NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Cool na Doukyuusei no 10-nen-go V1 Chapter 4

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 4: Keluarga Unik Himuro-san


~Masa SMA~

Musim hujan telah berlalu, dan bersama naiknya suhu, suara langkah musim panas mulai terdengar jelas di suatu hari libur.


"Itu... Himuro-san kan?"


Saat aku sedang menuju toko buku di depan stasiun untuk membeli volume terbaru manga yang direkomendasikan Somemiya-kun, aku melihat sosok dengan rambut hitam yang familiar di kejauhan. Rambut hitamnya yang berkilauan terkena sinar matahari pagi adalah milik gadis yang duduk di sebelahku di sekolah.


"Apakah dia mengubah gaya rambutnya?"


Rambutnya terlihat sedikit lebih pendek, dan entah kenapa, dia tampak sedikit lebih pendek. Karena ada kemungkinan aku salah orang, aku memutuskan untuk menjaga jarak tanpa mendekatinya terlalu dekat. Namun, seolah dia bisa membaca pikiranku, gadis itu tiba-tiba berbalik. Tatapan kami bertemu. Wajahnya tak diragukan lagi adalah Himuro-san, teman sekelas yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.


"───Ah! Onii-san!"


Namun, hal pertama yang dia katakan adalah sesuatu yang sama sekali tidak mungkin diucapkan oleh Himuro-san, diikuti dengan lambaian tangan yang energik. Ini juga sesuatu yang Himuro-san tidak pernah lakukan. Dan... "Onii-san"? Apa maksudnya?


"Uhh... Kamu Himuro-san, kan?"


"Benar! Aku Himuro-san! Senang bertemu denganmu!"


Sambil berkata begitu, dia meraih tanganku. Jenis kontak fisik seperti ini juga sangat tidak biasa bagi Himuro-san. Tapi yang lebih membingungkan adalah,


"Senang bertemu? Bukankah kita bertemu setiap hari?"


Sebagai teman sebangku, kami selalu saling bertatap muka. Jadi, mendengar ucapan "senang bertemu" darinya rasanya sangat aneh. Apakah ini semacam pesan tersirat bahwa dengan gaya rambut baru, dia adalah versi baru dari dirinya?


"Setiap hari? Ah, mungkin kamu salah paham...?"


"Hmm?"


Kenapa dia malah memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung?


"Ahaha! Bukan apa-apa! Sampai ketemu lagi di lain waktu!"


Dia mengayunkan tanganku dengan penuh semangat, lalu berlari pergi seperti angin. Gadis yang mirip Himuro-san itu terus berlari hingga sosoknya tak lagi terlihat.


Aku hanya bisa berdiri dan menatap punggungnya yang menjauh, tanpa benar-benar memahami apa yang sebenarnya baru saja terjadi.


"Meski wajahnya mirip Himuro-san, dia benar-benar penuh semangat... apa ini mungkin doppelgänger? Tidak, kalau begitu rambut panjangnya juga seharusnya sama..."


Sambil memikirkan hal-hal sepele, aku terus memutar otak mencoba menebak identitas gadis yang mirip Himuro-san tapi terasa berbeda.


Keesokan harinya, setelah pengalaman aneh itu, aku tiba di kelas pada waktu biasanya. Himuro-san yang sudah tiba lebih dulu tampak lemas, bahkan sebelum homeroom dimulai, dan sedang merebahkan kepala di meja.


Rambutnya masih panjang, sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Jadi, siapa sebenarnya gadis yang kutemui kemarin?


Meskipun rasa penasaran memenuhi pikiranku, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya terlalu serius. Dengan nada biasa, aku mencoba mengajaknya bicara.


"Kelihatannya kamu sudah capek sejak pagi. Ada apa?"


"Mm... Kalau ditanya ada apa, sebenarnya tidak ada apa-apa. Cuma ibuku yang agak cerewet pagi ini."


Sejak kami pulang bersama di bawah payung yang sama, jarak antara aku dan Himuro-san terasa lebih dekat. Kini, berbicara dengannya menjadi lebih mudah, bahkan kami kadang pergi dan pulang sekolah bersama. Meski ucapannya terkadang masih pedas, suasananya jauh lebih hangat dibandingkan saat pertama kali bertemu.


"Ibumu cerewet? Maksudnya gimana?"


