Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 2 - Kamu (Tidak) Termasuk Dalam Hidupku!
“Apa!? Kamu mendaftar sebagai staf panggung sukarela!?”
Seminggu sudah berlalu sejak pengumuman dari ketua panitia Festival Hekiten. Setelah jam sekolah, suasana perlahan berubah saat seluruh sekolah mulai memasuki mode persiapan.
Kelas kami memutuskan untuk membuat kafe cosplay (mungkin agak meragukan), dan semua orang sedang dalam perjalanan untuk membeli perlengkapan. Mata Nito langsung melebar mendengar kabar itu.
“Meguri... Kamu mendaftarkan dirimu!?”
“Iya, setelah kupikir-pikir dengan matang, aku memutuskan untuk melakukannya,” jawabku, merasa agak canggung tetapi berusaha berdiri tegap sambil mengangguk ke arah Nito.
Trio Nishigami berjalan sedikit di depan kami, jadi aku memastikan bicara pelan agar mereka tidak mendengar.
“Aku sudah banyak berpikir... tentangmu, tentang Rokuyo-senpai, dan tentang diriku sendiri... dan kurasa ini adalah langkah yang tepat...”
Oktober sudah tiba, dan musim benar-benar berubah menjadi musim gugur sepenuhnya sekarang. Orang-orang yang berjalan di jalan mulai memakai pakaian yang lebih tebal.
Saat kami berjalan melalui distrik perbelanjaan, kami bisa mendengar radio lokal FM Ward Suginami yang mengiklankan restoran-restoran lokal—“Ini musim untuk makanan yang lezat!” Aku punya kelemahan untuk stasiun ini. Informasinya selalu relevan dengan area lokal, dan penyampaiannya terdengar santai. Tidak, ini bukan waktunya melamun!
“Hmph,” gumam Nito dengan ragu.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan keputusanku padanya.
Seperti yang dikatakan Nito, aku secara pribadi mendaftar sebagai staf panggung sukarela, yang dipimpin oleh Rokuyo-senpai. Sejujurnya, aku sempat meragukan keputusanku itu.
Ini adalah persaingan antara Nito dan Rokuyo-senpai. Nito adalah pacarku, dan Rokuyo-senpai adalah teman klub yang penting. Aku ingin mereka berdua bahagia.
Namun, sejujurnya, jika aku harus memilih siapa yang lebih kuutamakan, jawabannya adalah Nito. Alasan utama aku mulai menjelajahi waktu dari awal adalah untuk mencegah Nito menghilang.
Masa depannya sangat berarti bagiku, jadi mungkin kali ini juga, jalan terbaik adalah mendukungnya saat dia bersiap untuk tampil di panggung utama festival budaya. Tapi...
“Nito... berasal dari dunia yang benar-benar berbeda.”
Rokuyo-senpai dari masa depan mengatakannya dengan nada mengejek diri sendiri, seolah hampir menangis.
Tidak mungkin aku bisa membiarkannya menghadapi ini sendirian! Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja setelah melihatnya seperti itu! Aku akan membantu! Aku akan memberikan bantuan! Sungguh, itu bahkan membangkitkan naluri keibuan dalam diriku! Dan jujur saja, aku rasa Nito akan berhasil bahkan tanpa bantuanku kali ini. Jika dia terus bekerja keras dalam musiknya dan tampil di acara itu—itu saja sudah lebih dari cukup.
Jadi, jika aku ingin menyelesaikan semuanya dengan damai—untuk mencegah keputusasaan Rokuyo-senpai dan Nito terguncang karenanya—mungkin aku sebaiknya membantu Rokuyo-senpai, daripada sebaliknya.
Itulah sebabnya aku mendaftar menjadi bagian dari kru panggung sukarela. Aku mendapat sambutan hangat dari anggota panitia yang sudah ada dan sang ketua, Rokuyo-senpai.
Namun—
“Pengkhianattt!”
—Aku bisa membayangkan Nito menatapku tajam sambil cemberut saat dia mengatakan itu. “Kamu berjanji akan berada di pihakku, Sakamoto! Kamu bilang akan melakukan apa saja untukku!”
Begitulah akhirnya, kan?
Tidak diragukan lagi Nito tahu bahwa Rokuyo-senpai menantangnya untuk bertanding. Bagi Nito, mungkin terlihat seperti aku, pacarnya, berpihak pada musuh.
Namun, aku tidak berpikir Nito benar-benar marah. Nada suaranya cukup santai. Tapi ya, aku memang merasa agak bersalah.
“Maaf...” kataku padanya, bahuku menurun. “Aku punya alasanku. Tolong maafkan aku kali ini saja.”
“Tapi... bahkan Mone juga melakukannya...” lanjut Nito, terlihat benar-benar sedikit kesepian. “Mone melakukannya bersamamu juga, kan? Itu berarti aku satu-satunya yang ditinggalkan...”
Oh iya... Igarashi-san. Mengejutkan juga bahwa Igarashi-san, anggota Klub Astronomi lainnya dan sahabat Nito sejak kecil, juga ikut bergabung menjadi staf panggung sukarela.
“Oh, kamu juga bekerja di belakang layar, Sakamoto.”
“Kalau begitu, mungkin aku juga akan ikut.”
“Chika bekerja keras, dan aku juga ingin melakukan sesuatu.”
Dengan sikap santai itu, dia juga memutuskan untuk membantu.
Baik Rokuyo-senpai maupun aku sebenarnya cukup terkejut. Igarashi-san, melakukan hal seperti itu...
Yah... kurasa mungkin karena hanya panggung sukarela yang merekrut staf. Jika mereka merekrut untuk panggung utama, mungkin Igarashi-san akan ke sana.
Meski begitu, dia memilih bekerja di tempat lain, jauh dari Nito, atas keputusannya sendiri. Aku cukup terkesan melihat seberapa besar dia berkembang, mengingat dulu dia sangat lengket dengan Nito.
“Nah ya, itu benar, tapi...” kataku sambil tersenyum pada Nito yang cemberut.
Aku mengerti perasaan Nito, tapi aku benar-benar ingin dia mengerti. Aku ingin dia tahu bahwa dia adalah orang paling penting bagiku, dan aku tidak mengkhianatinya atau semacamnya.
“Jika ada sesuatu yang terjadi, aku tetap di sini untuk membantu, seperti biasanya. Jika itu sesuatu yang bisa kulakukan, aku pasti akan melakukannya!”
“...Benarkah?”
“Benar!” Aku bersikeras saat dia menatapku.
“Perasaanku padamu tidak berubah, Nito! Itu adalah prioritas utamaku, dan yang paling penting bagiku! Jadi, jika kamu butuh apa-apa, jangan ragu untuk meminta, oke?”
“...Oke.”
Nito tampak senang, bibirnya sedikit terangkat.
“Aku mengerti... Baiklah, aku akan memaafkanmu. Kamu bisa membantu panggung sukarela.”
“Terima kasih banyak.”
Aku lega dia tampak puas.
Tentu saja, aku benar-benar berniat mendukung Nito juga. Aku ingin ada untuknya jika keadaan jadi sulit.
Agar tidak ada kesalahpahaman bahwa aku hanya membantu panggung sukarela, aku akan berhati-hati mulai sekarang.
“Oke, kalau begitu, ada sesuatu yang ingin kulakukan segera...”
Nito memecah lamunanku saat dia menatapku dengan senyum nakal.
“...Boleh kita ciuman?”
“Itu lagi!?”
“Yap, dan maksudku sekarang, di sini juga, bukan nanti...”
“Nggak mungkin, pikirkan sebentar! Kita lagi di tempat umum! Teman-teman sekelas kita ada di sini!”
