Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 1: Biasa
“Aku Chika Nito, dan aku terpilih sebagai wakil ketua untuk Festival Hekiten tahun ini!”
Kami semua berada di aula, penuh sesak dengan siswa dari berbagai angkatan. Nito berdiri di atas panggung, memberikan pidato ceria ke mikrofon.
“Sebenarnya aku sangat gugup karena memegang peran besar ini sebagai siswa kelas satu! Sebenarnya, jujur saja, dulu aku pernah menghadiri Festival Hekiten sebagai pengunjung waktu aku masih SMP... Sejak saat itu aku punya mimpi untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Aku akan melakukan yang terbaik, jadi mari kita ciptakan kenangan yang luar biasa! Terima kasih sudah menerimaku!”
Tepuk tangan meriah memenuhi aula ketika ia menundukkan kepala.
Semangat membara dan ekspektasi yang memenuhi ruangan ini...
Nito adalah selebriti di sekolah kami. Semua mata tertuju padanya saat ia berjalan di lorong, dan video nyanyiannya selalu menjadi pembicaraan.
Kelihatannya semua orang sudah heboh membicarakan fakta bahwa Nito, sosok yang sangat populer, terpilih menjadi wakil ketua panitia festival budaya kami.
“...Dia memang populer, ya?”
Gumamku sambil tersenyum kecil dan ikut bertepuk tangan bersama yang lain.
“Yah, semuanya berjalan lancar buat dia. Musiknya, kehidupan SMA-nya, semuanya…”
Ini sudah akhir September. Libur musim panas sudah selesai, sisa-sisa panas mulai memudar, dan sedikit demi sedikit tanda-tanda musim gugur mulai terasa di pagi dan sore hari.
Kebanyakan siswa yang memadati aula sudah mengganti seragam lengan pendek mereka dengan yang lengan panjang. Masih terasa gerah, tapi sesekali angin sejuk masuk melalui jendela yang terbuka, memberikan rasa nyaman.
Sudah setengah tahun berlalu sejak kehidupan SMA pertamaku berakhir dan aku pertama kali melakukan perjalanan waktu.
Mengingat kembali semua yang telah terjadi, banyak juga, ya...?
Semua hal yang kami lakukan demi mempertahankan Klub Astronomi. Nito mengungkapkan perasaannya padaku dan mengungkapkan bahwa dia berulang kali mengalami pengulangan tiga tahun masa SMA-nya. Bertemu dengan Minase-san, video musik pertama Nito, membantu Igarashi-san mencari mimpinya sendiri, dan banyak hal baru yang tidak terjadi di percobaan pertamaku. Mungkin semua kerja keras itu ada hasilnya, karena sejauh ini, kesempatan keduaku di SMA berjalan sangat lancar. Aku dan Nito masih bersama, dan Igarashi-san dan Nito tetap berteman baik.
Kegiatan Klub Astronomi kami pun berjalan lancar, dengan sesi pengamatan bintang dan pembuatan video secara rutin.
Dan hari ini, setelah semester pertama selesai dan liburan musim panas usai, semester kedua pun dimulai. Kami berada di rapat pagi, memperkenalkan staf untuk festival budaya mendatang—Festival Hekiten.
“Baiklah, terima kasih, Nito Chika-san.”
Dengan arahan dari guru, Nito turun dari panggung dengan anggun.
“Dia masih siswa kelas satu, jadi tolong, semuanya, berikan dukungan kalian. Selanjutnya—”
“Oh, iya.”
Aku tiba-tiba teringat kehidupan SMA pertamaku dan menarik napas dalam-dalam.
“Dulu, Nito juga wakil ketua, dan dia melakukan pekerjaan yang luar biasa…”
Itu sekitar tiga tahun lalu dalam linimasa pribadiku. Aku samar-samar mengingatnya.
Saat itu, aku dan Nito baru saja mulai berpacaran, tapi jelas semuanya tidak berjalan mulus. Nilai-nilaiku terpuruk, sementara Nito semakin bersinar sebagai musisi.
Aku jadi rendah diri, dan sedikit demi sedikit, mulai menjauh darinya, hampir tanpa kusadari.
Lalu, tepat setelah festival budaya, Nito memulai debut besarnya.
Itulah yang membuat kami semakin jauh—Nito berhenti datang ke ruang klub, dan hubungan kami perlahan memudar dengan sendirinya...
…Wah, memang berat, ya?
Aku mungkin tidak ingat semua detailnya dari saat itu, tapi setidaknya aku ingat bagian itu. Saat itu Makoto belum mulai sekolah di sini, dan aku merasa benar-benar sendirian.
Ada satu hal lagi yang aku ingat.
“Selamat pagi,” sebuah suara laki-laki yang kuat terdengar dari atas panggung, menggema di seluruh aula.
Saat aku melihatnya—dia tinggi, dengan rambut pendek yang keren, wajah tegas, dan tubuh berotot. Bahkan dari kejauhan, kamu bisa dengan jelas melihat aura status tinggi yang terpancar darinya.
“Aku adalah ketua Festival Hekiten tahun ini, Rokuyo Haruki.”
Dia adalah siswa paling top di kalangan populer di sekolah kami. Dan bagiku, Rokuyo-senpai, sesama anggota dari Klub Astronomi yang berhasil kami hidupkan kembali.
“Aku akan memimpin Festival Hekiten kali ini. Aku harap kalian bisa memberikan dukungan.”
“Oh, iya, benar,” gumamku sambil melihatnya berdiri percaya diri di panggung.
“Rokuyo-senpai dan Nito memang yang memimpin festival budaya, ya...?”
Sama seperti di percobaan pertamaku.
Anggota panitia festival budaya direkrut melalui nominasi. Dan setelah pemilihan di antara para calon, Rokuyo-senpai terpilih sebagai ketua dan Nito sebagai wakilnya.
Festival budaya SMA Amanuma dikenal dengan sebutan Hekiten. Lumayan besar untuk ukuran sekolah negeri. Kru TV kadang datang untuk meliput, dan pertunjukan di panggung disiarkan online, memberikan suasana seperti festival lokal.
