NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Jinseigyakuten Uwakisare Enzai wo Kiserareta Orega Gakuenichi no Bisyoujo ni Natsukareru V1 Chapter 8

 


Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 8 - Perkembangan masalah Perundungan


── 6 September ──


Aku bangun sedikit lebih awal hari ini untuk bersiap-siap, belajar dari kesalahanku kemarin. Aku tidak ingin membuat Ichijou-san menunggu.


"Ah, kamu bangun pagi banget ya hari ini. Hari ini apakah Ai-chan akan datang?"


Seperti biasa, ibu tersenyum padaku. Kakakku juga tersenyum tanpa berkata apa-apa. Mereka berusaha bersikap biasa agar aku tidak khawatir.


"Iya."


"Begitu ya. Ajak dia untuk datang makan tiram nanti, ya?"


"Iya, akan kukatakan."


Sepertinya ibu juga sangat menyukai Ichijou-san. Wajar saja, karena dia adalah gadis yang paling mendukungku saat aku berada di posisi yang sulit.


Aku keluar rumah, dan dia sudah menunggu di sana, tersenyum seperti malaikat.


"Selamat pagi, Senpai!"


Aku merasa seolah-olah melihat sayap putih.


"Selamat pagi, Ichijou-san."


Kami mulai berjalan perlahan. Ini menjadi kebiasaan sehari-hari.


"Oh iya, Senpai! Sebenarnya, aku punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu."


Dia memeriksa tas sekolahnya.


"Hah? Ini bukan hari ulang tahunku, kan?"


Aku pura-pura bingung, tapi sebenarnya aku terkejut.


"Bukan yang seperti itu."


"Lalu, apa?"


"Sebagai tanda terima kasih karena menemaniku di kafe kemarin. Ini!"


Amplopnya agak tebal. Mungkin ada buku catatan di dalamnya.


"Boleh kubuka?"


"Iya. Tidak ada uang atau hal yang tidak menyenangkan di sana."


Dia tersenyum sedikit malu. Saat aku membuka amplop itu, di dalamnya ada manuskrip novel yang kutulis. Tulisannya kukenal. Isinya juga kuingat. Aku segera memeriksa judulnya.


Itu adalah novel asli milikku yang sempat dibuang oleh klub sastra.


"Mengapa kamu punya ini?"


"Aku berusaha menyelamatkannya kemarin."


Dia tersenyum usil.


"Mengapa Ichijou-san…"


Tanpa sadar aku memegang amplop itu dengan erat.


"Aku berusaha keras, meski hanya sedikit."


"Tapi… aku tidak pernah bilang kalau aku anggota klub sastra, kan?"


Bagaimana dia tahu?


"Kalau itu, aku tahu saat aku berkunjung ke rumahmu, aku melihat banyak novel di ruang istirahat, juga majalah klub sastra."


"Itu saja tak cukup sebagai petunjuk."


Itu terlalu sedikit bukti untuk menyimpulkan. Bisa saja aku hanya pecinta novel dan kebetulan punya majalah klub sastra.


"Benar. Kalau ini cerita detektif, pelakunya mungkin tidak akan terungkap, tapi aku hidup di dunia nyata. Jadi, aku memastikan buktinya. Di kelasku ada seorang gadis klub sastra bernama Hayashi-san. Aku bertanya padanya, dan semuanya jelas."


Aku hampir tak pernah bicara dengan junior bernama Hayashi itu. Seingatku, aku sempat mengajarinya sesuatu sebelum liburan musim panas.


"Kalau begitu, dia pasti membenciku."


Rumor buruk tentangku pasti membuat para gadis tidak suka. Jujur saja, Ichijou-san terlalu baik sebagai seorang junior.


"Iya. Dia pernah mendengar senior-senior lain membicarakanmu."


"Begitu ya."


"Tapi, dia bilang tidak sepenuhnya percaya. Katanya, waktu sebelum liburan musim panas, Senpai dengan ramah mengajari dia cara menggunakan aplikasi Word. Dia masih ingat, dan merasa sulit mempercayai kalau Senpai yang baik akan melakukan hal buruk."


"…"


Memang, aku pernah mengajarinya dasar-dasar aplikasi Word sebelum liburan. Hanya hal-hal sederhana seperti cara menambah tabel dan daftar kata.


"Setelah berbicara dengannya, aku tahu. Senpai ternyata diperlakukan buruk oleh anggota klub sastra lainnya."


"Iya."


"Ketua klub bahkan membuang barang-barang pribadi Senpai di ruang klub. Jadi, aku meminta Hayashi-san untuk menjaga barang-barangmu sebisanya."


"…"


Gadis ini sungguh luar biasa…


"Tapi, karena Hayashi-san juga pemalu, dia tak bisa membantu terang-terangan. Meski begitu, dia berusaha mengumpulkan manuskrip Senpai yang bisa diselamatkan, sementara sisanya kucoba ambil sendiri… ini semua yang bisa kami dapatkan."