Aku membayangkan Himuro-san mungkin memiliki ibu tipe pendidik yang ketat. Tapi mengingat nilai-nilai Himuro-san yang selalu masuk jajaran teratas, rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan.


"Ya, ibuku itu terlalu khawatir, atau bisa dibilang terlalu protektiflah gitu. Pagi ini saja, waktu aku mau keluar rumah, dia terus bertanya, ‘Kamu yakin bisa sendiri?’ berkali-kali."


"Uh... itu memang... agak, atau bahkan sangat berlebihan untuk anak SMA."


Jika yang ditanya itu seorang anak SD yang baru pertama kali berangkat sekolah sendiri, mungkin masih masuk akal. Tapi untuk anak SMA? Itu terlalu berlebihan.


"Dan bukan cuma itu. Dia juga terus bertanya, ‘Ada yang kelupaan? Bekal sudah dibawa? Handuk kecil ada?’ Aku rasa ibu terlalu memperlakukan aku seperti anak kecil, bukankah kamu berpikir begitu juga?"


"Ya, aku sepenuhnya setuju denganmu."


Aku tak bisa menahan senyum tawaku. Meski maksudnya mungkin karena rasa sayang dari ibunya, bagi Himuro-san, sikap itu pasti sangat mengganggu.


"Kalau ini hanya sekali-sekali, masih tak masalah. Tapi dia melakukannya tiga kali seminggu! Benar-benar melelahkan."


Sambil menghela nafas panjang, Himuro-san mengangkat bahu. Rasanya menyenangkan mengetahui sedikit tentang kehidupan keluarganya, meski aku menyembunyikan rasa senang itu.


"Yang lebih parah lagi, beberapa waktu lalu dia menanyakan apakah aku punya pacar."


"Eh?"


Aku tak sengaja mengeluarkan suara aneh, tapi itu tak bisa dihindari. Aku belum pernah mendengar apa pun soal Himuro-san punya pacar. Kapan itu terjadi? Dan siapa orangnya?


"Dia melihat aku pulang bersama seseorang, lalu terus bertanya tanpa henti..."


"Tunggu, pulang bersama seseorang? Maksudnya siapa?"


"Pada akhirnya, dia bilang, ‘Menurut ibu, pernikahan masih terlalu dini...’ Bisakah kamu bayangkan itu?"

"Itu benar-benar melompat terlalu jauh! Tapi... siapa yang ibumu lihat waktu itu?"


Aku mencoba bertanya dengan nada biasa, meskipun dadaku berdebar kencang.


"Yah, jelaslah, orang itu adalah kamu."


"...Hah?"


Dia berkata dengan pelan, hampir tak terdengar, tapi aku yakin tidak salah dengar.


"Itu loh! Dia melihat kita pulang bersama waktu itu, di hari hujan, saat kita menggunakan satu payung yang sama..."


"Apa?"


Hari itu? Jadi kami benar-benar terlihat? Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.


"Jadi ibuku salah paham karena itu."


Himuro-san menghela nafas panjang dan memegang kepalanya. Sepertinya telingaku tidak salah dengar.


Tapi aku tak menyangka bisa terlihat oleh ibunya, mengingat kami biasanya berpisah di stasiun. Ketika aku menanyakan hal itu padanya, jawabannya membuatku semakin terkejut.


"Aku sudah bilang, kan? Ibuku terlalu khawatir. Dia ternyata diam-diam mengikutiku untuk memastikan aku pergi dan pulang dengan selamat."


"...Begitu ya..."


Aku hanya bisa mengangguk sambil menahan senyumku. Kalau bukan orang tua, perilaku seperti ini sudah tergolong penguntit.


"Dan yang lebih aneh, dia hanya melakukan ini padaku, bukan pada adikku. Bukankah itu tidak adil?"


"Kamu punya adik?"


Sikap itu memang aneh, tapi mengetahui Himuro-san punya adik jauh lebih mengejutkan bagiku.


"Ya, seorang adik perempuan yang masih SMP. Dia lebih ceria dan terlalu energik, tidak seperti aku... Tapi itu tidak penting. Yang penting, kenapa ibuku masih saja protektif berlebihan terhadapku?"


