Penerjemah: Rion
Proffreader: Rion
Chapter 5 - Tetangga yang aku ingat
想い馳せる隣人
Tanaka Note: Moga ae kalian tetep bisa baca di web yang nerjemah aslinya, gak web copasan sana yang ngambil terjemahan nya dari sini.
Beberapa waktu berlalu.
Setelah memastikan kondisi Yukimiya sudah tenang, aku perlahan-lahan kembali ke apartemen.
Biasanya, aku pasti sudah lama sampai, tapi kali ini, aku harus memakan waktu dua kali lebih banyak.
Wajah Yukimiya bahkan masih tidak terlihat begitu baik. Atau lebih tepatnya, seperti semakin buruk.
"Err... Yukimiya, bagaimana dengan makan malamnya?"
"....Tidak perlu. Aku tidak merasa ingin makan... hari ini, aku hanya ingin langsung tidur."
"B-begitu ya..."
"....Maaf. Tapi untuk saat ini, aku akan sangat menghargainya jika kamu meninggalkanku sendirian. ....Selamat malam, Yatsuhashi-kun."
"....Ah, selamat malam."
Tidak ada lagi yang bisa kukatakan kepada Yukimiya. Setelah diminta untuk membiarkannya sendiri, apa pun yang aku lakukan hanya akan menambah stresnya.
Tapi... apakah ini benar? Membiarkan Yukimiya sendirian seperti ini.
Ini pertama kalinya aku melihat Yukimiya seperti ini. Mungkin ada baiknya jika seseorang tetap berada di sisinya.
Banyak hal berkecamuk di pikiranju, tapi sulit untuk mengatakan bahwa ada di antara mereka yang merupakan ide bagus.
Dengan wajah yang masih pucat, Yukimiya berjalan goyah kembali ke ruang apartemennya.
"Yukimiya!"
"....Apa?"
Melalui pintu yang hampir tertutup, Yukimiya menoleh kembali dengan mata yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Seolah tidak bersemangat, hanya menatap kehampaan. Mata itu, sepertinya bahkan tidak melihat ke arahku.
"Tidak... Kalau ada apa-apa, langsung panggil aku. Apa pun selama aku mampu, aku akan melakukannya."
"....Ya. Aku akan mengingat itu."
Dengan berakhirnya kalimat itu, pintu ditutup.
Yukimiya sendiri mungkin tidak memikirkan apapun tentang itu, tapi entah kenapa.... aku merasa pintu yang tertutup itu seperti jadi penolak untukku.
Aku tak bisa melakukan apa-apa sekarang.
Aku merasa frustrasi dengan ketidakberdayaanku sendiri, tapi begitu aku juga harus kembali masuk ruang apartemenku sendiri.
Menyimpan semua bahan makanan di kulkas, aku hanya makan sashimi yang kubeli dan nasi yang sudah kumasak, lalu makan malam begitu saja. Aku tidak punya keinginan atau energi untuk mulai memasak nikujaga sekarang.
Aku makan sambil bermain ponsel, meski tidak bisa berhenti memikirkan Yukimiya.
Atau lebih tepatnya, sudah lama sejak aku makan malam sendirian. Beberapa hari terakhir ini, aku selalu makan malam bersama dengannya.
"...... Rasanya hambat."
Sashimi itu sendiri enak. Tapi, ada perbedaan antara makan sendirian dan makan bersama Yukimiya di meja makan. Tidak peduli seberapa banyak aku mengomel, dia selalu makan masakanku dengan lahap.
Sampai sekarang, makan sendirian adalah hal yang biasa bagiku... Jadi, tak pernah terpikir bahwa aku akan merasa kesepian karena itu
Aku hanya mengulangi proses memasukkan sashimi dan nasi ke mulut, sampai perutku penuh, lalu mengakhirinya begitu saja.
Masalah Yukimiya tidak ada kaitannya denganku. Tak peduli seberapa sering aku mengatakan itu, aku masih tidak bisa berhenti memikirkan Yukimiya. Aku bahkan tidak merasakan nafsu makan yang besar.
Entah aku sedang mencuci piring, belajar, membaca manga, atau novel ringan... Aku lebih tertarik memikirkan keadaan Yukimiya.
Apa dia benar-benar tidak berniat makan? Mungkinkah sebaiknya aku membawa sesuatu untuknya?
Untungnya, ada daging yang dia suka. Memasak nikujaga pasti membutuhkan waktu, jadi lebih baik jika aku cepat-cepat menumisnya dengan sayuran dan membawakan itu kepadanya... Ah, tapi dia mengatakan ingin ditinggal sendiri hari ini.
"Hah... Kenapa aku harus pusing memikirkan Yukimiya?"
Meskipun kita saling membantu, hubungan kita baru seminggu atau sekitaran itu. Jika dia punya masalah keluarga, ikut campur adalah kesalahan besar.
...Yukimiya juga pernah bilang kalau dia tidak ingin orang lain ikut campur dalam urusannya. Jika aku mencoba memaksakan diri untuk membuatnya merasa lebih baik, itu sama saja dengan aku ikut campur dalam masalah keluarga Yukimiya.
Kalau begitu, aku hanya perlu menjadi orang yang biasa dia maki seperti biasa.
Itu adalah jarak yang tepat untuk aku dan Yukimiya.
Yukimiya mungkin sedang tidak dalam keadaan baik sekarang, tapi dia akan kembali normal besok. Jika itu terjadi, aku akan mengajarinya cara membuat nikujaga besok.
...Sebelum itu, aku juga harus membuat porsi nikujaga untuk diriku sendiri. Jika Yukimiya merusak semua bahan makanan, itu bisa jadi masalah besar.
Mengeluarkan bahan-bahan yang tadi kuletakkan di kulkas, aku mulai mempersiapkan semuanya.
◈ ⟡ ◈
"Hazukichi, apa yang kau lakukan pada Hyouka-chan?"
Di awal pekan. Seperti biasa, saat aku sedang membiarkan Junya menyalin PR-ku, Kurotsuki datang lalu mendekat dan menanyakan hal tersebut.
Sejak saat itu, aku belum bertemu dengan Yukimiya. Aku tidak tahu sebenarapa buruk kondisinya, aku tidak tahu sejauh mana harus terlibat, dan aku bahkan tidak tahu apakah harus menghadapinya atau tidak.
Namun begitu, kata-kata Kurotsuki menandakan bahwa Yukimiya masih merasa tertekan.
"Aku tidak melakukan apapun."
"Benarkah?"
"Untuk apa aku bohong?"
"Aneh. Aku padahal aku yakin Hazukichi membuat Hyouka-chan marah."
Hei!? Tunggu sebentar. Menganggap Yukimiya berperilaku aneh = aku membuatnya marah, itu sangat tidak sopan, tahu?
Kurotsuki masih setengah percaya dan menatapku dengan tajam. Kenapa dia berpikir bahwa akulah penyebabnya?
Sungguh, aku tidak melakukan apa-apa. Semua ini karena panggilan... Ya, ibu tiri Yukimiya lah yang bersalah.
Namun, jika aku mengatakan hal itu, akan ada masalah lain yang muncul. Jadi aku harus menghindarinya.
"…Kalau kau berkata dia marah, apa suasana hatinya sedang memburuk?"
"Lebih tepatnya... dia terlihat sedih. Siapa pun yang mencoba berbicara dengannya, pasti dapat respon dingin."
"Yukimiya yang dingin itu hal biasa, kan?"
"Tidak juga. Dia biasanya ramah."
Bagian mana dari dirinya yang ramah? Aku pernah melihat para gadis berbicara dengannya, tapi dia sama sekali tak bersikap ramah. Di mana ramahnya, di mana?
"Auu, auu, auu... Aku khawatir."
Kurotsuki duduk di kursi depan dan menyandarkan kepalanya di atas mejaku.
Yah, bagi dia, Yukimiya adalah teman yang berharga... tentu saja dia khawatir.
"Aku mengerti kau khawatir, tapi jika dia tidak mengatakan apa-apa, tak ada gunanya berkonsultasi denganku. Bukankah lebih baik jika membiarkan Yukimiya sendirian untuk saat ini?”
"Jika itu bisa dilakukan, tidak akan sulit. Tapi sebagai teman, aku tidak mungkin bisa diam saja saat melihat mereka sedih."
Apakah begitu? Sewaktu Junya merasa sedih, aku pasti akan membiarkannya. Dan, begitulah alurnya sampai dia berkata, Perhatikan aku!'.
