NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Cool na Doukyuusei no 10-nen-go V1 Chapter 5

Penerjemah: Flykitty 

Proffreader: Flykitty 


Chapter 5: Reuni Ibu-Ibu dengan Teman Masa SMA


~10 Tahun Kemudian, Bagian Pertama~

Di tengah hari-hari musim panas yang sangat terik, aku benar-benar tidak ingin keluar dari ruangan ber-AC.


Namun, dengan libur Obon yang sudah dekat, kami mulai merencanakan perjalanan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tepat di penghujung bulan Juli.


Aku, Sakuragi Kuru, sedang menuju ke sebuah kafe bersama putriku yang tercinta, Haru, untuk menghadiri pertemuan bulanan dengan seorang teman ibu-ibu. Meskipun disebut pertemuan ibu-ibu, sebenarnya hanya ada satu orang teman yang menjadi lawan bicaraku.


"Ah! Kuru-chan! Di sini, di sini!"


Di depan kafe, aku melihat seorang wanita dewasa melambaikan tangan sambil melompat-lompat seperti anak kecil. Wajahnya yang awet muda dan dadanya yang semakin berkembang sejak masa sekolah selalu membuatku merasa sedikit iri.


"Maaf membuatmu menunggu, Mashiro-san. Kamu terlihat sehat seperti biasa ya."


Orang yang menungguku adalah teman sekaligus sahabatku sejak SMA, Mashiro, yang sekarang telah menikah dan namanya menjadi Somemiya Hina. Di sampingnya, ada putrinya yang sangat mirip dengannya saat kecil, Kinako-chan.


Ketika masih sekolah, aku bukanlah tipe orang yang pandai bergaul. Aku bahkan bersikeras untuk tidak menjadi seperti orang tuaku—selalu keras pada diri sendiri dan orang lain. 


Akibatnya, aku sering dijuluki "dingin" atau "putri es" oleh teman-teman sekelas, dan hanya sedikit orang yang berani mendekatiku.


Namun, di tengah keadaan itu, ada Sakuragi-kun, yang kini menjadi suamiku, bersama Mashiro-san dan suaminya, Somemiya-kun, yang juga sahabat Sakuragi-kun. Mereka terus mendekatiku dan mengajakku berteman. Lambat laun, aku mulai luluh. Kami lulus SMA, melanjutkan kuliah, bekerja, menikah, dan bahkan memiliki anak. Hingga kini, kami masih rutin bertemu.


Adapun suamiku yang tercinta, dia hari ini sedang bekerja di kantor. Meski biasanya ia bekerja dari rumah, dia memilih untuk keluar rumah jika aku dan Haru pergi, agar tidak meninggalkan rumah hanya berdua dengan adikku, Tomika.


Perlu dicatat, masalahnya bukan pada suamiku, tetapi pada adikku. Sejak masa sekolah, Tomika sering mencari kesempatan untuk mengganggu kami.


Kalau dulu aku masih bisa memaklumi tingkahnya sebelum kami pacaran, tapi kini setelah kami menikah dan bahkan memiliki Haru, Tomika masih saja mencoba mengajaknya kencan.


Baru-baru ini, ketika aku sedang khawatir tentang Haru di penitipan anak, Tomika memaksa suamiku keluar rumah untuk pergi bersamanya. Untung saja aku segera menelepon dan berhasil mencegahnya. Namun, reaksinya saat itu benar-benar membuatku kesal.


"Cih... aku kira akhirnya bisa pergi kencan lagi seperti dulu. Sesekali dipinjamkan kan nggak masalah. Kakak pelit banget!"


"Ini bukan soal pelit atau tidak! Aku tidak akan pernah meminjamkan suamiku!"


"Memangnya kenapa sih? Lagian aku setidaknya sudah sedikit menjadi bagian keluarga dari Onii-san, sedikit saja nggak apa-apa kan?"


"Tetap saja itu tidak boleh!"


Tomika selalu pandai mencari-cari alasan, tapi kelakuannya benar-benar tidak bisa diterima. Aku hanya berharap dia sadar kalau tingkahnya buruk bagi pendidikan Haru.


Berbeda denganku yang cenderung canggung, Tomika memiliki bakat alami untuk mendekati orang. Terkadang, aku berharap memiliki kemampuan seperti itu. Namun, aku sadar bahwa justru karena ketidakterampilanku dalam bersosialisasi, aku bisa memiliki kebahagiaan seperti sekarang.


"Selamat pagi, Mama Kinako-chan."


Haru menyapanya sambil membungkuk sopan ke arah Mashiro-san. Hatiku senang sekali, melihat Haru anakku tumbuh begitu baik.


"Selamat pagi, Haru-chan. Kinako, ayo sapa Haru-chan juga."


"Selamat pagi, Mama Haru-chan!"


"Selamat pagi, Kinako-chan."