Himuro-san menghela nafas lagi, terlihat frustasi. Meski aku belum pernah bertemu adiknya, mungkin sikap protektif itu muncul karena Himuro-san terlihat lebih serius dan mandiri, sehingga terkesan ‘rapuh’ di mata ibunya.


"Dan yang lebih merepotkan, adikku juga melihat kita pulang bersama waktu itu."


"Apa?"


Aku kembali tercengang untuk kedua kalinya di hari itu. Selain ibunya, adiknya juga melihat kami? Apa yang mereka pikirkan tentang hubungan kami?


Tiba-tiba, sebuah kemungkinan melintas di pikiranku.


"Tunggu, jangan-jangan... gadis yang kutemui kemarin itu..."


"Ada apa?"


Himuro-san terlihat bingung, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Rambut pendek, wajah mirip Himuro-san, dan ucapan ‘senang bertemu’... Semua itu kini mulai masuk akal.


"Ah, tidak ada apa-apa. Ngomong-ngomong, adikmu menanyakan sesuatu tentang aku?"


"Yah... banyak hal. Tapi tenang saja, itu bukan urusanmu."


Meski dia berkata begitu, rasanya aneh jika itu dianggap tidak ada kaitannya denganku.


"Ah, aku benar-benar ingin ibuku berhenti bersikap seperti itu, dan adikku berhenti mengatakan hal-hal aneh... Benar-benar merepotkan."


Kata-kata Himuro-san memudar seiring bunyi bel yang memulai pelajaran.


Tapi entah kenapa, saat dia mengucapkannya, wajahnya tampak sedikit tersenyum. Mungkin hanya perasaanku saja.


******


Pernahkah kamu mendengar ungkapan "kalau membicarakan seseorang, orang itu akan muncul"? Itu adalah peribahasa yang berarti bahwa ketika kita sedang membicarakan seseorang, tiba-tiba orang tersebut muncul.


Karena sejak pagi aku mendengar tentang keberadaan adik perempuan Himuro-san, mungkin ini sebabnya. Pada sore hari itu, aku mengalami langsung makna peribahasa ini dalam arti yang sebenarnya, dengan cara yang tak terduga.


"Ah, kita bertemu lagi!"


Aku bersama Himuro-san pulang sekolah bersama, naik kereta, dan tiba di stasiun terdekat seperti biasa. Namun, setelah keluar dari gerbang tiket dan berpamitan dengan Himuro-san.


"Sampai jumpa besok."


Tiba-tiba seorang gadis berseragam muncul di hadapanku.


"Hei, sudah satu hari sejak terakhir kita bertemu."


"Ah, apakah kamu menyadarinya?"


"Yah, aku sudah tahu. Aku mendengar dari Himuro-san kalau dia punya adik perempuan."


Rambut hitam yang mengingatkan pada langit malam dipotong rapi sepanjang bahu. Wajahnya yang menyerupai boneka terlihat masih muda, dengan hidung yang teratur dan mata besar berkilauan, memberi kesan lebih imut daripada cantik.


"Maaf atas keterlambatan perkenalannya! Izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Himuro Tomika! Jadi, Onii-san, apakah kamu mau berkencan denganku?"


"…Apa?"


Apa yang dikatakan gadis ini? Banyak tanda tanya bermunculan di kepalaku. Meski seorang gadis manis yang hampir tidak kukenal tiba-tiba mengajakku berkencan, aku tidak bisa begitu saja merasa senang. Bahkan jika itu adik perempuan dari gadis yang kusukai sekalipun.


"Hei, Tomika! Dari mana kamu muncul!? Dan apa yang kamu bicarakan tiba-tiba!?"


Saat aku masih bingung bagaimana menjawab, Himuro-san, yang seharusnya sudah berpisah, kembali dengan terengah-engah.


Reaksi seperti itu tentu wajar, mengingat adiknya tiba-tiba mengajukan permintaan kencan pada seorang pria yang baru saja ia temui.


"Mengapa kamu ada di sini!? Bukankah kamu seharusnya di sekolah!?"


"Yah, tentu saja aku buru-buru ke sini setelah sekolah selesai! Aku ingin memastikan sendiri seperti apa kakak yang sering bersama dengannya belakangan ini!"


"Hah...? Jadi kamu datang sejauh ini hanya untuk itu...?"


