NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Cool na Doukyuusei no 10-nen-go V1 Chapter 3

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 3: Apa yang Dipikirkan Himuro-san di Dalam Kepalanya?


~Masa SMA~

Musim hujan telah tiba. Beruntungnya, hari ini hujan tidak turun sejak pagi.


Namun, aku harus benar-benar memaksakan diri untuk mengingat kapan terakhir kali melihat matahari. Langit setiap hari tertutup oleh awan tebal. Menurut prakiraan cuaca, hujan akan turun saat waktu pulang sekolah nanti. Menyebalkan. Kalau mau hujan, hujan saja. Kalau tidak, ya sudah tidak usah. Bisa tidak, langit tidak plin-plan begini?


Dampak pemanasan global beberapa tahun terakhir membuat suhu musim panas terasa lebih awal, meskipun ini baru pertengahan Juni. Ditambah hujan, otomatis kelembapan udara menjadi sangat tinggi.


Hasilnya? Tingkat ketidaknyamanan melonjak drastis. Bahkan saat tidak melakukan apa pun, keringat terus mengucur. Pakaian yang menempel di kulit pun terasa menjijikkan.


"Haah... benar-benar menyebalkan."


Hari-hari lembab seperti ini tampaknya juga membuat Himuro-san yang biasanya tegar menjadi lemah.

"...Benar-benar lembab dan menjijikkan. Inilah kenapa aku benci musim hujan," katanya sambil menyandarkan kepalanya di meja dengan lemas.


Aku pun sama. Tidak tahan dengan keringat yang terus mengalir, aku melepas blazer seragamku dan berusaha mengipasi tubuhku dengan alas buku untuk mengusir panas.


"Kenapa ada AC tapi kita tidak boleh menggunakannya? Ini benar-benar membuang percuma alat yang berguna."


"Mungkin karena biaya listrik? Kalau semua kelas menggunakannya, biayanya pasti sangat besar."


"Kalau begitu sampai ada yang kena heatstroke, semuanya sia-sia. Di musim seperti ini, kelembaban tinggi membuat keringat sulit menguap, sehingga panas tubuh terperangkap dan justru meningkatkan risiko heatstroke. Hanya mengipasi dengan alas buku tidak akan cukup."


"Oh… begitu ya."


Penjelasan Himuro-san membuatku kagum. Aku pikir heatstroke hanya terjadi di musim panas, tapi ternyata bisa juga di musim hujan. Kalau begitu, bukankah seharusnya AC dinyalakan? Apa aku harus bicara langsung dengan guru?


"Walaupun begitu, ada orang yang tidak suka dengan angin dari AC. Orang yang duduk tepat di bawahnya bisa kedinginan dan tidak bisa konsentrasi di kelas… masalah ini memang benar-benar rumit."


"Benar juga. Kalau sampai sakit karena AC, sama saja bohong."


"Itu sebabnya hari ini aku tidak akan menemanimu ngobrol. Maaf."


Jadi begitu. Awalnya terkesan seperti obrolan biasa, tapi sebenarnya ini adalah cara Himuro-san untuk menolak topik yang kubawa sejak awal. Kalau begitu, cukup cerdik juga, Himuro-san.


Namun, aku bukan tipe orang yang mudah menyerah begitu saja. Lagipula, meski sering menggerutu, belakangan ini Himuro-san tetap mau meluangkan waktunya untukku.


Dulu, hubungan kami dingin bagaikan suhu nol mutlak setelah pertemuan pertama yang buruk. Namun, hubungan kami perlahan membaik, meski masih ada sikap dingin darinya.


Kemajuan ini mungkin berkat gantungan kunci yang dipamerkan adikku dan buku "yang tidak boleh disebut namanya" dari Somemiya-kun. Meski sempat mengalami naik turun, kedua hal ini menjadi awal mula aku bisa berbicara dengannya.


Hari ini pun, aku sudah menyiapkan topik pembicaraan.


"Ngomong-ngomong, Himuro-san, kamu tahu aplikasi tes otak yang sedang tren?"


"Hei, apa kamu dengar tadi? Aku bilang tidak akan menemanimu ngobrol hari ini."


"Kemarin, aku tidak sengaja menemukannya saat browsing."