Tapi Yukimiya, apa dia setertekan itu? Sudah dua hari berlalu... Apakah dia makan dengan baik? Aku khawatir dia hanya makan makanan tidak sehat lagi.
Penyebab kesedihan Yukimiya, bagaimanapun juga, pasti karena telepon itu.
Hubungan antara ibu tiri dan anak perempuan, lebih rumit dari yang aku bayangkan.
Tidak mungkin aku bisa campur tangan dalam masalah keluarga dari seseorang yang hanya aku kenal sebatas itu.
...............
"…Hei, Kurotsuki. Boleh aku tanya sesuatu?"
"Ada apa?"
"Misalnya, ada teman sekelas yang hanya sebatas saling menyapa sedang sangat terpuruk tanpa kita tahu alasannya... kalau Kurotsuki, apa yang akan kau lakukan?"
"Hah? Teman yang hanya sebatas menyapa, ya~"
Kurotsuki menopang dagu dengan sikunya diatas meja, lalu memandang keluar jendela.
Mungkin sedang mensimulasikan situasi tersebut, Kurotsuki melamun selama beberapa menit. Lalu, mengangkat bahu dan tersenyum.
"Mungkin aku akan membantu sebisanya."
"...Meskipun bukan orang yang akrab?"
"Iya. Karena dia sedang terpuruk, kan? Kalau begitu, selama aku bisa melakukan sesuatu, aku ingin mencoba membantu."
"...Itu benar-benar seperti Kurotsuki"
"Benar, kan? Lebih-lebih lagi kalau itu Hyouka-chan, aku benar-benar ingin melakukan sesuatu...!"
Kurotsuki kembali menelungkupkan kepalanya di meja.
Benar juga, Kurotsuki... Yocchan, sejak dulu memang begitu.
Pemalu, berpikiran negatif, takut menjadi pusat perhatian... Tapi justru karena itu, dia sangat peka terhadap suasana hati orang lain, dan tidak bisa membiarkan mereka terpuruk begitu saja. Sebisa mungkin, dia pasti membantu mereka.
Meskipun penampilan dan sifatnya sudah berkembang, bagian dasarnya tidak berubah.
Yocchan tetaplah Yocchan.
"Terima kasih. Kau sangat membantu"
"Hah...? Sama-sama?"
Mungkin tidak mengerti, Kurotsuki menatap dengan wajah bingung dan memiringkan kepalanya.
Membantu sebisa mungkin, ya.... Meskipun aku sudah bertekad, tapi bagaimana caranya?
Masalah keluarga... dan juga, ini melibatkan situasi yang rumit. Jika salah langkah, mungkin aku tidak akan pernah bisa berhubungan dengan Yukimiya lagi.
Padahal, kami sudah mulai sedikit membuka diri satu sama lain. Aku tidak boleh membuat kesalahan di sini.
Untuk sekarang, mungkin aku akan membuatkan makan malam untuknya. Aku akan membuatkan karaage yang dia suka. Meskipun sedang terpuruk dan tidak nafsu makan, dia harusnya bisa makan kalau itu makanan favoritnya.
...Oh, iya.
"Kurotsuki. Kalau kau mau membantunya, belikan saja Yukimiya camilan dari minimarket. Dia suka camilan"
"Benarkah? Ternyata dia suka makanan yang tidak terduga!"
Memang, biasanya sulit membayangkan Yukimiya makan camilan dari minimarket yang sederhana. Aku juga mungkin tidak akan percaya jika tidak melihat sendiri dari kamarnya yang berantakan.
"...Eh? Tunggu, Hazukichi. Kok bisa tahu apa yang disukai Hyouka-chan? Sejak kapan kalian jadi begitu akrab?"
......Ah!
"T-tidak... Err, sebelumnya ada pertemuan persahabatan, kan? Waktu itu dia bilang begitu. Haha..."
"Ah, begitu ya. Aku mengerti, kalian bahkan berbicara tentang hal seperti itu. Padahal dia tidak pernah bercerita seperti itu padaku~"
Kenapa dia memelototiku, anak ini?
"Kau sendiri suka snack keluarga, kan?"
"Eh, darimana kau tahu? Apa aku sudah bilang?"
"Kau dulu suka kan. Ternyata itu juga tidak berubah."
"Ehehe. Itu satu-satunya yang tidak bisa kuubah~"
Saat dia malu-malu menggaruk pipinya, bel tanda dimulainya kelas berbunyi.
"Yah, aku harus kembali. Hazukichi, terima kasih banyak atas informasi berharganya!"
"Oke. Lain kali traktir aku jus."
"Ai, ai, kapten!"
Melompat dari kursi untuk berdiri, Kurotsuki keluar dari kelas dengan penuh semangat.
Dari pagi, dia sudah seperti badai, Kurotsuki itu.
◈ ⟡ ◈
"Haa... capeknya..."
Aku pergi berbelanja untuk membuat karaage untuk Yukimiya, tapi ternyata lebih memakan waktu daripada yang kukira. Memang, ibu-ibu yang mengincar obral kilat tidak bisa dianggap remeh.
Tapi, hari ini aku berhasil mendapatkan bahan yang kucari. Dengan ini, aku bisa membuat karaage yang enak dan memberikannya kepada Yukimiya... eh?
"Siapa... itu...?"
Di depan ruang apartemen Yukimiya, berdiri seorang pria yang tidak kukenal.
Dengan tinggi badan yang ramping dan mengenakan setelan jas yang rapi, rambutnya juga tertata rapi menggunakan wax. Mungkin, itu bukan setelan jas yang dijual di pasaran. Setelan jas yang dibuat sesuai dengan postur tubuhnya, setelan jas yang dipesan khusus. Bahkan aku yang tidak begitu paham soal begituan bisa merasakan kesan mewah yang terpancar.
Di balik kacamata berbingkai perak, terlihat tatapan tajam. Sepatu kulit hitam yang mengkilap. Lalu di lengannya, ada jam tangan bermerek terkenal bernama Alpha.
Terlihat seperti seorang pekerja kantoran elit atau orang dewasa yang sukses. Jelas, dia adalah orang yang hidup di dunia yang berbeda dengan diriku.
Apa tujuan orang seperti itu berada di tempat Yukimiya...? Sepertinya dia juga bukan seorang sales door-to-door...
"Hyouka, bukalah."
[ Tidak. Sudah pulang saja...! ]
"Hentikan sikapmu itu."
...Hyouka? Itu berarti Yukimiya, kan?
Dia tidak tampak sedang mabuk atau apa pun. Tapi, dia sedang berbicara dengan Yukimiya melalui interkom.
Keduanya terlalu fokus pada pembicaraan; sampai-sampai volume suara mereka meningkat. Mereka seharusnya mempertimbangkan waktu. Dan juga, aku merasa sulit untuk masuk ke dalam ruangan. Aku tak punya keberanian untuk mengabaikan argumen mereka dan masuk ke dalam ruangan.
"Maaf, ini cukup berisik. Apa yang Anda perlukan dari Yukimiya?"
"...Maaf sudah mengganggu saat sudah larut. Namun, ini adalah urusan keluarga, antara aku dan putriku. Lalu... kamu ini siapa? Kamu anak yang pernah bicara denganku sebelumnya, kan?"
...Keluarga? Putri? Berbicara sebelumnya?
................Ah!
Apakah ini, orang yang waktu itu mengikuti Yukimiya, si penguntit!?
Jadi, dia... ayahnya Yukimiya!?
Astaga. Aku tidak tahu, tapi aku telah menganggapnya sebagai penguntit.
Bagaimanapun juga, aku harus memperkenalkan diri.
"...Senang bertemu dengan Anda. Nama saya Yatsuhashi Hazuki. Saya adalah tetangga sebelah Yukimiya... Hyouka-san, dan juga Ketua OSIS di sekolah yang sama."
"...Ketua OSIS? Tapi kudengar putriku juga Ketua OSIS di SMA Shiramine, bahkan setelah tempat itu bergabung dengan sekolah lain juga..."
"Ya. Sebelum bergabung dengan Shiramine, saya adalah Ketua OSIS di sekolah lama saya. Hingga masa jabatan berakhir, saya diharuskan untuk bekerja sama dengan Hyouka-san sebagai sesama Ketua OSIS untuk meningkatkan keakraban di antara siswa."
Hmm... Bagiku, itu adalah perkenalan yang cukup bagus.
Orang dengan tipe ini... tampaknya memiliki status sosial yang tinggi, dan mengingat dia adalah ayah Yukimiya, dia tampaknya sangat menghargai jabatan dan etiket.