Himuro-san menekan kepalanya dan menghela nafas dengan ekspresi tak percaya. Sebaliknya, adiknya dengan senyum cerah mendekatiku.


"Hmm... Ketika aku mendengar dari Ibu bahwa kakakku yang selalu sendirian sekarang sering bersama seorang pria, aku mengira itu hanya lelucon atau mimpi. Tapi ternyata dia nyata!"


"Ahaha..."


Nada ceria dan ajakan kencan sebelumnya berubah menjadi sikap serius. Dengan tangan di dagunya, dia menatapku seolah sedang menilai sesuatu. Aku, merasa lebih bingung daripada malu, hanya bisa tertawa kaku.


"Aku penasaran seperti apa orang yang bisa menaklukkan kakakku yang sangat defensif, dan ternyata... dia orang yang biasa saja."


"Jadi... aku hanya orang biasa, ya..."


Aku memang tidak pernah berpikir diriku adalah pria tampan, tapi mendengar itu langsung diucapkan masih terasa rumit. Meskipun, lebih baik dibandingkan disebut jelek.


"Tapi! Ada aura kebaikan yang terpancar darimu, seperti seseorang yang akan menerima segalanya, seseorang dengan rasa kasih yang luar biasa!"


"Umm, terima kasih, kurasa?"


Apakah itu pujian? Rasanya lebih seperti sedang disebut terlalu baik hati.


"Itulah sebabnya, Onii-san! Aku ulangi lagi! Kencan denganku, yuk?"

"Kenapa pembicaraannya jadi begini lagi... Tenang dulu. Dia memang terlihat ramah, tapi dia sebenarnya cukup aneh, tahu?"


"Hah? Aku tidak melihat itu sama sekali darinya. Apa itu benar, Onii-san?"


"Jangan bilang hal yang buruk doang, Himuro-san! Lagian aku tidak separah itu, kan!?"


Meskipun aku berpikir hal itu sudah dilupakan, tampaknya Himuro-san masih mengingat kejadian awal musim semi saat roknya terangkat dan aku tanpa sengaja melihatnya, atau buku pinjaman dari Somemiya-kun.


"Yah, katanya pria yang sedikit aneh justru lebih baik. Aku tidak masalah dengan itu, bahkan kalau kakak adalah pria aneh sekalipun!"


Dia melangkah lebih dekat lagi, menatapku dengan mata penuh harapan dan senyuman manis. Jantungku berdegup kencang tanpa sengaja membayangkan bagaimana jika itu adalah Himuro-san.


"Tidak, tidak! Jangan bicara hal bodoh. Kita pulang sekarang juga!"


"Eh, tapi kalian kan tidak pacaran, jadi tidak masalah kalau aku kencan dengannya, kan?"

"Tentu saja itu masalah besar! Semuanya ada tahapannya! Ayo pulang!"


"Aku tidak peduli apa kata kakak! Onii-san, kamu setuju, kan!? Bagaimana kalau akhir pekan ini?"


Ditahan oleh Himuro-san, dia tetap memandangku dengan semangat. Apa yang membuatnya begitu gigih, aku tidak tahu.


"Aku tidak ada rencana akhir pekan ini..."


Melihat antusiasmenya, aku sempat berpikir untuk mengabulkan permintaannya sekali saja.


Namun, saat itu, mata kami bertemu, dan Himuro-san terlihat seolah meminta, "Tolong, tolaklah."


"Aku senang dengan ajakanmu, Tomika, tapi aku harus menolak. Karena ajakan seperti ini sebaiknya untuk orang yang kamu sukai saja."


Dengan jawaban serius, aku merasa ada urutan yang harus diikuti dalam sebuah hubungan. Pertama-tama, kita harus mulai sebagai teman.


Mendengar itu, Tomika tertawa kecil dan melihat Himuro-san, yang tampak cemas.


"Begitu, ya. Dimengerti. Onii-san memang orang yang menarik ya."


"Jangan mempedulikan apa yang dia katakan!"


"Kalau begitu, sampai jumpa, Onii-san!"



Dan dengan itu, dia pergi sambil melambaikan tangan, sambil diseret Himuro-san.


"Mirip secara fisik, tapi benar-benar berbeda secara kepribadian..."


Menghela napas panjang, aku melanjutkan perjalanan pulang, sedikit merasakan firasat kalau ini bukan pertemuan terakhir kami.