"Selalu saja buang waktu untuk hal tidak berguna…"


"Gunakan waktumu untuk belajar," katanya seperti seorang ibu, sambil mendesah panjang dengan ekspresi bosan.


Namun, meskipun bilang tidak akan menanggapi, dia tetap mendengarkanku. Baik juga, dia sebenarnya.


"Aplikasi ini masih populer di lingkup kecil. Dengan menjawab pertanyaan, aplikasi ini bisa mendiagnosis apa yang kamu pikirkan di dalam otakmu. Awalnya aku tidak percaya, tapi ternyata hasilnya benar-benar tepat!"


"Omong kosong tidak masuk akal seperti itu mana mungkin beneran ada."


"Memang kedengarannya bodoh, aku tahu itu. Tapi coba sekali saja! Jawabannya hanya ‘ya’ atau ‘tidak’, kok."


Aku memohon sambil menyatukan tanganku. Himuro-san mendesah panjang sekali lagi, lalu duduk tegak.


"Haah… baiklah. Kalau kamu memaksa sampai seperti itu, aku akan mencobanya."


Aku segera memainkan smartphoneku dan membuka aplikasinya.


"Nanti aku akan mengajukan pertanyaan, dan Himuro-san tinggal menjawab ‘ya’ atau ‘tidak,’ oke?"


"...Jangan sombong. Ayo cepat sebelum aku berubah pikiran. Aku tahu ini cuma buang-buang waktu."


Pertanyaan ada sepuluh. Himuro-san menjawabnya dengan cepat, jadi prosesnya selesai hanya dalam beberapa menit. Sekarang, hasil diagnosis tentang apa yang dipikirkan Himuro-san muncul di layar.


"Jadi, Sakuragi-kun. Apa kamu tahu apa yang kupikirkan?"


"Uh… iya, kira-kira begitu."


Himuro-san, yang yakin ini tidak akan akurat, menyindir dengan nada mengejek. Namun, aku justru bingung harus berkata apa melihat hasilnya.


Hasilnya memuat tujuh hal. Seperti yang diduga, huruf "dingin" adalah yang paling dominan, sangat mencerminkan Himuro-san. Huruf berikutnya adalah "es," yang juga cukup masuk akal mengingat julukannya "Putri Es."


Selanjutnya ada huruf "ketat" dan "mandiri." "Mandiri" mungkin menunjukkan bahwa dia suka sendiri. Sedangkan "ketat" menggambarkan betapa tegasnya dia pada diri sendiri maupun orang lain. Namun, yang mengejutkan adalah kata "manis." Apa dia sebenarnya suka makanan manis?


"Benar-benar tidak masuk akal. Mana mungkin ini akurat."


"Ahaha… iya, benar juga."


"Dan ini terakhir kalinya aku meluangkan waktu untuk hal semacam ini. Lain kali, jangan pernah coba membawaku untuk tes-tes seperti ini lagi."


Setelah berkata begitu, Himuro-san mengeluarkan buku dari tasnya dan mulai membaca, seakan ingin mengakhiri pembicaraan.


Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil kembali menatap layar ponselku. Di sana, tersisa dua huruf terakhir dari hasil diagnosis: "cinta" dan "keinginan" yang mengelilinginya.


Keinginan? Keinginan apa? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Himuro-san?

Namun, aku tidak punya keberanian untuk menanyakannya. Makna dari huruf-huruf ini pun tetap menjadi misteri bagiku pada saat itu.


******


Sambil merenungkan hasil yang tak terduga dari aplikasi diagnosis dari pikiran Himuro-san, aku berhasil melewati pelajaran hari itu dengan susah payah hingga tiba waktu pulang sekolah.


Saat aku bersiap-siap untuk pulang dengan langkah yang cepat, Himuro-san yang duduk di sebelahku tampak menatap ke luar jendela dengan bahu yang lemah.


"Parah... kenapa hujan turun sih..."


Pagi tadi saat berangkat, hujan tidak turun. Meski siang hari matahari sempat bersinar, langit tetap diselimuti awan tebal.


"Yah, ini musim hujan, jadi wajar saja."


"Tapi tadi pagi tidak hujan, kan? Kenapa harus turun pas waktunya pulang?!"


"Ramalan cuaca bilang hujan akan mulai turun sore ini, kok."


Aku hanya bisa tersenyum kecut, karena jika aku mengatakan "jangan terlalu percaya diri," mungkin aku akan mendapat tatapan tajam darinya.