Seperti yang diharapkan, ketika aku menjelaskan dengan nada formal bahwa aku juga Ketua OSIS, ayah Yukimiya tampaknya sedikit menurunkan kewaspadaannya.
"Saya minta maaf karena tiba-tiba bicara pada Anda hari itu. Namun, Anda tampak sedang membuntuti Hyouka-san, lalu sebagai sesama siswa di sekolah yang sama, saya merasa tidak bisa mengabaikannya dan memutuskan untuk berbicara dengan Anda."
"...Hmm. Memang, perilakuku sebelumnya mungkin terlihat mencurigakan. Itu adalah tindakan yang dilakukan karena terlalu memikirkan putriku. Keputusanmu tidak salah. Aku minta maaf sudah membuatmu salah paham."
"Terima kasih."
Hoo... bagus. Dia orang yang bisa diajak bicara dengan baik... lalu sekarang, kenapa dia bertengkar dengan Yukimiya di koridor seperti ini?
Ayah Yukimiya berdiri tegak di depanku, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku.
"Maaf sudah terlambat memperkenalkan diri. Namaku Yukimiya Korekiyo, ayah Hyouka dan juga CEO dari Yukimiya Co., Ltd."
Dia memberiku kartu namanya.
Yukimiya Co., Ltd....Eh, bukankah itu perusahaan IT besar yang sering muncul di iklan televisi?
Aku memang sudah menduga kalau Yukimiya adalah seorang putri dari keluarga kaya, tapi ternyata dia benar-benar putri dari seorang CEO… seriusan?
"Te-terima kasih atas perkenalan yang sopan ini. Jadi, Yukimiya-san. Saat ini sudah larut malam, jadi berbicara di lorong seperti ini agak…"
"Hm, benar juga... Tapi putriku tidak mau membiarkan aku masuk ke dalam ruang apartemennya."
...Jangan-jangan Yukimiya tidak hanya bermasalah dengan ibu tirinya, tetapi juga dengan ayah kandungnya? Haa... Betapa rumit keluarganya ini. Tapi kalau begini terus, mereka bisa-bisa mengganggu tetangga...
Ketika aku memikirkan itu, tiba-tiba pintu ruang apartemen Yukimiya terbuka. Meskipun rantainya masih terkunci, Yukimiya mengintip dengan ragu-ragu.
"Hyouka..."
"......"
Dengan wajah tertunduk malu-malu, Yukimiya dan ayahnya tetap berdiri dengan ekspresi tanpa emosi. Apakah aku seharusnya berada di sini? Aku kehilangan momen untuk pergi.
"Hyouka, biarkan aku masuk."
"...Tidak."
"Hyouka."
"Tidak mau. Pergilah."
Oh... Begitu. Mereka sudah berdebat seperti ini sejak tadi. Kalau begini terus, tetangga lain akan salah paham...
"Yah, mari kita tenang. Sudah larut malam, bagaimana kalau kita berbicara lagi di lain waktu...!"
Saat aku mencoba masuk di antara mereka, ayah Yukimiya menatap tajam ke arahku. Menakutkan. Tatapannya sangat tajam untuk seorang pria paruh baya. Mungkin itu wajar bagi seorang CEO perusahaan besar, tapi aku tidak bisa mundur sekarang. Terutama karena ini sangat mengganggu tetangga, terutama aku yang tinggal tepat disebelahnya.
"Jika Anda terus berdebat seperti ini, tetangga lain akan mencurigai tindakan Anda. Jika sampai ada yang melapor ke polisi, itu tidak akan baik untuk reputasi Anda maupun Hyouka-san, bukan?"
"……Hmm. Kamu mencoba mengancamku?"
"Itu hanya pertimbangan sosial"
"……Kamu cukup menarik."
Kalau Anda pikir itu menarik, tertawalah sedikit. Dua-duanya, ayah dan anak, memasang ekspresi tajam... meskipun mereka tidak akur, mereka sangat mirip dalam beberapa aspek yang aneh ini.
Ayah Yukimiya melihatku sejenak, lalu melepaskan ketegangan di pundaknya dan berbalik.
"Aku akan datang lagi pada Minggu pagi berikutnya. Kamu tidak bisa lari lagi sampai saat itu."
Meninggalkan kata-kata itu, dia pergi lurus tanpa menoleh ke belakang.
Aku berdiri tegak sampai dia menghilang... akhirnya, aku bisa bernapas lega.
Haa~ .....Kenapa aku harus merasa lelah secara emosional sebelum tidur? Padahal aku baru saja mandi dan merasa rileks.
"Hei Yukimiya, kau baik-baik saja?"
"…………"
Tidak ada jawaban. Sepertinya dia tidak dalm kondisi yang baik-baik saja. Yah, itu wajar. Siapa pun akan merasa tertekan setelah mengalami kejadian seperti itu.
"Sebelum bicara dengan ayahmu, mau bicara sebentar denganku?"
"……Masuklah"
Wah. Sepertinya dia benar-benar mengizinkanku masuk. Apakah ini berarti dia sedikit mempercayaiku?
Diundang oleh Yukimiya yang membuka rantai pintu, aku masuk ke dalam. Barang-barang bertemakan kucing masih tertumpuk di sudut ruang tamu, belum dikeluarkan dari tasnya.
Yukimiya duduk di kursi ruang tamu, menundukkan kepala dengan ekspresi sedih.
"Ah... maaf ya. Aku menyela di waktu yang aneh."
"Tidak... kamu menyelamatkanku. Terima kasih."
...Dia benar-benar lemas. Wajar saja.
Tapi tetap saja, siapa sangka pria tua penguntit itu adalah ayah Yukimiya... aku benar-benar terkejut.
Aku duduk di depan Yukimiya dan kami saling berhadapan dalam diam.
Meskipun aku bilang ingin bicara, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada banyak yang ingin kutanyakan, tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya.
Saat aku memilih kata-kata dalam pikiranku, Yukimiya perlahan membuka mulutnya.
"...Kamu mungkin sudah tahu, tapi pria tadi adalah ayahku. Ayah kandungku."
"Ah, ya..."
Aku tidak menyangka Yukimiya akan membicarakan hal itu.
Dia pernah mengatakan bahwa dia tidak ingin orang lain ikut campur dalam urusan keluarganya... Mungkin, dia benar-benar merasa tertekan.
Kenyataan bahwa dia menekankan kata 'kandung' itu berarti bahwa ibu kandungnya sudah tidak bersama mereka lagi.
Entah mereka bercerai, atau mungkin...
Pikiran buruk melintas di kepalaku, tapi aku berhenti berpikir ketika mendengar kata-kata Yukimiya selanjutnya.
"Seperti yang kamu lihat, hubungan kami tidak baik, atau lebih tepatnya... aku sedikit tidak nyaman dengan ayahku."
"Mengejutkan. Apa ada sesuatu yang tidak kau sukai darinya, Yukimiya?"
"Dia selalu tampak dingin, jadi sulit untuk tahu apa yang dia pikirkan... Meskipun, aku ingat dia lebih sering tersenyum dulu."
Bahkan Yukimiya berkata tidak bisa mengerti apa yang dipikirkan orang itu.
Dari sudut pandangku, aku juga tidak tahu apa yang dipikirkan Yukimiya. Apa Yukimiya merasakan perasaan yang serupa?
"Err... Kenapa dia tetap datang? Kalau kau sudah memperlakukannya begitu buruk, aku pikir ayahmu juga akan menyadari kalau dia tidak disukai."
"Karena itu... salah satu syarat supaya aku bisa tinggal sendiri."
"Syarat?"
"Ya... menjalani kehidupan sehari-hari dengan benar. Itulah syarat paling minimalnya."
...Eh?
"Menjalani kehidupan sehari-hari dengan benar, dalam kata lain, bisa bersih-bersih juga memasak?"
"Ya. Setiap dua bulan sekali, ayah atau ibu tiri akan datang untuk melakukan inspeksi."
"Ibu tiri... Jadi, alasan kau terlihat ketakutan saat dapat panggilan itu..."
"Itu salah satunya, tapi... sepertinya dia tidak suka padaku. Aku selalu diperlakukan secara kasar setiap hari, kata-katanya tajam dan menyakitkan... Tinggal di rumah itu benar-benar sulit. ...Makanya, aku minta ayah supaya membiarkanku tinggal sendiri. Aku lebih baik tinggal sendiri daripada bersama mereka. Aku bahkan akan membungkuk serendah mungkin untuk itu. Dan aku tidak akan pernah mau kembali, ke tempat mereka itu."
