NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Watashi, Nibanme no Kanojo de Ii kara V1 Chapter 1

Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Chapter 1: Nomor Dua dan Nomor Satu


Ruangan klub penelitian misteri terletak di ujung lantai dua gedung sekolah lama. Dahulu, ruangan ini digunakan sebagai ruang tamu untuk menerima tamu sekolah, sehingga dilengkapi dengan pemanas air, kulkas, AC, dan satu set sofa. Sangat nyaman untuk ditempati. Dari ruang musik kedua di sebelah, setiap sore, selalu terdengar suara piano yang dimainkan oleh salah satu siswa yang berlatih secara pribadi.


“Di sekolah kita, menurutmu siapa cewek yang paling populer?” tanya Haya, ketua OSIS.


Ini terjadi setelah jam pelajaran, di ruangan klub. Saat aku sedang bersantai di sofa seperti biasa, mendengarkan suara piano dari sebelah, tiba-tiba Hayasaka muncul. Saat awal masuk sekolah, dia yang memberi tahuku tentang klub penelitian misteri yang hampir dibubarkan ini. Berkat dia, sampai musim panas tahun kedua ini, aku bisa menggunakan ruangan ini sendirian dan menjalani kehidupan sekolah yang cukup nyaman.


“Kalau soal populer, pasti Tachibana Hikari dan Hayasaka Akane, kan?” katanya lagi.


“Iya, mungkin begitu.”

“Lalu, Kirishima, kamu suka yang mana?”

“Baru saja datang ke sini, langsung menanyakan hal seperti itu.”

“Kalau nggak salah, kamu suka Tachibana, kan?” tanyanya.


Memang benar. Dulu, aku pernah bercerita kepadanya tentang cewek yang kusukai. Yang paling kusukai adalah Tachibana-san, dan yang kedua adalah Hayasaka-san yang pemalu itu. Aku masih ingat sensasi saat kami bergandengan tangan.


“Kirishima itu tipe yang suka hal-hal seperti supercar, ya. Mobil seperti Ferrari atau Lamborghini, yang punya spesifikasi tinggi.”

“Apa maksudmu?”

“Yah, Tachibana Hikari itu seperti itu. Cantik luar biasa dengan warna rambut yang terang, dan sama sekali tidak menunjukkan emosi.”


Dia punya rambut panjang, tubuhnya tinggi dan langsing seperti model, pendiam, dan ekspresinya selalu datar. Dia sering sendirian, dan orang-orang melihat seolah ada aura dingin di sekitarnya.


Dia terlihat sulit didekati dan benar-benar memberi kesan mewah.


"Sebaliknya, Hayasaka itu seperti mobil Jepang berkualitas tinggi, kan?"

"Kasar sekali, kau ini."

"Tidak, maksudku, kalau soal menikah, pasti Hayasaka pilihan terbaik. Dia terlihat sangat kekeluargaan, polos banget, dan benar-benar tipe siswa teladan. Sepertinya dia tidak mungkin selingkuh. Bahkan kalau soal jumlah orang yang menyatakan cinta, dia mungkin lebih banyak dari Tachibana."

"Menilai orang hanya dari citra publiknya, aku tidak setuju dengan itu."


Hayasaka-san memang terlihat ramah dan disukai semua orang. Rambutnya sebahu dan tubuhnya agak pendek. Dia selalu berada di tengah lingkaran teman-temannya, dengan senyum sedikit canggung di wajahnya.


Namun, terlepas dari sikapnya yang sederhana, ada sisi tersembunyi yang membuat orang seperti Maki menyebutnya dengan istilah vulgar: “dia punya tubuh yang bisa bikin nalar hilang dalam dua detik.” Artinya, meskipun sikapnya sopan, dia tetap menarik perhatian orang, terutama ke dada dan roknya.


"Tapi aku tidak mungkin mengatakan itu ke dia."

"Kenapa tidak?"

"Karena kalau dia berpikir aku melihatnya dengan cara cabul, dia pasti akan membenciku."

"Aku rasa dia sudah tahu, sih."

"Tidak mungkin. Kita bicara tentang Hayasaka di sini! Dia itu juga, pada dasarnya, seperti bunga yang terlalu tinggi untuk digapai."


Sebagai ikon kesucian dan kerapian, dia diharapkan untuk tetap murni, tidak peduli seberapa cantik atau populer dia. Semua orang mengharapkan dia tidak akan pernah berpacaran dan selalu menjadi ‘gadis sempurna’ yang tak ternodai.


Tapi aku ingat kata-kata Hayasaka yang pernah dia ucapkan kepadaku.


"Aku ini bukan gadis baik-baik, tahu."


Dia sebenarnya merasa terjebak oleh citra yang diberikan orang-orang kepadanya.


"Hei, Maki, aku rasa Hayasaka sebenarnya gadis biasa, lho."


Seperti gadis yang ingin mencoba bergandengan tangan dengan pria yang dia kenal baik, misalnya.


Mungkin, bahkan Tachibana yang dikatakan Maki seperti supercar itu juga demikian.


Sambil memikirkan semua itu, aku menyadari bahwa nada dari piano di ruang musik sebelah berubah.


"Jadi menurutmu, gadis yang menarik perhatian itu ternyata biasa saja?"

"Mungkin kita terlalu terpengaruh oleh citra mereka."


"Ya, mungkin. Tapi meskipun ada perbedaan dari citra mereka, kita takkan pernah tahu, kecuali kita jadi pacar mereka," jawab Maki.


Dia menambahkan, "Tapi kedua cewek itu terlalu populer. Untuk bisa berkencan dengan mereka, rasanya hampir mustahil."


"Bagaimana denganmu, Kirishima? Ada peluang dengan Tachibana, cinta terpendammu?"

"Tak ada sama sekali. Tapi aku tak merasa sedih karenanya."

"Kenapa?"


"Karena sudah hal biasa tidak bisa bersama orang yang paling kau sukai."


Aku memberinya penjelasan lebih lanjut, "Pikirkan, ada orang yang sangat disukai banyak orang—orang yang populer dan diminati banyak orang. Tapi, hanya satu orang yang bisa berkencan dengan mereka. Jadi, semua orang selain yang beruntung itu harus patah hati. Maka—"


Orang yang patah hati harus mencari cinta baru. Itu cinta kedua atau ketiga. Bukan yang pertama.


"Kita harus puas dengan cinta yang bukan yang utama."

"Kau benar-benar sinis."

"Hanya realistis."


Cinta yang murni hanyalah ilusi. Dalam kenyataannya, kita menipu diri sendiri dan orang lain untuk bisa jatuh cinta.


"Romansa penuh dendam..."

"Lagipula, kau datang ke sini hanya untuk ngomongin soal cinta?"

"Bukan, bukan," Maki melambaikan tangan, "Aku datang untuk mengajakmu ke acara karaoke Nozaki."

"Oh, yang itu ya. Tapi aku ini penyanyi yang buruk."

"Tak masalah. Kita kan cuma figuran di sana. Nozaki yang serius, jadi ayo bantu dia."

"Baiklah, baiklah."


Aku menjawab asal sambil melirik ke arah jam dinding dan berkata, "Aku ada urusan, jadi aku harus pulang sekarang."


"Serius? Kau nggak mau dengar sampai selesai?"


Maki menunjuk ke arah ruang musik di sebelah. Hari ini juga, suara piano terdengar lagi. Tapi…


“Aku harus pergi menjenguk teman yang sedang sakit,” kata Maki.

“Iya, benar,” jawabku.


Kemudian, sambil melirik ke arah ruang musik, Maki berkata, “Ini jadi kayak di novel Amerika, ya. Ceritanya ada pria yang suka memandangi rumah gadis yang dia sukai dari kejauhan, sambil minum.”


“The Great Gatsby,” jawabku.


“Betul, itu dia.” Judul terjemahannya adalah *Gatsby yang Agung*, sebuah novel karya Scott Fitzgerald. Ceritanya tentang Gatsby, seorang pria yang tidak bisa bersama dengan gadis yang paling dia cintai, jadi dia terus minum sambil mengenangnya. Mungkin ada yang bakal kesal kalau aku bilang begini, tapi…


“Aku nggak se-sentimentil Jay Gatsby.”

“Tapi setiap hari, kamu mendengarkan gadis yang kamu suka main piano dari balik dinding, kan?”


Tepat sekali.


