NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ashita Hadashi de Koi Volume 3 Chapter 4

Penerjemah: Chesky Aseka 

Proffreader: Chesky Aseka 


Chapter 4: Aku dan Anak-anak Nakal di Halaman Sekolah


“Hei—”

“...Hm?” 

“Sakamoto, setiap kali aku tanya sesuatu, kamu selalu jawab ‘biasa aja’ atau ‘sama aja kayak biasanya’...” ucap Igarashi sambil menghela napas panjang. Lalu, matanya membesar. 

“Tapi, ayolah, kamu nggak bisa bilang semuanya baik-baik aja!” katanya setengah berteriak. 

“Dengan semua desahan dan wajah murung itu, nggak mungkin semuanya nggak ada masalah!” 

Dua minggu tersisa sebelum Festival Hekiten. Sore itu setelah sekolah, persiapan memasuki tahap akhir yang sibuk, dan suasana sekolah penuh dengan kesibukan. Kami sedang mengatur peralatan sewaan untuk panggung sukarela. 

“Kamu... pikir begitu?” gumamku sambil menundukkan pandangan. 

Jujur saja, mungkin Igarashi benar. 

Semangatku sedang di titik terendah. 

Aku menyadari postur tubuhku yang membungkuk dan nada suaraku yang lebih rendah dari biasanya. Mengklaim bahwa semuanya baik-baik saja jelas terlalu berlebihan. 

“...Kamu bisa cerita, kok,” kata Igarashi sambil menghela napas lagi. “Aku mungkin bukan orang yang paling bisa diandalkan, tapi... aku akan berusaha mendengarkan.” 

Kalimat terakhirnya diucapkan dengan nada santai seperti biasanya. Aku bisa melihat wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Dia benar-benar peduli padaku. 

“Makasih,” aku dengan jujur mengungkapkan rasa terima kasihku. “Kamu baik sekali, Igarashi...” 

“Hah? Nggak, bukan itu maksudku. Sebenarnya kamu bikin aku kesal aja sih. Kamu sering banget bikin kesalahan belakangan ini, itu benar-benar menggangguku.” 

Igarashi berusaha mempertahankan wajah tegas, tapi sesekali melirik ke arahku, menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. 

Dan memang akan terasa menyenangkan untuk berbagi beban dengannya. Saat ini, aku merasa sangat down. 

Menceritakan semuanya pasti akan sedikit melegakan. 

Meski begitu, “Yah... sebenarnya nggak ada yang serius, kok.” Aku memaksakan senyum dan kembali pada pekerjaanku. “Maaf kalau bikin kamu khawatir, tapi aku baik-baik aja.” 

“...Hah.” 

Igarashi kembali memeriksa dokumen, wajahnya menunjukkan ekspresi pasrah. Dia jelas tidak yakin, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak mungkin aku bisa menjelaskan kenapa perasaanku sedang seperti ini. 

Karena aku, Nito akan menghilang. 

Sebenarnya, itu belum sepenuhnya pasti. Nito belum memberitahuku langsung, dan mungkin dia sendiri bahkan nggak menyadari bahwa dia akan menghilang dua setengah tahun dari sekarang. Bisa jadi aku hanya terlalu khawatir. 

Tapi aku punya firasat kuat bahwa hilangnya Nito ada hubungannya dengan keberadaanku. 

Aku sudah menjaga Klub Astronomi tetap berjalan dan membantu hubungan Nito dengan Igarashi. Aku juga berencana untuk ikut campur dalam akibat dari kontesnya dengan Rokuyo-senpai. 

Tapi, mungkin yang paling menentukan masa depan Nito adalah keberadaanku sendiri. 

Artinya—mungkin aku telah menghancurkan semuanya. Aku mungkin telah merusak seorang jenius seperti Nito dengan ketidakmampuanku sendiri. 

Dan bukan hanya Igarashi yang khawatir padaku. 

“—Baiklah, dengarkan semuanya, saatnya kita menjalankan prosedur untuk pertunjukan,” seru Rokuyo-senpai setelah membuka pintu kelas khusus. 

“Para penampil sudah berkumpul di tempat. Semuanya, gerak cepat!” 

“Iyaaa.” 

Suara-suara berdering dari seluruh ruangan, dan staf panggung sukarela mulai bergerak. 

Hari ini, seperti yang dikatakan Rokuyo-senpai, kami dijadwalkan untuk menjalankan prosedur hari pertunjukan. Panggung sukarela memiliki beragam penampil dengan kebutuhan berbeda, termasuk pengaturan pencahayaan dan suara yang khusus. Untuk menghindari kekacauan pada hari H, kami harus mengumpulkan semua penampil dan memeriksa alur acaranya. 

Aku berdiri dari kursiku dan berjalan menuju Rokuyo-senpai. Saat aku hampir mencapai pintu—

“Oi, Meguri, kamu baik-baik aja?” Rokuyo memanggilku dengan nada khawatir. “Kamu kelihatan capek banget, ada apa, sih, sebenarnya?” 

Dia juga khawatir padaku. Sehari setelah aku berbicara dengan Nito, Rokuyo-senpai adalah orang pertama yang menyadari perubahan pada diriku. 

Sejak itu, dia berbicara padaku setiap hari, mencoba mencari tahu apa yang terjadi denganku... tapi, tentu saja, aku nggak bisa menceritakan rinciannya padanya juga. 

“Aku baik-baik aja,” jawabku singkat dan mulai berjalan di lorong. “Maaf kalau bikin kamu khawatir.” 

“Hmm...” 

Setelah mengunci pintu, Rokuyo-senpai menyusul dan berjalan di sampingku dengan senyum miring. 

“Kamu tahu, kamu benar-benar payah kalau soal berbohong,” katanya dengan nada ceria seperti biasa. Nada suaranya terdengar sedikit mengingatkan, tapi tidak terlalu memaksa. 

“Kamu jelek banget dalam menyembunyikan perasaan atau pura-pura nggak ada apa-apa. Siapa pun yang cukup lama menghabiskan waktu denganmu pasti bisa melihatnya.” 

Dia mungkin benar. 

Dibandingkan Nito, Makoto, Igarashi, atau Rokuyo-senpai, aku memang kurang pandai berpura-pura semuanya baik-baik saja. Aku harus mengakui, aku merasa sama kesalnya dan juga sedikit bersalah karenanya. 

“Yah, pokoknya,” Rokuyo-senpai menepuk punggungku. “Sebelum semuanya jadi terlalu berat buatmu, pastikan kamu datang dan cerita padaku, ya?” 

Aku nggak tahu harus membalas apa. 

Merasa lemah dan menyedihkan, aku menghela napas kecil.


₊ ✧ ₊


“—Ah, sial, kita harus bersihkan properti panggung di sini!” 

“—Acara komedi setelah band kayaknya agak berisiko, ya?” 

Latihan berjalan dengan lancar. Ada lima grup yang direkrut dan empat grup sukarela di sana. Setiap grup tampil sesuai urutan yang sudah dijadwalkan. Lalu, kami menguji transisi ke penampil berikutnya. 