Dan dua anggota Klub Astronomi kami yang memimpin acara besar seperti ini.
“Aku ingin membuat Hekiten tahun ini lebih seru dari biasanya,” lanjut Rokuyo-senpai dengan suara yang penuh semangat. “Jujur saja, aku ingin membuat ini jadi Hekiten terbaik yang pernah ada.”
Gegap gempita terdengar dari para siswa, seperti “Oooh” secara serempak. Pidato Rokuyo-senpai memiliki kekuatan persuasif yang aneh. Mau tak mau, aku ikut merasa bersemangat hanya dengan mendengarnya.
“Untuk mewujudkannya, kami berencana mengambil banyak tantangan baru yang belum pernah kami coba sebelumnya. Seperti memperluas area acara dan memperkuat sistem siaran. Tapi itu bukan segalanya. Kami juga akan meningkatkan acara-acara yang selalu diadakan setiap tahun. Khususnya, aku akan bertanggung jawab atas panggung sukarela, dan Nito, wakil kami, akan memimpin panggung utama. Kami ingin membuat semuanya lebih menyenangkan dari sebelumnya!”
Terdengar gumaman terkejut dari para siswa, beberapa bahkan bersorak kecil. Sepertinya kharisma Rokuyo-senpai sebagai ketua panitia sudah mulai terlihat.
“Jadi—ayo kita kerja sama, oke? Ayo bersatu dan buat ini jadi Hekiten terbaik!”
Tepuk tangan meriah menggema di seluruh aula. Kamu bisa merasakan antisipasi dan kegembiraan dari betapa kerasnya suara tepuk tangan itu.
“…Dia memang luar biasa,” aku mendapati diriku berbisik. “Keduanya, jujur saja. Untuk mengambil tanggung jawab sebesar itu…”
Rokuyo-senpai dan Nito benar-benar hidup di dunia yang berbeda denganku. Diberi kepercayaan besar dari sekolah, dan disemangati seperti ini oleh seluruh siswa… Pemandangan seperti ini mungkin membuatku merasa rendah diri di masa lalu.
Tapi melihat Nito berdiri di samping Rokuyo-senpai kini memberi makna yang sepenuhnya berbeda. Rokuyo-senpai, sosok yang sangat penting dalam menyelamatkan Klub Astronomi kami, dan Nito, pacarku—mereka berdua akan memimpin festival budaya tahun ini.
“…Sepertinya aku harus mendukung mereka, ya?” gumamku sambil mengangguk pelan.
Mungkin aku hanya karakter sampingan dibandingkan dengan mereka. Mungkin aku tidak diberi wewenang atau peran apa pun, tapi mereka penting bagiku.
Aku merasa pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan. Untuk pertama kalinya dalam ingatanku, aku merasa bersemangat tentang acara sekolah.
“Aku akan mendukung mereka sebisaku...”
Tanpa pikir panjang, aku langsung memutuskan untuk melakukannya.
₊ ✧ ₊
“Aduh, aku benar-benar harus bekerja keras, ya?”
Siang itu, kami sedang makan siang di halaman sekolah karena cuacanya sangat bagus.
Nito, yang sedang menikmati roti lapisnya, menghela napas pelan.
Rambut panjangnya yang hitam tampak berkilau keperakan di bawah sinar matahari musim gugur. Warna merah muda samar pada rambutnya dan biru langit pada kuku kaki yang terlihat karena dia melepas sepatunya terlihat lebih kalem dari biasanya, menyatu dengan warna-warna di sekitarnya.
Ekspresinya jauh lebih rileks dibandingkan saat aku melihatnya di panggung pagi ini. Cahaya di matanya tampak tenang, pipinya tampak santai, dan ketegangan di bahunya menghilang.
Kebiasaan Nito untuk berpura-pura jadi murid teladan di depan umum, namun menunjukkan sisi aslinya hanya pada orang-orang terdekatnya, tidak pernah berubah.
“Hekiten, ya. Aku akan tampil di acara terakhir di panggung utama,” katanya.
“Ah, ya,” aku mengangguk, mengingat apa yang terjadi sebelumnya. “Memang seperti itu di Hekiten yang aku ingat juga. Semua orang sangat bersemangat waktu itu.”
Namun, entah kenapa, aku sendiri tidak bisa menyaksikannya secara langsung.
Tetapi, penampilan hari itu menjadi perbincangan hangat di kalangan siswa untuk waktu yang cukup lama. Lagunya luar biasa, penampilannya memukau, auranya luar biasa, dan semacamnya. Sampai-sampai aku, yang waktu itu nyaris tak punya teman, juga mendengar tentangnya.
“Benar, kan~?” kata Nito santai sambil mengayunkan kakinya. “Waktu itu ada kru TV yang meliput acara. Semuanya terekam, lalu masuk ke berita. Di situlah seseorang dari label rekaman kebetulan melihatnya, dan debut besar-besaranku jadi kenyataan.”
“Oh, jadi begitu caranya!”
Sejujurnya, aku sama sekali tidak tahu kalau semuanya berawal dari situ.
Sekarang, Nito tergabung dalam Integrate Mug, sebuah agensi yang mendukung para kreator.
Sementara dia sudah berkarya di sana dan lagunya beserta video musiknya diunggah secara online, dia belum menandatangani kontrak dengan label rekaman sehingga lagunya tidak disebarkan melalui cara itu. Namun sekarang, berkat festival sekolah, dia akan menandatangani kontrak untuk mendistribusikan musiknya secara luas. Dengan kata lain, dia akan melakukan apa yang disebut “debut besar-besaran”.
“Yap. Jadi aku harus tampil habis-habisan kali ini juga.” Nito tertawa kecil, namun wajahnya terlihat agak khawatir. “Aku harus memberikan penampilan yang membuat orang dari label itu terpesona, sampai-sampai mereka berkata, ‘Ini apa-apaan nih?!’”