“Ayolah, nggak apa-apa! Kamu bilang aku bisa bilang apa yang kuinginkan tanpa ragu!”
“Ada batasannya!”
“...Aku mendeteksi ada yang lagi berduaan di sini,” suara cemburu terdengar dari depan kami saat kami berdebat.
“Ada apa ini... di tengah perjalanan belanja kelas juga.”
“Kira-kira ada pasangan yang masuk ke mode cinta...?”
Aku melirik ke arah suara itu dan melihat pelaku biasanya—Nishigami, Takashima, dan Okita.
Mereka melihat kami dengan tatapan kesal, seperti hantu yang dihantui nasibnya sendiri.
“Aku dengar sesuatu tentang ciuman...”
“Sakamoto-kun... pasti kamu nggak memaksa Nito-san melakukan sesuatu yang nggak pantas, kan, di tempat seperti ini?”
“Bukan begitu!” Aku tak tahan untuk tidak berteriak lagi, menghadapi tuduhan palsu seperti itu. “Kebalikannya! Nito yang mencoba membuatku melakukannya!”
“Huh, apa yang kamu bicarakan?” Nito langsung beralih ke mode murid teladan dan tersenyum canggung. “Apa yang kamu bicarakan, Meguri? Jangan mengatakan hal-hal seperti itu di depan Nishigami-kun dan yang lainnya.”
“Ya, Sakamoto! Nggak mungkin Nito-san melakukan hal seperti itu!”
“Kamu benar-benar mau menyalahkan dia!?”
Justru sebaliknya! Aku yang disalahkan di sini!
Tapi tentu saja, aku tidak bisa mengatakannya dengan lantang.
Kami melanjutkan debat heboh kami sambil berjalan ke toko untuk membeli perlengkapan.
₊ ✧ ₊
Mengumpulkan pengisi acara
Menegosiasikan tempat
Dua hal yang tertulis di papan tulis menarik perhatianku.
Enam dari kami berkumpul di kelas khusus, termasuk aku dan Igarashi-san.
Hari ini adalah “Pertemuan Staf Panggung Sukarela” yang pertama. Tujuh orang akan membentuk panggung: empat anggota panitia Festival Hekiten, ditambah kami berdua, dan ketua kami Rokuyo-senpai.
Sekilas, sepertinya motivasi anggotanya bervariasi. Sementara aku dan Igarashi-san terlihat antusias, ada beberapa siswa yang tampak berada di sana dengan enggan. Beberapa bahkan kelihatan ingin cepat pulang.
Yah… panitia dibentuk dengan memaksa dua orang dari setiap kelas untuk ikut serta. Kurasa tidak semua orang antusias.
Namun, suasana di ruangan itu jauh dari suram. Rokuyo-senpai, berdiri di podium, dengan semangat menunjuk ke papan tulis dan mulai menjelaskan rencana kami.
“Tahun ini, aku ingin membuat panggung sukarela lebih besar dari sebelumnya!” Suara Rokuyo-senpai yang dalam dan menggelegar memenuhi ruang kelas. “Yang terpenting adalah dua hal ini—Mengumpulkan para pengisi acara yang bagus dan mendapatkan tempat yang lebih luas daripada sebelumnya. Masih ada hal lainnya, tapi kita mulai dari sini dulu.”
Hmm, masuk akal juga. Biasanya, panggung sukarela diadakan di ruang kelas khusus, tapi tetap saja kalah jauh dibandingkan dengan panggung utama yang diadakan di aula olahraga pertama sekolah.
Ruang kelas khusus hanya sekadar nama saja—pada dasarnya, itu hanyalah ruang kelas biasa yang kosong. Meski penuh, ruang itu hanya bisa menampung sekitar lima puluh orang. Jelas sekali bahwa perbedaan tempat adalah tantangan besar yang harus diatasi.
Begitu juga dengan pengisi acaranya. Sekolah menyiapkan panggung utama untuk menampilkan klub budaya, individu, dan alumni yang mencapai prestasi besar di tahun itu. Sementara itu, panggung sukarela lebih untuk memberikan kesempatan bagi siapa saja yang antusias ingin tampil. Dengan kata lain, untuk para sukarelawan.
Kelihatannya, karena panggung sukarela sering kali kalah kualitas dibandingkan panggung utama, rencana kali ini adalah mencari pengisi acara yang benar-benar berkualitas tinggi.
Kedua hal ini adalah langkah awal dari visi Rokuyo-senpai untuk panggung sukarela.
Perlu disebutkan juga: Rokuyo-senpai tidak bermaksud menunjukkan ambisinya untuk mengalahkan panggung utama atau membahas rencananya sendiri kepada yang lain. “Ah, itu urusanku sendiri,” katanya, “Aku tidak bisa menyeret kalian semua dalam hal ini.” Stoik juga, ya?
“Baiklah, kalau begitu,” Rokuyo-senpai menatap kami setelah selesai menjelaskan. “Mulai dari sini, aku ingin kalian terbagi menjadi dua kelompok: satu kelompok yang bertugas mencari pengisi acara dan yang lain mencari tempat. Kalau ada yang punya preferensi, tolong beri tahu aku—”
—Setelah diskusi singkat, tugas-tugas dibagi. Aku dan Igarashi-san bertugas mencari tempat, sedangkan yang lain, termasuk Rokuyo-senpai, bertugas mencari pengisi acara.
₊ ✧ ₊
“Aku... mungkin punya petunjuk soal tempatnya.”
Kami sedang rapat kecil setelah pertemuan staf seluruhnya.
“Wah, serius!?” Aku refleks menaikkan suaraku. “Di mana? Gimnasium kedua? Atau mungkin dojo?”
“Bukan, bukan itu.”
Igarashi-san tersenyum kecil, terlihat agak bangga.
“Maksudku, memang sih itu pilihan yang kita punya di sekolah, tapi tetap saja masih kurang dibandingkan aula pertama. Ada tempat lain yang kupikirkan.”
“Tempat lain...?”
Hubungan kami berubah tak terduga sejak kejadian dengan Nito di semester pertama, dan akhirnya kami jadi teman dekat. Kami bisa ngobrol santai seperti ini, dan aku sering meminta nasihatnya soal Nito, sedangkan Igarashi-san kadang-kadang meminta pendapatku soal Mitsuya-san, seorang mahasiswa yang berteman dengannya.
...Siapa sangka aku bisa dekat dengannya seperti ini.
Kalau dipikir-pikir, aku hanya cowok yang sedikit kutu buku, dengan minat pada ilmu sains. Sedangkan Igarashi-san adalah cewek fashionable yang kelihatan suka nongkrong di tempat keren seperti Harajuku. Kalau seseorang bilang aku bakal berteman dengannya saat pertama kali masuk SMA, mungkin aku akan ketawa lepas.
“Kamu tahu pusat komunitas di sebelah sekolah kita?”
“U-Uh, ya, aku tahu.”
“Ada gimnasium di sana. Mama biasa main voli di situ, dan aku pernah nonton. Tempatnya cukup besar.”
“Oh iya, aku ingat! Gedung yang besar itu!”
Aku mengangguk-angguk, mengingat Pusat Komunitas Suginami yang ada di sebelah sekolah. Gedung itu punya perpustakaan, ruang rekreasi, dan fasilitas lainnya, juga ada gedung sebelahnya yang memang terlihat seperti gimnasium.
Dari luar, sepertinya ukurannya hanya sedikit lebih kecil dari gimnasium pertama sekolah, kalau tidak salah ingat. Setidaknya, gedung itu bisa menampung lebih banyak orang daripada pilihan yang kami punya di sekolah.