"Haah... inilah kenapa aku benci musim hujan..."


Sambil menghela napas berat, Himuro-san mengeluh. 


Jangan-jangan dia tidak membawa payung? Itu benar-benar tidak mungkin, kan? Dengan ragu aku bertanya padanya.


"Kamu nggak bawa payung, Himuro-san?"


"…Iya, aku nggak bawa. Pagi tadi aku keluar rumah tanpa melihat ramalan cuaca karena tidak hujan, dan aku pikir, ‘Wah, bakal lebih ringan nih tanpa payung, hari ini pasti menyenangkan.’ Jadi aku tinggalkan payungku di rumah. Emangnya ada masalah dengan itu?"


Nada suaranya penuh tekanan. Rasanya seperti seorang petinju yang hampir K.O. setelah terkena serangan balik berkali-kali karena meremehkan lawan.


"Menurutmu hujan ini kapan berhenti? Mungkin satu jam lagi, kan?"


"Ramalan cuaca bilang hujan akan terus turun sampai malam. Radar hujan juga... wah, awannya masih bertahan dan tidak kelihatan akan bergerak."


Harapan Himuro-san langsung runtuh begitu aku menunjukkan hasil ramalan cuaca di ponselku.


Tanpa sengaja, aku seperti menjatuhkan vonis mati padanya.


Dia pun kembali menghela napas lebih dalam dari sebelumnya, bahunya makin merosot seperti petinju yang habis terbakar habis-habisan.


"Benar-benar tidak berhenti sampai malam kah? Kira-kira sampai jam berapa hujannya?"


"Dari ramalan per jam, hujan akan terus turun sampai jam delapan malam. Peluang hujannya 80%."


"Jadi, benar-benar tanpa harapan ya. Haah... sial sekali aku hari ini."


Sambil bergumam sinis, Himuro-san tampak mengejek dirinya sendiri. Rasanya berlebihan kalau hanya karena lupa membawa payung. 


Namun, dia juga tidak bisa terus menunggu di sekolah sampai hujan berhenti. Ada batas waktu pulang, dan gadis yang berjalan sendiri di malam hari itu sangat berbahaya.


"Inilah kenapa aku benci musim hujan!"


Dia mengulang kalimat yang sama, tapi kali ini nadanya penuh kebencian. Ditambah lagi, dia menghentakkan kakinya kesal. Jujur saja, itu terlihat menggemaskan, tapi aku tahu lebih baik menyimpan pendapat itu untuk diriku sendiri.


Bagaimanapun, ada satu cara untuk mengatasi situasi ini. Tapi itu langkah berisiko tinggi. Jika berhasil, aku bisa merasa seperti di surga; jika gagal... yah, sebenarnya tidak akan terlalu buruk.


Bukankah ada pepatah, "Jika maju, kamu dapat dua; jika mundur, kamu hanya dapat satu"? Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata,


"Himuro-san, aku punya satu ide. Boleh aku sampaikan?"


"Apa itu?"


"Kalau kamu mau, bagaimana kalau kita pulang bersama sampai stasiun?"


Aku mengeluarkan payung lipat dari tas dan menunjukkannya padanya. Aku sudah memperkirakan hujan akan turun, tapi jujur saja aku agak menyesal tidak membawa payung biasa.


"Apa maksudmu?"


Respon ini sudah kuduga. Dia bisa saja langsung menolak, tapi ini sudah lebih baik daripada ditolak di awal. Pertarungan sebenarnya dimulai dari sini. Aku menenangkan diriku dan melanjutkan.

"Yah, maksudku, kita tidak bisa menunggu hujan berhenti terus, kan? Jadi aku pikir, kalau kamu mau, kita bisa pulang bersama sampai stasiun..."


"Jadi, maksudmu kita harus berbagi payung? Maaf, aku tidak tertarik. Coba sembunyikan niat burukmu lebih baik lagi."


"Hahaha... Kalau aku bilang aku nggak punya niat apa-apa, itu bohong. Tapi aku hanya ingin membantu karena kamu terlihat kesulitan."


Himuro-san terdiam. Sepertinya dia akan menolak.


Kenapa aku harus jujur mengatakan kalau aku punya sedikit niat tersembunyi? Seharusnya aku menyembunyikannya. Tapi aku juga tidak ingin berbohong, dan faktanya aku memang ingin pulang bersamanya.