“Katanya sih sekarang nggak terlalu perlu debut besar-besaran....” Aku memang nggak terlalu paham dunia musik, tapi aku jadi penasaran dan merasa harus bertanya. “Kan sekarang bisa langsung menyebarkan karya lewat internet. Rasanya nggak perlu-perlu banget kontrak dengan label besar. Kenapa nggak terus aja dengan Integrate Mug?”
Memberikan penampilan yang bisa memukau label rekaman.
Aku membayangkan itu pasti sangat sulit.
Sebuah perusahaan akan menginvestasikan uang yang cukup besar untuk seorang artis yang mereka debutkan, jadi mereka nggak bisa sembarangan masuk ke kontrak begitu saja. Apalagi di kondisi ekonomi yang katanya sedang resesi ini.
Itu berarti, kecuali bisa memberikan penampilan yang benar-benar luar biasa, nggak mungkin bisa debut besar-besaran… Belum lagi, Nito juga punya tanggung jawab sebagai wakil ketua panitia festival budaya.
Sepertinya cukup berat, ya?
Mengambil begitu banyak tanggung jawab sekaligus pasti sangat sulit, bukan? Jadi, kenapa nggak menunda dulu debutnya dan fokus untuk membuat festival sekolah sukses… begitu pikirku, tapi—
“Memang benar, ada banyak musisi yang sukses besar tanpa debut dari label besar,” kata Nito, tiba-tiba terlihat serius. “Ada juga yang terkenal di internet dan menjual musik mereka sendiri. Kalau ngomongin dari sisi bisnis, itu mungkin lebih mudah karena orang yang terlibat lebih sedikit.”
“Nah? Jadi kenapa nggak coba itu aja, Nito?”
“Umm, aku sudah pertimbangkan itu juga,” jawab Nito dengan senyum kecil, menggigit bibirnya sedikit. “Sebenarnya, aku sempat coba itu di satu putaran waktu itu, tapi...”
“Lalu gimana hasilnya?”
“Minase-san malah jadi kelelahan...”
Minase-san. Pendiri Integrate Mug sekaligus rekan kreatif Nito. Dia semacam produser, sutradara, dan manajer dalam satu orang, yang mendukung semua kegiatan Nito sebagai musisi dari balik layar.
“Kurasa memang ada batasan dalam hal bernegosiasi dan mengurus segalanya sendirian. Meski begitu, dia terus mencoba meningkatkan aktivitasku, sampai-sampai mendorong dirinya terlalu keras… Walaupun kelihatannya dia tangguh, sebenarnya mentalnya nggak sekuat itu. Sampai-sampai dia benar-benar jatuh ke titik terendah...”
Nito menundukkan matanya mengingat kejadian itu.
“Jadi... itulah kenapa aku benar-benar harus debut besar-besaran. Aku harus meringankan beban kerja Minase-san...”
“…Mengerti.”
Benar juga, ya… Masuk akal.
Dia ingin melindungi rekan yang berharga baginya. Nito rela berusaha keras demi Minase-san, seseorang yang telah banyak berkorban untuknya. Dia merasa harus memberikan penampilan yang luar biasa, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
Itulah Nito yang selalu kupahami. Dan saat menyadari itu, aku jadi semakin mencintainya.
Jadi—apa yang harus aku lakukan sudah jelas.
“Kalau ada yang bisa kulakukan, aku akan melakukannya,” aku berkata sambil menatap langsung ke mata Nito. “Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang aja. Aku akan bantu. Jadi… jangan ragu untuk memintanya.”
Inilah alasan kenapa aku kembali menjalani masa SMA. Aku ada di sini sekarang untuk berada di sisi Nito, untuk menyelamatkannya dari masa depan di mana dia menghilang. Aku ingin melakukan segalanya yang bisa kulakukan.
Demi diriku sendiri, aku ingin Nito bergantung padaku.
“…Baiklah.”
Nito mengangkat kepalanya dan menatapku. Pipinya tampak rileks.
“Makasih, aku sangat menghargainya,” katanya dengan senyum yang nyaris meluap. “Tapi, maksudku… penampilan kali ini nggak sesulit itu, kok. Aku sudah mengulangnya berkali-kali, jadi tahu persis batas yang harus dilewati nggak setinggi itu. Kalau dipikir-pikir, siaran langsung di semester pertama malah jauh lebih sulit...”
“Hah, masa?”
Kaget dengan apa yang dia katakan, aku melongo menatapnya.
“Jadi, kenapa kamu memaksakan diri sejauh itu?”
“Hmm...”
Ekspresi Nito kembali serius.
Dengan ragu, dia mencari kata-kata yang tepat—
“...Mungkin lebih ke soal tekad untuk membuat seseorang kecewa?”
Tertangkap basah, aku mendadak kehabisan kata-kata.
Tekad untuk membuat seseorang kecewa.
Apa... maksudnya?
Masa depan Nito terlihat cerah, dan Minase-san juga mendapat bantuan… jadi, apakah ada hal lain yang mungkin terjadi?
Tapi sebelum aku bisa merangkai pertanyaan itu ke dalam kata-kata—
“Ah, hei, kamu benar-benar mau bantu semuanya, kan?” tanya Nito, nada suaranya berubah. “Kamu akan bantu aku untuk tampil sukses di panggung, kan?”
“...Y-Ya,” aku mengangguk, bingung dengan pengalihan topik yang tiba-tiba. “Tentu saja! Serahkan padaku! Bagaimanapun, ini adalah SMA-ku yang kedua kalinya! Pengalamanku sudah lumayan banyak, kalau boleh kubilang!”
“Oh, begitu, begitu.”
Mengangguk, Nito memberiku senyuman lebar.
“Kalau begitu, gimana kalau... kasih aku ciuman?”
“...Apa—?”
“Yuk, Meguri, cium aku...”
Deg.
Jantungku berdetak kencang, berdebar menyakitkan.