Orang yang sedang berlatih piano di ruang sebelah itu adalah Tachibana-san. Gadis yang terlihat agak tanpa emosi, tapi dia adalah gadis yang paling kusuka.


“Hanya untuk informasi, aku yang pertama menggunakan ruangan ini, lho.”

“Kamu berharap bakal ada sesuatu yang terjadi?”

“Mana mungkin,” jawabku.

“Ya, benar juga,” kata Maki. “Tachibana kelihatannya memang susah, ya.”

“Soalnya dia sudah punya pacar.”



Aku paling menyukai Hayasaka-san setelah Tachibana-san. Dan Hayasaka-san juga paling menyukaiku setelah orang lain.


Awal musim panas lalu, kami saling tahu bahwa kami adalah “pilihan kedua” satu sama lain, dan akhirnya kami pun menjadi pacar kedua. Selain urutan kesukaan yang kedua, tidak ada bedanya dengan pasangan biasa.


Menurutku, menjadi pilihan kedua itu tidak ringan. Jika di Koshien, ini seperti menjadi runner-up, atau jika di permainan kartu Daifugo, ini seperti punya kartu dua. Itu cukup kuat.

(TLN:Koshien adalah nama yang sering merujuk pada turnamen bisbol nasional antar-sekolah menengah di Jepang, yang diadakan di Stadion Koshien, Prefektur Hyogo.

Daifugō (大富豪), atau dikenal juga sebagai Daihinmin (大貧民), adalah permainan kartu asal Jepang yang populer dan mirip dengan permainan President atau Asshole di negara lain. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan setumpuk kartu biasa, biasanya oleh 4-8 pemain, di mana tujuan utamanya adalah untuk menjadi pemain pertama yang menghabiskan semua kartu di tangan.)


Makanya, aku deg-degan saat menggandeng tangan Hayasaka-san, dan ketika dia sakit, aku khawatir dan datang menjenguk.


“Maaf ya, jadi merepotkan,” kata Hayasaka-san saat membuka pintu apartemennya yang berada di kawasan perumahan.


“Kamu tidak apa-apa tidak istirahat?”

“Saat ini tidak ada siapa-siapa di rumah.”

“Hah?”

“Masuk saja.”


Begitu alami, Hayasaka-san membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam apartemen, membuatku tanpa sadar melangkah melewati ambang pintu. Saat melepas sepatu, aku merasa sedikit gugup. Bau rumah orang lain.


Karena merasa kedinginan, Hayasaka-san mengenakan cardigan di atas piyamanya. Karena ukurannya pas, bentuk tubuhnya jadi terlihat dan cukup menggoda.


Saat ini tidak ada siapa-siapa di rumah.


Kata-kata Hayasaka-san tadi kembali terngiang. Aku jadi berpikir, apa yang terjadi kalau aku memeluknya dari belakang? Tapi segera kubuang pikiran itu. Hayasaka-san sedang sakit. Itu tidak baik.


Aku merasa tidak sopan jika celingak-celinguk, jadi aku hanya menunduk memandang ujung kakiku sambil mengikuti dia.


“Ini kamarku.”


Aku dibawa ke kamar Hayasaka-san. Kamarnya tertata rapi, terlihat seperti rumah orang yang teratur. Di atas meja, ada kotak pensil dan pulpen warna-warni yang terlihat sangat feminin.


“Kalau mau, ini ada minuman dan yogurt.”

“Terima kasih. Aku duduk di bantal itu, ya.”


Hayasaka-san yang masih memakai piyama duduk di lantai sambil minum minuman isotonik. Sepertinya dia masih demam, karena wajahnya tampak memerah.


“Maaf ya, jadi seperti memaksa datang. Aku tidak lama kok, langsung pulang.”


“Enggak, aku senang kamu datang, Kirishima-kun. Aku ingin ngobrol lebih banyak lagi,” kata Hayasaka-san.


“Tapi kelihatannya kamu masih kurang sehat.”

“Kalau begitu, aku akan rebahan. Tapi jangan pulang dulu, kita ngobrol saja.”


Hayasaka-san berbaring di tempat tidur dan menarik selimut. Aku mulai bercerita kepadanya tentang hal-hal acak yang terjadi di sekolah hari ini. Dia tertawa senang. Saat itu, aku hanya menceritakan bahwa aku diundang untuk ikut karaoke, menyembunyikan sebagian besar percakapanku dengan Maki tadi setelah pulang sekolah.


“Aku juga ikut, ya,” kata Hayasaka-san tiba-tiba.

“Hah?”


Itu adalah rencana karaoke yang diatur oleh Nozaki, teman sekelas yang ingin mendekati gadis yang dia sukai tapi kurang berani. Jadi, dia berpikir lebih baik mengajak banyak orang, berharap bisa dekat secara alami. Sebenarnya, itu rencana yang cukup rumit. Setahuku, gadis itu adalah salah satu anggota komite perpustakaan.


“Kenapa kamu juga ikut, Hayasaka-san?”

“Pesan ajakannya sampai juga ke aku. Sekarang sudah banyak yang ikutan. Aku nggak tahu kamu bakal datang, jadi aku sudah bilang akan ikut kalau nanti sudah sembuh.”

“Maki benar-benar mengundang orang sembarangan, ya.”

“Nanti kita harus pura-pura kayak nggak kenal, ya.”

“Benar. Kalau aku ketahuan dekat sama kamu, aku bisa dihajar cowok-cowok lain.”

“Bukan itu maksudku. Ini, lihat.”


Hayasaka-san menunjukkan layar ponselnya. Ada grup chat khusus untuk rencana karaoke itu. Dia menunjuk ke salah satu ikon di grup.


“Beruang? Itu kan maskot daerah tertentu?”

“Kamu nggak tahu itu siapa?”

“Aku nggak punya teman yang mirip beruang.”

“Di balik ikon beruang ini, ada seseorang yang sangat cantik, mahal, dan spesial.”

“Jangan-jangan…”

“Ya, benar. Itu ikon milik Tachibana-san. Dia akan ikut juga.”


Hayasaka-san berkata sambil melihat wajahku dengan senyum kecil, seperti biasanya.


“Mau aku bantu supaya kamu bisa dekat sama Tachibana-san, Kirishima-kun?”

“Tidak usah.”


Kami bukan pacar latihan atau saling menjadi pengganti bagi satu sama lain. Kami adalah pasangan yang sesungguhnya. Hanya saja, kami sama-sama sadar bahwa masing-masing punya seseorang yang lebih kami cintai.


Karena sulit untuk bersama orang yang paling kami cintai, kami menjadikan satu sama lain sebagai pilihan kedua. Mungkin ada orang yang berpikir kami bersikap tidak sehat dengan memperlakukan cinta seperti ujian masuk.


“Aku lega. Aku benar-benar suka sama kamu, Kirishima-kun. Jadi kalau kamu minta bantuan untuk dekat dengan Tachibana-san, mungkin aku akan merasa sakit hati.”


Hayasaka-san, mungkin karena demamnya, jadi lebih blak-blakan. Percakapan kami terhenti sejenak. Topik pembicaraan seakan habis.


Kami hanya berdua di kamar seorang gadis, tanpa ada orang lain di rumah. Suasananya sangat sunyi, sampai-sampai aku bisa mendengar suara detik jam di dinding. Sebelum pikiran aneh muncul di kepalaku, aku berdiri dan berkata, “Kalau begitu, aku pulang sekarang.”


Namun, sebelum aku beranjak, Hayasaka-san membuka mulut.


“Kirishima-kun, kemari.”


Sambil membuka selimut, dia berkata, “Ayo kita coba efek kontak fisik langsung.”


Kemarin, dia kelihatan sangat menikmati saat kami bergandengan tangan. Baiklah, kalau hanya bergandengan tangan saja, aku tak masalah.


“Tapi, dengan posisi begini, kita jadi seperti tidur bersebelahan…”

“Iya, kenapa?”


Dia mengatakan itu dengan wajah serius, sedikit menakutkan.


“Aku ingin kita bergandengan tangan. Masuk saja ke dalam selimut.”


Aku tidak tahu apakah ini hanya karena demam atau memang ini sifat asli Hayasaka-san yang tersembunyi di balik kesan polosnya. Yang jelas—


“Kamu demam tinggi. Pikirannya pasti sudah nggak jernih.”

“Enggak kok.”

“Kalau orang demam, mereka nggak bisa berpikir jernih. Fungsi frontal lobus (pusat otak) di otak menurun.”