"Kau masuk ke ruang klub?"


"Iya. Setelah kita minum teh di kafe, aku kembali ke sekolah yang hampir tutup."


Gadis ini sungguh nekat.


"Lalu, bagaimana kau masuk ke ruang klub? Pasti terkunci, kan?"


"Aku berbohong sedikit. Kubilang pada penjaga kalau aku diminta mengambil barang yang tertinggal oleh Hayashi-san."


Dia terlihat sedikit menyesal. Aku hanya bisa menghela nafas.


"Mengapa kau repot-repot melakukan ini untukku?"


"Karena aku tak suka jika usaha seseorang yang kusayangi, hancur oleh niat jahat orang lain."


Dia menatapku dengan sedikit rasa bersalah.


"Terima kasih."


Mungkin manuskrip ini dibuang karena dianggap buruk oleh ketua klub sastra. Ingatanku kembali ke saat itu. Ketua yang dulu akrab denganku, sangat mengkritik manuskrip ini.


"Aku merasa novel ini sangat menarik."


Junior itu berkata dengan sedikit tegas.


"Jadi, kau membacanya?"


Dia menunduk malu.


"Maaf. Aku penasaran, jadi kemarin kubaca hingga larut malam. Makanya aku sedikit kurang tidur."


Setelah diperhatikan, memang ada sedikit lingkaran hitam di bawah matanya.


"Bagaimana menurutmu?"


Tanpa sadar aku bertanya, mungkin karena rasa percaya diri yang sempat hilang.


"Luar biasa. Benar-benar menarik. Senpai, kau punya bakat!"


Melihat senyumnya yang penuh keyakinan, aku merasa seakan mendapatkan kembali apa yang sempat hilang.


"Terima kasih. Mendengar itu, aku jadi lebih percaya diri."


Kami kembali melangkah ke depan bersama, satu demi satu.


── Perspektif Takayanagi-sensei ──


Aku datang ke restoran Aono bersama kepala sekolah.


Seharusnya kami datang saat istirahat siang, namun karena permintaan mendesak ibu Aono, pertemuan diadakan pukul sembilan tiga puluh sebelum toko buka.


Kasus Aono diserahkan pada Mitsui-sensei. Hari ini remedial Aono juga dimulai. Berkat usaha kepala sekolah dan wakilnya, keterlambatan pelajaran hanya sehari.


Untuk mata pelajaran olahraga dan seni, solusinya sedang dibahas, mungkin dengan remedial atau tugas tambahan.


Kali ini, pertemuan hanya dihadiri orang tua dan guru tanpa kehadiran Aono.


"Ini rumah Aono-kun ya."


Kepala sekolah memegang erat tas kertas berisi berkas tentang situasi Aono dan rencana ke depannya.


"Iya."


"Tanggung jawab akhir ada padaku sebagai kepala sekolah. Jadi, jelaskan faktanya dan tetaplah mendukung keluarga Aono. Meskipun saya tak meragukan kemampuan Anda."


"Anda terlalu memuji. Jujur, tangan saya gemetaran."


Situasi ini sangat menegangkan. Sejujurnya, kalau bisa, aku ingin menghindar.


"Itu wajar. Saya juga merasa sama. Namun, sebagai guru, kita memiliki pengaruh besar pada kehidupan siswa."


"Benar."


Maka, tak ada pilihan selain menghadapinya.


"Orang tua Aono pasti akan memahaminya. Mari, kita masuk."



── Perspektif Ibu Aono ──


"Maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini."


Begitu memasuki pintu, Kepala Sekolah dan wali kelas Takayanagi langsung membungkuk meminta maaf kepadaku. Aku sempat berpikir mereka hanya akan memberi permintaan maaf ala kadarnya dan solusi seadanya, tapi...


Sikap tulus mereka memberi aku rasa tenang. Seperti yang dikatakan Pak Minami, ternyata Kepala Sekolah dan guru-guru ini benar-benar pendidik yang luar biasa.


Kakaknya sangat sayang pada Eiji, jadi aku minta dia tetap mengurus persiapan toko agar bisa lebih objektif.


"Tolong angkat kepala Anda. Kapan Anda menyadari masalah ini?"


Guru wali kelas yang kurus menjawab.


"Pada jam pelajaran tanggal 4 September. Sampai tanggal 3 saya tidak hadir karena menemani klub catur di turnamen. Selama itu, saya meminta Ayase sebagai wakil wali kelas untuk menangani kelas. Saya diberitahu bahwa Eiji sakit dan pergi ke UKS, dan saat itu saya melihat coretan di mejanya. Lalu saya segera melaporkannya kepada Wakil Kepala Sekolah dan membahas langkah penanganannya."