"…Baiklah."


"...Hah?"


"Aku bilang aku setuju. Meski ini membuatku kesal, aku akan menerima usulanmu kali ini. Aku tidak punya pilihan lain. Tapi kalau kamu macam-macam, aku tidak akan memaafkanmu!"


Apakah aku sedang bermimpi? Tidak hanya aku bisa pulang bersamanya, tapi juga berbagi payung. Jangan-jangan hujan ini berubah jadi salju. Itu akan menjadi momen yang spesial juga.


"Hei, kenapa bengong? Jangan bilang kamu bercanda atau berubah pikiran. Kamu mau mempermainkanku?"


"Tidak, tidak! Aku cuma kaget karena tidak menyangka kamu bakalan setuju!"


Aku benar-benar mengira dia akan menolak atau menatapku dengan pandangan menghina. Tapi dia malah langsung setuju.


"Ayo cepat. Aku ingin segera pulang. Kalau kamu melamun lagi, aku akan menggunakan payung itu sendirian."


"Maaf! Ayo kita pulang sekarang!"


Aku segera mengejar Himuro-san yang sudah berjalan keluar kelas agar tidak ketinggalan.


~10 Tahun Kemudian~

Meskipun pekerjaan kebanyakan bekerja di rumah, itu tidak berarti aku tidak pernah pergi ke kantor sama sekali. Saat memulai proyek baru atau saat mengecek hasil pekerjaan, aku perlu hadir secara langsung. Terlebih lagi, kebijakan presiden perusahaan mengharuskan setidaknya satu kali pertemuan tatap muka dengan karyawan setiap bulan.


Bekerja sendiri di rumah tidak terlalu buruk.


Walaupun alasan sebenarnya karena aku bisa bersantai dengan Kuru-chan dan Haru saat bekerja. Namun, kadang-kadang keluar rumah dan bertemu rekan kerja sambil bekerja juga memberi semangat baru.


"Haah... Tidak kusangka hal ini akan terjadi…"


Waktu sekarang menunjukkan pukul 18:00 lewat sedikit. Setelah menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan berencana pulang, aku keluar kantor, hanya untuk menemukan bahwa hujan turun deras.


"Padahal ramalan cuaca bilang hari ini akan cerah sepanjang hari... Bahkan kemungkinan hujan nol persen. Kenapa bisa begini?"


Jika ini hanya hujan deras yang mendadak, mungkin akan berhenti jika ditunggu sebentar. Namun, berdasarkan radar cuaca, hujan ini tampaknya akan berlangsung beberapa jam. Pilihanku adalah lari menerobos hujan atau menunggu di kantor hingga reda. Pilihan terbaik adalah yang kedua, tapi…


"Aku sudah bilang ke Kuru-chan kalau aku akan pulang sekarang…"


Jika aku terlambat pulang, dia pasti akan ngambek. Dia sudah agak kesal karena aku meninggalkan rumah untuk ke kantor. Balasan pesan saat aku bilang akan pulang tadi bahkan terdengar penuh semangat.


"Meminta dijemput sepertinya kurang baik... Tapi tidak ada pilihan lain. Aku harus berlari ke minimarket dan membeli payung plastik."


Tidak ada pilihan lain. Anggap saja ini adalah biaya tambahan untuk bisa pulang lebih cepat bertemu dengan Kuru-chan dan Haru.


"Sayang—!"


"Baiklah, ayo lari—eh? Rasanya aku mendengar suara yang familiar…"


Saat aku memutuskan untuk mulai berlari, samar-samar aku mendengar suara istriku. Aku sangat ingin segera bertemu dengannya sampai-sampai aku membayangkan hal yang tidak ada. Aku menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiran itu dan hendak melangkah lagi, tapi…


"Papa—!"


"...Jadi itu bukan imajinasiku?!"


Kali ini, suara Haru terdengar, lebih keras dan jelas daripada suara Kuru-chan sebelumnya. Jadi, itu bukan halusinasi. Tapi kenapa mereka ada di sini? Jawabannya langsung terjawab.


"Maaf membuatmu menunggu, Sayang!"


"Papa, selamat telah bekerja!"


"Kuru-chan! Dan juga Haru...!"