“Aduh, kamu mulai pakai alasan lagi.”

“Lagipula, kita bisa bergandengan tangan tanpa harus tidur bersebelahan.”

“Aku nggak setuju sama logikamu yang seperti itu, Kirishima-kun.”


Hayasaka-san cemberut, tapi tampak seperti sedang menikmati situasi ini.


“Kamu nggak suka masuk selimut bersamaku?”

“Bukan itu, hanya saja… mungkin kalau kita dekat seperti ini, nggak hanya tangan saja yang saling terhubung.”

“Aku… tidak apa-apa kok kalau itu terjadi.”

“Hayasaka-san, coba tenangkan diri dulu. Semua ada urutannya, kan?”

“Urutan itu cuma standar yang ditentukan orang. Orang baik harus mengikuti langkah-langkah dalam cinta. Tapi kamu sendiri yang bilang, kan? Kita nggak perlu terikat oleh cinta yang dipaksakan.”


Kami selalu terjebak dalam semacam citra. Orang harus punya mimpi, harus punya banyak teman, orang yang fokus pada sesuatu itu keren, mencintai satu orang dengan sepenuh hati itu indah. Kami mencoba memaksakan diri ke dalam citra-citra seperti itu, tapi saat tidak sesuai, kami merasa tertekan.


Terutama Hayasaka, dia terikat erat oleh citra yang diharapkan orang lain darinya.


Karena itu, kami memutuskan untuk menjalani hubungan asmara tanpa terbebani oleh nilai-nilai atau citra masyarakat, dan melakukannya dengan cara kami sendiri yang mungkin sedikit canggung.


“Kirishima-kun, kalau sama kamu, aku boleh kan nggak jadi anak baik-baik? Nggak usah jadi Hayasaka yang selalu suci?”


Wajah Hayasaka yang menungguiku di bawah selimut terlihat begitu menggoda.


“Kalau gitu, aku ingin kita masuk ke dalam selimut dan bergandengan tangan.”

“Baiklah…”


Aku juga bukannya tidak punya ekspektasi saat masuk ke kamar cewek. Bergandengan tangan di dalam selimut, kenapa tidak?


Aku pun mendekati ranjang dengan penuh tekad.

Hayasaka sedikit berkeringat karena demam, dan aku bisa merasakan udara lembap serta hangat dari tubuhnya.

Matanya yang basah penuh harap, dan piyamanya menempel di kulitnya.


“Ah, ini nggak bener!”


Aku tersadar dan menjauh dari ranjang. Hampir saja aku terbawa suasana.


“Ish, tinggal sedikit lagi padahal.”


Hayasaka memasang wajah kecewa. Tapi dia langsung punya ide baru, dia tertawa geli dan berkata.


“Gimana kalau kita anggap ini latihan?”

“Latihan?”

“Latihan buat nanti kalau kamu sama Tachibana-san tidur bareng, biar kamu punya pengalaman.”

“Itu kan nggak adil sama Hayasaka.”


Hubungan kami memang bukan yang pertama, tapi seharusnya didasari perasaan suka, bukan karena kesepian karena cinta pertamanya tidak terbalaskan. Tapi—


“Walaupun gitu, pasti ada sedikit perasaan seperti itu kan?”

Kata Hayasaka.


“Makanya, pakai aku buat latihan saja. Atau jangan-jangan aku semembosankan itu sampai nggak bisa jadi bahan latihan?”

“Bukan gitu maksudku…”


Karena aku ragu-ragu, Hayasaka terus mendesak.

“Aku mulai kedinginan nih.”

“Cepetan masuk selimut.”

“Kalau begini terus aku bisa sakit.”

“Maksudmu masuk selimut?”

“Iya, masuk selimut.”


Karena kalau begini terus dia benar-benar akan masuk angin, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke ranjang.


“Cuma gandengan tangan saja ya.”

“Iya, Cuma gandengan tangan. Janji.”


Dengan hati-hati aku masuk ke dalam selimut. Hayasaka terlihat senang.


Saat aku sudah berbaring, Hayasaka menutupi kami dengan selimut.

“Nggak usah jauh-jauh gitu.”

“Hayasaka, mana tanganmu?”

“Ini, nih.”


Tapi aku kesulitan menemukan tangan Hayasaka di dalam selimut. Tiba-tiba saja ujung jariku masuk ke celah yang lembut.


“Ah!”


Hayasaka berteriak kecil.


Aku buru-buru menarik tanganku. Di ujung jariku masih terasa sensasi lembut dan hangat. Pasti tadi jariku masuk ke paha dalamnya.


“Kirishima-kun itu… agresif banget sih.”

Hayasaka berkata dengan wajah memerah.


“Bukan begitu, aku Cuma mau gandengan tangan.”

“Kalau begitu cepetan.”

“Aku nggak tahu tanganmu di mana.”

“Nih, nih.”


Aku menggeser tubuhku mendekati Hayasaka untuk mencari tangannya. Saat itulah…


Hayasaka langsung memelukku erat tanpa peduli dengan janji untuk hanya bergandengan tangan.


“Tadi janjinya Cuma gandengan tangan!”

“Aku nggak peduli.”


Tubuh Hayasaka yang lembut, hangat, dan sedikit basah karena keringat menempel erat padaku.


“Heehe, wangi tubuh Kirishima-kun.”

“Napas Hayasaka yang membentur dadaku membuat kulitku terasa panas.


‘Aku selalu ingin melakukan ini,’ ujarnya.

Ekspresinya begitu basah, dan tangannya yang menggenggam kemeja seragamku terasa begitu putus asa.

‘Kirishima-kun, kamu tidak ingin memelukku?’

‘Bukan begitu,’ jawabku, kedua tanganku terangkat.

‘Kalau kita berpelukan di sini, aku takut tidak bisa menahan diri.’

‘Tidak apa-apa kalau begitu.’

Hayasaka benar-benar sudah siap.

‘Waktu tahu Tachibana akan datang ke karaoke, aku lihat kamu sedikit senang.’

‘Maaf...’

‘Tidak apa-apa. Karena Tachibana memang cantik. Dia adalah gadis nomor satu. Tapi, aku punya kelebihan lain darinya.’

‘Apa?’

‘Tubuhku.’

Sambil berkata begitu, dia semakin erat memelukku.

‘Eh, tunggu!’

Hayasaka menjepit kakiku dengan pahanya. Karena dia hanya mengenakan piyama tanpa bra, dia dengan berani menempelkan dadanya padaku, dan aku benar-benar bingung harus berbuat apa.

‘Karena kamu pacarku, kamu boleh melakukan apapun padaku, Kirishima-kun. Aku senang dengan apapun yang kamu lakukan padaku.’

Dia mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal.

‘Fufufu. Aku benar-benar bukan anak baik hari ini ya.’”


Begini, Hayasaka terlihat sedikit senang.


“Tapi tidak apa-apa, kan? Di sekolah maupun di rumah, aku selalu bersikap baik. Kamu tahu? Ketika aku memakai baju yang agak mencolok atau berkata seperti ini, semua orang langsung kecewa, loh.”


Bukan hanya kecewa, bahkan ada yang sampai marah. Mereka tidak ingin imej baiknya hancur.


“Tapi setidaknya di depanmu, Kirishima-kun, aku tidak perlu menjadi anak baik, kan?”

“…Iya, tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, ayo kita lakukan sesuatu yang nakal.”


Tanpa sadar, aku memeluk tubuh Hayasaka.


Aroma rambutnya, napasnya, dan tubuhnya yang bisa kurasakan di balik kain piyamanya. Begitu aku melakukannya, aku tak ingin melepaskannya lagi.

Hayasaka melingkarkan tangannya di punggungku, bahkan menyilangkan kakinya, mendorong tubuhnya lebih dekat ke tubuhku.


“Entah kenapa, rasanya aku jadi milikmu, Kirishima-kun.”

“Kamu terlalu larut dalam perasaanmu.”

“Aku ingin lebih larut lagi.”


Hembusan napasnya yang hangat terasa di dadaku.

Hayasaka memelukku erat, kadang-kadang mengendurkan pelukannya, seolah mencoba memastikan perasaanku.


“Dengar, Kirishima-kun, ingat baik-baik bagaimana rasanya memelukku. Saat tidur sendirian nanti, aku ingin kamu mengingat ini dan merasa kesepian. Aku juga sudah mengingat rasa pelukanmu. Mulai sekarang, setiap malam, aku pasti merasa kesepian karena kamu tidak ada di sampingku. Karena, rasanya begitu nyaman.”