"Anda menyadarinya begitu cepat. Jadi, Anda langsung menyadari tanda-tanda bullying setelah kembali ke sekolah, sementara wakil wali kelas tidak menyadarinya, ya?"


Aku cukup terkejut. Ternyata ia begitu berdedikasi.


"Ya. Saat saya masuk kembali, saya merasa ada ketegangan yang aneh di kelas. Saya tahu ada sesuatu yang salah. Namun, mungkin terdengar seperti alasan, tapi Ayase adalah guru baru yang kurang berpengalaman dan mungkin tidak bisa mendeteksi gejala awal bullying. Dia merasa sangat bertanggung jawab..."


"Aku mengerti. Lupakan soal wakil wali kelas dulu. Yang ingin aku tahu bukan itu. Bagaimana Anda pertama kali berinteraksi dengan Eiji hari itu?"


"Hari itu, saya tidak sempat bertemu dengan Eiji. Aono meninggalkan UKS dan tidak kembali ke kelas. Kami mencari dia dengan bantuan Wakil Kepala Sekolah dan Mitsui-sensei, guru pembimbing, yang kemudian menghubungi Anda."


"Begitu ya..."


Benar, aku memang menerima telepon dari UKS waktu itu.


"Hari itu, kami meminta bantuan Imai untuk menghubungkan kami dengan Eiji dan bertanya padanya keesokan harinya. Ini laporan yang berisi hasil investigasi kami."


"Baiklah, saya akan membacanya."


Laporan itu menjelaskan bahwa Eiji terlibat masalah karena cinta dan karena itu rumor buruk tersebar tentangnya. 


Meskipun nama disamarkan, laporan itu juga menyebutkan konfirmasi dari Miyuki dan seseorang yang diduga sebagai selingkuhannya. Dua siswa kelas yang diduga berperan dalam bullying masih dalam penyelidikan. Dukungan akan diberikan kepada Eiji dalam hal akademik, dan remedial mulai hari ini.


"Sensei, apakah kalimat terakhir dalam laporan ini serius?"


Laporan itu menyebutkan, [Tindakan yang ditemukan melibatkan perusakan barang, pencemaran nama baik, pencurian, dan ancaman. Kami mempertimbangkan untuk melaporkan ke polisi atau menghukum pelaku dengan skors atau pemecatan]. Biasanya, sekolah enggan melibatkan polisi dalam kasus bullying seperti ini...


Takayanagi langsung menjawab.


"Ya, pihak sekolah tidak dapat mentoleransi perilaku seperti ini. Tindakan seperti pencemaran nama baik atau ancaman bergantung pada keputusan Eiji dan Anda sebagai pihak yang terkena dampak. Faktanya, kelompok bully ini bahkan memberi ancaman pada toko ini. Untuk coretan di meja atau loker, sekolah mengalami kerugian langsung, jadi kami sudah berkonsultasi dengan polisi."


"Apakah sekolah tidak ingin menghindari keterlibatan polisi?"


Tanpa sadar, aku bertanya demikian. Ketika Takayanagi hendak menjawab, Kepala Sekolah lebih dulu bicara.


"354 orang. Itu jumlah siswa SMA yang meninggal karena bunuh diri pada tahun 2022. Tidak hanya karena bullying, tetapi juga masalah kesehatan atau lingkungan keluarga..."


"......"


Angka nyata itu seperti pisau yang menusuk punggungku.


"Jika termasuk percobaan bunuh diri, jumlah siswa yang hidupnya hancur karena bullying jauh lebih banyak. Ini hanya permukaan dari gunung es. Dan sekarang, insiden seperti ini terjadi."


Dengan tegas, Kepala Sekolah menyatakan.


"Jika sampai mengancam nyawa, yang harus diprioritaskan adalah keselamatan Eiji sebagai korban. Kita, sebagai orang dewasa, harus bergerak demi masa depannya. Demi itu, kami memohon dukungan Anda."


── Setelah Sekolah ──


Hari ini, aku juga pulang bersama Ichijou-san.


"Senpai! Bagaimana remedial tadi?"


Aku diprioritaskan untuk mengikuti remedial daripada ujian nasional sekolah. Para guru memberikan perhatian khusus.


"Ya, cukup mudah dimengerti."


Dengan metode satu-satu, guru-guru sangat membantu.


Bahasa Inggris diajarkan langsung oleh Kepala Sekolah.


"Aono-kun, saya minta maaf karena Anda mengalami kesulitan di sekolahku. Jangan ragu bercerita pada saya, Takayanagi, atau Mitsui jika ada kekhawatiran."


Dengan suara penuh perhatian, ia berkata.


Sekitar 20 menit, Kepala Sekolah mengajarkan tata bahasa, kosa kata, dan frasa penting dalam bab di buku teks.