C-Ciuman!? Hah, maksudnya, apa kamu sedang ngomongin... hal yang biasa dilakukan pasangan...?
“K-Kenapa kamu...” aku tergagap, bingung bagaimana kita tiba-tiba sampai pada titik ini.
“Kenapa kita tiba-tiba membahas ini dari topik sebelumnya...?”
“Yah, karena...” senyum Nito makin melebar saat dia menatap wajahku. Kemudian, dia mendekat sedikit lagi. “Kalau aku punya hadiah seperti itu, aku bisa lebih semangat bekerja. Dan selain itu, kamu belum pernah melakukannya untukku, kan?”
“...Benar juga, aku belum pernah.”
“Jadi, aku mau kamu melakukannya setidaknya sekali. Ayolah, nggak apa-apa, kan?”
Dia benar, aku belum pernah mengambil inisiatif sebelumnya.
Kami memang sudah beberapa kali berciuman sejak kami mulai berkencan. Pertama kali di atap sekolah, sesaat setelah kami jadian. Dan beberapa kali lagi setelah itu, saat suasana mendukung.
Tapi Nito selalu menjadi yang memulai, dan aku selalu ikut begitu saja.
“Baiklah, ya, aku mengerti...”
Mungkin hal itu membuat Nito merasa kurang nyaman. Dan sebagai pacarnya, aku ingin memenuhi keinginannya saat ini.
“Kalau begitu, um...” Masih agak gugup, aku menguatkan diri. “Baiklah, aku akan melakukannya. Kalau penampilanmu sukses, aku akan melakukannya, jadi berusahalah dengan baik—”
“Nggak, nggak, bukan itu maksudku!”
Tapi kemudian, Nito, terlihat terkejut, segera menghentikan apa yang baru saja kukatakan dengan penuh keyakinan.
“Aku nggak ngomong soal kalau penampilanku sukses atau semacamnya, tapi sekarang! Aku mau ciuman sekarang, supaya aku bisa bekerja keras mulai sekarang!”
“S-Sekarang!?”
“Ya, sekarang! Aku nggak bisa menunggu sampai nanti!”
“Tapi, kita ada di halaman sekolah! Bisa aja ada siswa lain datang!”
“Tidak ada siapa pun di sini sekarang! Jadi ini kesempatan kita untuk ciuman! Ini sekarang atau nggak sama sekali!” kata Nito, dengan bersemangat mendekat ke arahku.
Dia menggenggam tanganku erat dan menatap mataku.
“Ayolah... Nggak ada waktu untuk ragu!”
Matanya, seperti kristal yang basah, menatapku. Lengkungan hidungnya yang indah dan bibirnya yang lembut di bawahnya... Jantungku berdebar kencang, dan aku berpikir, kalau sudah seperti ini, aku tidak punya pilihan lain selain melakukannya.
Menolak di saat ini rasanya tak mungkin. Aku benar-benar ingin Nito memberikan segalanya.
Jadi, tidak ada pilihan lain kecuali... aku yang harus memulai ciuman ini.
“Haaah...”
Yap, aku harus melakukannya.
Nito sudah siap mengerahkan segenap tenaga untuk festival budaya ini. Jadi, aku tidak seharusnya ragu untuk melakukan hal kecil ini demi dia...
Aku membulatkan tekad, menarik napas panjang, dan menguatkan diri. Perlahan, aku mulai mendekatkan wajahku ke arah Nito—
“Yo, Sakamoto!”
—Dan dengan cepat menjauh.
Sebuah suara memanggilku dari sudut halaman. Terkejut dengan suara akrab yang tiba-tiba itu, aku buru-buru menarik wajahku dari Nito dan menoleh.
“Hei, kawan, soal rencana kita buat festival budaya.”
“Iya, kami mikir gimana kalau kelas kita diubah jadi kafe cosplay.”
“Bisa bantu dukung dengan suaramu?”
Teman-temanku, Nishigami, Takashima, dan Okita, datang menghampiri. Mereka bertiga adalah orang yang biasanya aku temani di kelas.
Saat mereka melangkah mendekat, mereka tiba-tiba menyadari kehadiran Nito yang duduk di sebelahku—
“...Y-Yo! Nggak tahu kamu lagi sama Nito-san!”
“Beritahu dong sebelumnya, bro!”
Mereka tiba-tiba terlihat gugup dan mundur perlahan.
“Kalian nggak bisa nyalahin aku juga, kan? Kalian yang datang tiba-tiba!”
“Yah, tapi kita perlu persiapan mental kalau Nito-san ada di sekitar!”
“Iya, bro! Kita nggak mau gangguin kalian berdua…”
“Nggak usah khawatir soal itu!”
Nito langsung berubah ke mode siswa teladan. Entah kapan, dia sudah mengenakan sepatu kembali, lalu tersenyum ramah ke arah mereka bertiga.
“Kita kan teman sekelas, kalian bisa ngobrol biasa aja! Kalau mau, kita bisa makan siang bareng!”
“Hah, beneran!?”
“Nito-san, kamu baik banget!”
Nishigami dan dua lainnya terlihat sangat berterima kasih.
Aku pun bisa paham bagaimana perasaan mereka. Di kehidupan SMA pertamaku, dulu, aku menjaga jarak dengan Nito. Rasanya terlalu sulit untuk dekat dengannya, sampai aku malah menghindarinya.
Aku dulunya ada di posisi Nishigami. Seorang siswa biasa yang rasanya nggak mungkin bergaul dengan orang seperti Nito.
Jadi—
“...Nggak, kalian nggak perlu di sini. Aku dan Nito akan makan sendiri.”
“Kenapa gitu!? Nito-san bilang boleh, kok!”
“Jangan sok pacar deh cuma karena udah sering jalan bareng!”
“Aku nggak sok! Aku beneran pacarnya, kok!”
Saat berdebat dengan Nishigami, aku menyadari… SMA kedua ini memang jadi perjalanan yang aneh.
