enam tahun berlalu, jadi ingatanku agak kabur. Aku tidak tahu bagaimana reaksiku nanti saat berhadapan langsung dengan hal-hal yang berhubungan dengan kecelakaan itu. Karena itulah aku ragu. Aku sempat berpikir untuk membatalkannya, mengantisipasi kemungkinan terburuk jika aku panik. Tapi kalau tidak ikut study tour, aku merasa hal itu akan jadi bahan pembicaraan di kelas. Padahal aku sudah cukup sering dipandang aneh, aku tidak mau menarik perhatian lebih dari ini.

 "Yah, aku sih ingin pergi study tour bersamamu, Ai. Tapi ... jangan memaksakan diri ya."

 "Iya ...."

 Meski penampilannya mencolok, Miyu sangat baik hati. Ia tetap bersikap akrab denganku, sama seperti sebelum kecelakaan itu terjadi. Padahal diriku yang sekarang sudah berubah total dibandingkan diriku sebelum kecelakaan itu.



 “Aku pulang!" Aku membuka pintu masuk. Lonceng di atas pintu berdenting riang, sementara aroma roti yang menggoda menggelitik hidungku.

 "Selamat datang!" Nacchan menyambutku dengan riang sambil melambaikan tangannya. Karena masih belum pukul empat sore, toko masih sepi pengunjung. Tapi, beberapa jam lagi, antrean panjang akan terbentuk di depan kasir.

 Setelah lulus sekolah roti dan magang selama dua tahun, ia memberanikan diri membuka toko rotinya sendiri di usia 22 tahun yang masih sangat muda. Pembukaan tokonya terjadi tak lama sebelum kecelakaan itu.

 Kini di usianya yang ke-29, Nacchan yang selalu ceria dan menggemaskan itu setahun lebih muda dari ibuku. Sejak kecil ia menyayangiku layaknya kakak kandung. Dan di hari pemakaman orang tuaku, saat aku diperlakukan seperti beban oleh kerabat lain, Nacchan-lah yang dengan tegas berkata, "Biar aku yang merawatnya!" Saat itu, ada kerabat yang tega menuduhnya, "Pasti kau mengincar uang asuransinya.". Meski aku masih anak kelas 5 SD, bukankah tak pantas mengatakan hal itu di depanku? Tapi, Nacchan dengan lantang menjawab, "Memang benar! Karena uang asuransi itu diperlukan agar anak ini bisa hidup bahagia! Aku akan menerimanya tanpa sungkan!"

 Karena penjualan roti berjalan lancar, sepertinya belum ada rencana untuk menggunakan uang asuransi itu. Aku ingat Nacchan pernah berkata, "Suatu hari nanti, saat Ai menikah dan membangun keluarga baru, aku berniat memberikan uang yang ditinggalkan ayah dan ibumu." Aku senang mendengarnya, tapi kemungkinan besar kesempatan itu tidak akan pernah datang. Tapi, aku tidak sanggup mengutarakan perasaan bersalah ini pada Nacchan.

 "Nanti bisa bantu di toko?" Tanya Nacchan dengan senyum ramahnya. Meski tugasku hanya menjaga kasir dan menata roti, aku hampir setiap hari membantu di toko. Wajar saja, mengingat betapa banyak Nacchan telah menolongku.

 "Iya. Ah, tapi boleh setelah PR-ku selesai?"

 "Boleh kok. Kalau bisa mulai jam 5 sore, ya? Soalnya nanti ramai pengunjung."

 "Oke," balasku sambil tersenyum.

 Nacchan balas tersenyum, tapi raut wajahnya berubah serius. "Oh iya ... sudah siap untuk besok?"

 Besok tanggal 11 Juni. Peringatan ke-6 sejak kecelakaan itu terjadi. Tepat 7 tahun kepergian orang tuaku. Setiap tahun di hari itu, para keluarga korban berkumpul di lokasi kejadian untuk menggelar upacara peringatan dan berdoa bagi para korban. Sebagai anak yang kehilangan orang tua, tentu saja aku selalu hadir setiap tahunnya.

 "Iya, sudah siap," jawabku pelan sambil menatap mata Nacchan. Ia hanya mengangguk lega dan berkata, "Syukurlah."