“…Hayasaka, sudah cukup.”

“Aku ingin melakukan lebih banyak hal nakal.”


Hayasaka mendorongku hingga aku terbaring, lalu dia naik di atasku. Kurasa dia sengaja menyentuh dadaku.


Sekarang aku tidak lagi merasa malu atau segan.

Begitu kami saling berpelukan, logika rasanya langsung lenyap.

Mungkin ini tidak benar, mengingat aku menyukai orang lain.

Ini mungkin hal yang buruk, tapi kami memilih untuk sampai ke titik ini.

Jadi, aku ingin melangkah sejauh yang kami bisa.


“Dengar, Kirishima-kun, aku ingin menularkan pilekku padamu.”

“Sejujurnya, dari tadi aku merasa aku mungkin tertular.”

“Tidak suka?”

“Kalau pileknya dari Hayasaka, aku tidak keberatan.”

“Tapi, apa Cuma dengan berpelukan pilek bisa menular? Mungkin ada cara lain yang lebih mudah. Kirishima-kun yang pintar pasti tahu.”


Terseret oleh suasana ringan dari Hayasaka, aku langsung menjawab.


“Penularan lewat membran mukosa.”

“Ayo, lakukan.”

“Kamu yakin?”

“Aku yakin.”


Akhirnya, aku dan Hayasaka berciuman.

Bibirnya lembut, hangat, dan sedikit lembap.

Saat kami melepaskan ciuman, seutas air liur tertinggal.


“Kurasa aku menyukainya. Penularan lewat membran mukosa. Tapi, caranya sudah benar?”

“Aku juga tidak tahu.”


Bagiku juga ini pertama kali.


“Kirishima-kun, aku ingin melakukannya lagi.”


Kami pun berciuman berulang kali, membiarkan diri larut dalam suasana.


“Lagi… lagi… dan lagi…”


Lalu, Hayasaka mulai memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.


Tapi gerakannya langsung berhenti. Aku bisa merasakan keraguannya, tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.


Meski dia yang memulai, Hayasaka tampak malu, tubuhnya kaku, matanya tertutup erat.

Aku membelai lidahnya dengan lembut, seolah meyakinkannya. Setelah itu, Hayasaka, meski canggung, mulai membelai lidahku dengan caranya sendiri.

Seperti menembus dinding demi dinding, kami terus tenggelam lebih dalam.


Seperti berjalan di udara, saling menopang satu sama lain ke atas.

Aku membalasnya dengan memasukkan lidahku ke dalam mulut Hayasaka.


Walau tampak sesak, Hayasaka menggerakkan lidahnya, menyambutku. Mulutnya kecil, panas, lembap, dan menekan dengan lembut.


“Kirishima-kun, beri aku air liurmu.”


Kami bertukar air liur.

Suara berciuman terdengar jelas di telinga kami. Dan itu justru membuat kami semakin bersemangat.


Hal yang tidak sehat memang terasa nikmat.


Kami, yang menjadi pasangan kedua, ingin melakukan hal yang lebih liar lagi.

Kami ingin melakukan hal-hal yang akan dicela, hal-hal yang membuat orang berkerut.

Kami ingin menjadi anak-anak yang sangat nakal, anak-anak yang amoral.


Terpancing oleh dorongan yang semakin kuat, aku tanpa sadar menindih tubuh Hayasaka.

Piyamanya kini longgar, memperlihatkan sedikit dadanya.


Kami saling menatap sejenak, lalu Hayasaka berkata,

“Tidak apa-apa.”


Kurasa ini pasti hal yang membutuhkan keberanian besar bagi seorang gadis. Jadi aku menahan dorongan untuk terlalu bersemangat, berusaha tetap tenang dan lembut saat mulai membuka kancing piyamanya.


Namun, di saat berikutnya, aku menyadari bahwa Hayasaka tampak tegang. Meskipun dia bilang "tidak apa-apa," mungkin dia belum siap sepenuhnya. Karena itu, aku berhenti dan menjauhkan diri.


"Maaf, mungkin aku terlalu terburu-buru. Seharusnya aku bisa lebih peka… tapi aku juga tidak punya pengalaman soal ini."


"Bukan karena kamu," Hayasaka tersenyum sedikit canggung. "Aku juga punya perasaan yang sama. Tapi—"


"Maaf ya," dia meminta maaf sambil menutup wajahnya dengan bantal. "…Tadi aku kepikiran wajah orang yang paling kusuka."



"Sepertinya kita memang tidak boleh terlalu terburu-buru, ya," kata Hayasaka sambil merapikan bajunya yang berantakan.


"Toh, kita sama-sama punya orang lain yang kita sukai."

"Benar."


Setelah itu, kami pun duduk di atas tempat tidur dengan posisi yang lebih tenang.


Seperti aku yang punya perasaan pada Tachibana, Hayasaka juga punya seseorang yang paling ia sukai.


Perasaan sebagai yang kedua memang berharga, tetapi kami tetap ragu untuk melangkah lebih jauh sebelum cinta sejati kami memberikan kejelasan.


"Mungkin karena aku cuma yang kedua, ya," kata Hayasaka.

"Aku bisa menjadi lebih berani. Kalau dengan orang yang paling kusukai, mungkin aku akan jadi anak baik dan tidak akan bisa melakukan apa pun. Tapi, ini sebenarnya tidak benar, kan? Aku juga tidak mau bersikap buruk ke kamu, Kirishima-kun."


Mungkin memang ada kemudahan tertentu karena hanya menjadi yang kedua. Karena itu…


"Kita perlu menambah aturan lagi."


Saat kami memutuskan untuk menjalani hubungan sebagai yang kedua, kami membuat dua aturan.

Pertama, hubungan kami tidak boleh diketahui oleh orang yang paling kami sukai.

Kedua, jika salah satu dari kami bisa menjalin hubungan dengan orang yang paling disukai, maka hubungan ini harus diakhiri.

Artinya, kami akan selalu mendahulukan orang yang paling disukai.

Bisa bersama orang yang paling disukai adalah yang terbaik, bukan?


"Aturan apa yang ingin kamu tambah?"

"…Jangan melakukan apa pun yang lebih dari sekadar ciuman."

"Ya, mungkin sebaiknya begitu."


Meskipun hubungan kami agak tidak sehat, kami tidak ingin saling memperlakukan dengan murahan.


"Kalau begitu, aku pulang dulu, ya."

"Tunggu sebentar."


Saat aku bersiap-siap untuk pulang, Hayasaka menunjukkan ponselnya. Pesan grup anggota yang akan pergi karaoke tadi. Ada ikon baru yang ditambahkan—pahlawan dari komik Amerika.


"Itu ikon siapa?"

"Pacar Tachibana-san. Sepertinya dia juga akan ikut."

"Oh, begitu."


Kami berada di tahun yang sama, jadi hal seperti ini tidak terhindarkan.


"Kirishima-kun, kamu tidak apa-apa?"


Artinya, aku akan melihat Tachibana dan pacarnya bersama. Tapi…


"Aku baik-baik saja. Malah, kurasa aku akan menikmatinya."

"Jangan bilang begitu sambil gemetar, dong."


Entah kenapa rasanya dingin. Pandanganku pun mulai kabur. Jangan-jangan aku kena flu juga.


"Kalau pada hari itu kita bubar, mari bertemu tanpa ada yang tahu."


Hayasaka memelukku dari belakang.


"Aku akan menghiburmu sepenuhnya."



Akhir pekan pun tiba. Banyak yang datang ke acara karaoke. Hanya beberapa orang yang tahu kalau acara ini diadakan demi cinta Nozaki. Kebanyakan mengira ini hanya acara yang menyenangkan.


Kami berkumpul di depan stasiun setelah siang hari, sekitar dua puluh orang. Awalnya aku khawatir akan terlalu ramai, tapi Maki dengan cekatan mengatur semuanya dan membawa kami ke ruang pesta.


Awalnya aku duduk sembarangan, tapi melihat pengaturan posisi, aku akhirnya pindah ke samping Maki.


"Sepertinya Hayasaka populer sekali," bisik Maki di telingaku setelah aku duduk.

"Dia dikerubungi, tuh."