Orang-orang mungkin setara, dan surga tidak menciptakan seseorang ada di atas yang lain, namun, kenyataannya ada banyak jenis-jenis orang. Nito, aku, dan dua anggota Klub Astronomi lainnya mungkin bukan jenis orang yang akan bergaul dalam keadaan normal. Tapi entah kenapa, meski terasa aneh, menyenangkan juga berada bersama mereka.
“Kalau gitu, lain kali kita makan bareng, ya!”
“Seriusan? Kamu serius!?”
“Ya, lebih seru kalau ada banyak orang!”
Kata Nito ceria kepada Nishigami dan dua lainnya. Tapi, di luar pandangan mereka, aku merasakan Nito mencubit tangan belakangku, tampaknya masih sedikit kesal karena tidak mendapat ciuman.
Aku benar-benar senang bisa melihat sisi Nito yang seperti ini.
₊ ✧ ₊
Beberapa waktu kemudian, aku sedang bersama tipe lain yang berbeda.
Senpai-ku, Haruki Rokuyo, seseorang yang seperti hidup di planet berbeda denganku.
“Argh! Harus gimana, ya!?”
Saat itu kami berdua ada di ruangan Klub Astronomi; Nito dan Igarashi-san sedang ada urusan. Dia mengeluh sambil duduk di depan laptop, sibuk menyiapkan Festival Hekiten.
“Hmm, kayaknya nggak cukup nih. Gimana ya, harus cari strategi lain...”
Oh, jadi orang kayak dia juga ternyata bisa kesulitan, ya? Seperti itulah jadi ketua panitia, kurasa.
Dia populer dan sigap, jadi selalu kukira dia orang yang bisa mengerjakan semuanya. Dia juga sedikit nekat dan berani, jadi kesannya dia selalu bisa diandalkan.
Tapi tetap saja, jadi pemimpin seluruh festival itu pasti berat.
Dalam hati, aku membuat wajah “anak buah setia” sambil berpikir, Santai aja, bos... Jangan terlalu keras sama diri sendiri, ya?
Tapi ada satu hal yang aku nggak ngerti.
“Um, Senpai,” tanyaku lebih keras dari yang kukira sambil melihat dari layar ponselku. “Bukannya lebih masuk akal kalau urusan festival budaya dikerjakan sama komite? Kan ada ruangan khusus buat kalian.”
“Er, iya, tapi...” Rokuyo-senpai melihat ke arahku dari laptopnya dan menarik napas panjang. “Aku nggak mau mengeluh di sana. Nggak pengen bikin suasana jadi murung. Aku mau kelihatan optimis di depan mereka, nunjukkin sisi semangatku, ngerti kan?”
“Ah, jadi hal kayak gitu mengganggu ya, Senpai?”
“Tentu aja. Itu hal paling penting. Jadi kalau aku lagi merasa buntu atau pengen ngeluh, aku bakal ke sini.”
Hal yang paling penting, ya... Jadi, orang seperti dia benar-benar memperhatikan motivasi orang lain.
Mungkin juga soal pride—nggak pengen nunjukkin sisi lemahnya ke orang lain. Tapi gambaranku tentang dia lebih sebagai tipe bigshot, yang nggak perlu begitu.
“Tapi maaf, Meguri, aku bikin suasana jadi nggak enak buatmu?”
“Ah, nggak kok! Santai aja,” aku bilang, menggelengkan kepala keras-keras. “Aku cuma kaget. Ternyata kamu juga bisa ngerasa pengen ngeluh, ya, Rokuyo-senpai.”
“Ah, iya.”
Dia terdiam sejenak, seperti berpikir, sebelum tersenyum kecil. Kurasa itu pertama kalinya aku lihat dia senyum seperti itu. Senyum yang kayaknya ngasih lihat sisi kuat di dalam dirinya yang selalu kukira nggak tersentuh.
“...Bisa ngobrol sebentar?” tanyanya akhirnya.
Dia menatapku dengan tatapan jarang-jarang kutemui, tatapan yang terasa mencari sesuatu.
“Ada waktu nggak, Meguri?”
Di situ, aku merasa ada vibe “butuh bantuan” dari Rokuyo-senpai, seseorang yang kuanggap paling independen dan ramah.
“...T-Tentu saja.” Aku mengangguk penuh semangat, merasa agak senang. “Aku siap dengerin, jadi silakan. Jangan sungkan.”
Kenapa... kenapa aku merasa senang banget soal ini? Aku merasa tersanjung, sekaligus agak rendah hati, tapi terutama sangat senang dibutuhkan oleh orang seperti dia.
“...Aku pernah bilang kan kalau aku pengen mulai usaha sendiri.”
“Oh iya, aku ingat kamu bilang begitu.”
“Aku pengen bikin perusahaan sama teman-teman, ngembanginnya bareng-bareng. Ayahku juga mulai usahanya sendiri. Aku mengaguminya dan pengen ngelakuin hal yang sama.”
Dia pernah cerita tentang itu waktu pertama kali gabung di Klub Astronomi. Dia ingin mulai bisnis, jadi dia ingin berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang dan kepribadian yang beda selama masih bisa. Itulah alasan dia gabung di Klub Astronomi, tempat dengan suasana berbeda dari yang dia biasa temui di kelasnya.
Aku bisa banget membayangkan Rokuyo-senpai jadi pebisnis. Kurasa memang seperti inilah calon-calon pengusaha. Kebanyakan dari mereka yang karismatik biasanya sudah populer sejak sekolah.
“...Tapi ayahku nggak setuju,” katanya, terlihat seperti menelan sesuatu yang pahit. “Sekarang ini, memulai bisnis baru itu nekat. Dia bilang aku sebaiknya kerja dulu di perusahaannya.”
“Seriusan?”
Dapat tentangan dari orang tua.
Frasa itu nggak cocok dengan image Rokuyo-senpai di benakku, membuatku merasa aneh.
Tapi wajar aja, dia juga punya orang tua, dan normal untuk minta pendapat mereka soal masa depannya.