Kinako-chan, yang mirip sekali dengan ibunya, memiliki sifat lembut dan sangat menggemaskan. Ia lebih seperti boneka atau boneka beruang daripada anak kecil, benar-benar menenangkan hati siapa pun yang melihatnya.


Sementara itu, Haru, kata Sakuragi-kun, sangat mirip denganku saat masih sekolah—terlihat dewasa sebelum waktunya. Aku bersyukur Haru adalah anak yang mandiri, tapi kadang melihatnya mengingatkanku pada diriku sendiri, yang tidak sepenuhnya menyenangkan.


Misalnya, Haru pernah bertanya tanpa ragu:

"Ibu, bagaimana caranya bayi bisa lahir?"


Aku hampir mengalami serangan jantung mendengar pertanyaan itu. Apalagi, aku sendiri pernah bertanya hal yang sama pada ibuku di usia yang sama, dan ingat betul wajah canggungnya saat menjawabnya,


"Yah... siapa yang tahu ya? Entahlah..."


Entah bagaimana, aku berhasil menggunakan jawaban yang sama untuk menghindari situasi itu. Dalam hati, aku sangat berterima kasih pada ibuku. Namun, hal ini juga membuatku semakin khawatir akan masa depan Haru jika ia terus meniru sifat-sifatku. Aku tidak ingin dia menjalani kehidupan sekolah yang hambar seperti yang pernah kualami.


"Benar-benar luar biasa ya, setiap kali kita bertemu, aku selalu berpikir... siapa sangka kita akan menjadi seperti ini setelah masa sekolah dulu!"


Saat aku merenungkan tentang pola asuh anak, Mashiro-san, yang sedang meminum jus jeruk yang baru saja dihidangkan, berkata dengan ekspresi penuh perasaan, seolah menarikku kembali ke kenyataan.


"Benar juga, ya. Kalau aku yang masih SMA diberitahu, ‘Di masa depan, kamu akan menjalin hubungan dengan anak laki-laki yang sekarang duduk di sebelahmu, menikah, punya anak, dan membangun keluarga bahagia,’ aku pasti tidak akan percaya sama sekali."


Bahkan mungkin aku akan merasa kesal atau malah marah. Perasaanku terhadap Sakuragi, pria yang kini bersamaku, sangat berbeda antara saat itu dan sekarang.


"Aku dan Ryo-chan selalu bersama sejak kecil, jadi rasanya wajar kalau akhirnya begini. Tapi, situasimu berbeda, Kuru-chan."


"Benar juga... Tidak seperti Mashiro-san, aku sama sekali tidak punya seseorang seperti itu."


"Dulu, kamu bahkan tidak berbicara sama sekali dengan Sakuragi-kun. Padahal kalian duduk bersebelahan, tapi kamu terlihat penuh aura permusuhan kepadanya."


"Berhentilah... Kalau kuingat sekarang, aku merasa sangat menyesal kenapa bisa bersikap seperti itu. Tapi meskipun begitu, Sakuragi-kun tetap menyapaku setiap hari. Aku seharusnya bisa bersikap lebih jujur sejak awal."


"Baguslah, Kuru-chan. Kamu bersama dengan seseorang yang luar biasa."


Mashiro-san tersenyum sambil berkata begitu, dan aku membalasnya dengan anggukan penuh senyuman.


Namun, saat SMA, orang yang paling sering berbicara denganku sebenarnya bukan Sakuragi-kun. Bahkan di bulan pertama, hampir tidak ada percakapan berarti antara kami, bahkan sekadar sapaan.


Belakangan aku tahu darinya bahwa meskipun ia jatuh cinta pada pandangan pertama, kesan pertama yang kuperlihatkan tidak begitu baik. Ditambah lagi, melihatku yang selalu dingin menanggapi teman-teman sekelas, dia merasa tidak berani untuk menyapaku.


Tapi, satu orang yang berbeda adalah Mashiro-san. Dia selalu tersenyum seperti sekarang, senyum yang tidak berubah sejak dulu. Meski aku jarang mengatakannya secara langsung, aku sangat berterima kasih padanya.


"Mashiro-san juga kelihatan bahagia bersama suamimu yang luar biasa."


Dia adalah teman baikku, seperti tokoh di manga romansa, yang menikahi teman masa kecilnya. Sekarang, dia juga menjadi teman sesama ibu yang baik, tempatku berkonsultasi tentang cara mengasuh anak. Tanpanya, aku yang sekarang tidak akan ada.


"Kamu memang luar biasa, ya. Mashiro-san yang dulu tidak tahu apa-apa sekarang sudah menjadi seorang ibu."


"Hm? Maksudmu apa, ya?"


"Ya, maksudku memang seperti itu. Aku masih ingat dengan jelas saat kamu berkata kepada Somemiya-kun bahwa bayi dibawa oleh burung bangau."