Mata Yukimiya menunjukkan warna penolakan.
Situasinya berbeda, tapi sama denganku.
Orang tuaku hanya peduli dengan pekerjaan dan tak pernah mempedulikanku. Disisi lain, orang tua Yukimiya, sepertinya tidak merasakan kasih sayang terhadapnya. Itu sebabnya dia ingin tinggal sendiri... Aku sangat mengerti perasaan yang ia rasakan.
"Aku mulai tinggal sendiri pada bulan Februari tahun ini. Jadi hari ini adalah inspeksi pertama."
"Aku mengerti... Tunggu, jadi kalau aku tak pernah membantumu, mereka pasti melihat situasi yang berantakan itu, kan? Lalu kenapa kau malah membiarkan tanpa membersihkannya dengan baik?"
"Aku berencana mempekerjakan pembantu rumah tangga sehari sebelumnya, untuk membersihkan dan memasak. Kalau misal mereka menyuruhnya membuat makanan selama inspeksi, aku cuman perlu memanaskannya. Jadi dengan itu, aku tak perlu memasak dari awal di depan ayah."
Itu gerakan yang sangat curang. Dia benar-benar licik, gadis ini.
Lagi pula, jangan gunakan uangmu untuk hal-hal seperti itu. Lalu, jika kau memanaskan makanan yang sudah disiapkan, kecuranganmu pasti terbongkar seketika. Entah kau ini pintar atau sebenarnya bodoh.
Aku merasakan sakit kepala mendengar kata-kata Yukimiya dan menekan pelipisku. Sungguh, orang ini...
"Hah... Yah, setidaknya ruang apartemenmu bersih, itu sudah cukup baik... Tapi bagaimana soal makanannya? Ayahmu datang lagi Minggu depan."
"Uh... Y-Yatsuhashi-kun. Aku punya permintaan---"
"Aku menolak."
"Aku belum mengatakan apapun."
"Aku bisa menebaknya. Kau ingin aku memasak untukmu, kan? Aku menolak."
Melihat wajahku yang menolak mentah-mentah, Yukimiya terdiam dengan ekspresi sedih yang luar biasa di wajahnya.
Maaf, Yukimiya. Ini adalah sesuatu yang harus kau terima sebagai tanggung jawabmu sendiri.
"Tapi bukan berarti aku tidak akan membantu sama sekali. Kalau mau, aku bisa mengajarimu cara membuat masakan yang benar. Apa yang ingin kau masak?"
"Masakan... ah...! ...ku.... ....ja..."
Sepertinya ada sesuatu yang dia inginkan, Yukimiya bergumam sangat pelan.
"Apa itu?"
"...Ni... niku, jaga..."
"Nikujaga?"
Yukimiya mengangguk dengan kuat.
Memang, nikujaga membutuhkan usaha yang cukup.
Mungkin agak sulit untuk Yukimiya saat ini... tapi, ini sangat layak untuk dicoba.
"Baiklah. Besok aku akan mengajarimu cara membuatnya."
"Ya, ya!"
Sambil mendengus; ia terlihat sangat termotivasi.
"Untuk saat ini, mari kita fokus pada memasak nikujaga... Yukimiya, apa kau sudah makan dengan baik kemarin dan hari ini?"
"...Kalau dengan makanan dari minimarket, maka..."
Dia mengalihkan pandangannya dengan canggung. Di hadapan kami, memang ada makanan siap saji dari minimarket, serta permen yang dibeli dalam jumlah besar.
"Haa... Kau ini..."
"Tapi, tidak ada pilihan lain. Semua orang pasti merasa lapar, kan? ...Belanja dan makan berlebihan karena stres juga, normal, kan?"
"Aku mengerti perasaanmu, tapi kalau ingin makan, katakan saja padaku. Aku akan membuatkan apa pun yang kau minta. Akan sayang kalau gaya hidup sehat yang sudah kau jalani sebelumnya hancur, kan?"
"......Maaf......"
Oh, dia cukup jujur. Mungkin dia masih merasa tertekan secara mental. Bahkan masih terlihat sedikit kehilangan semangat... Yah, jika dia sudah merasa menyesal, maka tidak perlu lagi mempermasalahkan ini itu.
"......Kau lapar?"
"Eh, tidak sama sekali..."
"Kau hanya perlu jujur. ......Kau lapar, kan?"
"Uh..."
Yukimiya terdiam, tapi segera setelah itu, ada suara bergemuruh seperti guntur. Tentu saja, itu berasal dari perut Yukimiya.
"......Aku lapar."
"Bagus kalau kau mau jujur. Aku akan membuatkan karaage untukmu."
"......Benarkah?"
"Aku sudah membeli bahan-bahannya karena berpikir untuk membuatnya untukmu. Akan sangat membantu jika kau mau memakannya agar tidak terbuang sia-sia."
"......Yah, karena tidak ada pilihan lain.... Maka aku harus ikut memakannya."
Ya, ya, seharusnya dia bisa lebih jujur dari ini.
Well, mungkin ini juga salah satu dari pesona Yukimiya... aku bisa mengganggapnya sebagai nilai plus.
◈ ⟡ ◈
Seminggu telah berlalu sejak saat itu.
Selama itu, usaha kerasku untuk mengajarnya dengan serius terbayarkan, aku merasa dia cukup membaik dalam membuat nikujaga.
Namun, ada satu kekhawatiran yang tersisa di sini.
Kali ini, asumsinya adalah Yukimiya yang akan memasak sendirian. Tapi, sebenarnya, aku belum pernah membiarkan Yukimiya memasak sendiri sebelumnya.
Aku merasa khawatir... sangat khawatir.
Karena kami pergi membeli bahan makanan sehari sebelumnya, kulkasnya penuh dengan bahan untuk nikujaga. Bahkan, karena hampir setiap malam selama seminggu ini kami makan nikujaga, aku mulai merasa muak hanya dengan melihat bahan-bahannya.
Bagaimanapun, ini pertama kalinya aku melihat kulkas di rumah Yukimiya diisi dengan banyak bahan makanan.
"Yukimiya, kau baik-baik saja?"
"B-b-b-b-baik-baik saja...!"
Sama sekali tidak baik. Ketika Yukimiya mulai gugup, aku juga ikut gugup. Aku benar-benar mulai khawatir.
Sambil merasa gugup bersama Yukimiya, kami melakukan pemeriksaan akhir dengan membersihkan ruangan dan menghiasinya dengan barang-barang bertemakan kucing yang kami beli baru-baru ini.
Ruangan yang tadinya membosankan dan sepi, kini terlihat lebih berwarna dengan barang-barang bertemakan kucing di setiap sudut.
"Wow... kalau melihat yang sekarang, ini benar-benar terlihat seperti kamar perempuan!"
"Kurang ajar. Dari awal ini memang kamar perempuan."
"Mungkin memang begitu, tapi bukan itu maksudku."
Kalau ada yang bilang tempat suram seperti itu adalah kamar perempuan, pasti takkan ada yang percaya. Pasti mereka pikir itu adalah kamar seorang maniak minimalis.
Saat melihat jam berbentuk kucing di rak, waktu hampir menunjukkan pukul sepuluh.
Semua sudah siap. Sekarang tinggal menunggu ayahnya datang.
"Mau minum kopi? Yuk, kita istirahat sebentar."
"Aku, aku tak punya waktu untuk istirahat."
"Maka dari itu, kita perlu membuat waktu untuk istirahat. Ayo, duduk sini."
Aku mempersilakan Yukimiya duduk, lalu membuat kopi dan membawanya ke ruang tamu.
Sebenarnya aku ingin mencoba kopi dengan biji yang digiling, tapi takut kalau terlalu ribet. Lagipula, aku dan Yukimiya sama-sama suka kopi instan dari merek ini, jadi hanya seperti ini pun tak masalah.
"Aroma kopi punya efek relaksasi. Selain itu, seperti yang kau tahu, bisa membuat kita lebih terjaga. Mari kita bersantai sampai ayahmu datang."
"…Terima kasih."
Yukimiya mengambil cangkir dan menghirup aroma kopi dalam-dalam.
Ya, aromanya enak. Aku suka aroma panggang ini, bahkan lebih dari sekadar meminumnya.
Mungkin Yukimiya juga merasakan hal yang sama, dia menghirup aroma itu dan perlahan menghembuskan napas.
...Tapi, tangannya masih bergetar. Dia benar-benar gugup.
"Apa kau sangat takut dengan ayahmu?"