Seperti yang diduga, ada beberapa hambatan. Properti yang digunakan penampil sebelumnya masih tertinggal di panggung, dan ada kebingungan tentang siapa yang menggunakan mikrofon. Awalnya aku sempat bertanya-tanya apakah persiapan sedetail ini benar-benar perlu, tapi... 

“Syukurlah kita latihan dulu, kan?” Rokuyo-senpai tersenyum, menoleh padaku. “Kalau pada hari H ada kekacauan sebanyak ini, bisa-bisa panggung sukarelanya berantakan.” 

Benar sekali. 

Jika kekacauan sebanyak ini terjadi pada hari H, pengelolaan panggung sukarela sendiri akan kacau balau. Seperti yang dikatakan Rokuyo-senpai, latihan ini adalah keputusan yang tepat. 

Dan ada satu hal lain yang jadi jelas. 

“Jadi begini rasanya nanti, ya...” gumam Igarashi sambil melihat ke arah panggung dari kursi penonton. “Beginilah kira-kira suasana di hari H...” 

Seperti yang dia bilang, aku bisa membayangkan suasana akhirnya di kepalaku. Para penampil, meski belum sepenuhnya serius, berlatih sesuai peran mereka. Dengan lebih dari sepuluh hari tersisa sampai acara, masih ada waktu untuk penyempurnaan. 

Meski begitu, aku bisa membayangkan bentuk kasar dan atmosfernya pada hari H nanti, bahkan dari tahap ini. 

Makanya—

“Ugh...” 

—Igarashi-san mengeluarkan keluhan kecil. 

“Kita akan bersaing dengan ini melawan panggung utama...” 

Rokuyo-senpai, yang berdiri di depannya dengan tangan bersilang, tidak membalas tapi tampak merasakan kecemasan yang sama. 

Bukan berarti kualitas penampilannya buruk. Aksi komedi yang kami lihat tadi, pertunjukan tari kelompok, dan rutinitas tari dari Azuma Kirara-senpai semuanya cukup memukau. Grup-grup sukarela juga tampak menjanjikan, tapi...

“Ah, sial, aku lupa bawa pedal Blues Driver.” 

“Serius? Pakai pengganti distorsi lain aja dulu.” 

“Oke, boleh juga.” 

Para anggota band di panggung tertawa dan bercanda seperti itu. Tapi wajah mereka... 

Kelihatan terlalu santai. 

Mungkin karena mereka merasa nyaman tidak berada di panggung utama. Atau mungkin karena mereka melihat diri mereka hanya sebagai salah satu hiburan di festival budaya; tapi para penampil tampak cukup santai. 

Hari ini bukan pertunjukan sebenarnya. Ini hanya latihan, bahkan bukan gladi resik penuh. Aku cukup yakin suasana akan lebih tegang pada hari Festival Hekiten nanti, tapi tetap saja...


Hei, Haruki, panggil vokalis band dari atas panggung lewat mikrofon, menarik perhatian Rokuyo-senpai di antara penonton. 

Aku kepikiran, gimana kalau kita bawain lagu cover di hari H? Mungkin bakal lebih seru daripada lagu kita sendiri? 

“Ah, boleh aja. Asal nggak terlalu mengganggu pengaturan suara atau alat musik.” 

Wah, serius? Kalau gitu aku bakal pikirkan, deh. 

Seluruh suasana... interaksi mereka terlalu santai. Tidak terasa sesuai dengan seriusnya situasi ini; bahwa masa depan Rokuyo-senpai yang dipertaruhkan. 

“...Menurutmu mereka terlalu santai, nggak?” gumam Igarashi, menggigit bibirnya. “Ini bisa jadi masalah, nggak, ya...?”

“Iya.”

Aku mengangguk setuju saat berdiri di sampingnya, merasakan kekhawatiran yang semakin membesar di dalam hati.


₊ ✧ ₊


“Kita harus kasih tahu mereka semua!”

Igarashi-san tiba-tiba berkata setelah latihan berakhir.

Saat itu, semua staf sudah kembali ke ruang kelas khusus dan membubarkan diri. Hanya tinggal Rokuyo-senpai, Igarashi-san, dan aku yang tersisa.

Aku sengaja tinggal untuk membantu Igarashi-san meyakinkan Rokuyo-senpai, sesuatu yang sudah kami bicarakan sebelumnya. 

“Dengar,” kata Igarashi-san gugup pada Rokuyo-senpai. “Kalau kita terus begini, kita bakal kalah sama panggung utama. Suasananya terlalu santai; di hari acara nanti pasti bakal sama aja!”

Aku benar-benar setuju. Dengan kondisi ini, sulit membayangkan kualitas penampilan kami akan meningkat signifikan. 

Sejujurnya, untuk ukuran pertunjukan di festival sekolah, kita sudah jauh di atas rata-rata. Band, tarian, dan komedi kita berada di level yang cukup tinggi, bahkan untuk ukuran SMA.

Sebagai panggung sukarela, ini sudah menjadi yang terbaik yang pernah diadakan sekolah. 

Tapi para penampil tidak punya alasan untuk berusaha lebih dari itu. Karena mereka tidak tahu bahwa Rokuyo-senpai sedang berhadapan dengan Nito. Dan karena mereka tidak tahu mereka sedang melawan seseorang yang jauh di atas rata-rata anak SMA. 

“Itulah sebabnya aku bilang kita perlu kasih tahu mereka. Bahwa masa depanmu dipertaruhkan di sini. Aku ingin semua orang membantu. Senpai, kamu kan punya hubungan baik dengan para penampil. Aku yakin mereka bakal dukung kalau kamu yang minta!”

Igarashi-san benar-benar tepat. Kalau Rokuyo-senpai yang bicara, pasti mereka akan mau membantu. 

Latihan hari ini menunjukkan betapa mereka menghormati dirinya. Dia selalu mendengarkan keinginan mereka, membangun pertunjukan sesuai dengan kebutuhan mereka, mendengarkan permintaan untuk membuat penampilan jadi lebih mudah bagi mereka.

Itulah alasan mengapa mereka mulai mengagumi Rokuyo-senpai. 

“—Haruki, urutan di sini perlu kita ganti nggak?”

“—Hei Rokuyo-kun, aku boleh pakai kostum yang biasa kupakai di video?”

“—Harus pakai efek ketawa nggak, ya? Haha, cuma bercanda! Kita bakal bikin penonton ketawa sendiri!” 

Dengan nada santai, mereka semua tampak terbuka dan santai saat mendekati Rokuyo-senpai.

Jika mereka tahu apa yang sedang ia hadapi, jika mereka tahu ia sedang melawan tantangan besar yang bernama NITO, mereka pasti akan membantu.

Mereka mungkin akan bersatu dengan semangat yang lebih besar lagi. Itu akan meningkatkan kualitas penampilan, dan mungkin menarik lebih banyak penonton. 