“Itu mungkin pilihan yang bagus. Ada kesan yang spesial juga.”
“Dan juga lokasinya super dekat, jadi nggak ribet buat pindahin barang ke sana, kan?”
“Betul. Tinggal lihat apakah kita bisa pakai fasilitas di luar sekolah... Rokuyo-senpai!”
Aku memanggil Rokuyo-senpai, yang sedang rapat di sisi ruangan.
“Kita boleh pakai tempat di luar sekolah nggak? Kami punya kandidat yang bagus nih.”
“Ah, di luar sekolah ya? Sepertinya nggak masalah.” Rokuyo-senpai menyilangkan tangan, menatap kami.
“Ada preseden beberapa tahun lalu, seperti parade kostum yang berjalan melalui distrik perbelanjaan lokal. Aku akan cek dengan pembimbing, tapi kalian lanjutkan saja dengan opsi itu!”
“Siap!”
Dengan itu, target tim pencarian tempat untuk panggung sukarela adalah menggunakan pusat komunitas.
Langkah pertama kami adalah memulai negosiasi.
₊ ✧ ₊
“Ah, jadi begitu situasinya.”
Keesokan harinya, sepulang sekolah, kami menuju pusat komunitas untuk janji temu yang sudah dijadwalkan.
Igarashi-san, yang berjalan di sampingku, mengangguk setelah mendengarkan penjelasanku.
“Jadi, kita mau mengalahkan panggung utama dengan panggung sukarela?”
“Ya, ya. Kalau nggak berhasil, kayaknya dia harus menyerah buat mulai bisnis.”
“Itu kenapa Senpai bekerja keras banget.”
Kami bicara tentang tujuan Rokuyo-senpai. Dia bilang tidak mau kasih tahu yang lain, tapi kurasa lebih baik aku memberitahu Igarashi-san. Dia pasti mau membantu…
Dan, mulai saat itu, aku juga berniat berusaha habis-habisan buat meningkatkan panggung sukarela. Aku ingin Igarashi-san tahu alasannya.
“Yah, kita memang harus dukung Rokuyo-senpai,” katanya dengan ekspresi penuh tekad. Seperti yang kuperkirakan.
“Aku ikut-ikutan aja sih sebenarnya, tapi ternyata tantangannya lebih besar dari yang kukira.”
“Bener kan? Kita harus semangat.”
“Yup, banget. Tapi sebenarnya nih,” Igarashi-san menoleh ke arahku, “dengan kondisi sekarang, kita bakal kalah telak.”
Dia mengatakannya dengan gamblang, tanpa keraguan.
“Kita benar-benar nggak punya kesempatan lawan panggung utama kalau begini.”
“Iya, kamu mungkin benar...”
Aku juga berpikir begitu. Secara objektif memang masuk akal...
Panggung sukarela, sesuai namanya, adalah untuk para siswa biasa yang sukarela tampil. Sebaliknya, panggung utama menampilkan talenta terbaik sekolah, dan Nito dijadwalkan tampil sebagai penutup. Dengan kondisi sekarang, rasanya menang hampir mustahil.
Tapi, Igarashi-san, kamu mau mendukung Rokuyo-senpai? Lumayan mengejutkan juga. Padahal kamu sangat terobsesi dengan Nito belum lama ini...
Kelihatannya dia sudah menjaga jarak dari Nito dengan baik. Hubungan baru mereka masih berjalan lancar. Aku ikut senang, terutama karena aku ada di antara mereka, mendukung dari belakang.
Tapi, “Chika sekarang bukan cuma terkenal di sekolah kita, loh,” lanjut Igarashi-san. “Kamu tahu nggak? Setelah sekolah, siswa dari sekolah lain sering datang buat lihat dia.”
“Eh, serius!? Itu benar terjadi?”
Siswa dari sekolah lain? Rasanya seperti salah satu cerita selebritas yang sering kita dengar!
“Iya. Dan nggak cuma satu orang. Sampai bulan ini, sudah ada sebelas orang yang datang.”
“Sebelas orang...!?”
Itu terlalu banyak! Rasanya seperti adegan dari manga klasik karya Hagio Moto atau semacamnya!
“Empat siswa dari SMA Kamiogi di sebelah, dan tiga dari sekolah lain di Suginami. Sisanya dari distrik lain.”
“Hmm...”
“Perbandingan cowok dan ceweknya sembilan banding dua. Dan iya, semua tahu kalau dia sudah punya pacar.”
“Wow, ada cewek juga ya. Dan mereka bahkan tahu soal aku... Ngomong-ngomong, kenapa kamu tahu semua ini?” tanyaku hati-hati, mulai merasa merinding. “Kenapa kamu tahu banyak tentang mereka, Igarashi-san...?”
Maksudku, aku paham kalau dia memerhatikan kalau ada orang yang terlihat mencurigakan. Menyadari mereka siswa dari sekolah lain berdasarkan seragamnya juga masih bisa dimengerti. Tapi... bagaimana dia bisa tahu rasio gender mereka dan sekolah asal mereka? Biasanya kamu nggak tahu sampai segitunya, kan?
Igarashi-san merespons pertanyaanku dengan senyum gelap dan nakal.
Lalu, sambil menurunkan suaranya dengan nada ceria yang menyeramkan, dia berbisik, “Ya, itu karena aku ‘memeriksa’ mereka sendiri...” Dengan bisikan lagi, ia menambahkan, “Aku tahu, dari pakaian, wajah, hal-hal seperti itu. Bahkan aku sudah tahu akun media sosial dan alamat rumah sepuluh dari mereka...”
“Astaga!”
“Tenang aja, kalau ada apa-apa, aku sudah siap untuk ‘membalas’.”
Aura gelap
menyelimuti di belakangnya. Rasanya suhu sekitar kami turun sepuluh derajat...
Oh iya! Dia memang agak suka menyelidiki kalau soal Nito!
Astaga, menyeramkan sekali, tolong ampuni aku.
Sekarang malah jadi seperti stalker (Igarashi-san) lawan stalker (para siswa dari sekolah lain). Seperti pertarungan monster lawan monster.
...Ya, kira-kira seperti itu.
Saat kami bercanda seperti biasa—
“Kita sampai.”
—Kami tiba di depan pusat komunitas, tujuan kami.
Tadi sempat melantur, tapi hari ini, kami punya misi penting...
Mengambil napas, aku cepat-cepat melihat bagian luar gedung itu.
Benar saja, jaraknya sangat dekat dari sekolah, cuma sepelemparan batu. Sekitar satu menit jalan kaki dari gerbang utama, lebih kurang. Meskipun, berkat percakapan kami yang menyeramkan tadi, rasanya lebih lama jadi lima menit. Kalau jaraknya sedekat ini, kurasa semua orang akan datang lihat panggung sukarela tanpa banyak masalah.
“Ayo masuk!”
“Yup!”
Igarashi dan aku saling mengangguk dan masuk ke dalam gedung berdampingan.
₊ ✧ ₊
Negosiasi berjalan lebih lancar dari yang kami duga.
Wanita yang mendengarkan permintaan kami usianya kira-kira seumuran dengan ibu kami. Dia sangat membantu, berkata, “Tentu saja, kami senang kalau fasilitas kami bisa kalian pakai!” dan “Iya, nggak masalah kok. Fasilitas ini memang terbuka untuk semua warga di distrik ini.”
Sepanjang percakapan, dia dengan ramah mendengarkan apa yang kami butuhkan. Untung saja petugas yang bertugas baik sekali!
Jujur saja, aku cukup gugup saat harus bernegosiasi dengan fasilitas umum. Di bayanganku, mungkin kami akan dimarahi atau disuruh pergi begitu saja...