"Bukan begitu. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bukan takut, tapi aku merasa canggung. Sebelum aku meminta izin untuk hidup sendiri, sudah tujuh tahun kami tidak berbicara dengan baik satu sama lain."
"Tujuh tahun..."
Berarti sejak Yukimiya berusia sekitar sepuluh tahun.
Memang wajar jika merasa canggung jika tidak berbicara selama itu.
"Ayah menikah lagi dengan ibu tiriku sekitar waktu itu. Ibu tiriku adalah mantan sekretaris ayah."
Wah, situasinya jadi lebih rumit. Pasti canggung sekali.
"Ibu tiri itu, dia tidak menyukaimu, bukan?"
"Ya. Dia sangat keras dalam mendisiplinkan aku. Dia sendiri tidak pernah memasak. Tidak pernah mengurus rumah. Semua diserahkan kepada pembantu. Namun, dia selalu mencampuri tata krama, gerakan, postur tubuh... Aku selalu ditekan. Katanya semua itu demi kebaikanku, demi mewarisi perusahaan... Sungguh, aku muak."
Selalu ditekan setiap hari, ya? Itu... pasti berat.
Saat menyangkut perusahaan sebesar Yukimiya Co., Ltd., kemungkinan besar dia harus berurusan tidak hanya dengan orang-orang internal, tapi juga dengan orang-orang di luar perusahaan.
Dia diharuskan untuk tidak melakukan pernyataan yang ceroboh atau tindakan yang kurang berkelas. Itu sebabnya ibu tirinya sangat ketat dalam mendidik...
Aku mengerti perasaan dan alasannya, tapi jika pemikiran Yukimiya sendiri tidak melekat, itu tidak akan berarti apa-apa. Ceritanya akan berbeda jika Yukimiya memang ingin meneruskan perusahaan tapi jika tidak... itu tak akan jauh dari sekedar perundungan.
"Aku benar-benar tidak suka... Akhir tahun lalu, aku mencapai batas kesabaran dan langsung berbicara kepada ayah. Aku minta izin untuk hidup sendiri sebagai bagian dari pembelajaran hidup bermasyarakat. Meski alasan sebenarnya, aku cuman ingin melarikan diri. Haa, kamu... pasti akan mengejek tindakan dan sikapku, kan?'
"Tidak, sama sekali."
Ketika aku menjawab langsung, Yukimiya menatapku dengan mata terkejut.
Apa, apa? Kau terlihat menakutkan.
"...Kamu tidak mau mengejekku?"
"Ya, umm. Jika aku berada dalam situasi yang sama, aku juga akan melarikan diri."
"Padahal, aku sudah bersikap buruk sebelumnya, terhadapmu..."
"Apa hubungannya? Entah kau bersikap buruk atau tidak, kau tetaplah Yukimiya Hyouka."
Apa yang kau khawatirkan? Aku takkan mengejekmu.
"Lebih dari itu, aku ingin memujimu."
"...Memujiku? Aku yang melarikan diri ini...?"
Dengan suara yang hampir tak terdengar, YukiMiya bergumam.
"Baik pria maupun wanita, dewasa maupun anak-anak... siapa pun bisa merasa putus asa. Tapi Yukimiya, kau bisa bangkit lagi dan maju. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Aku benar-benar menghormati seorang gadis bernama Yukimiya Hyouka. Aku bisa dengan tegas mengatakan bahwa dia adalah perempuan paling kuat yang pernah aku lihat. ...Hanya dengan itu saja, kau boleh membanggakan dirimu."
"......."
Itu adalah perasaanku yang sebenarnya. Kata-kata yang tulus, dari lubuk hatiku.
Jika aku mendapati kata-kata kasar setiap hari seperti itu, aku pasti akan berontak, atau jadi depresi dan menutup diri.
Membiarkan semuanya terlalu longgar itu buruk, tapi terlalu ketat dalam mendidik juga tidak baik.
Yukimiya juga telah menjalani kehidupan yang sulit. Mungkin, kami ini cukup mirip, aku---Eh!?
"Tunggu, Yukimiya, air mata! Air matamu!"
"...Eh...? Ah..."
Yukimiya, masih tanpa ekspresi... menitikkan air mata.
Dia perlahan mengusap air matanya saat aku dengan panik memberinya tisu.
"Maaf. Apa aku terlalu banyak ikut campur...?"
"T-tidak. Memang kamu sudah ikut campur, tapi... sama sekali tidak membuatku merasa kesal."
Mendengar itu, aku sedikit lega.
Aku masih bingung, kenapa dia tiba-tiba menangis...? Sungguh, aku tidak mengerti hati wanita.
Setelah menunggu sebentar, Yukimiya dengan mata sedikit merah menatapku langsung.
"Sudah, aku baik-baik saja sekarang. Hatiku merasa jauh lebih ringan."
"Benarkah? Yah, kau memang sedang stres. Wajar saja jika sampai menangis."
"Yang membuatku menangis itu kamu, tahu! Dibuat menangis olehmu, itu adalah kekalahan terbesar dalam hidupku."
"Aku, bahkan tak melakukan apapun."
"......Bodoh!"
Hah? Dasar. Aku benar-benar tidak suka orang ini.
Aku mengalihkan pandanganku dari Yukimiya yang tersenyum sambil mengomel, dan menyesap kopiku.
Menyeruput kopi; aku mengalihkan pandangan dari Yukimiya, yang menyeringai dan terus menghinaku.
Lalu pada saat itu, bel pintu berbunyi.
Saat aku melihat ke arah Yukimiya, ketegangan yang ada sebelumnya tampak sudah hilang, dan dia terlihat rileks. Sepertinya dia sudah baik-baik saja.
Tanpa kata-kata, kami saling mengangguk. Yukimiya berdiri untuk menyambut tamu itu.
"Ya... Aku akan membukanya sekarang."
Dia berbicara melalui interkom dan hari ini dia membuka pintu dengan patuh.
Ayahnya tampak terkejut, menatap dengan raut wajah yang bingung.
Wajah itu, benar-benar mirip. Seperti yang diharapkan dari orang tua dan anak.
"....Maaf mengganggu. ....Eh? Kamu Yatsuhashi-san, bukan? Kenapa kamu berada di ruang apartemen putriku?"
"Selamat pagi. Sebenarnya...."
"Yatsuhashi-kun, tunggu. Biar aku yang menjelaskan."
Yukimiya mengambil napas dalam-dalam, lalu menatap mata ayahnya.
"Dia adalah guruku. Dia mengajariku segala hal tentang pekerjaan rumah. Dia orang yang sangat penting bagiku. Lalu hari ini, dia akan bergabung dengan kita, itu tidak masalah, kan?"
"Orang yang penting?"
Mata ayahnya berpaling ke arahku.
Ini, ini, ini, Yukimiya, apa yang kau katakan!? Itu bisa menimbulkan kesalahpahaman...!
Tapi tanpa bisa menyela, aku hanya bisa tersenyum canggung.
Tapi, itu tak penting lagi sekarang.
"Begitu.… Jadi, biarkan aku masuk.”
Eh, itu saja? Aku pikir dia akan mengomel lebih banyak, seperti apa maksud dari laki-laki dan perempuan berada di ruangan yang sama, atau sesuatu yang lebih keras.
Melepas sepatu dan memasuki ruangan, Ayah Yukimiya melihat-lihat sekeliling dapur.
"Hmm... Semuanya kelihatan bersih."
"Eh, ya. Kami baru saja membersihkannya."
Yukimiya, bohong itu tidak baik. Tempat ini bersih karena memang hampir tidak pernah dipakai.
Lanjut kemudian, dia memeriksa kamar mandi dan toilet, lalu akhirnya masuk ke ruang tamu.
Saat memasuki ruang tamu, mata ayahnya terbuka lebar...
"Ini... nyanko?"
"Yap, nyanko!"
Nyanko, huh? Dia menyebutnya begitu meski sudah dewasa.
Mungkin memang ada ciri khusus dalam keluarga ini berbicara, meski tetap saja cukup mengejutkan.
Ayah Yukimiya mengangkat boneka kucing yang ada di rak ruang tamu.
"Rasanya nostalgia... Ibumu juga suka nyanko, kan?"
"....Ya."
Yukimiya juga terlihat sedih... tapi mengangguk dengan ekspresi lembut.
Ibu, huh? Dalam hal ini, sepertinya mereka bicara tentang ibu kandung, karena sulit membayangkan Yukimiya akan menyukai sesuatu yang disukai oleh ibu tiri yang tidak disukainya.