"He-hey, tunggu, Kuru-chan!?"


Saat itu, kami sedang makan siang berempat. Tiba-tiba saja, Mashiro-san mengatakan hal itu, dan lebih parahnya lagi, dia berkata kepada Somemiya-kun, "Kira-kira, kapan ya mereka datang ke tempat kita?"


Aku dan Sakuragi-kun hampir menyemburkan teh yang kami minum.


"Itu salah papa dan mama yang mengajariku hal yang salah, bukan salahku!"


"Tapi tetap saja, burung bangau, ya... Oh ya aku ingat sesuatu, aku dengar dari Sakuragi-kun bahwa saat kamu pacaran dengan Somemiya-kun, kamu sangat senang ketika diajak ke hotel yang mirip istana?"


"Berhenti! Jangan bahas itu lagi, Kuru-chan! Dan kenapa kamu masih ingat hal itu!? Lagi pula, kenapa Ryo-chan harus cerita semuanya ke Sakuragi-kun!?"


Mashiro-san menjerit sambil membanting wajahnya ke meja. Melihat ibunya yang tiba-tiba berubah emosional, putrinya, Kinako-chan, hanya memiringkan kepala dengan bingung.


"Oh, ya. Kalau tentang cerita baru-baru ini, mungkin ada juga soal aplikasi tes otak yang kucoba bersama Sakuragi-kun?"


"Apa!?!"


"Fufu. Hasilnya cukup menarik, ya? Mashiro-san yang dulu polos dan murni sudah tidak ada lagi di dunia ini... Sedih sekali."


"Informasiku terlalu banyak yang bocor!!"


Mashiro-san menangis tersedu-sedu. Meski aku sadar diriku juga tidak bisa banyak berbicara, perubahan dirinya yang drastis tetap membuatku tercengang.


"Aku bahkan bisa melihatnya. Otakmu dipenuhi warna merah muda. Boleh cerita bagaimana hari malam kalian biasanya?"


"Ka-ka-kalau kamu bilang begitu, Kuru-chan juga sama saja, kan! Bahkan lebih merah muda... atau malah lebih seperti warna mawar... pokoknya, kamu benar-benar luar biasa dalam segala hal!"


"???"


"……"


Melihat percakapan aneh ini, Kinako-chan tersenyum polos. Sementara itu, aku merasa seakan mendengar suara hati seseorang yang berkata,"Apa yang mereka bicarakan di kafe siang hari begini?"


"Jika Sakuragi-kun ada di sini, dia pasti akan mengatakan, 'Ini lah yang dimaksud dengan 'burung yang sejenis akan memanggil teman sejenis'' sambil memberi komentar."


"Kalau begitu, aku akan menceritakan betapa kerennya Sakuragi-kun! Pertama kali kami pergi berdua, itu adalah───"


Siang yang biasa berubah menjadi meriah dan menyenangkan saat bersama teman dekat. Sambil menceritakan awal hubunganku dengan Sakuragi-kun, aku juga mengenang kembali masa-masa bersama Mashiro-san di pikiranku.


~Masa SMA~

"Selamat pagi, Kuru-chan!"


Sejak musim hujan berakhir, langit biru menggantikan awan mendung, dan suhu terik menyengat hampir setiap hari. Pada pagi hari bulan Juli, aku merasa tak ingin keluar dari kamar yang sejuk. Meskipun baru jam 8 pagi, suhu sudah melebihi 25 derajat, dan meskipun duduk, keringat terus mengalir, tubuh terasa lelah, tetapi ada suara ceria yang memanggilku ── suara dari teman sekelasku, Himuro Kuru, yang selalu ceria.


"...Selamat pagi, Mashiro-san. Sepertinya hari ini kamu terlihat sangat bersemangat. Ada kabar baik apa ya?"


Sudah tiga bulan sejak aku masuk sekolah. Karena aku tidak terlalu pandai dalam bersosialisasi dan lebih memilih hidup mandiri, jika ada yang menyapaku, aku sering kali merespons dengan sikap yang dingin, dan aku pun cepat terisolasi di kelas.


"Begitu ya! Sebenarnya, anjing peliharaan di rumahku itu sangat lucu!"


Ada dua orang yang anehnya selalu menyapaku, salah satunya adalah dia, Mashiro Hina-san.


Berbeda dengan aku yang sering dipanggil dengan julukan "Es Putri" atau "Putri Es", dia adalah gadis ceria yang wajahnya sering kali berubah ekspresi seperti boneka. Bentuk tubuhnya yang proporsional membuatku merasa sedikit iri, pasti jika dipeluk dia akan terasa nyaman.


Meskipun begitu, dia bisa bergaul dengan siapa saja, termasuk dengan orang sepertiku, dan tentunya dia memiliki banyak teman. Dia seperti matahari yang selalu bersinar terang, berlawanan dengan diriku.