Aku melihat Kuru-chan memegang payung hitam sambil menggandeng Haru, yang mengenakan jas hujan dan sepatu bot. Mereka melambaikan tangan sambil berjalan ke arahku.


Mengapa mereka datang ke kantor? Meski aku senang dijemput, jika kami melewatkan satu sama lain, itu pasti merepotkan.


"Fufufu. Kau pasti bingung kenapa kami ada di sini, ya, Sayang?"


"Yah, begitulah."


"Itu sudah jelas! Sebelum kamu mengirim pesan bahwa kau akan pulang, hujan sudah turun, tapi payungmu ada di rumah. Jadi, saat aku melihat radar cuaca dan ramalan satu jam ke depan, aku tahu hujan tidak akan berhenti. Maka, aku datang langsung menjemputmu!"


Dengan ekspresi bangga, Kuru-chan menjelaskan sambil memamerkan payung hitamku. Tapi, ini menimbulkan satu masalah.


"Eh... Kuru-chan, payungmu sendiri di mana?"


"...Eh?"


"Bukan berarti aku menyalahkanmu. Aku senang dan sangat terbantu kamu menjemputku. Tapi, kenapa payungmu tidak terlihat?"


Secara sederhana, ini soal matematika. Kami hanya punya satu payung, sedangkan yang membutuhkan ada tiga orang. Bukankah ini malah jadi masalah baru?


"...Hehe."


"Jangan pikir dengan bertingkah lucu itu bisa menyelesaikan masalah!"


Aku refleks memarahi istriku yang menjulurkan lidahnya sambil bercanda.


"Tidak apa-apa, Sayang. Kita bisa menggunakan satu payung bersama-sama!"


"Ya, itu memang benar, tapi…"


"Atau, kamu tidak suka berjalan berdua denganku di bawah satu payung?"


"Tidak mungkin! Tentu saja aku mau!"


Hanya karena pertanyaan itu, aku segera menunduk dan meminta maaf. Kulihat Haru memandangku dengan sedikit tatapan bingung, tapi aku berharap itu hanya imajinasiku.


"Yeay! Kalau begitu, ayo cepat pulang! Sekalian juga belanja makan malam di jalan!"


"Oke. Haru, ayah gendong ya, supaya lebih aman. Sini."


"Oke!"


Saat aku menggendong Haru, Kuru-chan mendesah pelan.


"...Aku juga ingin digendong."


"Ibu…?"


"Yuk, pulang sebelum hujan makin deras!"


Aku memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Kuru-chan. Kalau aku menanggapinya, bisa-bisa masalah semakin besar. Tapi, saat aku mencoba menghindari pandangan, Kuru-chan tiba-tiba mendekat dan berkata sambil tersenyum.


"Nanti di rumah, gendong aku juga ya, Sayang?"


"...Iya."


Dengan senyum yang memaksa, aku hanya bisa mengangguk. Aku tahu dari dulu, senyum itu selalu membuatku tidak bisa melawan.


"Janjimu sudah kupegang! Kamu harus menggendongku sampai aku puas."


"Mohon bersikap lembut, ya…"


Aku berjalan pulang sambil berharap bisa segera tidur. Tapi, bahagia rasanya berjalan berdua dengan Kuru-chan di bawah satu payung, sambil menggendong Haru. Tidak peduli hujan deras, ini adalah momen kebahagiaan yang sempurna.


******


Setelah menikmati kari spesial buatan Kuru-chan hingga kenyang, aku duduk di sofa sambil memangku Haru yang memeluk kotak "Choco Egg Deluxe Edition" dengan wajah puas. Saat kami menonton TV, tiba-tiba Kuru-chan menyebut sesuatu yang terdengar familiar.


"Hei, ingat aplikasi diagnosa otak yang pernah kita coba dulu?"


Kuru-chan duduk di sampingku dengan santai. Mendengar itu, Haru yang di pangkuanku langsung bergeser ke sisi lain, bersembunyi sambil melindungi kotak cemilannya.


Aku sebenarnya sempat keberatan membelikan cemilan itu, tapi setelah dibujuk rayu Haru, aku menyerah.


Namun, sepertinya Haru takut Kuru-chan akan mengambilnya, jadi dia menjaganya erat.


"Tenang saja, Haru. Itu milikmu. Tidak ada yang akan mengambilnya kok."