******


"Neee, Tomika. Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan?"


Begitu langsung sampai rumah dan mengganti pakaian dengan pakaian santai, aku—Himuro Kuru—langsung menginterogasi adikku, Tomika, yang sedang bersantai di sofa tentang kelakuannya yang aneh tadi.


"Ada apa, Kak? Wajahmu kelihatan capek banget."

"Jangan pura-pura bodoh! Kamu pikir siapa yang bikin aku capek begini?"


Tomika, yang hanya menoleh sambil makan es krim, berusaha terlihat tidak bersalah. Aku menahan diri untuk tidak memarahinya, lalu kembali menanyakan maksudnya.


"Kenapa kamu sampai sengaja menunggu di stasiun seperti itu? Sakuragi-kun sampai kaget, tahu."


"Nama kakak itu Sakuragi, ya! Eh, nama depannya siapa? Kasih tahu dong, Kak!"


"Eh? Kalau tidak salah, namanya Sakuragi Susumu—tapi itu tidak penting sekarang!"


Aku reflek menjawabnya, yang langsung membuat Tomika menyeringai sambil bergumam dengan nada penuh arti, "Oh, jadi namanya Sakuragi Susumu."


"Malahan aku yang mau tanya, Kak. Kenapa kamu belum pacaran sama dia?"


"Hah? Dia itu cuma teman sekelas yang duduk di sebelahku. Nggak ada hubungan lebih dari itu..."


"Benarkah? Walaupun kalian berbagi payung dan setiap hari pergi serta pulang sekolah bareng? Kamu serius menganggap dia cuma teman sebangku biasa?"

"...Memangnya apa salahnya?"


Entah kenapa, kali ini Tomika terdengar sedikit menusuk dengan kata-katanya, seolah bisa membaca isi pikiranku. Tanpa sadar, aku pun membalasnya dengan nada lebih keras.


"Nggak kok, nggak salah sama sekali. Aku cuma mikir, apa Kakak akhirnya menemukan cinta pertamanya? Kalau benar, aku mau kasih selamat."


"Ti-tidak ada cinta pertama di sini! Sakuragi-kun cuma teman sekelas, nggak lebih dan nggak kurang!"


Dia cuma teman sebangku. Belakangan ini memang sering ngobrol dan mengganggu waktu membacaku, tapi itu saja.


Kebetulan rumah kami berada di dekat stasiun yang sama, jadi sesekali pergi dan pulang sekolah bersama. Tapi itu bukan hubungan spesial.


"Oh begitu. Kalau begitu, boleh dong aku yang mendekatinya?"


"HAAAAAAHHH!?"


Aku langsung berteriak dengan suara terkejut. Kalau saja sedang minum, aku pasti sudah menyemburkannya karena saking terkejutnya.


"Apa-apaan itu!? Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu!?"


"Soalnya dia kelihatan baik banget! Bayangin, bisa bikin Kakak yang kaku dan nggak punya teman dekat akhirnya terbuka! Aku jadi kagum."


"...Penilaianmu terhadap kakakmu sendiri itu keterlaluan."


"Lagipula, pacar itu kan lebih cocok yang lebih tua dan dewasa. Bisa manja-manja, gitu! Eh, aku juga lumayan suka wajahnya yang sederhana itu juga lho."


"...Menurutku, Sakuragi-kun nggak punya sifat seperti itu."


Sebagai bentuk perlawanan terakhir, aku mencoba menjelaskan realita pada adikku yang sedang membangun fantasi. Dia bukan tipe yang membuat pacarnya manja, tapi malah tipe yang ingin dimanjakan. Aku yakin, walau sebenarnya tidak terlalu tahu.


"Percayalah, dia bukan pilihan yang bagus. Dia keras kepala, nggak tahu menyerah, dan sangat menyebalkan..."


"Tapi dia baik, kan?"


"...Iya, sih. Eh, kenapa aku malah bilang begitu!? Aku nggak pernah berpikir seperti itu, oke!"


"Iya, iya, sementara aku anggap begitu dulu. Kalau gitu, Kakak jagain dia baik-baik, ya!"


Adikku benar-benar seperti badai. Bahkan, berbicara dengannya saja melelahkan.


"Kuru, boleh bicara sebentar?"