 Aku pun memasuki area tempat tinggal melalui pintu di belakang kasir, menyusuri lorong, menaiki tangga, dan memasuki kamarku. Meski berniat langsung mengerjakan PR, begitu memasuki kamar, seketika tenagaku menguap. Tanpa sadar aku menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Berbaring telentang, aku menatap kosong ke arah langit-langit. Hari itu, ayah dan ibu tiba-tiba menghilang dari hidupku. Padahal sebelumnya setiap hari terasa menyenangkan dan bahagia ... Tapi, tanpa peringatan, semua itu hancur berkeping-keping.

 Besok genap enam tahun sejak kejadian itu. Sejak saat itu, aku menjalani hari-hariku dengan hampa, tanpa gairah atau semangat untuk melakukan apa pun. Berenang, belajar, atau apapun yang kulakukan ... tak ada lagi ayah dan ibu yang akan memuji usahaku. Mungkin Nacchan akan senang, tapi bisa saja ia juga tiba-tiba menghilang suatu hari nanti. Meski aku bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Meski aku jatuh cinta pada seseorang. Suatu hari nanti, semua itu bisa saja menjadi tidak berarti.

 Dalam kecelakaan itu, aku melihat begitu banyak orang kehilangan keluarga tercinta. Bahkan ada beberapa keluarga yang seluruh anggotanya meninggal. Ada yang kehilangan kekasih yang hampir dinikahinya, menangis tersedu-sedu. Ada orang tua yang kehilangan putra SD mereka yang sedang melakukan perjalanan sendirian untuk mengunjungi sepupu. Kecelakaan hari itu, tanpa belas kasihan, dalam sekejap menghancurkan kebahagiaan yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya. Hal seperti itu mungkin saja terjadi lagi suatu hari nanti. Mungkin dalam waktu dekat. Tidak, mungkin besok. Atau bahkan beberapa detik lagi.

 Karena itulah, aku hanya menjalani hari-hariku apa adanya. Tanpa prestasi menonjol maupun kegagalan, aku menjalani hidup dengan hambar. Begitulah yang terjadi secara alami. Aku bahkan berhenti berenang, olahraga yang dulunya sangat kusukai. Bahkan di pelajaran olahraga pun aku menolak untuk berenang. Mana mungkin aku punya semangat untuk melakukannya.

 Setelah beberapa waktu berlalu sejak kecelakaan itu, saat hatiku mulai tenang, sempat terpikir untuk hidup dengan giat dan kembali berenang, mengingat ayah dan ibu mungkin memperhatikanku dari surga. Tapi meski aku berusaha sekeras apa pun, meski aku meraih prestasi di kejuaraan, tak ada lagi ayah dan ibu di sisiku yang akan memuji keberhasilanku. Surga pasti tak ada. Kalaupun ada, jika mereka tak berada di sisiku, itu tak ada artinya bagiku. Dengan pemikiran seperti itu, aku tak bisa kembali berenang, dan perlahan menyerah pada segalanya.

 Bersamaan dengan itu, entah mengapa menjadi mudah bagiku untuk bercakap dan bersenang-senang dengan teman-teman, setidaknya di luarnya saja. Karena aku tak lagi merasakan emosi naik turun atas segala hal yang terjadi. Hanya mengikuti arus, tanpa beban. Sejak kelas 2 SMP, begitulah aku menjalani hari-hariku tanpa makna.

 Terkadang aku merasa hidupku tak berarti dan ingin menghilang, tapi aku tak punya keberanian maupun tekad untuk bunuh diri. Lagi pula, jika aku bunuh diri, Nacchan pasti akan menyalahkan dirinya sendiri. Tapi sejujurnya ... aku tak keberatan mati kapan saja. Toh seharusnya aku sudah mati enam tahun lalu. Karena itulah, aku menjadi seperti cangkang kosong, menjalani hari-hari tanpa warna. Terkadang aku berharap ada penjahat yang akan menikamku dengan pisau. Tapi karena rasa sakit itu menakutkan, kalau bisa langsung ke jantung saja. Dalam sekali tusukan. Ya, jika memungkinkan, aku ingin mati seketika.