Jadi, dari segi kualitas dan promosi, ini akan sangat membantu menyelesaikan masalah panggung sukarela.

Jika ingin mengalahkan panggung utama, untuk bisa mengungguli Nito, kami membutuhkan bantuan para penampil. Tanpa itu, mungkin ini sama sekali bukan kompetisi yang adil. Itu yang dipikirkan aku dan Igarashi-san. 

Namun setelah hening yang panjang dan menusuk—

“Tidak.”

—Itulah kata tegas yang akhirnya keluar dari mulut Rokuyo-senpai. 

“...Tapi kenapa?” tanya Igarashi-san, suaranya terdengar marah dan tak percaya. “Kenapa kamu keras kepala banget? Ini bukan waktunya buat kayak gitu!”

Aku juga tidak mengerti. 

Rokuyo-senpai sudah seperti ini sejak awal. Bahkan saat aku menyarankan agar kita memberi tahu semua orang, dia tetap teguh dengan pendapatnya bahwa dia harus menghadapinya dengan kemampuannya sendiri.

Aku paham dia orang yang tangguh, tapi... 

Dia sangat menghargai cara yang benar dan disiplin dengan dirinya sendiri, tapi, serius, ada batas untuk sekeras apa seseorang bisa bersikap keras kepala.

Kenapa dia begitu terobsesi untuk tidak meminta bantuan? 

Kelas pun jatuh dalam keheningan canggung. Dia pasti mengerti bahwa baik aku maupun Igarashi-san tidak akan puas dengan ini.

Seakan menyerah, Rokuyo-senpai memecah keheningan dengan helaan napas berat. 

“Itu karena ayahku,” katanya, terdengar kesal. “Aku harus menunjukkan pada dia bahwa aku bisa mencapai hasil...”

Ayahnya. Ayah Rokuyo-senpai. Orang yang sama yang tidak merestui niat putranya untuk memulai bisnis sendiri. 

“Ayahku adalah seseorang yang membangun perusahaannya dari nol.” Dia menyipitkan mata seolah melihat ke kejauhan.

“Itu terjadi saat gelembung IT di awal tahun 2000-an. Bahkan pada saat itu, sangat sulit, dan katanya dia harus bekerja keras tanpa henti untuk berhasil. Jadi sekarang, dia tidak ingin aku, anaknya, mengalami kesulitan yang sama, dan mungkin dia pikir aku tidak akan mampu untuk itu.” 

“Aku... mengerti,” aku mengangguk.

Ini pertama kalinya aku mendengarnya. Ternyata ayah Rokuyo-senpai pernah mengalami semua itu...

Jadi masuk akal kalau dia ingin putranya bergabung dengan perusahaannya saja. Dia hanya ingin melindungi putranya dari kerasnya hidup yang sudah pernah dia alami. Sama seperti orang tua lainnya. 

“Tapi justru karena itu... aku harus menunjukkan padanya.” Rokuyo-senpai mengepalkan tangannya. “Aku perlu menunjukkan pada ayahku bahwa aku bisa melewati rintangan ini dengan usahaku sendiri...” 

“Jadi begitu...” 

Mendengar ceritanya, aku mulai memahami alasan di balik sikap keras kepala Rokuyo-senpai.

Kenapa dia begitu keras kepala untuk melakukan semuanya sendiri. Kenapa dia begitu bersikukuh untuk tidak mengandalkan orang lain. Aku sepenuhnya mengerti alasannya, dan jika bisa, aku akan membantunya. 

Tapi kenyataan tidak seindah itu. 

“Setiap orang punya batasan, lho,” ujar Igarashi-san ragu. “Tidak peduli seberapa keras kamu berusaha, ada hal-hal yang tidak bisa dicapai sendiri...”

Dia benar sekali.

Misalnya, seandainya Rokuyo-senpai bekerja keras seperti orang gila, dan menanggung semua beban seperti yang pernah ayahnya lakukan untuk membuat panggung sukarela yang luar biasa... apakah dia benar-benar bisa mengalahkan NITO?

Menurutku pribadi, itu tidak mungkin.

Usaha ada batasnya. Ada hal-hal yang bisa kamu lakukan dan ada yang tidak bisa. Itu sebabnya, pada suatu titik, kamu harus mengandalkan orang-orang di sekitarmu. 

“Tapi aku masih mau mencoba,” Rokuyo-senpai tetap teguh. “Aku perlu menguji batasanku sendiri.” 

“...Baiklah, terserah.” 

Pada titik ini, sudah jelas bahwa bujukan kami tidak akan mengubah pendiriannya.

Tampaknya menyadari hal itu juga, Igarashi-san menghela napas, menyerah. 

“Kamu keras kepala sekali... tapi, ya, kalau memang yakin, kamu benar-benar harus siap. Masih banyak yang harus dikerjakan, dan promosi kita juga masih kurang.” 

“Yap, aku mengerti!” 

“Ini bakal sulit karena kamu juga punya tanggung jawab sebagai ketua, tapi kamu tidak punya pilihan lain selain melakukannya.” 

“Serahkan padaku!” seru Rokuyo-senpai, mengangkat tangannya dengan tekad yang berkobar di matanya.

“Tidak ada jenius yang bisa mengalahkan kerja keras!” 

Dia terdengar seperti karakter dari manga shonen.

Tapi apa benar begitu?

Apakah kerja keras semata benar-benar bisa mengubah segalanya?


₊ ✧ ₊


Dan sejak hari itu, dorongan terakhir kami sebelum festival budaya dimulai.

Kami bekerja setiap hari hingga sekolah tutup, dan melanjutkan pekerjaan ketika kami sampai di rumah.

Bahkan sebagai salah satu anggota staf saja, energi kami terkuras habis, dan kelelahan mulai menumpuk. 

Ada gunung pekerjaan yang harus dilakukan. Membuat selebaran untuk panggung sukarela dan menempelkannya di berbagai tempat. Mengurus izin dari sekolah, asosiasi lingkungan, dan distrik. Bernegosiasi dengan perusahaan sound system yang akan memasuki venue pada hari itu, dan berkoordinasi dengan semua penampil.

Di samping itu, aku harus membantu kegiatan kelas kami, yaitu Kafe Cosplay, setiap kali aku punya waktu luang. 

Beberapa hari berlalu, aku hampir kehabisan tenaga, kurang tidur, dan kelelahan.

Igarashi-san terlihat sama lelahnya, dengan wajah yang tampak jelas kelelahan.

Nito satu-satunya yang masih penuh energi, tapi jujur saja, sejak hari itu—hari ketika dia mengatakan bahwa dia “mengacaukan” hidupku—kami jarang berbicara.

Dia jelas-jelas menghindariku, dan aku, tidak tahu bagaimana cara mendekatinya, membiarkan hari-hari berlalu tanpa banyak bicara, menggunakan alasan persiapan festival. 

Dan ada satu orang yang berusaha lebih keras daripada siapa pun di antara kami.