Di kedua sisi Hayasaka, ada pria yang duduk dekat sekali dengannya. Dia benar-benar seperti putri di antara mereka.


"Hayasaka-san, lagu apa yang akan kamu nyanyikan?"

"Pakaianmu lucu sekali."

"Mau aku ambilkan minuman di bar?"


Dari depan pun ada yang mengajaknya bicara, dan Hayasaka hanya bisa meringkuk kecil di tempat duduknya.


"…Uhm, aku, uh, maksudku, eh, haha…"


Hayasaka menjadi sangat pemalu di depan orang banyak, dan hanya bisa tertawa canggung. Dia benar-benar terlihat seperti boneka. Namun, aku tahu sisi Hayasaka yang sebenarnya. Hayasaka yang ingin menggandeng tanganku, Hayasaka yang menciumku dengan penuh semangat, bahkan Hayasaka yang meminta lebih.


"Para pria itu berusaha tampil keren habis-habisan, ya," kata Maki.

"Benar juga, mereka malah lebih mencolok daripada Nozaki, yang seharusnya jadi bintang utama."

"Sedangkan kamu, Kirishima, hebat sekali. Kamu berhasil tampil biasa-biasa saja."

"…Uh, iya, kurasa begitu."


Padahal aku hanya berpakaian biasa saja, sih.


"Tapi ya, Hayasaka itu benar-benar seperti malaikat, ya," lanjut Maki. "Dia bahkan tetap ramah kepada pria-pria yang jelas-jelas punya niat tersembunyi itu."

"Padahal mungkin dia merasa terganggu."

"Serius? Aku malah khawatir dia gampang terjebak sama pria aneh."

"Itu cuma kelihatannya saja."

"Eh, apa kamu mulai tersinggung? Jangan-jangan kamu ingin duduk di sebelah Hayasaka?"

"Bukan begitu."

"Ya kan. Kamu itu seharusnya di sana."


Di tengah ruangan yang riuh, ada seorang gadis yang tampak tenang mengoperasikan Denmoku. Itu Tachibana-san. Dia mengenakan gaun dengan bahu terbuka dengan postur yang tegap. 

(TLN: Denmoku (電目), singkatan dari denshi mokuji (電子目次) yang berarti “daftar elektronik,” adalah perangkat tablet atau remote control yang biasa digunakan di tempat karaoke di Jepang. Dengan denmoku, pengguna dapat mencari dan memilih lagu dengan mudah melalui layar sentuh atau tombol, menggantikan daftar lagu manual.)


"Para pria itu tentu saja tidak berani mendekatinya, ya."

"Ya, mana mungkin."


Tachibana duduk di tepi ruangan, dengan pacarnya di sebelahnya. Pacarnya adalah pria tampan yang tampak seperti pahlawan, dan keluarganya juga kabarnya kaya raya. Dia juga punya tubuh yang tegap dan tidak memakai kacamata.


Sederhananya, tipe yang sangat berbeda dariku.


"Dia kelihatan seperti penjaga, bikin kesal juga ya."

"Yah, wajar pacarnya duduk di sebelahnya. Meskipun aku iri setengah mati."


Saat kami sedang mengobrol, tiba-tiba Tachibana menoleh. Tatapan kami bertemu, dan aku langsung menundukkan wajah.


"Kirishima, kenapa kamu malah menunduk? Tatap baik-baik momen itu."

"Sudahlah. Kalau aku ingin, aku bisa melihatnya kapan saja."

"Melalui akun pacarnya, kan?"


Pacar Tachibana selalu mengunggah fotonya di media sosial setiap hari. Sangat rendah kesadaran soal privasi.


"Kamu sering lihat, ya? Itu kan jelas-jelas cuma untuk pamer."

"Entahlah. Rasanya sesak saat melihatnya, tapi tetap saja aku ingin melihatnya setiap hari."

"Kamu benar-benar rumit, ya."

"Tapi, aku penasaran, apa hubungan mereka benar-benar baik?" Maki melanjutkan. "Kudengar dari seorang gadis yang kenal, saat itu mereka ada kegiatan kemah."


Katanya, di malam hari para gadis di kamar itu saling curhat soal cinta. Saat itu, Tachibana dengan wajah serius bertanya pada teman sekamarnya.


"'Bagaimana rasanya berdebar-debar?' katanya."



Saat sesi karaoke dimulai, suasananya terasa sangat berat. Tanpa sadar aku sering memandangi Tachibana, tapi dia malah menyanyi lagu yang diminta pacarnya, dan saat pacarnya bernyanyi, dia ikut bertepuk tangan.


Apa-apaan ini? Apa serunya melihat gadis yang kusukai dalam situasi seperti ini?


Tachibana tetap dengan wajah datar. Tapi mungkin, saat berdua dengan pacarnya, dia akan tersenyum.

Karena frustrasi, aku menyanyikan lagu tentang patah hati. Saat aku menyanyi, Tachibana hanya sibuk mengoperasikan Denmoku, tanpa menatap atau bertepuk tangan untukku.


Menyedihkan. Setelah aku selesai, semua orang terlihat kebingungan, seolah tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Rupanya aku memang tidak bisa bernyanyi dengan baik. Di tengah keheningan itu, satu gadis berusaha memberikan pujian dengan suara ragu-ragu.


"A-aku pikir itu bagus, kok!"


Itu Hayasaka-san.


"Unik, ya? Kayak… berani banget. Aku jadi merasa ini salah satu gaya baru dalam bernyanyi!"


Aku berharap dia tidak perlu memikirkan begitu keras untuk memuji. Tapi, perhatian semua orang tertuju pada Hayasaka yang mencoba mendukungku.


"Mengapa Hayasaka membela Kirishima?"


Semua orang tampaknya punya pertanyaan yang sama. Hayasaka menyadari hal itu dan langsung mengibaskan tangannya dengan panik.


"Bukan begitu, maksudku bukan seperti itu. Aku cuma ingin bilang, kalau menyanyinya jelek sampai kelewatan, malah terdengar unik. Nyanyian Kirishima-kun memang terdengar seperti jeritan babi, kan?"


Nah, tepat sekali, Hayasaka-san. Hubungan kita tidak boleh sampai ketahuan orang lain. Tapi, aku yakin dia belum pernah mendengar jeritan babi yang sebenarnya.


"Kirishima, kamu ini orang yang baik," kata Maki sambil menepuk punggungku.

"Kamu sengaja menyanyi jelek, kan?"

"...Iya. Dengan begini, Nozaki-kun jadi kelihatan lebih bagus, kan? Iya, semuanya memang sengaja."


Sambil berbicara, aku mengetik pesan di ponsel dan mengirimkannya ke Hayasaka-san.


‘Bertindak seolah-olah kita tidak saling kenal, ya.’


Kalau hubungan kami sampai ketahuan dan kabar ini sampai ke orang yang dianggap paling penting oleh Hayasaka-san, bisa repot jadinya.


Hayasaka-san yang melihat pesan itu menatapku dan membuat lingkaran dengan jari-jarinya. Dia juga mengirim balasan, ‘Tachibana-san juga ada di sini.’


Setelah semua selesai bernyanyi, sesi obrolan dimulai. Entah siapa yang memulai, kami memutuskan untuk membicarakan tentang cinta pertama. Ini adalah topik seru yang bisa membuat suasana jadi lebih hidup.


Seorang cowok yang pandai bercerita berbagi kisah cinta pertamanya dengan cara yang lucu dan menarik. Ketika giliran aku, aku pun bercerita tentang pengalaman cinta pertamaku saat SD.


"Waktu itu, aku menginap di rumah saudara selama liburan musim panas. Aku tinggal di sana sekitar seminggu dan menjadi dekat dengan seorang gadis yang tinggal di sekitar sana..."


Dia gadis yang sangat cantik, dan pikiranku saat itu dipenuhi olehnya. Ya, bisa dibilang itulah cinta pertamaku. Setiap hari kami bermain bersama di taman, dan aku sangat bahagia. Tapi suatu hari, aku melihat dia bermain dengan cowok lain, dan entah kenapa rasanya sesak di dada. Aku pun berkata, "Jangan akrab sama cowok lain selain aku."


Sekarang aku tahu itu adalah rasa cemburu. Tapi saat itu, aku tidak mengerti perasaan yang muncul dalam diriku dan tidak bisa menahannya.


"Mungkin dia merasa terganggu. Keesokan harinya, gadis itu tidak lagi datang ke taman."