Selesai satu masalah, datang masalah lain. Kali ini, ibuku mendekat dengan raut wajah agak canggung. Meski agak memalukan untuk diakui, ibuku adalah tipe yang disebut sebagai "wanita cantik awet muda".


Penampilannya masih seperti mahasiswa, dengan tahi lalat kecil di bawah mata kiri yang menambah pesonanya. Badannya tetap bugar tanpa usaha keras, katanya.


Banyak ibu-ibu tetangga yang penasaran dengan rahasianya, tapi jawabannya selalu, "Nggak ada yang spesial." Pasti itu karena hubungan orang tua yang harmonis.


"...Ada apa, Bu?"


"Soal Tomika tadi,apa benar kamu pergi dan pulang sekolah bareng teman cowok?"


"........."


Bagaimana pun jawabannya, pasti akan jadi merepotkan. Jadi, aku hanya menatapnya dengan ekspresi kesal, seolah berkata, 


"Apa sih yang Ibu bicarakan?"


"Kuru, apa kamu sudah punya pacar? Menikah sekarang terlalu cepat, lho."


Tolong, hentikan imajinasi itu. Fakta bahwa kami pergi ke sekolah bersama tidak berarti hubungan kami sejauh itu!


"Ibu... terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dia bahkan bukan pacar, apalagi suami."


"Nggak juga kok! Kalau nggak hati-hati, hubungan bisa cepat berkembang, apalagi kalau masih SMA!"


"Mana mungkin."


"Ibu ketemu ayahmu waktu SMA, lho."


Dan dimulailah cerita klasik tentang cinta mereka. Cerita manis yang terlalu sering kudengar ini bisa bikin diabetes kalau aku terus mendengarnya.


"Bu, aku mau ke kamar buat ngerjain PR. Kalau makan malam sudah siap, tolong panggil aku."


"Eh, Kuru!? Ceritanya belum selesai! Dengerin cerita Ibu dulu!"


Dengan ibu yang setengah menangis, aku memutuskan untuk segera kabur ke kamar.


******


~10 Tahun Kemudian~

Suatu malam di awal Juli.


Musim panas baru saja dimulai, tetapi hari-hari dengan suhu tinggi sudah sering terjadi. Kadang-kadang, aku berpikir bahwa musim di Jepang bukan lagi musim semi, panas, gugur, dan dingin, tetapi berubah menjadi musim panas dua kali dan dingin dua kali. Jika ada dewa yang mengatur era Reiwa, aku ingin dia bekerja dengan benar.


Saat memikirkan hal-hal konyol seperti itu dan selesai dengan pekerjaan hari ini, aku keluar dari ruang kerjaku dan mendengar suara dua wanita bertengkar di dapur.


"Tolong dong, Kakak! Biarkan aku tinggal satu malam lagi saja! Aku mohon sekali seumur hidup!"


Seorang wanita menunduk dengan sepenuh tenaga sambil menyatukan kedua tangannya di depan Kuru, yang biasa kupanggil Kuru-chan. Gaya rambut mereka berbeda, tetapi wajah wanita itu sangat mirip dengan Kuru-chan.


"Ah, Papa. Sudah selesai kerja, ya?"


Haru, anak perempuanku yang manis, menyadari keberadaanku dan berjalan mendekat, memeluk erat kakiku. Aku mengangkatnya ke dalam gendonganku, rasa lelah setelah bekerja seharian langsung hilang begitu saja.


Aku kemudian mengalihkan pandanganku ke arah perdebatan di dapur.


"Kau masih berniat tinggal? Ini sudah seminggu lebih, tahu!"


"Jangan begitu, Kak! Aku sedang krisis bulan ini!"


Wanita ini bernama Himuro Tomika, adik Kuru-chan. Sudah beberapa tahun sejak dia lulus kuliah, tetapi dia tidak memiliki pekerjaan tetap dan seperti pengembara yang tidak jelas pekerjaannya.


"Jangan pura-pura lupa kalau bulan lalu kamu juga tinggal di sini! Lagipula, karena mu, aku tidak bisa bermesraan dengan suamiku!"


Kuru-chan berbicara dengan penuh emosi, nyaris menghentakkan kakinya, namun tetap tidak melupakan mengaduk panci kari yang sedang dimasaknya. Dia memang luar biasa.