₊ ✧ ₊


“Huh...”

Aku selesai memeriksa dokumen dan aku, Haruki Rokuyo, menatap ke atas.

Seperti biasa, staf panggung sukarela sedang bekerja keras di ruang kelas khusus.

Satu kelompok sedang menyelesaikan jadwal acara, kelompok lain berhubungan dengan para penampil, dan kelompok lainnya sedang berdiskusi tentang promosi.

Semua orang di sini benar-benar memberikan yang terbaik. 

Bahkan yang awalnya tidak begitu antusias kini ikut bersemangat. Rasanya benar-benar menyenangkan dan mengesankan bekerja bersama mereka.

Dari antara mereka—

“Rokuyo-senpai.”

—Salah satu juniorku dari Klub Astronomi memanggilku.

Meguri Sakamoto dan Mone Igarashi, yang sedang mengurus promosi, mendatangiku. 

“Sepertinya kita sudah dapat izin dari semua penampil agar Klub Komputer bisa melakukan siaran langsung untuk panggung utama dan panggung sukarela.” 

“Oh, bagus sekali, jadi tinggal urusan hak cipta yang kita serahkan pada guru.” 

“Ya, sepertinya begitu.” 

Kedua orang ini benar-benar tidak tergantikan.

Mone, yang cepat dalam menemukan masalah, dan Meguri, yang penuh tekad untuk menyelesaikannya.

Aku tidak pernah menyangka, bahkan satu milimeter pun, kalau mereka akan bekerja sekeras ini. Berkat mereka berdua, aku masih bisa bertahan hingga sekarang. 

Tapi, “...Apa kita benar-benar mau bikin ini jadi kompetisi untuk lihat siapa yang dapat penonton streaming terbanyak?” tanya Mone dengan wajah suram. “Chika punya keunggulan besar di internet. Bukankah ini malah bikin kita susah sendiri?” 

“Iya, tapi tetap saja kita akan lakukan,” jawabku sambil mengangguk padanya. 

“Semua penampil kita juga aktif di media sosial. Pochomkins itu YouTuber, dan hampir semuanya rajin unggah video. Mereka punya penggemar masing-masing. Kalau kita gabungkan semuanya, kita pasti bisa menang.” 

Aku benar-benar berpikir kita bisa melakukannya. 

Tentu, NITO lebih kuat di dunia online. Dia dengan mudah menarik puluhan ribu penonton saat siaran dan punya basis penggemar yang sangat besar. 

Tapi kali ini, siarannya bukan di situs video populer; itu akan ada di laman khusus yang dibuat untuk Festival Hekiten. Tempatnya berbeda dari situs tempat biasanya penggemar NITO berkumpul. 

Meskipun penggemar kami tak sebanyak miliknya, kami punya lebih banyak penampil. Jika semua kenalan dan penggemar mereka ikut menonton, total penonton kita harusnya cukup solid. 

Itu keyakinanku, setidaknya. 

“Tapi kamu tahu,” Mone langsung menimpali. “Menurutku, pendekatanmu terlalu asal-asalan.” 

“...Asal-asalan?” 

“Maksudku, Senpai, kamu menganggap semua penampil akan mengikuti rencana ini, kan? Lihat suasana mereka sekarang, belum tentu mereka mau.” 

“Hmm, kamu pikir begitu?” 

“Selain itu,” katanya sambil menyibakkan rambutnya dengan frustrasi, “kamu sendiri kelihatan kurang sehat, Senpai. Kamu kurang tidur, ya?” 

“Tidak kok.” 

“Berapa jam tidurmu tadi malam?” 

“Sekitar tiga jam.” 

“Itu hampir sama dengan nggak tidur!” 

...Nggak tidur, ya? 

Jujur saja, iya, rasanya memang seperti itu. Saat ini, kepalaku terasa berat dan tidak bekerja dengan baik. Tubuhku lelah, kepalaku nyut-nyutan, dan jelas aku tidak berada dalam kondisi terbaik. 

“Maaf kalau bikin kamu khawatir,” kataku sambil mencoba tersenyum pada Mone. “Tapi anggap saja ini sprint terakhir. Aku akan bertahan. Entah bagaimana caranya.” 

“Masih ada sepuluh hari sampai festival, tahu,” dia menjawab sebelum pergi bersama Meguri. 

Mone satu hal, tapi bagaimana dengan Meguri? Dia terlihat agak murung belakangan ini, selalu terlihat gelisah. Setiap kali aku tanya, dia selalu menjawab, “Nggak ada apa-apa,” dan nggak pernah bilang apa yang sebenarnya dia pikirkan. 

“Haaah...” 

Aku menghela napas panjang dan menatap ke luar jendela. Baru lewat jam empat, tapi langit mendung penuh awan gelap, membuat suasana di luar redup. 

Sudah beberapa hari ini hujan turun. Bukan hujan deras, bukan juga gerimis, tapi hujan yang turun terus-menerus tanpa henti. 

Aku tidak ingin menurunkan semangat atau menunjukkan bahwa aku lelah, tapi cuaca seperti ini memang sedikit menguras energi. 

“Baiklah!” 

Dengan tepukan tangan, aku mencoba menyemangati diriku sendiri untuk tugas berikutnya.


₊ ✧ ₊


Mone pergi untuk melapor ke Klub Komputer. 

Yang lain pun bubar untuk melanjutkan tugas masing-masing, dan akhirnya hanya aku dan Meguri, juniorku yang sedang lesu, tersisa di ruang kelas khusus. Sore yang basah, baru lewat pukul 4:30. 

Kami berdua bekerja dengan tenang, hanya suara hujan yang menambah kesunyian di sekitar. 

Dia pasti berpikir aku juga menyebalkan, pikirku sambil memperhatikan Meguri yang membungkuk di atas pekerjaannya. 

Dia pacarnya Nito. 

Dia pasti lebih merasakan bakat dan kemampuan luar biasa Nito daripada siapa pun, dengan berada begitu dekat dengannya. Dia pasti juga mengalami hal-hal menyakitkan karena itu. 

Bagi dia, mungkin aku terlihat seperti orang bodoh. Seorang bodoh yang menghibur diri sendiri dengan kata “usaha” sambil menuju kekalahan. 

Tapi aku percaya aku bisa melakukannya. Aku punya keyakinan dan pengalaman yang mendukungku. 

Seperti lomba lari 50 meter, atau tantangan dengan Takeshita... 

Jadi, ini belum berakhir. Kalau aku punya waktu untuk ragu, lebih baik kugunakan untuk berpikir dan bertindak. Jika aku melakukannya, aku bisa mengalahkan Nito. Aku yakin—

“Um...” 

—Suara itu mengganggu pikiranku.


Aku mendongak dan melihat Meguri, dengan ekspresi lesu, menatapku dengan cemas. 

“...Kamu benar-benar baik-baik saja?” 

Suaranya begitu suram, sampai-sampai aku hampir ingin bertanya balik apakah dia baik-baik saja. 