"Baik, kita akan memperkuat kemampuan listening dan speaking dengan menggunakan komedi drama."


Dia memperlihatkan serial komedi dari luar negeri. 


Dibandingkan rekaman pelajaran, dialognya lebih cepat dan ada slang.


Pada setiap poin penting, Kepala Sekolah menghentikan video dan memberikan penjelasan.


"Di sini, dua kata bergabung saat diucapkan. Orang asli mengucapkannya seperti ini."


"Istilah 'wanna' mungkin jarang muncul di pelajaran bahasa Inggris SMA, tapi ini bahasa sehari-hari Amerika. Inggris menganggapnya seperti logat Amerika. Artinya 'ingin'. Pernah menonton film 'Armageddon'? Lagu temanya juga menggunakan istilah ini."


Penjelasan Kepala Sekolah mudah dipahami. Meskipun dia mantan pemain rugby, ia memiliki ratusan DVD dan Blu-ray film Barat di rumahnya.


Drama yang ia pilih tentang ilmuwan jenius yang tidak populer. Jelas ia memilih drama ini agar suasana hatiku tidak turun.



"Pelajaran Kepala Sekolah santai ya. Senpai benar-benar dikelilingi orang baik."


Ya, memang benar. Di depanku, ada orang yang langsung menjadi pendukung terbesarku.


"Senpai, maaf jika ini merepotkan, tapi ada orang yang ingin kutemukan denganmu."


Ichijou-san melirik ke arah gerbang sekolah, di mana terlihat Hayashi-san, anggota klub sastra yang lebih muda dariku, dengan wajah hampir menangis.


Dengan wajah tegang, Hayashi-san mendekatiku.


"Hayashi-san, ada yang ingin kamu sampaikan?"


Ichijou-san membantunya, dan dia mengangguk sambil menunduk.


"Aku minta maaf, Aono-senpai!"


Dia membungkuk dalam-dalam.


"Aku tahu kalau senpai tak mungkin melakukan seperti yang dirumor itu, tapi aku takut dikucilkan dan tak bisa membela senpai. Maafkan aku."


Air mata jatuh dari matanya, membasahi aspal.


"Aku merasa takut keluar dari lingkaran, dan tidak bisa melakukan hal yang benar."


Hayashi-san terlihat sangat tersiksa.


Sebenarnya yang harus minta maaf adalah mereka yang menyerangku secara langsung.


"Angkat kepalamu, Hayashi-san. Kamu sudah membantu Ichijou-san, bukan?"


"Tapi…"


Seperti inilah kenyataannya. Yang paling menderita adalah orang yang tulus, sedangkan yang tidak peduli hidup tanpa beban.


Dia termasuk orang yang tulus. Walaupun aku memaafkannya, mungkin dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.


"Aku senang kamu sudah meminta maaf."


Hayashi-san adalah orang pertama di luar keluarga dan teman yang mendukungku.



Kami berpisah dengan Hayashi-san yang sudah berhenti menangis, dan pulang bersama.


Karena ini sudah hari ketiga, kami tidak lagi dilihat dengan pandangan aneh. Kebiasaan itu benar-benar menakutkan.


"Sepertinya Hayashi-san akan keluar dari klub sastra."


"Begitu ya."


Aku merasa sedikit lega setelah mendengar kata-kata Ichijou-san. Aku merasa sedikit berbahaya jika dia tetap berada di dalam klub itu.


"Terima kasih ya. Mengapa kamu begitu peduli padaku?"


Aku benar-benar berhutang budi pada Ichijou-san.


"Itu juga karena dirimu senpai. Di atap pada hari itu, kamu mempertaruhkan nyawamu untuk membantu seorang junior yang bahkan tidak kamu kenal, meskipun kamu basah kuyup. Kamu melakukannya dengan tekad untuk mengorbankan nyawamu sendiri. Saat itu, aku berada dalam keputusasaan, tapi sekarang aku benar-benar merasa bersyukur masih hidup. Semua itu berkatmu."


"Tapi..."


"Bahkan walaupun begitu. Tidak banyak orang yang bisa melakukan hal seperti itu dalam sekejap. Waktu itu, aku merasa putus asa, tapi sekarang aku benar-benar merasa bersyukur karena hidup. Itu semua berkatmu."


"Aku rasa aku terlalu banyak menerima bantuan darimu. Haruskah aku balas sepanjang hidupku."


"Dalam kejadian kali ini, aku pikir senpai telah kehilangan banyak hal. Aku mungkin tidak berhak mengatakan ini, tapi tidak semuanya hilang. Ada orang yang percaya padamu, seperti Hayashi-san. Aku ingin senpai tahu itu."


Dia tersenyum malu-malu. Wajahnya yang diterangi sinar matahari senja terlihat sangat indah hingga aku tidak bisa menatapnya langsung.