Terima kasih, Suginami Ward! Pelayanan staf kalian memang kelas satu!
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
“Seperti yang saya jelaskan di telepon saat membuat janji temu, gimnasium ini tidak memiliki peredam suara...” ucap petugas itu sedikit menyesal. “Akan ada penampil yang memakai suara di atas panggung, kan?”
“Iya... rencananya begitu,” jawab kami.
Memang belum pasti, tapi rencananya kami akan mengundang band dan kru tari untuk tampil. Itu berarti akan ada suara yang cukup keras, yang kemungkinan akan terdengar keluar.
“Jadi... maaf, tapi kalau bisa, tolong komunikasikan terlebih dahulu dengan warga sekitar, ya.”
“Tentu saja, kami akan pastikan semuanya dilakukan dengan baik,” jawab Igarashi-san sambil tersenyum manis. “Kami nggak mau merepotkan warga sekitar, kok...”
Sebenarnya kami sudah diberitahu hal itu saat menelepon untuk membuat janji. Jadi, setelah ini, kami berencana untuk keliling dan berbicara dengan para tetangga. Rokuyo-senpai bahkan menyuruh kami membawa camilan untuk diberikan pada mereka, jadi kami sudah cukup siap.
“Baiklah, kita akan membahas detailnya lagi lain kali,” ujar petugas itu sambil mengantar kami sampai di pintu keluar. “Kita bisa mulai merinci rencananya setelah kalian berbicara dengan semuanya.”
“Terima kasih banyak!”
“Kami akan segera menghubungi Anda lagi.”
Sambil membungkukkan badan, aku dan Igarashi-san berjalan untuk menemui para warga sekitar. Ada lebih dari sepuluh rumah yang berdekatan dengan gimnasium ini. Sepertinya ini tidak akan selesai dalam sehari, tapi kami juga tidak punya banyak waktu untuk menunda.
“Oke, ayo kita selesaikan ini dengan cepat dan lanjut ke yang lain.”
“Setuju.”
Kami saling mengangguk dan langsung menuju rumah yang paling dekat dengan gedung.
Semoga langkah ini lancar, cepat dapat izin untuk tempatnya, dan lanjut ke tugas berikutnya, Igarashi-san!
₊ ✧ ₊
“...Kami kembali.”
“Tim perencanaan tempat sudah kembali...”
“Oh, kerja bagus!”
Beberapa hari kemudian, setelah berbicara dengan semua tetangga, aku dan Igarashi-san kembali ke ruang kelas khusus dan disambut suara ceria Rokuyo-senpai. Dia menghampiri kami.
“Kalian seharusnya sudah selesai hari ini, ya? Nah, mulai besok, kalian akan membantu menyiapkan panggung dan mencari penampil. Gimana, oke?” tanya Rokuyo-senpai dengan suara dalam dan senyum percaya dirinya.
Di dalam kelas, tim performer sibuk menelepon dan bekerja di komputer. Daftar calon penampil tersebar di meja, dan sepertinya pekerjaan mereka berjalan lancar.
“Umm, sebenarnya...” kataku ke anggota lain.
“...Gagal ya?”
“Apa...?”
Rokuyo-senpai terlihat bingung.
Dengan berat hati, aku mulai bicara lagi.
“...Kami ditolak.”
“...Serius?”
“Iya. Ada satu rumah yang tidak setuju. Mereka... memintaku untuk tidak mengadakan acara ini...”
“Tapi, kan, selama ini salamnya berjalan lancar, kan!?”
“Awalnya sih iya, tapi...”
Kami berhasil mendapat izin hampir dari semua rumah. Kebanyakan orang baik hati, bahkan ada yang menyemangati kami untuk terus berjuang. Tapi... menjelang akhir, kami mengunjungi sebuah rumah keluarga yang terlihat baru. Seorang nenek—mungkin sekitar tujuh puluhan—membuat kami terkejut.
“Maaf, tapi saya lebih suka kalau kalian bisa menjaga suaranya agar tidak terlalu berisik.”
Dan, dengan kaget, ternyata kami tidak mendapat izin.
“Festival budaya ini kan diadakan di akhir pekan, kan? Saya ingin menikmati hari libur saya dengan tenang.”
Nenek itu tampil anggun dengan busana yang sesuai dengan usianya, riasannya pun rapi. Aku sempat berpikir, pasti dulu beliau populer di masa mudanya, sambil mendengarkan penolakannya yang tegas.
Tentu saja kami tidak menyerah dalam sekali percobaan. Kami datang beberapa kali, di hari yang berbeda, dengan sikap yang sangat sopan.
“—Permisi, kami dari SMA Amanuma, Sakamoto dan Igarashi...”
“—Kami ingin membicarakan ini lagi, bolehkah kami menemui Anda hari ini...”
Ini mungkin pertama kalinya aku berbicara dengan orang lain sepolos dan sesopan ini. Kami bahkan membawa camilan, bukan cuma sekali, tapi setiap kali berkunjung. Namun, semuanya tetap sia-sia.
“Berapa kali pun kalian datang, jawaban saya tetap tidak akan berubah,” ujar Nenek Sakurada, si nenek tersebut, dengan senyum sedikit menyesal.
“Maaf, tapi carilah tempat lain.”
Setelah penolakan yang begitu tegas, sepertinya pusat komunitas juga tidak bisa memberi izin. Tanpa pilihan lain, aku dan Igarashi-san kembali ke sekolah dengan kecewa.
“...Serius nih?”
Rokuyo-senpai mengacak-acak rambutnya, tampak cemas.
“Ya, memang kita yang minta izin sih. Kalau ada yang menolak, ya kita nggak bisa memaksakan...”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanyaku, merasa bingung. “Gimana soal tempatnya sekarang?”
Serius, apa yang harus kita lakukan?
Kalau kami mau mengalahkan Nito, menarik lebih banyak orang ke panggung sukarela daripada panggung utama, tempat yang lebih besar itu wajib. Kalau kami nggak bisa menampung orang, sekeras apa pun usaha kami, itu sia-sia. Menemukan tempat yang bisa menyaingi gedung olahraga adalah bagian penting dari rencana kami, dan kami nggak bisa gagal di sini...
“...Aku juga akan coba cari ide lain,” ujar Rokuyo-senpai dengan ekspresi pahit. “Mungkin masih ada tempat bagus di dalam sekolah, atau mungkin kita bisa coba sewa fasilitas lain di sekitar sini.”
“Baiklah, kalau begitu kami...” ucap Igarashi-san terlihat lelah. “Kami akan pikirkan cara lain untuk meyakinkan Nenek Sakurada. Mungkin ini memang sulit, tapi...”
“...Iya.”
Dia memang bilang, “Berapa kali pun kalian datang, jawabannya tetap tidak akan berubah,” tapi kami baru berbicara dengan Nenek Sakurada beberapa kali. Mungkin masih ada cara untuk mengubah pikirannya; terlalu cepat untuk menyerah.
“...Mungkin aku akan coba meminta saran darinya.”
Hampir seperti rutinitas, wajahnya tiba-tiba muncul di benakku.
“Saat seperti ini... lebih baik dibicarakan saja.”
Igarashi-san menatapku, mencondongkan kepala, bingung. Apakah dia mendengar gumamanku?
₊ ✧ ₊
“Ah, itu kayaknya sedikit berlebihan...”
Aku kembali ke masa kini. Seperti biasa, dia—Makoto—menungguku di depan piano, tertawa seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Kamu pikir aku bisa bantu meyakinkan tetangga? Aku belum pernah lakukan hal semacam itu...”