"Eh? Tidak apa-apa, kan? Ayo kita bertiga saja bermesraan bersama! Dengan begitu masalah selesai!"


"Tidak mungkin selesai begitu saja, tahu!"


Kuru-chan berteriak dengan lantang, seolah mengecam kebodohan itu. Aku pun setuju sepenuhnya. Lagipula, tolong jangan bicarakan hal seperti itu di depan Haru. Tidak baik untuk pendidikannya.


"Ah, sayang! Terima kasih sudah bekerja keras hari ini!"


"Onii-san, selesai bekerja ya! Pas sekali, bantu aku membujuk Kakak, ya?"


Kedua saudari itu akhirnya menyadari keberadaanku dan serempak memandang ke arahku.


Sambil mengangkat tanganku sedikit untuk menyapa mereka, aku memilih tidak menanggapi obrolan mereka. Sambil mengelus kepala Haru yang sedang kupeluk.


"Haru, ibu dan Tomika-san sedang membicarakan hal penting. Yuk, kita main di kamar sampai makan malam siap."


Lebih baik aku tidak ikut campur dalam pertengkaran saudara. Apalagi, pertengkaran mereka ini tidak layak didengar oleh putriku yang masih kecil. Sebenarnya, mungkin aku harus menegur Tomika-chan dengan tegas, tetapi aku merasa itu hanya akan memperburuk situasi, jadi aku memilih untuk tidak melakukannya.


"Hei, sayang, mau ke mana? Makan malam sebentar lagi siap lho!"


"Betul, Onii-san! Makanlah selagi hangat, dan tolong cegah aku menjadi tunawisma!"


Untuk menghentikanku pergi, kedua saudari itu mendekat dengan kompak. Entah kenapa, saat seperti ini mereka bisa begitu bersatu.


"Maaf, Tomika-chan, tapi kau harus berusaha sendiri. Kalau Kuru-chan bilang tidak, aku tidak bisa membantumu."


"Jahat! Jadi Onii-san tega kalau aku menjadi tunawisma?"


Yah, kamu masih punya rumah untuk pulang, jadi sepertinya tidak akan jadi tunawisma.


"Sebaiknya kau menyerah dan pulang saja. Aku akan menghubungi Ibu untuk menjelaskan semuanya."

"Tidak mau! Aku mau tinggal di sini! Bermain dengan Haru setiap hari, makan masakan enak Kakak, dan kadang-kadang pergi kencan dengan Onii-san!"


"Tidak mungkin! Hak untuk berkencan dengan suamiku bukan milikmu!"


Kedua saudari cantik itu kembali bertengkar dengan suara keras. Padahal jika diam saja, mereka pasti menarik perhatian orang. Namun dalam situasi ini, sungguh disayangkan.


"Papa, ayo main game. Kalau Haru menang, saat makan malam nanti ada paprika, Papa yang makan, ya!"


"Boleh main game, tapi paprika harus tetap dimakan. Kalau tidak, Ibu akan marah."


"...Tapi Papa makan paprika Ibu."


Anakku ini memang sangat memperhatikan ya. Sepertinya aku harus berhenti memanjakan Kuru-chan tentang makanan.


"Baiklah, kalau Haru menang, Papa yang akan makan paprika nanti."


Pertengkaran di dapur tampaknya tidak akan segera selesai. Aku membawa Haru kembali ke ruang keluarga, bermain game, dan menghabiskan waktu bersamanya sampai pertarungan di dapur berakhir. Sambil bermain, aku mengingat kembali hari pertama aku bertemu Tomika-chan.


******


"Haru, kamu yakin benar-benar bisa sendirian? Haruskah aku tetap bersamamu sepanjang waktu...?"


Akhirnya, pagi setelah Tomika tinggal semalam lagi, Haru sudah siap untuk pergi ke taman kanak-kanak, tapi Kuru-chan tetap menahannya seperti biasanya.


"Hei, Onii-san. Apa Kakak masih melakukan itu lagi?"


"Pemandangan yang biasa, ya. Mungkin Tomika sudah mulai terbiasa juga, kan?"


"Terbiasa sih tidak, tapi rasanya seperti melihat kembali Ibu kami saat dulu. Rasanya nostalgia. Ibu juga dulu sangat khawatir pada Kakak."