"Bertemu dengan Ichijou-san dalam kejadian ini adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidupku."


Ketika aku mengatakan itu, wajahnya memerah dan dia bergumam dengan tatapan tertunduk.


"Itu curang, senpai bodoh."


"Kamu tidak suka?"


"...Tidak juga."


Melihat juniorku yang malu-malu itu, aku merasa hatiku penuh dengan kebahagiaan.



Kami pulang bersama. Membicarakan hal-hal acak. Karena kami baru saling mengenal, bahkan sebagai teman dekat, masih banyak hal yang belum kami ketahui satu sama lain, jadi ada banyak hal yang bisa dibicarakan.


Pembicaraan kami tidak pernah berhenti.


Hari ini aku harus membuat Ichijou-san makan tiram goreng.


"Ngomong-ngomong, Ichijou-san, kenapa kamu suka tiram goreng?"


Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.


"Oh, itu adalah hidangan andalan ibuku yang sudah meninggal, dan dia sering membuatnya untuk ulang tahunku. Aku tidak bisa melupakannya."


Ini pertama kalinya aku mendengar bahwa ibunya telah meninggal.


Aku sedikit menyesal bertanya.


"Maaf, apakah itu tidak sopan?"


Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.


"Tidak apa-apa kok. Kamu juga sudah bercerita tentang ayahmu yang meninggal, kan? Aku merasa perlu menceritakannya juga."


Aku teringat saat aku menceritakan tentang ayahku pada Ichijou-san saat kami makan siang di ruang istirahat.


"Mungkin tidak sebanding dengan tiram goreng buatan ibumu, tapi aku berharap kamu menikmatinya."


Sebenarnya, tiram goreng juga adalah hidangan andalan ayahku.


Menggoreng tiram dengan sederhana dan menyantapnya dengan saus tartar khas ayah adalah tradisi dari musim gugur hingga musim dingin di dapur Aono.


"Saus tartar kami memiliki rasa asam dari acar sebagai rahasia, membuatnya terasa ringan. Itu resep khusus ayahku yang sudah meninggal, jadi nantikanlah."


"Aku tak sabar! Ibuku biasa membuat saus tartar dengan bawang goreng, rasanya sangat enak. Rasanya jadi nostalgia."


Sebagai anak dari pemilik restoran, aku mengerti. 


Menggoreng bawang hanya untuk saus itu cukup merepotkan. Tapi, ibunya Ichijou-san tetap melakukannya, menunjukkan betapa dia mencintai putrinya.


Ichijou-san memang terlihat agak kurus, tapi dia cukup suka makan. Dia menghabiskan makan siangnya dengan cepat. Tapi, aku diam saja, merasa tidak pantas untuk mengomentari itu.


Saat kami berbicara seperti biasa, sebuah mobil berhenti di depan kami.


Seorang pria tua berambut putih turun dari mobil.


Itu adalah paman yang kukenal, mantan walikota di kota ini... Paman Minami.


"Eiji-kun. Lama tak bertemu. Apakah aku mengganggu kencan kalian? Aku senang kamu sehat."


Ichijou-san memandang Paman Minami dengan bingung, tampaknya dia segera mengerti siapa dia.


"Senpai, kenapa mantan walikota bisa begitu akrab dengan kita?"


Dia bertanya dengan suara pelan.


"Oh, Paman Minami adalah teman ayahku yang sudah meninggal, dan dia memperlakukanku seperti cucunya."


Mendengar hal itu, Ichijou-san tampak terkejut dan menatapku dengan mata terbelalak.


"Begitu ya..."


Dia tersenyum canggung.


Paman Minami adalah sosok yang sangat mendukung kegiatan sukarela ayahku. Selama menjabat sebagai walikota, dia banyak membantu kegiatan dapur umum dan menyusun kebijakan yang mendukung kesejahteraan anak-anak dan keluarga kurang mampu.


Ia bahkan mengembangkan kegiatan ayahku lebih lanjut, membuat peraturan agar kota kami dapat lebih mudah memberikan bantuan untuk menjalankan kantin anak-anak dengan bantuan dana dan kerjasama pemerintah-swasta.


Kota kami terkenal sebagai lingkungan yang ramah untuk membesarkan anak, dengan populasi yang terus meningkat, sebuah prestasi yang dikaitkan dengan masa jabatan Paman Minami sebagai walikota.


Setelah tiga periode menjabat sebagai walikota, ia pensiun dari aktivitas politik dan kini melanjutkan cita-cita ayahku dengan mendirikan organisasi sukarela. Beliau adalah seorang kakek penuh energi dan bijak yang bergerak di garis depan membantu mereka yang kurang beruntung dan mengatasi kemiskinan anak. Beliau tampak sangat bugar, meskipun telah berusia lebih dari tujuh puluh tahun.