“Yep, aku baik-baik saja, sungguh.” 

Tapi wajah Meguri justru semakin murung. 

“Tidak... kamu kelihatan seperti akan tumbang kapan saja.” 

Aku, akan tumbang? Tidak, aku tidak bermaksud terlihat seperti itu. 

Apakah aku benar-benar terlihat sekacau itu? 

“Tolong jangan memaksakan diri terlalu keras, dan minta bantuan atau istirahat kalau butuh...” 

Apakah kondisiku memang seburuk itu sampai-sampai dia perlu mengingatkanku? Apa aku benar-benar sudah di ujung tanduk? 

Kata-katanya begitu menusuk sampai aku tanpa sadar tertawa terlalu keras. 

“Tidak, tidak, ini kamu yang lebih butuh istirahat.” 

Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. 

“Kamu malah kelihatan lebih parah dariku akhir-akhir ini! Kalau ada yang beneran butuh bantuan, itu kamu!” Aku menepuk punggungnya, tapi dia hanya terdiam, menampilkan wajah muram yang belum pernah kulihat darinya sebelumnya. 

“...Ayolah, kamu bisa cerita ke aku,” bujukku, sungguh-sungguh. 

“Aku anggap kamu teman dekat. Kamu bisa cerita, oke?” 

Teman dekat. 

Aku tidak mengada-ngada, aku memang berpikir begitu tentang dia. 

Memang, dia tidak seperti teman-teman yang biasa kuajak main, tapi setelah waktu yang kami habiskan bersama di Klub Astronomi dan dalam persiapan Festival Hekiten, dia sudah jadi teman yang penting. 

Itu sebabnya aku mulai kesal melihat dia selalu murung dan tertekan. 

Aku ingin bisa ngobrol dengannya dengan santai, bukan hanya demi acara panggung—

“Nggak, nggak apa-apa,” katanya sambil menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja, dan ini bukan sesuatu yang bisa kubicarakan dengan orang lain...” 

“Mana mungkin kamu baik-baik saja kalau kelihatan kayak gitu.” 

“Nggak, beneran, nggak ada apa-apa...” 

“Kamu bohong.” 

“...Maaf.” 

Meguri tiba-tiba berdiri sambil berkata begitu, mengambil tasnya dan berjalan melewatiku. Aku hanya berdiri terpaku saat dia meninggalkan ruang kelas khusus itu. Rasanya dia baru saja melarikan diri dariku. 

Aku hanya ingin mendengarkan, tapi dia malah membuat jarak antara kami. Biasanya, mungkin aku akan membiarkannya dengan “Hei, tunggu dulu,” atau berpikir dia akhirnya akan membicarakannya. 

Tapi kali ini, “...Apa-apaan sih?” gumamku tanpa sadar. 

“Apa sih maunya dia?” gerutuku pada diriku sendiri. 

Kepalaku tiba-tiba terasa panas karena marah, dan wajahku langsung memerah. Rasa kesal berkecamuk di dadaku, dan aku pun berlari menuju pintu keluar kelas. 

Harus kuakui, aku sudah kehilangan kendali. Aku jelas kehilangan ketenanganku. 

Mungkin ini efek kurang tidur, kelelahan, atau kenyataan bahwa banyak hal yang tidak berjalan lancar dan membuatku merasa tidak dipahami. 

Semua frustrasi akibat hal-hal yang tidak sesuai akhir-akhir ini. Rasanya semua berantakan. Ini benar-benar menjengkelkan!

Aku membuka pintu dengan keras. 

“Hei, tunggu, dong!?” teriakku, melihat punggung Meguri yang sedang berjalan menuju pintu keluar. 

“Setidaknya jelasin apa yang terjadi!” 

“Huh—”

Dia tersentak dan berbalik dengan wajah takut. 

Dia benar-benar tampak ketakutan. Pasti aku terlihat sangat marah. 

Meguri tertegun dan tiba-tiba berlari, gerakannya jauh lebih gesit dibandingkan sebelumnya yang terlihat lesu. 

Aku agak lambat bereaksi di awal. 

“...Kubilang tunggu!” teriakku dan mulai mengejarnya. 

“Apa sih!? Jangan kabur!” 

Aku cukup percaya diri dengan larianku. Waktu lari 50 meterku telah meningkat sejak SD, kini konsisten di kisaran enam detik. 

Aku akan segera menangkapnya. Aku menatap lurus ke depan dan menggerakkan kaki dengan sekuat tenaga. Aku mengayunkan tangan lebar-lebar dan berlari cepat ke depan. Jarak antara aku dan Meguri semakin dekat dalam sekejap, dan saat aku hampir bisa menjangkaunya—

“Aah!?” 

—Ada tikungan tajam. 

Meguri, yang tadinya berlari lurus di lorong, tiba-tiba berbelok tajam, hampir seperti terbang menuruni tangga. 

“Dasar kamu...!” 

Aku berbelok dengan seluruh tenagaku dan mulai turun tangga mengejarnya. Turun dari lantai empat ke lantai tiga, lalu ke lantai dua, hampir seperti terjatuh dari tangga. 

Tapi—

“Sial!” 

—Aku tetap tidak bisa mengejarnya. 

“Apa ini... Susah bernapas...” 

Aku tidak bisa berlari dengan baik. Biasanya, aku akan menutup jarak itu dalam hitungan detik. 

Meguri sebenarnya tidak terlalu cepat; seharusnya aku bisa mudah mengejarnya. 

Tapi, “Sial...” aku terengah, merasakan dampak kurang tidur dan kelelahan yang menumpuk di tubuhku. 

Rasa stres yang terus menekan membuatku tidak bisa berlari secepat biasanya. 

“Tunggu!” teriakku lagi saat Meguri melesat menuju tangga.

“Aku cuma mau bicara, oke!?”  

“Aku nggak bisa kasih tahu!”  

Tanpa mengganti sepatunya, Meguri langsung berlari keluar gedung sekolah.  

“Aku nggak mau menambah bebanmu lebih dari yang kamu punya sekarang!”  

“Apa maksudmu!? Menyembunyikan ini malah bikin aku lebih kesal!”  

Aku berlari mengejarnya di bawah hujan. Tetes-tetes hujan menghantam tubuhku seperti peluru. Siswa-siswa lain yang sedang dalam perjalanan pulang menatap kami dengan kaget, tapi aku tak peduli sedikit pun.  

Dalam keadaan kuyup, aku berteriak pada Meguri.  

“Serius, kamu segitu nggak percayanya sama aku!?”  

“Kita itu terlalu berbeda!” Meguri berteriak balik sambil terus berlari ke halaman sekolah.  

“Kita tipe orang yang beda banget! Kita hidup di dunia yang berbeda!”  

Kata-kata terakhir itu menghantamku seperti batu besar.  

“Itulah kenapa kamu nggak bakal ngerti, Senpai! Kamu nggak akan paham apa yang bikin orang sepertiku khawatir, apa yang aku perjuangkan!”  