"Jangan bicarakan hal sepele seperti itu... Lagipula, cerita tentang anjing peliharaanmu itu sudah sering kamu ceritakan, kan?"


"Itu cerita kemarin! Cerita hari ini berbeda!"


Dengan itu, Mashiro-san mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video padaku. Di layar, tampak seekor anjing besar yang berusaha melompat melewati pagar, tapi gagal total, lalu akhirnya mengalah dan berjalan dengan ekor yang lemas, lalu tidur dengan kecewa.


Meski tubuhnya besar, anjing itu terlihat sangat penakut, rasanya ingin berteriak, "Kenapa menyerah begitu saja?!" Melihat wajah sedihnya, aku tak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak karena kelucuannya.


"Bagaimana, lucu kan? Anjingku itu gemuk sekali, jadi meskipun dia mengira sedang melompat, tapi sebenarnya dia tidak melompat sama sekali! Lucu kan!?"


"Kelakuannya... terasa seperti dirimu, Mashiro-san... Ah, maaf, itu hanya perasaanku saja."


"Hah───! Apa aku mirip dengannya? Kalau iya, aku senang banget!"


Dia tersenyum ceria, dan aku hanya bisa tertawa kecil dalam hati.


Ketulusan Mashiro-san sering kali membuatnya dipandang menggemaskan, meskipun sering kali dia harus menghadapi akibatnya, terutama dari teman masa kecilnya yang juga menjadi penjaganya, Somemiya-kun.


"Apakah rumahmu punya peliharaan, Kuruchan?"


"Rumahku? Ada kok, aku punya seekor kucing hitam."


Dengar kata "kucing hitam", orang sering kali teringat akan pertanda buruk atau bahkan perusahaan pengiriman tertentu, tetapi sebenarnya, karena bisa melihat di malam hari, kucing hitam dianggap sebagai pembawa keberuntungan, pelindung dari roh jahat, dan simbol kemakmuran. Buktinya, di Jepang ada patung kucing hitam yang dianggap sebagai pembawa keberuntungan.


"Eh, jadi rumah Kuru-chan lebih suka kucing ya?"


"Memang, dulu saat kecil dia sering naik ke pangkuanku, sangat lucu. Tapi sekarang, setelah dia besar, kecuali dia ingin, dia jarang sekali mendekat. Sifatnya agak egois, ya... Dulu dia manja, tapi sekarang di beda banget, aku ingin dia kembali seperti dulu."


Aku sering melihat video tentang kucing yang menunggu di pintu rumah, melompat ke pangkuan saat duduk di sofa, atau naik ke meja untuk mengganggu pekerjaan majikannya.


Tetapi menurutku, itu semua hanya rekayasa. Itu tidak akan terjadi dalam kenyataan. Waktu kecil, mungkin iya, tapi sekarang, kucingku jarang melakukannya.


"Jadi... itu artinya... kamu mengatakan dia itu tsundere, kan?" 


"Kucingku tsundere? Wah, Mashiro-san, kamu jago banget bercanda. Kucingku nggak mungkin seperti itu."


"Benarkah? Sifatnya egois, tidak konsisten, tapi saat manja, dia sangat manja, kan? Itu sama seperti heroine di manga yang sering dibaca Ryo-chan!"


"Hahaha, itu nggak mungkin. Kucingku tidak akan seperti itu. Lagipula, membandingkan dengan heroine manga itu tidak masuk akal."


"Mungkin kucingmu mirip dengan dirimu, Kurochan!"


"Eh, eh!? Apa maksudmu?"


"Karena kamu sudah merawatnya sejak kecil, mungkin dia meniru sikap majikannya! Aku ingin lihat seperti apa dia."


Mashiro-san terus memohon untuk melihat foto kucingku, tetapi aku sama sekali tidak siap untuk menunjukkan fotonya. Tak kusangka, kata-kataku malah menjadi bumerang.


Tunggu dulu. Aku bukan tsundere. Kalau sedikit bersikap dingin, itu mungkin bisa dimengerti. Panggilan "Dingin" atau "Es Putri" itu mungkin memang pantas, jadi aku terima. Tapi "dere"? Itu benar-benar tidak bisa kuterima. Aku tidak punya siapa-siapa yang bisa kuberikan perhatian seperti itu, apalagi jika dibandingkan dengan kucingku yang penuh kasih.


"Hei, hei, Sakuragi-kun, kamu lebih suka kucing atau anjing? Atau mungkin hewan lain?"


"Eh? Aku?"


Aku yang sedang melamun baru menyadari bahwa Sakuragi-kun sudah tiba. Jangan-jangan dia melihat aku sedang melamun. Namun, meskipun aku khawatir, dia dengan santai menaruh tasnya dan berkata setelah berpikir sejenak, 


"Kalau harus memilih... mungkin anjing?"