Tomika tersenyum pahit saat mengingatnya. Bisa dibilang, sifat cemas dan overprotektif tampaknya memang diturunkan.


"Ngomong-ngomong, aku ingat pernah mendengar cerita itu saat SMA. Ibumu bahkan diam-diam mengikuti Kakak, kan?"


"Benar. Kakak adalah anak perempuan pertama dalam keluarga, jadi Ibu pasti lebih khawatir dari biasanya."


Keluarga Himuro, keluarga besar dengan sepuluh anak, hanya memiliki dua anak perempuan: Kurumi dan Tomika. 


Kakak-kakak mereka semuanya sudah mandiri, sehingga aku hanya bertemu dengan mereka saat pernikahan kami. Bahkan, aku tidak bisa mengingat semua nama mereka dengan jelas.


"Ngomong-ngomong, Kakak itu sedikit ceroboh, kan? Sekarang memang dia sudah terlihat lebih dewasa, tapi dulu saat masih menjadi pelajar terkadang kakak melakukan hal-hal yang ceroboh."


"Ah... Aku rasa aku bisa setuju."


"Yang lebih parah, Kakak selalu merasa dirinya sangat rapi dan bertanggung jawab, tapi sebenarnya ada banyak sisi cerobohnya yang dia tidak sadari. Itu membuat kami repot, tahu!"


Tomika tertawa kecil sambil mengusap air matanya. Aku heran dia bisa berbicara seperti itu tanpa takut diusir dari rumah oleh Kuru-chan.


"Dia takut sekali sama serangga, pernah juga membuat kaleng meledak di microwave. Meski begitu, sisi cerobohnya yang kadang muncul justru sangat menggemaskan."

"Wah, Onii-san. Kamu benar-benar orang yang luar biasa. Menganggap hal seperti itu menggemaskan, kamu benar-benar punya hati seluas samudra ya!"


"Benarkah? Bukankah perbedaan sikap seperti itu menarik?"


Apalagi jika hanya aku yang tahu sisi itu. Ini sudah aku rasakan sejak SMA.


"Ah... Aku iri pada Kakak. Bisa menjalin hubungan dengan orang sebaik Onii-san sejak masa SMA, lalu menikah dengannya. Dunia ini memang tidak adil!"


"Hahaha... Terima kasih atas pujiannya, tapi aku tidak bisa memberikan apa-apa, ya? Aku yakin kamu juga akan segera bertemu seseorang yang spesial."


"Semoga begitu..."


Tomika tertawa kecil, tetapi tampaknya dia perlu memperbaiki gaya hidupnya sebelum mulai mencari pasangan.


"Kamu yakin? Tidak akan menangis karena kangen?"


"...Aku baik-baik saja kok, bu."


Meski percakapan kami selesai, Kuru-chan masih terus khawatir. Tapi sejujurnya, yang terlihat hampir menangis karena kangen adalah Kuru-chan sendiri. Meski begitu, kami tidak boleh terlambat untuk bus jemputannya.


"Ngomong-ngomong, Onii-san, apakah kamu sedang sibuk hari ini?"


"Eh? Kenapa tiba-tiba tanya begitu? Hari ini aku tidak ada pekerjaan mendesak, jadi bisa dibilang sedang santai. Memangnya kenapa?"


Beberapa hari terakhir aku sibuk dengan beberapa tugas yang harus mengejar deadline, tapi sekarang pekerjaanku sudah selesai semua, jadi aku berencana menghabiskan waktu bersama Kuru-chan saja.


"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi kencan seperti dulu?"


Dia tiba-tiba memeluk lenganku dengan erat.


"Tidak mungkin. Walaupun aku kerja di rumah, aku tidak bisa pergi begitu saja. Lagi pula, apa pun alasannya, aku tidak bisa mengkhianati Kuru-chan."


"Tenang saja! Kalau hanya sebentar, Kakak tidak akan tahu!"


"Aku pasti tahu! Jangan terus mencoba merebutnya dariku! Aku tidak akan menyerahkan dia padamu!"


Kuru-chan mendekat dan merebut tanganku dari Tomika. 


Sementara itu, Haru yang sudah bosan menunggu membuka pintu keluar.


"Papa aku pergi dulu, ya!"


Tidak perlu dikatakan lagi, kami bertiga langsung panik dan mengejarnya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close