Mungkin dia benar, pikirku saat berlari.

Memang, aku dan Meguri berasal dari dunia yang berbeda. Aku nggak pernah bilang ini dengan lantang atau menunjukkan, tapi aku menyadarinya. Aku selalu jadi tipe yang menonjol, dikelilingi orang-orang yang mirip denganku. Aku bagus dalam pelajaran dan olahraga, punya reputasi baik di mata guru-guru. Jujur saja, dalam hati aku selalu bangga pada diriku sendiri.  

Sebaliknya, Meguri, jujur saja, bukan tipe yang menonjol. Dia nggak punya penampilan mencolok atau kemampuan luar biasa. Dia pemalu, lebih suka kegiatan dalam ruangan, dan pendiam.  

Kalau pakai istilah sekarang, mungkin aku adalah tipe yang “ekstrovert”, sementara dia “introvert”.

Kami bisa dekat karena Klub Astronomi, tapi ada batasan yang jelas di antara kami. Seperti yang Meguri katakan sendiri, aku mungkin nggak mengerti perasaannya, dan dia mungkin nggak mengerti perasaanku.  

“Membicarakannya juga nggak ada gunanya!” teriaknya balik padaku.  

“Aku nggak bisa jadi kayak kamu, Senpai!”  


₊ ✧ ₊


“Aku nggak bisa jadi kayak kamu, Senpai!”  

Saat aku berteriak itu, bayangan tiga orang muncul di pikiranku.  

Nito.  

Igarashi-san.  

Rokuyo-senpai.  

Aku punya banyak teman melalui Klub Astronomi. Di kehidupan SMA-ku sebelumnya, aku nggak pernah bisa dekat dengan mereka. Di kehidupan yang ini, bisa berteman dengan mereka bertiga adalah keajaiban.  

Setelah lebih dekat dengan mereka, aku mulai sadar ada perbedaan dalam jenis orang kami. Kami benar-benar berbeda dalam minat, kepercayaan diri, cara berpikir, dan segalanya.  

Tapi aku merasa itu nggak masalah. Bahkan, perbedaan kami terasa menyenangkan.  

Ambil contoh Nito. Dia punya banyak sisi, dan semuanya menggemaskan. Terkejut dan terhanyut oleh dirinya selalu terasa segar, dan aku nggak pernah bosan bersamanya. Keteguhannya membuatku merasa harus berdiri lebih kuat juga.  

Lalu, Igarashi-san. Dia mempercayaiku. Aku bisa lihat dengan jelas, tanpa ragu, kami sekarang teman baik. Aku suka perbedaan antara kami dan menghargai keunikan masing-masing.  

Dan akhirnya, Rokuyo-senpai. Ada bagian darinya yang sangat aku kagumi. Kekuatan dan kebanggaannya pada dirinya sendiri, serta usahanya yang tanpa henti untuk mencapai hal-hal lebih tinggi. Gaya hidup yang nggak bisa kucapai. Popularitasnya masuk akal bagiku, dan memiliki seseorang sepertinya di Klub Astronomi adalah sumber kebanggaan tersendiri.  

“Mungkin aku harus hilang saja dari hidupmu.”  

Saat itulah, kata-kata Nito mulai terasa nyata.  

Menjadi dekat dengan seseorang terkadang berarti melukai mereka. Meski tanpa niat buruk dan kedua belah pihak memiliki niat baik, tetap saja itu bisa mengarah ke masa depan yang menyedihkan.  

Jenius yang mungkin suatu hari akan kuhancurkan—Nito. Dan bukan hanya dia. Perbedaan di antara kita bisa saja melukai kita semua suatu hari nanti.  

Menghadapi kenyataan itu, aku mulai merasa takut. Takut pada jarak di antara kami. Takut pada ketidakmampuan untuk saling memahami. Takut pada perbedaan antara Nito, Igarashi-san, Rokuyo-senpai, dan diriku sebagai manusia.  

Itulah alasannya—  

“Pergi sana!”  

—Aku berteriak kembali pada Rokuyo-senpai, yang masih berusaha keras mengejarku.  

“Aku nggak punya waktu untuk ini! Jadi, tolong, biarkan aku sendiri!”  


₊ ✧ ₊


“Aku nggak punya waktu untuk ini! Jadi, tolong, biarkan aku sendiri!”  

Mendengar itu, aku ragu sejenak, hampir berhenti di tempatku berdiri.  

Mungkin Meguri benar. Pikiran itu melintas dalam benakku.  

Kenyataannya, aku nggak bisa memahami Nito sepenuhnya. Aku nggak tahu apa yang dia alami, apa yang dia pikirkan, atau apa yang dia perjuangkan.  

Nito, dengan bakatnya yang luar biasa dan tekadnya untuk terus mendorong dirinya lebih jauh. Kurasa, dalam satu sisi, ada bagian dari diriku yang merasa takut padanya. Merasa terintimidasi.  

Mungkin, bagi Meguri, aku mewakili sesuatu yang mirip.

Kalau memang begitu, mungkin memang kami nggak bisa saling mengerti. Bukan soal diriku sendiri, tapi soal orang lain, dan karena itu aku bisa memahaminya dengan lebih objektif.  

Ini bukan soal usaha lagi.  

Perbedaan di antara kami lebih mendasar.  

Mungkin memang mustahil untuk benar-benar memahami dan berempati satu sama lain.  

Ah, benar juga... jadi aku nggak punya pilihan selain menerima itu. Bahwa ada hal-hal yang nggak bisa diperbaiki, sekeras apa pun usaha yang kamu lakukan. Bahwa ada jarak yang nggak bisa dijembatani, sekuat apa pun kamu mencoba. Tapi tetap saja—  

“Argh!”


Meguri, yang berlari di depanku, tersandung dan tergelincir. Dia kehilangan keseimbangan, jatuh keras ke tanah berlumpur di halaman sekolah. Tubuhnya terkapar, penuh lumpur dari kepala hingga kaki. Punggungnya naik turun seiring dengan napasnya yang terengah-engah.

Dengan perlahan, dia duduk di tempatnya. 

“...Kamu nggak apa-apa?” tanyaku, mengulurkan tangan. 

“Ayo, pegang tanganku.” 

Tapi dia nggak menyambut uluranku. 

“Aku baik-baik saja,” katanya sambil menatap ke tanah. “Kamu sebaiknya balik ke dalam sebelum kena flu.” 

“Udah cukup!” aku balas dengan nada kesal, rasa marahku muncul lagi. 

Iya—aku marah. Mungkin kami nggak bisa saling mengerti. Mungkin kami bakal saling menyakiti. Pada akhirnya, ini mungkin memang masalah orang lain. Aku pun, jauh di dalam hati, melihat Meguri sebagai orang dari dunia yang berbeda. Tapi meskipun begitu—

“Cukup sudah... biarkan aku jadi bagian dari hidupmu!” kataku, duduk di sampingnya di tanah berlumpur. 