"Oooh... kenapa?"


"Karena saat dia manja, pasti lucu banget. Aku juga ingin coba jalan-jalan bareng. Tapi ya, aku belum pernah punya hewan peliharaan sih, jadi aku cuma bisa bayangin aja."


"Tapi kucing juga lucu sih, cuma rasanya nggak bakal manja sama aku." kata Sakuragi-kun sambil tersenyum canggung.


"Baik anjing maupun kucing itu peka terhadap hierarki, jadi jangan terlalu dimanjakan," kataku dengan serius.


"Hahaha... benar juga. Nanti kalau aku punya anjing atau kucing, akan aku manjakan dengan sewajarnya saja."


Sakuragi-kun tertawa kecil, tapi dia tahu itu bukan hanya soal manja. Kami kemudian membahas betapa pentingnya mendidik hewan peliharaan sejak kecil, jika tidak bisa jadi masalah nantinya.


"Benar juga, kalau kucing mulai menggigit atau melakukan kesalahan, dia harus segera ditegur. Jadi, Mashiro-san, kamu sudah mendidik anjingmu dengan baik, kan?"


"Ah, tentu saja─── Aku nggak bisa! Hahaha!"


Dengan bangga, Mashiro-san tertawa terbahak-bahak. Tidak perlu dikatakan lagi, aku dan Sakuragi-kun menghela napas panjang.


"Sakuragi-kun, jangan sampai jadi seperti itu, ya?"

"…Akan aku ingat baik-baik."


~10 Tahun Kemudian, Bagian Akhir~

"Lalu tahu tidak! Sakuragi-kun menyadari situasi gentingku dan langsung datang menolongku!"


Sudah lebih dari dua jam sejak pertemuanku dengan Mashiro-san dalam acara "teman ibu-ibu".


Sambil menikmati kue untuk camilan di jam tiga sore, aku terus-menerus menjelaskan kepada sahabatku di depan betapa hebatnya suamiku.


"Padahal dia pasti juga takut, tapi tetap berdiri di depanku untuk melindungiku! Saat itu, Sakuragi-kun benar-benar terlihat keren!"


Awalnya, Mashiro-san juga membicarakan tentang kehebatan suaminya. Tapi selama lebih dari satu jam terakhir, aku saja yang terus berbicara.


"Be-benarkah...?"


"Belum lama ini juga, tahu? Ketika aku memanaskan kaleng sarden di microwave hingga meledak, dia langsung meninggalkan pekerjaannya untuk menolongku!"


"Kuru-chan ternyata bisa ceroboh juga ya, tidak kusangka."


Mashiro-san tersenyum masam sambil berkata bahwa dia sendiri tidak pernah memanaskan kaleng sarden di microwave.


Aku hanya ingin menghemat waktu, tetapi siapa sangka itu akan meledak. Saat itu, aku dan Haru benar-benar terkejut.


Pada akhirnya, aku justru kehilangan banyak waktu dan merepotkan Sakuragi-kun, hingga merasa ingin menghilang dari muka bumi. Tapi, aku tidak akan membiarkan Mashiro-san memanggilku ceroboh seperti itu.


"Ngomong-ngomong, saat masih mahasiswa, ketika aku merasa kedinginan, dia langsung memakaikan jaketnya kepadaku, tahu... Kalau ada masalah, dia pasti segera membantu. Dia itu benar-benar seorang sigma sejati!"


Waktu itu, meskipun aku bilang tidak apa-apa, dia tetap memaksakan memakaikan jaket itu padaku. Rasanya memalukan, tapi juga menyenangkan karena dia begitu perhatian tanpa memikirkan dirinya sendiri.


Setelah kami mulai pacaran, aku selalu berusaha untuk tidak ceroboh. Kami bahkan pernah berbagi satu syal di musim dingin, berjalan berdekatan. Saat itu, wajah Sakuragi-kun memerah seperti tomat. Lucu sekali. Mungkin musim dingin ini kami bisa melakukannya lagi.


"…Sakuragi-kun benar-benar berusaha keras di depan Kuru-chan, ya…"


"Masa sih? Tapi, kalau dipikir-pikir, aku memang jarang melihatnya bersama gadis lain."


Selain Tomika dan Mashiro-san, aku tidak pernah melihat Sakuragi-kun berbicara dengan wanita lain. Padahal dia sangat tampan, mengapa begitu?


"Ah… itu jelas karena Kuru-chan."


"Hah? Maksudmu apa?"


"Karena Sakuragi-kun jatuh cinta pada pandangan pertama padamu, dan dia sangat tergila-gila padamu."


"H-huh!?"


Mashiro-san terlihat agak bosan. Kalau dipikir-pikir, sebelum kami pacaran, dia memang pernah mengatakan bahwa sepanjang hidupnya belum pernah punya pacar.


