NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

KanoUwa: after story Volume 1 Chapter 1

 


Penerjemah: Tensa

Proffreader: Tensa


After Story


Tahun kedua sebagai pekerja kantoran, di musim dingin.

Di tengah malam musim dingin yang mencekam, aku berjalan menyusuri jalan sembari menghembuskan napas yang mengepul putih di udara.

Aku—Hasegawa Yuta—menghela napas panjang, merasakan sol sepatuku yang sudah menipis bergesek dengan aspal.

Saat masih mahasiswa tingkat akhir, aku membayangkan kehidupan kantoran yang jauh lebih cemerlang dari ini.

Berkat persiapan yang matang, aku berhasil mendapatkan beberapa tawaran kerja dari perusahaan-perusahaan besar.

Kalau dilihat dari perusahaan yang merekrutku, mungkin aku termasuk yang paling sukses di angkatanku.

Rasanya semua kerja keras itu terbayar.

Aku benar-benar merasa begitu, dan tahun terakhirku sebagai mahasiswa benar-benar menyenangkan.

Hubunganku dengan pacar impianku, Shinohara Mayu, juga berjalan lancar.

Bukan cuma bersenang-senang, persiapan untuk kehidupan kantoran pun sudah matang.

Aku mencurahkan waktu tanpa henti untuk mempelajari industri tempat kerjaku dan meningkatkan kemampuan komputer yang menjadi kelemahanku. Aku merasa siap untuk melakukan start yang maksimal.

Tapi...


Aku menyalakan lampu setelah sampai di apartemen.

Empat puluh meter persegi. Untuk ukuran anak dua puluhan yang tinggal sendiri, ini 1LDK yang cukup mewah.

Dibanding kamar sewaku masih kuliah, ruangan ini sedikit lebih luas dan benar-benar tidak kekurangan apa pun.

Kulempar begitu saja barang bawaanku ke sofa, melepas baju asal-asalan, lalu menghempaskan diri ke kasur. Lalu...

"Aaaaaaah!"

Aku berteriak dengan wajah terbenam di bantal.

Kata-kata senior di kantor terus berputar di kepalaku.


──Padahal aku berharap banyak padamu, Hasegawa.


Dengan kata lain, dia sudah tidak berharap lagi padaku.

Di perusahaan kami yang sangat ketat soal etika kerja, ini hampir termasuk ucapan yang keterlaluan.

Tapi justru karena itu.

Rasanya jauh lebih menyakitkan dibanding direndahkan secara langsung.

"Sial..."

Kulirik jam di samping bantal, waktu menunjukkan pukul 10:30 malam.

Kalau bermalas-malasan di sini, jam tidurku bisa mundur.

Besok aku harus bangun jam 8 pagi, jadi paling lambat aku harus tidur jam 1.

Kalau bisa bertahan sampai besok, akhir pekan sudah menanti. Hari ini saja yang perlu kulewati.

Aku bangkit perlahan dan langsung menuju kamar mandi.

Pikiran seperti ini, sudah berapa kali terulang akhir-akhir ini?

Bertahan sampai minggu ini selesai. Bertahan sampai bulan ini selesai. Bertahan sampai tahun ini selesai.

Apakah hidupku akan terus begini, semakin lama waktu bertahan yang kubutuhkan, sampai akhirnya menua?

Aku terus berpikir sambil mandi.

Bekerja berlebihan—tidak juga.

Mengingat waktu perjalanan yang hampir satu jam sekali jalan, lembur tiga jam hari ini tergolong wajar.

...Yah, mungkin agak kepanjangan.

Tapi perusahaanku bukan termasuk yang super sibuk.

Di luar sana pasti ada orang yang bekerja jauh, jauh lebih keras dari aku.

Aku mah apa...

Belakangan ini kalau sudah mulai berpikir seperti ini, waktu terasa berlalu begitu cepat.

Kembali ke kamar dengan handuk masih menggantung di kepala, aku mengecek ponsel.

"...Masih belum..."

Tanpa sadar aku menghela napas pelan.

Ada alasan mengapa perasaan murung ini terus berlanjut.

Di tahun pertamaku bekerja, motivasiku tinggi.

Kegagalan kecil kuubah jadi keberhasilan kecil, dan dari kepercayaan diri yang kecil itu lahir keberhasilan-keberhasilan kecil lainnya.

Para senior pasti melihatku berkembang dengan baik.

Kondisi hidupku mulai memburuk mungkin dalam setengah tahun terakhir ini.

Akhir-akhir ini, aku terus menunggu balasan.

Balasan dari pacarku selama tiga tahun—Shinohara Mayu.

Mayu lebih sibuk dariku.

Dengan namanya yang semakin dikenal publik, pesan darinya hanya datang dua hari sekali.

Terakhir bertemu saja sudah lebih dari sebulan yang lalu.

Tapi aku tidak bisa mendesaknya untuk membalas.

Dia tidak membalas karena memang tidak punya waktu luang. Dalam situasi seperti itu, aku tidak enak memaksanya menyisihkan waktu.

Karena ini hubungan pribadi, waktu pribadi harus diprioritaskan. Apalagi kalau alasannya pekerjaan.

Bohong kalau kubilang tidak kesepian.

Tapi ada perasaan yang lebih besar dari itu.

Mungkin karena kepribadianku, kalau dari awal hubungan kami seperti ini, aku tidak akan terlalu memikirkannya.

Karena ada kesenjangan besar antara masa-masa dia menelepon setiap hari dengan keadaan sekarang, rasanya jadi gelisah.

Tapi, aku bahkan tidak bisa menjelaskan lebih jauh soal perasaan gelisah ini.

"Capeknya..." 

Makan malam bisa besok pagi saja lah.

Aku sudah dapat kerja di perusahaan yang membanggakan orang tua, punya pacar yang super cantik pula.

Sekilas, mungkin aku terlihat seperti rumput yang paling hijau di antara orang-orang seusiaku.

Tapi...


◇◆


"Eh, masih muda kan harusnya kerjaannya masih santai, dong?"

"Ah enggak juga, itu pemikiran jadul. Justru tahun kedua itu masa-masa paling berat. Ya, kan?"

"Hahaha... mungkin begitu, ya."

Sehari berlalu, malam Jumat yang meriah.

Aku mengiyakan obrolan para senior sambil memegang gelas bir.

Sekarang di tahun kedua sebagai pekerja kantoran, aku jadi rutin sebulan sekali pergi ke izakaya yang dulu sewaktu kuliah hampir tidak pernah kukunjungi.

Bukan dengan teman-teman pribadi, tapi dengan para senior dari kantor.

Aku bersyukur.

Benar-benar bersyukur, tapi di sudut hatiku ada bagian yang berpikir "siapa yang kita ajak minum juga penting". Aku merasa bersalah dan menyedihkan karena berpikir begitu, padahal aku tahu mereka peduli padaku.

"Maaf, saya ke toilet sebentar."

Kalau acara minum kantor, frekuensi ke toilet jadi lebih sering. Akhir-akhir ini aku sadar itu karena aku kurang ingin berada di sana.

Dari tadi aku ingin mengecek ponsel terus. Kalau acara pribadi, aku tidak akan merasa begini.

...Benarkah?

"Oh, oke. Aku bayarin sekalian, ya."

"Ah... terima kasih banyak. Makanannya enak."

"Wah, ditraktir, nih. Yah, tidak apa-apa, deh."

"Ma-maaf, bukan maksud saya begitu. Nanti saya ganti."

"Bercanda, kok. Tidak usah."

Para senior berusia empat puluhan yang selalu baik padaku. Sepertinya waktu tahun pertama, hubungan kami lebih santai dan bisa mengobrol lebih akrab.

Mereka senior yang baik.

Tadi saja, mereka minta maaf soal ucapan kemarin yang hampir melanggar etika kerja. Padahal aku yang bikin kesalahan dan merepotkan, aku jadi tidak enak.

Tapi tetap saja hatiku tidak jadi ringan, yang membuktikan bahwa perasaan tertekan ini pasti ada penyebab lain.

Selesai dari toilet, aku mengecek ponsel sambil kembali ke tempat duduk.

Entah kenapa, aku merasa ada pesan dari orang dekat.

Belakangan ini firasatku sering meleset, tapi kali ini tepat.

[Halo, apa kabar?]

Mino Ayaka.

Oh iya, sudah sebulan lebih aku tidak kontak-kontakan dengan Ayaka.

Di tengah kesibukan yang bikin pusing, aku tidak bisa sesering dulu menghubunginya.

Tapi bibirku langsung tersenyum.

[Jelas baik, dong! Eh, hari ini bisa ngobrol sebentar enggak?]

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Meski malam Jumat yang meriah sekalipun, ini jam yang perlu diperhatikan lebih dari waktu masih kuliah.

Tapi balasan darinya langsung datang.

Dengan kecepatan yang menunjukkan dia pasti mengetik tanpa ragu.

[Bisa banget!]

Senyum kembali mengembang di wajahku.


—Aku ingin berada di sisimu.


Meski frekuensi kontak berkurang, Ayaka selalu ada di sampingku.

"Oh, ini toh?"

Senior yang sudah membayar bill tersenyum sambil mengangkat kelingkingnya.

"...Bukan, bukan begitu. Dia sahabat saya."

"Heee... kukira pacar, kan malam Jumat, nih. Tapi sahabat juga bagus, ya."

"Iya."

Sahabat. Setelah bekerja, frekuensi bertemu teman menurun drastis.

Di tahun pertama masih banyak acara kumpul-kumpul, tapi di tahun kedua jadi sangat terasa bedanya. Mungkin kalau sudah seumur senior, akan lebih parah lagi.

Tapi sahabat tidak begitu.

Para senior mengucapkan "Dadah" dan pergi berdua ke tempat kedua.

Aku membungkuk mengucapkan selamat jalan sambil memandangi punggung mereka, lalu pulang.

Udara kering membuat senyum yang kupaksakan mulai retak di sudut bibirku.


◇◆


"Kamu juga jadi kepikiran soal kerjaan, ya. Padahal tahun pertama semangat banget."

Di seberang layar, Mino Ayaka berkata begitu sambil menyisir rambutnya.

Video call setelah sekian lama.

Setelah mengobrol ringan sebentar, aku menceritakan keadaanku dengan jujur.

Ayaka yang mendengarkan selalu sambil melakukan sesuatu.

Entah makan, mencuci piring, atau merawat kuku.

Justru seperti itu lebih baik. Kalau dia terlalu serius mendengarkan cerita hatiku yang bahkan aku sendiri tidak terlalu paham, aku jadi tidak enak.

Di saat seperti ini, ada yang mendengarkan saja sudah cukup menghibur.

Pemikiran seperti ini, aku sendiri merasa agak melankolis.

Aku mengambil mug dan meminumnya.

Cokelat panas yang seharusnya hangat entah kenapa terasa dingin di tenggorokan.

"...Orang-orang di kantor benar-benar baik, ya. Yang berubah itu aku."

"..."