Setelah ayahku meninggal, ia masih sering mengunjungi dapur Aono.


"Sekarang aku akan ke rumah Eiji-kun. Kalau mau, kamu bisa ikut di mobil. Aku akan antar sekalian. Ngomong-ngomong, Nona, mungkin kamu..."


Dia memperkenalkan dirinya dengan agak gugup.


"Aku adalah Ichijou Ai. Lama tak bertemu, Walikota Minami."


"Jangan panggil aku walikota lagi. Aku sudah lama pensiun. Jadi, Ichijou-san ya? Kamu tumbuh menjadi sangat cantik. Nyatanya, kamu berjalan bersama Eiji-kun, anak dari Mamoru. Ini mungkin sebuah takdir."


Sepertinya, orang tua Ichijou-san memang orang berpengaruh. Aku memilih untuk mendengarkan percakapan mereka tanpa bertanya lebih lanjut.


"Walikota Minami, aku tidak ada kaitan lagi dengan ayahku sekarang."


Mendengar kata-kata itu, Paman Minami terlihat terkejut namun tersenyum penuh pengertian, menganggukkan kepala.


"Begitu. Baiklah, naiklah ke mobil. Ada hal yang ingin aku minta maaf kepada Eiji-kun sejak lama."


Lelaki tua yang ramah itu mengajak kami masuk ke mobilnya.



Dengan mobil paman, kami pindah ke taman terdekat. Paman Minami bertanya,


"Apakah Ichijou-san harus meninggalkan kita sebentar karena aku ingin membicarakan tentang ayahmu?"


Aku menggelengkan kepalaku.


"Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu aku sembunyikan tentang ayahku."


Paman tersenyum lembut mendengar itu.


"Kamu sangat mirip dengan ayahmu. Seperti bayangannya hidup kembali."


Sejak kecil, banyak orang dewasa mengatakan padaku untuk menjadi orang sehebat ayahku. Meski terkadang merasa tertekan, setelah ayah meninggal, semakin aku memahami sesuatu, semakin aku bangga.


Aku ingin sebisa mungkin mendekati ayahku. Meski mungkin aku takkan mampu melebihi sosoknya yang seperti orang suci. Duduk di bangku taman, mantan walikota mulai berbicara perlahan.


"Sudah bertahun-tahun sejak Mamoru meninggal. Waktu berlalu begitu cepat dan tak terasa. Eiji-kun, kamu sudah tumbuh besar."


Dengan senyum penuh kesedihan, lelaki tua itu mengingat saat pemakaman ayahku; dia adalah yang paling berduka.


Paman Minami adalah teman sukarelawan ayahku. Ayah sering mengadakan dapur umum dan kantin anak-anak, yang membuat mereka menjadi teman dekat.


Setelah itu, Paman Minami terjun ke dunia politik untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi semua orang dan mendukung kegiatan ayahku.


"Eiji-kun, kamu sudah menjadi siswa SMA yang luar biasa. Karena itu, aku ingin bicara jujur. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa tetap sehat. Aku benar-benar menyesal. Aku merasa telah merenggut ayahmu dari kalian."


Dengan mata yang berkaca-kaca, ia membungkuk. Hari ini aku sudah terlalu sering menerima permintaan maaf.


"Paman, tolong angkat kepala Anda."


"Terima kasih. Kamu memang baik ya. Tapi izinkan aku meminta maaf. Ayahmu adalah sosok yang ideal bagiku. Dia orang yang penuh tanggung jawab dan kebaikan. Namun, aku malah terlalu banyak meminta darinya. Dengan pekerjaan di dapur Aono dan sukarelanya, aku membebaninya terlalu berat. Meskipun tahu bahwa dia akan memaksakan diri."


Paman mengangkat pandangannya ke langit.


Aku mengerti maksudnya. Penyesalan itu wajar.


Setelah kematian ayah, aku rasa paman masih merasa seakan waktu berhenti.


"Namun, yang memilih itu ayah."


Aku sengaja menggunakan kata "ayah" sebagai sebutan formal.


"Tetapi, akulah yang memaksanya untuk memilih."


Itulah penyesalannya. Ia merasa memaksakan idealisme kepada ayah hingga ayah kewalahan dan jatuh sakit.


Namun, sebenarnya tidak begitu. Karena, ayah...


"Ayah tersenyum bahagia. Wajahnya saat meninggal benar-benar penuh kedamaian. Sekalipun Anda, Paman, jangan pernah mengingkari keinginannya."


Ayah menjalani hidupnya sesuai dengan idealismenya. Karena itu, tak perlu ada yang menyesal.


"Begitu ya..."