“...Iya, benar juga.”
Sadar akan keluguanku, aku menatap kosong pada Makoto. Aku memandang rambut pirangnya yang berkilau dan riasan yang membuatnya semakin percaya diri. Ekspresinya seperti kucing, acuh tapi memikat, dengan sorot mata yang tajam.
Adik kelasku, dan satu-satunya orang yang membantuku mengulang hidup SMA-ku—Makoto Akutagawa.
Dia sangat pas berada di ruang klub, kini jauh lebih ramai daripada saat pertama kali aku di SMA.
“Iya, aku paham sekarang... Maaf, aku terlalu sering bergantung padamu.”
“Nggak masalah kok.”
Entah kapan tepatnya, aku jadi sering mengandalkan dia. Makoto selalu punya ide bagus dan sangat mendukung, jadi aku jadi agak manja.
Tapi iya, nggak seperti Makoto tahu apa yang harus dilakukan di situasi ini. Aku harus bersyukur karena dia ada di sini, menemaniku ke ruang klub sehingga aku bisa kembali ke masa lalu. Menghabiskan sehari di libur musim seminya hanya untukku...
Serius, makasih, Makoto. Aku benar-benar bersyukur.
“...Tapi tetap saja, aku harus gimana sekarang?” gumamku pelan sambil menatap kosong ke luar jendela. “Rasanya seperti kembali ke titik awal. Apa yang harus kulakukan dari sini... Huh?”
Saat aku menoleh kembali ke dalam ruangan, aku menyadari sesuatu.
Bukan hal besar, tapi ada perubahan kecil yang menarik perhatianku.
“Makoto... kamu kurusan ya?”
Tengkuknya yang terlihat dari jaketnya. Pergelangan tangan yang menjulur dari lengan bajunya. Kakinya yang memanjang anggun dari rok. Semuanya terlihat... lebih ramping dari sebelumnya.
“Secara keseluruhan, kamu terlihat lebih langsing, kurasa...?”
Sepertinya ini bukan sekadar imajinasiku. Ingatanku tentang Makoto adalah tubuh yang sehat, tidak gemuk atau kurus. Tapi Makoto di depanku ini tampak lebih ramping, hampir terlihat rapuh.
Ada apa ini? Apa dia sedang diet atau semacamnya?
Aku pikir itu sudah jelas, jadi aku melontarkan komentar setengah bercanda tentang itu.
Namun, “…Nggak kok, aku nggak kurusan,” jawab Makoto sambil menunjukkan ekspresi bingung.
“Oh, benarkah?”
“Yap, berat badanku nggak banyak berubah akhir-akhir ini.”
“Serius? Jadi mungkin cuma mataku yang salah lihat...”
Nggak, rasanya bukan begitu. Tanpa ragu, Makoto memang terlihat lebih kurus dibanding sebelumnya. Kami sudah lama kenal, jadi nggak mungkin aku salah lihat. Tapi setelah merenung sejenak, semuanya mulai masuk akal.
Makoto memang terlihat lebih kurus.
Bukan dibandingkan dulu, tapi dibandingkan dengan di masa lalu yang lain.
Karena aku telah mengubah masa lalu, kehidupan Makoto juga mulai berubah secara signifikan.
Makoto, yang dulu cuma anggota biasa yang pulang ke rumah setelah sekolah, sekarang menjadi ketua Klub Astronomi. Bahkan, ruangan klub sekarang tampak sangat berbeda dibandingkan saat pertama kali aku melihatnya. Jadi, mungkin saja penampilan Makoto berubah di tiap garis waktu.
Namun begitu, “...Kenapa, ya?” aku bergumam pelan, cukup agar Makoto tidak mendengar. “Kenapa dia jadi kurus...?”
Sejauh ini, aku nggak pernah melakukan apa pun yang langsung melibatkan Makoto dalam perjalanan waktuku. Aku nggak pernah bilang hal semacam, “Kamu harus diet, lho,” di masa lalu. Bahkan, waktu itu dia belum masuk SMA, jadi kami juga belum banyak ngobrol.
Jadi... apa yang berubah?
Apa yang berbeda, dan kenapa Makoto jadi lebih kurus daripada kehidupannya di SMA yang pertama?
“...Ngomong-ngomong, soal tempat acara itu,” tiba-tiba Makoto membuka suara, seolah-olah mendapat ide baru.
“Orang yang bikin masalah, itu Sakurada-san, kan?”
“...Ah, iya, benar.”
“Kamu bilang dia cantik banget, kan? Gaya dan auranya cerah.”
“Ya, benar. Kayaknya, dia pasti populer banget pas masih muda. Bahkan mungkin, sekarang pun masih.”
“Kalau gitu...” Makoto menatapku penuh arti. “Mungkin aku tahu seseorang yang tepat buat kamu minta saran.”
Setelah berhenti sejenak—
“Senpai, aku mau ngenalin kamu sama seseorang...”
₊ ✧ ₊
Begitulah, beberapa hari setelah berbicara dengan “penasihat” yang direkomendasikan oleh Makoto, aku kembali ke garis waktu masa lalu.
“Halooo.”
Aku dan Igarashi-san mengunjungi rumah Sakurada-san lagi.
“Permisi, ini Sakamoto dan Igarashi dari SMA Amanuma.”
“Maaf kami mengganggu lagi hari ini... Kami ingin ngobrol sekali lagi, kalau boleh...”
Aku dan Igarashi-san berbicara melalui interkom, yang telah kami gunakan berkali-kali. Sekali lagi, ini akan menjadi kunjungan terakhir kami.
Sudah lebih dari seminggu sejak kami mulai negosiasi untuk tempat acara. Kami nggak bisa membuang waktu lagi. Kalau hari ini gagal, kami harus mengurungkan niat menggunakan balai warga dan beralih ke tugas berikutnya.
“…Ya sudah, mau gimana lagi,” terdengar suara dari interkom sebelum terputus.
Kami bisa mendengar suara langkah dari dalam rumah. Saat aku mendengarnya, jantungku mulai berdebar.
Kira-kira, bagaimana hasilnya kali ini... Apa negosiasinya akan berjalan lancar?
Penasihat kami sudah memberi ide, tapi apakah benar bisa berhasil?
“Halo, ini akan jadi yang terakhir kalinya,” kata Sakurada-san sambil membuka pintu.
Seperti biasa, rambutnya tertata dengan rapi dan riasannya sempurna. Ekspresinya yang ceria menunjukkan bahwa, bahkan di usianya sekarang, ia masih bisa dibilang seorang ekstrovert.
“Tapi, perlu kalian tahu, perasaanku nggak berubah—” ucapannya terpotong ketika pandangannya melewati aku dan Igarashi-san. Raut terkejut terlihat di wajahnya, matanya sedikit melebar.
“—Oh, selamat sore,”
Ekspresi Sakurada-san berubah seketika.
“Apakah Anda... senpai-nya Sakamoto-kun?”
“Benar. Maaf anak-anak ini sering mengganggu Anda. Saya cuma ingin menyapa langsung,” jawab sebuah suara santai.
Orang itu adalah Rokuyo-senpai.
“Saya Haruki Rokuyo. Saya juga ketua komite festival budaya.”
Dan dia tidak sendirian; di belakangnya ada dua temannya—
“Halo~ Saya temannya Haruki!”
“Saya cuma ikut karena dia ngajak!”
Suara-suara energik itu milik Nakasone-san, seorang cewek bergaya gyaru, dan Hirata-san, cowok santai berkacamata. Mereka bukan anggota komite festival atau semacamnya; mereka cuma teman yang ikut karena saran yang aku terima.