Di tengah hari-hari yang berlalu tanpa henti, aku semakin sering tidak bisa menemukan pemikiranku sendiri.

Tanpa sadar, aku bahkan berhenti memikirkan ke mana harus mengulurkan tangan untuk menemukan jawaban.

Rasanya pikiranku jadi lebih teratur hanya dengan berbicara dengan seseorang seperti ini.

Seperti kata Ayaka, aku memang bekerja dengan baik di tahun pertama. Sampai setengah tahun lalu, prestasiku termasuk yang terbaik di antara angkatanku.

Perasaan murungku ini, pasti—

"...Makasih, ya. Rasanya kepalaku jadi lebih jernih cuma dengan ngobrol begini."

"Syukur deh kalau gitu. Padahal aku enggak ngapa-ngapain, lho."

"Mana mungkin..."

Ayaka menopang siku di meja sambil mengalihkan topik.

"Hari ini telepon berdua saja tidak apa-apa, nih?"

"Ah, iya. Malah lebih baik begini, kan."

Sekitar setengah tahun setelah aku dan Mayu pacaran, kami membuat grup LINE bertiga dengan Ayaka.

Setelah kerja, kalau telepon biasanya jadi telepon grup, tapi bagi Ayaka mungkin ini situasi yang tidak dia inginkan.


—Lebih tenang kalau ngobrol terang-terangan daripada diam-diam, kan?


Aku ingat dia pernah bertanya begitu pada Mayu.

Menurutku itu cara Ayaka menunjukkan perhatiannya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Mayu sangat toleran soal hubunganku dengan Ayaka, tapi Ayaka sendiri tetap menjaga sikap.

Tapi belakangan ini, aku dan Mayu bahkan tidak punya waktu yang cocok untuk telepon.

Kalau dalam situasi seperti ini cuma ada riwayat telepon di grup, Mayu pasti akan merasa kecewa.

"Kemarin juga dia sedih karena tidak bisa angkat telepon. Lebih baik kurangi frekuensinya."

"Kalau kamu yang bilang begitu, ya mungkin memang benar, sih."

Ayaka menjawab begitu, lalu menghela napas dan melanjutkan.

"Kamu itu perhatian di tempat yang aneh, ya. Terlepas dari hasilnya, kurasa Mayu enggak akan terlalu mikir. Malah situasi begini yang bisa bikin dia cemburu."

"Itu... mungkin benar juga, sih."

Ayaka tersenyum sedikit lelah, lalu melepaskan tangan yang menopang pipinya.

Dia menarik tas yang ada di bawah meja dan mulai membereskan isinya dengan berisik.

"Yah... aku paham juga sih perasaan kamu yang jadi mati rasa. Soalnya Mayu belakangan ini jadi sangat toleran. Sampai minta aku mengurus kamu segala."

"Hah?"

Mendengar hal yang baru kuketahui ini, tanpa sadar aku bersuara kaget.

"Minta aku mengecek keadaan kamu yang tinggal sendiri lah, minta aku masakin kamu lah. Bukan cuma toleran, aku merasa seperti diperlakukan sebagai kakak perempuan."

Berbeda dengan kata-katanya, ekspresi Ayaka terlihat tidak keberatan.

Ayaka melanjutkan.

"Jadi, ada apa? Ada yang enggak mau kamu ceritakan ke dia, kan?"

"Eh?"

Pikiranku tertarik kembali.

Pertanyaan Ayaka langsung menohok isi hatiku.

"Seperti biasa, kamu menebak dengan tepat ya, serem."

Bahkan setelah dewasa masih begini, selama kami masih berteman sepertinya akan terus begini seumur hidup. Aku harus menyerah soal menyembunyikan sesuatu dari Ayaka.

Ayaka berhenti membereskan tasnya dan menghadap ke arahku.

Matanya yang terlihat melalui layar menuntut kejujuran.

"Soal kantor tadi juga, meski kamu benar-benar kepikiran, tapi kamu tahu kan ada masalah lain yang lebih mendasar? Makanya bisa lega cuma dengan telepon."

"Ugh..."

...Benar-benar tidak bisa membantah.

Perasaan yang kusembunyikan dari Mayu.

Perasaan yang tidak bisa kukatakan pada Mayu.

Ayaka mencoba menggali kejujuranku dengan sekop yang lembut.

"Ayo cerita. Kamu itu gampang banget dibaca."

Aku menyerah dan mengungkapkan perasaan menyedihkanku.

"...Dia jarang banget membalas pesanku."

"Sudah kuduga."

"Itu juga ketahuan!?"

Aku terkejut sampai menjauh dari layar.

Ayaka terkekeh melihat reaksiku.

"Ya ketahuan lah. Memang kamu pikir sudah berapa lama kita kenal?"

Saat kuhitung lagi, aku menyadari sesuatu.

Ternyata hubungan kami sudah hampir sepuluh tahun.

"...Sepuluh tahun, ya. Dulu kukira itu cuma urban legend."

"Yah, memang urban legend, sih. Mungkin kamu satu-satunya cowok yang masih ngobrol denganku selama sepuluh tahun. ...Banyak hal yang terjadi, ya."

Ayaka tersenyum tipis.


—Pemandangan kontes kecantikan berkelebat di benakku.


Kenangan yang mengesankan itu kadang masih muncul dalam mimpiku.

Enam wanita berjalan anggun di atas panggung yang disinari lampu sorot.

Orang yang kutelepon sekarang adalah pemenang grand prix saat itu.

"Kupikir tidak mungkin semua hal jadi kenangan yang indah. Tapi ternyata semuanya terasa diperlukan, kepala manusia itu aneh, ya."

"...Ya."

Aku tidak tahu seharusnya setuju dari sudut pandang mana, tapi itu sudah tidak penting lagi.

Tahun keempat kuliah, tahun pertama kerja.

Setelah melewati periode-periode itu, kami menemukan hubungan yang baru.

Sepertinya Ayaka juga tidak punya maksud tersembunyi dengan ucapannya barusan, dia meregangkan badan lalu kembali ke topik.

"Hei. Soal masalahmu sekarang, bukankah ada orang yang lebih tepat untuk diajak konsultasi daripada aku?"

"...Orang yang lebih tepat?"

Setelah menggali kejujuranku, ternyata dia tidak mau membahas isinya.

Berarti Ayaka membayangkan ada orang yang lebih cocok untuk diajak konsultasi daripada dirinya.

"Kalau memang cuma soal masalah kerja, aku masih bisa jadi teman curhat. Tapi kan aku tidak pernah pacaran denganmu."

Ayaka berkata santai, lalu mendekatkan telunjuk dan jempolnya sambil tersenyum, "Eh, kalau sebentar sih pernah, ya."

Mungkin dia mengacu pada masa-masa sebelum aku pacaran dengan Mayu.

Aku juga tersenyum menanggapinya.

Topik semacam ini belakangan mulai sering muncul lagi.

Mayu juga tahu soal kejadian itu, jadi ini sudah jadi hal yang terbuka di antara kami bertiga.

"Sekarang dia masih bangun, kan?"

"Hmm..."

Setelah memikirkan kata-kata Ayaka, aku langsung kepikiran seseorang.

Seperti kata Ayaka, kalau bicara dengan orang itu pasti akan menemukan sesuatu.

"Tapi kan sudah tengah malam begini—"

"Terus kenapa telepon aku?"

"Itu— yah, gimana, ya."

Ayaka menunggu jawabanku.

Menatap lurus ke arahku dengan mata besar yang tidak berubah sejak dulu.

Aku mengangguk kecil.

"...Karena kamu sahabatku. Makasih ya, selalu ada di sampingku."

"Ahaha, malu-maluin."

"Ya udah jangan bikin aku ngomong gitu!"

Di seberang layar, bahu Ayaka bergetar saat tertawa.

Entah sejak kapan ruangan terasa lebih terang.

Kehangatan yang menghalau udara dingin musim dingin mulai menyalakan api dalam tubuhku.

Semoga hubungan ini bisa terus berlanjut selamanya.

Sambil merasakan kebahagiaan bisa berpikir begitu bahkan setelah bekerja, aku menyesap cokelat panasku.

Manis dan hangat.


◇◆◇◆


—Aku bermimpi tentang masa lalu yang bahagia.


Musim panas tahun keempat kuliah.

Di tengah suara jangkrik yang nyaring dari balik jendela, kekasihku seperti biasa memasakkan sesuatu untukku.

Lauk-lauk yang tersaji di meja semuanya makanan kesukaanku.

Setelah selesai menata piring berdua, Shinohara Mayu tersenyum ceria.

"Senpai. Sekali lagi, selamat atas tawaran kerjanya."

"Oh, makasih."

"Perusahaan-perusahaan yang menawarkan semuanya yang aku kenal. Hebat ya, seperti yang diharapkan."

"Berkat dukunganmu."

Aku tidak menghindari usaha apa pun untuk mendapat pekerjaan.

Tempat di mana kita harus mempresentasikan nilai diri ternyata membutuhkan kekuatan mental yang lebih dari yang kubayangkan.

Terutama di bagian akhir, ini jadi pertarungan semangat, tapi aku bisa berjuang sampai puas berkat dukungan darinya.

"Sebelum musim panas berakhir, aku harus memutuskan mau kerja di mana. Baru sekarang benar-benar bingung, nih."

Sepertinya Mayu menganggap jawabanku sebagai kerendahan hati, dia mengepalkan tangan dengan semangat berkobar.

"Aku juga tidak mau kalah dari senpai!"

"Ini kan bukan pertandingan."

"Tapi tetap jadi inspirasi! Ada hal yang ingin kucoba tapi masih ragu, tapi melihat sosok senpai aku jadi mantap!"

"Oh... serius?"

Belakangan Mayu juga sedang bergejolak.

Saat sedang giat bekerja sebagai model salon, katanya dia didekati agensi hiburan.

Dan bukan sembarang agensi, tapi agensi terkenal yang kuat di bidang model dan artis, industri yang gemerlap.

Karena tawaran datang begitu dia mendapat gelar "Runner-up Kontes Kecantikan", Mayu bimbang dan bilang "Kalau termasuk gelarnya, rasanya bukan benar-benar aku yang direkrut, ya."

"Akhirnya mau menyerbu dunia hiburan, nih. Keren, aku dukung, deh."

"Beneran? Pasti aku bakal dapat banyak penggemar cowok lho, enggak cemburu?"

"Apaan, tuh."

Meski kemungkinannya sekecil lubang jarum, lucu juga lihat Mayu sudah bicara dengan asumsi akan sukses.

"Yah, kalau kamu terlibat adegan yang terlalu intim dengan cowok ganteng mungkin aku cemburu, sih."

"Kalau gitu enggak jadi, deh."

"Lho kenapa!?"

Aku terkejut, dan Mayu tertawa.

"Soalnya, soalnya, aku kan ingin jadi yang nomor satu buat senpai. Aku ingin jadi seperti yang senpai inginkan. Makanya aku enggak akan melakukan hal yang senpai tidak suka, bahkan kalau cuma ada kemungkinannya saja aku enggak mau."