Kisah pahit cinta pertamaku membuat suasana sedikit lebih ringan, dan beberapa orang tertawa. Aku melirik ke arah Tachibana-san, tapi dia tetap tak bereaksi, tanpa ekspresi apa pun.


Beberapa gadis mulai bercanda untuk menyemangati suasana, dan mereka menggoda sambil berceloteh, "Cemburu? Itu aneh banget," 

"Duh, gitu aja cemburu," 

"Ih, geli banget, deh."


Ya, begitulah, aku juga setuju dengan mereka. Tapi, di antara mereka, ada seseorang yang tidak suka dengan cara mereka berkata-kata.


"…Itu bukan hal yang menjijikkan."


Itu Hayasaka-san.


"Aku juga akan merasa cemburu kalau orang yang kusukai dekat dengan orang lain."


Sekali lagi, Hayasaka-san membelaku, tapi kali ini kata-katanya malah menarik perhatian. ‘Aku juga akan merasa cemburu kalau orang yang kusukai dekat dengan orang lain’ membuat semua orang penasaran.


"Hayasaka-san, kamu juga punya orang yang kamu suka?"

"Pernah cemburu, ya?"

"Aku pengen banget bikin Hayasaka-san cemburu!"


Para cowok mulai membombardir Hayasaka-san dengan pertanyaan, dan dia terlihat bingung.


"O-o, orang yang kusukai? S-sejujurnya, aku tidak begitu mengerti soal itu!"


Jawabannya malah terdengar seperti jawaban dari idola yang polos.


"Hei, cowok-cowok, jangan agresif begitu!" seru para gadis.

"Sudah, cukup pertanyaannya, ya! Silakan ajukan pertanyaan lewat manajer kalau perlu!" kata mereka sambil menggoda para cowok dan membuat suasana jadi riuh.


Tapi, hari ini Hayasaka-san tampak lebih gugup dari biasanya, dan itu membuatku sedikit khawatir. Aku pun mengirim pesan lagi lewat ponsel.


‘Jangan terlalu pikirkan soal aku, ya!’


Hayasaka-san yang melihat pesan itu langsung membuat lingkaran dengan jarinya dan tersenyum lebar. Tapi dengan reaksi sebesar itu, malah jadi mencurigakan.

Saat kami sibuk saling kirim pesan, tiba-tiba seorang teman sekelas cewek berbicara padaku.


"Oh iya, Kirishima, kamu anggota klub penelitian misteri, kan?"


Dia sepertinya berusaha mengajakku bicara karena aku terus diam. Dia bilang kakaknya dulu bersekolah di sini dan anggota klub itu juga.


"Kalau sekarang, mungkin kamu bisa mendekati gadis cinta pertamamu, kan?"

"Lho, kenapa begitu?"

"Karena di klub misteri itu kan ada panduan cinta, katanya."

"Oh, maksudmu catatan cinta, ya."


Di klub kami, dulu ada seorang senior yang ingin menulis novel misteri bertema cinta. Dia memusatkan perhatian pada tiga unsur utama misteri: bagaimana, siapa, dan mengapa.

Bagaimana caranya, siapa pelakunya, dan mengapa pelaku melakukannya.

Dia mencoba menerapkan konsep ini dalam soal cinta.


‘How?’ Bagaimana cara membuat seseorang jatuh cinta.

‘Who?’ Siapa yang disukai.

‘Why?’ Mengapa menyukai seseorang.


Senior itu awalnya berniat menulis misteri cinta, tapi karena pengaruh masa remajanya, dia malah hanya membuat panduan tentang cinta. Itulah yang kemudian dikenal sebagai "Catatan Cinta" yang diwariskan di klub misteri kami.


“Jadi, di situ juga ada cara buat ngedeketin cewek, ya?”


Itu adalah bagian dari ‘How’ di catatan cinta. Efek kontak sederhana juga tertulis di sana.


“Omong-omong, kakakku bilang orang yang bikin catatan itu jenius dengan IQ 180, lho.”

“Sulit dipercaya, sih.”


Ada beberapa penelitian yang berdasarkan psikologi dan ilmu perilaku, tapi isinya juga banyak yang agak konyol.


“Eh, serius? Ada buku manual buat cinta segala, ya?”


Seorang cowok lain yang ikut dengar percakapan kami masuk ke dalam pembicaraan.


“Kirishima, kamu baca itu? Lucu banget, sumpah!”


Kelihatannya kombinasi antara aku dan soal cinta cukup menghibur bagi mereka. Pembicaraan jadi ramai.


“Baca buku manual sampai segitunya, ya, berlebihan banget sih.”

“Lagian, kalau udah riset segitunya, ya, minimal kamu bisa jadi lebih ganteng, kan?”

“Yah, meskipun baca buku juga nggak bikin wajah berubah, sih.”


Aku cukup diolok-olok. Karena aku sering bercanda soal diri sendiri sebagai cowok kacamata kurus, memang begini jadinya. Mereka juga nggak bermaksud jahat.


Tapi, ada satu cewek yang nggak suka dengan bagaimana aku jadi bahan olokan.


“...Bukan gitu.”


Tentu saja, itu Hayasaka-san. Sepertinya pesanku tadi benar-benar nggak sampai.

Aku kira dia hanya berbisik kecil, tapi detik berikutnya, dengan suara yang lebih kuat dari biasanya, dia berkata:

“Kirishima-kun itu nggak jelek sama sekali!”


Dia mencengkeram rok seragamnya dengan kuat.

Namun, setelah menyadari keheningan di ruangan, dia buru-buru meralat.


“Eh, bukan maksudku gitu, maksudku, ya, dia kelihatan serius tentang cinta itu malah kelihatan baik, gitu. Terus, soal penampilan, dia biasa aja, sih…”


Hayasaka-san kesulitan menemukan kata-katanya dan akhirnya berkata sambil sedikit malu,

“Aku suka, sih, Kirishima-kun yang kayak gitu…”


Ini benar-benar gawat. Hayasaka-san, kamu terlalu terbawa suasana.


Tentu saja, semua orang di ruangan langsung gaduh.


“Eh, barusan dia bilang suka Kirishima?”

“Serius? Nggak bohong, kan?”


Siapa yang disukai Hayasaka-san adalah topik yang paling bikin para cowok penasaran.


‘Cepat, tolong bilang nggak!’


Aku nggak sempat mengetik di ponsel, jadi aku memohon dengan tatapan mata. Hayasaka-san mengangguk dengan penuh semangat.

“Ehm, bukan, bukan gitu. Maksudku suka Kirishima-kun itu lebih kayak suka sebagai karakter aja, gitu…”


Perkataan Hayasaka-san segera mendapat tanggapan dari para cewek.


“Aduh, cowok-cowok ini serius banget sih! Suka tuh ya kayak ngefans, bukan suka yang kayak cinta, tahu nggak. Kayak seorang aktris suka seorang komedian, ngerti kan?”


Salah satu cewek bertanya, dan Hayasaka-san mengangguk, “Oh, iya, gitu… kayak gitu...”


“Bener, sih. Kirishima ini kelihatannya serius, tapi kalau diobrolin ya lucu juga, kayak komedian, kan?”

“Iya… aku juga sih… dia lucu aja, sih.”

“Ayo, ada yang mau ngasih Kirishima tantangan nggak?”

“Eh?”

“Akane-chan, yang mau dikasih tantangan buat Kirishima?”

“Apa-apaan, nih…”


Hayasaka-san memasang wajah serius. Dia menundukkan kepala, matanya mulai sedikit gelap, dan dia mulai berbicara dengan suara pelan.


“Kalian pada suka ngerjain Kirishima-kun kayak gitu, ya… Tapi sebenarnya aku nggak peduli sama yang lain, cuma Kirishima-kun… cuma dia…”


Suasana mulai terasa aneh, dan sepertinya dia akan mengeluarkan kata-kata yang lebih dalam lagi.

Semua orang juga menyadari bahwa ada yang berbeda dari Hayasaka-san hari ini dan kelihatan bingung dengan situasi ini.

Satu-satunya yang bisa mengendalikan situasi ini adalah aku. Maka, aku pun melakukannya—


“Hayasaka, kasih aku! Kasih aku tantangan!”


Aku menaikkan semangatku dan berkata dengan lantang.


“Hah, hah? Eh?”


Hayasaka-san menatapku dengan kebingungan.


“Kirishima-kun, emangnya kamu karakter kayak gitu?”