Kalau aku ingat, ayah Rokuyo-senpai adalah presiden suatu perusahaan. Kukira dia akan memahami mimpi anaknya, tapi… pengen dia kerja di perusahaan sendiri, ya? Mungkin itu cerita umum di keluarga berada.
“Tapi... Aku terus maksa dan maksa. Lalu, dia kasih syarat. Kalau aku bisa memenuhi syarat itu, dia akan mendukung rencanaku buat mulai bisnis, bahkan bantuin aku.”
Tepat saat dia selesai bicara, bel berbunyi. Aku melirik jam—pukul 7 malam. Saatnya semua murid pulang.
“...Lanjut sambil jalan aja, gimana?”
“Boleh juga.”
Kami mengangguk satu sama lain dan merapikan barang-barang kami.
Setelah mengunci ruang klub, kami menuju tangga.
“Ayahku adalah alumni SMA ini,” katanya sambil berjalan menuruni tangga.
Lampu-lampu di dalam sekolah sudah dimatikan, agak gelap rasanya.
Lewat jendela, aku bisa melihat langit Ogikubo yang mulai gelap. Biru indigo pekat, bagaikan noda yang menyebar, dihiasi bintang-bintang kecil yang berkelip.
“Dan di tahun kedua, dia jadi ketua panitia Festival Hekiten, sama seperti aku.”
“Serius!?” teriakku, terkejut saat kami berjalan melalui lorong menuju ruang guru. “Jadi kamu generasi kedua ketua panitia festival di keluargamu! Luar biasa, ternyata hal kayak gitu bisa kejadian...”
“Yah, pokoknya syarat yang dia kasih itu ada hubungannya dengan festival ini.”
Kami menyapa guru-guru di ruang staf saat kami masuk untuk mengembalikan kunci ruang klub ke kotak kunci. Banyak guru yang masih sibuk bekerja di meja mereka, jadi kami memberi hormat sebentar sebelum keluar ruangan.
“Aku udah bilang kan kalau aku bakal tangani panggung sukarelawan untuk Hekiten tahun ini, dan Nito bakal mengurus panggung utama. Nggak kayak biasanya, di mana ketua dan wakil ketua ngurusin semua langsung bareng-bareng.”
“Oh, iya, aku ingat.”
Panggung sukarelawan dan panggung utama. Seperti namanya, panggung sukarelawan adalah panggung lebih kecil tempat penampilan sukarelawan, sementara panggung utama adalah pusat dari festival budaya, yang dikelola langsung oleh pihak sekolah.
Biasanya, panggung utama ada di gimnasium pertama, sedangkan panggung sukarelawan ada di kelas khusus, masing-masing dengan suasananya sendiri.
Tapi ada perbedaan besar dalam skala penonton. Kemungkinan jumlah penonton panggung utama bisa tiga kali lipat dari yang ada di panggung sukarelawan.
“Aku harus bikin panggung sukarelawan lebih ramai daripada panggung utama,” Rokuyo-senpai berkata dengan suara agak bingung saat kami menuruni tangga lagi. “Dia bilang aku harus bisa mengalahkan panggung utama dalam hal jumlah penonton.”
“...Serius?”
“Kalau aku bisa ngelakuin itu, dia bakal kasih izin buat aku mulai usaha.”
Aku langsung sadar betapa beratnya tantangan itu. Intinya, menang melawan panggung utama dengan panggung cadangan. Artinya, harus bisa menarik lebih dari tiga kali lipat jumlah penonton biasanya. Nggak peduli dari sisi mana aku melihatnya, ini bukan tantangan yang kecil. Syarat itu kelihatan nggak masuk akal, bahkan untuk seseorang seperti Rokuyo-senpai.
Tapi, aku ingat sesuatu yang lain.
“...Um, tunggu sebentar,” kataku dengan suara agak keras saat kami sampai di lantai pertama dan melanjutkan berjalan menyusuri lorong. “Bukankah Nito adalah... penampil terakhir di panggung utama, kan?”
Kelihatannya hampir semua siswa sudah pulang.
Suaraku bergema di lorong yang sepi.
“Dia bakal tampil sebagai NITO, kan?”
Dan bukan penampilan biasa. Ini adalah penampilan yang akan menentukan debut besar Nito, yang bisa menentukan masa depan perjalanannya.
Nito pasti akan tampil habis-habisan, dan aku pribadi berharap penampilannya sukses besar.
Tapi… Rokuyo-senpai harus mengalahkan panggung itu. Dia harus menang melawan Nito.
...Apa itu mungkin?
Aku melihat ke bawah ke arah kaki, dan tiba-tiba merasa ragu.
Bahkan di tahun-tahun biasa, rasanya nggak mungkin panggung sukarelawan bisa mengalahkan panggung utama. Aku sendiri mungkin bakal menyerah kalau diberi tantangan itu, dan bahkan dengan Rokuyo-senpai sebagai pemimpinnya, rasanya tetap sulit dicapai.
Dan di situ ada NITO. Di samping semua itu, dia berdiri sebagai penghalang besar di depan Rokuyo-senpai. Musisi dengan bakat yang luar biasa. Seorang jenius sejati yang nantinya akan meroket di dunia musik Jepang, tampil di Kohaku Uta Gassen beberapa tahun kemudian, bahkan menjajal dunia internasional.
Bahkan sekarang, NITO sudah menarik perhatian besar sebagai musisi yang aktif online.
Dia harus bersaing dengannya, dan menang. Dan, di ranah yang jadi keunggulan Nito—menarik perhatian penonton.
Apakah hal seperti itu benar-benar mungkin?
“Yah... aku nggak punya pilihan lain selain mencoba!” kata Rokuyo-senpai dengan suara yang terdengar mengejutkan ceria. “Aku memang lagi dalam posisi sulit, nggak bisa disangkal. Nito itu jenius, sembilan puluh sembilan dari seratus orang pasti bakal menyerah.”
“...Ya, aku juga setuju.”