...Betapa bahagianya punya pacar yang bicara seperti ini.

Kepolosan awal pacaran memang berangsur hilang, dan belakangan dia jadi bisa mengungkapkan rasa sayangnya tanpa malu. Tapi rasa bahagianya tidak berubah.

Setiap kali dia mengungkapkan rasa sayangnya, hatiku terus menggenggam erat kebahagiaan ini.

"Iya. Aku senang kamu bicara begitu, tapi..."

"Ehehe. Aku suka senpai."

"Makasih."

"Malunya, lucunya."

"Berisik ah."

Aku menggaruk-garuk kepala dengan kencang sambil berusaha mengembalikan topik pembicaraan.

Jelas untuk menutupi rasa malu.

"Aku senang, tapi ini kan jalanmu sendiri? Punya hal yang 'ingin dilakukan' itu biasanya malah bikin iri, lho. Aku enggak mau kamu menyerah gara-gara aku."

"Aku enggak menyerah semuanya kok, masih ada hal lain yang ingin kulakukan."

"Oh, baguslah kalau gitu."

Aku lega dan meminum es kopi susu yang ada di sebelahku. Minuman sebelum makan.

"Senpai sendiri enggak punya hal yang 'ingin dilakukan'?"

"...Hmm. Aku enggak punya hal yang jelas-jelas ingin kulakukan, sih."

Aku sadar ini tidak terlalu bagus, tapi dalam mencari kerja sepertinya tujuanku cuma mendapat tawaran kerja.

Tentu saja, setelah meneliti industrinya aku jadi tertarik, sama halnya dengan perusahaannya.

Tapi itu semua kebutuhan yang kupaksakan keluar dari diriku di bawah tekanan mencari kerja. Kalau dipikirkan sekarang setelah proses itu selesai, kalau ditanya apakah ini benar-benar yang ingin kulakukan, masih ada keraguan.

Kalau dari awal punya hal yang jelas ingin dilakukan, tidak akan jadi begini.

"Kalau gitu... kenapa senpai bisa berusaha keras mencari kerja?"

"Yah, ada banyak alasan, sih. Bukti seberapa keras usahaku waktu kuliah, mungkin bisa sedikit membahagiakan orang tua. Tentu saja aku juga cukup tertarik dengan pekerjaannya sendiri."

Sambil menjawab, aku merasa ini bukan hal yang ingin kuperdengarkan pada Mayu.

Aku menggaruk kepala dan tersenyum kecut.

"Maaf ya, jadinya begini. Aku sadar masih belum dewasa, jadi jangan jadikan referensi. Kalau mau dijadikan contoh yang tidak perlu ditiru sih boleh."

"Mana bisa begitu..."

"Justru karena itu, aku ingin Mayu melakukan pekerjaan yang kamu suka. Bisa menantang hidup untuk hal yang ingin dilakukan itu sendiri sudah hebat, lho."

Mayu sedikit menunduk.

Aku tahu dia mencari kata-kata untuk menghibur, jadi aku duluan yang bicara. Mengungkapkan isi hati dengan jelas, agar tidak ada kesalahpahaman.

"Lagipula, seperti Mayu dapat inspirasi dariku, aku juga dapat inspirasi dari Mayu. Aku sangat bahagia. Aku ingin lihat sosok Mayu yang melakukan pekerjaan yang disukai, dan aku juga—akan berusaha agar kamu bisa berpikir begitu tentang aku."

"Benarkah?"

Mayu mengerjapkan mata.

Sepertinya ekspresinya positif.

"Hubungan yang bisa saling memberi inspirasi memang indah, ya. Aku jadi ingin berusaha lebih keras, sepertinya bisa jadi motivasi untuk banyak hal."

Aku tidak tahu apa saja yang termasuk dalam "banyak hal" itu.

Tapi sepertinya Mayu yakin ini akan memberi pengaruh baik di berbagai sisi.

Saat aku berpikir begitu, dia bertanya lagi.

"Kalau begitu, apa yang jadi motivasi senpai dalam bekerja nanti, ya?"

"...Sudah jelas, kan."

Hal ini sudah pasti sejak aku menyatakan perasaan.

"Untuk membahagiakan Mayu. Untuk masa depan kita."

Bagaimana ya ekspresi dia—Shinohara Mayu saat itu?

Hanya satu halaman dari keseharian.

Sepenggal keseharian yang tidak bisa diingat meski berusaha mengingatnya.

Adegan seperti itu yang sangat mengubah hubungan kami setelahnya.

Aku terus berusaha mengingat ekspresi Shinohara Mayu.


◇◆◇◆


Stasiun utama di akhir pekan selalu ramai di siang hari.

Kalau hari kerja, tergantung jamnya bisa didominasi pelajar atau pekerja kantoran, tapi di akhir pekan semuanya bercampur.

Hampir semua orang mengenakan baju santai, tapi yang muda pun tetap bisa terasa aura pekerja kantorannya.

Saat aku memikirkan itu sambil memandang sekeliling, kulihat sosok yang kukenal mendekat.

Sosok yang bisa kulihat menembus keramaian itu masih beberapa puluh meter jauhnya.

Agak malu karena sudah lama tidak bertemu, aku menurunkan pandangan ke ponsel sejenak.

Setelah beberapa saat, suara ceria terdengar di telingaku.

"Maaf menunggu!"

Aku langsung mengangkat wajah.

Bisa kulihat diriku terpantul di matanya.

Seorang wanita dengan rambut tergerai melongok ke arahku.

"Reina. Kelihatannya sehat."

"Yuta-kun juga."

Aisaka Reina menyisir rambutnya sambil tersenyum.

"Kok beda banget. Jangan-jangan sudah jadi pekerja kantoran?"

"Ya iyalah, aku sangat pekerja kantoran banget, nih."

Reina terkikik mendengar jawabanku.

Kemarin di telepon, pertemuan ini sudah diputuskan sebelum aku menyampaikan maksudku.

Karena kupikir lebih mudah bicara langsung, aku belum berkonsultasi dengannya.

...Gawat, nih.

Aku sedikit menyesal tidak berkonsultasi dulu sebelumnya.

Terlalu berat untuk dibicarakan saat bertemu setelah sekian lama. Mungkin ini topik yang lebih mudah dibicarakan lewat telepon.

Aku menenangkan diri dan membuka mulut.

"Reina sehat-sehat saja?"

"Sehat, kok. Yuta-kun gimana?"

"Ah— lagi berjuang mati-matian."

"Gitu, ya..."

Reina tersenyum pahit sambil menggaruk pipinya pelan.

Lalu seolah teringat sesuatu, dia melihat sekeliling.

"Lho, dua orang lainnya mana?"

"Belum datang. Harusnya sebentar lagi, sih."

Hari ini makan bareng Reina.

Tentu saja, bukan cuma berdua.

Natsuki dan Todo juga akan bergabung hari ini.

Karena dengan mereka berdua juga sudah setahun tidak bertemu, aku jadi tidak sabar.

"Oh gitu. Asyik ya ketemu Natsuki dan yang lain."

"Iya. Reina juga udah lama enggak ketemu?"

"Aku lumayan sering ketemu, sih. Namanya juga teman seumur hidup."

"Heee..."

Aku terkejut dalam hati mendengar kata-kata yang keluar tanpa rasa malu itu.

Dulu—waktu kami pacaran, dia biasanya bicara tidak langsung soal hubungan dengan orang lain.

Apakah ikatan mereka sudah sekuat itu sampai bisa bicara terus terang? Atau...

"...Hubungan yang bagus, ya."

"Iya. Bisa dibilang seperti Yuta-kun dan Ayaka. Kalau Mayu-chan— beda ya, karena pacaran."

Lalu Reina menoleh dengan ekspresi damai.

"Gimana hubunganmu dengan Mayu-chan?"

Tepat saat dia bertanya dengan santai—

"Ah."

Aku spontan bersuara.

Kulihat dua orang yang kukenal berlari mendekat.

Rambut hitam pendek dan rambut cokelat bob.

Todo dan Natsuki.

Todo tersenyum seolah menantikan reuni ini, sementara Natsuki menampilkan ekspresi santainya seperti biasa.

"Kalian lama!"

Saat aku berteriak, Reina tertawa kecil di sampingku.

Todo yang baru bergabung merespon dengan "Hei hei" seolah tidak terima.

"Yuuta yang kepagian! Kita juga datang tepat waktu, kan?"

"Iya lho, kalau keretanya enggak telat kita sudah sampai lima menit yang lalu."

Natsuki juga membela diri dengan kompak.

Harusnya sampai tahun ketiga kuliah Todo dan Natsuki tidak terlalu akrab, tapi sejak klub basket "start" dan klub outdoor "Green" jadi dekat, mereka bertukar kontak.

Aku ingat kaget waktu Todo mengunggah foto Natsuki di Instagram.

Natsuki memandangku sambil menyeringai.

"Yuuta enggak berubah sama sekali, ya~"

Pendapat yang bertolak belakang dengan Reina, tapi mungkin soal penampilan.

Aku mengangkat bahu sedikit.

"Ya iyalah. Masa di umur segini berubah gitu aja."

"Orang dewasa cepet tua, lho?"

"Jangan gitu, dong!"

Aku spontan memegangi kepala saat dihadapkan dengan kenyataan yang tidak ingin kulihat.

Dua puluh empat tahun, tahun depan mulai pertarungan akhir dua puluhan.

Meski hari kerja terasa panjang, kalau diingat-ingat waktu berlalu begitu cepat. Dengan kecepatan ini, sepertinya tiga puluhan akan datang sebentar lagi.

Melihatku tertunduk lesu, Todo tersenyum jahil.

"Katanya kalau kerja berat bakal cepet tua, lho~"

"Aku tahu, jangan bikin tambah down, dong..."

"Terus, hari ini mau ke mana?"

"Kok topiknya gampang banget dialihkan? Ya udah deh, makasih ya kuganti topiknya."

Saat aku membalas dengan nada kesal, Todo tertawa keras.

Natsuki melirik sekilas ke arahnya sebelum bicara.

"Kalau gitu, aku sudah booking tempat. Sambil ngobrol santai saja kita jalan."

Setelah berkata begitu, Natsuki mulai berjalan di depan bersama Reina.

"Oh, makasih."

Aku berterima kasih dan secara alami berjalan berdampingan dengan Todo.

Meski tidak tahu tujuannya, kami berjalan mengikuti dua perempuan di depan.

Memandangi punggung mereka, bisa kulihat hubungan mereka masih akrab seperti waktu kuliah.

Tapi pakaian mereka jelas lebih dewasa, berbeda dengan suasana mahasiswa.

Saat bertemu teman seangkatan di hari libur, dari hal-hal seperti ini aku kembali sadar bahwa aku sudah jadi pekerja kantoran.

Meski belum mencapai apa-apa, sih.

Setelah beberapa saat, perasaan nostalgia itu memudar dan aku mulai mengobrol santai dengan Todo. Bicara dengan teman yang menghabiskan tahun keempat kuliah bersamaku ini selalu bisa mengembalikan suasana yang dulu.