“Aku nggak bisa menyangkal apa yang kamu katakan. Aku nggak paham perasaanmu, dan aku nggak bisa melakukan hal-hal seperti caramu. Tapi juga, aku nggak mau jadi seperti kamu.” 

Meguri menatapku, terkejut. 

“Kita jadi teman itu karena kebetulan. Kalau ada sedikit saja yang berbeda, kalau aku nggak lihat kamu merekrut anggota, mungkin kita nggak akan kenal satu sama lain.” 

Matanya bergetar, jelas sekali dia terpengaruh oleh apa yang kukatakan. Entah bagaimana, aku bisa merasakan kalau ucapanku mengena. 

“Tapi sekarang kita ada di sini, kan?” aku melanjutkan dengan nada lebih lembut. “Lalu kenapa nggak coba percaya pada kebetulan... atau takdir kalau kamu mau menyebutnya begitu... yang mempertemukan kita?” 

Aku tertawa, nggak bisa menahan diri, melihat wajah Meguri yang penuh lumpur seperti itu. 

“Aku benar-benar kesal dan frustrasi... aku benar-benar ingin melakukan sesuatu tentang ini.” 

Perasaan itu sungguh nyata. 

Meguri benar-benar tepat. Ada jurang yang nggak bisa dijembatani antara kami. Usaha nggak akan memperbaikinya. 

Dan itu mungkin akan mengarah ke masa depan yang nggak bahagia. Aku nggak punya pilihan selain menerima itu. 

Tapi... ada sesuatu yang lebih hidup dalam perasaan ini. Bukan sekadar prediksi samar atau ketakutan tentang masa depan, tapi dorongan nyata yang kurasakan saat itu. 

Aku nggak mau mengabaikan mereka. Aku ingin mengikuti perasaan-perasaan itu. 

Setelah keheningan panjang, Meguri akhirnya berbicara. 

“...Aku mengerti,” gumamnya. “Aku akan bicara. Aku ingin kamu mendengarku...”

“Kamu bisa mengandalkanku.” 

“Tapi,” katanya sambil menatapku dengan serius. “Sebagai gantinya... biarkan aku juga mengatakan yang ada di pikiranku.” 

Dia sangat tegas, menunjukkan niatnya dengan jelas. 

“Menyatakan isi pikiranmu?” 

“Iya, ada sesuatu yang sangat ingin kukatakan padamu...” Dia menatapku lurus. “Tolong, biarkan aku juga jadi bagian dari hidupmu.” 

Aku tertawa kecil, mendengar dia bicara seperti itu. 

Orang ini benar-benar bicara tanpa basa-basi. 

Aku mengangguk. 

“Baiklah, deal.”


₊ ✧ ₊


Kembali ke ruang kelas khusus, aku mengelap lumpur dengan handuk dan mengganti baju dengan seragam olahragaku. 

Lalu, perlahan aku mulai terbuka pada Rokuyo-senpai. 

Aku menceritakan bagaimana Nito selalu merasa bersalah setiap kali dia berpikir dia menyakiti orang di sekitarnya. Dan bagaimana aku mengatakan padanya kalau merasa sakit itu masalah orang itu sendiri, bukan urusan siapa-siapa, dan dia nggak perlu khawatir soal itu. 

“Setuju,” Rokuyo-senpai mengangguk singkat. “Nito nggak perlu khawatir soal hal semacam itu.” 

Aku menjelaskan bahwa Nito, bahkan setelah aku bilang begitu, tetap menyalahkan dirinya sendiri, dan dia yakin suatu saat nanti dia pasti akan menyakitiku juga. 

“...Paham,” Rokuyo-senpai mengangguk lagi sambil menyilangkan lengannya. “Dia sudah berpikir sejauh itu, ya...” 

“Lalu, dia bilang, ‘Mungkin aku sebaiknya menghilang dari hidupmu’...” Aku menggigit bibir saat melanjutkan. “Itu benar-benar mengejutkanku.” 

Aku nggak bisa memberitahunya soal fakta bahwa Nito benar-benar akan menghilang di masa depan, dan bahwa sesuatu seperti surat perpisahan yang tersisa. Kupikir lebih baik untuk nggak terlalu banyak mengungkap tentang perjalanan waktu ke orang lain. Kecuali pada Makoto, yang membantuku di masa depan. 

Membiarkan terlalu banyak orang tahu kalau masa lalu dan masa depan bisa diubah hanya akan menimbulkan kebingungan. Dan tanpa itu pun, Rokuyo-senpai seharusnya bisa mengerti situasiku. 

“Aku... aku benar-benar sayang pada Nito,” aku berkata sambil menunduk. “Jadi aku benar-benar bingung. Kadang aku merasa harusnya aku yang menjaga jarak, berhenti ikut campur dalam hidupnya...” 

Aku merasa sudah sampai pada titik itu. 

Haruskah aku putus dengan Nito? Kalau aku nggak ada di dekatnya, mungkin dia akan lebih bebas untuk menciptakan musiknya? Dan bukankah itu akan mencegahnya menghilang? 

Tentu saja, kalau dipikirkan secara logis, itu bukanlah solusinya. Di perjalanan SMA pertamaku, aku dan Nito nggak lagi bersama, tapi dia tetap menghilang. 

Tapi begitulah solusi yang terpikirkan, ketika aku nggak bisa mengendalikan pikiranku sendiri. 

“Paham,” gumam Rokuyo-senpai, bersandar di kursinya dan menyilangkan kaki panjangnya. “Tapi, jawabannya sebenarnya sederhana, kan?” 

“Sederhana?” 

“Iya,” jawabnya dengan santai, mengangguk. “Kamu cuma perlu bahagia.” 

Dia mengatakannya seolah-olah itu adalah hal yang paling jelas di dunia. 

Cuma perlu bahagia. 

Kata yang nggak terpikirkan olehku akhir-akhir ini, mengingat betapa jauh dari itu diriku yang sekarang. 

“Kamu bilang sendiri ke Nito, kan? Walaupun seseorang jadi nggak bahagia karena kalah darinya, itu urusan mereka sendiri. Itu benar. Salah kalau berpikir Nito yang membuat mereka nggak bahagia. Itu juga berlaku buat kamu.” 

Itu... masuk akal. 

Bahkan kalau hidupku menjadi berantakan karena aku dekat dengan Nito, itu bukan salahnya. Itu cuma kelemahanku sendiri. Nito nggak bertanggung jawab, dan dia memang nggak seharusnya khawatir. 

“Tapi Nito nggak bisa melihatnya seperti itu, kan?” tanya Senpai. “Walaupun kamu jelaskan berkali-kali, dia tetap akan merasa bertanggung jawab.” 

“...Iya,” aku mengangguk, dengan perasaan getir yang muncul di dalam diriku. 

Nggak peduli apa pun, Nito akan tetap menyalahkan dirinya sendiri. Nggak peduli seberapa banyak orang bilang “Itu masalahku”, itu nggak akan mengubah apa pun. Dia akan terus menyalahkan dirinya karena menghancurkan hidup orang lain. 