Ayahnya juga sepertinya sedang mengingat masa-masa itu, matanya terlihat sangat lembut.
"…Aku mengerti kondisi ruangan ini. Tampaknya kamu menjaga kebersihannya dengan baik."
"Iya. Tentu saja."
Padahal sebenarnya dia berniat menyerahkan semuanya pada pembantu rumah tangga. Bagaimana bisa dia malah tampak bangga seperti itu sekarang?
Memeriksa seluruh kamar, ayahnya menghela napas lega (tanpa bisa disadari Yukimiya). Seolah-olah dia merasa tenang.
"Baiklah, selanjutnya tunjukkan kemampuan memasakmu."
"…Ya. Duduklah dan tunggu sebentar. Yatsuhashi-kun juga. …Aku akan berusaha sendiri."
"…Ah. Semoga berhasil!"
Yukimiya mengangguk penuh semangat, mengenakan celemek lalu pergi ke dapur.
Aku dan ayahnya duduk berhadapan di dua kursi yang ada.
Kami mendapat sajian kopi yang sudah dibuat sebelumnya.
Nah, sekarang pertanyaannya.... bagaimana perasaanku saat ini?
Jawabannya, canggung.
Karena, tentu saja. Berdua dengan ayah Yukimiya, tidak mungkin bagiku untuk tak merasa canggung.
Apa aku harus mulai angkat bicara dulu? Atau tetap diam saja?
Aku tidak tahu. Seseorang, kumohon tolong beri tahu aku!
"Yatsuhashi-san."
"Ah... iya...?"
Tak disangka ayah Yukimiya lay yang memulai percakapan.
Ia meletakkan cangkir kopi dan menghela napas pelan sambil tersenyum tipis.
"Tidak perlu tegang. Aku hanya ingin mengobrol sedikit denganmu."
"Ah, begitu..."
Aku merasa sedikit lebih tenang, lalu dia mulai berbicara dengan suara rendah.
"Kamu pasti sudah mendengar tentang hubungan keluarga kami."
"Ya, kurang lebih..."
"Itu sudah cukup. ...Aku menikah lagi. Pasanganku adalah wanita yang dulu menjadi sekretarisku. Ibu kandung putriku meninggal dua belas tahun yang lalu."
"…Begitu ya. Saya tidak tahu harus berkata apa..."
"Itu sudah masa lalu. Tidak perlu dipikirkan."
Ayahnya tampaknya sudah menerima hal itu. Ia hanya menunjukkan sedikit ekspresi sedih.
Berpisah karena kematian. Aku memang sempat mengira begitu, dan ternyata dugaanku benar.
"Waktu itu, aku baru saja memulai bisnis dan belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Aku selalu menyerahkan segalanya kepada mendiang istriku. Namun juga tetap berusaha untuk berinteraksi dengan putriku sebanyak mungkin."
...Ah, aku ingat Yukimiya pernah berkata bahwa dulu ayahnya lebih sering tersenyum. Dan sekarang, dia merenungkan masa lalu itu... berbicara dengan nada penuh kesedihan.
"Bisnis mulai berjalan, dan uang besar mulai masuk. Semuanya berjalan lancar... tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. ...Ibu dari anak itu, meninggal karena kecelakaan."
"Jadi... b-begitu..."
Puncak kebahagiaan dan dasar dari kesedihan datang secara serentak. Situasi kacau yang tidak bisa aku bayangkan.
"Istriku sudah meninggal... tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan yang sudah berjalan ini. Jadi, aku menyewa seorang pembantu rumah tangga, dan menyerahkan urusan rumah serta pengasuhan anak kepadanya..."
Ayah Yukimiya berhenti berbicara dan tersenyum sinis, seolah-olah mengatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah kesalahan dan kebodohan.
"Caraku mengatakannya ini... sangat licik. ...Sesungguhnya, aku cuman melarikan diri. Menggunakan pekerjaan sebagai alasan, dari urusan rumah, dari kehadiran putriku."
"Saya memahami perasaan Anda..."
"Terima kasih. ...Istriku sekarang, yang dulunya sekretarisku, telah berperan banyak dalam mendukungku yang tenggelam dalam pekerjaan. Tidak ada kebohongan dalam perasaanku terhadap istri yang telah meninggal. Aku masih bisa mengatakan kalau aku mencintainya... tapi, waktu sungguh kejam. Aku mulai tertarik pada dia, dan kemudian, kami menikah."
Setelah berbicara, ia meneguk kopi.
Begitu banyak yang terjadi di keluarga Yukimiya. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Ini terlalu berat untuk didengar oleh seorang siswa SMA. Namun... ada satu hal yang membuatku penasaran.
"Kenapa Anda menceritakan ini kepada saya?"
Aku dan ayah Yukimiya hampir tidak kenal satu sama lain sejak pertemuan pertama kami seminggu yang lalu. Kami bukanlah teman yang cukup dekat untuk berbagi masalah pribadi seperti ini.
Apalagi, jika dugaanku benar, kesan pertama yang dia punya tentangku seharusnya sangat buruk, mengingat aku pernah salah mengiranya sebagai penguntit.
Aku merasa terdistraksi ketika orang-orang membicarakan hal seperti ini. Bagaimana aku harus bereaksi?
Sekali lagi tampak bingung, dia menyilangkan tangan dan menutupi mulut dengan tangan.
"Hmm. Kenapa... Kenapa, ya? Aku juga penasaran kenapa."
"Saya tidak tahu."
"Alasan dan motif... Sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Entah kenapa... firasat... tidak, keyakinan? Hmm, aku merasa kata ini yang paling cocok."
...Apa yang sedang dia gumamkan...?
Sewaktu aku memiringkan kepala, ayah Yukimiya menatapku lekat-lekat dan tersenyum.
Seolah-olah melihat anaknya sendiri... dia membuat wajah seperti itu.
"Putriku mempercayaimu. Dia percaya padamu. Oleh karena itu, aku juga percaya dan berbicara padamu. Dengan keyakinan, aku merasa kamu orang yang baik. ...Itulah alasannya."
Dengan tulus. Itu kata-kata yang dirangkai tanpa kepalsuan.
Tanpa sadar, aku menelan air liur yang tersekat di tenggorokan.
"S-saya, tidak pantas dipercaya Hyouka-san..."
"Hanya Yatsuhashi-san yang berpikiran begitu. Anak itu mempercayaimu. Tidak diragukan lagi."
Aku tidak berpikir bahwa Yukimiya mempercayaiku. Lagipula, aku tidak bisa membayangkan dia dengan mudah mempercayai orang.
Tapi... ayahnya mempercayaiku, dia bahkan memberitahuku semua itu.
Maka aku juga harus membalasnya.
Aku membenarkan sikap dan menatap mata ayah Yukimiya secara langsung, dia mengangguk puas.
"Yatsuhashi-san. Tolong jaga putriku mulai sekarang."
"...Baik, serahkan semuanya pada saya!"
Tentu saja, sebagai guru pekerjaan rumah. Aku tahu, apa yang dia maksud tak lebih dari itu.
Saat percakapan dengannya semakin mendalam, tanpa sadar waktu sudah cukup lama berlalu.
Jam kucing berbunyi---miaw, menunjukkan tepat pukul dua belas.
Dan pada saat itu. Yukimiya datang membawa nikujaga yang penuh di dalam mangkuk besar.
"M-maaf menunggu...!"
Yukimiya sepertinya masih gugup, gerakannya terlihat sangat canggung.
Selain nikujaga, dia juga membawa nasi.
Benar-benar seperti gunungan. Kalau diibaratkan, seperti tumpukan nasi dalam cerita-cerita rakyat Jepang.
Oi, oi, seriusan? Masa kami harus makan sebanyak ini. Bahkan ayahnya pun pasti tidak bisa makan sebanyak ini.
Aku melirik ke arah ayahnya. Dia... menatap nikujaga dengan mata nostalgia.
"Nikujaga, ya..."
"Iya. ...Tidak suka?"
"Tidak... ini makanan favoritku."
"...Begitu."
..........
Hmm, canggung.
Tadi waktu aku bicara dengannya, suasananya terasa hangat dan ramah, tapi... ternyata kedua orang ini memang tidak akur.
Bukan tidak akur, lebih tepatnya Yukimiya merasa canggung dengan ayahnya, dan ayahnya tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Ayah Yukimiya menyatukan kedua tangan di depan sejumlah besar nikujaga, dan nasi yang ditaruh di depan kami.