Obrolan tentang komik, drama, anime. Semua hal yang jarang bisa dibicarakan dengan senior berumur empat puluhan, dan hanya dengan mengobrol santai begini aku bisa merasakan energiku kembali.

Saat topik beralih ke percintaan, aku melontarkan pertanyaan yang mengganjal pada Todo.

"Hei, mungkin ini cuma perasaanku, tapi kamu pacaran sama Natsuki?"

"Wah, jeli juga."

"Eh!?"

Saat aku spontan berhenti, Todo menyeringai.

"Bercanda. Enggak pacaran, kok."

"Kok enggak, sih!"

Todo terbahak-bahak sebelum kembali ke ekspresi serius.

Kami sudah cukup jauh tertinggal dari dua perempuan di depan, normalnya harusnya berlari kecil mengejar.

Tapi untuk topik ini, jarak segini justru pas.

"Tapi, aku memang tertarik, sih. ...Maaf kalau kedengarannya sombong, tapi orang yang serius sama pekerjaannya itu memang keren."

"Enggak sombong, kok. Aku paham perasaan itu."

"Yah, kamu pasti lebih paham, ya. Shinohara-san juga berusaha keras banget, dan hasilnya kelihatan jelas lagi."

"...Iya, ya."

Sambil kembali berjalan dengan Todo, aku memutar pemikiran.

Musim semi tahun keempat kuliah, saat tawaran kerja berdatangan.

Mayu mempelajari berbagai dokumen untuk mengembangkan dirinya.

Masih teringat jelas pemandangan saat dia berkata "Sepertinya aku memang cocok dengan industri ini" dengan mata berbinar.

Perubahan mendadak dari model salon ke dunia hiburan.

...Apa ya yang kupikirkan waktu itu diputuskan?

Apakah aku mencari celah untuk memberi saran di jalan yang terlihat sulit ini?

Tidak, mungkin aku cuma memikirkan bagaimana mendorong punggung Mayu yang yakin akan sukses.

Dan Mayu memang langsung sukses.

Aku paham perasaan yang Todo katakan, waktu itu aku juga jatuh cinta lagi padanya.

Tapi, sama besarnya dengan itu—

"Terus terang, aku khawatir ditinggal jauh."

Orang yang selama ini berjalan di sampingmu, pergi jauh ke depan.

Ingin mendorong dan mendukung punggungnya, tapi tangan yang terulur tanpa sadar mencoba menahan udara kosong.

Tapi.

"Hmm. Tapi kamu enggak menyerah untuk mengejarnya, kan?"

"...Ya iyalah. Masa aku sebagai pacarnya menyerah?"

"Bagus, dong. Cowok memang harus begitu."

"...Sudah pasti!"

Saat aku bicara dengan nada tegas, mataku bertemu dengan dua orang di depan.

Tanpa sadar jarak kami sudah cukup dekat untuk bisa mendengar suara.

Begitu sadar, Natsuki sudah menyeringai.

"Wah wah, sepertinya ada obrolan menarik, nih?"

Entah dari mana mereka mulai mendengar, Reina juga tersenyum.

Saat aku bingung harus menjawab apa, Reina mendekat.

Todo memanfaatkan kesempatan dan bertukar posisi dengan Reina.

Natsuki berkata "Kenapa harus kamu lagi, sih" tapi dari nada suaranya sepertinya tidak keberatan.

Todo memang hebat, sepertinya ada harapan.

"Yuta-kun."

"Hm?"

"Tadi kamu sok kuat ya sama Todo-kun?"

Kakiku yang hendak mengikuti pasangan Todo-Natsuki langsung berhenti.

Sambil memandangi punggung mereka yang menjauh, aku teringat.

Jawaban yang menyembunyikan perasaan sebenarnya pada teman laki-laki yang lama tidak bertemu.

Ternyata dia langsung tahu kalau aku bersikap sok kuat.

"...Iya, sok kuat. Atau lebih tepatnya, berpura-pura tegar mungkin."

"Sudah kuduga."

Reina terkekeh.

Merasa malu karena ketahuan, aku menggaruk-garuk belakang kepala.

"Yuta-kun tidak berubah ya soal yang begini."

"Malu juga kalau ketahuan begini..."

"Fufu."

Reina tersenyum geli sebelum mengusulkan.

"Mau ngobrol sebentar? Aku juga ingin tanya soal Mayu-chan. Lagipula tadi kamu belum jawab pertanyaanku."

"Ah... tapi kita udah sampai restorannya, nih."

Aku berhenti sejenak.

Tempat kami berhenti tepat di depan tujuan.

Todo dan Natsuki yang sudah masuk duluan memandang kami dari balik pintu kaca.

Sebelum aku memberi isyarat, Reina sudah berkata tanpa suara "Masuk duluan aja."

"...Makasih."

"Iya. Nanti harus dijelasin, ya."

"Dijelasin apa?"

"Apa lagi, kalau kita butuh waktu berdua untuk membicarakan Mayu-chan. Cuma itu, kok~"

...Mereka berdua tahu soal hubungan kami.

Memang sebaiknya disinggung sedikit soal itu.

Meski sepertinya mereka berdua tidak akan terlalu mempermasalahkan, sih.

"Iya, ya."

"Iya."

Reina tersenyum.

Aku terpantul di matanya yang menatap lurus.

"Kalau gitu, supaya aku bisa mendukungmu dengan tulus, aku mau tanya. Menurutmu, bagaimana hubungan kita waktu pacaran dulu?"

"Itu... gimana, ya."

Pertanyaan yang mendadak sulit dijawab.

Hubungan kami memang berakhir dengan banyak hal yang terjadi.

Tapi bukan itu yang ingin Reina gali. Waktu kami masih mesra. Waktu kami tidak meragukan bahwa akan bersama selamanya.

Saat kuingat kembali, aku kesal dengan kekanakanku sendiri dan ingin terus berterima kasih pada Reina.

"Aku sepihak menerima dukunganmu."

"...Tidak begitu."

Reina menggembungkan pipi, sedikit marah.

"Aku juga didukung, kok. Waktu capek kerja sambilan, telepon sama Yuta-kun. Kalau hidup sehari-hari jadi berwarna, kita jadi bergantung pada warna itu, kan."

"...Mungkin benar juga, sih. Yah, kalau dalam artian itu, mungkin seperti yang kamu bilang."

Waktu itu kami masih muda—masa kuliah belum cukup lama untuk bisa dibilang begitu.

Meski begitu, akhir dari hubungan kami ada di musim panas itu.

Bahaya kalau membahas lebih jauh.

"Iya. Tapi artinya, hubungan kita cuma sebatas itu, ya."

"Eh?"

"Mungkin kita bakal putus juga kalau hubungan kita tetap seperti itu."

Reina berkata tegas.

Pasti ada maksud untuk memutus masa lalu dalam kata-katanya.

"Yah, benar juga. Sekarang aku paham, tidak mengungkapkan dengan kata-kata itu cukup fatal."

"Itu juga benar, sih. Tapi meski hal itu membaik karena suatu alasan, tujuan akhir hubungan kita cuma jadi sosok yang saling mendukung."

"...Eh, emang kenapa?"

Bukankah pasangan yang saling mendukung itu justru jadi simbol hubungan yang berhasil?

Sepertinya pemikiran itu terbaca di wajahku, Reina tersenyum.

"Bukan berarti itu salah, lho? Tapi waktu itu kita tidak punya sesuatu yang bisa membuat kita saling menginspirasi."

Kami saling mendukung.

Kalau Reina bilang begitu, kalau dia mau mengatakan itu, mungkin memang benar.

Tapi memang benar, kalau soal inspirasi aku tidak bisa langsung mengingatnya.

Reina melepas bando yang sudah akrab di kepalanya dan menyelipkan rambut ke telinga.

"Daripada saling mendukung, saling menginspirasi lebih cocok dengan Yuta-kun yang sekarang."

"Be-benarkah? Aku enggak terlalu memperhatikan itu. Meski ingin saling menginspirasi, enggak sampai jadi prioritas, sih."

"Iya. Kalau kamu lebih mengutamakan saling mendukung, mungkin pacar Yuta-kun—"

Reina berhenti sejenak.

Setelah ragu sebentar.

"—Mungkin bukan Mayu-chan."

Dia melanjutkan kata-katanya.

Tidak terasa ada nuansa bahwa dia yang seharusnya menggantikan Mayu.

Mungkin pacaran dengan Ayaka.

Mungkin itu yang ingin Reina katakan.

Aku tidak punya bahan untuk langsung membantah pemikiran "bagaimana kalau" itu.

Kurasa saat menyatakan perasaan aku tidak memikirkan hal seperti itu, tapi memang benar alasan lain bisa muncul seiring berjalannya hubungan.

Aku merasa paham kenapa Ayaka menyerahkan tongkat estafet pada Reina.

"Sepertinya aku paham kenapa Yuta-kun tidak bisa menghubungi Mayu-chan dengan jujur. Bukan karena alasan seperti tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata sekarang."

Reina memasang kembali bandonya dan melanjutkan.

"Mungkin kamu khawatir apakah kamu bisa memberi inspirasi yang baik padanya. Karena merasa tidak bisa memberinya sekarang, jadi susah menghubungi."

Aku diam-diam mengepalkan tangan.

"...Ya. Mungkin begitu."

Aku mengingat hari-hari bersama Mayu.

Dulu, kami saling menginspirasi dan menjadikannya energi untuk sehari-hari.


—Aku tidak mau kalah dari senpai!

—Hubungan yang bisa saling menginspirasi itu indah, ya. Makanya aku bisa berusaha.


Mayu terinspirasi dari sosokku, memilih jalan yang sulit dan melangkah.

Pencapaiannya sekarang 100% hasil kerja keras Mayu. Itu sudah pasti, tapi bahkan aku yang seperti ini bisa memberi dorongan awal.

Kebahagiaan yang kecil namun besar itu membuatku lengah.

"Kalau sebelumnya Yuta-kun pernah menemukan kebahagiaan dalam hal itu, sekarang kamu justru takut menjadi penghalang. Tapi apakah Mayu-chan benar-benar menginginkan konflik batin itu?"

Mataku terbuka lebar.

"...Sepertinya tidak, ya."

Kalau Mayu tidak punya waktu luang untuk membalas, tidak enak memintanya menyisihkan waktu untuk kontak dariku. Karena ini hubungan pribadi, waktu pribadi harus diprioritaskan.

...Semua itu alur pemikiranku.

Dalam alur pemikiran yang berakhir begitu, sebenarnya berapa banyak perasaan Mayu yang terlibat?

"Iya, kan. Menurutku, terinspirasi dari Yuta-kun tidak sepenting itu bagi Mayu-chan yang sekarang. Meski harus dikonfirmasi langsung ke orangnya, sih."

Masa depan berdua. Kami memikirkannya bersama sampai sama-sama puas.

Di hari Mayu lulus kuliah, kami menghabiskan malam dengan membicarakannya.