"Paman telah meneruskan cita-cita ayah. Ayah selalu berkata bahwa jika ada yang melanjutkan kegiatannya, maka ia akan terus hidup. Jika paman yang seharusnya menjalani hidup bersama ayah masih merasa menyesal, itu akan membuatnya marah. Aku yakin itu."


Paman tersenyum dengan mata berkaca-kaca.


"Kamu benar-benar sudah dewasa ya. Aku merasa seperti sedang diajari oleh cucuku sendiri, Eiji-kun."


Lalu, ia menatapku dengan penuh kasih.


"Karena itu, aku tak bisa memaafkan orang-orang yang ingin menyakitimu. Mungkin ini berlebihan. Kamu sedang tumbuh menjadi orang dewasa, tapi kamu masih siswa SMA yang harus dijaga. Demi ayahmu, aku akan menjalankan tanggung jawabku sebagai orang dewasa. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."


Mengingat senyum ayah, hatiku terguncang oleh kepedulian paman.


Kami saling tersenyum.



Paman Minami ingin berbicara dengan Ibu, jadi kami berjalan-jalan di taman dekat rumah untuk menghabiskan waktu.


Saat pulang nanti, kakak mungkin sudah menyiapkan tiram goreng spesial.


"Bagaimanapun juga, seminggu telah berlalu ya."


"Benar, berkatmu, aku berhasil melewatinya."


Minggu yang penuh gejolak telah berakhir. Besok adalah hari Minggu. Takayanagi-sensei juga berkata, "Akan butuh sehari untuk mengadakan kelas tambahan di lain waktu, tapi lebih baik kamu bersantai dulu pada Minggu ini. Begitu ketegangan mereda, rasa lelah akan datang sekaligus."


Aku akan memanfaatkan nasehat ini untuk bersantai. 


Meskipun agak disayangkan aku tak bisa bertemu dengan Ichijou-san.


"Hei, Senpai? Bolehkah aku sedikit meminta sesuatu yang egois?"


"Tentu saja."


Aku sebenarnya berniat memenuhi lebih dari satu permintaannya, jadi aku langsung menjawab.


"Senpai memang bisa diandalkan ya. Baiklah, aku akan mengatakannya."


Dia sedikit menunduk sambil tersenyum. Lalu, dia berhenti di depanku, berdiri memandangku dengan mata berbinar diterangi matahari terbenam.


"Besok, maukah kamu berkencan denganku? Kali ini, kencan yang resmi."



Tanpa sadar, aku menahan napas mendengar ajakan dari Ichijou-san. Undangan ini mungkin akan membuat murid laki-laki di sekolah kami sangat senang. Ini benar-benar seperti tiket premium. Apakah aku pantas menerimanya?


Sesaat, aku merasa gugup. Tapi, kebersamaan dengan Ichijou-san sudah menjadi hal yang biasa bagiku, jadi aku senang bisa bertemu dengannya di hari Minggu.


Kemarin, kami sudah berkencan sekali, jadi undangan kencan kedua ini membawa perasaan yang menyenangkan.


"Kenapa aku?"


"Aku ingin kamu yang melakukannya. Karena itu, aku mengajakmu."


Kencan di hari libur, yang lebih menantang dalam hubungan antar laki-laki dan perempuan daripada hanya sekedar berjalan-jalan sepulang sekolah.

Tentu saja, aku sudah sering melakukannya dengan Miyuki. Meski bukan pertama kali, aku merasa antusias di luar dugaan.


"Terima kasih. Dengan senang hati aku menerimanya." Aku membalas senyumannya, meski sedikit gugup.


Dia menghela napas lega dan sedikit mengeluh.


"Senpai, kamu terlalu jahat. Aku yakin kamu akan setuju, tapi kamu menunda terlalu lama sehingga aku jadi khawatir."


"Maaf, aku tidak menyangka bisa berkencan dengan Ichijou Ai di hari libur."


"Lihat, itulah masalahmu. Bakaaa."


Melihat juniorku yang malu-malu berusaha menyembunyikan rasa malunya ini sangat menyenangkan.


"Lalu, nanti mau ke mana kita?"


"Aku ingin belanja di depan stasiun. Selain itu, ada film yang ingin aku tonton. Mau nonton?"


"Film, ya? Bagus. Aku jadi tertarik."


Sebenarnya, aku selalu diberitahu untuk banyak belajar berbagai cerita saat menulis novel, jadi aku sering menonton film di waktu luang. Aku suka drama kehidupan, meskipun gaya pilihanku sering dibilang seperti orang tua. Aku rasa ini juga berkat pengaruh kakakku. Film favoritku adalah "The Shawshank Redemption" dan "3 Idiots." Ya, tidak terlalu khas anak SMA.


"Baguslah. Sebenarnya, ada pemutaran ulang film klasik di bioskop dekat stasiun! Film ini rilis sebelum aku lahir, dan aku ingin sekali menontonnya di layar lebar. Apakah itu tidak apa-apa?"