Tapi mendengar dari orang lain bahwa dia jatuh cinta padaku pada pandangan pertama, rasanya aneh dan memalukan.


"Lagipula, Kuru-chan selalu bersamanya, kan? Bahkan, mungkin kamu tidak sadar, tapi kamu seperti menakuti gadis-gadis lain di sekitarnya. Dengan kalian yang selalu bermesraan, siapa juga yang berani mendekat."


"Bermesraan!? Aku dan Sakuragi-kun bermesraan seperti itu!?"


"Iya, sangat jelas sekali. Kalian benar-benar melebihi pasangan pada umumnya."


Tidak mungkin! Kalau begitu bagaimana dengan Mashiro-san dan Somemiya-kun lebih sering bermesraan dibanding kami. Itu jelas bukan hubungan biasa antar teman masa kecil. Tapi aku yakin mereka tidak akan mengakuinya.


"W-walaupun pembicaraan kita jadi melebar, intinya Sakuragi-kun itu yang terbaik!"


"Benar juga ya… suami Kuru-chan memang super luar biasa."


"Makanya, aku ingin melakukan sesuatu untuknya sebagai tanda terima kasih. Tapi, aku masih belum punya ide bagus…Mashiro-san, menurutmu apa yang cocok?"


"Hmm… menurutku, Sakuragi-kun pasti sudah senang hanya dengan perhatianmu. Mungkin memasakkan makanan kesukaannya sudah cukup."


Mungkin terdengar biasa, tapi aku bisa membayangkan wajahnya yang bahagia saat berkata, "Ini enak sekali. Terima kasih, Kuru-chan."


Benar, mungkin aku akan menyiapkan makanan bergizi lebih banyak untuknya.


"Fufufu… berkat Mashiro-san, aku punya rencana bagus sekarang. Terima kasih."


"S-syukurlah kalau begitu. Jangan lupa salamku untuk Sakuragi-kun, ya."


"Tentu saja!"


"Oh ya… ini sudah cerita Sakuragi-kun yang ke-18 hari ini, loh."


Mashiro-san tertawa kecil. Benarkah sebanyak itu? Kalau begitu, cerita berikutnya adalah saat dia menggendongku seperti seorang putri ke ruang kesehatan ketika aku terkilir. Saat itu, Sakuragi-kun yang biasanya terlihat lemah, menunjukkan sisi kuatnya, dan itu membuatku terpesona.


"Kalian benar-benar pasangan yang harmonis. Sepertinya Haru-chan akan segera punya adik, ya?"


"Yah, ini memang soal rezeki. Tapi aku berharap punya anak kedua, ketiga, bahkan keempat. Aku ingin membangun tim bisbol, setidaknya!"


"Wow… Sakuragi-kun pasti akan kewalahan, ya."


Percakapan kami pun beralih ke rencana keluargaku.


Dulu, Sakuragi-kun pernah berkata, "Kalau kita bersama, kebahagiaan akan berlipat ganda."


Saat itu aku menganggapnya terlalu mengada-ada, tapi sekarang aku mengerti. Dengan Haru, kebahagiaan kami bertiga jauh lebih besar daripada saat kami hanya berdua. Jadi, bersiaplah, Sayang.


~Malam Itu~

Seperti biasa, saat aku pulang kerja, Kuru-chan dan Haru menyambutku dengan senyuman. Saat merasa lelah, aku selalu menyadari bahwa keluarga tercinta adalah yang paling mampu menghilangkan rasa penatku.


Namun, ketika aku masuk ke ruang tamu, aku melihat Tomika-chan sedang bersantai di sofa. Aku tersenyum kecil, merasa dia terlihat seperti berada di rumahnya sendiri, lalu mataku tertuju ke meja dan aku kehilangan kata-kata.


"Ini terlalu luar biasa..."

Hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku. Penyebabnya adalah berbagai hidangan mewah yang memenuhi meja.


"Kurochan, ini ada apa? Apakah hari ini ada peringatan khusus?"


Hari ulang tahun pernikahan kami masih jauh, bukan juga hari ulang tahun pacaran kami. Bukan ulang tahunku, ulang tahun Kuru-chan, atau Haru. Aku berpikir keras, tapi tidak ada yang terpikirkan.


"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin menunjukkan rasa terima kasihku, jadi malam ini aku mempersiapkan semua ini! Bagaimana menurutmu?"


Kuru-chan tersenyum lebar dengan ekspresi penuh percaya diri. Aku terharu luar biasa.


Rasanya hampir tidak bisa dipercaya bahwa istriku yang tercinta dengan sepenuh hati menyiapkan masakan mewah untuk menyambutku pulang, dan jugatanpa alasan khusus. Aku hampir menangis haru.


"Terima kasih, Kuru-chan. Aku benar-benar orang yang beruntung..."