Tapi belakangan ini aku—bahkan tidak pernah menanyakan perasaan pribadi Mayu.

Tanpa meragukan bahwa semua yang kami bicarakan malam itu adalah segalanya.

Padahal jawaban saat masih mahasiswa dan setelah bekerja mungkin berbeda.

Aku salah mengira kesimpulan yang kami dapat dulu akan abadi, dan seenaknya mengurung diri dalam cangkang.

...Kalau begitu, apa yang seharusnya jadi dasar pemikiranku sekarang?

"Coba ingat-ingat. Kenapa Yuta-kun memutuskan untuk pacaran dengan Mayu-chan? Kenapa memutuskan begitu? Padahal di sekitarmu—ada banyak orang."

Aku mengingat.

Dan dalam sepersekian detik jawabannya muncul.

Bukan menggapai udara kosong, tapi kata-kata yang selalu ada di laci pikiranku.

"Aku akan membahagiakan Mayu. Karena aku sudah memutuskan begitu."

"...Iya. Itu mungkin juga jadi jawaban untuk Mayu-chan. Kalau dihitung mundur dari kebahagiaan Mayu-chan, mungkin ada hal yang bisa diputuskan."

...Untuk membahagiakan.

Hanya itu yang tidak berubah, jawaban yang tetap.

Kalau untuk itu, sepertinya aku bisa melakukan apa saja.

"Kata-kata hari ini, aku tidak akan lupa. Makasih, ya."

Pasti tidak akan lupa.

Untuk membahagiakan Mayu.

"...Begitu, ya."

Reina tersenyum.

Lalu melangkah kecil.

Angin berhembus.

Belum ada setitik pun kehangatan musim semi.

Tapi sekarang, hati ini.


◇◆◇◆


Bel interkom berbunyi.

Kamis malam, pukul 11 malam.

Interkom tengah malam harusnya jadi hal yang paling dihindari untuk wanita yang tinggal sendiri.

Tapi karena hari ini aku memang berencana menerima tamu, aku langsung melihat gambar di kamera TV interkom.

Meski gambarnya kasar, langsung jelas siapa yang datang.

Meski besok kerja dan ingin tidur cepat, hari ini spesial.

Aku langsung menuju pintu depan dan membukanya.

Bersamaan dengan masuknya udara dingin, aku membuka mulut.

"Lama tidak bertemu."

"Serbuuu!"

Orang yang menyelinap masuk ke kamar adalah pacarnya dia.

Sekaligus, kohai yang penting bagiku.

"...Khas kamu ya, masih energik di jam segini."

Mendengar itu, Mayu berbalik dengan wajah senang.

Sejak kuliah memang berwajah manis, tapi belakangan kesan cantiknya lebih menonjol.

Entah karena sudah terbiasa dengan pekerjaan yang dilihat orang, atau karena punya pacar. Gayanya yang lebih dewasa dari masa kuliah benar-benar memukau.

Anting dan kalung brand terkenal yang dia pakai pasti harganya tidak terjangkau kebanyakan orang seusianya.

Khas Mayu, terlihat cocok tanpa kesan pamer.

"Eeh? Tentu saja aku energik! Ayaka-san juga kelihatan sehat!"

"Dasar..."

Meski sudah masuk dunia hiburan, sepertinya sifatnya tidak berubah.

Itu juga membuatku lega, sih.

"Dibanding seseorang sih aku memang lebih energik, ya."

"Eh? Aku energik, kok?"

Mayu memiringkan kepala bingung.

Aku tersenyum pahit melihatnya sambil menggantung mantel Mayu di rak.

Mayu bergegas ingin membantu, tapi aku menolak dengan lembut, "Tidak usah."

Mayu memang kelihatan energik seperti biasa, tapi aku sangat tahu jadwalnya yang padat.

Dari video call dengan Yuta minggu lalu, sepertinya aku lebih sering mengobrol dengan Mayu belakangan ini.

Karena itu aku penasaran.

"Kok tiba-tiba mau menginap di sini, ada apa?"

Mendadak menyerbu begini, pasti tanda hari liburnya baru diputuskan di saat-saat terakhir.

Kalau Mayu yang biasanya, rumah yang dia serbu bukan rumahku tapi rumah Yuta.

Seperti yang Yuta khawatirkan, mungkin hubungan mereka sedang tidak baik.

"Eeh... perlu alasan ya kalau mau menginap?"

"Kalau di rumahku sih perlu."

"Iya ya, perlu ya, maaf..."

Mayu tertunduk lemas.

Melihat reaksinya yang sangat jujur, aku jadi agak lega.

"Jadi?"

Saat kutanya, Mayu memainkan jarinya dengan gelisah.

"Ngg... janji enggak marah?"

"Tergantung. Kalau bukan karena selingkuh terus jadi canggung, sih."

"Te-tentu saja tidak mungkin begitu, aku tersinggung! Kalau sampai begitu, aku terima hukuman apa pun!"

Melihat reaksinya yang kesal, aku lega.

Langsung tahu dia tidak berbohong. Sebenarnya aku juga tidak benar-benar curiga, sih.

"Emmm, jadi begini. Belakangan ini waktu dengan senpai tidak cocok sama sekali. Aku ingin konsultasi soal itu."

Sudah kuduga.

Aku menghela napas dalam hati.

Sudah tiga tahun Yuta dan Mayu pacaran. Dua orang yang hampir tidak pernah berselisih waktu kuliah ini jadi tidak bisa begitu lagi setelah jadi pekerja kantoran.

Itu terasa waktu Yuta menelepon beberapa hari lalu.

Karena sudah kuserahkan ke Reina, Yuta mungkin tidak apa-apa, tapi Mayu tidak bisa begitu, ya.

Aku menuntun Mayu ke sofa dan duduk bersebelahan.

Meski bukan sofa mahal, Mayu duduk dengan sangat hati-hati. Tapi karena ini furnitur kesayanganku, aku senang melihat Mayu santai dan bilang "empuk, ya."

Menahan keinginan untuk mengobrol santai soal sofa, aku memintanya melanjutkan.

"Terus?"

"Ah, iya. Jadi begini, harusnya aku terjun ke dunia ini untuk bahagia, tapi keadaannya jadi tidak seperti yang kami bayangkan dengan senpai. Makanya sekarang, rasanya lebih berat dari yang kukira."

"Hmm. Jadi mau berhenti kerja?"

Sengaja bertanya dengan nada ketus.

Mayu membuka mulut dengan sedikit murung.

"...Tidak semudah itu. Aku juga suka pekerjaan ini. Justru karena ini dunia di mana banyak orang bisa menggantikanku, aku jadi suka... makanya aku jadi dilema."

...Dilema, ya.

Belakangan semakin banyak orang seusia yang bingung menimbang antara pekerjaan dan kekasih.

Aku kenal orang yang setelah berpikir keras, memutuskan untuk mendahulukan pekerjaan dan putus.

Sepertinya semakin aktif seseorang dalam pekerjaannya, semakin besar kemungkinan itu terjadi. Karena tahun kedua bekerja, sekarang adalah masa yang paling penting. Tapi pasti, masa penting itu akan terus berlanjut.

"Tidak bisa menjaga keduanya?"

"...Kamu bertanya padaku soal itu, ya."

Kalau sifatku lebih buruk dari yang Mayu kira, pasti situasinya jadi rumit.

"...Jujur, aku tidak paham soal duniamu. Tapi, ini aku paham."

Aku berbalik menghadap Mayu.

Menatap matanya lurus sampai dia terkejut.

"Bisa menjaga keduanya. Tapi, terus terang, tidak mungkin selalu membagi waktu lima puluh-lima puluh secara bersamaan."

"Begitu... ya."

Mayu menjawab dengan nada sedikit kecewa.

Jawaban biasa yang biasa saja menolak keadaan sekarang.

Tapi untuk masa depan Mayu, ini pasti akan bekerja dengan baik.

"Kalau sedang ingin fokus, kurangi frekuensi kontak, kalau sedang agak luang, sering kontak. Semua orang membagi waktu seperti itu. Kamu gimana? Tidak membagi waktu dan setiap hari penuh dengan kerja, jadi tidak bisa perhatian begitu, kan?"

Menuduh langsung.

Aku sadar ini cara bicara yang tidak enak, tapi untuk Mayu cara langsung begini lebih mudah dipahami tanpa salah pengertian.

"...Itu, bukan soal perhatian, sih. Kalau balas pesan kan mungkin ngobrolnya berlanjut. Hari-hari di mana cuma bisa kontak di tengah malam yang bisa mempengaruhi senpai besoknya terus berlanjut, jadi aku tidak bisa seenaknya menghubungi."

Seperti sadar ada yang aneh saat mengatakannya, Mayu mengatupkan bibir rapat dan menunduk. Meski tidak perlu kontak intensif, pasti ada waktu senggang untuk main ponsel.

"Sudah selesai alasannya?"

"Iya. Sudah selesai..."

Melihat jawaban jujurnya, aku tersenyum pahit.

Mayu jadi lesu begitu, sepertinya dia masih sangat terpengaruh oleh Yuta.

Menyebalkan karena orangnya sama sekali tidak sadar.

Aku melanjutkan dengan nada sedikit lebih lembut.

"Intinya kamu khawatir, kan? Apakah dengan dirimu yang sekarang, bisa mempertahankan dia."

"...Iya. Sepertinya balasan dari senpai makin lama makin formal, itu membuatku khawatir."

Mayu meletakkan kedua tangan di lutut.

Tangannya terkepal erat, sepertinya sedikit bergetar.

Lalu, seolah mengeluarkan semua yang tertahan di hati, dia berkata pelan-pelan.

"Kalau balasan berikutnya jadi lebih formal lagi... atau yang terburuk kalau tidak ada balasan... Kalau berpikir begitu, rasanya lebih bahagia menyimpan balasan dari senpai."

"...Kenapa?"

"Selama aku tidak membalas, senpai masih seperti yang kubayangkan."

Kemungkinan dia berubah jadi orang yang tidak kukenal di tempat yang tidak kuketahui.

Menunda-nunda karena tidak tahu jawaban lebih membahagiakan.

...Oh, begitu.

Ini masalah yang dihadapi Mayu.

Kegelisahan hati yang tidak bisa Mayu selesaikan sendiri. Jalan yang hampir semua orang yang pernah jatuh cinta lewati.

Karena itulah.

Aku membuang kata-kata penyemangat yang tadinya ingin kukatakan, dan bicara terus terang.

"Aku tidak ingat kalah dari orang yang mencari kebahagiaan sementara seperti itu."

Mayu mengangkat wajah kaget.

"Dia memilihmu dengan tekad bulat. Balaslah tekad itu."

Mayu mengerjapkan mata.

Gawat kalau dia pikir aku masih punya perasaan gara-gara kata-kata barusan.

Tapi saat ini, aku tidak bisa memikirkan cara lain untuk menyampaikannya.

Kalau aku, tidak akan ragu karena alasan seperti Mayu.