“Iya!”


Hayasaka-san salah paham, mengira aku tipe orang yang mudah terbawa suasana. Dia melihat aku dijadikan bahan candaan sebagai bentuk komunikasi, tapi dia sendiri jadi kesal dan marah karena imajinasinya.

Aku tahu satu-satunya cara adalah membuat suasana jadi ceria dan menutupi semuanya dengan bercanda.


“Jadi, sekarang juga kasih aku tantangan terbaik!”

“Eh, ehm, tapi...”


Hayasaka-san mulai panik. Tapi dia tampak lebih lega, senyumnya juga mulai kembali, dan itulah yang penting.


“Apa saja boleh! Tapi tolong jangan yang terlalu berat!”


Ini sebenarnya jujur. Selama tidak terlalu memalukan, aku nggak masalah.


“Ugh, ugh...” Hayasaka-san tampak berpikir keras.

Harusnya dia mengerti maksudku, tapi kelihatannya Hayasaka-san lebih polos dari yang aku bayangkan.


“Eh... gimana kalau rap?”


Wah, tantangan yang berat. Apa aku pernah terlihat punya unsur hip-hop sama sekali?

Hayasaka-san tampak panik dengan ekspresi ‘Eh, apa aku salah? Eh? Eh?’ sambil kebingungan. Pasti ada pilihan yang lebih aman, kan?

Tapi, ya sudahlah, tidak ada pilihan lain selain melakukannya. Aku sudah siap.


“Tanpa musik juga nggak apa-apa, kan?”


Sepertinya Maki bisa merasakan atmosfer yang aneh, jadi dia bantu dengan menyiapkan situasi.


Freestyle rap, ya? Baiklah, aku akan coba.


Aku ambil peran seakan sedang memegang mikrofon dan berkata,


“Laki-laki sejati acapella, Kirishima mulai bernyanyi.”


“Testing, testing, mic check, mic check, Ah, Ah.”

“Gadis itu suka aktor kayak Masaki Suda, tapi aku yang bukan tipe itu cuma ngobrol, bikin bosen dan cemas kalo dia pikir aku nggak menarik. Ini semua kekalutan cinta, dia tetap diam, kupegang mikrofon ini cuma buat coba buat dia tertawa!”


Semua ikut menikmati suasana.


“Rap si kacamata!”

“Wah, asyik juga!”

“Gak disangka keren banget!”


Ruangan penuh dengan tawa. Semua melupakan ucapan Hayasaka-san soal perasaannya atau caranya melindungiku.


Demi kebaikan perasaannya, ini semua cukup.


Sebagai penutup, aku memasukkan lagu yang sulit di karaoke dan bernyanyi seadanya. Saat aku selesai, semua akan menggodaku dengan cara yang baik, dan semuanya akan kembali normal.


Ini semua rencanaku sendiri.


Tapi, saat sedang bernyanyi, aku melihat Tachibana-san di sudut pandangku, dan sedikit merasa sedih.

Terus-menerus bertingkah konyol di depan gadis yang paling kusukai… rasanya cukup menyakitkan.


Tachibana-san melihatku dengan ekspresi datar, seperti biasa. Aku tak bisa membaca perasaannya, tapi aku yakin dia tidak akan merasa kagum. Aku berharap ada yang menghentikanku sekarang. Ya, mungkin dia bisa tersenyum, setidaknya.


Tapi bukan itu yang aku inginkan.


Aku ingin Tachibana-san merasakan sesuatu untukku, seperti aku merasakannya untuknya.


Aku ingin dia mencari-cari sosokku di stasiun, atau tanpa sadar mengikutiku dengan pandangannya di lorong sekolah, atau merasakan detak jantung yang cepat sebelum tidur. Tapi tempatku saat ini terlalu jauh dari harapan itu.

Lagi pula, Tachibana-san sudah punya pacar, bahkan sekarang pacarnya duduk di sebelahnya. Di situasi begini, entah terlihat keren atau tidak, sama saja.


Aku mencoba menerima semuanya dan kembali bermain peran sebagai badut.


Lalu, seseorang menekan tombol berhenti musik.


Hayasaka-san, kamu melakukannya lagi, ya... pikirku sambil bersiap untuk melindunginya.

Namun, ternyata bukan Hayasaka-san yang menghentikan musiknya. Orang itu jauh lebih tak terduga.


Orang yang selama ini terlihat tidak peduli, yang tak pernah ikut campur dalam percakapan—Tachibana Hikari.



“Gaya bercanda seperti ini sebaiknya dihentikan.”


Tachibana-san berkata dengan tegas.


Sebagai seorang gadis dengan kepribadian yang istimewa, suasana di ruangan langsung hening, dan semua menunggu kata-kata selanjutnya darinya.


Tachibana-san, seolah merasa sudah menyelesaikan bagiannya, mengangkat gelas melon sodanya.

Namun, karena tak ada satu pun yang bicara, dia menambahkan satu kalimat terakhir.


“Ada yang nggak suka, jadi sebaiknya berhenti.”


Dia tidak menyebut siapa pun secara khusus dan berniat untuk mengalihkan topik. Tapi, entah bagaimana, semua orang menoleh ke arah Hayasaka-san.

Hayasaka-san terlihat terpuruk dengan wajah yang murung.


Aku baru menyadari kesalahan. Terlalu sibuk mencoba mengalihkan suasana, aku mengabaikan perasaan Hayasaka-san. Dia merasa tidak nyaman melihatku bermain peran badut.


“Maaf, ya,” kata Hayasaka-san, menyadari tatapan yang tertuju padanya. Dia mencoba tersenyum canggung.


“Cuma, rasanya… aku nggak terlalu nyaman…”


Dia mencoba memasang senyum palsu, tapi hanya bertahan sebentar. Senyum itu segera memudar dan berganti dengan wajah muram.

Akhirnya, dia menunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik poni.


“Sepertinya… aku masih belum sembuh dari pilek. Aku pulang dulu, ya.”


Hayasaka-san meraih tasnya, berdiri, dan memegang gagang pintu.


“Maaf ya, Tachibana-san. Jadi merepotkanmu,” katanya sambil menunduk. Setelah itu, dia langsung keluar dari ruangan.


Semua terdiam, terkejut dengan situasinya.


“Eh, bukannya tadi Hayasaka-san kelihatan seperti terus mendukung Kirishima?” tanya seorang cowok yang duduk di sebelah Hayasaka-san dengan raut wajah terkejut.


“Kayaknya dia… naksir Kirishima, gitu, nggak sih?”


“Nggak, kurasa bukan begitu,” jawabku.

“Hayasaka-san itu orangnya baik. Dia cuma secara alami bilang hal-hal kayak gitu.”


Benar juga, Hayasaka-san memang sebaik malaikat. Saat melihat orang lain diturunkan, dia pasti akan berusaha mengangkatnya kembali.


Cowok-cowok lainnya mengangguk, tampak lega dan mengerti.


“Ah, ada telepon dari adikku,” kataku sambil berdalih, lalu keluar dari ruangan. Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh sekali lagi ke dalam.


Tachibana-san terlihat tenang, seperti tidak ada yang terjadi, sambil memegang remote karaoke.



Di jalanan senja yang agak tersembunyi dari jalan utama, Hayasaka-san berjalan sendirian.

“Maaf ya…”


Begitu melihatku mengejarnya, Hayasaka-san langsung menundukkan kepala.


“Kayaknya aku nggak bisa bersikap dengan baik tadi,” ujarnya sambil menutupi wajahnya dengan poni.


“Aku tahu itu Cuma bercanda, tapi aku nggak suka lihat Kirishima-kun diperlakukan seolah nggak penting. Apa itu mengganggumu?”

“Enggak sama sekali. Aku justru senang.”

“Tapi kamu mengejarku ke sini—itu salah langkah. Kalau Tachibana-san lihat, dia bisa salah paham, mungkin berpikir kamu menyukaiku.”


Entahlah. Tachibana-san bahkan tidak melihatku tadi. Lagipula—


“Itu benar. Aku memang menyukaimu, Hayasaka-san.”

“Kedua setelah Tachibana-san, kan?”

“Menyukai seseorang di posisi kedua itu artinya cukup suka, bukan?”


“Benar juga,” jawabnya sambil meregangkan badan. “Aku ingin jadi orang yang menolong Kirishima-kun, tapi semua sudah dilakukan oleh Tachibana-san.”