...Apa benar ini ide yang bagus?
Aku masih ragu sambil mengamati reaksi Sakurada-san. Kami membawa cukup banyak orang, dan beberapa dari mereka lumayan mencolok...
Apa dia bakal marah? Atau malah makin menolak?
Namun—
“Wah, ramai sekali, ya!”
—Sakurada-san malah tampak senang.
Dan dia melangkah lebih jauh lagi.
“Dengan kalian semua di sini, agak kurang sopan kalau kita cuma berdiri di pintu. Ayo, masuk semuanya,” katanya sambil mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya.
“Eh, apa benar nggak apa-apa kalau kami masuk?”
“Yay~ maaf merepotkan~!”
“Eh, pelan-pelan, Nakasone.”
Anak-anak kelas dua itu bercanda satu sama lain sambil berjalan masuk ke dalam.
Ini pertama kalinya. Sampai sekarang, Sakurada-san selalu berbicara dengan kami di depan pintu. Aku nggak menyangka dia akan benar-benar mengundang kami masuk ke dalam rumahnya.
Saling menatap heran, aku dan Igarashi-san mengikuti yang lain ke dalam.
₊ ✧ ₊
Percakapan mereka sudah ramai sejak awal.
“Wah, rumah ini mewah banget, ya?”
“Iya, benar banget! Dan ruang gaya Jepang ini keren.”
Anak-anak kelas dua begitu santai seolah-olah ini bukan kali pertama mereka di sini. Rokuyo-senpai duduk santai di lantai, Hirata-senpai menatap ke taman, dan Nakasone-senpai malah selonjoran dengan kaki di atas tatami.
Apa benar boleh begitu? Aku dan Igarashi-san duduk dengan formal.
Tapi saat aku masih bertanya-tanya—
“Iya, kan?” Sakurada-san tersenyum bangga sambil menyeruput teh yang dia sajikan.
“Anakku bekerja keras untuk membangun ini buatku. Dia bahkan membuat ruangan ini khusus untukku.”
“Serius!?”
“Putra Anda yang bangun! Hebat sekali dia begitu perhatian sama orang tua.”
“Betul sekali.”
Mereka benar-benar asyik bercengkrama. Pembicaraannya jadi meriah, seperti hal yang wajar saja.
Luar biasa, anak-anak kelas dua ini bisa akrab dengan seseorang yang jauh lebih tua.
Meskipun, aku dan Igarashi-san juga sudah cukup berusaha...
“Jadi, tentang festival itu,” Rokuyo-senpai mengangkat topik dengan sangat alami, suaranya ringan dan senyum di wajahnya.
“Memang sih, kalau dengan ruangan kayak ini, pasti mengganggu kalau suasananya terlalu ramai.”
“Persis.”
Sakurada-san mengangguk setuju, jelas senang ada yang memahami sudut pandangnya.
“Dulu aku senang mendengarkan musik, tapi belakangan rasanya melelahkan. Jadi, maaf ya, tapi aku lebih suka kalau kalian tidak melakukannya.”
“Aku paham. Kalau gitu, mungkin memang nggak bisa dipaksakan.”
Rokuyo-senpai setuju dengan itu tanpa ragu. Tapi, dari situ dia perlahan kembali membawa topik ke festival.
“—Aku benar-benar ingin membuat festival yang akan diingat semua murid seumur hidup mereka.”
“—Kalian cuma hidup sekali, kan? Dan masa SMA hanya tiga tahun.”
“—Itu panggung sukarela di mana yang ingin tampil saja yang boleh. Aku sungguh ingin membuatnya luar biasa.”
Secara isi, sebenarnya tidak jauh berbeda dari apa yang kami jelaskan sebelumnya. Tentang betapa kami mendedikasikan diri untuk festival, dan betapa keras kami bekerja.
Rokuyo-senpai mengatakan itu semua dengan nada yang santai. Dan di pihaknya, Sakurada-san juga menanggapi seperti itu cuma obrolan biasa.
“—Iya, dulu aku merasakan hal yang sama di masa sekolahku.”
“—Kalian benar, hidup cuma sekali. Itu sesuatu yang sering aku pikirkan belakangan ini.”
“—Itu ide yang indah. Semua berkumpul dan bersenang-senang bersama.”
Lalu, setelah beberapa saat ngobrol ke sana kemari—
“Eh, kue ini enak banget...” Nakasone-senpai berujar sambil menikmati kue yang disajikan bersama teh.
“Serius?”
“Aku coba juga ah.”
Rokuyo-senpai dan Hirata-senpai ikut mencicipi.
“Wah, enak banget~”
“Beneran. Kue tradisional Jepang emang terbaik.”
Sambil mereka bercanda riang—
“Baiklah, aku izinkan, hanya kali ini.”
—Sakurada-san tiba-tiba ikut nimbrung.
“Aku izinkan kalian menggunakan panggung itu.”
...Apa? Aku terdiam sejenak karena kaget.
Aku izinkan. Tiga kata kecil yang selama ini kami tunggu-tunggu.
Meski begitu, itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai butuh waktu untuk benar-benar memprosesnya.
Namun, para siswa kelas dua tak kehilangan momen tersebut.
“...Oh, serius!?”
“Tapi, apa benar boleh? Bukannya tadi Anda bilang tidak suka keramaian?”
“Iya, betul, tapi... kalau kalian bisa sebahagia ini cuma karena sedikit kue, mungkin aku bisa mempertimbangkannya.”
“Wah, serius!?”
“Makasih, Sakurada-san!”
Mereka bertiga terlihat sangat gembira.
Rokuyo-senpai tersenyum lebar, Hirata-senpai hampir melompat kegirangan, dan Nakasone-senpai bahkan sampai memeluknya.
Aku dan Igarashi-san melihat pemandangan itu dengan tak percaya. Sungguh, adegan di depan mataku benar-benar membingungkan.
...Kami berhasil mendapatkan izin.
Kami mengikuti saran... dan benar-benar mendapat persetujuan.
“Menurutmu, pendekatan kalian nggak terlalu kaku?”
Begitu kata penasihat kami. Dia bilang mungkin kami berdua terlalu formal dan sopan dalam menunjukkan rasa hormat kepada Sakurada-san, dan itulah yang membuat jarak emosional terbentuk, sehingga tanggapannya tidak sesuai harapan. Pendekatan yang lebih santai mungkin bisa mengubah jawabannya.
Sejujurnya, awalnya aku tidak begitu yakin dengan pendapat itu. Apa benar hanya karena hal kecil itu jawabannya bisa berubah? Rasanya aneh saja.
Namun, ternyata penasihat kami punya nenek yang selalu merasa senang kalau ada anak muda yang mengobrol santai dengannya.
“—Aku tidak merasa tua,” begitu katanya.
“—Namun ketika anak-anak muda mulai bersikap berbeda padaku, itu baru aku merasa tua.”
“—Dan hal itu membuatku sedikit sedih.”
Jika Sakurada-san, yang selalu tampil ceria dan modis, merasakan hal yang sama, mungkin membawa seseorang yang gayanya mirip dan mengobrol santai bisa mengubah pikirannya. Begitulah saran penasihat kami.
Ceria dan modis seperti Sakurada-san...
Itu berarti Rokuyo-senpai dan teman-temannya.
Jadi, itulah alasan aku menjelaskan situasinya kepada Rokuyo-senpai dan memintanya membawa beberapa teman untuk mencoba membujuknya hari ini.
“Kalau begitu, terima kasih banyak untuk hari ini,” kata Rokuyo-senpai dengan nada seperti berbicara pada teman.