“Jadi,” kata Rokuyo-senpai dengan senyum, “solusi sederhananya adalah: kamu tinggal nggak jadi nggak bahagia.” 

Dia mengatakannya dengan sangat langsung. 

“Kalau kamu bahagia, dan menunjukkan itu padanya, masalah selesai.” 

Itu adalah jawaban yang sangat sederhana. Sebuah cara berpikir yang logis dan masuk akal. 

Ah, baiklah, ternyata hanya itu. Masalah yang kelihatannya begitu rumit ternyata sesederhana itu, sampai hampir terasa anti-klimaks. 

Nito akan mengacaukan hidupku? Jangan biarkan itu terjadi. 

Jelas aku nggak bisa menghindari pengaruh darinya. Kehadiran Nito begitu menyilaukan sehingga mustahil untuk mengabaikannya. 

Jadi, yang harus kulakukan hanyalah terus bahagia. Aku perlu tetap setia pada diriku sendiri dan bahagia di depannya. 

Jawaban yang begitu sederhana, logis, ternyata ada di depan mataku. Dan... aku merasa bisa melakukannya. 

Mengubah masa depan Nito atau membuat semua orang bahagia, itu memang terlalu berat untuk diemban. Aku nggak bisa menjanjikan itu akan benar-benar terjadi. 

Tapi... untuk bahagia buat diriku sendiri, itu sesuatu yang aku percaya bisa kucapai. 

“...Kamu benar-benar mengesankan,” tanpa sadar aku berucap. “Kamu bisa diandalkan.” 

“Aku, kan?” Rokuyo-senpai berkata dengan senyum nakal. “Makanya, seharusnya kamu bicara denganku dari awal.” 

“Kamu benar,” aku mengakuinya. Mungkin seharusnya aku bicara dengannya lebih awal, daripada menanggungnya sendirian. Berkonsultasi dengannya sejak awal mungkin adalah langkah yang benar. 

“Lagipula... berkat itu, sekarang aku bisa bikin kamu mendengarkanku.” 

Inilah kesempatanku untuk membuatnya mendengarkan, untuk menyampaikan permintaanku. 

“Ayo kita kasih tahu mereka semua,” kataku dengan tegas. “Kita kasih tahu semua orang yang bekerja di panggung kita kalau masa depanmu dipertaruhkan.” 

Iya, ini terasa seperti hal yang tepat untuk dilakukan. Aku yakin ini demi kebaikan semua orang. 

Aku menatap Rokuyo-senpai lagi dengan yakin. 

“Ayo kita minta bantuan mereka.”


₊ ✧ ₊


Aku memang bilang aku akan mendengarkan Meguri. 

Dan jujur, aku benar-benar berniat untuk menerima pendapat Meguri. 

“Ayo kita kasih tahu mereka semua.” 

“Ayo kita minta bantuan mereka.” 

Tapi mendengar pendapat itu, yang sebenarnya sudah kuduga—

“Mmm...” 

—Aku ragu. 

Dalam hati, aku tahu itu adalah saran yang masuk akal. 

Seperti yang Mone tunjukkan, nggak ada kemungkinan panggung sukarela kami bisa mengalahkan panggung utama dalam keadaan seperti sekarang. 

Kami jelas kalah dari mereka dalam perhatian, motivasi, dan kualitas keseluruhan. Kalau kami ingin mengubah keadaan, memberi tahu semua orang tentang situasiku adalah satu-satunya pilihan. 

Tapi... itu sesuatu yang sangat ingin kuhindari. Mengandalkan orang lain rasanya akan membatalkan seluruh kompetisi ini, atau lebih buruk lagi, membatalkan cara hidupku. 

“...Benar,” kata Meguri ketika dia melihat aku masih diam. “Aku nggak bisa sepertimu, Senpai. Aku nggak bisa memahami situasimu, atau perasaanmu.” 

Nggak bisa memahami. 

Dia benar, Meguri jelas nggak bisa mengerti. Karena dia nggak mengalami pengalaman yang sama denganku, dan karena kami adalah orang-orang yang berbeda. 

“Tapi justru karena itu aku mungkin bisa melihat hal-hal yang kamu nggak bisa lihat.” 

Meguri yang bisa melihat hal-hal yang nggak bisa kulihat. Sebuah terobosan yang bisa ditemukan justru karena ini dirinya.

“Kalau kamu bilang kita teman dekat, nggak ada salahnya untuk dengerin pendapatku, kan?” 

Aku tahu, tapi...” 

Aku sepenuhnya paham maksud Meguri, dan sejujurnya itu sangat meyakinkan. Tapi, ada sesuatu yang tetap membuatku ragu. 

“Nggak, aku nggak bisa... Aku nggak bisa melibatkan yang lain,” kataku sambil tersenyum pahit. “Mereka semua menanti-nanti untuk tampil. Mereka benar-benar semangat buat menunjukkan apa yang mereka punya di Hekiten. Aku nggak bisa begitu saja numpahin masalahku ke mereka.” 

Masing-masing dari mereka punya alasan sendiri untuk tampil, dan punya harapan yang menyertainya. Aku nggak bisa memaksakan masalahku ke mereka begitu saja. 

“...Nggak, nggak, nggak.” Tapi Meguri hanya menggeleng dengan senyum tipis di bibirnya. “Kamu sendiri yang bilang, biarkan aku jadi bagian dari hidupmu, kan?” 

Mendengar itu, aku tersentak. 

Frustrasi yang kurasakan pada Meguri. Frustrasi karena dia menjaga jarak dariku. Apa aku... membuat orang lain merasakan hal yang sama? 

“Para penampil, mereka semua percaya padamu, kan, Senpai?” 

Aku membayangkan wajah mereka satu per satu. Ya, mungkin mereka memang mempercayaiku. Aku selalu mencoba menghormati mereka lebih dari sekadar batasan pekerjaan. Kalau kita tampil bersama, aku ingin memperlakukan mereka sebagai teman seperjuangan. 

Benarkah mereka percaya pada orang sepertiku? 

“Aku yakin semua orang ingin membantu kamu, Senpai,” kata Meguri sambil tersenyum. 

Aku menarik napas dalam-dalam dan menatap langit-langit kelas. 

“Aku paham...” 

Rasanya aneh. Seperti pijakan di bawahku tiba-tiba menghilang, meninggalkan perasaan nggak pasti. 

Tapi di saat yang sama, aku merasa lebih bebas, seperti aku bisa pergi ke mana saja sekarang. 

“...Haruskah aku bicara dengan mereka?” gumamku, lebih kepada diri sendiri. “Mungkin aku harus cerita ke semua orang tentang keadaanku.” 

“Iya, ayo kita lakukan itu,” kata Meguri sambil tersenyum tenang. 

Di saat itu, aku sadar bahwa dinding yang selama ini menghalangi aku dan juniorku ini telah runtuh. Bersama-sama.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close