“Itu terlihat seperti dia yang menolongmu.”

“Tidak, itu dia lakukan untuk menolongmu. Aku tahu itu. Kamu senang, kan?”

“Meski begitu, Tachibana-san punya pacar.”


Perasaanku yang paling dalam saat ini memang belum ada harapan.


“Tapi kamu sangat menyukai Tachibana-san, ya?”

“Entahlah.”

“Selama karaoke, kamu terus menatapnya.”

“Aku benar-benar nggak tahu.”

“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Kamu terus melihatnya, lalu perlahan-lahan wajahmu makin lesu.”


Hayasaka-san terkekeh pelan. Sepertinya dia merasa cara sikapku di karaoke tadi cukup menghibur.


“Kamu terlalu kepikiran hanya gara-gara Tachibana-san memasangkan sedotan di gelas pacarnya. Itu bukan masalah besar, kok. Dia bahkan bisa melakukan itu pada cowok biasa. Aku juga sering melakukannya.”


Ya, Hayasaka-san tadi juga melakukan hal yang sama pada cowok di sebelahnya.


“Melihat itu saja sudah bikin aku makin down.”

“Begitu, ya. Jadi kamu benar-benar cemburu.” Hayasaka-san terlihat senang mendengar itu.


“Aku memang nggak bisa membantumu, tapi sesuai janji, aku akan menghiburmu.” Dia mendekat, tapi berhenti tepat di depanku, lalu menatap ke bawah, menghentakkan tumitnya pelan-pelan.


“Entah kenapa, hari ini aku jadi sedikit malu. Kenapa, ya?”

“Gak perlu dipaksakan, kok.”

“Enggak, aku mau melakukannya sekarang. Aku selalu merasa tenang setelah melakukannya.”


Meski begitu, wajah Hayasaka-san tetap merah, dan dia tak bergerak. Karena itu, kali ini aku yang memeluknya terlebih dahulu.


“Kirishima-kun…”


Tangannya perlahan melingkar di punggungku. Memang terasa menenangkan. Rasanya begitu bahagia.


Saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba Hayasaka-san menutup matanya dan mendongak. Kupikir dia hanya ingin dipeluk, tetapi rupanya maksudnya lebih dari itu.


“Rasanya seperti melon soda,” katanya setelah menciumku. Lalu, dengan senyum manis, dia bersandar di dadaku.


“Kamu suka dipeluk, ya, Hayasaka-san?”

“Iya, aku suka ini.”


Kami terus berpelukan seperti itu untuk beberapa saat.


“Maaf ya, karena kamu bukan orang yang paling utama bagiku.”

“Gak apa-apa.”


Aku pun merasakan hal yang sama.



Beberapa hari kemudian, Nozaki-kun berhasil berpacaran dengan gadis yang dia sukai. Yang mengejutkan, gadis itu ternyata juga menyukai Nozaki-kun.


Fakta bahwa mereka bisa bersama sebagai “yang utama” satu sama lain benar-benar mengejutkan. Tapi di balik keberhasilan itu, ada orang-orang yang patah hati karena menyukai Nozaki-kun atau gadis itu.


Pacaran dengan orang yang paling kita cintai memang sulit. Maka, pilihan realistis bagiku dan Hayasaka-san adalah berpacaran sebagai orang kedua. Dengan begitu, akhir dari hubungan kami akan terbatas pada empat kemungkinan:


1. Kami berdua bisa bersama dengan orang yang paling kami cintai.

2. Kami berdua tidak bisa bersama orang yang paling kami cintai.

3. Hanya aku yang bisa bersama orang yang paling kucintai.

4. Hanya Hayasaka-san yang bisa bersama orang yang paling dicintainya.


Jika kami berdua bisa bersama orang yang paling kami cintai, itu tentu akan membuat kami bahagia. Jika kami berdua tidak bisa bersama orang yang kami cintai, maka saat itulah aku dan Hayasaka-san akan menjadi pasangan resmi, yang juga membawa kebahagiaan. Satu-satunya skenario yang buruk adalah jika hanya salah satu dari kami yang bisa bersama orang yang kami cintai—itu berarti aku akan patah hati jika Hayasaka-san bersama orang yang dicintainya, dan sebaliknya.


Dengan kata lain, hanya satu dari empat kemungkinan yang akan membuat kami tidak bahagia. Sedangkan tiga kemungkinan lainnya akan membawa kebahagiaan. Aku menyebut metode ini sebagai “Metode Probabilitas 25% untuk Patah Hati” dan mencatatnya di buku catatan cintaku.


Metode ini terasa lebih masuk akal daripada mengambil risiko besar dengan mengungkapkan cinta secara langsung dan berakhir dengan patah hati. Peluang bahagia yang lebih tinggi ini adalah inovasi yang menakjubkan. Aku yakin suatu hari nanti, seperti Hukum Murphy, metode ini akan dikenal di seluruh dunia.


Saat aku memikirkan hal itu, aku menulis lagi di buku catatan cintaku, di ruang klub di lantai dua gedung sekolah lama setelah jam pelajaran. Aku baru saja menyadari bahwa tidak ada suara piano dari ruang sebelah ketika tiba-tiba seseorang memanggil namaku.


“Kirishima-kun.”


Saat kuangkat wajah, di pintu masuk sudah berdiri seorang gadis. Tachibana-san.


Melihatnya lebih dekat, dia tampak begitu memudar, seperti fatamorgana di musim panas. Namun, dia adalah nyata.


“Eh, apa ya…” Tachibana-san tampak berpikir sambil memiringkan kepalanya.


“Maaf, aku lupa apa yang mau kubicarakan.”


Tachibana-san memang punya cara tersendiri.


“Duduk dulu saja?”

“Enggak, aku mau mulai latihan piano sebentar lagi.”

“Oh, begitu.”

“Karaoke kemarin,” katanya tiba-tiba, sedikit terdengar cuek.

“Kamu nyanyi bagus, ya.”

“Masa?”

“Kamu mencoba harmonisasi dengan nada rendah, kan?”

“Ya, anggap saja begitu.”

“Kirishima-kun, waktu itu, kamu masuk ruangan dan duduk di sebelah cewek pustakawan. Itu supaya Nozaki-kun bisa duduk di sebelah cewek yang dia suka, kan? Sekarang aku tahu kamu melakukannya setelah mendengar mereka akhirnya jadian.”


Memang benar, aku sengaja mengatur tempat duduk agar Nozaki-kun bisa dekat dengan gadis yang dia sukai. Tampaknya, Tachibana-san memperhatikan itu.


“Kamu melakukan hal-hal seperti itu, ya.”

“Membantu orang lain itu hal yang baik.”

“Karakter yang sering dijahili itu kamu lakukan untuk Hayasaka-san?”

“Maksudmu apa?”

“Enggak, Cuma penasaran saja.”


Mungkinkah dia datang hanya untuk membicarakan hari karaoke itu? Namun, Tachibana-san masih tetap berdiri di sana. Dia tampak mengingat sesuatu, lalu mengeluarkan selembar kertas terlipat dari saku dadanya.


“Oh, iya. Aku ingin memberimu ini.”


Dia menyodorkan kertas itu padaku. Saat menerimanya, jariku menyentuh jarinya yang kurus dan dingin.


“Apa ini?”

“Buka saja.”


Aku membuka kertas itu dan melihat nama yang tertulis dengan tulisan yang sangat rapi.


Surat Pendaftaran Klub. Klub Riset Misteri. Kelas 2-6. Tachibana Hikari.


Aku tertegun melihatnya. Ini benar-benar tak terduga.


“Ini… maksudnya apa?”

“Artinya apa adanya. Ada masalah?”


Tachibana-san menatapku tanpa mengalihkan pandangan. Matanya yang cantik menyiratkan kekuatan yang tak bisa ditolak.


“Tidak… tidak ada masalah.”


Saat aku berkata begitu, Tachibana-san mengangguk ringan. “Baiklah. Mulai besok, aku akan menjadi anggota, Ketua.”


Seperti biasa, dia bersikap tenang. Aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.


“Ngomong-ngomong, Tachibana-san, formulir ini ada kesalahan.”

“Oh, ya?”

“Di sini, tertulis ‘Klub Riset Misteri’, padahal yang benar itu ‘Divisi Riset’.”

“Kamu teliti sekali, Ketua.”

“Aku kan tipe A.”


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment



close