Begitu berpikir begitu, rasa kesal yang sudah lama tidak kurasakan muncul.

Aku jadi emosional.

Kalau perasaan ini tercampur dengan rasa peduliku pada Mayu, kata-kataku akan jadi kebohongan yang egois.

Aku menyesal dan menghela napas.

"...Emmm, Mayu. Yang tadi ada keinginan pribadiku juga, jadi jangan percaya seratus persen, ya."

"...Aku percaya Ayaka-san."

"Justru itu terlalu percaya. Mayu baru pertama kali pacaran dengan orang yang benar-benar disukai, makanya mudah terpengaruh saran yang terdengar objektif."

Tapi, kalau tidak menemukan jawaban sendiri tidak akan ada masa depan.

"Hmm... susah, ya."

"Iya. Aku juga banyak tidak tahunya. Kuingatkan, aku pasti lebih tidak berpengalaman darimu soal itu, lho?"

"Tapi tapi, kata-kata Ayaka-san terlalu mengena di hati."

"Makasih, deh. Tapi jangan terlalu diambil hati."

Aku bangkit dari sofa dan menuju dapur.

Menuang teh dan meletakkan dua cangkir di meja rendah.

Aroma manis menguar di ruangan, dan Mayu mulai gelisah.

Aku spontan tersenyum.

"Ngapain ditahan. Boleh diminum, kok."

"Ah, terima kasih!"

Mayu memegang cangkir teh dengan kedua tangan dan meminumnya dengan senyum bahagia.

"Suka banget, ya."

Melihatnya minum dengan bersuara, aku hampir tertawa.

Seperti menyimpan dulu emosinya tadi, Mayu benar-benar meminumnya dengan nikmat.

Sambil memandanginya, sebuah pertanyaan melintas di benakku.

Apakah aku juga akan menemukan orang yang kusukai sampai membuatku gelisah seperti Mayu?

Sekarang aku sama sekali tidak tahu.

Mungkin.

Sebelum pemikiran itu terbentuk, aku bicara pada Mayu.

"Hei, aku mau tanya satu hal."

"Ya. Apa?"

"Kalau kamu tidak menjaga dia baik-baik, aku akan merebutnya."

"Eh... EH!?"

"Kalau kubilang begitu, kamu akan bagaimana?"

"Kaget! Hampir menyemburkan teh! Kaget!"

"Itu memang salahku sih, tapi kamu tetap harus bantu bersih-bersih, ya."

Mayu tertawa ramah mendengar jawabanku, lalu sepertinya ingat pertanyaanku.

Dengan wajah sedikit serius dia menjawab.

"...Meski lawannya Ayaka-san, aku akan bertarung."

Mayu menjawab dengan suara yang tegas.

"...Ya, kan. Kalau punya tekad sebesar itu, dia tidak akan direbut siapa pun."

"Eh?"

Pada Mayu yang bingung, aku berkata sambil memegang cangkir teh.

"Mungkin kamu lupa, tapi dia laki-laki yang tidak tergoda olehku, lho?"

Wajah Mayu terkejut, lalu perlahan menjadi cerah.

Meski menurutku jawabanku terlalu percaya diri, sepertinya mengena untuk Mayu.

Benar-benar kouhai yang merepotkan.

...Sahabat yang merepotkan.

"Terima kasih! Rasanya jadi tidak terkalahkan!"

Aku tertawa tanpa sadar.

"Kamu ini memang kouhai yang opportunis, ya."

"Ehehe, terima kasih."

"Aku tidak memuji, lho!"

Saat kugelitik pinggangnya, Mayu jatuh terguling dari sofa.

...Ya.

Mungkin sahabatku bukan cuma dia lagi.

Di kamar yang cukup luas untuk tinggal sendiri, aku terus menggelitiknya.

Setelah tertawa berguling-guling, Mayu masih berkedut untuk beberapa saat.

Menahan tawa melihat pemandangan itu, aku berkata dengan nada sedikit serius.

"Yang tadi cuma pemisalan, tapi ingat-ingat, ya."

"Ti...tidak akan lupa. Aku akan berusaha supaya Ayaka-san dalam kepalaku tidak marah."

Aku mengerjap mendengar jawabannya.

Perasaan yang kusimpan dalam hati hampir terbentuk.

Tujuan akhir versi diriku.

Tapi, ini perasaan yang ingin kuhadapi sendiri.

"Kalau begitu... setelah istirahat sebentar, pergi ke rumahnya hari ini, ya. Dia pasti senang."

Saat mengatakannya, wajahku pasti cerah.

Kubuka kulkas, pas ada dua kaleng minuman keras.

Sudah kuputuskan apa yang akan kulakukan.


◇◆◇◆


"Serbu part 2!"

"Uwaaa!?"

Badai yang mengalir masuk ke kamar.

Angin topan di rumahku ini, begitu muncul langsung menerjangku.

Rambut cokelat yang familiar, penampilan yang familiar.

Tapi bertemu setelah sekian lama, gelombang informasi membanjiri otakku.

Shinohara Mayu.

Mengenakan pakaian yang mencolok, aksesori yang mewah. Riasan yang memanfaatkan kecantikan alaminya justru menonjolkan parasnya yang rupawan.

Wanita dewasa yang lebih memukau dari masa kuliahnya.

Tapi, gap dengan sifat kekanakannya saat di belakang layar benar-benar luar biasa.

"Bukan itu! Kenapa tiba-tiba datang!?"

"Eeeeh!? Ayaka-san, ini beda banget sama yang dibilang!"

Mayu berteriak kaget.

Ternyata dia dari rumah Ayaka. Aku belum paham detailnya, tapi sepertinya aku berhutang budi lagi. Tidak, pasti berhutang budi.

Aku berusaha membawa Mayu yang memelukku erat ke ruang tamu, dan akhirnya berhasil melepaskannya.

Aroma manis menjauh. Parfum kesukaannya.

Hidungku seperti bergetar karena senang bertemu lagi.

"...Senpai."

Saat aku memandangnya, mata Mayu menatapku lekat seolah tidak ingin melepaskan sosokku.

"...Sudah lama ya tidak bertemu."

"...Tidak apa-apa kok, wajar saja. Kamu sibuk, kan."

Aku juga mungkin sibuk.

Tapi karena aku paham Mayu jauh lebih sibuk, aku tidak bisa protes sama sekali.

Namun, mata Mayu berkaca-kaca dengan sedih.

"Ke-kenapa?"

Saat kutanya, Mayu mengatupkan bibir seolah ragu.

Beberapa detik setelah itu, Mayu tidak mengeluarkan kata-kata apa pun.

Aku tidak tahan dan bertanya duluan.

"Kerjaan enggak apa-apa?"

"Ma-maaf, tidak apa-apa, kok. Aku enggak sebodoh itu sampai kabur di tengah kerja."

Mayu tersenyum kecut lalu menggaruk pipi.

Lalu.

"Sebenarnya aku ingin bertemu sampai rasanya mau kabur."

"Itu— aku senang sih, tapi."

Aku juga menggaruk pipiku.

...Ada apa ini.

Mayu yang jujur ada di sana, membuatku merasa bodoh karena sudah sungkan selama ini.

Dan entah kenapa aku jadi sedikit gugup.

Meski sudah pacaran tiga tahun, wajar saja gugup karena belakangan bahkan jarang bertemu langsung.

Oh iya, waktu bertemu sebulan lalu juga cuma tiga jam. Kapan terakhir kali kami menghabiskan seharian bersama—pantas saja gugup kalau dipikir begitu.

Aku bertanya lagi dengan suara sedikit tinggi.

"Mulai hari ini libur?"

Jadwal Mayu agak berbeda dari pekerja kantoran biasa.

Hari libur bisa tiba-tiba ditentukan, bisa tiba-tiba dibatalkan.

Perjalanan yang susah payah kami sesuaikan jadwalnya bisa dibatalkan, atau penggantinya diperpendek.

Tapi setelah bekerja, aku bisa paham hal seperti itu tidak bisa dihindari.

"Iya. Liburnya sampai besok, dan besok benar-benar kosong seharian."

Begitu mendengar jawabannya, perasaanku langsung meluap.

Karena tanpa sadar aku sudah memikirkan tempat yang ingin dikunjungi dan hal yang ingin dilakukan kalau punya satu hari.

"Oh gitu. Kalau begitu besok ke mana—"

—Ada yang lebih kuprioritaskan.

Teringat itu, aku menutup mulut perlahan.

Sekarang, aku ingin memastikan perasaan Mayu.

"Ah, tidak jadi, deh."

"Heh?"

Mayu membelalakkan mata seperti panik.

"Senpai, jangan-jangan marah?"

"Eh? Enggak, cuma—"

Sepertinya dia mengartikan lanjutan dari "cuma" ke arah yang sangat negatif.

Setelah membuka tutup mulutnya, Mayu mulai mengeluarkan kata-kata beruntun.

"Mau bilang apa!? Jangan-jangan, yang lebih buruk lagi!? Maaf, bukan begitu, aku benar-benar tidak bermaksud begitu!"

"Hei tunggu, kamu salah paham! Aku cuma ada yang ingin dibicarakan!"

Saat aku buru-buru menjelaskan, entah kenapa kesalahpahamannya malah bertambah dalam.

Kali ini wajah Mayu dipenuhi kesedihan.

"Uuu... Senpai, tunggu dulu tunggu dulu, mungkin ada seratus hal buruk tentangku tapi aku masih muda jadi masih bisa diperbaiki, atau lebih tepatnya kalau senpai yang minta aku ingin mengabulkan permintaan apa pun, bahkan kalau permintaannya agak berat juga aku sangat bersedia...!"

"Aku senang tapi stop dulu!"

Melihat Mayu yang masih tidak tenang, aku mengangkat kedua tangan.

"Kalau begitu permintaan part 1. Ini bukan hal negatif, jadi tolong dengarkan dengan tenang apa yang akan kukatakan."

"Katakan sekarang juga."

"Ekstrem banget!?"

Meski aku menyela, Mayu hanya gemetar dengan mata berkaca-kaca.

Sepertinya dia hanya menuruti permintaan pacarnya, bukan karena kesalahpahamannya sudah hilang.

"Hei Mayu, kamu pasti salah paham. Apa 'bukan hal negatif' tidak cukup meyakinkan?"

Saat kutanya begitu, Mayu seperti sudah tidak tahan dan menggerak-gerakkan kedua tangannya.

"Bisa saja itu cuma bukan hal negatif buat senpai! Biasanya waktu putus juga salah satu pihak begitu kan, aku enggak tahu sih tapi!"

"Sudah kubilang bukan, ini demi kita berdua—"

"Tuh kan, alasan demi kebaikan bersama, perbedaan arah perbedaan nilai! Meski aku sudah masuk setengah ke dunia itu, mau menyesuaikan di sana terlalu naif, lebih naif dari kue Natal Ise-tan!"

"Dengarkan dulu."

"Buweee."

Saat aku menahan pipinya dengan kedua tangan, suara sangat rendah keluar dari mulutnya.