“Tapi tahu nggak, ternyata aku adalah satu orang yang tersisa itu,” Rokuyo-senpai berkata sambil tertawa tanpa ragu.
“Aku jelas orang biasa. Aku sering dibilang tipe yang bisa melakukan apa aja kalau aku mau, tapi faktanya aku nggak bisa ngelakuin sesuatu kecuali aku berusaha keras, itu yang bikin aku ‘normal’, kalau itu masuk akal. Tapi tetap aja... kalau aku bertarung dengan segala yang kumiliki, kurasa aku bisa berhasil. Entah bagaimana caranya. Kalau aku nggak menyerah dan terus mencari ide, aku yakin bakal nemu cara buat tembusin batas itu.”
Saat sampai di pintu masuk, kami berganti sepatu di loker masing-masing.
Dan ketika kami keluar dari gedung dan berjalan menuju gerbang utama—
“Aku bakal lakuin ini,” Rokuyo-senpai berkata, seolah-olah menantang sesuatu.
“Aku bakal tunjukin gimana orang biasa—bisa mengalahkan seorang jenius!”
₊ ✧ ₊
“Dulu kukira orang yang nyalahin nasib itu orang lemah."
Itulah yang dikatakan Rokuyo-senpai padaku saat kami duduk di pojokan sebuah kafe dekat sekolah. Duduk di seberangku, ia meniupkan asap rokok sambil memasang ekspresi pahit.
“Gacha orang tua, gacha penampilan, gacha rumah—semua itu cuma alasan,” katanya dengan suara pelan.
Refleks, aku hampir menegurnya karena rokok yang ada di mulutnya. Tapi setelah dipikir-pikir, Rokuyo-senpai sudah lewat usia dua puluh. Secara hukum, dia sudah diperbolehkan merokok.
Aku kembali ke masa depan. Dua setengah tahun setelah festival budaya, di alur waktu yang sekarang. Rokuyo-senpai, yang kini jadi mahasiswa dan sudah agak bertambah usia, terlihat sangat kelelahan.
Rambut pendeknya berantakan, tak berusaha ia tata, dan kemejanya kusut. Energi dan aura dari masa SMA-nya tampak memudar, bahkan suaranya kehilangan semangat.
“...Aku benar-benar salah,” katanya sambil menghembuskan asap rokok lagi. “Orang memang punya takdir yang berbeda. Seberapa keras seseorang berusaha, ada jarak bakat yang nggak bisa tertutupi.”
Dia menunduk dan menyebut namanya dengan lirih.
“Nito... dari dunia yang berbeda.”
Suaranya terdengar sangat pelan, tidak seperti Rokuyo-senpai yang kukenal. Suara itu begitu lemah sampai sulit untuk didengar.
“Kami bahkan nggak ada di dimensi yang sama. Aku nggak bisa menang melawan seseorang seperti dia...”
Dia benar-benar merasa kalah.
Ternyata, setelah pembicaraan kami, Rokuyo-senpai benar-benar habis-habisan merencanakan panggung sukarelawan. Dia mengumpulkan sendiri para pengisi acara, bernegosiasi agar bisa memakai tempat yang lebih besar, dan melakukan banyak upaya promosi.
Tapi—
“Meskipun begitu... empat kali lipat.”
—Hasilnya benar-benar kejam.
“Selisihnya bahkan lebih besar dari biasanya... Ahaha. Yang bisa kulakukan cuma ketawa.”
Jumlah penonton di panggung utama empat kali lipat dari yang di panggung sukarelawan. Meski jumlah pengunjung secara keseluruhan meningkat, Nito berhasil mencapai hasil yang jauh lebih mencengangkan.
Dia menarik lebih banyak penonton dari kapasitas tempat, mencetak rekor sebagai penampil dengan pengunjung terbanyak, dan menang telak.
Karena itu, Rokuyo-senpai akhirnya menyerah untuk memulai bisnis, dan sekarang tampak menjalani kehidupan kuliah dengan sikap agak destruktif.
“A-Aku mengerti,” jawabku dengan suara kaku dan tertegun.
Empat kali lipat.
Rokuyo-senpai sudah mengambilnya dengan sangat serius. Pasti dia mengerahkan lebih banyak usaha daripada yang bisa kubayangkan.
Semuanya seharusnya sudah dalam kualitas tinggi juga. Bagaimanapun, dia yang mengurusnya. Aku memang nggak lihat langsung, tapi pasti nggak buruk.
Tapi tetap saja—empat kali lipat. Rokuyo-senpai benar-benar kalah telak, bahkan gagal mencapai tiga kali jumlah penonton biasanya di panggung utama.
Dinding besar itu menghantam masa depannya dengan kejam.
Saat itu, aku teringat sesuatu. Pertama kali aku berbicara dengan Rokuyo-senpai, setidaknya dari perspektifku, adalah hari di mana aku pertama kali melintasi waktu, di tengah pembicaraan tentang masa depan dengan Makoto.
Rokuyo-senpai mendekati kami dan memulai percakapan.
Saat itu, dia bilang sesuatu seperti, “Bisa dibilang kami saingan... Tapi kami nggak bisa disebut saingan juga.”
Aku yakin Rokuyo-senpai di garis waktu itu pasti merasakan hal yang sama dengan yang ini. Dia menantang Nito di festival budaya dan kalah.
Di garis waktu itu, dia terlihat bagiku seperti seorang kakak kelas yang gemilang… tapi, kalau dipikir-pikir, memang ada sedikit bayangan rasa kecewa di wajahnya. Di setiap garis waktu, Rokuyo-senpai selalu dipatahkan oleh Nito.
“...Sejak saat itu,” lanjut Rokuyo-senpai dengan suara serak, “Nito berhenti datang ke klub sama sekali... dan kalian juga putus, kan?”
“A-Ah, iya, benar.”
Aku berpura-pura tahu ceritanya, walau ini pertama kalinya aku mendengarnya.
“Festival Hekiten adalah pemicunya, kan...?”