"Sudahlah, kamu ini terlalu berlebihan. Cepat ganti baju dulu, yuk kita makan sebelum semuanya dingin."

Dengan senyum bahagia, Kuru-chan mendorongku pelan ke arah kamar. Aku segera berganti pakaian santai dan kembali ke ruang makan.


"Aku juga sudah menyiapkan sake. Sesekali kita minum bersama, ya."


Benar-benar pelayanan yang luar biasa, seperti menginap di penginapan mewah saja.


Namun, ada yang membuatku penasaran: wajah Haru yang duduk di sebelah Kuru-chan terlihat agak tegang. Ditambah lagi, Tomika-chan yang duduk di sebelahku tertawa cekikikan meskipun tidak minum alkohol.


"Kalau begitu, semuanya sudah berkumpul. Selamat makan!"


"Selamat makan!"


Dipimpin oleh Kuru-chan, kami semua mengucapkan "selamat makan" lalu mulai mengambil makanan.


Pilihannya banyak sekali, aku bingung harus memulai dari mana. Mungkin dari tiram panggang, karena jarang sekali aku makan itu.


Begitu menggigitnya, tekstur kenyalnya langsung terasa, dengan rasa laut yang kaya memenuhi mulutku. Tanpa tambahan bumbu apa pun, rasanya begitu lezat hingga membuatku terkesan.


Berikutnya, aku mencoba belut bakar. Dagingnya lembut, sausnya meresap sempurna. Makan begitu saja rasanya sudah enak, tapi membuatku ingin nasi putih.


"Semua masakan ini enak sekali, Kuru-chan."


"Aku senang kamu menyukainya. Usahaku mempersiapkan ini akhirnya terbayarkan."


"Tiram dan belut saja sudah luar biasa, tapi kamu juga menyiapkan hotpot. Apa jenis hotpotnya?"


Aku mencoba tidak memikirkan betapa tidak sesuai hidangannya dengan musim ini, lalu bertanya sambil menggigit tiram kedua.


"Hotpot sup kura-kura!"


"...Maaf, apa?"

Hotpot kura-kura langsung mengingatkanku pada stamina dan energi. Aku langsung sadar akan makna di balik semua hidangan ini.


Semua ini seperti pesan dari Kuru-chan, selain rasa terima kasihnya, ini juga seperti pernyataan bahwa malam ini aku tidak akan dibiarkan tidur.


"Makan yang banyak ya, sayang."


"Y-ya... tentu saja."


Aku hanya bisa tertawa kering. Hidangan dan sake ini adalah bentuk cinta yang luar biasa, tapi aku tidak bisa menghilangkan pikiran-pikiran tertentu.


"Ngomong-ngomong, Kuru-chan, hari ini kamu ada pertemuan bulanan dengan Hina dan Kinako, kan? Bagaimana tadi?"


Aku mengalihkan pembicaraan, mencoba melarikan diri dari pikiran ini. Aku penasaran tentang apa yang mereka bicarakan, tapi selama ini aku tidak pernah diberitahu.


"Tidak ada hal khusus. Seperti biasa, kami hanya saling berbagi kabar sambil minum teh."


"Begitu ya..."


Jawabannya seperti biasa, tapi setiap kali setelah pertemuan itu, masakan mewah seperti ini selalu muncul. Meski aku tahu, aku tidak bisa memintanya untuk berhenti.


"Aku hanya ingin membuatmu bahagia... apakah itu salah?"


Kuru-chan menatapku dengan mata berkaca-kaca. Meski aku tahu aku dipermainkan, aku tetap buru-buru menyangkalnya.


"Tidak, tentu saja tidak! Aku sangat berterima kasih kamu menyiapkan semua ini. Terima kasih banyak, Kuru-chan."


"Ngomong-ngomong, Haru-chan, apa yang Mama Kinako bicarakan dengan Mama tadi?"


"...Mama memuji Papa ke Mama Kinako. Terus mereka ngobrol banyak. Oh, katanya Mama dan Papa sudah mesra sejak dulu."


"Benarkah?"


Haru bertanya dengan kepala sedikit bingung, terlihat sangat manis. Aku kebingungan saat menjawabnya. Di kafe, apa saja yang mereka bicarakan? Lagipula, saat SMA dulu aku tidak pernah bermesraan dengan Kuru-chan di depan orang.


"Tidak sadar itu menakutkan, ya, Kakak."


"...Kami mesra waktu SMA?"


Aku bertanya dengan takut-takut, dan Tomika-chan menjawab dengan senyum lebar, "Iya!" Rasanya itu tidak bisa dipercaya, dan aku merasa malu banget.


"Ngomong-ngomong, Haru, apa yang Mama tanyakan ke Mamanya Kinako?"


"...Tidak tahu."


Haru memalingkan wajahnya. Aku merasa semakin gelisah.