Melihat suara yang tidak cocok dengan wajahnya, aku spontan tertawa.

Sepertinya tawa itu akhirnya membuat Mayu tenang, setelah jadi lebih kalem dia bertanya bingung "Afa yang fau fifatafan?"

Aku melepaskan tanganku dan mengangkat bahu.

"Waktunya menentukan arah bersama lagi chiki chiki!"

"Kenapa jadi kayak variety show!? Aku serius, lho!?"

"Soalnya kamu langsung pasang muka sedih!"

Siapa yang bisa menyalahkan pacar yang berusaha mencairkan suasana demi pacarnya.

Mayu mengerucutkan bibir dengan ekspresi sedikit cemberut.

"Habis... senpai mau bilang yang aneh-aneh."

"Aku suka kamu."

"Heh?"

Mayu mengerjapkan mata.

Suara detik jam terdengar di telinga.

Setelah terdiam sejenak, Mayu berkata pelan.

"...Bisa diulang?"

"Sudah kubilang... aku suka kamu. Sudah pasti, kan."

Sepertinya kesalahpahaman Mayu akhirnya hilang.

Begitu kata-kataku sampai, dia langsung memelukku dengan penuh semangat.

Pacar ini benar-benar terlalu jujur dengan reaksinya.

"Ehehe, senpai senpai."

"...Kenapa, lucunya."

"Fufufu. Senpai..."

Mayu menggesek-gesekkan wajahnya.

Saat kubelai kepalanya, dia mengeluarkan suara puas "fufufu."

Perasaan bahagia membanjiriku.

...Sensasi ini.

Sensasi yang sudah lama tidak kurasakan.

Tanpa sadar, menikmati perasaan bahagia ini jadi motivasi kerjaku.

Itu mungkin juga tidak salah.

Tapi kalau cuma itu, tidak bagus.

Aku paham.

Karena waktu kuliah kami tidak pernah bertengkar hebat, kupikir aku sudah paham.

Meski ada perselisihan kecil, setengah hari kemudian kembali seperti semula.

Aku tidak meragukan keseharian ini akan berlanjut.

Tapi meski begitu, perbedaan lingkungan jadi halangan yang lebih tinggi dari yang kubayangkan.

Meski perasaan tidak berselisih, waktu luang yang bisa dihabiskan bersama berselisih tanpa ampun.

Saat aku luang, dia sibuk.

Itu masalah sederhana, tapi justru karena itu dampaknya sangat besar.

Kalau salah satu menyesuaikan dengan yang lain, kehidupan salah satunya bisa terganggu.

Kalau situasi seperti itu terus berlanjut, aku jadi memikirkan kemungkinan keberadaanku sendiri menjadi pengaruh buruk baginya.

Mayu pasti bilang aku penting baginya, dan aku juga bisa memastikan hal yang sama.

Tapi kalau hanya melihat kejadian di depan mata, itu bisa terlihat seperti pemandangan di mana dia menganggapku beban.

Kami pasti sudah berada dalam situasi seperti itu.

"Mayu."

"Ya."

"Waktu bertemu jadi berkurang, kamu tidak apa-apa?"

Mayu menggeleng keras.

...Itulah jawabannya.

Mayu juga khawatir, makanya dia bisa bermanja seperti ini sebagai reaksi.


—Kalau kesibukan ini selesai, waktu yang bisa dihabiskan bersama akan bertambah.


Dulu aku berpikir begitu.

Sambil terus berkata "nanti, nanti" pada diriku sendiri, Mayu terus mendapat hasil di pekerjaannya.

Seiring itu dia jadi sulit bergerak—dan aku yang menjadikan Mayu sebagai motivasi kerja, mulai kehilangan arah kenapa aku bekerja seiring berkurangnya frekuensi bertemu.

Tapi waktu tidak menunggu, dan bersamaan dengan turunnya motivasi, kesalahan kerja juga bertambah. Padahal aku tidak pernah melalaikan pekerjaan.

Bahkan solusi untuk mengatasi situasi seperti itu, aku menolaknya sendiri.


Aku menolak.


Karena cinta yang bisa diselesaikan hanya dengan mengungkapkan perasaan sudah berakhir.


Aku menolak.


Karena kupikir cinta orang yang sudah bekerja ada selangkah lebih maju dari cinta anak kuliah.

Tidak butuh waktu lama sampai aku sendiri jadi sulit bergerak dengan alasan waktu.


Tapi—


Wajah Ayaka. Wajah Reina muncul di benakku.

Mereka berdua mengembalikanku ke titik awal.

Sekarang aku mengerti.

Aku hanya perlu menyampaikan lagi.

Tanpa berpikir rumit, hanya perlu mengatakannya lagi.

Untuk mengambil pilihan yang ada di depan, aku harus menyampaikan perasaanku.

Sekarang aku tidak ragu sedikit pun.

"Mayu."

"Ya."

"Aku ingin lebih banyak bersama Mayu."

Hanya kata-kata itu.

Kata-kata yang dulu sering kuucapkan.

Tapi belakangan ini aku tidak bisa mengatakannya.

"Apa yang bisa membuat Mayu yang sekarang bahagia?"

Meski sudah ada kesimpulan, manusia berubah.

Seiring waktu, kadang bentuk kebahagiaan pun berubah.

Tapi kalau demi kita berdua, kita bisa memastikannya berkali-kali.

Kita bisa saling memastikan bentuk kebahagiaan.

Karena kata-kata ada untuk membahagiakan manusia.

Mayu perlahan mengangkat wajahnya.

Matanya terlihat penuh tekad.

"Kalau bisa bersama senpai. Itu kebahagiaan terbesar bagiku."

"...Begitu, ya."

Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah jawaban yang paling membahagiakan.

Kalau sudah mendengar jawaban itu, mungkin tinggal bicara saja.

Tentang pilihan yang bisa diambil karena sudah bekerja.

Saat aku membulatkan tekad, Mayu membuka mulut duluan.

"Senpai."

"Hm?"

"Aku mungkin akan berhenti kerja."

"...Kenapa?"

Mayu menjauh dariku dan melingkarkan tangan ke punggungnya.

Lalu dia memandangku lagi dengan senyum lembut.

"Ingat? Waktu menyatakan perasaan juga, senpai bilang ingin membahagiakanku."

"Tentu saja."

Kata-kata yang tidak kulupa. Kata-kata yang tidak mungkin kulupa.

Kata-kata yang selalu kusimpan di laci hatiku.

Dan.

"Aku juga ingin membahagiakan senpai."

Aku mengerjapkan mata.

...Sudah pacaran tiga tahun.

Kalau sudah pacaran selama ini, Mayu pasti sudah beberapa kali mengucapkan kata-kata itu.

Tapi arti dia mengatakannya di sini sekarang.

Mungkin merasakan sedikit kekhawatiran dari diamku, Mayu bertanya.

"Perasaan senpai waktu itu tidak berubah, kan?"

"Tentu saja."

"...Ehehe. Aku suka senpai yang langsung jawab."

Mayu tersenyum. Lalu setelah ragu sebentar, dia berkata pelan-pelan.

"Aku tidak tahu... apa yang senpai inginkan. Karena setiap kali aku menantang sesuatu, senpai selalu terlihat sangat senang. Aku sendiri juga sangat suka melihat wajah itu."

...Tidak ada pacar yang cemberut melihat pacarnya sukses.

Aku tulus senang melihat kesuksesan Mayu.

Itu jadi inspirasi, memicu diriku untuk lebih berusaha.

Begitu pikirku.

Tapi saat menghadapi kenyataan bahwa semakin sukses, waktu bersama semakin sedikit, aku mulai berpikir bahwa yang bisa terus tulus mendukung hanya hubungan pertemanan biasa.

Bagi kami yang memikirkan masa depan, tenggelam dalam pekerjaan tidak selalu baik.

Pacaran tiga tahun, tahun kedua kerja.

Angka yang cukup realistis untuk memikirkan masa depan.

Semakin tenggelam dalam pekerjaan, semakin tertunda waktu memilih. Aku tidak punya kapasitas untuk menerima itu.

Memalukan sebagai laki-laki.

Mungkin ada yang akan menertawakan betapa melankolis.

Tapi, justru karena aku yang melankolis ini—aku bisa meraih masa depan yang bisa membahagiakannya.

"...Melihat senpai senang adalah syarat mutlak untuk kebahagiaanku. Makanya, aku menekan keinginan untuk lebih banyak bersama senpai dan fokus kerja."

Mayu pasti juga memikirkan pilihan yang sama.

Dengan suara ceria.

Mayu mengarahkan mata violetnya padaku.

"Tapi, fufu. Kalau senpai juga punya perasaan yang sama, tidak perlu menahan diri lagi, ya. Senpai, aku—"

"Tinggal bersama?"

Mata Mayu bersinar.

Hanya itu yang ada.

Pilihan yang bisa diambil karena sudah saling memastikan perasaan.

Cinta yang selangkah lebih maju dari masa kuliah.

Pilihan yang harus kami ambil karena sudah jadi seperti sekarang.

Hari libur tidak cocok, waktu pulang tidak cocok. Tapi tetap bisa memastikan keberadaan satu sama lain, dan tidak perlu sungkan untuk kontak.

Dan yang terpenting, bisa bersama.

Juga jadi perkembangan besar untuk bisa terus bersama.

"Senpai... mungkin ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku."

Mayu berkata begitu sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Yang paling bahagia? Waktu aku menyatakan perasaan?"

"Kalau gitu seri!!"

Setelah berkata begitu, Mayu melompat ke dadaku lagi.

Kali ini dia menyerahkan seluruh tubuhnya, dan kami berputar di tempat.

Aroma manis menggelitik hidungku.


Tinggal bersama.

Tinggal bersama, ya.


Meski kata-kata yang kuucapkan sendiri, begitu dipikirkan masih belum terasa nyata.

Waktu kuliah, Mayu sering datang ke rumah beberapa kali seminggu. Periode yang hampir seperti tinggal bersama itu juga tidak sebentar, dan hal yang dilakukan saat tinggal bersama nanti pasti tidak jauh berbeda dengan waktu itu.

Tapi tinggal bersama terdengar istimewa pasti karena kami menganggapnya sebagai tahap sebelum menikah.

Kalau menikah, mungkin aku akan jadi ayah.

Dan dia yang ada di pelukanku akan jadi ibu.

Masa depan seperti itu mulai tergambar jelas di kepalaku.

Setelah berhenti berputar, aku bergumam pelan.

"...Harus menyapa orang tua juga, ya."

Mayu langsung mengangkat wajah.

Apa terlalu cepat?

Aku khawatir begitu, tapi melihat ekspresinya sepertinya kekhawatiran yang tidak perlu. Justru.

"Aku juga ingin menyapa bulan depan. Aku juga berkhayal tentang perkembangan sambil memikirkan masalahku!"

"Eh, bulan depan? Apa perlu menyapa orang tua laki-laki secepat itu, baru beberapa detik lalu kita bicara soal tinggal bersama, lho."