"...Benarkah?"


"Benar. Asalkan kamu jadi anak baik, tidak ada yang akan mengambilnya. Betul kan, Kuru-chan?"


"Benar. Kecuali kalau kamu pilih-pilih makanan, tidak makan paprika, atau tidur terlalu malam, mungkin aku akan mempertimbangkannya."


Kuru-chan menghela napas panjang setelah berkata demikian. Dia memang mencoba tidak terlalu memanjakan Haru —meskipun kenyataannya, dia sangat memanjakannya.

Tampaknya, dia tidak terlalu suka dengan ideku membelikan Haru cemilan.


"...Aku akan sikat gigi!"


Haru bergegas ke kamar mandi. Kadang dia tidur agak malam mengikuti jadwal kami, tapi sepertinya untuk sementara waktu dia akan tidur lebih awal. Soal pilih-pilih makanan, mungkin bisa ditangani nanti.


"Jangan biasakan membelikan cemilan setiap kali Haru memintanya, ya? Nanti dia jadi terlalu manja."


"Aku tahu. Aku akan mencoba lebih hati-hati lain kali. Ngomong-ngomong, soal aplikasi diagnosa otak tadi, aku masih ingat. Itu yang waktu SMA aku suruh kamu coba, kan?"


"Betul! Aku baru tahu kalau ternyata versi terbaru dari aplikasi itu sudah keluar!"


Aku tidak menyangka aplikasi lama itu, yang bahkan tidak sempat populer sebelum tenggelam di internet, kini memiliki versi terbaru. Mungkin saja ada pembaruan kecil selama ini yang tidak aku ketahui.


"Kenapa tidak kita coba lagi? Hanya kamu yang tahu hasilnya waktu itu. Aku penasaran apa yang berubah sejak saat itu."


Aku masih ingat hasil diagnosa Kuru-chan waktu itu: banyak kata seperti "dingin" dan "es." Sekarang aku jadi ingin tahu bagaimana hasilnya.


"Oke, ayo kita coba."


Aku langsung mencari aplikasi itu di ponsel, mengunduh, dan memasangnya. Jumlah pertanyaannya lebih banyak dibanding dulu, dan hasilnya sekarang dibagi menjadi lima kategori, membuatnya lebih mendetail.


"Hehe. Aku siap! Ayo mulai!"


Entah kenapa Kuru-chan terlihat sangat bersemangat kali ini. Aku memulai diagnosa, dan kami tertawa bersama hingga Haru kembali dari kamar mandi dan ikut bergabung.


Tiga puluh menit kemudian, kami selesai. Aku cukup lelah karena suasananya sangat bersemangat, tapi tetap menyenangkan. Namun, hasilnya...


"Ini... luar biasa."


"Bagaimana? Cepat ceritakan hasilnya!"


Kuru-chan bertanya dengan senyum penuh antusias. Saat aku ragu untuk menjawab, Haru memanjat pundakku dan mengintip ke layar ponsel.


"...Wow."


Bahkan anak kecil seperti Haru langsung mengerti hasilnya. Aku hanya bisa tersenyum kecut, karena hasilnya benar-benar berlawanan dengan sepuluh tahun lalu.


Di tengah layar ponsel, ada tulisan besar "Kebahagiaan." Di sekitarnya ada kata-kata seperti "Cinta" dan "Suka," lalu di dalamnya ada "Suami," "Anak," dan "Keluarga." Ini adalah bukti bahwa Kuru-chan sangat menghargai kami sebagai keluarga.


Namun, ada masalah. Kata-kata seperti "Seks," "H," dan "Anak" muncul, diikuti oleh "Keinginan." Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan ini.


"Jadi, bagaimana aku sekarang? Cepat tunjukkan!"


"Umm... Aku tidak yakin harus bagaimana mengatakannya..."


Akhirnya, aku menunjukkan hasilnya. Kuru-chan menatap layar dan tertawa kecil.


"Hmm, ternyata aplikasi ini tidak seburuk yang kupikirkan. Hasilnya memang hampir benar, ya."


"Ehh, begitu ya..."


Sambil bergumam dalam hati, aku tersenyum kecut. Aku berharap dia tidak langsung mengakui itu. Entah karena malu atau sedikit enggan, aku berharap dia menyangkalnya dan mengatakan itu tidak mungkin.