"Kurasa, Kakak mungkin sedang berdiskusi tentang cara menunjukkan rasa terima kasih pada Onii-san dengan caranya sendiri. Kakak memang selalu sedikit ekstrem dalam hal ini..."


Suaranya terdengar santai, disertai sorakan lemah dari Tomika yang berkata, 


"Semangat, Onii-san!"


Tapi, aku yakin itu hanya imajinasiku. Ngomong-ngomong, sampai kapan Tomika akan terus tinggal di sini? Bahkan Kuru-chan sekarang sepertinya sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan adiknya.


Dengan pikiran yang melayang-layang, aku memutuskan untuk melanjutkan makan malam. Apapun niat tersembunyi Kuru-chan, membuang makanan lezat seperti ini jelas tidak bisa kuterima.


Malam itu berakhir dengan makan malam yang memuaskan, mandi air hangat, dan menidurkan Haru. Setelah semua selesai, aku kembali ke kamar tidur kami, hanya untuk mendapati Kuru-chan duduk di atas tubuhku.


"Err... Kuru-chan? Apa yang sedang kamu rencanakan?"


"Oh, sayangku. Tidak perlu khawatir. Serahkan semuanya padaku."


Dia menjilat bibirnya dengan gaya menggoda, jauh dari sikap manis dan polosnya saat bersama Haru. Malam ini, dia mengenakan negligee tipis yang biasanya hanya dipakai pada momen-momen khusus. Aku berusaha keras menjaga akal sehatku.


"Bukan karena aku takut, hanya saja... kamu tampak sangat bersemangat hari ini."


"Oh? Jadi kamu bisa melihat kalau aku sangat bersemangat?"


"Tentu saja. Aku sudah bersamamu selama sepuluh tahun, Kuru-chan. Aku bisa mengenalimu dengan baik."


"Ya ampun... kau selalu tahu cara membuatku senang. Aku rasa aku benar-benar harus memberimu hadiah yang istimewa malam ini."


Dia berkata sambil menggerakkan tubuhnya di atas perutku dengan gaya erotis. Ini terlalu banyak rangsangan. Jika dia ingin begitu, sebaiknya turun saja dulu!


"Kuru-chan, kamu tidak perlu melakukan ini. Makan malam tadi saja sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan rasa terima kasihmu."


"Itu berbeda, sayang. Selain berterima kasih, aku juga merasa perlu menghukummu."


"Hukuman? Apa? Kenapa?"


"Oh, kau tidak tahu? Cobalah pikirkan baik-baik."


Sayangnya, kedua tanganku ditahan olehnya, jadi aku bahkan tidak bisa meletakkannya di dada untuk merenung. Tidak ada pilihan lain selain memutar otak. Apa aku melakukan sesuatu yang salah?


"Aku ingat kamu pernah pergi bersama Tomika beberapa hari yang lalu, kan?"


"...Ah."


"Tentu, aku tahu kamu awalnya menolak, tapi kamu tetap pergi, kan? Mungkin karena dia memaksa atau berbohong, siapa tahu."


Seperti yang kuduga, dia memahami semua gerak-gerik adiknya. Saat itu, Tomika memintaku menemaninya ke minimarket, tetapi ternyata dia menjadikannya "kencan". Untungnya, Kuru-chan segera meneleponku, sehingga aku bisa segera mengakhiri situasi aneh itu.


"Kurasa aku perlu memastikan bahwa kamu harus tahu siapa pemilikmu."


"Umm, Kuru-chan... Maksudku, bukankah seharusnya kamu menjelaskan ini pada Tomika, bukan aku?"


"Tentu saja aku akan memberitahunya. Tapi sebelum itu, aku perlu mengajari tubuhmu untuk memahami hal ini sepenuhnya."


"Kuru-chan, kau tidak sedang marah, kan?"


Dengan tatapan dingin seperti es dan aura menakutkan yang menyertainya, aku merasa seperti sedang berhadapan dengan dewa penghukum.


"Ahaha, tentu saja tidak. Aku tidak marah sama sekali."


"L-Lalu, bisakah kamu... turun dulu dari—"


Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, dia mendekatkan wajahnya dan berkata dengan senyum penuh arti.


"Tapi hukuman tetap harus diberikan, kan?"


"Apa... maksudmu?"


"Aku akan memastikan kamu tahu, dengan menghabiskan sepanjang malam bersamaku. Kuharap kamu sudah siap..."


"Tolong... lakukan dengan lembut ya..."


Itulah satu-satunya kalimat yang berhasil keluar dari mulutku.


Malam itu, aku menghabiskan waktu yang luar biasa bersama Kuru-chan, meskipun akhirnya berujung pada kurang tidur. Namun terkadang, kurang tidur yang disertai kebahagiaan seperti ini rasanya tidak begitu buruk.

Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close