"Selamat makan."
"Si-silakan."
Ia memberi salam dan mulai mengambil kentang dengan sumpit.
Lalu... memasukkannya ke dalam mulut.
Dia memejamkan mata, mengunyahnya dengan penuh perasaan.
Mog, mog, mog...
Lalu tiba-tiba, entah apa yang dipikirkannya, dia membuka mata lebar-lebar.
"...Manis..."
"Hah? Tidak mungkin...”
Yukimiya juga mencicipi sedikit, lalu mengerutkan alis.
Baiklah, aku juga. ...Ugh, manisnya...!
Entah bagaimana, rasanya terlalu manis seperti kebanyakan gula dan mirin. Seberapa parah kau salah ukuran hingga bisa semanis ini? Apa kau bahkan sudah memeriksa catatan resepnya?
"Y-Yukimiya, apa kau sudah mencicipinya...!?"
"Ah... lupa..."
Dasar bodoh! Aku selalu bilang untuk mencicipinya dulu...! Dengan begini, kau akan dinilai tidak bisa mengurus rumah dengan baik. Kalau begitu, Yukimiya akan dipaksa kembali ke rumah yang tidak ingin dia tinggali...!
"Ah, begini, Ayahnya Yukimiya-san. Ini sebenarnya...!"
".........."
"Eh...? Ayah...?"
Ayahnya tanpa berkata apa-apa menelan lalu memasukkan daging, dan mengunyah nasi. Seperti seseorang yang tidak makan selama beberapa hari, aku dan Yukimiya terkejut melihatnya cara makannya yang begitu lahap.
"...Nikujaga, itu makanan favoritku. Hyouka. Karena ini adalah masakan pertama yang dibuatkan ibumu untukku."
"Ibu...?"
"Waktu itu, ibumu juga melakukan kesalahan yang sama. Rasa nikujaga manis yang dia buatkan untukku... masih teringat jelas hingga sekarang."
Yukimiya juga, mungkin baru pertama kali mendengarnya, membuka mata lebar-lebar dan melihat ke arah nikujaga.
Ayahnya terus mengunyah, sesuap demi sesuap, lalu menelannya.
"...Rasa manis itu, dan dia juga... tidak akan aku lupakan... tidak mungkin aku lupa..."
Ah... air mata...
Mungkin karena kenangan masa lalu itu kembali ke dadanya, ayah Yukimiya terisak.
Meski dia sudah dewasa, meski dia seorang pria, meski dia itu orangtua... semua itu tidak penting.
Hanya sebagai manusia biasa, ia menitikkan air mata atas kenangan itu.
Dia terus mengambil nikujaga dengan sumpitnya, bahkan sampai lupa untuk mengusap air matanya.
Tanpa menoleh ke kanan kiri, hanya dengan sepenuh hati, cara dia makan nikujaga dan nasi... entah mengapa, terasa sangat indah.
Mungkin karena ini kali pertama Yukimiya melihat ayahnya seperti ini, ia terpaku.
"Yukimiya, kau baik-baik saja?"
"...Eh, ya. ...Ibu... apa dia melakukan kesalahan yang sama..."
Sepertinya Yukimiya tidak menyangka bahwa dia akan melakukan kesalahan yang sama, ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi dan hanya terus menatap ayahnya dan nikujaga.
Dalam situasi ini, seharusnya aku tidak duduk di sini... kan?
"Yukimiya, duduklah di sini."
"Eh, tapi..."
"Tidak apa-apa."
Aku berdiri dari tempat duduk dan meminta Yukimiya duduk di hadapan ayahnya.
Yukimiya menatapku dengan gugup, tapi aku mengangguk seolah meyakinkannya bahwa itu baik-baik saja.
"Yukimiya, makanlah. Kau tahu maksudnya kan?”
"...Iya. ...Terima kasih."
Yukimiya, menyatukan tangan, didepan nikujaga.
Setelah satu suap, dua suap... air mata juga mulai mengalir dari matanya.
Dengan hidung berair, dia terus mengisi pipinya dengan daging dan kentang, lalu terus mengambil nasi.
Ini bukan cara makan elegan yang biasanya dia tunjukkan padaku, bukan cara yang diajarkan oleh ibu tirinya. Tapi juga bukan berarti cara makan yang tidak sopan, diah makan dengan lahap dan sepenuh hati.
Cara makan seperti ini.... juga baik, bukan?
Hanya untuk sekarang ini - mereka adalah keluarga yang sesungguhnya, tidak akan ada yang bisa mengganggu.
◈ ⟡ ◈
"Tadi kami menunjukkan sesuatu yang tidak enak dipandang."
"Yatsuhashi-kun, maaf..."
Dua orang yang telah menghabiskan semuanya dengan sempurna menundukkan kepala mereka.
Di sisi ini, mereka benar-benar mirip satu sama lain.
Aku memberikan handuk basah kepada dua orang yang matanya bengkak karena menangis, dan menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tak mempermasalahkannya, jadi tidak apa-apa. Melihat kalian makan dengan lahap, aku juga merasa puas."
"Aku akan sangat menghargai jika kamu berkata begitu."
Ayah Yukimiya yang telah membersihkan sekitar mulutnya, melihat jam dan bangkit berdiri.
"Aku sudah tinggal cukup lama. Sudah saatnya pergi sekarang."
"Eh?"
Yukimiya terlihat bingung, memandang bolak-balik antara aku dan ayahnya. Aku juga memandang bolak-balik antara Yukimiya dan ayahnya.
Apakah ini berarti… dia lolos…?
Ayah Yukimiya bergegas pergi ke pintu masuk, memakai sepatu kulitnya.
Tanpa berkata-kata, ini terlalu sunyi. Apa hasil sebenarnya?
Jika membiarkannya pulang seperti ini, aku akan terlalu penasaran dan tidak bisa tidur nyenyak malam nanti.
"Err… Ayah Yukimiya-san."
"…Yatsuhashi-san, panggil saja Korekiyo. Atau, mungkin ayah."
"Eh. Ah, jadi Korekiyo-san."
"…Ada apa?"
Kenapa dia terlihat kecewa begitu.
Dan lagi, apa maksudnya ayah mertua itu?
…Jika terlalu banyak ditelusuri, sepertinya akan menjadi semakin rumit. Jadi, mari kita abaikan saja.
"Err… Anda datang ke apartemen Hyouka-san untuk memeriksa apakah dia bisa hidup sendiri, kan? Bagaimana menurut Anda? Apakah dia melakukannya dengan baik?"
"…Biar aku yang menjelaskannya pada Minori."
Setelah berkata demikian, Korekiyo-san meninggalkan ruangan.
Kami yang tertinggal, Yukimiya dan aku, saling memandang dengan ekspresi bingung.
…Ini berarti…?
"Ini berarti lolos, bukan?"
"Ah, mungkin."
Minori, itu pasti ibu tiri Yukimiya.
Faktanya, dia tidak banyak bicara dan hanya mengata 'biar aku yang menjelaskannya' ...yah, menurutku memang kelolosan itulah yang dia maksudkan.
"Bagus untukmu, Yukimiya. Ini berarti kau bisa terus tinggal sendirian."
"Ya, ya. …Itu artinya… Haa~"
Entah karena merasa lega atau apa, Yukimiya terduduk lemas di koridor.
Aku mengerti perasaannya. Bahkan aku yang tidak terlibat pun sangat tegang.
…Well, meski entah bagaimana, di akhir-akhir, aku merasa seperti terlibat tanpa sengaja.
"Apalagi, aku benar-benar panik karena kau tak mencoba mencicipi makanannya, tepat pada saat-saat seperti itu."
"Uhh.... aku tak bisa menahannya. Aku harus menyelesaikannya...... dan aku sangat terburu-buru."
"Haa……yah, meskipun ada kesalahan, hasilnya tetap memuaskan. Bahkan tanpa sengaja, itu ternyata sama seperti kenangan berharga Korekiyo-san."
Tapi, aku bertanya-tanya berapa banyak gula dan mirin yang harus kugunakan supaya bisa jadi semanis itu?
Kurasa aku masih harus mendampinginya untuk sementara waktu.
Entah kenapa, Korekiyo-san juga memintaku untuk menjaga Yukimiya.
"Bisa berdiri?"
"……Sepertinya tidak. Bisa bantu aku?"
"Eh?"
"Ada apa?"
"Tidak, tidak ada apa-apa……"
Membantu... membantu dengan tangan, kan?
Tidak, tidak, tidak. Ya, aku mengerti. Aku tahu betul kalau kau masih sedang belum sepenuhnya tenang.