 Keesokan harinya, saat aku membuka mata, pipiku basah oleh air mata. Rasanya aku baru saja bermimpi, namun aku tak bisa mengingat isinya.

 "Lagi-lagi," pikirku.

 Terkadang hal seperti ini terjadi. Entah mengapa, aku tahu mimpi itu pasti berkaitan dengan kecelakaan itu. Tepatnya, tentang masa-masa yang tak kuingat sejak kecelakaan hingga aku tersadar di ranjang rumah sakit.

 Kulirik ponsel di samping bantalku. Lima menit lagi sebelum alarm berbunyi. Aku mematikan alarm dan bersiap untuk bangun. Tapi, tiba-tiba kepalaku terasa berputar dan pusing. Tubuhku juga menggigil dan tenggorokanku sakit.

 Dengan tangan gemetar, aku mengetik pesan untuk Nacchan, "Sepertinya aku masuk angin."

 Tak lama kemudian, terdengar derap langkah tergesa-gesa. Nacchan muncul di kamarku dengan termometer di tangan. Dengan raut wajah cemas, ia bertanya, "Masuk angin? Kamu baik-baik saja?"

 "Hmm ... Aku merasa menggigil dan pusing. Tapi tidak mual."

 "Ayo ukur suhu badanmu dulu!"

 Aku menjepit termometer di ketiakku yang Nacchan berikan. Setelah bunyi 'pip' terdengar, angka yang muncul di layar...

 "Aduh. 38,1 derajat," ujarku sambil tersenyum kecut.

 "Yah ... Kamu tidak bisa ikut acara peringatan hari ini. Istirahat saja ya."

 "Iya ...."

 Meski merasa bersalah pada ayah dan ibu, dengan demam setinggi ini aku tak mungkin bertemu orang-orang. Aku menyetujui dengan suara lirih.

 "Aku akan merawatmu, jadi aku juga tidak ikut acara peringatan. Mau ke rumah sakit? Ada makanan yang bisa kamu makan?"

 "Eh, tidak usah repot-repot. Nacchan pergi saja!"

 Nacchan pasti ingin mendoakan ibuku yang juga kakaknya. Lagi pula, kondisiku tidak separah itu sampai butuh perawatan intensif. Pasti besok sudah membaik setelah istirahat seharian. Sebenarnya, kemarin cuaca cukup dingin di musim ini. Setelah mandi, aku melamun memikirkan acara peringatan hari ini dan tertidur tanpa menyelimuti tubuh. Pasti itu penyebab masuk angin biasa, jadi tidak perlu terlalu khawatir.

 "Tapi ... tapi aku mencemaskanmu."

 "Aku benar tidak apa-apa. Aku masih bisa bergerak kok. Kalau kita berdua tidak pergi, ayah dan ibu pasti akan khawatir."

 Mendengar itu, Nacchan terdiam sejenak sebelum mengangguk dengan ekspresi serius. "Kamu benar. Baiklah, aku akan pergi. Tapi segera hubungi aku jika ada apa-apa ya."

 "Iya. Tolong sampaikan salamku pada ayah dan ibu, ya."

 "Siap!" jawab Nacchan dengan senyum hangatnya yang khas. Lalu, "Di kulkas ada yogurt dan jelly. Di lemari juga ada apel. Makanlah kalau kamu sudah bisa makan," ujarnya sebelum meninggalkan kamarku.

 Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil dari luar. Sepertinya Nacchan sudah berangkat. Setelah itu, mungkin karena demam, aku langsung tertidur lelap. Saat tersadar, air mata kembali mengalir di sudut mataku. Tentu saja, aku tidak ingat isi mimpiku. Sepanjang hari itu, aku hanya berbaring lemah di tempat tidur, sesekali bangun untuk makan sedikit jelly dari kulkas.