"Sangat perlu, anak laki-laki juga tetap anak yang penting, kan! Aku harus menunjukkan kalau aku bisa diandalkan...!"

Mayu mengepalkan tangan dengan berapi-api.

Mungkin ini salah satu kebaikan Mayu, bisa cepat beralih ke hal baru.

"Aku juga belum pernah ketemu ibu Mayu, harus segera memikirkan mau ngomong apa, nih."

"Ehehe, tinggal bersama... tinggal bersama ya, tinggal bersama..."

Mengabaikan jawabanku, Mayu berkata dengan suara mabuk kepayang lalu menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Senpai, gimana perasaanmu tentang aku?"

"Aku sangat suka."

"Aku juga sangat sangat sangat suka tapi jangan mengalihkan! Aku serius!"

"Gimana, dong! Aku juga serius, lho!"

Aku protes, tapi Mayu terkikik. Melihatnya, aku juga jadi ikut tersenyum.

Karena pekerjaan Mayu, mencari tempat tinggal secara konkret masih nanti.

Tapi ini sudah cukup.

Begitu masa depan jadi jelas, kami sudah...

"Untuk sementara, aku akan kerja maksimal untuk pekerjaan yang ada sekarang. Soal jadwal ke depan, aku akan bicara macam-macam dengan manajer... boleh?"

"Tentu saja. Tidak boleh sampai urusan cinta mengganggu pekerjaan yang sudah diterima."

"Tapi kata Ayaka-san hari ini, katanya senpai belakangan tidak bagus di kerja, lho."

"Ayaka jangan bicara yang enggak-enggak, dong!"

Sepertinya dia tidak peduli dengan harga diri laki-laki. Dan itu sangat benar. Aku hanya akan sedih sebentar. Terima kasih Ayaka.

Melihat Mayu tertawa terbahak-bahak, aku mengerucutkan bibir.

"Aku juga akan berusaha keras setelah libur. Mayu, jangan minta apa-apa ke Ayaka, ya? Dia juga super sibuk, lho."

"Itu sudah kusesali! Tidak akan minta macam-macam!"

"Oh, oh...?"

Dia mengangguk dengan sangat kuat, mungkin ada yang dikatakan padanya.

Namanya juga Ayaka, cara dia memberi peringatan pasti tidak main-main.

...Sebaiknya tidak usah menggali lebih dalam soal itu.

Aku membuka mantel Mayu dan menggantungnya di rak.

Mayu tersenyum senang, dan begitu berbalik langsung mencengkeram kedua bahuku.

"Kalau begitu senpai. Untuk merayakan reuni! Ada yang ingin kuminta!"

"A-apa?"

"Emm, itu..."

Berbeda dengan semangatnya barusan, Mayu mulai gelisah.

...Ciuman? Ciuman, ya?

Sudah lama tidak ciuman, ya. Bukan, kalau diminta secara resmi jadi malu, dan jadi berharap perkembangan selanjutnya.

Tidak, memang ada persiapan, sih—

"Ti-tidurlah di sampingku!"

"Tidur di samping!?"

"Tidak mau!?"

Aku berhalusinasi mendengar efek suara "GAAN!" di belakang Mayu. Lalu Mayu melanjutkan dengan cepat.

"Karena sudah lama tidak menginap, jadi pacar yang tidak bisa tidur nyenyak kalau berdua!? Padahal waktu pertama menginap juga tidur di sampingku!"

"Itu kan tidak bisa dihindari, lagipula waktu itu kita belum pacaran!"

Mendengar cerita musim dingin tahun kedua kuliah, aku jadi nostalgia.

Bertemu di musim Natal, menyatakan perasaan di musim Natal.

Dan sekarang, hubungan kami akan berkembang lagi di sekitar Natal.

"Itu... bukan cuma tidur di samping sih hasilnya. Eh, aku memang ingin tidur di samping juga sih, tapi itu..."

Aku menangkap berbagai hal.

Kami sudah jadi pekerja kantoran, tanpa diragukan sudah dewasa.

"...Besok pagi-pagi, kan?"

"Sudah kubilang, tidak pagi. Jangan buat anak perempuan ngomong lebih dari ini, dong."

"Hmm..."

"Jangan-jangan karena sudah lama tidak ketemu, senpai mau membuatku mengatakan semuanya? Menurutku itu tidak baik, justru karena sudah lama tidak ketemu kita harus menghargai waktu tanpa melakukan apa-apa, aku sih tidak apa-apa yang mana saja!"

"Aku belum bilang apa-apa! Maaf, deh!"

Tanpa sadar, keteganganku di pintu depan sudah menghilang.

Kami berdua tertawa bersama.


Bahagia.


Setelah makan dan mandi.

Aku akhirnya menuju kamar tidur, yang menyambut adalah tempat tidur semi double yang agak lebar.

Lebar yang cukup nyaman untuk dua orang kalau posisi tidurnya baik.

Mayu menerjang seperti biasa dan memanggilku dengan suara teredam.

Untuk sementara aku menumpang di sampingnya dan berbaring terlentang.

Langit-langit gelap. Ruangan gelap.

Mayu berkata pelan.

"Senpai."

"Hm?"

"Aku suka."

"...Makasih."

"Suka."

"...Aku juga suka."

"Ehehe. Aku sangat suka."

Bersamaan dengan bisikan, ada tanda-tanda Mayu mendekat.

Lalu, di telingaku.


"Teruslah bersamaku, ya."

"...Sama-sama."


Pasti banyak ujian yang menanti kami.

Tapi kalau kami.

Bisa melewatinya berapa kali pun, dan setiap kali hubungan kami akan semakin dalam.

Saat aku berguling, Mayu sudah menunggu di sampingku.

Kami sedikit tersenyum, lalu berciuman dengan tenang dan penuh kasih.

Seolah saling memastikan cinta.

Seolah ingin berlangsung selamanya.

Seolah berjanji masa depan berdua.


◇◆◇◆


Salju turun.

Hari ini reuni gabungan klub universitas.

Aku bertemu Reina duluan dan menuju tempat Yuta dan Natsuki.

Sejak Mayu datang ke rumah, aku masuk masa sibuk dan tidak tahu bagaimana kelanjutannya.

Tapi karena ada LINE terima kasih dari dia, mungkin begitulah jadinya.

Saat berjalan menuju restoran keluarga tempat Yuta dan Natsuki berada, tiba-tiba Reina membuka mulut.

"Katanya Yuta-kun baikan dengan Mayu-chan."

"Oh. Baguslah."

Aku menjawab tanpa terkejut pada akhir yang sudah kuduga.

Tidak mungkin mereka tetap bertengkar setelah aku dan Reina ikut campur.

Mungkin pemikiranku sedikit tersampaikan.

Reina tersenyum dan berkata.

"...Ayaka kuat, ya."

"Eh?"

"Aku butuh waktu sampai bisa melupakannya. Setelah menjauh dari Yuta-kun."

...Oh iya, Reina dan Yuta mulai bicara lagi setelah bekerja.

Karena katanya mereka berjanji tidak kontak sampai bisa melupakan, berarti butuh waktu sekitar dua tahun.

Mungkin karena itu, pada Reina.

Aku mengungkapkan perasaan jujurku.

"...Aku juga tidak langsung bisa melupakan."

"Begitu, ya. ...Ya kan."

Reina tersenyum sedih sambil menyisir rambutnya.

"Tapi Ayaka tidak pernah menjauh dari Yuta-kun, kan? Beda denganku, karena masa berteman dengan dia lebih panjang. Apa itu tidak menyakitkan?"

"...Tidak menyakitkan. Karena ini yang kuinginkan."

"Begitu, ya."

Reina mengangguk kecil dan tersenyum.

Dengan suara yang tetap lembut, dia menusuk ke inti masalah.

"Tidak memaksakan diri?"

"Ahaha."

"Apaan, sih."

Reina mengerucutkan bibir.

Entah kenapa itu mirip seseorang, membuatku semakin geli.

Aku menahan tawa yang muncul dan berkata pada Reina.

"Makasih. Aku tidak memaksakan diri, kok. Aku sudah menemukan jalan keluarku sendiri."

"...Boleh kutahu jalan keluar itu?"

Sejenak, keraguan melintas di benakku.


—Reina, jangan-jangan.


Meski dugaan ini benar, aku tidak boleh mengatakannya. Tidak boleh kulakukan.

Tapi, kalau Reina juga mencari jawaban.

Kalau ini bisa membantunya.

Bahkan perasaan malu pun, akan dengan senang hati kutunjukkan.

Karena kami teman.

"...Yuta menyimpanku dalam pikirannya. Menurutku itu berarti, meski dalam bentuk berbeda, kami bisa berjalan bersama."

Di dunia nyata, aku tidak ada di sampingnya.

Tapi kalau dia membawaku bersamanya—itu sama artinya dengan berada di sampingnya.

Karena dia sendiri bilang, "makasih selalu ada di sampingku."

Karena itu aku—bisa percaya ilusi seperti itu.

Meski tahu itu ilusi, aku bisa menggantinya dengan kenyataan.

"Kalau satu persen saja dari yang kuinginkan dulu terkabul, itu sudah cukup."

Aku tersenyum ramah.

Reina berkata "Ini sangat Ayaka yang sekarang" lalu melanjutkan dengan "Terima kasih."

Kami menuju restoran keluarga dan bergabung dengan Yuta dan Natsuki.

Mereka berdua sepertinya sedang asyik dengan semacam demonstrasi, tapi aku sama sekali tidak merasa cemburu.

Sekarang sudah memudar sampai sebatas itu.

Aku tulus senang Yuta dan Mayu baikan, hampir tidak ada perasaan lain.

Tapi bohong kalau kubilang tidak ada perasaan lain sama sekali.

...Mana mungkin semuanya hilang, kan.

Waktu itu aku bilang ke Mayu itu cuma pemisalan—

...Tapi diriku yang bisa berpikir masa depan itu juga tidak buruk, pasti masih ada di suatu tempat.


Padahal akhirnya sudah ditentukan dari dulu, ya.


Aku memandang langit.

Langit musim dingin.

Langit yang kusukai, dan sedikit kubenci.

Memudar.

Tidak selalu teringat lagi.

Ada bagian yang memudar dalam diriku, tapi ada juga bagian yang tidak memudar.

Tidak apa-apa kalau dia tidak pernah tahu bahwa aku masih punya pikiran berantakan seperti ini.

Karena akhirnya aku juga sudah menemukan jalanku sendiri sebagai pekerja kantoran.

Ini pasti jalan yang tidak bersilangan denganmu. Secara fisik jaraknya akan menjauh.

Tapi karena kamu juga yang membuatku memutuskan begitu.

Bukti bahwa kamu selalu ada di sampingku.

Justru karena menghargai hubungan dengan kamu, aku melangkah di jalanku sendiri.


Karena itu, terima kasih, ya.


Semoga aku akan terus ada di tempat tujuanmu.

Aku menyentuh bajunya dengan perasaan yang tidak bisa kukatakan.


ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close