Ajakan ini lebih mengesankan daripada yang kuharapkan. Mungkin, Ichijou-san juga penggemar film. Ini adalah kejutan yang menyenangkan.


"Wah, cukup klasik ya. Film apa?"


"Ini!"


Di layar ponsel yang ia tunjukkan, terlihat judul drama kehidupan terkenal dari Amerika. Pilihannya benar-benar tidak seperti anak SMA, dan aku tertawa. Tapi, ini adalah favoritku juga, dan aku merasa senang.


"Luar biasa. Aku juga suka film itu."


"Oh, Senpai juga? Aku senang."


Kami pun terhanyut dalam pembicaraan tentang film.



Lalu, di dapur Aono, kami menyelesaikan makan malam. Sepertinya paman Minami sudah menyelesaikan pembicaraannya dan sudah makan lebih dulu.


Menu hari ini adalah nasi dengan hamburger.


Hamburger ini dimasak perlahan dalam saus demi-glace spesial dan disajikan dengan telur rebus di atasnya. Ini adalah salah satu menu favorit sejak restoran ini berdiri. Paman makan dengan gembiranya, seperti anak kecil yang menikmati hidangan kesukaannya.


"Pertama kali aku datang ke sini, aku juga makan ini. Rasanya masih tetap enak. Kamu masih mempertahankan cita rasa yang sama…"


Kakakku mendengar cerita nostalgia dari paman dan tampak senang.


"Nih, silakan."


Ibu membawakan set nasi tiram goreng. Hari ini masih agak sore, jadi restoran tidak ramai. Karena itu, kami bisa menjamu Ichijou-san di ruang makan, bukan di ruang istirahat.


"Wah, terlihat enak. Ada udang goreng juga. Boleh aku makan ini?"


"Tentu saja. Ini bonus untukmu! Makan yang banyak ya."


Ibu sangat menyayangi Ichijou-san. Saus tartarnya kali ini lebih banyak dari biasanya, ditambah dengan udang goreng gratis. Sungguh pelayanan yang istimewa.


Ibu dan paman Minami bersikap biasa saja. Mereka mencoba tidak membuatku khawatir dengan sengaja bertingkah seperti itu. Aku sangat berterima kasih.


Aku merasa sangat beruntung bisa melihat seorang idola sekolah yang menikmati tiram goreng di hadapanku dari kursi istimewa.


──Ruang istirahat dapur Aono, POV Ibu──


Aku meminjam waktu sebentar dari Ai-chan yang sudah selesai makan dan mengajaknya ke ruang istirahat. Aku harus mengatakan sesuatu yang penting.


"Terima kasih, Ai-chan."


Saat aku berkata demikian, dia menggelengkan kepala. 


"Tidak, justru aku yang berterima kasih atas makanan enak ini. Tiram goreng hari ini juga luar biasa."


Dia benar-benar anak yang baik. Dia bahkan terasa terlalu berharga untuk Eiji.


"Aku senang mendengarnya."


Sebenarnya, aku ingin membuatkan teh dan menikmati obrolan santai dengannya. Tapi, itu nanti setelah semua masalah selesai.


"Ai Ichijou-san."


Aku dengan sengaja memanggil namanya dengan tegas. Dia tampak sedikit terkejut, tapi segera kembali ke senyumnya yang biasa. Sepertinya dia sudah tahu apa yang ingin aku katakan.


"Terima kasih banyak. Terima kasih karena telah percaya pada anakku. Karena sudah mendukung Eiji. Sebagai seorang ibu, aku tak bisa cukup mengucapkan terima kasih. Aku sangat berterima kasih karena kamu telah menjadi pendukung Eiji. Terima kasih."


Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Berdasarkan cerita dari guru, bullying mulai terjadi sejak hari pertama semester kedua. Rumor mulai menyebar bahkan sebelum itu.


Ai-chan adalah salah satu dari sedikit orang yang mendukung Eiji saat hampir semua orang di sekitarnya menjadi musuh. Meskipun dia mungkin juga akan dirugikan, dia tetap membantu anakku. Tentu saja, ImaI-kun juga. Aku benar-benar ingin mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu seberapa besar Eiji merasa tertolong dengan kehadirannya.


"Ibu, tolong angkat kepala Anda. Aku tidak melakukan sesuatu yang luar biasa kok. Justru aku yang banyak terbantu. Aku memilih untuk bersama Eiji-Senpai dengan keinginanku sendiri."


Dia benar-benar anak yang baik. Aku tanpa sadar memeluknya. Dia tampak bahagia dan bersandar padaku.


"Jika ada apa-apa, aku pasti akan membantumu. Kamu tidak sendirian lagi."


Dia menjawab, "Iya," dengan penuh kegembiraan.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close