 Setiap kali terbangun, air mataku selalu menetes. Frekuensinya terlalu sering. Mungkinkah karena hari ini adalah peringatan tujuh tahun kematian orang tuaku? Aku bertanya-tanya, apa yang kulakukan dalam mimpi yang tak kuingat itu? Mengapa aku menangis? Ini bukan pertama kalinya aku merasa penasaran. Apa sebenarnya yang terjadi padaku sesaat setelah kecelakaan itu? Aku pernah berusaha keras mengingat-ingat, memaksa otakku bekerja maksimal, tapi tetap saja tak bisa mengingatnya. Usahaku sia-sia. Bahkan kejadian saat kecelakaan yang masih kuingat pun terasa kabur. Semuanya terlalu tidak masuk akal. Dalam kondisi seperti itu, mana mungkin aku bisa mengingat hal-hal yang sudah terlupakan? Mungkin jika aku mengulang situasi yang sama seperti saat kecelakaan, aku bisa mengingat sesuatu.

 Ya, jika aku naik shinkansen lagi ....

 Tapi mana mungkin aku punya keberanian untuk kembali menaiki iblis putih yang telah merenggut nyawa ayah dan ibuku itu. Lagi pula, aku tidak yakin apakah ingatan yang hilang itu sepenting itu untuk diingat kembali. Dokter dan tim investigasi kecelakaan pernah bilang padaku, "Mungkin karena kejadian itu terlalu mengejutkan, insting pertahanan diri membuatmu melupakannya." Mungkin memang benar begitu. Bisa jadi aku melihat jasad orang tuaku yang mengenaskan, atau menyaksikan orang-orang yang selamat perlahan meninggal. Yah, kalau ingatan semacam itu, aku juga tidak ingin mengingatnya lagi.

 Tapi ... terkadang aku merasa ada sesuatu yang penting yang terlupakan ... entah mengapa aku merasakan hal itu. Tapi diriku yang hampa dan apatis ini, setelah beberapa saat akan berpikir, "Ah, sudahlah," dan melupakan semuanya sampai mimpi itu datang lagi. Sudah berapa kali aku mengulang siklus ini selama enam tahun terakhir? Begitulah hari itu berlalu. Aku tertidur, terbangun menangis, tertidur lagi, dan terbangun menangis lagi. Tapi, menjelang sore, demamku turun dan sakit kepalaku mereda. Saat kondisiku mulai membaik dan aku berbaring di sofa ruang tamu, Nacchan pulang.

 "Selamat datang, Nacchan."

 "Aku pulang. Kamu tidak apa-apa tidak tidur di tempat tidur?" tanyanya sambil menatapku lekat-lekat, meletakkan kantong belanjaan di lantai. Mungkin ia membeli bahan-bahan untuk membuat makanan yang bisa kumakan meski sedang flu.

 "Iya, aku sudah agak baikan, kok." Jawabku sambil berbaring di sofa.

 "Begitu? Syukurlah. Aku akan buatkan bubur, ya."

 "Iya, terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana acara peringatannya?"

 Nacchan menjawab sambil mengambil panci di dapur, "Yah, alurnya hampir sama seperti tahun lalu. Ada pendeta yang membacakan sutra, lalu kami menghanyutkan lentera di sungai dekat situ. Kamu ... menyesal tidak bisa ikut?"

 "Tidak kok."

 Toh pergi ke sana pun tidak akan membuat ayah dan ibu ada di sana. Sebagai satu-satunya yang selamat, aku hanya akan diwawancarai dan dikejar-kejar kamera tanpa alasan jelas. Acara yang tidak nyaman bagiku. Meski aku paham kehadiranku sebagai keluarga korban itu penting, sejujurnya aku lebih suka tidak pergi.

 "Oh iya, ngomong-ngomong," Nacchan tiba-tiba teringat sesuatu.

 "Hm?"

 "Rasanya pesertanya lebih sedikit dibanding tahun lalu. Mungkin memang berkurang tiap tahunnya."

 "Oh, begitu ...."

 Sudah enam tahun berlalu sejak kecelakaan itu. Wajar saja jika kerabat korban yang hadir di peringatan satu tahun kematian tidak lagi datang di peringatan tujuh tahun. Mereka punya kehidupan masing-masing yang harus dijalani. Ya, sudah enam tahun berlalu. Bagi masyarakat umum, ini mungkin hanya peristiwa masa lalu. Di antara keluarga korban, mungkin ada yang sudah bisa melangkah maju dan menjalani hari-hari mereka.

 Tapi aku ... Hatiku ....

 Masih membeku, terhenti pada hari itu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close