"Dulu, kamu pernah bilang, kan? Kalau kita berdua, kebahagiaan akan berlipat ganda. Saat itu aku merasa itu hanya lelucon aneh, tapi sekarang aku mengerti." 



Kurumi-chan melanjutkan bahwa dengan bertiga dengan Haru, kebahagiaan kami menjadi tiga kali lipat.


Dia mengatakan ini adalah bukti bahwa huruf "bahagia" ada di pusat pikirannya.


"Karena itu, kalau ada sepuluh orang, kebahagiaan pasti akan jadi sepuluh kali lipat..."


Sambil berkata begitu, Kurumi-chan melingkarkan lengannya di leherku. Matanya sedikit basah, dan ekspresinya mulai tampak menggoda. Dia menjilat bibirnya di dekat telingaku, lalu berbisik,


"Jadi, sayang... Hihi, bersiap-siaplah..."


Ucapan Kurumi-chan yang terdengar seperti janji mutlak membuatku merasa seperti seekor katak yang ditatap seekor ular. Di saat yang sama, aku mulai memahami alasan huruf "anak" dan "hasrat" muncul di pikiranku. Tapi kemudian, satu pertanyaan muncul di benakku.


"Kurumi-chan, waktu SMA dulu, saat kamu menjalani tes kepribadian, huruf "hasrat" juga muncul. Apa kamu tahu itu?"


"Eh, serius?"


Hasil itu tidak pernah kutunjukkan atau kuceritakan padanya. Selain itu, saat itu hubungan kami belum sedekat sekarang.


"Waktu SMA, apa sih yang sebenarnya kamu inginkan?"


"Hmm, waktu SMA ya... Mungkin, aku ingin... teman dan... cinta?"


"...Teman dan cinta?"


"Dulu aku sering sendirian. Sebenarnya aku merasa sedikit kesepian."


"Begitu ya..."


"Waktu itu aku berpikir, sendirian itu menyebalkan. Lalu kamu dan Mashiro-san mulai berbicara denganku, jadi aku tidak kesepian lagi. Tapi setelah itu, aku mulai menginginkan sesuatu yang lain..."


Sambil berkata begitu, Kurumi-chan bersandar padaku dan meletakkan kepalanya di pundakku.


"Setelah teman, apa lagi yang kamu inginkan?"


"Hihihi, coba tebak? Tapi, semua yang aku inginkan sudah kumiliki sekarang."


"...Begitu, ya."


Sambil merasakan wajahku memanas, aku dengan lembut mengelus kepala Kurumi-chan. Rambut hitamnya yang lembut terasa seperti sutra di jari-jariku. Aku bisa terus melakukan ini selama berjam-jam.


"Eh, mama, aku boleh nonton TV?"


Suara Haru mengembalikan kami ke realitas. Dia menarik lengan Kurumi-chan sambil bertanya dengan nada yang sedikit kesal, atau mungkin itu hanya perasaanku.


"Hmm, boleh, tapi kamu harus cepat tidur, ya?"


Kurumi-chan berdeham dan duduk tegak, seakan menandai akhir dari pembicaraan tadi. Setelah menghapus hasil tes dari ponselnya, dia mengembalikannya padaku.


"Aduh... mulai besok hujan terus kayaknya nih..."


Saat menyalakan TV, berita prakiraan cuaca menunjukkan ikon hujan sepanjang minggu. Haru terlihat murung. Bermain di luar memang tidak mungkin saat hujan.


"Ya, hujan itu memang merepotkan. Udara jadi lembab, dan pakaian susah kering. Tapi—"


Kurumi-chan, yang tampaknya telah kembali ke suasana hatinya, menyandarkan tubuhnya ke lenganku. Matanya kembali tampak basah, dan ekspresinya mengandung kehangatan yang berbeda. Sambil menjilat bibirnya, dia berkata,


"Tapi, ini tidak buruk... karena kita bisa bermesraan seharian di rumah."


"...Tolong jangan terlalu berlebihan, aku masih harus kerja besok."


"Hihi, kalau itu akan kupikirkan nanti."


Namun, sayangnya, Kurumi-chan yang pikirannya sudah dipenuhi suasana romantis tidak memberikan ampun. Akhirnya aku kelelahan, dan hari kerja berikutnya menjadi sangat berat.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment



close