“Aku benar-benar senang Ibu mengizinkannya. Nanti kami pasti kirim undangan untukmu juga.”
Cara bicaranya menurutku sedikit tidak sopan, tapi—
“Oh, iya?” Sakurada-san menjawab dengan senyum lebar.
“Kalau begitu, mungkin aku akan datang. Bosan juga kalau terus di rumah.”
“Iya, ayo datang!”
“Kami akan siapkan tempat VIP untukmu!”
Semuanya benar-benar berjalan lancar. Entah bagaimana caranya.
Kami mengikuti saran penasihat, dan semuanya berjalan sesuai rencana.
Melihat adegan di depanku, aku tertegun sejenak.
Maksudku, dia juga orang biasa saja. Mungkin ada beberapa hal yang kebetulan tepat sasaran, dan bukan berarti dia langsung bilang, “Inilah jawabannya!” atau semacamnya.
Tapi... ya, seperti dugaanku, dia bisa diandalkan.
Aku senang telah memilihnya sebagai sekutu, senang telah menceritakan semuanya.
Aku menghela napas dalam-dalam sambil mengingat kembali hari itu.
₊ ✧ ₊
“Ada apa, sih...?”
“Penasihat” yang direkomendasikan Makoto sedang duduk di depanku dengan ekspresi gugup.
“Maksudku, kamu mendadak ngajak ketemuan buat ngomong ini, kan...” katanya sambil sesekali merapikan rambut hitam pendeknya yang sedikit berantakan.
Kami berada di sebuah kafe tempat aku memintanya bertemu.
Aku memperhatikan posturnya yang kecil, serta bibirnya yang terkatup rapat, penuh rasa gelisah. Tatapannya yang tajam, seperti kucing yang waspada.
Dia adalah Makoto.
Aku datang ke garis waktu masa lalu untuk meminta nasihat dari Makoto Akutagawa yang masih duduk di bangku SMP.
“Ketika aku SMP, nenekku meninggal,” begitu cerita Makoto dari masa depan.
“Dulu aku sangat dekat sama nenek. Aku sering main sama teman-teman nenek juga.”
“Aku rasa waktu itu aku bisa memberi saran.”
Itulah ceritanya. Menurutku itu masuk akal, dan dia memang terdengar cukup bisa diandalkan.
Katanya, saat sudah SMA, dia tidak terlalu mengingat lagi masa-masa itu.
Itulah sebabnya Makoto berpikir lebih baik meminta nasihat kepada dirinya yang masih di masa lalu, bukan yang sekarang.
Logikanya memang masuk akal. Aku paham kenapa Makoto dari masa depan menyarankan untuk bertanya pada dirinya di masa lalu. Aku sendiri juga pernah beberapa kali meminta nasihat darinya. Aku tahu dia orang yang bisa diandalkan.
Meski begitu, ada satu hal yang agak menggangguku.
Dari sudut pandang Makoto di masa lalu, mungkin sedikit aneh jika kakak teman sekelasnya sering datang dan meminta nasihat soal masalah berat. Apalagi, dia juga tidak begitu dekat denganku dan pertanyaannya melibatkan neneknya. Bagi seorang anak SMP yang bahkan belum masuk SMA, situasi ini bisa jadi cukup menakutkan.
Jadi aku menarik napas dalam-dalam, menggenggam tanganku erat-erat, dan berkata, “Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan.”
Aku sudah merencanakan untuk mengungkapkan sesuatu yang penting pada Makoto. Sebuah rahasia yang belum pernah aku ceritakan padanya. Perlu dicatat, Makoto dari masa depanlah yang menyarankan agar aku melakukannya.
Banyak yang perlu dicerna, tapi aku yakin dia akan bisa menerima semuanya. Makoto yang di masa lalu pasti bisa memahami ceritaku meskipun terkesan tiba-tiba.
Jadi, “...Aku datang dari masa depan,” aku mengaku dengan ragu-ragu pada Makoto di depanku. “Aku datang dari tiga tahun yang akan datang. Dari masa depan di mana kamu jadi adik kelasku di SMA...”
Mata Makoto melebar. Beberapa saat dia terdiam dengan mulut terbuka, tak bisa mencerna perkataanku.
“...Hah? Kamu ngomong apa, sih?” tanyanya bingung.
“Dari masa depan... tunggu, apa-apaan ini...”
“Ceritain semuanya,” kata Makoto dari masa depan.
“Termasuk soal perjalanan waktu. Ungkapkan semuanya.”
“...Apa!? Semuanya!?”
Mataku membulat, sama sekali tak menyangka saran tersebut.
“Seriusan, itu terlalu nekat, kan? Dia nggak bakal percaya, dan kalaupun iya, ini terlalu berat buat diterima...”
“Iya, sih...” Dia sempat berpikir dengan tangan disilangkan. “Tapi… kalau kamu menyembunyikan sesuatu, aku rasa aku nggak akan mau bantu. Setidaknya, Makoto di masa itu nggak akan mau.”
“Benarkah?”
“Iya. Maksudku, ini aku yang ngomong tentang diriku sendiri.”
“...Benar juga.”
“Sebaliknya, kalau kamu mengungkapkan semuanya, aku yakin aku akan membantumu. Aku bahkan akan bersimpati. Aku punya rencana... dan aku ingin kamu mencobanya.”
Begitulah aku akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan semuanya pada Makoto di masa lalu. Aku tak bisa memikirkan cara lain, dan mengungkapkannya tampaknya tidak akan menimbulkan masalah.
Jujur saja, jauh di lubuk hati, aku selalu ingin melakukannya.
Aku selalu ingin seseorang yang bisa dipercaya. Seseorang untuk curhat dan meminta saran saat mengulang masa lalu.
Nito, Igarashi-san, dan Rokuyo-senpai adalah teman-teman penting. Tapi tak ada seorang pun di garis waktu ini yang bisa aku ajak bicara tentang perjalanan waktu. Makoto adalah satu-satunya pilihan.
Dalam dua setengah tahun lagi, dia pasti akan tahu semuanya juga, dan dampaknya pada garis waktu seharusnya minim.
Dengan pikiran itu, aku akhirnya bertekad dan memutuskan untuk menceritakan tentang perjalanan waktu kepada Makoto di masa lalu.
Namun—
“…Nggak, nggak, nggak.”
—Gadis di depanku, Makoto SMP, memandangku dengan tatapan curiga seperti yang sudah kuduga.
“Uhm... ini semacam ajaran agama atau gimana? Kalau iya, maaf, aku lagi sibuk...” Makoto berkata sambil berdiri. “Permisi...”
Dia membungkuk sedikit lalu hendak pergi.
...Itu sudah kuduga. Kalau kakak teman sekelasku mengajakku ketemuan dan bilang dia dari masa depan, reaksi pertamaku juga pasti curiga.
“Vtuber Akuta Makoto di Mako Chan-nel,” gumamku cukup keras agar Makoto mendengarnya.
Dia terkejut dan berhenti melangkah.
Mengambil kesempatan itu, aku melanjutkan, “Seorang VTuber bertema iblis yang datang ke dunia manusia. Konten utamanya siaran langsung yang santai... dan dia memanggil penontonnya sebagai ‘iblis kecil’...”
Kena deh! Makoto berbalik dengan wajah pucat dan terkejut.
Namun aku tidak berhenti!
“Hashtag di media sosialnya ‘#Mako-chanBenar-benarIblis’, hashtag ilustrasi ‘Mako-chanIlustrasiKehancuran’. Oh, dan hashtag fanart R-18 ‘#Mako-chanSuccubus’.”
“Uwaaaahhhh!”
Makoto langsung mendekat dan menutup mulutku dengan kedua tangannya.