Tapi, aku harap kau bisa mengerti perasaanku.
Seumur hidupku, aku belum pernah benar-benar menyentuh kulit perempuan, apalagi tangan mereka, aku ini siswa SMA laki-laki.
Tapi aku juga tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Guh, uhh... ahhhh...!
"Baiklah, tidak ada pilihan lain... ini."
Dengan ragu-ragu aku mengulurkan tanganku.
Aduh, tidak kusangka aku akan menggandeng tangan seorang perempuan di tempat seperti ini...!
...Meskipun secara teknis tidak bisa dianggap gandengan tangan. Tapi... yah, begitulah secara emosional.
"Terima kasih... ah!"
Saat Yukimiya mencoba meraih tanganku, dia sedikit memalingkan wajahnya dengan canggung.
Apa yang dia lakukan? Bukankah kau sendiri yang minta bantuanku?
"Yukimiya?"
"...Tidak apa-apa. Terima kasih"
Dengan lembut menggenggam tanganku, Yukimiya perlahan berdiri.
Ugh! Ini lembut, sangat halus...!
Dan ternyata tangannya lebih kecil dari yang aku kira, bahkan rasanya seperti bisa patah kalau aku terlalu kuat menggenggamnya.
Aku mendampingi Yukimiya masuk ke ruang tamu dan perlahan mendudukannya di kursi.
"Kau baik-baik saja? Butuh minuman?"
"...Iya. Di kulkas ada botol teh, tolong ambilkan."
"Baiklah."
Tangan... tak boleh dicuci dulu... tidak, tidak, tidak. Apa yang aku pikirkan? Apa aku ini orang mesum?
Menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran-pikiran buruk dari dalam otak, aku mengambil botol minuman dari dalam kulkas.
"Nih. Aku juga ambil satu."
"Ya, silakan."
Aku duduk di depan Yukimiya dan menghela napas sambil menikmati teh.
...Tapi tetap saja, aku tak menyangka Yukimiya akan menangis... itu agak mengejutkan, tapi aku merasa seperti baru saja melihat sisi baru darinya.
Mungkin Yukimiya juga memikirkan hal yang sama, dia tampak gelisah dan menghindari menatapku.
Jujur, sebenarnya aku juga merasa canggung karena menyentuh Yukimiya... tapi hanya diam saja seperti ini akan membuat suasananya semakin canggung.
Uhm... ah...
"Aku agak kaget. Dari cerita Yukimiya, aku pikir Korekiyo-san itu lebih sulit didekati."
"Aku juga. ...Aku baru pertama kali melihat ayah menangis seperti itu."
"Korekiyo-san memang tampak seperti orang yang tidak bisa menangis di depan orang lain."
"Faktanya, dia juga jarang bicara."
Sebelum makanan dihidangkan, dia sebenarnya cukup banyak bicara... tetapi demi kebaikan Korekiyo-san, aku akan menyimpan hal ini untuk diriku sendiri.
Namun, aku tak menyangka kalau Korekiyo-san punya masa lalu seperti itu. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya telah meninggal dan berakhir menenggelamkan diri dalam pekerjaan, yang akhirnya malah memperburuk hubungan antara dia dengan Yukimiya.
Mungkin ini adalah lingkaran setan yang sangat disayangkan. Tapi aku juga bisa mengerti perasaan Korekiyo-san.
Jika aku berada di posisi yang sama... mana yang akan aku pilih sebagai jawaban yang benar?
...Dan, kenapa sebenarnya Korekiyo-san menceritakan masa lalunya padaku, aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya dipikirkan Korekiyo-san?
Saat aku masih merenung dengan pertanyaan yang tak kunjung bis dapat jawaban, Yukimiya menghela napas pelan.
"Eh, ehm, Yatsuhashi-kun. ...Tolong jangan ceritakan pada siapa pun kalau aku menangis seperti itu."
"Apa?"
"Aku tidak mau orang-orang di sekolah tahu kalau aku menangis di depan orang lain. Kamu tahu, aku ini..."
Ah... begitu. Yukimiya di sekolah memang terlihat tegas, lebih terlihat keren daripada imut. Dia punya citra yang bersih dan dingin.
Jika orang-orang tahu bahwa Yukimiya menangis di depan orang lain, itu bisa merusak citranya.
"Menurutku, tidak masalah kalau orang tahu. Dengan begitu, semua orang mungkin akan merasa lebih dekat denganmu. Bahky, mungkin kau akan mendapat lebih banyak teman."
"Aku tidak butuh teman. Satu atau dua orang yang bisa dipercaya saja sudah cukup."
Yukimiya menatapku dan sedikit tersenyum.
Kepercayaan... Ah, benar, Korekiyo-san juga mengatakannya. Dia bilang Yukimiya percaya padaku. ...Benarkah begitu?
"Hey, Yukimiya, kau percaya padaku?"
"Tidak. Kalau aku percaya, aku takkan mengingatkanmu seperti ini."
Korekiyo-san, dugaanmu salah.
Tunggu... tidak percaya? Setelah semua yang terjadi? Kami bahkan sering berkunjung ke ruangan masing-masing seperti teman. Jika tidak ada kepercayaan, kami tidak akan bisa memiliki hubungan seperti ini, apalagi diantara laki-laki dan perempuan.
Yah, biarlah. Aku akan kesulitan jika dia terlalu percaya padaku. Lalu, ada juga kemungkinan kalau aku bisa berubah menjadi serigala karena momentum aneh.
Tapi setidaknya, aku berharap dia bisa sedikit percaya padaku...
Saat aku berpikir seperti itu, Yukimiya tersenyum lembut.
"Aku tidak percaya. Tapi, aku mempercayaimu."
"…Apa bedanya?"
"Siapa tahu. Coba pikir sendiri."
Tidak mungkin aku bisa menemukan jawabannya dengan kepala bodoh seperti ini! Hei, jangan menyeringai!
Setelah percakapan itu, rasa canggung antara kami hilang, dan Yukimiya menatapku langsung.
"Lebih dari itu, aku punya permintaan untuk Yatsuhashi-kun yang aku percayai."
"Hee... Apa itu? Katakan apa saja kepada Yatsuhashi yang kamu percayai ini."
"Bicaramu menjengkelkan."
"Hei!"
"Bercanda."
Leluconmu itu... Ugh! Sudahlah.
"Jadi, apa itu?"
"…Aku ingin kamu mengajari aku cara membuat nikujaga sekali lagi. Kumohon."
"Eh, nikujaga? Tapi, kau hampir bisa membuatnya kan? Asal kau mencicipi dengan benar..."
Namun, Yukimiya menggelengkan kepalanya.
...Bukan, bukan aku. Sepertinya dia tidak benar-benar melihatku.
Diluar diriku, Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu di masa lalu...
"Karena ini masakan yang menghubungkan aku dan ibuku, sebuah kenangan penting... Aku ingin mengingatnya dengan baik. Aku ingin bisa membuatnya tanpa melihat resep."
"…Aku mengerti. Aku bisa membantu sebisa mungkin. Tapi, apa kau ingat rasa nikujaga buatan ibumu? Kalau melakukannya dengan cara biasa, ini akan jadi nikujaga dengan rasa biasa yang sudah kuajarkan."
"Karena aku ingat, tidak apa. Dengan menyesuaikan rasa sedikit demi sedikit, aku akan menemukannya."
Aku tak tahu sudah berapa banyak, tapi sudah seminggu aku makan ini setiap hari, dan aku tidak tahu berapa lama lagi ini akan berlanjut.
Namun, tatapan serius Yukimiya... Aku tidak bisa mengabaikannya.
"...Baiklah, aku akan membantumu sampai kita menemukannya."
"Fufu, ya. ...Terima kasih, Yatsuhashi-kun."
"...........!"
...Aku terkejut... Bagaimana ya, ternyata Yukimiya juga bisa tersenyum seperti itu.
Senyum yang dia tunjukkan sejauh ini tidak bisa dibandingkan dengan ini.
Seperti waktu yang terperangkap dalam foto, dia tersenyum dengan begitu anggun, bak dewi sejati, terasa tidak nyata. Seluruh tubuhku terasa panas, dan pikiran serta semua indera yang menyertainya seolah tumpul.
Mau tak mau, aku tersihir oleh pesona senyumannya, senyuman terindah yang pernah kulihat...
Membuang muka, aku membiarkan pahitnya teh mengalihkan perhatianku dari perasaan ini.
Post a Comment