“Maaf. Nggak cuma aku gagal, tapi aku juga ngerusak hubungan kalian.”
Apa dia benar-benar akan menyalahkan dirinya sendiri untuk hal itu juga?
Walaupun terluka, ternyata Rokuyo-senpai masih merasa bertanggung jawab juga.
Saat itu, aku ingat sesuatu lagi.
Di hari lain saat makan siang, ketika kami berbicara tentang festival budaya, Nito bergumam sesuatu.
“...Tekad untuk membuat seseorang terluka, mungkin?”
Semuanya masuk akal sekarang. Nito tahu jika dia menang, Rokuyo-senpai akan terluka. Dia mungkin bahkan tahu kalau masa depannya akan terhalang dan dia akan terpuruk. Seperti saat perseteruannya dengan Igarashi-san yang mendorongnya ke batas, insiden ini mungkin juga salah satu alasan dia menghilang.
“Aku penasaran bagaimana keadaannya sekarang...”
Aku menatap keluar jendela setelah mendengar Rokuyo-senpai mengatakannya.
“Kenapa dia bisa tiba-tiba menghilang seperti ini... padahal begitu banyak yang mendukungnya...?”
Terlepas dari segalanya, masih terlihat jelas kepedulian dan rasa khawatir pada wajahnya.
Sekali lagi, aku merasa bahwa ini bukanlah akhir yang seharusnya untuk Rokuyo-senpai.
₊ ✧ ₊
“Argh, sialan, aku nggak bisa dapetin nadanya dengan benar!”
Duduk di depan piano, Nito mengacak rambutnya karena frustrasi.
“Hmm, rasanya kayak aku nggak bisa nemuin suaraku, padahal aku merasa baik-baik aja...”
Aku kembali ke masa lalu, setelah sekolah bersama semua orang di ruang klub.
Nito tampaknya sedang kesulitan dengan latihannya. Dia mulai kesal, menekan tuts piano dan mencoba bernyanyi berulang kali.
Mungkin ini sekitar tiga hari sejak kami terakhir kali berkumpul bersama seperti ini.
Persiapan untuk Hekiten mulai meningkat, dan semua orang jadi lebih sibuk setelah sekolah.
Apa karena itu?
Melihat Nito, Igarashi-san, dan Rokuyo-senpai semua berkumpul seperti ini membuatku terharu, dan aku menarik napas panjang sambil memainkan ponselku.
“Hah, menurutku sih udah bagus kok,” kata Igarashi-san dengan nada santai saat dia berdiri di samping Nito, menyeruput jusnya. “Permainan pianomu dan suaramu udah bagus banget. Menurutku ini udah oke.”
“Nggak, ya… um…”
Sejak liburan musim panas berakhir, popularitas Nito rasanya semakin meroket. Video musik animasinya yang pertama memecahkan rekor sebagai yang tercepat mencapai satu juta tontonan, dan permintaan wawancara dari majalah musik terus berdatangan.
Dan siaran langsung minggu lalu mencapai dua puluh ribu penonton bersamaan.
Sekarang, dia jadi artis yang dikenal semua orang yang sedikit saja tertarik dengan musik.
Tapi... dia tetap Nito yang sama. Tanpa alas kaki seperti biasa, jari kakinya yang dihiasi cat kuku bergerak-gerak saat ia duduk sambil merajuk di depan piano.
“Menurutku itu udah cukup bagus juga,” kata Rokuyo-senpai sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. “Ini udah keren banget, bahkan sempurna.”
“Kamu pikir gitu?”
“Tapi yah, itu cuma pendapat amatir. Maaf kalau mengganggu,” katanya datar.
Baginya, Nito adalah tembok besar yang berdiri di depannya, sebuah potensi rintangan dalam hidupnya. Beberapa orang mungkin akan mengatakan—musuh.
Tapi dia tetap memperlakukan Nito dengan ramah. Bahkan, dia mendukungnya. Begitulah sifat Rokuyo-senpai.
“...Ya, mungkin aku harus berusaha sedikit lebih keras,” kata Nito, kembali ke piano. “Rasanya aku hampir bisa menemukan nada yang pas. Aku bakal coba beberapa kali lagi.”
“Ayo, Chika!”, “Jangan terlalu keras pada dirimu!” Mereka berdua menyemangatinya.
Aku sudah memutuskan. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan saat festival budaya tiba.
Aku melihat ke setiap orang di ruang klub satu per satu. Nito, dengan tangannya yang menari di atas tuts piano, dan Igarashi-san, pena di tangan, menatap lembaran cetak, termenung. Dia mungkin sedang mencari ide untuk penampilan kelasnya di Hekiten. Terakhir, ada Rokuyo-senpai, sesekali berkonsultasi dengan wakil ketua Nito sambil sibuk mengerjakan tugas komite festival di laptopnya.
Aku jadi sangat menyayangi tempat ini. Aku bahkan merasa tempat ini seperti milikku, dan orang-orang di dalamnya sebagai teman-temanku.
Jadi, aku ingin melindungi masa depan mereka semua. Aku ingin membawa semua orang ke masa depan yang bahagia, bukan hanya Nito, dan bisa menghadiri upacara kelulusan dengan senyuman.
Untuk mewujudkannya, aku harus bertindak. Aku harus mencegah tragedi yang akan terjadi di Hekiten.
“...Baiklah, ayo kita mulai,” gumamku pada diri sendiri sambil menonton video tentang Teleskop Luar Angkasa James Webb yang baru saja diunggah kemarin di saluran khusus trivia kosmik.
“Pertama-tama... aku harus menemukan sesuatu yang bisa kulakukan!”
Aku yakin bisa melakukannya. Hingga saat ini, aku bisa mengubah masa depan sedikit demi sedikit. Aku berhasil perlahan-lahan mengubah hasil dari hilangnya Nito.
Jadi, kali ini harus sama. Aku bertekad untuk menemukan jawaban yang tepat untuk kita semua. Jawabannya pasti ada di sana, di suatu tempat.
Post a Comment