“G-G-Gimana kamu bisa tahu itu!?” tanyanya dengan panik. “Itu cuma aku yang tahu... Kok bisa kamu tahu, Senpai!?”
Hanya aku yang tahu...
Hehe, pantas saja dia kaget.
VTuber itu hanya berlangsung sebentar saat kelas dua SMP, lalu langsung dia tinggalkan.
Kenapa aku, yang nyaris asing baginya, bisa tahu soal itu...?
“Soalnya kamu sendiri yang ngasih tahu aku, Makoto,” kataku sambil tersenyum nakal.
“Aku tahu itu darimu, dua setengah tahun yang akan datang... ‘Katakan ini, dan aku akan percaya.’ Begitu kamu bilang!”
Nggak ada yang bakal percaya kalau ada orang yang datang dari masa depan. Terutama bukan dari seorang kakak kelas yang nggak begitu dekat; itu pasti bakal bikin mereka takut.
Itulah kenapa Makoto dari masa depan memberitahuku tentang rahasianya jadi VTuber. Pipi Makoto memerah saat ia bercerita, seolah-olah itu masih menjadi lembaran gelap dalam hidupnya, meski kini dia sudah jadi siswa SMA.
Yah... aku masih merasa itu agak aneh sih.
Aku nggak sepenuhnya paham kenapa dia rela mengorbankan harga dirinya agar aku bisa bertemu dirinya di masa lalu. Yang jelas, aku mendapat rahasia Makoto dan menghadapkannya pada dirinya yang dulu.
“A-Aku… ngerti.”
Masih tampak terkejut, Makoto duduk dengan gemetar.
“Masih belum sepenuhnya paham sih, dan belum sepenuhnya percaya juga,” katanya dengan hati-hati sambil menatapku.
Dengan nada sedikit pasrah, dia menyimpulkan, “Untuk sekarang... mungkin lebih baik aku dengar dulu cerita kamu.”
₊ ✧ ₊
Beberapa menit kemudian.
“Terima kasih banyak, aku bakal coba saran yang kamu kasih tadi.”
“Nggak masalah, aku senang bisa bantu...”
Setelah memberiku saran bahwa mungkin lebih baik aku ngobrol dengan xxx-san secara lebih santai, Makoto menghela napas panjang.
“...Jujur aja, aku masih nggak percaya. Rasanya beneran aneh.”
Ia menyesap sisa air di gelasnya dengan sedotan.
“Tapi mulai terasa juga... mungkin aja hal kayak gitu beneran bisa terjadi.”
Aku memberi Makoto penjelasan kasar tentang pengalaman-pengalaman yang kualami sejauh ini.
Tentang bagaimana aku mengulang waktu SMA-ku. Tentang kebersamaan kita di masa SMA yang lalu, tentang Nito, mantan pacarku waktu itu yang menghilang dan mencoba menyelamatkan Nito dari masa depan yang tidak bahagia.
Dan tentang bagaimana, di masa depan, Makoto selalu berada di sisiku, siap membantuku.
Makoto mendengarkan ceritaku dengan mata yang sesekali melirik ke sana-sini, tampak bingung dan tidak tenang.
“...Yah, wajar sih kalau kamu nggak langsung percaya.”
Aku tertawa kecil.
“Dengerin cerita tentang dirimu yang nanti jadi anak SMA dari orang yang nggak kamu kenal akrab...”
“Ya, dan aku bakal punya rambut pirang? Penasaran juga bakal cocok nggak, ya?”
“Itu cocok banget, sumpah.”
Aku mengangguk, membayangkan Makoto di masa depan.
“Keren banget, atau lebih tepatnya, beneran cantik deh.”
Mata Makoto sedikit membesar.
“...Beneran?”
Wajahnya terlihat agak terkejut, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dan sedikit memegang rambutnya.
“Oke deh... mungkin nanti aku coba. Sekarang belum bisa sih, masih SMP, tapi kalau udah lulus...”
“Yah, sebenarnya SMA juga nggak ngizinin sih.”
“Iya, aku tahu. Tapi penasaran aja sekarang. Rambut pirang, ya...”
“—Ahh, ketemu juga~!”
Saat itu juga, terdengar suara ceria dari pintu kafe, suara yang sudah sangat akrab, bernada riang.
Aku menoleh—
“Hei, Meguri~!”
—dan melihat Nito melambaikan tangan ke arahku.
Sejujurnya, aku sudah cerita ke Nito soal rencana membongkar rahasia perjalanan waktu ini sebelum pertemuanku dengan Makoto. Aku juga pastiin bilang bakal ngobrolin ini di kafe ini.
Nito juga ikut mengulang waktu dan tahu tentang perjalanan waktuku. Kalau aku mau kasih tahu Makoto, sebaiknya aku diskusiin dulu dengan Nito.
Tapi, aku nggak secara spesifik menyebutkan kalau Nito juga ikut mengulang waktu pada Makoto. Takutnya bakal terlalu banyak informasi dan malah bikin dia tambah bingung.
“Ada apa? Kamu pengen ketemu Makoto juga?”
Nito menghampiri kami dan tersenyum senang, kedua tangannya diletakkan di pinggang.
“Iya! Udah sering denger soal dia! Lagipula, kupikir kalau waktunya pas, kita bisa pulang bareng, Meguri.”
“Oh, udah selesai ngobrol juga, jadi ayo... Oh iya, ini pertama kali kalian ketemu di garis waktu ini, kan?”
Aku mengambil tagihan, dan melirik ke arah Makoto, yang wajahnya tampak sedikit tegang.
“Ini Chika Nito, orang yang tadi aku ceritain. Dia, yah, pacarku.”
“Halo! Ini pertama kalinya kita ketemu di sini!” sapa Nito sambil memasang senyum cerah dan bergaya layaknya murid teladan.
“Namaku Chika Nito. Senang bertemu denganmu.”
“...I-Iya, senang bertemu juga.”
Makoto menundukkan kepalanya sedikit, terlihat agak waspada.
“Aku Makoto Akutagawa...”
“Kamu udah kasih banyak saran ke Meguri ya? Makasih banyak.”
“...Nggak masalah.”
Makoto menunduk lagi, menatap meja saat ia mengangguk.
...Kenapa, Makoto jadi gugup?
Tapi wajar sih. Kalau tiba-tiba ada orang asing datang dan bersikap ramah banget, pasti bakal sedikit bikin kaget juga.
Ditambah lagi, rambut cerah Nito bikin dia kelihatan seperti tipe ekstrovert yang mencolok. Dia dan Makoto jelas bukan tipe orang yang akan berteman begitu saja.
Setelah selesai bicara, kami menuju kasir. Nito keluar duluan menunggu di luar kafe.
Saat aku membayar—
“...Tetap saja,” Makoto berbisik pelan.
“Hm?”
“Kita berdua aja di awal, kan? Kamu sama aku.”
“Oh, maksudmu di Klub Astronomi?”
“Iya...”
“Yah, iya.”
Mengingat waktu yang kita buang-buang bareng, senyum getir muncul di wajahku.
“Kamu dulu kelihatan bosen banget, Makoto. Tapi jangan khawatir, sekarang ada banyak orang menarik kok. Kayak Nito, Igarashi-san, dan Rokuyo-senpai.”
“Iya, ada...” Makoto menunduk. Dengan suara yang lebih pelan, ia menambahkan, “Tapi cuma berdua aja, buang-buang waktu sama kamu, Senpai...”
Suaranya sedikit bergetar, seperti akan menghilang kapan saja.
“Aku rasa... masa depan yang seperti itu juga nggak buruk, kok...”
Post a Comment